CHAPTER 1
AWAL PERTEMUAN
CERITA 1
KENAPA AKU BISA MENJADI DEKAT DENGAN GADIS TERCANTIK DI SEKOLAH?
Hari itu, sejak pagi, suhunya sangat dingin. Berita di ponsel dan tren di Twitter penuh dengan tulisan 'Gelombang dingin terbesar tahun ini datang.'
Saat istirahat, obrolan yang ada hanya tentang 'Aku ingin makan hotpot' atau 'Aku ingin berendam di air panas untuk menghangatkan diri.' Dan pada sore harinya, akhirnya hujan bercampur salju mulai turun.
Di dalam kelas, meskipun pemanas sudah dinyalakan, udara dingin terus masuk dari lorong dan jendela.
Brr... Dingin sekali...
Dengan kondisi ini, memang wajar jika ingin menghangatkan diri dengan makan hotpot atau berendam di air panas.
Tapi, kedua orang tua ku sedang berada di luar negeri untuk urusan pekerjaan, jadi meskipun aku pulang ke rumah, aku tidak akan menemukan masakan hotpot buatan rumah.
Meski ada pot tanah liat di antara peralatan masak yang ditinggalkan oleh ibuku, tapi aku tidak bisa memasak. Selain itu, aku biasanya hanya mandi dengan shower, jadi aku tidak punya deterjen atau alat pembersih untuk membersihkan bak mandi.
Tanpa hotpot atau mandi air panas, menghadapi dinginnya cuaca ini terasa sangat sulit...
Saat aku memikirkan hal tersebut, tiba-tiba aku merasa merinding.
Terutama di bagian sekitar bahuku terasa sangat dingin. Awalnya aku mengira kalo tubuhku hanya kedinginan saja, tapi perlahan-lahan persendian ku juga mulai terasa nyeri.
Wah, ini serius.
Merasakan gejala flu, aku membungkuk.
Sejak aku mulai tinggal sendiri setelah masuk SMA, aku mengandalkan makanan dari konbini untuk tiga kali makan setiap hari.
Mungkin karena itu, dalam beberapa tahun terakhir aku jadi lebih mudah terserang flu.
Makanya aku tahu, ini benar-benar gejala yang serius.
Pelajaran tinggal dua jam lagi. Saat ini, kondisiki belum terlalu buruk jadi ku rasa aku tidak perlu pulang lebih awal.
Tapi, ternyata itu adalah keputusan yang buruk. Saat waktu membersihkan kelas setelah jam ke-6, aku malah memaksakan diriku, dan akhirnya aku sudah mulai berkeringat karena demamku yang meningkat.
Jika pada saat itu aku melaporkan kondisi tubuh ku yang tidak sehat pada guru, aku dan Hanae Riko mungkin tidak akan menikah.
Memikirkan hal itu, hidup ini terasa sangat menakutkan.
Tapi, pada saat itu, aku kebetulan berada di tempat kejadian kecelakaan, dan aku melakukan tindakan heroik yang tidak biasa bagi seorang pria pendiam seperti ku, yaitu 'menyelamatkan gadis tercantik di sekolah dari bahaya.'
Biasanya, aku akan terlalu banyak berpikir dan tidak akan bisa bertindak cepat seperti itu.
Sekarang, setelah mengingatnya kembali, mungkin karena demam, kemampuan berpikirku terganggu.
──Apa yang sebenarnya terjadi. Jika diceritakan secara rinci, begini ceritanya.
Minggu ini, aku dan Sawa adalah bagian dari kelompok yang bertugas membersihkan pintu masuk.
Sawa dan teman-teman lainnya tampaknya menganggap lantai keramik di depan rak sepatu yang licin karena hujan bercampur salju itu lucu, jadi mereka menggunakan sapu sebagai tongkat dan berteriak, 'Hoki!' sambil bermain-main.
Karena kondisi tubuh ku yang tidak baik, aku tidak bisa ikut bermain.
Bergerak sedikit saja membuat nafas ku terasa berat, badan ku terasa lemas, dan demam. Selain itu, kepala terasa sangat pusing.
Sambil berharap waktu pulang sekolah segera tiba, aku hanya menyapu seadanya, dan saat itu Hanae Riko muncul membawa tempat sampah.
