> ABSOLUT ROMANCE

Tanpa judul




CHAPTER 1

SAYU HIBIYA INGIN JATUH CINTA



Awal bulan Mei. Hari pertama libur Golden Week yang berlangsung selama lima hari. Di ruang tamu rumah kami. Aku - Ryota Hayasaka, mendengarkan keluhan yang tak berkesudahan dari teman masa kecilku. 

"Aku merasa menginap di hotel yang memiliki pemandangan laut dengan pacar itu melanggar hukum! Lagi pula, mereka terus-menerus mengirim foto romantis mereka dengan frekuensi yang cukup tinggi hingga menjadi tren di media sosial. Apa ini, sindiran baru? Apa Ryota juga berpikir seperti itu?" 

"Y-ya, mungkin begitu..." 

Dengan bulu mata panjang yang menghasilkan bayangan, bibir merah muda sedikit basah, dan rambut pendek berwarna cokelat yang tak satupun rambutnya bercabang. 

Sayu Hibiya, dengan penampilan yang sedemikian rapi sehingga bisa dengan mudah memenangkan kontes gadis cantik nomor satu, jelas menunjukkan ekspresi negatifnya saat melihat foto bahagia yang dikirimkan oleh teman-temannya. 

Bagi ku, dia adalah teman masa kecil yang selalu bersamaku sejak aku bisa mengingat. Jadi, tidak aneh baginya untuk datang ke rumahku hanya untuk mengeluh seperti ini. Hibiya mengetuk layar ponselnya dengan marah, lalu mengeluh dengan nafas berat. 

"Ah, aku juga ingin punya pacar..." 

"Kalau gitu, Hibiya pasti bisa mendapatkan pacar dengan mudah. Kau sangat populer." 

"Aku ingin punya pacar..." 

"Tapi, tidak ada gunanya kamu mengatakan itu berulang kali kepada ku...." 

Hibiya menyeringai sambil menekan kedua alisnya menjadi bentuk delapan, bibirnya menyipit dalam ekspresi kesal. 

[TL\n: angka 8 dalam kanji jepang tu di tulis ke gini '八']

"Ryota-kun menurutku kamu terlalu bodoh." 

"Apa maksudmu?" 

Hibiya kemudian menghela nafas dengan lemah sambil menurunkan bahunya, dan meneguk teh orge di gelasnya. Kali ini, dia membuka mulutnya dengan sikap yang tampak seperti akan memberikan ceramah. 

"Aku ingin jatuh cinta dengan seseorang. Aku tidak akan berkencan dengan seseorang yang tidak menarik minatku hanya karena aku ingin memiliki pacar." 

"Mungkin kamu harus mencari seseorang yang kamu sukai terlebih dahulu." 

"Aku sudah menemukan seseorang yang aku suka." 

"Oh, begitu ya. Apakah itu orang yang aku kenal?" 

"Ya, aku memiliki keyakinan bahwa aku lebih memahami dia daripada siapa pun." 

"Itu keyakinan yang kuat." 

"Dan aku yakin, setelah aku, Ryota-kun juga memahami dia." 

"Hah? Apa ada orang seperti itu?" 

Hibiya adalah orang yang paling memahami dia, dan kemudian aku. Aku tidak bisa mengingat orang seperti itu. Kami bersekolah di sekolah yang berbeda, tetapi kami selalu bersama sejak Tk hingga SMP. 

Meskipun kami memiliki beberapa teman yang sama, aku tidak bisa mengingat orang semacam itu. Dengan menggembungkan pipinya, 

Hibiya mulai gemetar dengan gelisah. 

"Ryota benar-benar sangat tidak peka. Menurutku, kamu memiliki tingkat kepekaan yang luar biasa buruk." 

"Meskipun begitu... Apa ada petunjuk lain atau sesuatu?" 

"Sebenarnya, aku sudah memberikan jawabannya." 

"Aku benar-benar tidak tahu." 

Dengan tatapan cemberut, Hibiya menatapku. Kemudian dengan tekat di matanya, dia berbalik dan melanjutkan. 

"Ryota... Apa kamu tidak ingin memiliki pacar?" 

"Tentu saja, aku ingin. Tapi, aku tidak bisa melakukan tindakan untuk mendapatkan pacar. Aku takut ditolak." 

