> CHAPTER 2

CHAPTER 2

 Kamu saat ini sedang membaca    I Was Assigned to Be a Manager of a Female Dormitory, but the Level of the Girls Living There Was Just Too High. There’s No Way I Can Fit In Like This    volume 1 chapter 2,  selingan Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw


PERTEMUAN DENGAN PENGHUNI APARTEMEN 
 

"Terima kasih sudah membantuku, aku sangat terbantu!"  

"Tidak-tidak! Ini juga ruang tamu yang dipakai bersama, jadi jangan khawatir!"  

Pukul 16.50, setelah bersih-bersih ruang tamu selesai, akhirnya ada waktu untuk bersantai. Dia sudah berganti baju tidur berwarna pink yang fluffy.  

Sambil memegang sandaran sofa, dia menoleh ke arahku dan mengobrol.  

Yang mengejutkan, dia sepertinya tidak mempermasalahkan insiden pakaian dalam tadi.  

Apa dia tipe orang yang tidak malu dilihat seperti itu...? 

Kalo dipikir-pikir, mengingat usianya, itu justru membuatku khawatir.  

"...Ah, Hiyori. Aku ingin bertanya sesuatu."  

"Ya! Ada apa?"  

"Untuk makan malam, apa ada yang ingin kau makan? Aku punya beberapa persediaan, jadi bisa kusiapkan apa pun dalam batasanku."  

Aku memutuskan untuk memenuhi permintaannya sebagai permintaan maaf diam-diam atas kejadian tadi.  

"Eh, kau mau memasak sesuai permintaanku!?"  

"Aku tidak bisa masak yang mewah-mewah, tapi karena hari ini kau sudah banyak membantuku..."  

"A-aku sangat berterima kasih! Be-benar apa aku boleh minta apa saja?"  

"Untuk ikan, maaf tidak ada bahannya. Tapi selain itu, masakan rumahan apa pun seharusnya bisa."  

"Mm... kalo begitu, aku ingin pasta! Carbonara dengan banyak keju!"  

"Ooh, bagus. Oke."  

"Apa kau yakin bisa menyiapkannya!?"  

"Ahaha, soal enak atau tidak, itu masalah lain. Hiyori, biasanya kau makan berapa banyak pasta?"  

"3 ikat!"  

"...Eh?"

Aku tak bisa menahan diri membelalakkan mata mendengar pengakuannya. 

Mataku kembali menatap tubuh mungilnya,untuk memastikan lagi.  

"3 ikat? Bukan 2? Apa kau serius?"  

"Iya! Kalo 4 ikat, perutku jadi terlalu kenyang dan sakit. Jadi 3 ikat saja!"  

"...O-oh, begitu. Baiklah, akan kusiapkan 3 ikat."  

"Ehehe, terima kasih!"  

Dari posturnya yang kecil, sulit di percaya kalo dia bisa makan sebanyak itu. 

Tapi melihat senyum polosnya, sepertinya itu benar adanya.  

Sulit dipercaya, tapi ternyata dia bisa makan sebanyakku, seorang pria dewasa.  

"Untuk penghuni lain, kira-kira satu setengah ikat cukup?"  

"Selain Hiyori, yang lain makannya sedikit. Itu sudah cukup."  

"Terima kasih. Akan kusesuaikan."  

Karena aku masih belum terbiasa, memiliki setidaknya satu penghuni yang bisa diajak berkomunikasi sangat membantu. 

Aku bisa bertanya kapanpun kalk ada yang tidak kumengerti.  

Sambil memikirkan menu makan malam, aku menyalakan lampu dapur terbuka dan mulai menyiapkan masakan.  

"Ah, iya. Aku sudah lama ingin bertanya───kenapa kau bisa pulang lebih awal hari ini? Sepertinya kau sudah kembali sekitar jam 4 sore?"  

"Hari ini ada acara sekolah, jadi selesai sekitar jam 2 siang. Biasanya lebih lama."  

"Oh, jadi aku beruntung bisa bertemu denganmu hari ini."  

"Eh? Ma-maksudmu?"  

Dia mengernyitkan dahinya, seolah ada tanda tanya besar di atas kepalanya.  

"Kalo bukan hari ini, mungkin kita tidak akan bisa ngobrol seperti ini. Aku gugup terus seharian. Ini kan pertama kalinya aku bekerja di sini."  

"Tenang saja, kau pasti akan cepat terbiasa! Awalnya Hiyori juga gugup kok."  

"Ngomong-ngomong, ini cuma tebakanku... Apa Hiyori sengaja pulang lebih awal untukku? Misalnya, menolak ajakan main dari teman-teman?"  

"Eh!? Ke-ke-ke-kenapa kai bisa berpikir begitu!?"  

"Hahaha, ternyata benar ya?"  

Reaksinya yang polos dan mudah terbaca menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak berniat menyembunyikannya.  

Dari interaksi bersamanya, aku paham───dia punya kepribadian yang disukai orang. Pasti di sekolah dia punya banyak teman.  

Intinya, kalo sekolahnya selesai lebih awal, biasanya teman-temannya pasti mengajaknya bermain.  

Kalo pun ada alasan dia untuk menolak, hanya satu yang terlintas di benakku.  

"Terima kasih ya, sudah memprioritaskanku."  

"Ka-kayaknya ada kesalahpahaman deh...?"  

"Benarkah? Pokoknya, terima kasih."  

"Eh!? Ma-maksudmu apa sih!?"  

"Haha."  

"Ah..."  

Tak lama setelah aku tertawa───  

"Ehehe..."  

Dia ikut tersenyum, seolah tertarik oleh tawaku.  

Mungkin dia sudah yakin ketahuan, dan senyum itu juga untuk menutupi rasa malunya.  

"Souta-san, ada lagi yang perlu Hiyori bantu? Selain memasak, aku bisa bantu apa saja, kok!"  

"Tidak-tidak, kau sudah membantuku tadi. Istirahat saja di sofa."  

"Begitu ya?"  

"...Ah, maaf. Sebagai gantinya, boleh aku bertanya sesuatu?"  

"Tentu saja, silakan!"

Di sini juga dia menjawab dengan ramah tanpa menunjukkan wajah kesal. 

Hanya dengan itu, aku bisa bertanya tanpa merasa terbebani.  

"Kalo begitu, aku ingin kau memperkenalkan secara singkat penghuni selain Hiyori. Aku sudah menghafal nama-nama dari daftar, tapi aku sama sekali tidak tahu ciri-ciri mereka."  

"Oke! Kalo begitu, mau mulai dari siapa?"
  
"Mm... pertama, tolong perkenalkan Ayanase Koyuki-san."  

Aku mendapatkan informasi sambil memasak makan malam. Aku juga bisa mengobrol dengannya. Benar-benar sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.  

