Kamu saat ini sedang membaca Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu volume 4, chapter 1. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw
ARTINYA MEMULAI KEMBALI
Musim orientasi mahasiswa baru mulai mendekati akhirnya.
Pohon-pohon sakura yang sebelumnya bermekaran penuh kini hanya menyisakan sedikit kelopak, digantikan oleh daun-daun hijau yang mulai bermunculan.
Rasa dingin yang kadang terasa pun perlahan mulai menghilang, dan bahkan di pagi hari yang masih sangat dini, udaranya terasa cukup nyaman.
Waktu baru saja menunjukkan lewat pukul 6 pagi.
Tapi, aku sudah berjalan pulang dari minimarket terdekat dengan kantong plastik di tanganki.
Sudah berapa lama sejak terakhir kali aku memulai aktivitas sepagi ini?
Meskipun, sejujurnya, tidak jarang aku terjaga sampai waktu ini tanpa tidur sama sekali.
Berpakaian santai dengan piyama dan sandal seperti ini tentu saja bukan pakaian yang pantas untuk keluar saat jam-jam sibuk.
Tapi, pada waktu seperti ini, sepertinya hal itu masih bisa diterima.
Seorang pria tua yang sedang berjalan-jalan dengan anjingnya menyapaku dengan anggukan kecil, dan aku membalasnya dengan sedikit membungkukkan kepala.
Hanya pada waktu-waktu seperti ini, bertukar anggukan hanya karena bertatap mata dengan orang asing terasa wajar.
Sesampainya di apartemen ku, aku meletakkan kantong plastik itu dengan sembarangan di depan pintu masuk.
Isinya adalah beberapa persediaan harian untuk sarapan yang mulai terlihat dari dalam kantong: roti manis, onigiri, dan makanan-makanan murah lainnya yang menjadi andalan para mahasiswa.
Aku membawa roti manis di tangan dan berjalan menuju kamar.
Ruangan itu masih remang-remang karena tirai tertutup rapat, tapi aku tidak peduli dan langsung membuka bungkus roti manis itu.
Alasan aku bangun pagi hari ini adalah karena ada mata kuliah di jam pertama dengan nilai kehadiran yang cukup tinggi.
Masa registrasi mata kuliah sudah berakhir, jadi setiap ketidakhadiran akan membuat peluang lulus semakin sulit.
Karena ingin mendapatkan nilai dengan cara yang lebih mudah, aku memasang alarm dengan selang waktu lima menit mulai dari satu jam sebelum waktu yang harusnya aku bangun.
Tapi entah kenapa, hari ini aku terbangun hanya dengan satu kali alarm.
"....Dingin."
Setelah bergumam pelan, aku memasukkan roti manis itu ke mulut.
Belakangan ini aku lebih sering makan makanan hangat, sehingga kunjunganku ke minimarket jadi jauh lebih jarang.
Meskipun terasa lebih sehat, aku merasa roti manis ini tidak lagi terasa enak seperti dulu.
Ada sedikit rasa kehilangan yang menyertainya, tapi mungkin itu adalah sebuah kemewahan yang tidak perlu diratapi.
Sambil merenungkan hal itu, aku membuka tirai dengan roti manis masih di mulut, berharap ini bisa membantu menyadarkan pikiranku.
Ditambah lagi, melihat layar Hp biasanya cukup untuk sepenuhnya membuatku terbangun.
Dengan satu mata menyipit karena silau matahari pagi, aku memeriksa Hp-ku.
『Hari ini kau harus tidur lebih cepat ya. Selamat malam!』
Ini adalah pesan yang aku terima kemarin.
Isinya tepat sebelum tengah malam, tapi bagi seseorang yang tahu seberapa sering aku begadang, kata-kata seperti itu mungkin muncul.
Tapi, pengirimnya bukan Ayaka atau Shinohara.
Tapi 'Reina' tertera sebagai pengirim.
Sambil membuka layar percakapan, aku mengingat kejadian minggu lalu.
— Memulai dari nol, kata Reina.
Sejak itu, selama seminggu, kami bertukar pesan setiap hari melalui Line.