Aku tidak sepenuhnya tidak tertarik pada seseorang. Aku memiliki orang yang aku suka. Tapi, aku takut akan perubahan dalam hubungan kita setelah aku menyatakan perasaanku. Aku tidak memiliki keberanian untuk menghadapi ketakutanku. 

"Itu lucu. Aku juga merasakannya. Aku belum pernah mengaku kepada siapa pun, tapi hanya membayangkan ditolak saja sudah membuatku gemetar." 

Dengan mengelus lengannya sendiri memeluk bahunya sendiri, Hibiya tersenyum dengan wajah yang kacau. 

"Tapi, aku tidak bisa menahan perasaan ini selamanya. Aku juga ingin mencoba ngentot dengan pacarku" 

"Begitu ya." 

Hibiya menggenggam tangannya dengan erat. Dengan mata coklat besarnya yang sudah besar, dia kemudian mendekatkan wajahnya ke arahku melalui meja makan. 

"Jadi, Ryota, bisakah kamu mendengarkan ku?" 

"Mendengarkan apa?" 

"Ya. Gunakan ini." 

"Eh? Tidak, itu kan..." 

Hibiya kemudian mengeluarkan selembar kertas dari saku dan meletakkannya di atas meja. Tulisan kotor di atas kertas yang sudah usang. Tulisan itu terlihat akrab bagiku. Pasti... 

Aku lah yang memberikan itu kepada Sayu Hibiya ketika kami masih di SD. Di situ tertulis dengan pena permanen, ‘Tiket untuk Mendengarkan Apa Saja’ tertera di atasnya. 

"Apakah kamu ingat ini? Ryota yang memberikanku ini sebagai hadiah ulang tahunku." 

"Aku ingat... sekarang aku ingat." 

Itu adalah saat ulang tahun Hibiya yang kesembilan. 

"Aku, untuk Sa-chan, akan melakukan apa pun. Jadi ini adalah buktinya." 

"Bu... bukti...? Ryota tahu kata-kata yang sulit, ya." 

"Tidak begitu kok. Intinya, jika kamu menggunakan ini, aku akan melakukan apa pun." 

"Apa pun... Benarkah kamu akan melakukan apa pun untukku?" 

"Tentu saja. Jadi, jika ada masalah lagi, pastikan untuk memberitahuku. Aku akan melindungimu, Sa-chan." 

"Yeah. Terima kasih, Ryota. Aku akan menjaga ini dengan baik!" 

"O... ya..." 

Aku memberikan 'tiket Mendengarkan Apa Pun yang Kamu Katakan' 

kepada Hibiya dalam pertukaran seperti itu. Hibiya sering tidak masuk sekolah karena sakit, dan karena itu dia sering diganggu oleh anak laki-laki. 

Mungkin itu karena itu rasa cemburuku. Aku tidak suka saat Hibiya berbicara dengan anak laki-laki lain dan aku ingin dia selalu bergantung padaku, jadi aku memberinya tiket ini sebagai hadiah. 

Pada akhirnya, tiket itu tidak pernah digunakan, karena aku sering melakukan semuanya dengan caraku sendiri, hingga hari ini, 'Tiket Mendengarkan Apa Pun yang Kamu Katakan' belum pernah dia gunakan. 

"Tapi, kenapa sekarang?" 

"Karena aku ingin Ryota mendengarkanku." 

Hibiya tersenyum lembut dan menggenggam kedua tangannya dengan lembut. 

"Jadi, ini tentang membantu mu untuk menemukan kekasih?" 

"Secara singkat, ya. Namun, ku rasa aku sudah cukup sabar. Jujur, aku merasa tidak ada lagi yang membuat ku puas dengan hubungan kekasih. aku bahkan sekarang ingin menikah." 

"Tapi, apa menikah itu tidak terlalu tergesa-gesa? Apakah orang yang kamu suka berada dalam usia yang tepat untuk menikah?" 

"Itu tidak masalah. Orang itu sudah berusia delapan belas tahun sekarang." 

Jadi, orang yang disukai Hibiya sepertinya seumuran dengannya. Apa ada yang lahir bulan April selain aku... 

Aku tidak bisa mengingat orang lain yang lahir bulan April. 