"Kalo Koyuki-san, dia adalah kakak tertua di asrama ini! Dia suka merangkum pendapat semua orang, dia bisa masak, menerima pesanan aksesori, dan juga bekerja sebagai pelayan kafe. Dia sangat cantik, jadi aku yakin kau akan langsung tahu, 'Oh, pasti itu dia!' Selain itu, dia juga baik hati!!"  

"Hoo..."  

Dia menjelaskan dengan sangat bersemangat.  

"Selain itu, dia juga mengendarai mobil yang terlihat sangat mahal, dan cara bicaranya seperti Onee-san, jadi kau pasti bisa mengenalinya dari situ."  

"Terima kasih. Aku sudah bisa membayangkannya."  

Penjelasan Hiyori mungkin agak umum, tapi sepertinya cukup akurat menangkap ciri-cirinya.  

"Kalo begitu, berikutnya tolong perkenalkan Asahina Mirei-san. Aku penasaran karena katanya hari ini dia makan di luar."  

"Ah... Miichan itu..."

"Hmm?"

Begitu mendengar pertanyaanku, entah kenapa gadis itu mengalihkan pandangannya. 

Ekspresi wajahnya yang tiba-tiba menjadi serius sejenak pasti bukan khayalanku saja.

"Mii-chan memang seumuran dengan Hiyori, sama-sama kelas 3 SMA... Tapi dia sangat peka terhadap sekelilingnya, perhatian, dan tentu saja baik hati!"

"Hmmm?"

Mungkin yang dikatakannya benar. 

Tapi ada kesan seperti menyembunyikan sesuatu, atau berusaha mengelabui... Sikapnya terasa aneh. 

Firasat aneh yang kurasakan ternyata tidak salah. Dia kemudian menjelaskan begini:

"Hanya saja... Terhadap sebagian orang, bisa dibilang dia agak keras kepala. Terutama terhadap Souta-san, mungkin dia akan bersikap agak tsun-tsun."

"Tsun-tsun? Seperti bersikap ofensif begitu?"

"Kalo digambarkan buruk, memang begitu... Tapi! Di sekolah dia sangat dipercaya, punya banyak teman, dan sangat disukai!"

"Begitu ya. Kata ibuku juga kalian semua orangnya baik-baik, jadi mungkin memang seperti itu. Mungkin dia agak pemalu, ya?"

"Be-betul!"

Ekspresi kaku yang ditunjukkan setelah menanggapi pertanyaanku membuatku penasaran. 

Meski sikapnya tetap baik, mungkin dia memang punya kepribadian yang unik.  

"Kalo begitu, terakhir adalah Suzukaze Kotoha-san."  

"Ah, tentang Kotoha-san! Sebenarnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan───"  

Begitulah, pengenalan terakhir baru saja akan dimulai ketika───  

Gachak───suara pintu depan terbuka terdengar sampai ke ruang tamu.  

"Aku pulang~"  

Suara sopran yang jernih dan indah itu sampai menggaung ke ruang tamu.  

"Sepertinya ada yang pulang. Aku akan menyambutnya dulu."  

"Ah, Souta-san, tunggu───"  

"Hmm?"  

Entah kenapa, dia berusaha menghentikanku. 

Tapi menyambut penghuni yang baru pulang harus dilakukan secepatnya.  

Setelah mematikan kompor di dapur, aku buru-buru menuju pintu masuk.  

"───Ada hal-hal yang harus diwaspadai dari Kotoha-san..."  

Ucapan Hiyori itu jelas didasari oleh suara orang yang baru pulang───dia pasti tahu siapa yang datang. 

Sayangnya, karena aku memprioritaskan tugas, perkataannya pun sia-sia.  

★★★

"Fufufu..."  

"Ahaha..."  

"......"  

Dari ruang tamu, aku mengintip diam-diam ke arah pintu masuk dan menyaksikan pemandangan yang sama sekali tak terduga.  

"Kouta-san... hebat sekali..."  

Aku langsung akrab dan berbicara dengan Kotoha-san yang baru pertama kali aku temui. Ini bukanlah hal yang biasa. 

Aku benar-benar bertanya-tanya, bagaimana bisa dia bersikap seperti itu?

Kotoha-san adalah seorang wanita dewasa. 

Tapi, maaf mengatakan ini, dia kecil, dengan wajah seperti anak-anak... penampilannya mirip siswa SMP. Rambut putihnya yang indah dipotong lurus sejajar dahi. Matanya yang bulat besar lebih besar dari saya. Tingginya selalu bilang 'lebih dari 150 cm!, tapi sebenarnya kita tahu dia tidak setinggi itu.

...Benar. Kotoha-san sangat sensitif tentang sering disangka anak kecil. Dia bekerja sebagai resepsionis di perusahaan, tapi bahkan di tempat kerjanya pun dia sering disalahpahami.

Kalo Kotoha-san memesan minuman beralkohol di izakaya, pelayan pasti memintanya menunjukkan kartu identitasnya.

Selain itu, bahkan Koyuki-san yang lebih tua pun awalnya mengira dia anak kecil saat pertama kali mereka bertemu...

Karena itulah, kemampuan Souta-san untuk mengenali kalo dia sudah dewasa dan memperlakukannya sesuai sangat mengesankan.

"Aku lega pengurus gedungnya terlihat ramah. Sebenarnya aku agak gugup saat pulang tadi."

"Aku juga sama. Suasana dan lingkungan di sini sangat berbeda dengan tempat kerjaku yang sebelumnya. Ditambah aku memang tidak pandai berbicara."

"Ayolah, kau bicara dengan baik kok."

"Itu berkat Kotoha-san yang memandu pembicaraan. Maaf ya, padahal aku yang lebih tua."

"Hoh? Benarkah?"

"Sepertinya begitu."

"..."

Hmm? Bagaimana Sota-san tahu usia Kotoha-san?

Dia bilang 'sepertinya'... berarti ini tebakan?

"Apa Souta-san sudah lama bekerja sebagai pengurus gedung? Kau terlihat sangat berpengalaman."

"Tidak, sebenarnya ini pertama kalinya... Aku masih belajar tentang pekerjaan ini."

"Oh, begitu rupanya. Kai terlihat sangat tenang."

"Ah, haha. Terima kasih. Aku akan berusaha tidak merepotkan."

"Jangan khawatir tentang itu. Kalo ada kesulitan, beri tahu kami ya. Kami akan saling mendukungmu."

"Sungguh sangat membantu."

"..."

Ya! Dari situasinya, sepertinya Souta-san memang sudah menyadari kalo Kotoha-san adalah wanita dewasa.

"Kalo begitu aku akan mandi dulu. Begini selalu rutinitas ku setelah pulang."

"Baiklah. Menurutku makan malam akan siap sekitar waktu kau selesai mandi, jadi silakan kalo kau mau."  

