> CHAPTER 2

CHAPTER 2

 Kamu saat ini sedang membaca   Unmei no hito wa, yome no imōtodeshita.  volume 1 chapter 2. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw


SINGA TIDAK AKAN TERPEROSOK KE DALAM LUBANG



Namaku adalah Chiko Shishino, putri kedua dari keluarga Chiko.


Keluarga Chiko adalah keluarga terhormat yang telah berdiri sejak zaman Edo. 


Awalnya, kekayaan kami berasal dari industri pemintalan. 


Setelah melewati badai besar pasca-perang, keluarga kami terus berkembang hingga kini. 


Meskipun memiliki latar belakang yang terhormat seperti itu,


──Perebutan harta, masalah warisan, dan segala urusan semacam itu sungguh sangat merepotkan.


"Kyyaa!! Cepat panggil ambulans! Ambulans!!"


Teriakan bibi menggema, sementara para staf hotel terlihat panik menghadapi situasi. 


Aku hanya memandangi kekacauan itu sambil terus menikmati sisa kue di piring ku.


"Darah! Darahnyaaa!!"


Di dahi paman, sebuah garpu tertancap, dan darah memancar seperti pistol air.


Pelakunya, paman buyut ku, sudah tergeletak pingsan setelah dihantam rahangnya oleh paman. 


Di sisi lain, bibi buyut ku sedang bergulat dengan paman lainnya, merobek kain renda mahal menjadi berantakan. 


Keributan ini tidak hanya melibatkan orang dewasa, sepupu ku yang 5 tahun lebih tua juga beradu mulut dengan saudara sepupu jauh kami. 


Lobi hotel yang mewah itu telah berubah menjadi pemand


(Oh, Kakak yang ceroboh dan tidak bertanggung jawab!)


Meski begitu, aku bisa memahami alasannya. 


Warisan kakek kami, jika dihitung dalam bentuk uang, mungkin bernilai lebih dari 500 miliar yen. 


Menerima uang sebanyak itu hanya akan menghancurkan hidup seseorang. 


Malahan, bisa dibilang tindakan kakak ku yang melarikan diri sebelum terseret ke dalam kekacauan seperti ini adalah keputusan yang bijaksana.


"Begini saja! Bagaimana kalo kita bagikan secara adil di antara semua yang ada di sini?"


"....Dengan kata lain, kalo salah satu dari kita mati, bagian yang lain akan bertambah, bukan?"


Orang-orang yang mendengar itu langsung menunjukkan ekspresi tajam, mata mereka berkilat-kilat, dan mereka mulai menggenggam pisau dengan nafas yang memburu. Situasinya benar-benar gawat.


"A-aku sepertinya ada urusan mendesak, jadi permisi dulu..."


Aku segera meninggalkan hotel dengan tergesa-gesa dan kembali ke kediaman keluarga Senko.


Tapi, masalah sebenarnya muncul tiga hari kemudian.


『Pasangan Muku Chiko Meninggal Dunia.』


Judul berita itu memuat nama paman dan bibinya, dan aku langsung menyadari apa yang terjadi. 


Keluarga Chiko benar-benar telah memulai pertikaian serius. 


Aku tidak tahu kapan giliran ku yakin akan menjadi target berikutnya.


Sebagai siswi SMP biasa, jelas aku tidak mampu menangani situasi yang penuh bahaya seperti ini.


Maka, aku memutuskan untuk menelepon kakak ku.


"Kakak! Sekarang, sebenarnya kau sedang di mana!?"


『Eh? Sekarang? Di Tochigi. Tidak ada yang menarik di sini. Hahaha.』


Sungguh, kakak ku ini selalu mengeluarkan pernyataan yang memicu kontroversi seperti menghembuskan nafas!


"...Sebenarnya begini, begini, dan begini..."


『LOL.』


"Aku serius! Aku benar-benar ingin meninju mu sekarang!"


Separuh dari kekacauan ini jelas karena ulahnya.


"Belakangan ini, kamera pengawas di rumah menangkap sosok mencurigakan. Kalo terus begini, aku pasti dalam bahaya."


『Oh, kalo begitu, sebaiknya kau segera melarikan diri. Pasti.』


"...Tapi, aku tidak punya tempat untuk lari."


Bagaimana tidak? Aku ini masih siswi kelas 3 SMP. Aku bahkan tidak bisa menginap di sebagian besar hotel sendirian karena umur ku. 


Tidak ada satu pun kerabat yang bisa aku percayai, dan Grup Chiko terlalu besar sehingga aou tidak tahu di mana saja mereka memiliki mata-mata.


『Hmm... Kalo begitu, bagaimana kalo kau meminta bantuan suami ku?』


"........."


──Apa yang baru saja dikatakan kakak ku?


"Suami? Maaf? Apa maksudmu?"


『Baru-baru ini aku menikah. Aku rasa dia bisa dipercaya.』


Apa-apaan ini? Kenapa aku sama sekali tidak tahu? Kakak ku, ternyata sudah menikah? Sejak kapan? Bukankah kami ini satu-satunya saudara kandung yang sangat dekat? Kenapa aku tidak tahu soal ini?


"Tunggu dulu. Bukankah kau masih sekolah..."


『Oh, soal umur jangan bilang ke suami ku ya. Aku mengaku sebagai wanita 23 tahun.』


Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa.


"Kenapa hal sepenting ini tidak pernah diberitahukan? Dasar kakak yang tertutup!"


『Ma-maaf, maaf. Aku sendiri tidak menyangka semuanya akan jadi seperti ini!』


Kakak yang selalu mengaku tidak menyukai pria ternyata menjalin hubungan dengan seseorang? Bahkan sampai menikah tanpa sepengetahuan ku. 


Seperti biasa, hidupnya penuh dengan keputusan yang sulit dimengerti.


『Hari ini aku memang sudah berjanji untuk bertemu dengannya. Aku akan menjelaskan tentang dirimu juga, Shishi.』


"Be-benarkah? Kalo begitu, mungkin aku akan meminta bantuan darinya."


『Aku akan mengirimkan lokasi dan informasi tentang tempat pertemuannya nanti lewat pesan.』


"Dimengerti. Kakak juga akan datang, kan?"


『Sebenarnya, aku memang berencana datang, tapi...』


"Ya?"


『Ta-tapi... aku belum siap secara mental! Rasanya aku belum bisa bertemu dengannya hari ini!』


"...Apa yang kau bicarakan?"


Seperti biasa, kakak ku selalu sulit dimengerti. 


Tapi kalo orang itu adalah seseorang yang telah dipilih olehnya, kemungkinan besar dia bukan orang yang buruk ─ atau setidaknya aku berharap begitu.




──Beginilah caraku bertemu Midou Daigo-san.


"Tunggu sebentar. Apa kau tidak tahu apa-apa? Tidak ada yang kau dengar dari kakakku?"


"....Tidak, dia tidak memberitahu aku apa pun."


Wajahnya pucat, bahunya gemetar, dan keringat mengalir deras di dahinya.


(Jadi, orang ini adalah suami kakak...)


Dia terlihat agak canggung, tapi tubuhnya kokoh dan terkesan cukup maskulin. 


Tipe pria seperti ini rupanya yang menjadi pilihan kakak ku? Tidak disangka.


"Wah, ternyata sinyal Hp-ku mati! Apa mungkin ini penyebabnya?"


Dia bergumam sambil menatap Hp-nya. Ah, ternyata kakak ku yang ceroboh itu setidaknya berusaha menghubunginya. 


Hanya saja, pesan itu tidak sampai karena Hp-nya tidak menerima sinyal.


(Apa orang ini tipe yang ceroboh juga?)


"Maaf, tapi kenapa kau tadi mengira kalo aku adalah Towa?"


"Eh?"


"Aku dan kakak tidak mirip sama sekali. Jadi, apa alasan kau bisa salah mengenali kami?"


Kini, giliran dia yang memandangku dengan ekspresi bingung.


"Apa Towa tidak mengatakan apa-apa padamu?"


"Maaf, apa maksudmu?"


Dia pun mulai bercerita. Tentang bagaimana dia bertemu kakak ku melalui aplikasi perjodohan. Tentang percakapan panjang yang mereka lakukan. Tentang program perjodohan buta, di mana mereka bahkan tidak pernah bertemu sebelum menikah.


──Dan hari ini adalah kali pertama mereka bertemu secara langsung.


"Ah."


"......Ah?"


"Kakak cerobohkuuuuuu!!!!"


Tanpa sadar, aku berteriak keras hingga orang-orang di sekitar menatapku, menyadari itu aku dengan cepat berdehem dan duduk kembali. 


Sebagai seorang gadis terhormat, tindakan ku barusan adalah sebuah kesalahan. Aku harus tetap tenang.


"Aku meminta maaf atas nama kakak ku. Karena kakak ku yang gil... err, unik, kau jadi kerepotan."


"Tadi kau hampir bilang 'gila', ya?"


'Perjodohan buta', katanya? Tentu saja, ini terdengar seperti salah satu 'permainan' yang akan dilakukan kakak ku. Dia selalu begitu. 


Selama dia bersenang-senang, segalanya boleh saja. Ketika terpikir sesuatu yang ingin dia lakukan, dia akan melibatkan semua orang di sekitarnya, membuat kekacauan, tertawa sepuasnya, lalu dengan cepat bosan dan kabur begitu saja.


Itulah yang selalu dia lakukan. Kakak ku memang orang seperti itu.


