Kamu saat ini sedang membaca Tsukushita garina uchi no yome ni tsuite derete mo ī ka? volume 1, chapter 2 cerita 5. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw
MEMBERIKAN KEBERANIAN PADA DIRIKU YANG TIDAK PERCAYA DIRI
Pukul 21:30. Setelah aku kembali dari kerja paruh waktu-ku, aku berdiri di depan pintu kamar 707 dengan perasaan lebih gugup dari biasanya.
Tidak apa-apa, tenang saja. Yang terbaik adalah tetap santai dan biasa saja.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menekan interkom. Dan segera uara manis Riko terdengar, lalu pintunya mulai terbuka.
Sambil tersenyum dan berkata 'Selamat datang kembali', Riko mengulurkan tangannya untuk mengambil tasku.
Namun, hari ini tidak bisa. Aku tidak bisa memberikan tas ini.
"Maaf, Riko! Aku akan membawa tasku sendiri! Dan juga, mulai sekarang jangan khawatir soal tas ini setiap hari. Terima kasih untuk selama ini!"
Aku mengucapkan kata-kata yang sudah aku simulasi berulang kali di dalam kepalaku dengan cepat. Riko berkedip berulang kali sebelum berbicara dengan mata yang tampak sedih.
"Eh... maaf, aku tidak menyadari... Kamu tidak suka aku membawa tasmu, ya..."
"A, tidak... Bukan karena aku tidak suka, tapi karena aku merasa tidak enak! Dan juga, hari ini ada sedikit alasan..."
"..."
Tunggu. Tolong jangan melihat ke bawah dengan wajah sedih seperti itu. Itu terlalu menyedihkan untuk dilihat.
"Aku bohong kok! Jadi tolong lupakan apa yang barusan ya! Bolehkan aku minta bantuanmu membawanya!?"
Ketika seorang gadis hampir menangis, seorang pria yang mencoba menyelesaikan masalah tanpa berpikir hanya menunjukkan betapa terdesaknya dia. Itu bukan karena dia mencoba untuk menghindari masalah dengan mudah.
Riko tidak menyalahkanku, dan malah berkata, 'Aku minta maaf karena membuatmu memaksakan diri...'
Mengingat betapa perhatiannya Riko, aku merasa semakin tidak nyaman.
Karena dibandingkan dengan Riko, aku ini seperti apa.
Dalam kasus ini, meskipun aku berpikir banyak, aku mengambil tindakan yang dangkal dan dengan mudah melukai perasaan Riko.
Lupakan saja isi tas itu untuk sementara waktu.
Apapun itu, yang harus kulakukan sekarang adalah meminta maaf dengan tulus.
"Sungguh aku minta maaf! Umm, kalau begitu! Apakah kamu bersedia membawa tas ku seumur hidup!?"
Aku menundukkan kepalaku dengan perasaan sungguh-sungguh menyesal.
Lalu aku merasakan Riko yang berdiri di depanku terkejut.
"Seumur hidup...?"
Wanjir. Aku mengatakannya lagi...! Pernyataan bodoh...
Ketika aku buru-buru mendongak dengan panik, aku melihat Riko yang wajah merah sampai telinga dan dia menutup mulutnya dengan kedua tangan dan tampak terkejut.
Eh. Apa maksud dari reaksi ini?
"Benarkah...?"
Meskipun aku tidak sepenuhnya memahami situasi saat ini, aku tahu bahwa jawaban yang benar di sini adalah 'iya'. Karena aku tidak ingin menyakiti Riko, jadi aku menjawab "iya", dan dia berkata "Wah... Ini seperti mimpi..." dengan suara kecil, dan dia langsung katuh berlutut.
"Eh, tidak! Aku terlalu gugup, ya. Malu sekali. Dan juga, maaf membuatmu repot..."
"Tidak... Apakah kamu benar-benar ingin membawa tas ini?"