"Aku akan menantikannya. Ngomong-ngomong, ini pertama kalinya aku mencicipi masakan pria."  

"Ah, jangan terlalu berharap oke?"  

Souta dan Kotoha mengakhiri percakapan mereka begitu. 

Sejauh ini, keduanya terlihat berhasil memperpendek jarak dengan lancar, dan aku pun merasa lega.  

Kekhawatiranku sebelumnya ternyata tidak perlu. Dengan begini, sepertinya mereka akan cepat akur!

★★★

"Aku sudah selesai mandi~"  

Sekitar 50 menit kemudian.  

Kotoha yang mungkin sudah rileks di pemandian, masuk ke ruang tamu dengan suara lembut memanjang di ujung kalimatnya sambil mengenakan tunik baju mandi yang longgar. 

Rambut putihnya yang biasanya rapi kini dibungkus handuk pengering rambut dengan rapi, menampakkan dahinya yang lebar.  

Meski bicaranya sopan dan tenang, penampilan kasualnya membuatnya terlihat jauh lebih muda dibanding saat pertemuan pertama di pintu masuk. 
 
Siswa SMA? Atau SMP...? Usia sebenarnya tak diketahui, sambil berusaha menyembunyikan pikiran kurang ajar ini, aku melanjutkan menghidangkan masakan yang baru jadi.  

"Ah, Hiyori-chan, aku juga akan bantu. Um, haruskah aku menyiapkan piring?"  

"Terima kasih! Tolong ya."  

Kotoha yang melihat Hiyori sedang menyiapkan gelas setelah menata garpu dan sumpit di meja, langsung menawarkan bantuan.  

Sebelum Hiyori mulai mempersiapkan, aku sudah bilang 'Itu tugasku, biar aku saja yang lakukan', tapi 'Lebih enak kalo disiapkan bersama kan!' begitu katanya dan langsung membantuku.  

Mungkin Kotoha juga berpikir sama, tanpa banyak bicara langsung membantu.  

Mereka saling membantu menciptakan lingkungan hidup yang nyaman. 

Wajar saja suasana asrama ini membuat para penghuninya akrab.  

"Souta-san, aku lewat belakang ya." 
 
"Terima kasih sudah membantu."  

"Tidak-tidak."  

Di belakang dapur ada lemari piring besar.  

Setelah memberi tahu, Kotoha berdiri di depan lemari dan membuka pintu kacanya. 

Sambil melihat kelakuan itu dari sudut mata, aku mulai menyajikan hidangan terakhir.  

Menuangkan sup krim ke dalam wadah dan menaburkan parsley kering di atasnya. 

Meski hanya sentuhan kecil, tambahan warna hijau ini mengubah penampilan hidangan. 

Akhirnya makan malam pun siap disajikan. 
 
Meletakkan 2 mangkuk sup di atas baki, menutup panci, segalanya selesai.  

"Fuuh..."

Aku baru saja menghela napas untuk melepas konsentrasi kerja ketika tiba-tiba mendengar suara ini dari belakang.  

"Nn, nnnnu...hh"  

Suara yang sulit dijelaskan dengan kata-kata───seperti erangan, atau mungkin suara menahan amarah───tapi jelas terdengar ada sesuatu yang terjadi.  

Begitu menoleh, aku langsung memahami situasinya.  

"Fnuu... Nunuu..."  

Di sana ada Kotoha yang berdiri jinjit dengan susah payah, berusaha menjangkau rak piring di bagian atas lemari.  

Pandangannya fokus pada piring itu. 

Hanya sedikit lagi tapi tangannya masih belum bisa mencapainya, menciptakan pemandangan yang membuat frustrasi.  

"Eh..."


Tanpa sadar aku tertegun.  

Di pikiranku tidak terlintas sama sekali gagasan kalo dia tidak bisa mencapainya.  

Dia sedang berjuang meraih piring yang sebenarnya pasti bisa dijangkau kalo dia memiliki tinggi 150 cm...  

"Nn, aneh...? Kok lebih ke dalam dari biasanya... Nnuuhh..."  

Dengan ekspresi serius dan suara yang terdengar seperti meminta bantuan, dia terkesiap.  

"──Nah, apa piring ini yang kau cari?"  

Aku mengulurkan tangan melewati punggung Kotoha yang sedang berusaha keras menjangkau, lalu mengambil 2 piring datar yang kira-kira menjadi sasarannya dan menyerahkannya.  

Piring adalah barang pecah belah. 

Kalo dia kehilangan keseimbangan dan menjatuhkannya, itu bisa melukainya.  

Karena kekhawatiran itu aku buru-buru membantu, tapi sesuatu yang tak terduga terjadi.  

"......"  

"Eh?"  

Entah kenapa, tepat setelah kuberikan, dia menatapku dengan wajah datar.  

Ekspresi tanpa emosi, seperti cahaya di matanya menghilang.  

Apa ini hanya perasaanku saja, ataukah dia menyiratkan 'Kenapa kau bisa mengambilnya dengan mudah seperti itu...?'  

"A-Apa ada masalah?"  

"Ehem. Ti-tidak... Tidak apa-apa. Terima kasih."  

"Sama-sama."  

Meski sudah berterima kasih, ada ekspresi kesal yang terlihat di wajahnya.  

"Souta-san, boleh aku tanya satu hal?"  

"Tentu, silakan."  

"Aku penasaran dengan tinggi badan Souta-san."  

"Tinggi badan? Kira-kira... aku tidak ingat persis tapi mungkin sekitar 175 cm."  

"Khh!? A-Aku dan kau selisih hampir 30 cm..."  

"Eh?"  

Suaranya terlalu pelan sampai aku tidak mendengar apa yang dia katakan. 

Yang hanya terlihat dia menutup mulut dengan tangannya sambil terkejut. 
 
Dari balik mata merah besarnya, sepertinya ada tatapan penuh iri.  

"Ya... sudahlah. Tapi ada satu kesalahpahaman yang tidak kuinginkan dari Souta-san."  

"Ya, ya?"  

"...Aku biasanya bisa mengambil piring dengan baik, jadi jangan khawatir. Hari ini aku hanya sedang tidak enak badan saja. Mengerti?"  

"...A-ahaha. Aku paham."  

Aku ingin membuat tsukkomi 'Apa kau merasa tidak enak badan?', tapi wajahnya yang sedikit mengembung sudah memerah. 

[TL\n:Tsukomi (ツッコミ) adalah bagian dari teknik komedi Jepang yang disebut "manzai" (漫才), di mana ada dua peran utama: 1. Boke (ボケ) – Orang yang berperan sebagai si "bodoh" atau yang membuat pernyataan konyol, salah, atau absurd. 2. Tsukomi (ツッコミ) – Orang yang bertindak sebagai "lurus" atau "waras," yang mengoreksi, mengejek, atau menegur boke dengan cara yang cepat, tajam, dan kadang-kadang disertai pukulan ringan di kepala untuk efek komedi.]