Meski setiap hari, bukan berarti kami sering berkomunikasi. Hanya 2 atau 3 kalimat saja.
Tapi, waktu yang tenang seperti ini, yang sebelumnya tifak terpikirkan, kini mengalir di antara kami berdua.
『Selamat pagi. Hari ini aku ada kelas pertama.』
Setelah mengirim pesan itu, aku berhenti sejenak.
Lalu aku melanjutkan,『Aneh, aku bisa bangun dengan alarm pertama.』
Reina tahu betul kalo setiap pagi aku sering mematikan alarm berulang kali.
Meskipun begitu, aku jarang terlambat saat kencan, itu semua berkat alarm yang terus berbunyi secara berkala.
...Kencan, ya.
Dulu, hubungan kami seperti itu. Sudah lama aku ingin merokok lagi, tapi setelah berhasil berhenti selama beberapa bulan, tifak ada satu pun bungkus kosong di rumah.
"....Sial."
Tanpa ditujukan kepada siapa pun, aku bergumam.
Mungkin gumaman itu ditujukan untuk diriku sendiri.
Waktu yang kuhabiskan bersama Reina tanpa diragukan lagi merupakan masa bahagia bagiku saat itu.
Saat menerima pernyataan cintaku, Reina berkata, "Aku akan membuatmu bahagia." Dan memang begitulah yang terjadi.
Tapi, yang menghancurkannya adalah diriku sendiri.
Selama seminggu ini, setiap kali pesan dari Reina tiba, dadaku terasa nyeri.
Aku tidak bisa melihat ekspresi Reina melalui layar.
Apa yang sebenarnya dipikirkan Reina saat mengetik pesan-pesan itu?
Tapi, mungkin seharusnya aku tidak diizinkan untuk membayangkan hal-hal seperti itu.
Kemampuan kami untuk memulai kembali hubungan ini sepenuhnya berkat kelapangan hati Reina.
Tapi, kami tidak bisa kembali.
Tidak mungkin menggantikan waktu itu dengan masa kini.
Dengan pemahaman bersama inilah, akhirnya kami dapat memulai kembali.
Hubungan yang berbeda dari hubunganku dengan Shinohara atau Ayaka, hubungan yang tidak sempurna.
Meskipun begitu, kini aku berpikir, kalo hubungan kami terputus begitu saja, perasaan yang mengganjal di dadaku ini tidak akan hilang meskipun waktu berlalu.
Aku sadar kalo memikirkan hal ini segera setelah rekonsiliasi, padahal akulah yang memilih untuk menjauh, adalah sikap egois.
Aku merasa sangat membenci diri ku sendiri karenanya.
...Tapi. Aku tetap merasa bersyukur kami bisa memulai kembali.
★★★
Mungkin karena aku tiba di kampus lebih awal, masih sedikit mahasiswa yang terlihat.
Sekitar 30 menit sebelum kelas pertama dimulai, kampus biasanya mulai dipenuhi oleh mahasiswa seperti biasa.
"Senpai, kau terlihat tidak bersemangat? Padahal sudah seminggu sejak terakhir kita bertemu."
"Aku baik-baik saja. Kalo di pagi hari aku memang selalu seperti ini."
Aku menjawab dengan nada datar, kemudian meneguk café au lait yang baru saja kubeli dari mesin penjual otomatis.
Di bangku lantai 2 gedung 5, aku duduk berdampingan dengan Shinohara.
Di kampus ini, hanya dia yang memanggilku 'Senpai'.
Dengan atasan berwarna krem dan rok merah cerah, gaya khas Shinohara akan segera menarik perhatian banyak orang seiring berjalannya waktu.
Sebelum itu terjadi, aku berharap kalo aku sudah berada di dalam ruang kuliah.
"Aku tahu kalo Senpai tidak terlalu bersemangat di pagi hari, tapi mengapa sejak tadi kau sama sekali tidak melihat ke arahku?"
Saat aku masih mencari jawaban yang tepat, Shinohara berkata dengan nada seolah-olah baru saja mendapatkan ide bagus.
"Tidak apa-apa kalo Senpai mengatakan sesuatu yang tidak benar-benar Senpai rasakan."