"Uh-huh..."
Riko masih tampak malu, dan berkali menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya.
"Aku ingin membantu Minato-kun yang lelah dengan pekerjaan paruh waktunya, meski hanya sedikit. Lagipula, hal seperti ini seperti menjadi seorang istri, kan? Itu sebabnya aku selalu senang melakukannya."
Riko berkata sambil tersenyum malu.
"Uh... apakah itu... karena gadis-gadis biasanya bermimpi menjadi istri yang baik?"
Seperti anak laki-laki yang bercita-cita menjadi pilot dan dia akan merasa terharu saat dia duduk di kokpit, atau gadis yang ingin menjadi guru dan dia merasa senang saat pertama kali berdiri di depan kelas. Aku ingin tahu apakah itu emosi seperti itu. Yah meskipun aku tidak tahu apa masih ada gadis yang bercita-cita menjadi 'istri' yang baik di zaman sekarang, itu satu-satunya alasan yang bisa kupikirkan.
Riko mengerang menanggapi pertanyaanku dan menurunkan alisnya.
"Hanya dengan bermimpi menjadi istri yang baik, ada kata-kata penting yang kurang... Tapi, ya! Itu saja sudah cukup."
"Apa yang kurang?"
"Tidak, tidak apa-apa. Jangan khawatirkan itu...! Ngomong-ngomong, bagaimana pekerjaan paruh waktu-mu hari ini? Karena hari ini Hari Pasangan, apakah ramai?"
"Karena film yang ditayangkan cukup spesifik, rasanya tidak terlalu ramai. Mungkin Ladies' Day berikutnya yang akan lebih ramai."
Obrolan ringan seperti ini jauh lebih nyaman daripada membicarakan apa yang dipikirkan satu sama lain.
Tentu saja, bukan berarti aku sama sekali tidak gugup. Ini hanya sedikit lebih baik, meskipun suaraku masih bergetar dan isi pembicaraanku masih agak kacau.
Meski begitu, Riko selalu mendengarkan dengan penuh perhatian, dan meski apa yang kukatakan benar-benar membosankan, dia selalu tertawa dengan riang.
Saat berbicara sambil dia mencoba mengambil tas, aku tidak lagi menghentikannya.
"Oh! Tapi hari ini, tolong pegang tasnya secara vertikal..."
"Vertikal? Seperti ini?"
"Ya, seperti itu. Terima kasih."
Kenapa aku meminta dia memegang tas secara vertikal?
Setelah mengatakan bahwa aku akan berganti pakaian sebelum makan dan menuju kamar tidur, hal pertama yang aku lakukan sebelum melepas seragamku adalah membuka tas dan memeriksa isinya dengan cepat.
Kotak yang aku simpan di dasar tas masih utuh dan dalam kondisi sama seperti saat aku memasukkannya.
"Syukurlah... Tidak rusak..."
Aku bergumam sendiri dan dengan hati-hati mengeluarkan sebuah kue stroberi yang aku beli di kombini saat perjalanan pulang. Aku takut kue ini akan hancur.
Aku ingin berterima kasih pada Riko atas semua yang dia lakukan.
Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya.
Hari-hari berlalu tanpa aku bisa melakukan apa-apa, hingga akhirnya siang ini aku mendapatkan ide untuk memberikan sesuatu sebagai tanda terima kasih.
Tapi, aku benar-benar tidak tahu apa yang di sukai Riko.
Sebenarnya, cara termudah dan tercepat adalah bertanya langsung padanya. Tapi itu hanya berlaku jika orang yang ditanya bukanlah gadis yang kamu sukai.
Sangat sulit untuk bertanya pada gadis yang kamu sukai tentang apa yang dia suka.
Aku takut kalo aku menanyakan pertanyaan seperti itu, itu akan mengungkapkan perasaan ku, jadi aku tidak mungkin menanyakannya dengan santai.