"Menurutku, lebih baik kau menjauh. Midou-san, kau telah ditipu. Besar kemungkinan, kau hanya dijadikan bahan lelucon. Bukankah kau sendiri merasa ada sesuatu yang janggal?"


Midou-san tersenyum kecil, dia terlihat sedikit kebingungan.


"....Berbicara dengan Towa itu, benar-benar menyenangkan."


"Eh?"


"Aku ingin terus bersama dia. Aku yakin Towa juga merasakan hal yang sama. Memang, kami belum pernah bertemu. Tapi... aku serius. Ini bukan permainan."


Kata-kata itu terasa penuh keyakinan. Dia benar-benar berani mengatakan hal seperti itu dalam situasi seperti ini?


(Dasar pria bodoh...)


Ya, tidak ada yang bisa ku lakukan lagi. 


Aku sudah memperingatkannya. 


Selanjutnya, biarkan dia belajar dari kesalahannya sendiri.


"Kalo begitu, aku pamit."


"Eh? Kenapa?"


"...Aku tidak ingin merepotkan Anda lebih jauh, Midou-san."


Dia tersenyum.


"Kau sedang kesulitan, kan? Kau tidak punya tempat untuk pulang, kan? Tenang saja. Aku akan mengurus semuanya."


"Maaf, meskipun secara hukum aku adalah adik ipar mu, kau tidak punya kewajiban untuk..."


"Ini bukan soal kewajiban."


Dengan tatapan penuh kepastian, dia menatap ku.


"Kalau ada orang yang kesulitan, tentu aku akan membantu. Itu saja."


".........."


Itu sama sekali bukan hanya itu saja. 


Apa dia tidak menyadari kalo dunia ini begitu rumit dan tidak sesederhana itu?


(Dasar pria bodoh...)


Tapi, dia bukan tipe pria bodoh yang menyebalkan. 


Entah kenapa, aku mulai memahami kenapa kakak memilih orang seperti dia.


(Tunggu?)


Tapi, di saat yang sama, aku menyadari sesuatu.


(Senyuman ini... Rasanya aku pernah melihatnya sebelumnya...)


Di mana? Aku tidak bisa mengingatnya. Senyumannya, rasanya sangat akrab. Sesuatu yang penting, sesuatu yang seharusnya tidak aku lupakan.


Midou Daigo-san. Suami kakak ku yang baru ku temui hari ini. 


Tapi, anehnya...


(Aku pernah bertemu orang ini sebelumnya di suatu tempat.)


Dada ku terasa gelisah. Jantung ku berdetak dengan rasa sakit yang samar. Dan untuk sesaat, aku merasa seperti ingin menangis.


Aku sama sekali tidak tahu kenapa hal itu terjadi.





Kota Yokohama di malam hari dipenuhi dengan cahaya berwarna-warni, dan angin malam dengan lembut membelai rambutku.


"Lebih baik kau menginap di tempatku malam ini,"


Midou-san mengatakan itu dan berjalan sedikit di depanku.


...Tunggu sebentar, itu berarti aku akan menginap di rumahnya?


"Midou-san, kau tinggal bersama keluarga mu, kan?"


"Aku? Aku tinggal sendiri. Di sebuah apartemen tipe studio."


"Tipe...studio?"


A-aku tahu kok. Setidaknya aku tahu apa itu apartemen tipe studio. Aku pernah melihatnya di drama-drama. Yang seperti itu, kan? Sebuah kamar kecil tempat orang biasa tinggal. Kira-kira sebesar gudang di rumahku. Tidak, aku tahu apa itu. Tapi tetap saja...


(Di apartemen tipe studio, hanya aku dan Midou-san berdua sepanjang malam?)


Bukankah itu masalah yang cukup serius? Sebuah ruangan sempit dan tertutup, hanya ada dua orang, seorang pria dewasa yang sudah menikah dan seorang gadis remaja. Bukankah ini sangat berbahaya?


(Tapi dia mencoba membantuku dengan niat baik. Mungkin hal seperti ini biasa saja di kalangan orang biasa...! Lagipula, mencurigai seseorang itu bukan hal yang baik!)


Dengan kepala yang penuh dengan berbagai pikiran, aku memutuskan untuk bertanya tentang hal yang paling penting.


"A-anu...apa ada 2 set futon?"


"Bukan, bukan begitu maksudku. Aku ini pengelola apartemen. Aku berpikir untuk membiarkanmu tidur di salah satu kamar kosong."


Oh, begitu.

 

"Ada apa, Shishino-chan? Wajahmu merah sekali."


"....Aku hanya bergulat sendirian, jadi mohon jangan terlalu dipikirkan."


Daigo-san, membawaku di sebuah apartemen kecil berbentuk memanjang dan sempit di Yokohama Chinatown. 


Bangunannya terlihat tua, tapi terawat dengan baik. Tepat di sebelahnya terdapat restoran besar khas Tiongkok, dengan gerobak penjual kastanye panggang berjajar di depan pintu masuknya. 


Di depan pintu kamar 201, Daigo-san menekan interkom.


"Ada apa? Daigo, ya? ...Hah? Siapa itu?"


Yang muncul adalah seorang wanita yang terlihat seperti gadis muda, dengan rambut hitam diikat menjadi dua ekor kuda pendek yang menjuntai ke atas.


(....Hanya memakai kaos?!)


Dia hanya mengenakan kaos lusuh, dan di bawahnya hanya pakaian dalam. 


Betapa tidak sopannya penampilan ini!


Kalo aku yang berpakaian seperti ini di depan seorang pria, aku pasti tidak akan bisa menikah!


"Ini adik iparku, Shishino-chan. Shishino-chan, ini Yen SiHan, temanku."


"Se-senang bertemu denganmu..."


Yen-san memandang ku dengan pandangan datar, lalu dengan malas berkata, "Ya sudah, masuk saja." Daigo-san masuk ke kamarnya seolah itu hal biasa.


(Seolah-olah dia sudah terbiasa!)


Dengan kebingungan, aku mengikuti mereka dari belakang. 


Ruangan itu kecil, dengan bau rokok yang sudah melekat di dinding.


(Inilah pertama kalinya aku melihat ruangan sekecil ini selain di Tv! Seperti gudang tempat tinggal para peri kecil!)


Meskipun terkejut dengan perbedaan budaya yang begitu besar, aku akhirnya menerima kenyataan kalo aku harus bergantung padanya. 


Mulai besok, sebuah kamar kosong akan disiapkan untuk ku, tapi malam ini aku harus menginap di kamarnya terlebih dahulu.


"Senang bertemu denganmu." 


Yen-san menjawab dengan nada malas, tapi tanpa kesan tidak menyenangkan, seolah sudah mengerti.


"Baiklah, selamat malam, Shishino-chan."  


"Ya, selamat malam, Daigo-san." 


Ketika aku membalasnya, Daigo-san tersenyum kecil dan menjawab, "Selamat malam."


(Apa ini? Seperti yang kuduga──)


Mengucapkan 'selamat malam' padanya. Mendengar balasannya. Berbagi senyuman kecil. Entah kenapa, ada sesuatu yang nostalgia tentang hal itu, aku merasakan kehangatan yang tidak terkira di dalam hatiku, pikiranku menjadi kabur, dan dadaku terasa sesak───seperti ada sesuatu yang menghimpitnya.


Seperti seorang gadis yang bertemu kembali dengan cinta pertamanya.


(Apa yang sedang kupikirkan!?)


Dia ini suami kakakku! 


Astaga, mungkin aku sedang terserang demam aneh atau semacamnya.


★★★


Setelah menitipkan Shishino-chan, aku naik ke atap apartemen yang memiliki sinyal yang baik. 


Pembayaran biaya data sudah selesai di konbini, lalu aku memeriksa pesan yang datang dari Towa. 


Pesan itu memberitahuku kalo dia tidak bisa datang untuk makan malam yang sudah dijanjikan. 


Dia meminta maaf karena mendadak dan berharap aku bisa menjaga adiknya. 


Sekarang dia sedang sangat sibuk dan sepertinya kami baru bisa bertemu nanti.


Dan akhirnya, dia ingin menelepon malam ini.


Aku sedikit gugup tapi tetap menelpon 'Towa'. 


Beberapa kali terdengar nada dering. 


Apa dia sudah tidur? 


Aku menunggu sebentar, kemudian terdengar suara benturan keras.


『Au, au.』


Suaranya terdengar.


"Ada apa?"


『Ya ampun, kepalaku terbentur. Itu sakit.』


"Kenapa bisa begitu?"


『....Karena, Daigo-kun. Tidak ada balasan darimu, dan tidak ada telepon juga. Aku khawatir kau marah karena aku membatalkan janji kita. Aku panik. Pas aku dengar Hp-ku berdering, aku lagi mandi, jadi aku berlari, dan yah alhasil aku jatuh.』


Astaga, istri ku ini. Imut sekali. Meskipun kami belum pernah bertemu, tapi dia benar-benar menggemaskan.


"Maaf, aku baru sadar pesanmu. Shishino-chan sekarang menginap di apartemenku."


『Oh, begitu ya. Aku senag mendengar nya. ...Shishii, baik-baik saja kan?』


"Kau memanggilnya 'Shishii'? Shishino-chan memang anak baik."


『Hehe. Meskipun agak pemilih, dia tetap adikku yang lucu.』


Picky? Mungkin, kalau dipikir-pikir, Shishino-chan memang agak terlalu matang untuk anak kelas 3 SMP.