Dia menggigit bibir, sepertinya menahan malu.  

Melihatnya seperti ini, siapa pun pasti akan menahan diri untuk tidak memicunya.

Satu hal lagi, dia sudah membantu ku. Dia berusaha keras untukku. Dia tidak melakukan hal-hal yang bisa disalahartikan sebagai bercanda.  

"Nah, piring saji juga sudah siap, ayo kita makan malam. Selagi masih hangat."  

Dia seolah mengajak untuk mengubah topik pembicaraan.  

"Benar. Ayo kita makan."  

"Iya."  

"Ah, um... sebenarnya agak sulit bagiku untuk mengatakannya, tapi... apa 2 piring saji sudah cukup?"  

"Apa perlu lebih? Untuk berjaga-jaga, aku akan menyiapkan 2 piring untuk Hiyori dan Kotoha-san."  

"Bukan itu maksudku... Kurasa Souta-san tidak makan bersama kami. Waktunya sudah larut, pasti kau juga lapar, dan Hiyori-chan juga pasti ingin... kan?"  

Begitu Kotoha melihat ke arah tertentu, salah satu penghuni langsung menyambut dengan antusias.  

"Souta-san juga akan makan bersama kita!? Hiyori ingin kita semua makan bersama!"  

"A-aku juga?"  

Mungkin karena sedang bekerja, dia ragu untuk mengajak. Matanya yang berbinar menatap ke arahku.  

Melihat reaksinya, Kotoha tersenyum seolah sudah menduga itu.  

"Sepertinya begitu, jadi bagaimana kalau Souta-san juga ikut makan?"  

Hari pertama sebagai manajer dan sudah makan bersama penghuni. 

Aku sama sekali tidak membayangkannya, jadi aku terdiam. 

Tapi perlahan aku mencerna situasinya dan bisa memahaminya.  

Tidak ada alasan untuk menolak. 

Bahkan, aku sendiri ingin meminta. Diundang seperti ini sangat menyenangkan.  

"Ahaha, kalo begitu, aku ikut saja."  

Sambil menggaruk kepalaku, aku menjawab, dan kedua penghuni itu tersenyum. 

Suasana hangat ini terasa sangat nyaman dan membuatku semakin betah.  

Tidak berapa lama setelah merasakan hal itu───  

"Wo-wow! Kelihatannya enak sekali!"  

Hiyori bereaksi berlebihan melihat makanan yang baru saja selesai dimasak, tapi ini juga karena masakan yang dia minta sudah jadi.  

Matanya yang seperti warna madu terbuka lebar, dan dia seolah tertarik ke meja makan.  

Sebagai yang memasak, aku senang melihat reaksinya hanya karena makan malam.  

Walaupun aku merasa agak malu, tapi ekspresiku tidak sepenuhnya tidak senang.  

"Masakan baru matang memang yang paling enak!"  

"Hiyori menggunakan piring ini───eh, tapi dengan porsi segini, pasti tidak akan salah."  

"Iya!"  

Pasta untuknya saja dibuat 3 kali lipat.  

Jumlah mi yang berbeda membuatnya mudah dibedakan sekilas. 
 
Kami saling menatap dan berbicara dengan lancar. Di tengah itu, Kotoha memandang kami dengan penasaran.  

"Um, sejak kapan kalian berdua sudah akrab? Souta-san memanggil Hiyori-chan tanpa honorifik, dan nada bicaramu juga berbeda denganku, kan?"  

Sepertinya dia sangat penasaran, wajahnya terlihat agak ragu, tapi dia tetap bertanya dengan hati-hati sambil mengerutkan kening.  

"Ah, itu karena Hiyori meminta dipanggil tanpa honorifik!"  

[TL\n:Honorifik adalah sebutan atau gelar kehormatan yang digunakan untuk menunjukkan rasa hormat kepada seseorang berdasarkan status sosial, jabatan, atau hubungannya dengan orang lain.]

"Oh begitu... Kalo aku juga meminta, bisakah kau memanggilku tanpa honorifik?"  

"Tergantung waktu dan situasi."  

"Hmm hmm."

Baru saja Kotoha membuat ekspresi kesal yang sempurna, lalu tiba-tiba tapi bibir tipisnya berubah menjadi bentuk bulan sabit───seolah ada rencana di baliknya. 

Wajahnya jelas menyimpan sesuatu, seperti baru dapat ide bagus.  

Meski senang bisa lebih dekat, ada satu hal yang harus kukonfirmasi dulu.
  
"...Maaf kalo pertanyaannya kurang sopan, tapi Kotoha-san lebih muda dariku, kan? Aku 23 tahun."  

Aku ingin tahu usianya sebelum mengubah cara bicaraku.  

Karena aku sudah dapat info dari ibuku kalo Hiyori masih SMA, aku tak ragu bicara dengan santai.  

Dari postur dan penampilan Kotoha, jelas dia lebih muda───tapi ini pertanyaan penting sebelum melangkah lebih jauh.  

Tapi jawabannya justru membuatku pusing.  

"Ah, kebetulan sekali! Aku juga segitu."  

Dia menangkupkan tangan, senang.  

"...Hah? Ki-kita seumuran?"  

"Iya, aku juga 23."  

"Eh... eh...? Itu..."  

"Kau bercanda, kan...?" kata-kata kebingungan seperti itu hampir keluar dari mulutku.

Tapi aku berhasil menahannya—karena melihat ekspresinya.  

"Apa ada masalah?" Matanya tersenyum, tapi wajahnya tidak.  

Terlebih lagi, aku merasakan tekanan berat yang tidak dapat aku bayangkan dari tubuh kecilnya.  

Tapi... informasi ini sulit dipercaya.  

Matanya bulat lebar, hidung dan mulut kecil, pipi tembem───wajahnya sangat kekanak-kanakan.  

Belum lagi tadi dia bilang "Uwaah~" sambil berusaha menggapai sesuatu───imut sekali.  

Maaf, tapi... dia seperti anak kecil yang memakai kulit orang dewasa.  

"Aku tahu apa yang dipikirkan Souta-san. Sungguh itu tidak sopan~"  

"Aha... haha..."  

Meski bicara formal karena statusku sebagai manajer, jelas aku menganggapnya lebih muda.  

Tapi... tetap saja aku sulit percaya hanya dari ucapannya.  

『Aku lebih tua, tapi...』

Segera setelah kami bertemu, dia mengatakan sesuatu seperti ini...  

Aku melirik Hiyori di sebelah untuk memastikan.  

Dia membalas dengan senyum masam dan mengangguk sekali.  

—Dia benar. 

"Aaaah~ kau bahkan meminta konfirmasi ke Hiyori-chan juga... Apa aku tidak terlihat 23 tahun?"  