Mungkin karena menyadari keberadaan Hanae Riko, Sawa dan teman-teman lainnya mendadak terdiam.
Tak seorang pun dari mereka yang bisa berbicara dengan Hanae Riko.
Saat Hanae Riko berjalan dengan memegang tempat sampah dengan kedua tangannya dan menjepit payung di lehernya, mereka bahkan tidak bisa berkata, 'Apa mau kami membantumu?' dan mereka malah melanjutkan permainan hoki mereka dengan agak berlebihan.
Tapi, mereka semua tampak tidak fokus, dan pandangan mereka terus mengikuti gerakan Hanae Riko.
Mungkin mereka berharap Hanae Riko akan sekilas melihat mereka.
Aku bahkan bida merasakan rasa cemas karena memilili harapan bodoh seperti itu, hingga membuat ku merasa tidak nyaman.
Aku bertanya-tanya mengapa pria begitu kekanak-kanakan...
Alasan aku tidak bergabung dengan Sawa dan kelompoknya adalah sebagian karena aku merasa tidak enak badan, dan sebagian lagi karena aku takut.
Aku, yang memiliki rasa percaya diri yang rendah, aku takut melakukan hal seperti itu dan kebetulan aku bertemu mata dengan Hanae Riko saat bermain, dia pasti akan berpikir 'Wah kamu seorang pria pemalu yang bertingkah aneh'.
Tidak, Hanae Riko bukan orang yang seperti itu. Dia bukan anak yang suka berbicara kasar.
Jadi ini hanya imajinasi ku saja.
Tapi tetap saja, mungkin aku akan dianggap sebagi pria yang susah dimengerti atau semacamnya...
Tepat setelah aku diam-diam mendesah, seolah-olah memberikan contoh bahwa tidak ada hal buruk yang bisa terjadi jika laki-laki bersenang-senang, lelucon Sawa dan yang lainnya menimbulkan bencana.
Sawa yang bercanda melemparkan kain lap, lalu Maeno mencoba membalas dengan melemparoan sapu. Gagang sapu itu mengenai payung Hanae Riko yang sedang berjalan dalam hujan es.
"Kyaa!"
Hanae Riko menjerit pelan dan dia kehilangan keseimbangan.
Tepat di depan mataku.
Payung dengan pola bunga merah terlempar ke udara.
Tong sampah jatuh dengan suara berat.
Ubin yang basah karena hujan es sama licinnya dengan arena seluncur es. Hanae Riko yang pucat terjatuh.
Anehnya, entah kenapa, rangkaian peristiwa itu menurut dari sudut pandang ku berjalan lambat.
Itu sebabnya aku bisa bergerak dengan cepat.
Sebenarnya, aku tidak merasa memiliki refleks yang bagus, dan ini adalah pengalaman pertama dan terakhirku melakukan hal semacam ini.
Aku meraih tangan Hanae Riko yang hendak terjatuh, dan menariknya ke arahku.
Jika aku bisa menyelamatkannya, itu pasti akan terlihat keren.
Sayangnya, kali ini aku yang terpeleset dan mendarat di es dengan pantat ku yang duluan.
Air hujan segera menembus seragamku dan perlahan meresap ke dalam celanaku.
Hujan bercampur kabut menimpaku. Mustahil. Ini tidak keren sama sekali.
Taoi, lega rasanya Hanae Riko melepaskan tangan ku sesaat sebelum aku terjatuh, jadi dia tidak terjebak di dalamnya.
Hanae Riko sepertinya tidak mengerti apa yang sedang terjadi, dan dia menatapku dengan ekspresi tercengang di wajahnya.
Rambut dan seragamnya menjadi basah sedikit demi sedikit.
Di belakang mereka, Sawa dan yang lainnya berdiri di sana, sepertinya tidak tahu harus berbuat apa.
Sekali lagi, aku mengalihkan pandanganku dari Sawa dan yang lainnya lalu aku kembali melihat ke Hanae Riko.
Hanae Riko sepertinya akhirnya memahami situasinya, dan menurunkan alisnya saat dia melihat tong sampah yang jatuh, payung uang tergeletak di lantai, dan aku yang masih duduk.