Akhirnya, aku menggunakan referensi ketika Riko membelikan ku kue dan berkata ‘hari peringatan dipanggil dengan nama'. Saat itu, Riko tampak sangat menikmati kue tersebut. Meskipun aku tidak tahu apakah itu kesukaannya, setidaknya dia tidak membencinya.
Dengan pemikiran itu, aku membeli kue ini...
Tapi, saat aku melihat kotak itu, tiba-tiba aku merasa cemas.
Tutup transparan dari plastik terlihat sangat murahan.
Ketika aku melihatnya di sudut makanan penutup di kombini, kue ini terlihat sangat istimewa dibandingkan dengan puding atau mousse coklat kecil lainnya.
Namun, kue yang aku beli dengan harapan bisa membuat Riko senang terlihat sangat mengecewakan di bawah lampu neon di kamar tidurku, tidak terlihat enak sama sekali.
... Bukankah kue biasanya dibeli di toko kue?
Benar. Kue yang Riko beli pun dikemas dalam kotak putih yang cantik.
Kenapa aku tidak menyadari hal dasar seperti itu?
—Ya, aku tahu alasannya.
Selama hidupku, aku belum pernah memiliki pengalaman membeli kue untuk seseorang.
"Mana mungkin aku bisa memberikan ini sebagai tanda terima kasih."
Orang yang menerimanya juga pasti akan bingung bagaimana harus bereaksi.
Tidak ada pilihan lain. Aku harus memakannya sendiri diam-diam ketika Riko sedang mandi.
"Kenapa aku malah membeli yang isi dua..."
Saat aku bergumam sambil menghela nafas, saat itu terdengar suara ketukan di pintu.
Gawat...! Itu Riko.
Aku buru-buru mencoba menyembunyikan kue itu di tasku. Tapi aku terlalu terburu-buru dan segalanya tidak berjalan baik.
"Ah, sial. Kenapa malah tersangkut?"
"Minato-kun?"
Suara Riko yang terdengar heran memanggil dari balik pintu.
Kalau dibiarkan lebih lama, akan terasa aneh.
Dengan terpaksa aku menyembunyikan kue di belakang punggung dan menjawab panggilan itu. Riko yang mengenakan celemek pun muncul.
"Aku hanya ingin bertanya padamu, apa boleh aku mulai memanaskan makanan?"
"Ah, ya! Silakan..."
"Minato-kun, apa kamu sedang menyembunyikan sesuatu?"
"Kenapa kamu berpikir begitu?"
"Karena Minato-kun sangat mudah di baca. Jadi apa itu?"
Dengan nada bercanda, Riko mencobamengintip ke belakangku.
"Ah, jangan!"
Aku memutar tubuhku mati-matian untuk menghindari tatapannya.
Dan karena tindakanku untuk menghindari pandangan Riko itu ternyata malah membuat kotak kue di tanganku jatuh ke lantai dengan bunyi gedebuk.
Meskipun tutupnya tidak terbuka, kue di dalamnya terbalik dan menjadi tidak berbentuk.
"Maafkan aku! Ini karena aku bercanda..."
"Itu bukan salahmu kok, Riko."
Kami berdua berjongkok untuk mengambil kue itu.
"Ku... kuenya hancur. Maafkan aku."
"Ini salahku karena mencoba menyembunyikannya. Jadi jangan khawatirkan ya."
"...Kenapa kamu menyembunyikannya?"
"...."
Benar juga. Sekarang aku tidak bisa mengatakan bahwa kue ini untuk diriku sendiri. Karena kalau begitu, aku tidak perlu menyembunyikannya.
Dengan napas berat, aku mengaku bahwa kue itu sebenarnya untuk berterima kasih kepada Riko.
"Untukku..."
"Tapi seperti yang aku bilang, aku sadar bahwa kue dari toko serba ada bukanlah hadiah yang pantas, jadi aku ingin melupakan ini. Besok aku akan beli di toko kue yang lebih bagus, jadi tolong lupakan kue ini?"