"A... anu... itu..."  

Aku tidak bisa mengatakannya. Untuk menjawab dengan jujur "Iya, tidak kelihatan." Tentu saja, aku tau karena itu terlalu kasar.  

"Ngomong-ngomong, aku punya SIM, jadi bisa kubuktikan sekarang lho?"

Dari sikapnya yang begitu tegas, sudah pasti kami sebaya.  

Aku ingin segera mengalihkan topik, tapi dari cara bicaranya, kebohonganku pasti akan ketahuan...  

"Ngomong-ngomong, Souta-san lahir bulan apa?"  

"...Desember."  

"Begitu rupanya. Aku bulan Juni, lho. Hehe."  

"Putusan pengadilan! Sota-san bersalah!"  

Suara Hiyori yang tenang tiba-tiba menyela sementara Kotoha tersenyum sambil menutup mulutnya.  

Ini pertama kalinya aku tertipu oleh penampilan seseorang.  

Ini pertama kalinya aku berinteraksi dengan seseorang yang penampilan dan usianya sangat berbeda.  

Dan ini pertama kalinya aku memperlakukan teman sebayaku seolah-olah mereka masih pelajar SMP/SMA...  

"Souta-saaan~?"  

"Aha... haha..."  

Dia menunjukkan senyum dengan separuh wajah terlihat gelap. 

Tekanan dari sikapnya benar-benar terasa. Baru kali ini aku merasakan aura yang sesuai dengan usianya.  

Hanya ada satu hal yang bisa kulakukan sekarang - meminta maaf.  

"Mohon maaf. Kotoha-san... maksud ku, Kotoha. Sungguh..."  

Permintaan maaf yang sopan diikuti dengan panggilan tanpa gelar seperti yang dia inginkan.  

"Hehe, baiklah. Aku maafkan. Terima kasih sudah memahaminya."  

"U-um. Maaf, ya. Sungguh."  

"Semua orang bisa melakukan kesalahan, kok. Aku tidak mempermasalahkannya... Tapi kau kau sampai salah lagi lain kali, bersiaplah~?"  

"Eh!?"  

Suaranya yang biasanya lembut tiba-tiba terdengar mengancam.  

...Jelas dia sangat sensitif mengenai penampilannya.  

Aku memang tidak sengaja menyentuh kekurangannya, tapi dia dengan baik hati memaafkanku. Aku sangat bersyukur.  

"Ayo kita makan bersama. Aku akan menyiapkan tempat duduk untuk Souta-san."  

"Terima kasih."  

"Horeee! Makan~!"  

Mulai hari ini, aku bertekad:  
Jangan pernah lagi tertipu oleh penampilan.  

"Itadakimasu!"  

"Itadakimasu!"  

"Itadakima—suu!"  

Kami mengucapkan syukur sebelum mulai makan.  

Menu makan malam hari ini, Carbonara, Steak tahu dengan parutan ikan teri, Salad tuna dan Sup konsomé  

"...Enak."  

Kotoha mencicipi sup konsomé, matanya yang seperti warna apel melebar.  

"Hiyori juga mau mencoba!"  

Hiyori segera menyantap carbonara, mulutnya penuh.  

"Mmm!"  

Dia menggerakkan kakinya sambil mengunyah, menunjukkan betapa enaknya makanan itu.  

Hiyori bereaksi dengan sangat antusias, sementara Kotoha lebih tenang.  

Tapi, melihat mereka menikmati makanan dengan lahap membuatku senang.  

"Souta-san, ini sangat enak! Kotoha-san, cobalah pasta ini!"  

"Hehe, Apa sampai segitu enaknya?"  

"Iya! Ini sungguh enak!"  

"Jangan berlebihan, nanti aku jadi takut mencicipinya."  

"Ini benar-benar enak! Aku jamin!"  

"Aha... haha... Terima kasih, tapi..."  

"Mmm... Benar juga. Pasta ini enak. Rasanya seperti yang disajikan di restoran."  

"Syukurlah."  

Sebenarnya aku cukup percaya diri dengan menu hari ini.  

Kalo aki sampai mendapat kritikan pedas, pasti iti akan mempengaruhi semangatku untuk menyiapkan sarapan besok.  

"Menu makan malam ini sepertinya disesuaikan untuk perempuan, ya? Terima kasih."  

"Ah, carbonaranya memang permintaan Hiyori, jadi agak condong ke sana."  

"Wah, Hiyori-chan sudah manja sejak hari pertama~"  

"Ehehe, tidak sengaja~!"  

Memang aku yang bertanya duluan, "Apa ada sesuatu yang ingin kau makan?", tapi respons polosnya sangat khas Hiyori.  

Dia mengangguk sambil tersenyum cerah.  

"Souta-san, harap hati-hati kalo kau terlalu memanjakan Hiyori-chan. Dia bisa menjadi sangat manja, lho."  

"Eh!? Tidak juga kok!?"  

"Sepertinya perkataan Kotoha lebih bisa dipercaya... Hiyori terlihat panik."  

"Kemarin saja dia terus meminta digendong Yukki—anggota tertua di asrama ini."

"Kotoha-san!? I-itu tidak benar!"  

Wajah Hiyori memerah saat mendengar Kotoha yang dengan hati-hati mengubah panggilanku menjadi namaku. 

Wajar saja dia bereaksi seperti ini setelah fakta kalo dia pernah minta digendong padahal dia sudah jadi siwa SMA terungkap di depan lawan jenis.  

Apalagi tadi, aku berkata, "Aku akan membantumu melakukan apa pun!" Dia membantuku dengan sikap seperti kakak perempuan.  

"E-erm... Souta-san...?"  

Mungkin dia berharap aku tidak mendengarnya... Hiyori menatapku seperti itu, tapi sayangnya, telingaku cukup tajam.  

"Jadi... kamu manja, ya? Agak mengejutkan."  

"Uuu... sudahlah! Hiyori memang manja, jadi...!"  

"Ahaha~"  

"Fufu~"  

Perlawanan hanya terjadi satu kali. Akibat pengakuan jujurnya, ada satu orang yang terbunuh, topik ini justru mempererat hubungan kami bertiga.  

Hiyori sendiri, dengan cemberut seolah sedang merajuk, menggulung carbonara dengan garpu lalu melahapnya. Pemandangan itu cukup memuaskan juga.  

"Ngomong-ngomong, Mirei-chan belum pulang ya...? Biasanya dia sudah sampai di jam segini."  

"Kata Mii-chan, dia akan makan dulu dengan temannya sebelum pulang. Seharusnya sebentar lagi."  

"Hmm, gitu ya..."  

"Kotoha-san juga bereaksi seperti itu, ya..."  

"......"  

Mereka berdua seperti saling memahami. Melihat ini, aku jadi penasaran.  