Masalah dengan Shishino-chan lebih dari itu, sebenarnya──


(Apa yang terjadi dengan musim dingin 1962?)


Aku dan Shishino. Kehancuran dunia dan sekte agama. 


Kami saling berjanji akan mencintai di kehidupan berikutnya. Itu hanya mimpi, kan? 


Meskipun rasanya itu sangat nyata. 


Ekspresi Shishino yang aku lihat dalam mimpi dan ekspresi Shishino yang pertama kali kutemui hari ini terasa sangat mirip. 


Ketika aku melihatnya, perasaan aneh muncul begitu saja.


Aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya. Karena, istri ku adalah Towa.


"Sepertinya aku juga ingin segera bertemu dengan Towa langsung."


『Ugh, ma-maaf~~. Aku tidak bisa melepaskan tangan sini dulu...cuma itu aja.』


"Tidak masalah. Hidup ini masih panjang kok."


『...Tidak...』


Suara yang terdengar penuh penyesalan. 


Memang sedikit mengecewakan, tapi setelah mendengar suara seperti itu, rasanya tidak bisa dipaksakan.


『Aku juga. Aku ingin segera bertemu denganmu. Sungguh, loh?』


"Aku tahu."


Aku tahu. Itu sebabnya aku menikah denganmu. Karena aku mengerti dirimu.


『...Shishii itu sangat cantik, kan?』


"Ya, jujur saja, aku terkejut."


Seorang gadis albino dengan rambut dan kulit putih seperti salju. 


Dia terlihat seperti peri yang keluar dari cerita dongeng, dia tegak dengan punggung yang lurus. 


Aku tidak tahu ada orang yang lebih cocok dengan kata 'cantik' selain dia.


『Aku bahkan lebih kawaii loh.』


“...Benarkah?”


Yah, sebenarnya bisa jadi begitu. Karena Shishino-chan dan Towa memang memiliki hubungan darah.


『Tunggu saja dan lihat.』


"Wah, jadi kamu menaikkan standar, ya~. Tidak masalah kan? Kalau pun kau datang dengan gaya seperti Sakekyo dari Inugami-ke, aku tetap akan mencintaimu seumur hidup."


『Ahaha, kau benar-benar orang yang aneh.』


Kami terus berbicara. Di bawah langit malam musim dingin yang dingin. Tentang apa yang terjadi hari ini. Tentang diri kami berdua.


『Omong-omong...』


"Hm?"


『Aku memiliki ukuran H-cup, loh.』


"................"


Istri seperti apa yang akan aku dapatkan? Yah kadang-kadang rasanya agak mengerikan.




Pagi hari, aku terbangun di apartemen studio kecilku. 


Kamar 101 yang kutinggali ini lebih kecil dibandingkan dengan kamar-kamar lain, tapi karena hanya digunakan untuk tidur, itu tidak masalah. 


Aku menguap dan bangkit dari tempat tidur.


(Aku harus mentraktir makan siang SiHan karena dia sudah banyak membantu kemarin.)


Waktu menunjukkan pukul 9. Semalam aku mengobrol dengan Towa hingga larut, jadi aku agak kurang tidur. 


Aku segera mengganti pakaianku dan keluar dari kamar. Tapi, ketika aku keluar, ada seseorang di koridor. Rambutnya putih bersih.──Shishino-chan.


"Pinya...!"


Saat dia melihatku, dia mengeluarkan suara seperti kucing yang dibasahi sampo, lalu melompat mundur.


"Ada apa, Shishino-chan?"


"Ah, itu... um... SiHan menyuruhku untuk memanggilmu."


"Ah, begitu. Terima kasih."


Tapi...


"Seharusnya kau menekan interkom saja."


"Ugh..."


Shishino-chan mengalihkan pandangannya.


"...Aku merasa ada yang aneh."


"Ada apa?"


Dia menunduk dengan pipi yang sedikit memerah. Suaranya terdengar agak gemetar.


"Sejak kemarin. Ada yang salah dengan diriku. Setiap kali aku memikirkanmu, dadaku terasa aneh."


"Terasa aneh pada dadamu?"


Aku memandang dadanya yang datar.


"Apakah kamu baru saja memikirkan sesuatu yang tidak sopan tentang payudaraku yang kecil ini!?"


"Ti-tidak, tidak sama sekali."


Dia menatapku dengan tajam sejenak, lalu dia segera membelakangiku dan berbalik seolah hendak pergi.


"Baiklah. Sudah kubilang padamu apa yang harus kulakukan. Aku berangkat."


"Ah, tunggu."


Aku memegang pergelangan tangannya saat dia hendak pergi.


"Pinyaaah!?"


"Apa kau baik-baik saja? Sejak tadi wajahmu sangat merah. Apa kau terkena flu?"


"Ti-tidak ada masalah kok... Jadi, lepaskan tanganku."


Dia mengibas tanganku dengan cepat, lalu mengeluarkan suara seperti kucing yang mengancam, sebelum segera berlari menjauh dengan wajah yang merah dan tampak seperti akan menangis. 


Larinya sangat cepat, sepertinya dia atlet lari.


(Tangan Shishino-chan)


Tangan yang kecil dan dingin. Aku merasa seperti masih mengingat sentuhan tangannya.


Tidak, itu pasti hanya perasaanku saja. 


Aku menggelengkan kepalaku dan melangkah menuju kamar SiHan.





"Kalo begitu! Penduduk baru dari Maison de Shanghai! Apa Chiko Shishino-san sehat? Sehatkah? Entahlah! Semoga! ──Cheers!!"


" " " "Cheers!" " " "


Bagaimana bisa seperti ini.


Kami sedang duduk di atas tikar yang terhampar di rumput yang menghadap laut di Taman Yamashita pada siang hari, sambil memegang bir murah.


Ringeit, dengan rambut pirangnya yang berkibar, berteriak.


"Minum bir di siang hari kerja, rasanya luar biasa! Ayo, Shishino-chan, minum, minum!"


"Jangan paksa orang di bawah umur minum, bodoh! (Chop)"


"Daigo kau kaku sekali! (Maken Shiroba Tori)"


Aku megatakan kalo aku akan mentraktir SiHan makan sebagai imbalan atas masalah yang aku sebabkan kepadanya.───Tapi, saat aku berkata begitu, Linget justru mengubahnya menjadi hal besar dan mengumpulkan penduduk Maison de Shanghai yang sedang santai. 


Para penduduk di sini memang suka mengadakan pesta. SiHan, yang duduk di sebelahku, tertawa lebar.


"Minum alkohol dengan uang orang lain adalah yang terbaik, Daigo. Ayo tampilkan sesuatu!"


"Aku masih harus menyiapkan kamar untuk Shishino-chan, loh. Nyalain listrik, sambungkan gas..."


SiHan meminum habis bir dalam kalengnya dan menghancurkannya dengan kekuatan genggamannya.


"He, ling."


"Pi-koon! Ada apa?"


"Nyanyikan sesuatu."


Linget langsung menyanyikan lagu idol dari tahun 70-an sambil menari dengan penuh semangat.


"Ge-ra-ge-ra-ge-ra."


Apa mereka ini tidak merasa malu sama sekali? Taman Yamashita adalah salah satu tempat kencan terbaik di Yokohama──tidak, bahkan di seluruh Prefektur Kanagawa. 


Meski itu siang hari di tengah minggu, masih banyak pasangan yang berjalan bersama, dan kami jelas menarik perhatian banyak orang.


(Apa Shishino-chan baik-baik saja?)


Aku mengamati dia dari samping. Dikelilingi oleh orang-orang aneh seperti ini, sepertinya dia merasa kesulitan.


"............"


Dengan rambut putih bersih yang bergoyang, dia memperhatikan camilan dari toko swalayan dengan mata yang membulat. 


Sepertinya dia sangat berhati-hati dalam memilih mana yang akan dimakan. 


Gadis ini memang luar biasa.


"Ah, Daigo-san, terima kasih atas kerja kerasmu!"


"Ah, bos."


Tiba-tiba, seorang pria tampan dengan mata sipit mendekat. Dia mengenakan setelan mahal yang pas dan memegang kantong kertas besar sambil tersenyum ramah.


Dia adalah CEO perusahaan real estate Maison de Shanghai──Tamanoi Masakatsu.


"Eh? Bos, ada keperluan apa?"


"Eh? Daigo-san bilang ada sesuatu yang perlu dibicarakan, jadi aku bawa camilan dan minuman..."


Kami saling memandang dengan bingung. 


Linget, yang melihat kantong besar yang dibawa bos, langsung berteriak.


"Makanan datang!!"


"Dengan gaji kecil Daigo, sudah pasti tidak banyak yang bisa dibeli..."


Para penghuni apartemen mulai berebut dan memeriksa makanan yang dibawa oleh bos. Melihat itu, bos membuka matanya lebar-lebar.


"...Apa aku tertipu?!"


"...Kalo begitu, mari kita minum bersama saja."


Meskipun dia memiliki uang, bakat, dan penampilan, bos ini sangat baik hati dan mudah tertipu. 


Para penghuni Maison de Shanghai sering mempermainkannya. Kami sebaya, jadi aku cukup dekat dengannya secara pribadi. 


Kami duduk dengan santai di atas tikar dan bersulang dengan bir.


"Sepertinya kau masih sibuk seperti biasa, ya, Daigo-san."


Bos memandangi penghuni apartemen yang semakin gaduh di belakangku, lalu bergumam. 