"Tapi, aku pikir kamu harus memulai dengan berkencan. Jika kamu langsung mengatakan ingin menikah dengannya, itu mungkin akan membuat orang itu akan ragu." 

"Ya. Itulah mengapa ku pikir ini adalah waktu yang tepat untuk menggunakan tiket ini." 

"Tapi, itu bukan masalah yang bisa diselesaikan dengan menggunakan tiket itu. tiket itu mengatakan jika aku akan mendengarkan semua permintaan mu, bukan untuk membuat orang yang kamu suka melakukan hal yang kamu inginkan." 

"Karena itulah aku akan menggunakannya." 

"Eh?" 

Aku tidak mengerti apa yang dipikirkan Hibiya, jadi aku mengernyitkan dahiku. Hibiya kemudian tersenyum dan dengan santai menggelengkan rambut coklatnya seperti saat berbicara dalam percakapan sehari-hari. 

"Dengan menggunakan tiket ini, aku meminta padamu, Ryota, untuk menikahi ku." 

Saat itu, saat dia mengatakan itu, aku hanya bisa membeku seakan waktu telah berhenti. 

Aku sangat terkejut, aku kemudian berkedip beberapa kali. Ada begitu banyak tanda tanya yang muncul di kepalaku sekarang. 

Akhirnya, ketika otak ku menyadari apa yang sedang terjadi, aku merasa pipi dan telinga ku mulai memerah. 

"A... apa yang kamu katakan... itu terlalu... bagaimana... bagaimana mungkin itu..." 

"Aku tidak bisa menahan diri lagi. aku tidak ingin kita terus menjadi teman masa kecil." 

"Tapi... tapi menikah... itu terlalu... Dan, orang yang kamu suka..." 

"Ya. Dia berada di depan mataku." 

Titik-titik tersambung dengan garis. 

Wajahku mulai terasa hingga uap seolah akan keluar dari kepalaku. 

Pikiran tenang ku terganggu, dan mata hitamku berputar-putar tanpa arah. 

"Aku mencintaimu, bukan hanya sebagai teman masa kecil, tapi sebagai seorang dari lawan jenis. Jadi, apakah kau mau menikah denganku?" 

Pertanyaan yang tak terduga. Aku hanya bisa menganga seperti ikan mas. 

"Tunggu, kenapa tiba-tiba bicara soal menikah?" 

"Aku sangat mencintaimu sampai aku ingin menikah. Ini salahmu, Ryota. Kau tidak pernah menyadari perasaanku. Aku sudah berusaha mendekatimu dengan berbagai cara." 

Aku kaget mendengarnya. Aku baru menyadari bahwa dia telah melakukan berbagai cara untuk mendekatiku agar aku menyadari perasaannya kepadaku. Termasuk hari ini. Namun, aku tidak pernah mengira bahwa Hibiya melihatku sebagai objek cinta, aku selalu mengabaikannya. Aku berusaha untuk tidak salah paham atau sombong. 

"Lihat ini, Ryota." 

Hibiya memegang kepalaku yang terpaku. Aku dipaksa untuk melihat

'kupon yang akan mendengarkan segala sesuatu' yang dia pegang. 

"Aku, benarkah aku menulis ini..." 

"Ya. Aku akan membacanya." 

"Tidak, tidak perlu dibacakan." 

“Ahem... ‘Ryota Hayasaka akan mendengarkan segala sesuatu yang dikatakan oleh Sayu Hibiya. Tolong katakan padaku apa pun yang bisa aku lakukan. Aku akan memenuhinya.’ Hehe, menikah denganku adalah sesuatu yang bisa kau lakukan, kan?" 

Hibiya tersenyum ceria sambil melipat kedua tangannya dengan lembut. Keringat mulai bercucuran dari setiap pori-poriku. 

"Ada batasan untuk segalanya, kau tau..." 

"Yah di sini kan tidak ada catatan yang mengatakan bahwa meminta untuk menikah itu tidak boleh." 

"Bagaimana kau bisa merencanakan ini sejauh ini!" 

"Barang seperti ini harus disimpan dengan baik." 