"Kalo kau melihat hal yang terlalu indah di pagi hari, itu bisa membuat sisa hari terasa berat."
"Haha, kalo begitu, kenapa kita tidak bersama saja sepanjang hari... Tunggu, apa itu berarti Senpai tidak benar-benar merasa begitu?"
Di sudut pandanganku, aku melihat Shinohara mundur sedikit.
Aku tidak bisa mengikuti semangat tinggi dari Kouhai-ku di pagi hari, jadi aku menghela napas kecil.
"Ah, sudah seminggu ya."
Aku menatap ke atas seolah melihat langit-langit, lalu bersandar sepenuhnya pada sandaran kursi.
Tapi, bangku yang keras sepertinya tidak menyukai aku yang terlalu rileks, sehingga dia memberikan rasa sakit sebagai balasannya.
"Sudah seminggu sejak Senpai bertemu Reina. Sejak hari itu, aku juga kebetulan sibuk dan tidak bisa datang ke apartemenmu, tapi aku tidak menyangka selama itu kau tidak menghubungiku sama sekali!"
"Kau juga tidak menghubungiku, kan? Kalo kau mengirim pesan di Line, tentu aku akan membalas."
Aku menjawab dengan suara datar, lalu Shinohara mengguncang bahuku dengan keras.
"Aku ingin! Menciptakan komunikasi yang aktif dari Senpai!"
"Aduh, aduh, aduh."
Aku mengeluarkan suara saat diguncang, dan tiba-tiba dia melepaskan tangannya, membuatku hampir terjatuh dari bangku.
Aku ingin mengeluh tentang betapa tidak menyenangkannya dia melepaskan tangannya saat aku bergantung padanya.
Tapi, melihat ekspresinya, aku menahan diri.
Tatapan matanya tidak menunjukkan warna mengejek.
Meskipun tidak ada ejekan, upaya untuk menjatuhkan ku tetap terasa menakutkan.
Tapi, saat ini, perasaan tersebut sebaiknya aku simpan untuk diri ku sendiri.
"Senpai, bagaimana?"
"Apa kita akan membicarakannya di sini?"
Aku bisa menebak apa yang Shinohara tanyakan dan melihat sekeliling.
Tapi, tidak ada seorang pun di sekitar kami.
Mungkin karena masih ada waktu sebelum kuliah dimulai, tapi jarang sekali kampus sepi seperti ini.
"Kita bisa membicarakannya di sini."
"Baiklah."
Aku mengangguk dengan enggan atas konfirmasi Shinohara.
Sebenarnya, aku berniat menceritakan hal ini saat Shinohara datang ke apartemen ku.
Hari itu, meskipun dia lebih muda, Shinohara banyak memberi dorongan kepada ku.
Apapun hasilnya, aku bisa memulai kembali dengan Reina berkat bantuan Kouhai ini.
Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk tidak menceritakan kejadian ini kepada Shinohara.
"Seperti yang kau katakan."
Saat aku mulai berbicara, Shinohara terkejut.
"Apa yang aku katakan?"
"Kau bilang ada ruang untuk pertimbangan."
Aku merasa sedikit canggung mengingat kata-kata ku sendiri.
"Bukan hanya ada ruang, semuanya adalah kesalahanku."
Seandainya aku lebih memahami perasaan Reina, mungkin hal seperti itu tidak akan terjadi.
Kalo otak ku yang tidak berguna ini memiliki sedikit saja kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain, kesalahpahaman seperti itu seharusnya bisa dihindari.
Aku menggigit bibirku dengan erat dan menundukkan kepalaku.
Aku benar-benar merasa muak.
Aku tidak melakukan hal-hal tidak bermoral seperti yang dilakukan Sakakishita saat di SMA, yang dengan sengaja menyakiti orang lain.
Aku yakin aku tidak memiliki pemikiran tidak bermoral seperti itu.
Tapi, kalo pada akhirnya aki telah menyakiti Reina, bukankah aku juga termasuk dalam kategori yang sama?
Selama seminggu ini, pemikiran seperti itu terus menghantui ki.
