> CERITA 3

CERITA 3

 Kamu saat ini sedang membaca   Tsukushita garina uchi no yome ni tsuite derete mo ī ka?  volume 1,  chapter 2 cerita 3. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw


ISTRI YANG MENJEMPUT SUAMINYA DAN BERBAGI PAYUNG



Selama tiga tahun terakhir, setiap kali aku mulai merasa sombong atau berlebihan, aku selalu melihat mimpi yang sama.


Mimpi mengerikan yang menusuk hatiku yang goyah dan menghadirkan kembali kenyataan yang mengerikan. 


Itu adalah pengulangan kejadian yang terjadi pada musim gugur ketika aku kelas tiga SMP.


"──Minato, kau tidak mungkin salah paham, kan? Mustahil hanya karena kau sedikit bicara dengannya, kau langsung menyadarinya? Itu benar-benar tidak masuk akal. Lagi pula, kau bahkan tidak tahu seperti apa wajah gadis itu, kan? Bagaimana kau bisa tahu kalau itu baik atau buruk? Meski begitu, kau salah paham, itu benar-benar menunjukkan betapa otakmu itu penuh dengan hala romantis, dan terlihat bodoh. Aku benar-benar kecewa kalau kau ternyata orang seperti itu."


Aku tidak salah paham. Namun, kata-kata yang dia ucapka sangat menyakitkan sehingga pada saat itu, aku tidak bisa membalasnya sama sekali.


[TL\n: cowok tapi mental tahu jir, lemah amat.]


Dalam mimpi, aku tetap sama.


Yang bisa kulakukan hanya bisa diam dan menerima tatapan menghina yang diarahkan padaku.


"Menonton film lama pada hari yang sama sambil bertukar pesan, itu menyenangkan, kan? Kenapa itu tidak cukup? Aku tidak mengerti. Lagi pula, rasanya menjijikkan."


"...Maaf."


"Kita masih kelas tiga SMP, kau tahu? Dengar, Minato. Biarkan aku memberi tahumu. Laki-laki yang dengan mudah salah paham kalo dirinya disukai itu sangat sulit diterima. Bagaimana bisa begitu percaya diri tanpa dasar, berpikir bahwa dirinya disukai? Itu benar-benar menggelikan."


Tok, tok, tok──.


Tumpang tindih dengan kata-katanya, tiba-tiba aku mendengar suara seperti itu. Meskipun saya mencapai titik terendah, suaranya sangat ringan dan riang.


"Juga, izinkan aku memberitahumu ini, aku tidak pernah menganggapmu sebagai teman, Minato."


Dari semua kata-katanya, yang satu ini paling mengejutkan. Aku menganggapnya sebagai teman.


Tapi hal itu ditolak sepenuhnya.


Seperti yang dia katakan, aku hanyalah seorang banjingan yang salah paham.


★★★

Tok, tok, tok──.


Saat aku terbangun dengan bermandikan keringat, aku mendengar ketukan di pintu, disusul dengan suara yang sepertinya sedang bersenang-senang.


"Hei, kamu terlalu banyak tidur.. Ini sudah waktunya bangun loh, Minato-kun."


Sebelum aku benar-benar tenggelam dalam kesedihan akibat mimpi buruk barusan, kata-kata Riko mengangkat semangatku.


"Maaf, aku sudah bangun...! Aku akan bersiap dan segera ke sana."


Aku berteriak secerah mungkin.


Awal hari libur yang bahagia seperti dalam cerita. Aku tidak ingin membiarkannya dirusak oleh mimpi burukku.


"Baiklah! Sarapan sudah siap, ayo kita makan bersama. Hari ini kita punya roti panggang.”


“Ya, terima kasih!”


Keringat yang menetes masih belum berhenti, tapi aku sudah bisa tersenyum lagi.


Keberadaan Riko, tanpa melebih-lebihkan, adalah penyelamatku.


★★★

Beberapa hari kemudian, setelah aku selesai bekerja paruh waktu.


Saat aku keluar dari pusat perbelanjaan tempat bioskop berada, aku mendapati hujan mulai turun tanpa sepengetahuanku. Di bawah lampu neon yang menerangi jalan malam, garis-garis air perak terus menerus jatuh tanpa henti.