Dia sering datang ke sini, jadi dia benar-benar mengetahui segala hal tentang kami. 


Aku hanya tersenyum kecut dan mengangguk samar.


"Jadi, bos. Terima kasih atas bantuanmu dengan Shishino-chan."


"Tidak masalah. Pengelolaan apartemen ini sudah aku serahkan pada DaiGo-san."


Shishino-chan akan tinggal di salah satu kamar di Maison de Shanghai. 


Aku harus memberitahukan orang yang mengelola apartemen ini. 


Yah, orang baik seperti dia, aku sudah tahu dia akan menyetujuinya tanpa ragu.


Dengan senyum, bos menyerahkan sebuah kantong kecil kepadaku.


"Ngomong-ngomong, selamat atas pernikahannya. Ini, hadiah pernikahan berupa pembuat yogurt."


Tiba-tiba, aku merasakan kehangatan dari kebaikan orang yang sangat rasional ini, dan entah kenapa aku merasa agak canggung.


★★★


Aku terlempar ke dalam sebuah pesta yang sangat ramai, dan hanya bisa menatap kebingungannya.


"Ge-ra-ge-ra-ge-ra! Ayo minum! Daigo, minum!! Uhiya-hya!"


"Baiklah! Daigo pertama! 10 gelas tequila!"


"Selamat datang ke kematian!! Hanya dengan menolak hidup, manusia bisa lahir!!"


"Ah, lihat! Semua! Kita menangkap ikan pari hitam!"


Ini benar-benar mengerikan.


(Aku kira Daigo-san dan bos adalah orang-orang yang masuk dalam kategori orang berakal sehat.)


Yang paling mabuk dan berisik ternyata adalah Daigo-san, sementara bos yang tiba-tiba mulai memancing di Taman Yamashita dan dengan wajah merah memotong kail ikan pari hitam, jelas bukan orang yang biasa. 


Kalo dipikir-pikir, bos yang masih menjadi direktur di tengah siang bolong dan mulai minum alkohol sebenarnya memang orang yang agak aneh.


(Alkohol itu menakutkan.)


Aku memutuskan meskipun aku sudah dewasa, aku hanya akan minum sedikit saja. 


Dengan mengamati orang dewasa yang tidak bertanggung jawab, aku membuat tekad.


"──Sebagai orang dewasa, aku merasa seolah-olah ada beban besar yang menutup hati ku. Ketika aku minum, rasanya sedikit lebih ringan. Meskipun itu hanya perasaan ki. Atau mungkin aku bahkan sadar akan hal itu."


Tiba-tiba aku mendengar suara di sebelah ku dan menoleh. Seorang gadis kecil yang membawa tas punggung merah—sekitar usia 9 hingga 12 tahun?—memandang orang dewasa dengan tatapan lesu. Dia adalah gadis yang sangat cantik.


"Aku, Yui Tamanoi. Itu di sana, aku adik dari kakak bodoh itu."


"Oh, jadi kau adiknya bos?"


Oh ya, mungkin ada kesamaan dalam tatapan mereka. 


Baik kakak maupun adik, keduanya memiliki wajah yang luar biasa.


"Kau, katanya adalah penghuni baru di Maison de Shanghai? Pasti sulit, ya."


"Aki juga baru mulai merasakannya."


Hingga kakak perempuan ku kembali, aku diputuskan untuk tinggal di apartemen Daigo-san.


(....Meminjamkan kamar kepada orang yang tidak dikenal begitu saja, sungguh orang yang tidak berpikir panjang.)


Entah kapan dia akan menyadari kalau dirinya telah tertipu. 


Tapi itu tidak terlalu penting bagi ki. 


Tentang Daigo-san? Itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan ku. Aku tidak tertarik. Karena dia hanya suami kakak ku.


"Namamu Shishino-chan, ya? Nama yang indah."


Yui-chan tersenyum. Dia mengamati ku dengan matanya yang seperti bola marmer.


"Apa kau menyukai Daigo-chan?"


"Pi-nya!"


Dia menanyakan itu dengan suara yang sangat tenang. 


karena itu terlalu tiba-tiba aku sangat terkejut dan membeku.


"Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?"


"Karena kau terus-menerus melihatnya."


"Itu..."


Perasaan déjà vu tentang dia. Kenangan yang menghangatkan hatiku. Ketika mendengar suara Daigo-san──ketika memandang wajahnya──dadaku berdebar kencang, dan wajahku terasa panas seperti orang bodoh. Seperti seorang gadis yang jatuh cinta pada pangeran takdirnya. 


Padahal itu sama sekali tidak mungkin terjadi!


(Apa yang sebenarnya terjadi padaku?)


Aku bahkan tidak mengerti diri ku sendiri. Tiba-tiba, aku merasa seolah-olah aku dipaksa oleh perasaan yang sangat besar, dan aku bingung serta merasa kewalahan. 


Ini pertama kalinya aku merasakan jantungku berdebar ketika melihat seorang pria.


"Aku akan melakukan pertunjukan! Umiushi! (DaiGo)"


"Serius, itu membosankan, diam saja!"


...Melihatnya yang sedang mabuk, hatiku yang semula berdebar langsung mereda.


"Hehe. Shishino-chan, kau masih anak kecil yang belum tahu tentang cinta, ya?"


"Apa maksudmu itu?!"


Yui-chan tertawa seperti seorang aktris drama luar negeri. 


Aku lalu menggigit sepotong cokelat Alfort.


"A-aku, sebenarnya tidak tertarik dengan cinta. Lagi pula, dunia ini penuh dengan hal-hal luar biasa. Cinta itu hanya sebuah tindakan bagi orang-orang dengan harga diri rendah yang mengandalkan orang lain demi kebaikan mereka."


Selama ini──aku tidak pernah tertarik pada anak laki-laki. 


Bahkan Daigo-san, aku tidak merasa ada perasaan suka padanya. 


Hanya saja, ketika aki melihatnya, aku merasa tidak nyaman, napas ku terengah-engah, wajah ku terasa panas. 


Jantung ku berdebar, dan sedikit rasa aneh muncul di perut bagian bawahki.


Yui-chan tertawa seperti orang dewasa.


"Tidak apa-apa. Suatu saat nanti, orang yang ditakdirkan untukmu akan datang."


"!"


"Kau akan jatuh cinta sampai hatimu hancur, terluka sampai kau merasa tak bisa bangkit, tapi kau tidak akan bisa menyerah. Pada akhirnya, kau akan bertemu dengan orang yang ditakdirkan untuk mu. Cinta yang sangat berarti untukmu."


Apa gadis-gadis SD zaman sekarang benar-benar se-matang ini? 


Rasanya dia lebih dewasa dari ku. Aku tidak pernah merasakan cinta dan tidak tertarik padanya, tapi kata-kata 'orang yang ditakdirkan' itu membuat ku penasaran.


(Tapi, itu bukan Daigo-san, kan?!)


Karena orang sepelik itu, bukan tipe ku. Lagipula, dia adalah suami kakak ku. Tentu saja tidak mungkin. Aku tidak tertarik sama sekali pada orang seperti dia!


"──Shishino-chan."


Hanya dengan mendengar namaku dipanggil olehnya, aku merasa jantung ku berdebar sangat kencang. 


Saat aku menoleh, Daigo-san sudah ada di sana. Tapi, sebelum menoleh, aku sudah bisa merasakan kalo yang memanggilku adalah dia.


(Ah, ternyata dia punya bulu mata sepanjang itu.)


Aku terdiam dan wajah ku memerah seperti orang bodoh. Dia berbisik pelan.


"Jangan berteriak keras. Nanti mereka akan sadar. Sekarang mereka semua sedang mabuk, jadi kita bisa pergi diam-diam."


Dia menunjuk ke arah para penghuni Maison de Shanghai yang sedang meriah dengan ibu jarinya, lalu bergumam kalo dia akan menyerahkan sisanya pada Yui-chan, dan menyerahkan sebungkus jus jeruk padanya.


"Untuk berapa lama orang dewasa berpikir mereka bisa mengendalikan anak-anak dengan memberi mereka hadiah? Tapi sudah lah."


Yui-chan melambaikan tangannya dengan santai, menyuruh kami pergi.

 

Daigo-san kemudian menarik ku dan kami mulai berjalan. Wajah kemerahan karena mabuk tadi sudah hilang, dan kini aku yang wajahnya memerah.


★★★


Aku sedang berjalan di sepanjang pantai Yokohama bersama Shishino-chan, tujuannya adalah menuju Mega Don Quijote yang terletak di sepanjang jalan raya. 


Kalo ingin membeli barang kebutuhan sehari-hari di sekitar sini, pilihan utamanya adalah Yodobashi di Stasiun Yokohama atau Mega Don Quijote.


"Aku sudah berbicara dengan bos, dan sudah meminta pihak jasa untuk mengurus listrik dan gas. Ada kasur dan kulkas bekas, tapi kami tidak punya perlengkapan makan jadi sepertinya lebih baik kalo kita membelinya. Hmm, apa lagi ya yang perlu dibeli?"


Semalam, aku dan Towa membicarakan masa depan Shishino-chan. 


Orang tuanya sudah meninggal, dan sebelumnya dia tinggal bersama pelayan di rumah keluarga Chiko.


(Dia benar-benar seorang gadis bangsawan...)


Sekarang, karena masalah keluarga, para pelayan juga sudah diberhentikan, dan dia membutuhkan tempat tinggal untuk sementara waktu.