"Eh, jadi... Mirei-san ini bermasalah atau bagaimana? Apa dia tipe yang berbahaya untukku?"  

Aku tidak melewatkan reaksi aneh Hiyori saat pertama kali menyebut nama Mirei. Dan sekarang Kotoha juga bereaksi serupa.  

Aku jadi penasaran.  

Sebagai penguris, aku pasti akan sering berinteraksi dengan para penghuni. Aku butuh informasi sebanyak mungkin.  

"Dari Hiyori, aku dengar dia 'baik tapi galak'—apa ini benar?"  

"Iya, tapi... mungkin awalnya lebih dari itu..."  

"Lebih dari galak? Maksudnya ada yang lebih parah?"  

"I-ini agak sulit dijelaskan..."  

Kotoha mengerutkan alisnya yang halus, wajahnya terlihat serius. 

Sepertinya dia sedang berpikir keras.  

"Bisa tolong dijelaskan, kalo bisa?"  

Aku menyatukan tanganku memohon padanya, berusaha tidak memaksa.  

"Kalo begitu, sedikit saja ya..."  

Tepat saat Kotoha hendak berbicara—  

Krek! 

Suara pintu terbuka terdengar dari pintu masuk untuk kedua kalinya hari ini. Waktunya kurang tepat.  

"Ada yang pulang. Aku akan menyambutnya."  

"Aku ikut juga? Kalo-kalo itu Mirei-chan..."  

"Hiyori juga ikut."  

"Tidak, tidak. Kalian lanjut makan saja. Ini tugas pengurus kok. Apalagi ini hari pertamaku."  

Meski aku sendiri yang memicu kompleks Kotoha, first impression itu penting.  

Membiarkan mereka ikut menyambut penghuni yang baru pulang hanya karena kekhawatiran akan memberi kesan buruk.  

Apa aku sudah bersikap seperti pegurus yang baik?
  
Dengan pikiran itu, aku melangkah ke koridor.  

Dan saat mataku bertemu dengan penghuni yang baru saja masuk───  
aku langsung mengerti alasan Kotoha dan Hiyori ingin ikut.  

"───JJAANGG!! Ja-jangan mendekat ke sini!!"  

"......Hah? A-Apa!?"  

"Jangan dekat-dekat! Menjijikkan!!"



"Eh, eh...!?"

Kepalaku kacau balau. Baru saja ketika aku hendak mau menyapa untuk pertama kalinya, aku langsung dihujani badai kata-kata kasar.

Penghuni yang mengenakan seragam yang sama dengan Hiyori, membuka lebar mata zamrudnya dan menatapku dengan permusuhan yang kentara.

Seolah-olah aku akan dibunuh kLo aku tidak menuruti perintah "Jangan mendekat!"... 

Penghuni dengan kuncir kuda hitam dan rambut samping yang berwarna pink. 

Dari informasi yang kudapat tentang sifatnya yang tsundere, cukup untuk mengetahui kalo orang ini cantik.

"A-ano...perkenalkan, aku Souta, pengurus baru. Senang bertemu dengan mu, Mirei-san."

"Benar-benar menjijikkan. Tidak perlu perkenalan juga."

"........."

"Lagipula, jangan sok jadi pengurus. Kau tiba-tiba mengubah lingkungan kami..."

"Ugh, ma-maaf..."

Dari sudut pandangku, aku diperlakukan tidak adil, tapi aku tidak bisa menyangkal perkataan Mirei.

Kalo lingkungan yang hanya terdiri dari wanita tiba-tiba berubah, wajar kalo mereka ingin menyampaikan keluhan.

Hanya saja, cara bicaranya benar-benar buruk... 

"Pokoknya, aku tidak berniat diurus oleh orang sepertimu. Lebih baik aku mati daripada diurus oleh mu."

Setiap kali aku mencoba berbicara dengannya, dia pasti menyisipkan satu kata kasar.

"Sudah cukup, kan? Cepat minggir dari sana. Kau menghalangi."

"I-itu mungkin benar, tapi──"

"Hah. Aku benar-benar tidak punya niat untuk terlibat sama sekali dengan mu. Hanya itu."

Mirei melontarkan kata-kata dingin dengan nada jijik.

Entah kenapa, entah kenapa aku mengerti. Mungkin interaksi sebanyak ini adalah batas untuk saat ini.

Kalo aku menjadi emosi, situasinya akan menjadi tidak terkendali...

Mungkin aku harus lebih mengenal Mirei sebelum melangkah lebih jauh dari ini.

"Makanya cepat minggir. Kau benar-benar menghalangi!"

"Ba-baiklah. Kalo begitu, sebelum aku minggir, satu hal saja... Apa yang ingin kau makan untuk sarapan besok pagi?"

"Tidak mau."

"........."

Aku sudah tidak punya kata-kata lagi.

Seperti yang terlihat, dia benar-benar membenciku meskipun ini pertemuan pertama kami. 

Bahkan kalo aku mencoba mendekat, aku benar-benar dihadang oleh tembok yang dia bangun.

"Ka-kalo begitu, terakhir. Pokoknya, besok pagi aku akan menyiapkan sup atau sesuatu yang mudah dimakan, jadi tolong dimakan kalau kau bisa, ya."

"T
ch."

Desisan lidah itu adalah yang terakhir. 

Mirei, yang berlari mendekat dengan emosi, tiba-tiba mengayunkan tasnya.

"Ogah!?"

Aku menghindarinya tepat waktu, dan dia memanfaatkan celah itu untuk berlari menaiki tangga menuju lantai 2.

Bisa dibilang ini adalah kontak pertama yang terburuk.

"Hah..."

Aku menghela napas panjang di lorong yang sunyi. 

Ini sama sekali bukan karena aku semakin kesal.

"Sikap itu, pasti ada sesuatu di baliknya..."

Aku tidak membela Mirei. Bahkan, setelah diperlakukan seperti itu, aku tidak ingin membelanya.

Tapi, sikap, nada bicara, dan ekspresinya yang agresif. Pasti ada sesuatu yang membuatnya berubah seperti itu, dan selain itu, ada hal lain yang membuatku penasaran.

『Aku akan menyiapkan sup atau sesuatu yang mudah dimakan, jadi tolong dimakan kalau kau bisa, ya.』

Ketika aku mengatakan kata-kata itu, Mirei sekilas menunjukkan wajah seperti sedang merasa bersalah.

"Rasanya tidak enak..."

Meskipun aku telah menerima hinaan seperti itu, perasaan jujurku adalah aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. 

Terlepas dari posisiku sebagai pengurus.

Aku melihat sekilas ke tangga lantai 2 tempat Mirei menghilang.

Sambil menggaruk belakang kepalaku, aku kembali ke ruang tamu dengan wajah yang sulit diartikan, dan Hiyori serta Kotoha menatapku dengan tatapan meminta maaf.