Hibiya tersenyum dengan bangga. Aku harus mencari jalan keluar dari situasi ini, bagaimana caranya... Aku menggenggam tanganku yang berkeringat dan mencoba mencari cara lain untuk meyakinkannya. 

"Hibiya, apakah kau benar-benar serius tentang pernikahan ini, ini bukan sekadar lelucon, kan?" 

"Ya... aku ingin menjadi istri Ryota." 

"Tapi, maaf, aku tidak bisa menikah denganmu, Hibiya. Aku merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi janji yang kuberikan tentang

'mendengarkan segala sesuatu'. Tapi sekarang, aku tidak memiliki kesanggupan untuk menikahi mu." 

Meskipun permintaannya itu seperti lelucon, aku tahu Hibiya serius tentang dia yang ingin menikahi ku. Aku masih bisa membedakan ekspresinya sebagai teman masa kecil. 

Menolaknya sebenarnya membuat hatiku sakit seakan seperti di tusuk jarum. Tapi aku harus bertahan. Bahkan jika kita sudah saling mengenal sejak kecil, menikah tanpa berkencan adalah sesuatu yang di luar akal sehat. Menikah saat masih SMA adalah sesuatu yang naif. 

"...Ya, kamu mengerti?" 

Hibiya menundukkan kepala dengan sedih, menahan air mata di sudut matanya. 

"Iya... sebenarnya aku tahu kalau kamu tidak melihatku sebagai lawan jenis. Tapi, aku tidak tahan." 

"Tunggu, itu bukan maksudku." 

"Tidak apa, aku sudah mengerti. Aku tahu kamu pernah bersama dengan perempuan lain." 

Ya, memang aku mengerti. Aku bisa menebak siapa yang dimaksud. 

Dan alasannya sederhana. Karena aku tidak memiliki teman wanita lain.... 

Itu adalah kesimpulan yang menyedihkan. Hibiya mengalihkan pandangannya ke arah lain. 

"Jika kamu memiliki pacar, kenapa kamu tidak memberitahuku? 

Katakan padaku dengan penuh kebahagiaan, 'Aku mulai berpacaran dengan seseorang', dan aku akan menerima kekalahan dengan baik... 

Tapi sepertinya aku salah mengira dari awal..." 

"Tidak, kamu salah paham. Aku tidak punya pacar!" 

"Tidak apa, aku memang kalah dari awal. Aku berusaha mencuri hatimu dengan paksa, bahkan sampai ingin menikah, aku memang sudah menjadi pecundang sejak awal.... Sekarang hubungan kita pasti akan menjadi canggung, kan..." 

"Tunggu dulu. Kamu terlalu cepat menyimpulkan, dengarkan aku! Aku tidak punya pacar, dan yang aku suka adalah kamu!" 

"Eh?" 

"Ah." 

Saat aku menyadari apa yang sudah ku katakan, itu sudah terlambat. 

Dorongan spontan itu membuat perasaan yang telah kutahan begitu lama akhirnya terungkap. 

Karena kata-kata 'menikah' yang tiba-tiba muncul, rasanya aku kehilangan ketenanganku. 

Dan kemudian tiba-tiba, keheningan mengisi ruangan. 

Hibiya memerah seperti tomat dalam sekejap, lalu memalingkan wajahnya dari pandanganku. lalu menunduk. 

"Ryota begitu baik, jadi dia tidak akan berbohong..." 

"I-itu bukan bohong." 

"B-benarkah... Aku mudah percaya apa pun yang dikatakan Ryota, tahu? " 

"Aku tahu. Jadi, aku tidak akan berbohong pada Hibiya." 

Hibiya memerah sampai ke telinga dan lehernya, lalu dia duduk diam dengan kedua tangannya di atas lutut, seperti kucing yang meminta maaf. 

"T-tapi, Ryota, saat aku berkata ingin punya pacar, kamu merespons dengan 'aku pikir Hibiya bisa mendapatkannya dengan mudah'." 

"Karena... aku tidak pernah berpikir bahwa Hibiya menyukai ku. Tapi jika Hibiya bisa bahagia dengan memiliki pacar, aku pikir itu akan lebih baik baginya." 

Aku merasa malu saat mengatakan itu sendiri. Entah karena udara yang membebani, atau otakku yang seperti tidak berfungsi. 