"Itu tidak mungkin. Karena aku sangat senang."
"Tak perlu berpura-pura senang."
"Aku tidak berpura-pura."
"Tidak apa-apa, aku mengerti. Aku tahu aku tidak bisa membuatmu bahagia, Riko. Maafkan aku yang selalu merepotkanmu. Aku merasa sangat tidak berguna."
"Jangan bilang begitu...!"
"..."
Mendengar kata-katanya yang begitu tulus sambil dia menatap lurus ke mataku, membuat bahuku gemetar.
Riko berada sangat dekat denganku. Cukup dekat sehingga aku bisa melihat diriku terpantul di matanya.
Aku merasa gugup dan aku berpaling seakan ingin melarikan diri, tapi tangan hangatnya menyentuh pipiku dan menangkupnya, memaksaku untuk melihat ke atas.
Riko memegang pipiku dan terus menatap mataku.
Aku sangat terkejut hingga aku tidak bisa berkata apa-apa.
Bukan hanya karena dia menyentuhku seperti itu, tapi juga karena wajahnya terlihat lebih terluka daripada aku. Itu sangat mengejutkanku.
Kenapa... Kenapa wajahnya seperti itu... Apa kata-kataku melukai Riko...?
Tapi... aku hanya merendahkan diriku sendiri...
"Tolong. Jangan berpaling dari perasaanku."
"Riko..."
"Minato-kun, setiap kali aku memasak, kamu selalu bilang 'enak'. Dan setiap kali aku melakukan pekerjaan rumah, kamu selalu bilang 'terima kasih' atau 'hebat!'. Kamu selalu memperhatikan perubahan kecil dan selalu menyatakannya dengan kata-kata. Semua itu bukan hal yang mudah. Aku pikir itu karena Minato-kun adalah orang yang penuh perhatian dan empati."
Apa yang kamu katakan? Itu semua tentangmu Riko, bukan tentangku.
"Apa yang aku lakukan sebagai tanda terima kasih tidak ada nilainya dibandingkan dengan apa yang kamu lakukan untukku..."
"Ah, tidak... Minato-kun, kamu tidak mengerti...! Kamu tidak tahu seberapa besar kata-katamu mengisi hatiku! Baka!"
"Ah, maaf."
Untuk pertama kalinya aku dimarahi oleh Riko, aku secara refleks meminta maaf.
Aku tidak punya waktu untuk memahami kata-kata yang dia ucapkan sebagai sebuah bahasa.
Mungkin karena keheranan melihat reaksiku yang menyedihkan, dia bergumam, '... licik...', lalu kembali menunjukkan wajah lembutnya.
"Intinya, Minato-kun, kamu jauh lebih baik daripada yang kamu kira."
"Tapi..."
"Apa kamu pikir kata-kataku bohong?"
"Tidak, tentu saja tidak."
"Kalau begitu percayalah padaku. Minato-kun sangat luar biasa."
"..."
Kata-kata yang Riko berikan padaku seperti sihir yang menenangkan hatiku.
Aku selalu berpikiran negatif, tidak percaya diri, tapi gadis yang kukagumi mengatakan padaku bahwa pria tak berguna sepertiku ini sungguh luar biasa.
Aku tidak menyukai segala sesuatu tentang diriku, tapi kata-katanya itu membuatku merasa seperti ada secercah harapan kecil yang bisa aku percayai.
"Lagipula, Minato-kun, sebenarnya kamu tidak perlu mengucapkan terima kasih atau semacamnya. Aku tidak melakukan pekerjaan rumah ini karena mengharapkan imbalan. Aku hanya ingin berguna sebagai istrimu, dan aku akan senang jika itu bisa membuatmu bahagia."
"Kenapa?"