"Shishino-chan, kau hampir tidak membawa barang apapun, kan? Bagaimana kalo kita membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari hari ini?"


"... Tidak perlu. Tidak usah repot-repot."


Seorang gadis kelas 3 SMP yang baru mulai hidup sendirian di apartemen. 


Dia juga adik ipar ku, jadi aku ingin memberikan dukungan sebanyak mungkin. 


Shishino-chan sedang berada dalam situasi yang sulit sekarang.


"Maaf kan aku, aku tiba-tiba membuatmu ikut acara pesta mendadak. Mereka selalu mencari alasan untuk minum alkohol."


"Tidak apa-apa. Tidak masalah."


"Kau makan banyak sekali makanan penutup dari toko serba ada. Apa kau suka yang manis-manis?"


"Ya, cukup."


Ada apa ini? Aku merasa ada yang aneh dengan jawabannya yang terkesan dingin.


"Sangat dingin..."


Tadi malam, dia menjawab pertanyaan ku dengan ramah. 


Hari ini, suaranya satu nada lebih rendah, memberikan kesan yang agak menjaga jarak. 


Terlebih lagi, dia dengan keras kepala menolak untuk melakukan kontak mata.


(Apa dia jadi membenci ku setelah melihat kekacauan pesta dengan orang-orang bodoh itu?) 


Aku ingin menjaga hubungan baik dengan orang yang akan menjadi keluarga ku. 


Apa ada cara untuk membuat suasana menjadi lebih baik?


"Shishino-chan, lihat ini."


"Ada apa?"


"Umiushi! (LOL trik satu tembakan)"


"Bu...hahaha... Eh? Kenapa tiba-tiba?"


Dia tertawa! 


Aku melihatnya. Dia tertawa dengan lelucon sederhana itu. Mungkin dia berpura-pura serius, tapi itu justru bagus. Rasanya menyenangkan bisa melihat sisi kekanak-kanakan darinya.


"Sepertinya kau tidak terlalu bersemangat, Shishino-chan."


"Tidak? Tidak masalah. Aku baik-baik saja."


"Ngomong-ngomong, tadi pagi wajahmu merah. Apa kau merasa tidak enak badan?"


Apa dia mencoba menyembunyikan kondisi buruknya agar tidak membuat ku khawatir? 


Shishino-chan adalah anak yang sangat dewasa untuk usianya, jadi aku rasa dia bisa saja pura-pura kuat.


"Pinjam dahiku sebentar. Aku akan memeriksa suhu tubuhmu..."


"Pinya!"


Saat aku menyentuh dahi Shishino-chan, pipinya menjadi merah padam dan dia membeku. Aku membandingkan suhu tubuhnya dengan dahi ku.


Sepertinya dia memang sedikit demam.


"Jangan sentuh aku!"


"!?A-aku minta maaf!"


"Bagaimana bisa seorang pria menyentuh kulit wanita tanpa izin? Kau akan dilaporkan! Pengadilan! Hukuman mati!"


"Pl...tolong jangan sebutkan istilah hukum yang menakutkan seperti itu."


Tentu saja, karena dia adalah seorang Ojou-sama, mungkin dia sangat tegas dalam hal ini. 


Setelah menatap ku dengan tajam, dia melanjutkan.


"Aku membencimu."


─Tiba-tiba sekali, dia mengucapkan kalimat itu.


"Eh!? Tiba-tiba!? Kenapa!?".


Meskipun Shishino-chan terlihat tidak suka padaku, aku tidak bisa berpikir tentang alasan kenapa dia membenciku.


"...Eh? Kenapa? Ehh..."


Tidak, apa kau khawatir tentang itu?


Setelah berpikir sebentar, dia akhirnya mengucapkan sesuatu dengan ragu-ragu.


"...Se-secara fisiologis, aku tidak bisa menerimamu."


"Betapa kejamnya kata-kata itu."


Tidak ada yang bisa saya lakukan mengenai hal itu. Aku pernah mendengar kalo perempuan di masa pubertas cenderung tidak suka dengan hal-hal yang berbau maskulin, tapi bukan itu yang dia rasakan kan. 


Sementara aku sangat terkejut di dalam hati, dia melanjutkan kata-katanya seolah mencoba untuk mengubah suasana. 


"Tapi, tentu saja aku sangat berterima kasih. Terima kasih sudah memberi ku tempat tinggal, dan sudah membantu ku. Aku pasti akan membalas kebaikan ini. Sebagai anggota keluarga Chiko, aku pasti akan membalasnya. ──Bahkan jika itu berarti dengan nyawa ku."


"Jangan bicara soal nyawa."


Itu menakutkan.


"...Pokoknya."


Dia menatapku dengan tajam. Dia terlihat seperti hendak menangis dan terlihat sedih.


"Jangan mendekat. Jangan menatapku. ...Jangan sentuh aku."


Shishino-chan membalikkan badannya dan segera berjalan pergi meninggalkanku.


"Shishino-chan."


"Kembalilah. Aku baik-baik saja sendirian."


Itu adalah perpisahan yang terlalu tegas, dan aku tidak bisa mengejarnya.





"Uuuuu~~"


Beberapa puluh menit kemudian, Shishino-chan menangis di sampingku.


"Shishino-chan, kau benar-benar payah soal arah, ya?"


"Ti-tidak sama sekali! Hanya saja, hari ini ada gangguan di jalur energi bumi, itu saja!"


Seperti burung migran. Shishino-chan yang awalnya berjalan dengan penuh percaya diri sendirian, beberapa menit kemudian bertemu denganku saat aku sedang dalam perjalanan pulang, dan dia berkata "Aku baru saja melakukan kesalahan."


Beberapa menit kemudian, dia bertemu denganku lagi, dan saat aku sedang menunggu di jalan sambil minum kopi, aku melihatnya berjalan dengan wajah yang terlihat hampir menangis, berkeliling mencari jalan.


"Itu tidak sopan! Aku bukan orang yang suka tersesat!"


"Kalo begitu, tunjukkan arah apartemen kita."


"Ke sana!"


"Salah arah."


"Pinya."


Wajah Shishino-chan memerah karena malu.


(Seperti yang kukira, meskipun dia terlihat dewasa, dia tetaplah masih siswi kelas 3 SMP.)


Sebagai orang dewasa, aku harus memastikan dia baik-baik saja. 


Entah bagaimana, ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi sebelumnya. 


Tanpa sadar, aku tersenyum.


(...Sebelumnya?)


Tidak ada sebelumnya. 


Ini adalah pertemuan pertama kali antara aku dan Shishino-chan. 


Aku sedikit menggelengkan kepalaku dan menutup pikiranku.


"Aku bukan anak kecil. Aku baik-baik saja sendirian."


"Di tikungan berikutnya, kau belok ke mana?"


"Ke sana!"


"Salah arah."


"Pinya."


Shishino-chan yang aku lihat dalam mimpiku tidak seperti ini. 


Dia selalu terlihat serius, dan senyum yang dia tunjukkan sesekali itu sangat indah. 


Dia adalah orang yang tidak akan pernah menunjukkan kelemahannya, orang yang sangat kuat. 


Tidak mungkin dia tersesat dan merasa malu seperti ini, bahkan jika dunia terbalik sekalipun.


(Tapi, aku tahu itu hanya mimpi.)


Tapi, entah kenapa aku terus saja membandingkan keduanya. 


Shishino-chan yang seperti anak-anak, dan Shishino-san yang aku lihat dalam mimpi.


"Ke-kenapa kau tertawa?"


"Ah, tidak, cuma merasa kau lucu saja."


Shishino-chan tiba-tiba menegang seperti karakter dalam film animasi Ghibli. 


Kulitnya yang putih membuat pipinya yang memerah sangat jelas terlihat. 


Dia mendengus dan menatapku dengan tatapan tajam.


"...Aku benci itu."


"Eh?"


"Aku membenci sifat lembutmu yang seperti itu!!"


"Sifatku seperti apa?"


"Tentu saja! Meskipun kau punya istri, kau berteman dengan banyak gadis! Ada apa dengan konsep kesucian Jepang modern? Anehnya semua orang terlalu dekat dengan Daigo-san!"

 

"Eh, apa aku terlihat seperti itu? Mereka semua cuma penghuni apartemen biasa kok."


"Memangnya, menjadikan wanita yang bahkan belum pernah kau temui sebagai istri, itu sangat gegabah!"


"Itu mungkin benar..."


Aku tidak bisa membantahnya.


"Tapi, itu bukan alasan bagi Shishino-chan untuk membenciku, kan?"


"Eh?"


Shishino-chan menatapku dengan mata seperti melihat sesuatu yang tidak bisa dipercaya, kemudian dia mengalihkan pandangannya dengan wajah yang terlihat hampir menangis.


"...Aku benci itu."


★★★


Setelah melewati pintu otomatis, yang muncul di depanku adalah dunia yang jelas-jelas berbeda.


"Pinya...!"


Di dalam toko yang luas, seperti perut iblis, terdapat berbagai macam permen yang familiar, poster pop berwarna cerah yang terlalu mencolok, dan barang-barang aneh yang seolah tidak terhitung jumlahnya. 


Tempat ini adalah dunia yang digambarkan oleh orang-orang kota sebagai batasan antara dunia nyata dan dunia yang tak terjangkau...


(...Don Quijote!)