"...Aku tidak akan bahagia jika Ryota bukan pacarku. J-jadi….." 

Matanya berkaca-kaca karena air mata. Dia menatapku seperti mencari jawaban dari bawah, dan jantungku berdegup keras. 

Detaknya begitu keras hingga bisa terdengar oleh telingaku. 

Aku tidak bisa membiarkan dia mengucapkan kata-kata selanjutnya. 

Jadi, aku memotongnya. 

"Jadi, apakah kita akan berpacaran? ...Kita berdua." 

"Y-ya. Jadikan aku pacarmu, Ryota!" 

Hibiya memancarkan senyum polos dan bercahaya. Aku tidak bisa menatap matanya, jadi aku memutar pandanganku ke sana kemari. 

"Apa yang harus kulakukan? Aku bahkan tidak merasakan bahwa aku memiliki pacar." 

"Aku juga tidak. Tapi, hehe... aku senang aku memiliki keberanian untuk mengatakannya. Ternyata kita memiliki perasaan yang sama." 

Dengan pipi yang berwarna kemerahan, Hibiya sesekali melirik ke arahku. Aku semakin tidak tahan dengan situasi ini, jadi aku memutuskan untuk mengubah topik pembicaraan. 

"Tapi, bagaimana kamu masih menyimpan barang seperti itu, bukankah itu sudah lama sekali?" 

"Aku menyimpan semua yang Ryota berikan dengan sangat hati-hati, loh." 

"Aku rasa aku pernah memberikan barang yang tidak terlalu berarti." 

"Bagi ku, itu lebih berharga dari berlian. Aku tidak akan membuangnya." 

Sekali lagi, darahku naik ke kepala. Aku rasa aku akan demam dan pingsan sebentar lagi. 

"Tapi, bagaimana kita akan menangani ini?" 

"Menangani apa... oh." 

"Kupon 'mendengarkan segala sesuatu' yang ada di tengah meja. Pada akhirnya, itu tidak digunakan dan dibiarkan begitu saja." 

"Ngomong-ngomong, ada sepuluh lembar kupon ini, kan?" 

"Ya, benar, mungkin aku memberikan sebanyak itu…..." 

Ya, aku memberikan sepuluh lembar. Hibiya mengeluarkan selembar kertas serupa dari saku dan menunjukkannya padaku. Itu ditulis dengan tulisan kotorku, tanpa tanda-tanda pemalsuan. Dia benar-benar menyimpannya dengan baik. 

"Karena sudah begini, bisakah aku menggunakan tiket ini?" 

"Tentu. Aku akan melakukan yang terbaik." 

Dia adalah pacar pertamaku dalam hidupku. Aku ingin melakukan yang terbaik untuknya. 

Hibiya tersenyum lebar sambil merah di pipinya, menggosok kedua telapak tangan. 

"Aku ingin menjalin hubungan panjang dengan Ryota. Aku tidak ingin hubungan kita berakhir begitu saja setelah mulai berkencan. Jadi, bagaimana jika kita berpacaran dengan persyaratan untuk menikah?" 

Aku menelan ludahku, ragu-ragu. Meskipun menikah terlalu jauh, tapi aku tidak bisa menolak untuk menjalin hubungan dengan tujuan seperti itu. 

Selain itu, aku juga tidak ingin hubungan kita berakhir dalam waktu tiga bulan seperti yang biasanya terjadi.... Aku rasa aku harus segera menggunakan kupon ini. 

"Pacaran dengan prasyarat pernikahan, itu berarti kita tidak akan langsung menikah, kan?." 

"Ya. Aku akan berusaha agar Ryota tidak tertarik pada wanita lain selain aku…..." 

Dengan senyum cerah seperti matahari, Hibiya menyatakan tekadnya. 

Melihat itu aku semakin tidak tahan untuk menatap matanya. Apa pun yang terjadi, aku telah memulai hubungan dengan teman masa kecilku. 

Dulu, aku memberikan sepuluh lembar tiket 'mendengarkan segala sesuatu' pada Hibiya. Sisa sembilan lembar akan sangat mempengaruhi kehidupan sehari-hariku, tetapi pada saat itu, aku tidak tahu akan hal itu.




Selanjutnya



Posting Komentar

نموذج الاتصال