"Intinya, aku kurang kata-kata, ya?"
"Eh?"
Ketika aku mengangkat wajahku, Shinohara memiringkan kepalanya sedikit.
"Kalo kata-katanya kurang, tentu saja akan terjadi kesalahpahaman. Kalo tidak diungkapkan sampai akhir, wajar kalo kesalahpahaman terus berlanjut."
Aku tidak bisa menemukan kata-kata untuk membalas Shinohara, jadi aku terdiam.
Meskipun tidak mengatakan apa-apa, kalo pasangan kita bisa memahami perasaan kita, itu bisa dianggap sebagai hubungan ideal dalam konteks percintaan.
Tapi, mungkin itu hanya keinginan semata. Salah satu pihak, atau bahkan keduanya, harus menahan diri.
Cara untuk mengurangi jumlah penahanan diri tersebut adalah dengan saling menyampaikan pemahaman melalui kata-kata.
Dengan membangun kembali hubungan melalui komunikasi yang mendalam, mungkin suatu saat kita bisa mencapai hubungan di mana pasangan kita bisa memahami perasaan kita tanpa kata-kata.
Bagaimana dengan aku dan Reina?
... Tidak perlu dipikirkan lebih lanjut. Jawabannya ada pada keadaan saat ini.
"Senpai, selama seminggu ini pasti kau merasa sangat tertekan dan menyalahkan dirimu sendiri kan? Itu terlihat dari wajahmu."
Shinohara melanjutkan sambil mengayunkan kakinya di bangku.
"Tapi, Senpai, bukan hanya Senpai yang kekurangan kata-kata, tapi juga Reina. Karena dia menyadari hal itu, dia berusaha memulai kembali hubungannya dengan mu, bukan?"
"Meskipun begitu, aku yang memicu perpisahan."
Memang, seperti yang dikatakan Shinohara, kalo Reina mengungkapkan perasaannya, semuanya mungkin akan berjalan dengan baik.
Tapi, yang memicu perpisahan adalah aku sendiri, karena aku tidak mengungkapkan perasaanku.
Tidak mungkin aku mengatakan kalo Reina juga salah.
"Tentu saja, pemicu seperti itu bisa terjadi di mana saja. Kali ini, kebetulan itu terjadi pada pihak Senpai."
Shinohara berdiri dan pindah ke depanku.
Dengan punggungnya yang menghadap ku, Shinohara menyatukan tangannya di belakang dan memainkan jarinya.
Sepertinya dia sedang merumuskan pikirannya, dan akhirnya dia berbalik menghadap ku pagi.
"Dengan saling mendukung, hubungan kita akan semakin dalam. Kita akan menjadi seperti keluarga. Bukankah itu yang dimaksud dengan pasangan? Meskipun aku tidak tahu pasti."
"Kau tidak tahu?"
Karena aku mendengarkan dengan serius, aku mengerucutkan bibir ku.
Shinohara lalu mengangguk pelan.
"Aku tidak tahu. Aku belum pernah mengalami hubungan yang begitu dalam. Pengetahuan ku hanya berasal dari acara-acara tentang cinta yang aku tonton."
"Begitu."
Di rumahku, aku juga terkadang menonton acara tentang percintaan, dan ternyata ada beberapa topik yang cukup serius yang dibahas dalam acara tersebut.
Salah satunya adalah fitur wawancara jalanan yang cukup berani, yang meninggalkan kesan mendalam.
Itu membuatku merasa sedikit terkejut.
"Itu sebabnya, dari sudut pandangku, yang menyaksikan dan mendengarkan percakapan kalian ber-2 dari luar, aku pikir kalo kalian ber-2 sama-sama memiliki kesalahan, itu yang sebenarnya. Tapi, karena Senpai adalah Senpai, aku yakin kau tidak akan melakukannya, mungkin kau akan memahami pendapatku, tapi tidak akan setuju, kan?"
Dengan kata-kata yang seolah-olah bisa membaca pikiranku, aku hanya mengangguk.
Aku tidak berpikir kalo argumen Shinohara ini merupakan pandangan umum masyarakat, tapi dia tetap memiliki dasar yang bisa dipertimbangkan, jadi aku tidak bisa begitu saja mengabaikannya.