Pertanyaan sederhana muncul di benakku, dan ketika aku mengucapkannya, Riko terkejut dan seluruh tubuhnya bergetar.
"Ah, ah, uh, uh... itu..."
Ini benar-benar berbeda dari Riko yang sebelumnya, dan dia mulai tergagap.
"Pokoknya, Minato-kun, tolong biarkan aku terus melakukan ini seperti biasanya..."
"Tapi, kenapa—"
"Uh, itu karena... aku suka melayani..."
"Eh?"
"Aku merasa paling bahagia ketika aku melakukan yang terbaik karena mau tidak mau aku ingin melakukan yang terbaik..."
"Begitu..."
Akhirnya aku memahami mengapa dia selalu mengurusku dengan baik. Tapi aku tidak menyangka bahwa Riko adalah tipe orang yang merasa bahagia dengan melayani orang lain... Ini benar-benar mengejutkan.
Aku lalu tiba-tiba teringat pada acara TV yang pernah aku tonton, 'Spesial Komedian Wanita yang Terjebak dengan Pria Pemalas'. Mereka bercerita tentang bagaimana mereka menghabiskan uang untuk pria yang kecanduan judi atau menyiapkan makan malam setiap hari untuk pria yang suka berselingkuh. Setelah itu, mereka dengan aneh berkata, 'Tapi aku tetap mencintainya, jadi aku tidak bisa berhenti melayani'.
...Apa Riko akan baik-baik saja? Dia bisa saja jatuh ke dalam jalan yang sama dengan mereka.
"Aku tidak punya niat untuk menyangkal selera Riko, tapi harap berhati-hati agar tidak jatuh cinta pada orang jahat. Sepertinya ada beberapa pria di dunia ini yang memanfaatkan kebaikan semacam itu."
Aku serius khawatir dan menyampaikan itu, lalu Riko tertawa kecil.
"Apa itu berarti Minato-kun adalah orang jahat?"
"Eh!? Aku!? Tidak, aku bukan tipe orang seperti itu..."
Aku tidak pernah ingin menipu atau memanfaatkan wanita.
"Kalau begitu, aku tidak akan tertipu oleh pria jahat."
Meski aku tidak sepenuhnya mengerti apa yang dia maksud, 'Kalau begitu' aku lalu bertanya, "Apa kamu yakin?" dan dia mengangguk tegas sambil berkata, "Benar-benar."
"Begitu..."
Aku tidak ingin melihat Riko sedih. Jadi, aku sangat lega ketika dia mengatakan itu dengan tegas.
★★★
Setelah itu, Riko memindahkan kue yang hancur di dalam kotak ke piring dengan rapi, dan kami berdua memakannya bersama teh yang diseduh oleh Riko.
Rasanya tetap seperti kue yang dibeli dari konbini.
Tapi, Riko terus tersenyum. Terlebih lagi, dia mengatakan ini dengan suara kecil sambil menikmati kuenya.
"Hei, Minato-kun. Aku sangat bahagia sekarang..."
Pada saat itu, rasa stroberi di mulutku terasa puluhan ribu kali lebih manis.
Aku tidak tahu kalau Riko begitu menyukai kue hingga dia bilang dia sangat senang, tapi aku senang telah membelinya.
Lain kali, aku akan memberanikan diri untuk masuk ke toko kue yang benar.
Toko kue mewah yang bergaya di depan Stasiun Ofuna. Aku tahu toko itu memiliki reputasi bagus dengan rasa yang enak. Tapi, setiap kali aku melihat ke dalam, toko itu selalu penuh dengan pelanggan wanita, dan aku tidak pernah punya keberanian untuk masuk ke sana, dan aku selalu melewatinya dengan cepat.
Tapi, kalo demi Riko, aku pikir aku bisa pergi ke sana dan membelinya.
Karena Riko langsung menegaskan siapa aku sebagai pribadi...
Berkat itu, aku mungkin menjadi orang yang sedikit lebih kuat.