"Wah... seriusan nih..."


Karena aku tidak sempat mengecek ramalan cuaca, payungku tertinggal di sekolah.


Dari pusat perbelanjaan hingga stasiun Tsujido yang terdekat, ada jalur beratap yang menghubungkannya, jadi itu tidak masalah. Masalahnya adalah setelah turun dari jalur Tokaido di stasiun Ofuna.


Kegika aaku menatap kelangit malam, aku tidak bisa melihat bulan atau bintang karena tertutup awan tebal.


"Sepertinya hujanya tidak akan berhenti."


Aku menghela napas dan menuju ke stasiun.


Aku bisa saja membeli payung di konbini depan stasiun, tapi aku tidak ingin untuk menumpuk payung plastik di rumah.


Pintu masuk rumah baru saja dibersihkan Riko akhir pekan lalu. Setelah dibersihkan dengan rapi, aku tidak ingin menambah barang-barang yang tidak perlu.


Oke. Selama tidak hujan deras, aku akan berlari pulang. Jaraknya juga tidak terlalu jauh, jadi seharusnya aku tidak akan basah kuyup.


Tapi, bertentangan dengan harapanku, derasnya hujan yang membentur jendela kereta semakin bertambah.


Ah... sepertinya aku benar-benar harus membeli payung di konbini...


Saat melewati koridor dengan kecewa dan keluar dari pintu selatan, tiba-tiba ada yang memanggil namaku.


"Minato-kun...!"


Tanpa perlu melihat, aku tahu itu suara Riko.


Eh. Kenapa...!?


Aku melihat ke sekitar mencari sosoknya.


Di dekat dinding depan pintu masuk Lumine, ada orang-orang yang berjajar rapi menunggu seseorang dengan payung di tangan mereka. Pemandangan yang selalu aku lihat setiap pulang di hari hujan.


Di ujung ruangan ada Riko yang sedang memegang payung dengan corak bunga merah di kedua tangannya.


Ketika dia melihatku, dia berlari mendekat dengan cepat.


"Karena tiba-tiba turun hujan, aku pikir Minato-kun tidak membawa payung, jadi aku datang menjemputmu."


"...."


Aku terlalu terkejut hingga aku tidak bisa langsung berbicara.


Di hari hujan, orang yang penting bagiku menunggu kepulanganku. Aku tidak percaya aku bisa menjadi pemeran utamanya, dalam adegan yang selama ini selalu ku lihat dengan iri sambil terus berjalan...


Setelah kejutan itu, perasaan bahagia yang tertunds perlahan mulai muncul.


"...Terima kasih."


Dengan menahan rasa malu dan terharu yang bercampur aduk, aku berhasil mengucapkan terima kasih.


Riko terlihat sangat bahagia, seperti seekor chihuahua yang dipuji, dengan wajah ceria yang menggemaskan.


Aduh... Dia terlalu imut...


Dia terlalu manis sampai membuatku mundur selangkah.


Saat itulah aku menyadari.


Tunggu. Riko hanya membawa satu payung…?


Yang ada di tangannya hanyalah payung lucu yang sama yang terbang di langit pada hari bersalju yang menyebabkan kontak kami.


...yah, wajar saja. Karena payungku tertinggal di sekolah, kadi tidak mungkin Riko membawanya.


Tapi, kalau begitu kenapa dia datang menjemputku? Jangan-jangan...


"Yuk, kita pulang."


Dia tersenyum dan mulai berjalan. Aku mengikuti di belakang sambil masih bingung.


Kami melewati mesin tiket dan turun eskalator menuju permukaan. Setelah menyeberangi jalan dan menuju ke arah terminal bus di kanan dari jalan yang mengarah ke jalan perbelanjaan Ofuna.


Di sana, atap pelindung dari hujan berakhir.


Riko membuka payung merahnya dengan bunyi kencang dan menoleh padaku.


"Minato-kun, ayo masuk ke dalam."


"....!"


Apa ini...?


Riko berencana untuk pulang bersama dengan berbagi payung.