"Aku akhirnya mengerti arti reaksi kalian berdua. ...Mirei-san benar-benar benci laki-laki, ya."

Mendengar perkataanku, keduanya saling bertukar pandang dan mengangguk kecil.



Kemudian, setelah selesai makan, sekitar pukul 21 lebih.

Aku menyambut dan bertukar sapa dengan penghuni terakhir yang datang.

"Selamat malam dan selamat datang kembali. Dan perkenalkan, aku Souta, senang bertemu denganmu, Koyuki-san."

"Ah, selamat malam. Dan, senang bertemu denganmu juga. Kau pasti pegurus baru, Hirose Souta-san, kan?"

"Ah, ya. Aki akan berusaha sebaik mungkin agar tidak merepotkan kalian semua, jadi mohon bantuannya mulai sekarang."

"Tentu saja. Aku juga mohon bantuannya. Kalo boleh, bisakah aku memanggilmu Hirose-san? Memanggil kau pengurus-san terasa agak terlalu formal, menurut ku."

Koyuki, dengan mata seindah safir yang menyipit dan kepala yang sedikit miring, mengajukan pertanyaan. 

Rambut birunya yang panjang ditata menjadi sanggul dengan sentuhan ikal di sisi wajahnya, penampilannya dan gayanya seperti model, dan dia memancarkan aura tenang yang khas dari seorang senior di asrama ini.

"Aku akan senang kalo kau memanggil ki begitu. Dan aku senang kamu juga mengingat namaku."

"Tentu saja, kau orang yang akan kami andalkan. ...Meskipun begitu, ada satu hal yang membuat ku khawatir, apa Hiyori tidak salah menyebut nama Hirose-san?"

Tiba-tiba saja. Koyuki memiringkan kepalanya dan menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan.

"Eh? Ahaha, ternyata meskipun baru bersama, kau bisa mengetahuinya ya. Yah aku tiba-tiba dipanggil 'Souda'."

"Ara, Hiyori ini... Maafkan kelancangannya. Anak itu, kalo sedang bersemangat, kadang-kadang dia jadi ceroboh. Aku juga minta maaf atas nama dia."

"Tidak, tidak apa-apa, aku tidak keberatan sama sekali. Malah berkat itu, aku jadi tidak terlalu tegang."

"Begitu...? Kalo begitu baguslah."

Aku tersenyum dan menanggapi Koyuki yang memasang wajah sedikit khawatir. 

Memang, dari sudut pandang sosial, itu sangat tidak sopan, tapi aku tidak akan mempermasalahkan kesalahan penyebutan nama.

Dan, dari percakapan ini aku menyadari.

『Kalo Koyuki-san, dia adalah kakak tertua di asrama ini! Dia suka merangkum pendapat semua orang, dia bisa masak, menerima pesanan aksesori, dan juga bekerja sebagai pelayan kafe. Dia sangat cantik, jadi aku yakin kau akan langsung tahu, 'Oh, pasti itu dia!' Selain itu, dia juga baik hati!!』

Dia persis seperti yang dijelaskan Hiyori.

"Ah, maaf. Berdiri di sini terus tidak enak, silakan masuk. Kalo kau tidak keberatan, aku akan membawakan barang bawaanmu."

"Fufu, kau perhatian sekali ya. Terima kasih."

"Sama-sama."

Aku menerima tas tangan kulit yang terlihat agak mewah. Koyuki melepas sepatu hak hitamnya di pintu masuk dan meletakkannya di rak sepatu, lalu memulai topik baru seolah-olah untuk mengisi keheningan.

"Apa 3 orang lainnya sudah naik ke lantai 2?"

"Yup. Mereka selesai makan sekitar 40 menit yang lalu dan langsung ke atas. Mirei-san sepertinya sudah makan di luar, jadi dia naik lebih awal."

"Begitu..."

Setelah aku selesai menjelaskan situasinya. Alisnya yang tertata rapi berkerut, lalu dia memberikan jawaban singkat.

Dia pasti penasaran tentang Mirei, mencoba memahami situasinya, dia benar-benar seperti seorang kakak perempuan.

Lebih lanjut lagi, untuk menghindari suasana yang suram, dia sendiri mengubah topik menjadi lebih cerah.

"Ngomong-ngomong, sepertinya hari ini disiapkan makanan yang sangat lezat ya? Kotoha mengirimiku email."

"Eh, apa email seperti itu dikirimkan!? Padahal aku sudah bilang jangan meninggikan ekspektasi..."

Aku baru pertama kali mendengarnya. Apalagi pengirimnya Kotoha, bukan Hiyori, itu sangat tidak terduga.

Meski begitu, aku langsung merasa berterima kasih. Aku mengerti kalo Kotoha bertindak seperti itu untuk menciptakan lebih banyak kesempatan bagiku untuk berbicara dengan Koyuki. Aku sangat berterima kasih padanya.

"Fufu, kalau begitu, bisakah kau menyiapkan makanannya? Aku mau mencuci tanganku dulu."

"Woke. Tasnya akan aku letakkan di atas sofa ya."

"Ya. Tolong jangan buka isi tasnya ya."

"Aku akan menjaga privasi mu dengan baik, jadi mohon jangan khawatir."

"Fufu, terima kasih."

Setelah menyampaikan terima kasihnya, Koyuki menuju tempat cuci tangan. 

Dia melakukannya dengan tenang, tanpa menunjukkan sedikit pun kekhawatiran akan dilihat. 

Aku kembali memantapkan diri agar tidak menyia-nyiakan kepercayaan ini.

"Baiklah, kurasa aku juga harus mulai bersiap."

Aku lalu pindah ke dapur. Pada jam ini, aku akhirnya bisa bertemu dengan semua penghuni.

Meskipun masalah Mirei masih menjadi perhatian utama, aku merasa sedikit lega.



"Hmm, seperti yang tertulis di email, ini sangat lezat. Apa tidak ada bawang putihnya memang disengaja...?"

"Oh, kau menyadarinya ya. Awalnya aku berencana untuk memasukkannya, tapi karena besok juga hari kerja." 

"Terima kasih. Aku senang kau memperhatikanku."

Suasana berdua dengan Koyuki terasa sangat tenang.

"Apa Hirose-san ahli dalam masakan pasta? Ini pasti bukan saus instan, kan? Rasanya sangat kuat."

"Ya, kau benar. Sebenarnya aku sering membuat masakan pasta di rumah, jadi aku jadi bisa berbagai macam improvisasi."

"Ara, sayang sekali ya. Padahal aku ingin sekali makan yang baru matang."

"Terima kasih banyak."

Setelah menelan pastanya, Koyuki menekan sudut bibirnya dengan sapu tangan sambil bergumam dengan ekspresi serius. 

Aku tidak pernah menyangka akan dipuji sebanyak ini. Aku sangat senang.