"Kalo begitu, sebagai seseorang yang sudah cukup lama berinteraksi denganmu, izinkan aku untuk memberikan sedikit pendapat!"
Shinohara meletakkan tangannya di pinggang dan berdiri tegak.
"Cara terbaik untuk menebus kesalahanmu sekarang bukanlah dengan berlarut-larut merasakannya. Tapi, kau harus berbicara dengannya seperti dulu sebelum kalian ber-2 berpacaran. Apa yang sebenarnya diinginkan oleh Reina-san saat ini adalah berbicara denganmu seperti biasa."
Dia berbicara seolah-olah dia benar-benar mengerti tentang Reina, dan meskipun begitu, sepertinya itu bukanlah hal yang salah.
Itulah mengapa tidak ada protes yang muncul.
"Sebenarnya, aku ingin bilang pada mu untuk tidak terlalu memikirkan Reina-san, tapi itu bisa menimbulkan masalah, kan? Jadi, aku memutuskan untuk menyimpan kata-kata itu dalam hati saja."
"Tapi kau sudah mengatakannya kan? Kau sudah mengucapkan semuanya."
Kenapa semuanya harus diucapkan, aku rasa sebelumnya sudah pernah mengomentari ini.
"Selain itu, aku akan mengambil langkah duluan sebelum Senpai mengatakan apa-apa."
Aku bertanya pada Shinohara, yang mengangkat jari telunjuknya seolah-olah baru teringat.
"Apa maksudmu?"
"Aku akan berada bersama Senpai tanpa perlu khawatir tentang Reina-san."
Shinohara mengatakan itu tanpa ragu sedikit pun.
Aku terkejut sejenak, lalu menunggu reaksinya dengan diam.
"...Itu berarti..."
Aku berpikir keras untuk mencari kata-kata yang tepat.
Apa aku harus mengucapkan terima kasih?
Sebenarnya, akhir-akhir ini rasa terima kasihku terhadap Kouhai-kh ini semakin besar.
Aku bahkan merasa agak sentimental karena sempat menghentikannya datang ke rumah.
"Terima kasih banyak."
"Sama-sama! Tapi, Senpai, salah besar."
Shinohara tersenyum dan menyilangkan jari di mulutnya.
Gerakan yang sama seperti saat kami bertemu di perjalanan onsen.
"Apa maksudmu?"
"Aku ini tipe orang yang lebih suka menunjukkan rasa terima kasih lewat tindakan, bukan kata-kata."
"Aku tidak punya uang."
Tanpa sengaja aku memberikan peringatan, dan Shinohara mengerutkan wajahnya dengan sangat.
"Apa yang kau pikirkan tentang aku? Sebenarnya, aku punya uang jauh lebih banyak daripada Senpai, loh."
"Tolong jangan beri laporan bagian belakang itu, itu akan merusak harga diri pria yang lebih tua."
Meskipun aku masih seorang pelajar, rasanya tidak enak kalo aku kalah sepenuhnya dari seorang wanita yang lebih muda dariku.
Tapi, dengan penghasilan dari model salon yang dimiliki Shinohara, sepertinya tidak mungkin aku bisa mengalahkannya, setidaknya selama aku masih menjadi mahasiswa.
"Kalo kau punya harga diri seperti itu, sesekali buatkan aku makan, dong."
"Baiklah, tunggu saja, aku akan membuatmu terkesima!"
Melihat senyum nakal Shinohara yang menggoda, aku membalasnya dengan kata-kata yang sama.
Tapi, setelah senyumnya berubah menjadi kaku, Shinohara langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Benar... Eh!? Ja-Jangan serius, itu cuma bercanda!"
"Apa kau pikir masakanku beracun atau semacamnya?"
Memang, aku tidak bisa memasak dan aku lebih sering mengandalkan makanan dari supermarket atau makanan siap saji dari convenience store untuk mengisi perutku.
Tapi, itu hanya karena aku merasa kalo memasak itu sangat merepotkan, dan seharusnya kalo aku melihat resep yang sederhana, hasil masakanku tidak akan sampai hancur total.