Riko memberi isyarat dengan tangannya, menyisakan satu sisi payung untuk menungguku.


Aku terdiam, menatap pemandangan yang tidak bisa aku percaya ini.


Lagipula bagaimana aku bisa masuk ke dalam ruang sempit itu...?


Jika aku berlindung di bawah payungnya agar tidak kehujanan, hampir pasti lengan atau bahu kami akan bersentuhan. Meski kami tinggal bersama, dan meski kami secara hukum sudah menikah, biasanya kami tidak sedekat itu.


...idak mungkin. Kakiku tidak bisa bergerak.


Apa aku sebaiknya bilang saja untuk membeli payung di konbini? Tidak, itu akan merusak niat baik Riko yang sudah susah payah datang menjemputku.


Ah, aku bingung.


Melihatku yang kaku, Riko memiringkan kepala dengan bingung.


"Ada apa? Apa kamu tidak mau pulang?"


"...Aku akan pulang."


Jika aku ragu-ragu lagi, dia akan curiga.


Oke. Aku harus mengosongkan pikiranku. Kemudian, pastikan aku tidak menyentuh Riko dan berjalan dengan hati-hati.


Aku menarik napas dalam-dalam, mengangkat kaki yang terasa berat seperti timah, dan bergerak dengan canggung untuk berdiri di sampingnya.


Ini harusnya baik-baik saja. Tidak ada bagian tubuh yang saling bersentuhan.


Tapi, sebelum mulai berjalan, Riko menegurku karena aku terlalu jauh.


"Minato-kun, kalau kamu tidak mendekat padaku, kamu akan basah, tahu?"


"A-aku rasa... aku tidak akan basah..."


"Separuh tubuhmu berada di luar, tahu?"


Ah, itu tidak berhasil.


"Aku pikir jika terlalu dekat akan mengganggu."


"Maaf payungnya kecil. Tapi, tidak apa-apa jika kita berdekatan kan?"


Riko menambahkan dengan sedikit malu. Ini sebenarnya lebih buruk daripada tidak menyadarinya sama sekali.


Tapi karena Riko menunggu, jadi aku mencoba yang terbaik untuk lebih dekat dengannya. Meski begitu, lenganku masih berada di luar payung.


"Eh, aku akan mendekat lebih ke sini."


"Tunggu tunggu. Kalau begitu... tubuh Riko hampir seluruhnya di luar, tahu?"


Aku mulai berani memanggilnya dengan nama panggilan beberapa hari yang lalu. Meski di dalam hati aku bisa memanggilnya 'Riko', tapi melakukannya dengan suara masih membuatku gugup.


Tapi, bagaimana ini. Jika terus begini, kami tidak akan bisa keluar dari hujan.


Kami saling bertatap mata dengan wajah cemas.


Kemudian, mata Riko tampak seolah-olah dia telah mengambil keputusan dia mendekat dengan langkah besar.


"Minato-kun, pegang payung ini."


"Ah, o-oke?"


Aku memegang payung yang diberikan padaku tanpa mengerti apa-apa. Lalu, tiba-tiba──.


"Eh, wa!?"


Tubuh lembutnya tiba-tiba menempel eret di sisi kananku.


Saat aku hendak menarik diri, lenganku dicengkeram, dan aku dipegang erat dengan kedua tangannya.


Jantungku berdetak cepat.


"Eh, wah!? A-apa yang terjadi...!?"


"Minato-kun, kamu tertangkap."


"..."


"Kupikir kalo aku tidak begini, kamu pasti akan lari dari sisiku dan jadi basah kuyup."


Riko berkata dengan wajah memerah sambil masih memegang erat lenganku kananku. Melihat wajahnya yang memerah, aku tahu dia juga sangat malu.


"Baiklah. Aku tidak akan melepaskanmu sampai kita sampai rumah, oke? Ayo pulang...?"


Dengan refleks aku menggaruk ujung hidungku, lalu mengangguk ke Riko.


Mungkin aku juga sekarang sama merahnya dengan Riko.


Berbagi payung, sungguh menakutkan...





Posting Komentar

نموذج الاتصال