Lagu tema yang ringan, lampu neon yang terlalu terang, dan akuarium besar yang tidak ada hubungannya dengan barang-barang yang dijual! Semua informasi yang begitu padat membuat kepalaku merasa sedikit pusing.


"Pertama, mari kita lihat barang elektronik."


"Yah, Daigo-san, kau tidak perlu ikut denganku. Aku akan baik-baik saja sendiri."


"Tapi, Shishino-chan, kau pasti akan tersesat lagi."


Setelah berkata begitu, aku lalu menunjukkan peta di Megadonki. 


Banyak sekali lantai yang tak terhitung jumlahnya! Rak-rak barang yang saling bersilangan seperti sarang semut! Keinginan membeli barang yang terasa begitu kuat, seolah memasak hasrat itu hingga matang sempurna!


Aku merasa takut dan cemas.


"A-aku tidak akan tersesat. Kalo kau ingin mengikutiku, silakan saja."


"...Aku ingin mengikuti."


Kalo begitu, tidak ada pilihan lain. Meski rasanya tidak nyaman. Tidak ada yang punya hak untuk menghalangi keputusan orang lain. Meski aku tidak suka.


(Aku memang tidak menyukainya, tapi!)


Dengan perasaan yang sedikit kesal, aku mengalihkan pandanganku. "Bukankah itu alasan untuk membenciku?" Kata-kata itu terus berputar di kepalaku. Rasanya menusuk di dalam hati, dan aku tidak tahu kenapa.


(Seharusnya orang ini tidak berarti apa-apa bagiku...)


Dia hanyalah suami kakakku. Orang yang tidak terlalu berhubungan denganku. Hampir setara dengan orang asing. Jadi aku berharap dia tidak mendekat. Aku pun tidak ingin merasa semakin tertekan dengan perasaan yang tidak nyaman ini.


(Daigo-san adalah orang yang sangat baik. Dia hanya berusaha merawatku.)


Tapi, aku yang malah melihat mimpi aneh dan merasa bingung dengan perasaan ini, itu sangat buruk. Aku tahu itu. Aku mengerti, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ketika aku melihatnya, perasaan cemas itu sangat kuat.


──Tapu, ini di Don Quijote!


"Yang pertama diperlukan adalah microwave."


".....Microwave hanya 5000 yen. Apa ini bukan penghancuran harga!?"


"Selain itu, piring dan gelas juga diperlukan, kan?"


"Piring untuk kucing! Oh, cangkir ini lucu♪ Uhh, yang mana yang harus aku pilih?"


"Selain itu, pakaian ganti juga diperlukan, bukan?"


"Ba-bahkan ada pakaian maid yang dijual! Ah, ternyata ada juga pakaian yang cukup lucu."

Tergoda oleh dunia yang berkilauan, aku bahkan hampir lupa apa yang sedang aku pikirkan. Ternyata aku sangat mudah terpengaruh. Cahaya kapitalisme yang mendominasi sepertinya menerangi perasaan gelapku.


"Dan juga..."


Dia ragu-ragu. Tapi segera setelah itu, dia mengalihkan pandangannya dan menunjuk ke bagian dalam toko.


"...Mungkin kau juga harus membeli pakaian dalam."


"Pinya!"


Wajahku langsung memerah, dan aku melarikan diri dari situasi itu. Sebenarnya, pakaian dalam yang kubeli di minimarket itu sangat tidak nyaman, jadi aku memang perlu membeli yang baru. Dan aku benar-benar lupa tentang hal itu.


"Aku akan tunggu di sini ya!"


Meskipun dia sepertinya tidak terlalu peka, dia tampaknya bisa membaca situasi. 


Sambil mendinginkan pipiku yang terasa panas dengan punggung tanganku, aku dengan cepat meletakkan pakaian dalam ke dalam keranjang, di bagian paling belakang.


"Padahal sebelumnya aku merasa begitu tertekan dan cemas..."


Kunjungan pertamaku ke Don Quijote penuh dengan barang-barang yang belum pernah kulihat sebelumnya, sangat menyenangkan, dan aku sedikit melupakan diriku. 


Berjalan berkeliling toko bersama Daigo-san, mengambil barang-barang yang belum pernah kulihat, mencari barang-barang yang sepertinya akan berguna untuk kehidupan baru. 


Rasanya seperti berburu harta karun, dan... aku merasa senang.


"Jadi, orang biasa belanja di tempat yang seru seperti ini ya..."


Di sekolahku, pergi ke tempat seperti ini dilarang. 


Pengawalku bahkan melarangku pergi ke kawasan perbelanjaan. 


Ada begitu banyak barang, membuat mataku berpindah-pindah, dan membuatku berdebar-debar. 


Perasaan gelap yang tadi ada mulai sedikit memudar, dan aku mulai sedikit tenang.


"Dia sangat baik padaku, tapi aku... mengatakannya kalo aku 'benci' padanya..."


Aku tidak mungkin membencinya. Aku bahkan tidak tahu bagaimana bisa membenci orang sebaik itu. Tapi, insting pertahanan dalam hati ku berteriak. Kalo aku mendekati orang itu, itu akan berbahaya. Kalo aku menyadari 'sesuatu' dalam hati ku, itu akan menjadi masalah. Akh harus menjauhkan diri darinya secepatnya.


(Tapi, perasaan itu tidak rasional dan tidak logis. Itu perasaan yang bodoh.)


Aku merenung dan mengambil napas dalam-dalam. 


Dia akan menjadi suami kakakku, jadi kami harus akur. 


Aku berlatih tersenyum di depan cermin di bagian pakaian dalam, mengangkat ujung bibir ku.


(Sudah, baiklah. Ini akan baik-baik saja.)


Aku bisa tersenyum dengan baik di cermin. 


Dengan ini, dia pasti akan menganggap ku imut, kan...?


(Tunggu! Aku tidak perlu memikirkan apa aku terlihat imut atau tidak di depanya!)


Aku kembali terjebak dalam pemikiran yang aneh. 


Aku menggelengkan kepalaku dengan keras, lalu kembali ke tempat Daigo-san.


"Daigo-san, maaf sudah membuatmu menunggu..."


Tapi, saat akhaku kembali ke tempat tadi, dia sudah tidak ada di sana. 


Ke mana dia pergi, ya?


"Daigo-san?"


"Gyah!"


Aku mencari-cari sebentar dan menemukan dia di salah satu sudut toko, sedang memandangi sesuatu dengan penuh perhatian.


"Apa yang kau lihat?"


"Eh, ini... bukan apa-apa..."


Yang sedang dia lihat adalah... pakaian dalam wanita. 


Dan lebih tepatnya, pakaian dalam ukuran besar untuk orang dewasa. 


Bra dengan ukuran cup G hingga I. 


Dia memegang sesuatu seperti itu di tangannya dan menatapnya dengan saksama? Dengan hidung mancung dan wajah nakal!?


"....Mesum."


"Sungguh, bukan begitu!"


"Kenapa, menatap bra dengan tatapan setajam itu? Aku hanya bisa menganggapnya sebagai obsesi yang tidak wajar."


"Bukan begitu! Karena Towa bilang dia berukuran H cup!"


"Eh?"


"A-aku hanya penasaran seperti apa rasanya."


Memang benar. Payudara kakak perempuan ku besar. Saat dipeluk, aku merasa terkejut. Sebaliknya, aku merasa menyedihkan. 


Kalo aku memakai bra ukuran H cup, pasti bra itu akan kosong dan menggantung sampai ke pusar. 


Kakak perempuan ku bilang punyaku akan tumbuh besar nanti, tapi tidak ada tanda-tanda ke arah sana. Ukuran ku hanya A cup. 


Aku mengepalkan tinju karena marah.


".....Mengejekku."


"Eh? Apa katamu?"


"Mengejekku! Mengejekku karena payudaraku kecil! Jangan melihat payudaraku dengan tatapan kasihan!"


"Tidak, aku sama sekali tidak melihat dengan tatapan seperti itu!?"


"Kalo begitu, mana yang kau suka, gadis dengan payudara besar atau kecil!?"


"Payudara besar."


"Mukya────!!"


Tidak apa-apa. Nanti payudaraku juga akan tumbuh besar. Aku tidak peduli dengan selera Daigo!


Sambil menahan tangis, aku membawa keranjang belanja yang penuh sesak ke kasir.




Aku sedang berjalan pulang. 


Kota Yokohama masih ramai dengan orang-orang yang beraktivitas.


"Shishino-chan?"


Ada seseorang di belakang ku, tapi aku mengabaikannya.


"Shishino-chan, apa kau tidak mendengarku? Shishino-san!"


Abaikan, abaikan. Aku tidak akan mendengarkan kata-kata orang mesum seperti itu.


"...Payudara kecil."


"Sepertinya kau ingin mati ya!!"


"Ternyata kau bisa mendengarku!"


Aku memberinya tendangan rendah sebagai balasannya dan segera mengalihkan pandangan dari Daigo-san.


(Daigo-san baka. Daigo-san baka. Daigo-san baka.)


Dia bodoh, suka mengejar perempuan, suka payudara besar, dan memang aku benar-benar membenci orang seperti itu. 


Secara biologis pun aku tidak bisa menerimanya. 


Aku sama sekali tidak tertarik padanya, dan aku tidak merasa senang saat melihatnya.


"Mm!!"


Tiba-tiba, seorang lelaki tua yang tidak kukenal berdiri dan meninggikan suaranya. 