"Aku tidak berpikir itu beracun, tapi aku tidak ingin mengonsumsi kalori dengan makanan yang tidak enak."
"Tolong, jangan kasih jawaban yang membuat hatiku benar-benar terluka!"
Sebenarnya, lebih baik kalo dia masih mengatakan itu beracun, karena setidaknya itu bisa dianggap sebagai candaan.
Karena aku terus-menerus mengabaikan pekerjaan rumah hanya karena tidak ingin menghabiskan energi di rumah, sepertinya kepercayaan juniorku sudah jatuh sepenuhnya.
Saat aku akan melanjutkan kata-kataku, aku tiba-tiba sadar kalo suasana sekitar mulai ramai.
Sekilas, aku melihat beberapa mahasiswa masuk ke ruang kuliah.
"Mereka masuk lebih awal sekali, ya."
Bagiku yang biasanya baru masuk 5 menit sebelum kuliah dimulai di pertemuan pertama, ini terasa seperti dunia yang asing.
"Biasanya memang seperti ini. Senpai saja yang sangat lemah di pagi hari. Aku ingin membantu memperbaikinya."
Kalo bisa, aku memang ingin dibantu, tapi aku lebih memilih untuk tidak terlalu menanggapi dan hanya mengangguk samar, karena aku ingin menghindari bel pintu yang dibunyikan berkali-kali saat tidur.
"Senpai."
"Hmm?"
"Aku senang Senpai akhirnya putus dengan Rena-san."
Aku kira topik tentang Reina sudah lewat begitu saja, jadi aku terdiam sejenak.
Shinohara menatapku dengan mata besar, seolah menunggu reaksiku.
"...Apa maksudmu?"
"Ah, apa kau ingin aku menjawab?"
Dengan sedikit rasa malu, dia menutup mulutnya dengan telapak tangannya.
"Karena Senpai yang kesepian setelah berpisah dengan Reina-san, Senpai berjalan dengan langkah lesu, itulah sebabnya kita bisa bertemu."
Pada musim Natal, aku bertabrakan dengan Shinohara yang mengenakan kostum Santa.
Dia menjatuhkan selebaran, dan sebagai permintaan maaf, aku mengajaknya untuk makan bersama.
Sepanjang hidupku, aku selalu membangun hubungan dengan orang-orang yang berada dalam lingkungan yang sama, baik saat di SMP maupun SMA.
Tapi, Shinohara berbeda.
Pada hari itu, di tempat itu, dengan perasaan seperti itu, aku berjalan di kota dan itulah yang menjadi kesempatan untuk aku dan Shinohara bisa akrab.
"Walaupun ada banyak tindakan yang memalukan dan bodoh yang menghasilkan hasil seperti itu, bahkan kalo kau sedang merasa terpuruk dengan hasilnya sekarang,"
Tiba-tiba Shinohara memberi winks ke arahku.
"Kau bertemu dengan ku! Kau mendapatkan keberuntungan luar biasa ini, jadi semuanya positif!"
Aku pun tertegun dan membuka mulutku.
Biasanya, aku akan mengeluarkan komentar nakal, tapi kali ini, aku merasa ada benarnya apa yang Shinohara katakan.
"Kau masih sangat percaya diri seperti biasa..."
"Hehe, jangan terlalu memujiku."
"Aku tidak memujimu."
"Eh!"
Dengan suara yang terdengar tidak setuju, Shinohara menanggapi, dan aku sedikit mengangkat sudut bibirku.
Setelah berdiri untuk menuju ruang kuliah, aku menghembuskan napas perlahan.
Mungkin aku harus sedikit mencontoh Kouhai-ku ini.
Seperti yang dikatakan Shinohara, hal yang harus aku lakukan sekarang adalah hal lain.
Tentu saja, penting untuk merenung.
Tapi, itu adalah sesuatu yang perlu dilakukan agar aku tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan.
Daripada merasa murung tentang hal yang sudah berlalu, yang lebih penting adalah memikirkan masa depan.
Itulah sebabnya kami harus memulai langkah baru.