Ugh, situasi ini sangat canggung.
Aku bisa membayangkan betapa memalukannya aku terlihat dengan duduk terpuruk seperti ini.
"Hanae-san, kamu akan basah, jadi tolong ambil payungmu."
Ketika aku mencoba berdiri setelah mengatakan ini padanya, aku merasakan kepalaku bergetar dan aku tersandung.
"Shiyaama-kun, kamu baik-baik saja!? Apa ada yang sakit...!?"
"Ah, tidak... itu tidak benar. Awalnya aku merasa tidak enak badan... tapi jangan khawatir. Aku hanya merasa pusing sesaat."
Aku memaksakan senyum ramahki, tapi sejujurnya, aku merasa tidak akan bisa berdiri dalam waktu dekat.
Apa salah jika aku berusaha sekuat tenaga bahkan untuk sesaat ketika tubuhku melemah karena kedinginan?
Aku ingin memangil Sawa, tapi kepalaku masih gemetar dan sepertinya aku tidak bisa mengeluarkan suara.
Anehnya pada saat itu, di sudut pandanganku yang semakin menyempit, aku melihat Hanae Riko bergerak cepat.
"Eh, pegangan?"
Dia menahan tubuhku yang terhuyung-huyunh, membantu menahan badanku.
Aku terlalu terkejut dengan tindakannya sehihingga aku hanya bisa pasrah.
"Maaf, ini semua salahku..."
"T-tidak, bukan salah Hanae-san..."
"Tapi, kamu basah kuyup gara-gara aku, padahal kamu sedang sakit... Aku benar-benar minta maaf."
"Apa...?"
"Apa..."
Apa itu? Tambahkan sesuatu lagi, dong.
"Sungguh... jangan khawatir tentang itu..."
"Bagaimana ini... Seharusnya kita pergi ke UKS... Eh atau mungkin kita ke harus pergi rumah sakit? Boleh aku panggil ambulans? Oh, tunggu, aku akan memanggil sensei dulu?"
"Ini tidak seserius itu."
"Tapi jangan memaksakan diri. Bagaimana ini, bagaimana ini..."
Pada saat itu, Sawa tiba-tiba sadar lalu dia berkata, 'Aku akan memanggil sensei,' sebelum dia berlari pergi.
Sementara itu, anak laki-laki lainnya tetap berdiri di tempat.
Hanae Riko menuntunku, membawaku ke tempat yang tidak terkena hujan, dan tetap berada di sisiku.
"Apa lebih baik duduk? Atau lebih nyaman jika berbaring? Ah! Aku bisa memberikan bantal paha...!?"
"T-te-tenang dulu, Hanae-san."
Kenapa bantal paha tiba-tiba muncul?
Meskipun aku ditawari sesuatu yang sangat menyenangkan dari seorang gadis cantik, ini terasa terlalu tidak realisasi bagiku untuk bisa merasa bahagia katenanya.
Ternyata Hanae Riko bisa panik seperti ini.
Aku selalu membayangkan dia sebagai gadis yang tenang karena senyumannya yang lembut, tapi sekarang dia terlihat benar-benar panik.
"Kuharap aku bisa menggendong Shiyaama-kun dalam pelukan putriku dan membawanya ke sensei. ...Bagaimana kalau kita coba?"
"Tidak, tidak perlu mencoba itu...!"
Tidak mungkin Hanae Riko yang kurus bisa memelukku seperti seorang putri, dan bahkan jika dia bisa, itu akan menjadi hal yang tidak pantas dalam banyak hal.
"Shiyaama-kun, kamu ingin aku melakukan apa? Katakan saja, apa saja."
Hanae Riko menatapku dengan ekspresi khawatir di wajahnya, sambil masih menahan badanku.
Kami terlalu dekat, aku bahkan tidak tahu apakah aku bisa bernapas.
Tapi jika aku menahan napas, aku tidak bisa bicara.
Riko Hanae, yang tampaknya sama sekali tidak menyadari konflik konyolku, terus menatapku dengan ekspresi bingung di wajahnya.
Di sudut pikiranku yang kabur karena demam, aku berpikir.
Hanae Riko bahkan terlihat sangat imut saat dia sedang bingung.