Dia menatap kami dengan kaget saat dia mendekati kami dan meraih bahu Daigo dengan kuat.

 

Aku sangat terkejut dan bahkan tidak bisa mengeluarkan suara.


"Oh, kau! Apa yang telah kau lakukan?!"


"Ada apa?"


Pria tua itu menunjuk ke pohon besar di sampingnya. 


Bunga putih yang langka sedang mekar di sana.

 

"Ada legenda kalo pria dan wanita yang melakukan tendangan rendah di bawah bunga legendaris ini pasti akan berakhir bersama!"


Apa itu legenda yang sangat tak masuk akal?


"Sudah 100 tahun sejak pohon ini mekar! Ini pertama kalinya aku melihatnya, bahkan bagiku...! Aku yakin kalian berdua terikat oleh 'takdir'! Berbahagialah!"


Kakek itu pergi dengan wajah yang sangat puas. 


Aku dan Daigo-san saling berpandangan.


"Ini pasti hanya takhayul."


"Y-ya, benar! Itu hanya omong kosong orang tua yang sudah menua."


Karena itu memang tidak mungkin. 


Takdir itu adalah sesuatu yang tidak ilmiah dan tidak ada di dunia ini. 


Apakah aku dan Daigo-san ditakdirkan untuk bersama? Aku tidak bisa menahan tawaku.


(Tidak mungkin sama sekali!) 


Memang, sejak pertama kali melihatnya, aku tidak bisa mengalihkan pandangan darinya, dan hanya berbicara sedikit saja sudah membuat jantungku berdegup kencang, bahkan saat aku tahu kalo aku bukan tipe tubuh yang dia sukai, aku hampir menangis.


(Tapi aku dan Daigo-san sebagai pasangan takdir? Itu tidak mungkin sama sekali!) 


Tiba-tiba, sebuah angin berhembus. Sesuatu yang putih jatuh ke tangan ku.


"Ini... buket?"


Pengantin wanita dan pria yang menerima buket itu melihat kami dengan senyuman dan mendekat.


"Maaf, aku agak tidak bisa mengontrol! Kalo boleh, apa kalian bersedia menerima buket ini?"


"Ini...ini buket toss...?"


Aku bertanya, dan pengantin wanita itu tersenyum lebar.


"Ya! Hebat sekali. Dari gereja sampai sini, cukup jauh, tapi bisa terbang sampai ke sini karena angin! Sepertinya kalian berdua 'ditakdirkan' untuk menerima ini!"


Pengantin pria yang berdiri di samping pengantin wanita itu berbisik dengan senyum bahagia.

 

"Benar, kita juga bertemu di sebuah pernikahan, ya. Seperti pasangan ini, kau yang menangkap buket bunga..."


"Hehe, begitu ya? Waktu itu aku sama sekali tidak tertarik, tapi tiba-tiba saja kita jatuh cinta, ya? Sekarang giliran kalian berdua♪"


Pasangan bahagia itu memberi kami buket bunga putih yang sangat indah dan pergi.


"─Itu tidak benar!"


Aku menunjuk wajah Daigo-san yang tertegun dengan jariku, lalu berteriak.


"Ini hanya kebetulan! Kita tidak terikat oleh takdir atau apa pun!"


"Y-ya, aku tahu! Lagipula, aku sudah punya istri!"


"Daigo-san itu sama sekali tidak sesuai dengan tipe ku!"


"Aku juga, tidak terlalu suka dengan Shishino-chan!"


"Haaah!? "


"Kenapa hanya kau yang marah begitu!? Itu tidak adil!"


Memang, itu benar. Aku sedikit menyesal. 


Ini adalah dunia di mana laki-laki dan perempuan setara. Itu benar. Tidak mungkin Daigo-san menyukai wanita berkulit putih dan berdada kecil sepertiku. Ya tentu saja, itu sudah jelas.


"Maaf, hehe..."


"Menakutkan. Senyuman mu menakutkan."


Meskipun seharusnya aku tidak peduli, entah kenapa aku merespon berlebihan. 


Padahal aku sama sekali tidak tertarik dengan orang seperti ini.


(Apa sebenarnya perasaan ini?)

 

Di bawah bunga legendaris. Buket pengantin wanita berwarna putih bersih. Dan detak jantungku yang tidak bisa berhenti sejak pertama kali aku melihatnya...


Itu semua tidak berarti apa-apa. Harusnya tidak berarti apa-apa. Karena Daigo-san adalah suami kakak ku.


"Oops, maaf. Ada telepon masuk."


Daigo-san tiba-tiba berhenti dan mengeluarkan Hp-nya yang bergetar.


(Nada deringnya adalah lagu dari band favoritku. Daigo-san juga menyukainya.)


Untuk sesaat, hatiku berdebar saat menyadari hal ini, tapi aku menggelengkan kepalaku.


"Ada apa? Shihan? Apa yang terjadi? Hah? Kenapa tiba-tiba?"


Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas, tapi terdengar seperti Yen-san sedang berbicara panik, menyebutkan sesuatu dengan tergesa-gesa. 


Ketika aku melihat dengan bingung, Daigo-san mengalihkan ke mode speaker.


"Nama keluarga Shishino-chan itu 'Chiko', kan? Aku rasa aku pernah mendengar nama itu, jadi aku mencari tahu."


"Coba lihat ini," Yen-san mengirim Url. Daigo-san, meskipun terlihat curiga, mencoba mengetuknya.


"Perselisihan keluarga Chiko──konferensi pers tunangan putri sulung Chiko Tsubaki, pengacara Kudo Jin."


Sepertinya itu adalah artikel tentang konferensi pers yang diadakan oleh Kudo-san, pengacara dan tunangan kakak ku, mengenai sengketa warisan keluarga Chiko. Bagi ku, itu hanya informasi yang sudah aku ketahui.


"...Tunangan? Apa ini?"


Aku menyadari kata-katanya yang gemetar, dan aku menatapnya. 


Mata yang membesar, keringat dingin mulai muncul di wajahnya.


(Ah, mungkin... orang ini...)


Ternyata dia tidak tahu, kalo kakakku memiliki tunangan. Dia tidak diberitahu, ya?


"Shishino-chan... Bisa jelaskan apa yang sebenarnya terjadi?"


Ekspresi wajahnya terlihat sangat pucat.

 



Suatu hari, bibiku yang memiliki kekuatan terbesar di keluarga Chiko berkata kepada kakakku:


"Orang ini adalah tunanganmu."


Dan di sana, berdiri Kudo Yaiba. Aku mendengar kalo dia adalah seseorang yang berhasil naik daun di industri pada usia muda. 


Tapi, kakakku yang paling mencintai kebebasan, tentu saja tidak akan tertarik dengan pernikahan yang diatur.


"Kalo kau menolak tunangan ini, bawa pria lain sebagai gantinya."


Kakakku adalah salah satu penerus keluarga utama Chiko yang sangat sedikit jumlahnya. 


Keturunannya tidak boleh punah. Bibiku yang menakutkan ini, kalk ditolak, pasti akan memaksa pernikahan terjadi.


Tapi, kakakku tidak mungkin memiliki 'pria lain'. 


Dia sendiri memiliki ketidakpercayaan terhadap pria, atau lebih tepatnya, dia merasa tidak nyaman (dan itulah salah satu hal yang paling aku rasakan aneh), dia tidak memiliki teman pria, apalagi pacar, dan tentu saja dia tidak ingin memilikinya. Dia adalah tipe orang yang paling suka menyendiri.


(Jadi, kakakku pasti membuat rencana.)


Dia mencari pria yang mudah ditipu, mengklaim mengikuti acara perjodohan buta, dan hanya mengambil 'dokumen resmi', yang merupakan bukti yang paling bisa dipercaya. 


Kakakku memang cerdik dan pandai mengendalikan orang.


Dengan begitu, semua hal menjadi masuk akal.


(Penolakan kakakku untuk bertemu dengan Daigo-san, pernyataan mendadak tentang perjodohan buta, dan yang terpenting, kenyataan kalo dia tidak pernah memberitahukan Daigo-san tentang tunangannya, Kudo Yaiba──)

 



Pada pagi hari berikutnya, Daigo-san tidak keluar dari kamarnya.


(Apa dia terkejut dengan apa yang terjadi semalam?)


Aku menceritakan semuanya kepadanya. 


Aku pikir itu adalah tugas ku sebagai saudara perempuannya.


Aku sudah berkali-kali meminta maaf, tapi dia hanya membisu dengan wajah yang sangat pucat, dan aku masih ingat perasaan sakit di dadaku.


"Daigo-san, bagaimana kalo kita sarapan bersama lagi? Yen-san yang mengajak."


Aku menekan tombol interkom kamar, tapi tidak ada suara dari dalam. 


Aku menyerah dan pergi, lalu bertemu dengan Yen-san dan Linget-san dan menuju ke 'Kōryūtei'.


"Daigo hanya dimanfaatkan saja."


Kakakku adalah orang yang mencintai kebebasan. 


Dia tidak tertarik pada siapa pun, dia selalu melakukan apa saja sesuka hatinya, dan tertawa sendirian. 


Demi kebebasannya, dia tidak akan ragu melakukan apa saja.


"....Kupikir akan lebih baik bagiku untuk meninggalkan apartemen ini."


"Hah? Kenapa?"


"Karena kakakku telah menipu Daigo-san..."


Itu pasti sangat menyakitinya. 


Mungkin Daigo-san tidak ingin melihat wajahku lagi. 