"Aku akan membuatnya lagi kapan saja, jadi tolong beritahu aku kalo kau ingin memakannya lagi. Lain kali akan aku tambahkan bawang putih agar lebih lezat."

"Ya, akan kulakukan. ...Aku harus hati-hati agar tidak gemuk."

Koyuki bergumam kecil seolah-olah sedang menegur dirinya sendiri, lalu menyelipkan rambut sampingnya ke belakang telinga agar tidak menyentuh pasta dan menggigitnya lagi.

"Ano, Koyuki-san. Mungkin ini lancang, tapi menurut ku Koyuki-san tidak apa-apa kalo kau makan lebih banyak. Dari yang aku lihat, tubuh mu cukup kurus."

"Aku juga jadi bingung kalo kau mengatakan kata-kata manis seperti itu. Lengan atasku ini chubby tahu? Nih, coba pegang."


"Eh, tidak, eto, ano..."

Koyuki bertanya sambil mencubit lengan atas kirinya dengan tangan kanannya. 

Karena dia menekuk siku dan mengangkat lengannya, payudaranya jadi seperti tertopang, membuatku jadi salah tingkah melihatnya.

"Ah, maaf. Aku sudah terbiasa dengan lingkungan yang hanya ada sesama wanita, jadi tanpa sadar... Mulai sekarang aku harus lebih berhati-hati ya."

"Ahaha, benar. Kalo kau melakukan itu, aku akan sangat terbantu."

Saat itu, akan berbohong kalo aku mengatakan kalo aku tidak ingin menyentuhnya, tapi sebagai pengurus, aku harus bertindak dengan sopan santun, kalo tidak pasti akan muncul masalah.

Ini adalah hal yang mutlak yang harus kujaga. Batasan yang tidak boleh kulewati.

Kalo aku mengeluarkan kalimat seperti itu, Koyuki akan mengalihkan pembicaraan ke topik yang sedikit melompat-lompat.

"Kalo soal berhati-hati, boleh aku bertanya satu hal padamu, Hirose-san? ...Ini yang agak topik berat sih."

"Ya, tidak apa-apa."

"Terima kasih. Kalo begitu...bisakah kau ceritakan bagaimana saat kau bertemu dengan Mirei? Sikapnya seperti apa, apa yang dia katakan, hal-hal seperti itu."

Nada suara Koyuki berubah, dan suasana tegang tercipta.

"Yah, begitulah...aku tidak ingin mengatakan hal yang buruk, tapi dia sedikit lepas kendali. Aki tidak berniat untuk meninggalkan tugasku, tapi dengan keadaannya seperti itu, sulit untuk mendekatinya."

"Begitu... Apa dia juga mengatakan kata-kata kasar?"

"Yah, hanya sedikit kok. Sedikit sekali."

Sebenarnya lebih dari 90% adalah kata-kata kasar, tapi aku khawatir kalo aku memberitahunya, dia akan memarahi Mirei.

Justru karena Koyuki orang yang bertanggung jawab, kemungkinan itu tidak bisa disangkal, jadi aku menahan diri untuk tidak menceritakan semuanya dengan jujur. 

Tentu saja, aku punya alasan sendiri untuk melindunginya.

"Mirei-san tidak suka laki-laki. Bahkan pada tingkat yang cukup parah."

"Ya. Kalo sudah sejelas itu, itu akan langsung ketahuan. Dia memang mendengarkan dengan baik, tapi sepertinya dia tidak bisa menenangkan perasaannya..."

"Karena aku tidak diberitahu apa-apa, awalnya aku benar-benar terkejut."

"Sungguh maafkan aku. Meskipun aku mengatakan hal ini pada Hirose-san hanya akan membuat kau bingung, Mirei itu sudah menganggap laki-laki sebagai musuh. Dia bahkan bersekolah di sekolah khusus perempuan karena alasan tidak suka berinteraksi dengan laki-laki."

"A-apa sebegitu parahkah ketidaksukaannya..."

Kalo sudah berlebihan seperti ini, bisa dibayangkan kalo ada sesuatu yang terjadi di masa lalu, atau sesuatu telah dilakukan padanya.

"Kalo begitu, Koyuki-san, penjelasan lebih lanjut tidak perlu."

"Eh..."

Dari suasananya, aku bisa merasakan kalo Koyuki hendak menceritakan latar belakang Mirei. 

Dia mungkin berpikir kalk aku mengetahui sedikit tentang situasinya, beban karena dimaki-maki akan berkurang.

Itu mungkin memang benar. Tapi, meskipun aku tahu itu, aku sengaja menghentikannya.

"Karena ini masalah yang sangat berpengaruh, yang terbaik adalah dia sendiri yang menceritakannya. Aku sendiri juga akan berhati-hati dalam menanganinya mulai sekarang."

"........."

"Lagipula, karena ini masalah yang sensitif, hal yang paling tidak disukai seseorang adalah kalo masalahnya diceritakan tanpa izinnya. Yah, meskipun mengetahui detailnya akan membuat ku lebih mudah menerima serangan, aku tidak ingin melakukan hal yang dia tidak sukai."

"Hi-Hirose-san..."

Ini bukan karena aku merasa kasihan. Sebagai manajer maupun sebagai manusia, aku tidak ingin menciptakan hubungan yang tegang dengan penghuni. 

Tempat ini adalah tempat kenanganku, tempat nenekku kelola selama bertahun-tahun.

Kalo aku tidak menangani masalah seperti ini dengan baik, aku merasa akan dimarahi oleh gadis kecil yang melamarku belasan tahun yang lalu.

"Jadi, ayo kita sudahi masalah ini sampai di sini. Aku bukan orang yang akan tumbang hanya karena kata-kata kasar, dan melihat keadaan para penghuni, aku tahu kalo Mirei-san adalah orang yang baik."

"....Meskipun kau masih muda, kau sangat hebat ya. Aku tidak menyangka kau akan mengatakan hal seperti ini."

"Aku bukannya hebat atau apa. Aku hanya ingin menghabiskan waktu dengan para penghuni dengan senang."

"Ara... Kalo kau mengatakan hal seperti itu, aku juga jadi ikut senang tahu."

"Ahaha, kalo begitu maaf ya."

Setelah itu, Koyuki mengatakan, "Kalo ada hal yang menyakitkan, jangan ragu untuk memberitahuku kapan saja ya". Aku kemudian mengangguk sebagai jawaban.

Setelah pembicaraan agak mereda, aku bertanya bagaimana Mirei biasanya, dan cerita selanjutnya benar-benar penuh dengan hal-hal yang menghangatkan hati.

Semoga suatu hari dia bisa membuka hatinya...

Waktu ini juga menjadi waktu yang dipenuhi dengan perasaan kuat seperti itu.






Posting Komentar

نموذج الاتصال