Selain itu, dia juga tidak punya kewajiban lagi untuk mengurusku. 


Tapi, Linget-san malah tersenyum.


"Daigo tidak sehebat itu, lho."


"....Tidak hebat?"


"Karena dia terlalu lurus. Dia tidak akan bisa begitu saja meninggalkan orang yang sudah dia urus."


Kepercayaan aneh itu membuatku sedikit terkejut. Tapi──


(──Aku rasa aku tahu ini.)


Midou Daigo. Dia tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Karena dia orang yang baik hati. 


Meskipun karena kebaikannya itu, dia sering terluka, dia tidak pernah berhenti. 


Aku telah diselamatkan berkali-kali oleh ketidakmampuannya itu.


(Ah, lagi-lagi aku berpikir hal aneh.)


Aku dan Daigo-san baru pertama kali bertemu. Jadi, kenapa aku berpura-pura tahu segalanya?


"Hmm."


Mungkin karena dia mengira aku kesulitan, Yen-san menatapku dengan penuh perhatian dan tersenyum kecil.


"Kalo kau merasa bersalah, cobalah untuk menyemangatinya. Dia tipe yang mudah terpuruk dan butuh waktu lama untuk bangkit."


Itu memang ada benarnya. Pikirku.


(Aku berhutang budi panya untuk satu penginapan dan satu makanan.)


Sekarang saatnya untuk membalas budi itu! Dengan nyawaku pun, aku akan membayarnya!


"Aku... akan berusaha sekuat tenaga!"


"Woah! Semangat, semangat~"


"Bisakah kalian berdua membantuku juga?"


Saat aku bertanya, Linget-san dan Yen-san menjawab serempak, "Itu terlalu merepotkan."




Jadi, demi membalas budi atas satu penginapan dan satu makanan, aku memutuskan untuk menyemangati Daigo-san.


(Tapi, sebenarnya apa yang harus aku lakukan?)


Aku tidak tahu bagaimana caranya menyemangati orang dewasa seperti dia.


".....Ini, kompor ya? Bagaimana cara menggunakannya ya?"


Sebetulnya, akh bahkan tidak tahu cara menggunakan kompor IH yang ada di ruangan satu ini. 


Aku menggaruk kepalaku sambil mencoba menekan tombol IH sembarangan. 


Aku bertanya-tanya bagaimana orang biasa merebus kaldu di dapur sekecil itu.


 Saat aku memikirkannya, aku mendengar suara ping yang panjang. Aku membuka pintu kamar.


"Ah, kau ceroboh sekali."


Seorang gadis kecil dengan tas sekolah di punggungnya berdiri di depan pintu. 


Dia adalah adik perempuan sang bos, Yui-chan.


"Jangan begitu. Kau tinggal sendirian, jadi kau harus lebih hati-hati. Pastikan siapa yang ada di luar dulu. Lihat, ada lubang intip dan rantai, jadi gunakan itu dengan baik."


Benar sekali, dia benar. Aku merasa malu karena bahkan hal sederhana yang diketahui anak kecil seperti ini saja aku tidak tahu. 


Sambil merasa malu, aku bertanya padanya.


"Jadi, Yui-chan, ada apa?"


"Saudaraku yang bodoh menyuruhku membawa ini. Dokumen kontrak sewa, dan beberapa barang-barang berguna untuk orang yang tinggal sendirian."


"Terima kasih. Ayo, masuk?"


Yui-chan tetap terlihat dewasa, meskipun dia masih kecil. 


Meskipun begitu, tas sekolah merah dan bel kecil yang dia pasang membuatnya terlihat imut. 


Aku menyiapkan teh dengan set teh yang ku beli di Don Quijote, kemudian menyeduhnya dan menyodorkan cangkirnya padanya.

 

"Aku dengar tentang Daigo-chan. Katanya, dia sangat terpuruk, ya?"


"....Begitu."


"Aku sempat mampir ke kamarnya. Wajahnya pucat sekali, matanya sembab. Rasanya seperti dulu."


Ternyata Yui-chan sempat bertemu dengan Daigo-san. 


Sementara aku, bahkan tidak bisa mendengarkan suaranya. ...Tapi itu tidak penting. Fokus, aku harus fokus. Yang penting sekarang adalah dia.


"'Dulu' maksudmu?"


"3 tahun yang lalu, saat dia bercerai dengan istrinya. Saat itu...itu sangat membekas padanya."


Oh, itu yang diceritakan oleh Yen-san. Ternyata Daigo-san sudah pernah menikah sebelumnya.


"Dia itu, dasar anjing. Bisa dibilang, dia sangat terbawa perasaan...atau mungkin, cintanya terlalu berat... Dia percaya begitu saja tanpa memikirkan kemungkinan dikhianati, dan dia bisa mempercayai siapa saja. Kau mengerti, kan?"


"....."


"Itu memang hal yang sangat indah, tapi...sangat rentan. Semakin dalam kita percaya, semakin dalam juga luka yang kita terima. Biasanya, orang tidak akan begitu terbuka dan tanpa pertahanan. Tapi dia selalu begitu."


Yui-chan meminum tehnya dengan anggun. 


Aku berpikir keras dalam kepala ku, tapi semuanya terasa membingungkan. 


Karena aku tahu. Meskipun aku seharusnya tidak tahu, tapi aku tahu.


(Iya, dia memang begitu. Terlalu baik hati, dan dia hanya menyakiti dirinya sendiri.)


Saat dia diajak untuk mengikuti 'blind marriage hunting' yang terdengar mencurigakan itu, mungkin dia benar-benar mempercayainya. 


Karena dia begitu mencintai seseorang, dia akan mempercayai orang itu tanpa syarat. Seperti anjing.

 

"Bagaimana caranya agar Daigo-san bisa kembali bersemangat?"


"Oh?"


"Bukannya aku tertarik padanya atau semacamnya, sama sekali bukan!!"


Yui-chan terkekeh.


"Dia itu laki-laki yang mudah ditebak. Apa kau tahu apa yang disukai laki-laki?"


"Olahraga, mungkin...?"


"Minuman keras, judi, dan wanita."


Kuno sekali.


"Minuman keras tidak mungkin bagi kita. Kita juga tidak punya uang untuk berjudi. Tapi yang terakhir, mungkin bisa dilakukan, kan?"


"Wa, wanita?"


"Kalo Shishino-chan bersikap baik padanya dengan mengenakan pakaian renang, kurasa dia akan pulih dengan mudah. Dia itu orangnya seperti itu."


"Pinya!"


Aku. Aku memakai pakaian renang. Kepada Daigo-san. Bersikap baik? A-apa hal seperti itu diperbolehkan? Bukankah itu suatu pelanggaran? 


Aku tidak tahu bagaimana caranya bersikap baik. Tapi...pakaian renang, ya.


(Apa dia akan sedikit senang?)


Sepertinya dia suka payudara besar. Apakah payudaraku yang kecil ini bisa membuatnya bersemangat? Memikirkannya membuatku sedikit kesal.


"Oh? Padahal tadi aku hanya bercanda, tapi kau memikirkannya dengan sangat serius."


"Bu-bukan...bukan begitu!! Sa-sama sekali tidak!!"


Melihat wajahku yang memerah dan panik, Yui-chan tertawa lagi. 


Apa dia benar-benar anak SD?


"Hehehe. Bagaimana kalo kita pergi membuatkan makanan untuknya?"


"Eh?"


"Dia tidak akan makan apa pun kalo dia sudah seperti ini. Kalo dia lapar, dia akan semakin berpikiran negatif. Karena itu, mari kita buatkan makan siang. Shishino-chan juga akan membantuku, kan?"


Kalau hanya itu. Kurasa itu wajar sebagai balas budi.

 

──Tapi, bukankah sudah saatnya aku menyadarinya?


Aku terkejut dengan suara yang bergema dalam diriku. 


Aku tahu kalo di dalam diriku ada sesuatu selain diriku sendiri.


(Dari tadi, sebenarnya aku kenapa?)


Perasaan yang tidak kukenal itu, terus berada di dalam diriku.


(Apa yang membuatku begitu tertekan hanya karena melihat Daigo-san terlihat sedih?)


Aku merasa harus melindunginya. 


Tanpa syarat. Secara refleks. 


Rasanya seperti perasaan induk kucing yang melindungi anaknya. 


Lebih mirip dengan kebutuhan alami daripada keinginan. 


Itu adalah perasaan yang mutlak diperlukan.


(Awalnya, aku kira itu cuma 'cinta pandangan pertama'.)


Detak jantung yang cepat, perasaan berdebar-debar. Semua itu, perasaan yang hanya aku ketahui dari manga shoujo. Tapi itu terlalu terang-terangan, bukan? Meskipun begitu, aku berbeda jauh dari heroine dalam buku itu.


"Shishino-chan? Ada apa?"


Yui-chan khawatir saat melihatku tiba-tiba membeku, tapi aku tidak punya energi untuk menjawabnya. 


Jantungku berdetak sangat cepat, seperti mesin pembakaran dalam, dan aku hampir muntah.


(Apa? Apa tanah ini bergetar?)


Aku sadar kalo aku harus mengingat sesuatu. 


Aku tidak bisa berpura-pura tidak tahu lagi.


──Tiba-tiba, terdengar bunyi lonceng yang bergema.


Sesuatu masuk ke dalam diriku. 


Tanpa ampun, tanpa memperhatikan. Itu mungkin──sebuah kenangan.



Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال