Kamu saat ini sedang membaca Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu volume 4, chapter 2. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw
MUSIM HUJAN DIMULAI
Hujan tak kunjung reda.
Mungkin karena Badan Meteorologi akhirnya secara resmi mengumumkan bahwa musim hujan telah dimulai, aku sudah lebih dari seminggu tidak melihat langit biru.
Tekanan udara yang berat turun dari langit mendung, menekan seluruh tubuhku, membuat naluri ini menolak untuk bersentuhan dengan udara luar.
Tapi, waktu dimulainya kuliah tidak akan menunggu.
Jarum jam terus bergerak seiring waktu berjalan, dan akhirnya tinggal satu jam lagi sebelum kuliah dimulai.
"......Aku malas bergerak."
Di kamar yang tidak ada siapa-siapa selain diriku, aku menghela napas panjang.
Ketika aku menyingkap selimut dan bangkit, dorongan untuk kembali berbaring kembali muncul.
Aku menghabiskan waktu dalam kegelisahan, tapi hari ini aku punya satu janji.
Untuk menyadarkan kepala yang masih setengah tertidur, aku membuka tirai dan mengintip ke luar.
Langit mendung itu hanya berhasil membangunkanku setengahnya.
★★★
"Selamat pagi. Sepertinya kau tidak bisa tidur, ya."
Begitu melihat wajahku, Ayaka langsung berkata begitu.
Dengan menggunakan atasan putih tanpa lengan dan celana hijau dengan tingkat kecerahan tinggi.
Tas tangan hitam mengilap yang dibawanya kemungkinan besar adalah barang yang baru dibeli.
Penampilannya yang mencolok, seolah mampu mengusir tekanan udara, membuat beberapa mahasiswa laki-laki yang lewat menoleh ke arahnya.
"Ada apa?"
"Eh, tidak, bukan apa-apa."
Aku menggelengkan kepalaku dan mulai berjalan menyusuri area dalam stasiun.
Dari stasiun terdekat ke kampus, diperlukan waktu sekitar 10 menit berjalan kaki.
Tadi malam, Ayaka mengajakku, 『Ayo pergi ke kampus bersama』. Undangan untuk pulang bersama memang biasa, tapi jarang sekali dia mengajakku di perjalanan pergi.
Beberapa minggu terakhir ini, aku sama sekali tidak bertemu dengan Ayaka.
Selama ini kami biasanya membuat rencana dari percakapan santai, sehingga ketika kami tidak saling bertemu langsung, secara alami kesempatan untuk berbicara pun berkurang.
Dalam hal pesan, ketika salah satu dari kami sibuk, ada kalanya tidak membalas dalam satu hari, sehingga frekuensi komunikasi kami bisa dikatakan cukup longgar.
Meskipun begitu, tidak saling berkirim pesan selama lebih dari 2 minggu mungkin baru terjadi sejak masa SMA.
"Apa kau tidak membawa payung?"
Karena Ayaka tidak membawa apa pun di tangannya, aku pun bertanya begitu.
Tanpa payung, begitu melangkah keluar dari area stasiun, dia pasti akan basah kuyup.
Setelah memasang ekspresi bingung, Ayaka menyadari kalo dirinya memang tidak membawa payung, lalu matanya terbuka lebar.
"Wah, itu tertinggal di dalam kereta."
"Itu benar-benar masalah."
Aku menghela napas dengan nada keheranan.
Sementara kami berdiri seperti ini, hujan semakin deras dan berubah menjadi hujan yang menyerang dari samping.
"Aku akan memberitahu petugas stasiun sebentar!"
Ucap Ayaka, lalu dia berlari menuju loket.
Saat aku memandangi punggungnya yang semakin menjauh, seberkas kilat melintas di sudut pandangku.
Petir menggelegar, dan hujan turun dengan deras seperti air dari ember yang ditumpahkan.
Aku mulai khawatir air akan merembes ke dalam sepatuku.
Kalo ini perjalanan pulang, mungkin tidak terlalu masalah, tapi membayangkan harus mengikuti kuliah dengan kaus kaki yang basah saja sudah cukup membuatku merasa tertekan.
Tapi, kalo aku hanya berdiri menunggu hingga hujan reda, aku akan terlambat menghadiri kuliah.
Karena aku sudah bangun pagi-pagi, sebisa mungkin aku ingin menghindari hal itu.
Beberapa minggu terakhir ini, aku belum pernah terlambat atau absen sekalipun.
Salah satu alasannya adalah karena kini aku sudah menjadi mahasiswa tahun ketiga, dan jumlah satuan kredit yang dibutuhkan untuk lulus mulai berkurang.
Tapi lebih dari itu, aku merasa kalo aku sedang dipengaruhi oleh seseorang...entah kenapa aku merasakan hal itu.
Kalo ditelusuri kembali, hingga sekitar musim gugur tahun pertama, aku selalu hadir tepat waktu dan tidak pernah absen.
Aku menganggap itu sebagai sesuatu yang wajar bagi seorang mahasiswa, dan bahkan saat hanya ada kuliah di siang hari, aku sempat berpikir betapa santainya kehidupan kampus ini.
Tapi, kebiasaan bisa menjadi hal yang menakutkan.
Melihat para Senpai di klub yang membolos kuliah untuk bersenang-senang, dan tetap bisa mendapatkan satuan kredit, membuatku berpikir untuk mencobanya juga.
Dari situlah semuanya bermula.
Ketika aku sekali saja membolos kuliah, aku menyadari sesuatu.
Tidak ada yang memarahiku. Tidak ada yang mengekangku.
Semuanya ada dalam kendali dan keputusan pribadiku.
Ada kebebasan yang belum pernah kurasakan dalam kehidupan mahasiswa sebelumnya───dan kini kebebasan itu berada di tanganku.
Setelah beberapa kali membolos, rasa bersalah itu perlahan memudar, dan motivasiku untuk menghadiri kuliah───selain yang memiliki nilai kehadiran───semakin menurun.
Tapi, belakangan ini semangat itu mulai kembali.
Kemungkinan besar, hal itu adalah pengaruh dari Shinohara Mayu.
Pada hari kami naik ke tahun ketiga, Kouhai itu berjalan di sampingku dengan wajah penuh semangat.
──Bisa memahami hal yang sebelumnya tidak dimengerti, bukankah itu hal yang baik?
Bahkan dari sudut pandangku sekarang, pemikiran itu terasa begitu bersinar.
Tapi, kalo cara berpikir seperti itu dapat melahirkan kepribadian yang cerah, aku ingin mencoba menirunya.
Aku secara jujur merasa iri pada ketulusan dan kemurnian dirinya.
"Hei, aku ingin meminta sesuatu."
Saat punggungku disentuh oleh jarinya, aku tanpa sadar mengeluarkan suara yang terdengar menyedihkan, "Howa!?"
Begitu aku langsung menoleh ke belakang, Ayaka menatapku dengan senyum mengejek.
"Apa itu tadi? Kamu bilang 'howa'? Lucu sekali."
"Di...diam! Jangan menyentuhku tiba-tiba, aku terkejut!"
"Ahaha, maaf. Entah kenapa aku jadi ingin menyentuhmu."
"Itu sama sekali bukan penjelasan yang masuk akal...ya, sudahlah."
Rasanya kami pernah melakukan percakapan seperti ini sebelumnya, tapi mengingat lamanya kami saling mengenal, mungkin bukan hanya sekali atau dua kali.
Kebiasaan yang hanya dimiliki oleh dua orang, memang akan tumbuh secara alami seiring dengan kedekatan hubungan.
"Lalu, bagaimana dengan payungnya? Kau tetap tidak membawa apa-apa."
Ayaka hanya menyampirkan tas tangan di lengannya, tanpa menunjukkan niat untuk mengambil sesuatu yang bisa melindungi dirinya dari hujan.
Aku sempat berpikir kalo meskipun payung yang tertinggal di kereta tidak bisa segera diambil kembali, paling tidak dia akan meminjam payung dari pihak stasiun.
"Kalo begitu, ayo kita pergi."
"Hah? Hei, tunggu dulu."
Ayaka mencoba melangkah keluar ke derasnya hujan tanpa ragu, membuatku buru-buru mengejarnya.
Untungnya aku berhasil membuka payung tepat waktu, sehingga bisa melindungi Ayaka dari hujan.
Tetesan hujan yang besar menghantam permukaan plastik payung dengan keras.
".....Kalo aku tidak membawa payung, apa yang akan kau lakukan?"
"Saat itu ya tinggal basah saja. Riasanku akan luntur, tapi mau bagaimana lagi."
"Apa kau bodoh? Kau akan masuk angin."
"Tidak apa-apa. Pada akhirnya kau datang juga."
"Itu hal yang wajar. Jelas-jelas kau akan kesulitan nanti."
Ketika aku menjawab begitu, Ayaka tiba-tiba menghentikan langkahnya.
Meski ukuran payungku cukup besar, tetap saja itu tidak bisa sepenuhnya menutupi kami berdua, dan bahu kami mulai basah terkena hujan.
Aku memiringkan payung sedikit ke arahnya agar Ayaka tidak terlalu basah.
"Kalo sudah tahu kalo seseorang akan kesulitan, apa itu berarti kita harus selalu membantunya?"
Di tengah derasnya suara hujan, Ayaka bertanya dengan tenang.
Aku masih bisa mendengarnya, dan sedikit memiringkan kepala.
"Apa maksudmu? Bukankah wajar untuk membantu?"
"Begitu ya. Kau akan melakukan itu kepada siapa pun?"
"Hmm... yah, tergantung situasinya juga sih. Tapi pada dasarnya, bukankah seharusnya begitu?"
Tentu saja, tergantung tingkatannya. Kalo sudah jelas kalo tidak ada yang bisa dilakukan, maka tidak ada pilihan selain menyerah.
Tapi kalo kau tahu kau bisa menolong, kau harus bertindak.
"Begitu. Kamu memang orang baik, ya."
"Orang baik? Itu hal yang wajar, kan?"
Saat aku berkata begitu, Ayaka melirik ke arahku.
"Menurutku, pada umumnya orang akan mengutamakan diri mereka sendiri. Aku───selalu seperti itu. Mungkin aku pernah bilang ini padamu."
"Hmm..."
Perdebatan mengenai mana yang disebut 'wajar' hanyalah hal yang sia-sia.
Kata 'wajar' biasanya digunakan saat seseorang ingin percaya kalo penafsirannya sendiri bisa diterima secara umum.
Di zaman sekarang, situasi di mana 'kewajaran' dipaksakan justru tidak wajar.
Tapi, sepertinya bukan itu yang ingin dikatakan Ayaka.
Meskipun aku bisa menebaknya, aku tidak tahu isi hatinya.
Hanya satu hal yang jelas, wajah Ayaka terlihat sedikit lebih suram dari biasanya.
Ekspresinya yang murung mungkin terpengaruh oleh tekanan udara rendah.
Sudah cukup lama sejak terakhir kali aku melihat ekspresi seperti ini pada Ayaka.
Meskipun begitu, ada satu hal yang ingin aku luruskan di sini.
"Waktu kelas 2 SMA, kau mengutamakan ku. Dalam situasi seperti itu, orang yang berusaha menolong pasti juga akan menolong siapa pun."
Setelah mengatakannya, aku menambahkan sedikit.
"Tentu saja, tergantung tingkatannya juga. Hal seperti memberikan tempat duduk kepada orang tua, kau juga pasti melakukannya, kan?"
"...Ya, memang. Tapi, itu───"
Ketika Ayaka hendak mengatakan sesuatu, suara yang menusuk telinga terdengar.
Aku merasa tanah sedikit bergetar, dan secara refleks tubuhku mengecil.
Petir yang jatuh sepertinya lebih tajam dan berskala lebih besar dibandingkan yang sebelumnya.
Melihat suasana sekitar yang menjadi gaduh, sudah pasti semua orang juga sangat terkejut.
Ada seorang mahasiswa yang melakukan gestur melindungi pusarnya, yang membuatku merasa hangat.
"Uhe... petirnya besar sekali tadi. Ayo kita cepat pergi ke kampus──eh, oi."
Lenganku digenggam erat.
Ayaka bergantung pada lengan atasku dan membungkukkan punggungnya seperti seekor kucing.
"Eh, kau takut petir, ya?"
Begitu aku bertanya, langit yang mendung kembali bergemuruh, dan tubuh Ayaka tersentak.
"...A-aku tidak takut. Aku hanya terkejut saja."
"Jangan bohong, kau takut, kan?"
"Aku tidak takut."
Dia langsung membantah, tapi dari getaran yang terasa melalui lenganku, terlihat jelas kalo dia merasa takut.
"Takut──"
"Aku tidak takut."
Ucapannya memotong milikku, dan aku akhirnya menyerah.
Sepertinya mustahil membuat Ayaka mengakui kalo dia tidak menyukai petir.
Kami berdiri berdampingan di jalan besar, dan para pejalan kaki menghindari kami.
Meskipun sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa kampus yang sama dengan kami, tapi tetap saja kami mengganggu, maka aku membimbing Ayaka ke pinggir jalan.
Ketika aku mulai berpikir kalo sebaiknya kami kembali ke stasiun, Ayaka berkata,
"Apa, kau berniat menyerangku?"
"Bukan begitu. Sepertinya kau sudah cukup tenang, lepaskan."
Saat aku hendak mengayunkan tanganku, Ayaka menghentikannya dengan paksa.
"Apa kau gorila?"
"Aku akan menghancurkanmu."
Ketegangan muncul di pelipis Ayaka, aku dengan suara pelan mengucapkan "maaf".
Ini hampir seperti refleks tulang belakang.
Ketika wanita cantik marah, kekuatannya sangat menakutkan.
"Yang aku takutkan hanya petir yang jatuh sangat dekat saat sedang di luar rumah. Sekarang aku hanya masih sensitif karena sisa ketakutan itu."
"Heeh, ternyata kau memang takut."
"Diam!"
"Buu!"
Aku mengeluarkan suara konyol saat kepalaku dipukul dengan keras.
Meskipun agak tidak adil, sangat jarang Ayaka sampai sebegitu terguncang.
Aku hanya bisa menerima ini sebagai pengalaman berharga.
"...Ya, setelah aku memukulmu aku jadi lebih tenang. Ayo kita pergi."
"Cara tenangmu agak menakutkan, bukan?"
"Ahaha, maaf, maaf."
Ayaka mengedipkan matanya dan menjulurkan lidahnya...dia benar-benar tidak menyesal sama sekali.
Setelah mengumpulkan semangat, kami melanjutkan langkah dan Ayaka sudah benar-benar kembali seperti semula.
Aku berpikir akan lucu kalo petir jatuh lagi, tapi sepertinya hujan sudah agak mereda.
Sepertinya aku tidak akan bisa melihat sisi imut Ayaka lagi.
"...Hmm? Aku lupa karena petir tadi, tapi bukankah kita sedang membicarakan hal serius?"
Ketika aku bertanya, Ayaka mengangkat bahunya.
"Ah, sepertinya begitu. Tapi sudahlah, kalo kita terus membicarakan itu mungkin petir akan jatuh lagi."
"...Tidak kusangka, ternyata kau benar-benar takut."
Meski kami sudah berteman sejak SMA, terkadang aku bisa melihat sisi baru darinya seperti ini.
Kalo dipikir kembali, mungkin Ayaka belum pernah mengalami petir sebesar tadi saat kami keluar bersama.
Meskipun terdengar tidak pantas, aku berharap petir itu jatuh lagi.
Tapi karena tidak ada tanda-tanda, aku pun mencoba menirukannya.
"Braaak!"
"Hah?"
Ekspresi yang menyambut tiruanku akan petir adalah wajah Ayaka yang benar-benar tidak tertarik.
★★★
Ruang kuliah pada sesi pertama terasa lebih luas dari biasanya.
Kuliah hari ini mengambil tema komunikasi.
Saat aku menemukan kuliah ini dalam daftar mata kuliah wajib selama masa pendaftaran, aku sempat meragukannya, tapi kemudian kupikir pihak kampus pasti punya alasan.
Misalnya, dengan mendekati masa pencarian kerja, mereka ingin mulai mengasah kesadaran setiap mahasiswa sejak dini.
Karena kuliah ini bisa diambil oleh semua jurusan, mungkin tebakanku tidak meleset.
Tentu saja, banyak mahasiswa yang ikut kuliah ini dengan latar belakang yang beragam.
Mungkin justru itulah tujuannya, tapi bagiku ini terasa seperti pelecehan.
Seperti biasa, kami dipaksa membentuk kelompok dengan teman di belakang atau samping untuk berdiskusi, jadi mau tidak mau aku harus berusaha.
Kalo ini adalah mata kuliah yang wajib untuk lulus, itu benar-benar menyebalkan.
Bagi orang yang melihat kuliah ini sebagai kesempatan memperluas komunitasnya, mungkin ini akan jadi nilai bagus.
Sayangnya aku termasuk yang merasa kuliah seperti ini merepotkan, tapi berbeda dengan Ayaka yang ada di sampingku.
Sejak kira-kira kuliah tahun ketiga, wajah Ayaka sudah dikenal luas.
Dia melambaikan tangannya dan memberi isyarat mulut dengan orang-orang yang sebelumnya tak aku kenal.
Aku hanya berusaha menghilangkan keberadaanku dan mengamatinya.
Merasa ciut padahal tidak ada petir yang jatuh, benar-benar membuatku merasa rendah diri.
Setelah semua salam selesai, Ayaka berkata dengan suara ceria.
"Yah, aku menantikan kuliah hari ini."
"Ah... aku sangat tertekan..."
Aku tidak mengenal siapa pun di kuliah ini selain Ayaka.
Ayaka selalu pergi ke suatu tempat untuk memperluas komunitasnya, jadi aku secara otomatis harus berbicara dengan orang yang tidak aku kenal.
Dan aku tidak memiliki seseorang yang bisa saling melambaikan tangan seperti Ayaka, itulah sebabnya aku semakin merasa tertekan.
Tapi Ayaka sepertinya sama sekali tidak menyadari perasaanku itu dan terlihat bingung.
"Kenapa? Waktu pesta Valentine kau bisa bergaul dengan orang yang tidak dikenal dengan baik kan?"
Saat dia berkata begitu, aku menghela napas.
"Lihat, pesta dan kuliah ini benar-benar berbeda. Mungkin Ayaka tidak mengerti."
"Oh ya? Apa bedanya?"
Ayaka berkata dengan nada suara yang penuh rasa ingin tahu.
"Pesta Valentine, semua orang datang untuk mencari pertemuan. Sedangkan kuliah ini, semua datang untuk mendapatkan kredit. Itu bedanya."
"Eh? Apa hubungannya?"
Ini tidak bisa dibiarkan... tapi aku tidak boleh melakukannya.
Ayaka yang lebih mampu dalam hal ini.
"Intinya, motivasi saat mengenal orang berbeda. Apa aktif atau pasif. Kalo yang pasif saja yang bicara, tentu tidak akan seru."
Setelah aku berkata sampai situ, Ayaka tertawa dengan santai, "Oh, begitu ya."
"Kalau begitu, hari ini aku akan menemanimu. Aku akan membuatkan mu teman ngobrol yang baru juga."
Wajah Ayaka yang menunjukkan ide bagus sangat bertolak belakang dengan perasaanku yang merasa tertekan.
Saat Ayaka ada di ruangan, semua orang tampak mengalihkan perhatian mereka padanya, sehingga sepertinya hal itu kurang efektif.
Dalam kuliah ini, aku lebih ingin duduk sendiri dengan tenang menunggu waktu berlalu.
"Hora, ayo pergi."
"Hei."
Meski begitu, bertambahnya teman jelas membantu.
Selain kuliah ini, ada juga mata kuliah lain yang diikuti bersama mahasiswa dari jurusan lain.
Agar bisa mendapatkan kredit dengan pasti sampai kelulusan, keberadaan teman adalah faktor penting.
"Yah, selama Ayaka ada di sini, aku akan baik-baik saja."."
"Kalo aku hilang, apa yang akan kau lakukan?"
"Ayaka tidak akan hilang."
"Apa dasar kepastianmu itu?"
Kami saling bertatapan.
Tatapan itu berlangsung kurang dari beberapa detik, jadi aku tidak bisa membaca pikirannya.
"Ada kemungkinan aku hancur karena sambaran petir, kan?"
"Kau cukup trauma, ya..."
Ternyata sambaran petir tadi cukup memberikan dampak pada Ayaka.
Aku mengikuti punggungnya sambil berpikir kalk musuh terbesarnya adalah fenomena alam, memang itu sangat khas Ayaka.
Kami tiba di tengah ruangan kuliah, yang orangnya masih sedikit.
Belum ada yang duduk di kursi belakang, jadi aku duduk dengan sedikit lega.
"Kau ingin orang seperti apa yang datang?"
"Orang yang mudah diajak bicara."
"Hmm, itu benar, tapi bukan itu maksudku..."
Orang yang bisa mengembangkan pembicaraan biasa menjadi lebih luas. Itu saja yang aku inginkan.
Meski aku merasa tidak perlu melakukan apa-apa kalo Ayaka ada di dekatku, aku ingin mengubah pola pikirku saat mengikuti kuliah.
Dulu aku lebih sering memikirkan cara untuk bolos, jadi aku rasa aku sudah menjadi mahasiswa yang lebih baik sekarang.
"Ayaka-chan! Yuta juga di sini!"
Tiba-tiba sebuah suara terdengar, dan aku mengalihkan pandangan dari Ayaka.
Seorang perempuan dengan rambut pendek bob dan berkacamata bulat yang menjadi ciri khasnya mendekat melewati lorong yang dilewati para mahasiswa tingkat tiga.
Tsukimizato Natsuki, yang mengenakan anting berbentuk bulan sabit yang bergoyang saat berjalan, berhenti tepat di depanku.
"Oh, Natsuki juga ikut kuliah ini, ya."
Aku membuka mulut, tapi Natsuki terlihat tidak senang.
"Aku duduk dua bangku di belakangmu pada pertemuan sebelumnya, loh?"
"...Serius? Maaf, aku benar-benar tidak sadar."
"Wah, kejam sekali. Yah, kurasa mau bagaimana lagi karena aku tidak sempat memanggilmu."
Natsuki cemberut dan duduk di kursi di belakangku.
Melihat tingkah Natsuki, Ayaka berkata dengan nada takjub,
"Ternyata Natsuki cocok dengan dia ya. Aku sudah berpikir begitu sejak kencan kelompok saat Natal."
Mendengar kata-kata Ayaka, aku dan Natsuki saling berpandangan.
Itu adalah kencan kelompok di mana Motosaka membuat kekacauan karena mabuk dan bertingkah buruk.
Karena kesan yang kuat, aku masih ingat jelas kejadian hari itu.
Memang, di tengah suasana yang buruk, hanya aku dan Natsuki yang benar-benar bisa asyik mengobrol.
Natsuki sepertinya mengingat itu juga, dia terlihat sedikit malu-malu sambil menggaruk kepalanya.
Di balik kacamata besar yang dikenakannya, aku bisa melihat pandangannya bergeser ke Ayaka.
"Yah, orang yang bisa membicarakan manga atau anime itu cukup jarang, bukan? Karena, di klub kami memang tidak ada yang seperti itu."
"Orang seperti apa?"
"Yang memiliki sifat otaku, semacam itu."
Ucapan Natsuki membuatku merasa agak terkejut.
Dulu saat Reina berkunjung ke kampus ini, Natsuki pernah mengatakan kalo dia keberatan disebut otaku.
Alasannya karena dia peduli dengan pandangan orang lain───tapi dia juga ingin berubah suatu saat nanti.
Aku masih dapat merasakan sentuhan high-five di tangan kananku.
Natsuki juga sedang berusaha berubah.
Perasaan senang itu membuat sudut mulutku terangkat.
"Kenapa kau tersenyum seperti itu?"
Ayaka dengan cepat menunjukkannya, aku pun menggeleng-gelengkan kepalaku.
"Aku juga menyukai manga, jadi aku juga merasa senang. Jarang sekali ada orang yang bisa aku ajak berdiskusi secara mendalam."
"Memang benar... Aku juga hanya membaca manga yang kau rekomendasikan saja. Tapi, jumlahnya sudah cukup banyak sampai aku sendiri terkejut."
Ayaka menghela napas kecil, mata Natsuki berbinar.
"Aya-chan, apa kau juga membaca manga!? Ngomong-ngomong, kita belum pernah membicarakannya, bukan? Apakah kamu sudah membaca 'Haikyuu!!'? Apa Yuta sudah merekomendasikan manga itu kepadamu?"
"Oh, itu sudah aku baca! Kalo dibandingkan dengan manga olahraga lain──"
Tepat ketika Ayaka hendak melanjutkan, keributan di ruang kuliah mulai mereda.
Saat aku mengarahkan pandanganku ke pintu masuk, dosen sudah mulai bersiap di atas panggung.
Para mahasiswa yang tadi berbicara sesuka hati mulai fokus untuk mencari tempat duduk.
Kursi di sekitar kami dengan cepat terisi, hanya tersisa kursi yang dekat dengan profesor yang masih kosong.
Meski masih 5 menit sebelum kuliah dimulai, suasana berubah begitu dosen masuk ruangan.
Perubahan ini sangat terasa pada kuliah dosen tersebut.
Natsuki yang tadinya membungkuk, mengembalikan posisi duduknya.
──Pada saat itu.
"Bukankah itu Ayaka?"
Sebuah suara datang dari sampingku, aku menoleh dan melihat sosok yang sering kulihat di kampus.
Bibir tipis, mata yang sipit dan ditarik ke atas dengan eyeliner sehingga tatapannya terasa tajam.
Kemeja merah cerah dengan rambut yang diwarnai pink keemasan dan diikat ke belakang, sosok ini sangat mencolok di dalam ruang kuliah.
Namanya, kalo tidak salah──
"Akemi. Kau juga ikut kuliah ini, ya?"
Benar, itu Akemi-san.
Aku tidak tahu nama belakangnya, tapi aku pernah melihatnya berbicara dengan Ayaka beberapa kali.
Dia juga menyadari kehadiranku dan mengeluarkan suara kecil, "Oh."
"Kalian benar-benar dekat, ya. Apa kalian pacaran?"
"Tidak, kok."
Ayaka dengan santai membantah, tapi Akemi mengerucutkan bibirnya.
"Ah, walaupun kalian sudah lama dekat, hal seperti itu tetap belum berubah sejak SMP, ya, Ayaka."
──SMP.
Masa SMP Minou Ayaka yang tidak aku ketahui.
Aku merasa ekspresi Ayaka sedikit mengeras karena perkataan Akemi.
"Oh, ya, bagaimana kondisimu? Akhir-akhir ini kita jarang bicara."
"Kondisi? Kalo yang kau maksud soal basket, aku sedang dalam kondisi terbaik."
"Begitu."
Ayaka menjawab singkat dan mengangkat sudut bibirnya.
Mungkin lebih tepat kalo dikatakan dia hanya berpura-pura mengangkatnya.
Dari sudut pandangku, kesan canggung itu tetap tak bisa diabaikan.
"Ayaka, apa kau benar-benar tidak berniat kembali lagi?"
Aku mencoba menebak topik yang sedang mereka bicarakan, tapi ucapan Ayaka menghalanginya。
"Akemi. ──Apa kau lupa?"
Nada dingin yang keluar dari suaranya membuat udara dalam radius beberapa meter membeku.
Di ujung pandanganku, Natsuki terlihat benar-benar membeku.
Pasti ini pertama kalinya Natsuki mendengar suara Ayaka yang seperti itu.
...Bahkan aku hampir tak pernah mendengarnya.
Akemi menggerakkan alisnya sedikit, lalu memasang senyum dibuat-buat sambil berkata.
"Ahaha~"
"Aku tahu kok. Kalo begitu, aku ada janji dengan pacarku, jadi aku pergi dulu~"
Sambil melambaikan tangannya dengan ringan, Akemi meninggalkan tempat itu.
Langkah kakinya ringan, sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda terganggu oleh suasana tadi.
Dan di sebelah tempat duduk Akemi tadi, ada Motosaka Yudou, membuatku spontan bersuara,
"Ugh."
Ayaka juga sepertinya melihat Motosaka, dan menunjukkan reaksi terkejut.
Begitu Motosaka menyadari tatapan Ayaka, dia mengangkat tangan dengan ceria.
Dia juga melakukan gestur yang sama kepadaku, jadi aku membalasnya karena tak punya pilihan.
Motosaka lalu tertawa seakan merasa lucu, tapi saat Akemi menarik lengannya, keduanya kembali masuk ke dunia mereka sendiri.
".....Motosaka-kun, bukannya dia pacaran dengan Yuki?"
"Mungkin dia langsung pacaran setelah putus?"
Kalo mengingat tingkah laku Motosaka selama ini, hal semacam itu tidak terlalu mengejutkan.
Tapi, bagiku saat ini, hal itu sama sekali tidak penting.
Nada suara Ayaka tadi terus bergema dalam kepalaku, tanpa membentuk kata-kata yang jelas.
"Dalam kuliah hari ini kita akan belajar tentang ice break. Ini termasuk dalam kategori dasar komunikasi, namun bila bisa dilakukan secara sadar, maka akan mempermudah──"
Kata-kata dosen tidak masuk ke dalam kepalaku.
Dari belakang, aku bisa merasa Natsuki sedang menulis dengan pensil, dan entah kenapa, itu terasa seperti usahanya untuk meredam kekacauan dalam pikirannya.
Ayaka yang duduk di sebelahku menyipitkan matanya, menatap ke arah dosen. ...Tidak, menurut dugaanku, yang dia tatap bukanlah dosen itu.
Yang tercermin di matanya, kemungkinan besar adalah kenangan masa lalu.
Saat pertama kali kami benar-benar berbicara sewaktu SMA, sebelum itu dia menatap keluar kelas dengan ekspresi yang sama.
Meskipun kami memiliki hubungan yang dekat, tapi tetap saja ada hal yang tidak aku ketahui.
Aku mengerti kalo itu hal yang wajar, tapi akan bohong kalo aku bilang tidak merasa sedikit pun kesepian.
Di tengah suasana yang membuatku merasa tidak boleh sembarangan masuk ke dalamnya, aku hanya bisa memikirkannya seperti ini.
Hal itu membuatku merasa sedikit frustrasi, dan aku menggigit bibir bawahku.
Mungkin ini adalah pola pikir yang cocok bagi diriku yang lebih memilih untuk mempertahankan keadaan saat ini.
Aku sempat menertawakan diriku sendiri dalam hati, tapi pada akhirnya itu hanya membuatku merasa menyedihkan.
...Hal yang ingin aku katakan, harus aku ucapkan dengan kata-kata.
Setelah kejadian itu, hanya aku seorang yang tidak berubah, itu tidak bisa dimaafkan.
Aku memaksa mulutku untuk terbuka.
"Nee. Apa yang membuatmu tegang waktu itu?"
"Eh?"
"Memangnya apa pun yang pernah terjadi antara kalian, itu sudah tidak ada hubungannya dengan kita sekarang."
Dosen berbicara lebih lancar dari biasanya soal komunikasi, tapi pendengaranku hanya terfokus pada reaksi Ayaka, hingga tidak terdengar sebagai bahasa Jepang.
Tapi itu sia-sia saja, dari napas Ayaka aku tidak merasakan apa pun.
Kupikir aku sedang mencoba menyemangatinya, tapi tak ada tanggapan sedikit pun.
"Mungkin memang begitu."
Kata-kata yang akhirnya dia balas, tidak mengandung emosi apa pun.
Jawaban mekanis untuk menjaga komunikasi tetap lancar.
Kalo memang hubungan permukaan seperti ini akan makin sering terjadi begitu kegiatan mencari kerja dimulai, aku jadi merasa sedih.
Tapi, yang paling penting saat ini adalah kalo hal itu juga berlaku terhadap Ayaka.
Dalam hubunganku dengan Ayaka, aku selalu percaya secara samar kalo kami akan terus saling bicara apa adanya.
Meski nanti waktu bicara kami berkurang setelah jadi pekerja, setidaknya hubungan ini bisa tetap dipertahankan.
Tapi, apa yang dipikirkan Ayaka──aku tidak tahu.
Saat perjalanan ke onsen, dia terlihat seolah ingin mengubah segalanya, dan waktu datang ke rumahku untuk merawatku tempo hari, aku merasa tindakannya itu demi mempertahankan kondisi seperti sekarang.
Sekilas dua tindakan itu terlihat bertentangan, tapi sebenarnya tidak.
Perubahan waktu telah membawa perubahan dalam cara pikir Ayaka. Atau mungkin, ada suatu pemicu yang membuatnya berubah.
Kalo dipikir-pikir, itu terdengar masuk akal...dan kurasa aku juga tahu apa penyebabnya.
"Berkonsentrasilah."
Ayaka menatapku dengan ekspresi sedikit bingung.
Sebenarnya apa yang sedang dia pikirkan. Hanya dengan 'tidak tahu', perasaan kelabu seperti ini bisa berputar-putar dalam hati.
"Lihat ke depan."
Ujung jari Ayaka menyentuh pipiku dengan pelan.
Dengan sentuhan itu, pandanganku teralihkan dari Ayaka ke arah dosen.
Udara keluar dari pipiku dengan suara lemah, menghasilkan bunyi konyol.
Ayaka tertawa kecil melihat reaksiku.
...Masih belum apa-apa.
Meski ruang kelas ini tidak punya jendela, aku merasa seolah bisa mendengar suara hujan, dan menggelengkan kepala keras-keras.
★★★
"Kacau sekali..."
Aku menatap ke langit-langit. Tubuhku terasa seolah dibebani timah.
Suara lonceng yang menandakan akhir dari sesuatu yang disebut ice break itu menggema di ruang kuliah.
Yang dimaksud ice break bukanlah menghancurkan es secara harfiah, melainkan metode untuk mencairkan ketegangan di suatu tempat.
Kalo dilakukan saat bekerja atau dalam situasi dengan orang yang baru pertama kali bertemu, komunikasi bisa berjalan lebih lancar dan aktivitas pun jadi lebih efektif, katanya.
Saat aku memikirkan betapa menyebalkannya penggunaan istilah asing secara paksa, mungkin karena itu aku kena karma, kuliah hari ini adalah yang paling menyiksa sejauh ini.
Selama satu jam, aku harus bicara dengan belasan mahasiswa yang belum pernah aku temui sebelumnya.
Saat mendengar bunyi lonceng itu dengan perasaan bahagia, Ayaka yang duduk di sampingku berdiri.
"Yah, aku ada kuliah berikutnya."
"Ouh..."
Aku mengangkat tubuhku yang bersandar pada kursi, lalu kembali menatap ekspresi Ayaka.
Saat dalam kuliah tadi, waktu mengobrol bersama Natsuki dan lainnya, dia terlihat seperti biasa.
Dia tersenyum dengan normal, dan kemampuannya mencairkan suasana pun lebih menonjol dibandingkan anggota kelompok lain.
Meski begitu, rasa cemas tetap ada.
Ada rasa tidak nyaman yang sulit dijelaskan dalam sikapnya 'seperti biasa' itu.
Meski aku merasa bersalah atas pemikiran seperti ini, aku tidak bisa menyingkirkannya.
Meski ingin mengungkapkan perasaan ini dengan kata-kata, aku sadar betul kalo kemampuan kosakataku tidak cukup.
"Hmm?"
Ayaka memasang ekspresi bingung dan mengalihkan pandangannya padaku.
Percakapannya dengan Akemi tadi jelas menyiratkan masa lalu yang tidak aku ketahui.
Tapi mungkin tidak ada gunanya menunjukkannya sekarang.
Ayaka belum berniat memberitahuku, dan sekalipun ada, waktu istirahat ini terlalu singkat.
"Tidak, Aku cuma berpikir, apa kau tidak capek."
Pada akhirnya, aku mencoba menutup pembicaraan dengan kalimat seperti itu.
Aku bisa merasakan Natsuki di belakangku mengembuskan napas kecil.
Ayaka mengedip pelan, lalu tersenyum. Senyum cerah seperti biasanya.
"Kau juga sebentar lagi harus mulai memikirkan job hunting, jadi mending dibiasakan dari sekarang."
".....Baik."
Aku mengangkat bahu sambil menjawab malas, Ayaka tertawa kecil dan melambaikan tangannya。
"Sampai nanti. Natsuki juga, sampai jumpa."
"Ah, iya. Sampai jumpa."
Saat aku menoleh, Natsuki buru-buru tersenyum.
Berbeda dari Ayaka, senyumnya terlihat dibuat-buat.
Sambil menatap punggung Ayaka yang menjauh, aku membuka mulut.
".....Sungguh dibuat-buat."
Natsuki sepertinya tahu apa yang aku maksud dan mengembungkan pipinya.
"Soalnya, aku takut."
"Yah, itu sih...ada benarnya juga."
Bukan rasa takut yang simpel seperti karena wibawanya atau tekanan yang besar.
Justru karena senyumnya yang terlalu alami itulah, kesan itu semakin tertanam kuat di pikiranku.
Orang yang paling kupikir saling memahami denganku adalah Ayaka.
Kalo dilihat dari sudut pandang umum──kami menjalin hubungan karena merasa nyaman berada di ruang yang sama.
Tapi, begitu muncul ketidaknyamanan dalam ruang itu, hubungan itu bisa runtuh dengan mudah.
Entah kenapa, aku merasa sangat kesal membayangkan teori umum seperti itu berlaku pada hubunganku dengan Ayaka.
Tapi kemarahan itu tidak bisa diarahkan ke mana pun, hanya berputar-putar di dalam kepalaku。
"Tadi kau ragu-ragu kan? Padahal sebenarnya kau ingin bertanya banyak hal padanya."
"Diam. Aku cuma ingin bertanya saat kami berdua aja."
Aku menjawab begitu dan bangkit berdiri, lalu berjalan ke arah pintu keluar.
Natsuki menyusul sedikit di belakangku.
"Untuk memperjelas, aku cuma mau bilang... Aku juga temannya Ayaka-chan, tahu."
"Tentu saja."
"Eh? Ah, oke."
Natsuki menjawab dengan suara yang terdengar seperti kecewa karena tidak mendapat reaksi yang dia harapkan.
Memang benar, Natsuki mungkin lebih dekat dengan Reina.
Tapi, aku juga sudah sering melihat Natsuki berbicara dengan Ayaka dengan ekspresi ceria.
Hanya karena dua orang tidak akur, bukan berarti Natsuki harus memutuskan salah satu hubungan pertemanannya.
Apalagi, kami sudah mahasiswa.
Fakta kalo aku dan Natsuki bisa berbicara begini adalah buktinya.
Lagipula, kalo ditelusuri, penyebab retaknya hubungan mereka berdua adalah aku.
Jadi sebenarnya aku tidak pantas berbicara seolah di posisi netral.
"Ngomong-ngomong, Natsuki reaksimu terhadap Ayaka agak dingin saat kita pergi minum-minum setelah ujian."
Circle kegiatan luar ruangan 『Green』 yang dipimpin Ayaka sebagai wakil ketua, begitu populer hingga untuk bergabung diperlukan melewati seleksi melalui entry sheet.
Dari bagian self-PR yang ditulis pada entry sheet, mereka memilih orang-orang yang tampaknya dapat berbaur dengan circle demi menjaga lingkungan yang nyaman.
Karena itu, para anggota circle selalu terlihat menikmati aktivitas mereka, dan cerita mengenai hal tersebut membuat banyak mahasiswa baru tertarik mengikuti seleksi setiap tahunnya.
Tapi, terdapat kenyataan pahit kalo penampilan wajah turut menjadi pertimbangan dalam seleksi tersebut.
Kabarnya, Ayaka menunjukkan rasa tidak senang ketika mendengar hal itu.
Apa yang disebut oleh Natsuki pada acara minum usai ujian berkaitan dengan hal tersebut.
Dia mengatakan kalo sungguh ironis apabila orang yang paling diuntungkan dari seleksi berdasarkan penampilan justru adalah Ayaka sendiri.
Seolah baru mengingatnya, Natsuki menggelengkan kepalanya dengan kuat sambil berkata, "Tidak, bukan seperti itu!"
"Maksudku, memang itu adalah pendapat jujurku, tapi lebih kepada, kalo dilihat dari sudut pandang orang lain memang akan terlihat seperti itu... Tapi kenapa tiba-tiba kau membahasnya?"
"Aku hanya berpikir, mungkin saja karena alasan itu, dia pernah berselisih dengan orang lain. Meskipun kau tetap temannya."
Sejak masuk kuliah, aku belum pernah mendengar cerita negatif mengenai Ayaka. Itulah sebabnya aku merasa tenang.
Tapi, saat berhadapan dengan orang-orang seperti Shinohara dan Akemi──yang membangkitkan kenangan masa SMP──ekspresi Ayaka selalu tampak muram.
Nada dingin Ayaka yang pertama kali kudengar di lingkungan kampus... Tidak menutup kemungkinan kalo dia sudah menggunakannya berkali-kali di luar pengetahuanku.
"Apa kau khawatir pada Ayaka-chan?"
"Ya. Hanya sedikit saja."
"Eeh, apa yang kau khawatirkan tentang Aya-chan, Yuta?"
"Bisa tolong bungkus sedikit kata-katamu? Hatiku juga bisa terluka, tahu."
"Haha, maaf."
Natsuki tertawa sambil bahunya sedikit berguncang.
Tapi, di balik pemandangan itu, rasa cemas dalam diriku justru semakin kuat.
Apa Ayaka bisa menunjukkan dirinya yang asli saat ini?
Seperti yang dikatakan Natsuki, mungkin saja aku mencemaskan hal yang bahkan tidak perlu dikhawatirkan.
Komunikasi ke luar memang merupakan keterampilan penting dalam kehidupan sebagai anggota masyarakat.
Meski begitu, aku merasa Ayaka tidak banyak memiliki orang yang bisa dia ajak berbicara secara jujur.
Bahkan terhadap Natsuki yang ada di sini, dia pun terlihat belum sepenuhnya membuka diri.
Selama ini, aku tidak pernah benar-benar memikirkan hal itu secara mendalam.
Aku meyakini kaalo peristiwa bersama Sakakishita di tahun kedua SMA telah mengubah cara pandang Ayaka, dan perubahan tersebut kurasakan seolah terjadi pada diriku sendiri.
Bahkan kalo mungkin terdengar menyimpang, aku senang mengetahui bahwa hanya terhadapku dia menunjukkan sisi dirinya yang asli.
Tapi, kini untuk pertama kalinya sejak masuk kuliah, aku merasa khawatir terhadap Ayaka.
Aku mengenal sosok bernama Mino Ayaka sejak masuk SMA.
Tentang dirinya di masa SMP──bahkan satu lembar foto pun belum pernah kulihat.
Aku──
"Hei, bukankah masa SMP-nya tidak ada hubungannya?"
"Eh?"
Saat lamunanku terhenti, Natsuki mengangkat kacamatanya dengan gerakan ringan seolah jengkel.
"Aku juga bisa merasakan kalo Ayaka mempercayaimu saat ini. Bukankah itu sudah cukup?"
──Perasaanmu saat ini, bagaimana sebenarnya.
Ucapan Ayaka yang pernah dia lontarkan dulu.
Aku rasa, bahkan kalo Ayaka menunjukkan dirinya yang asli, Natsuki mungkin akan menerimanya.
Meskipun sikap Akemi saat itu memang tidak terduga, kalo Ayaka tidak menaruh kepercayaan yang cukup pada Natsuki, dia tidak akan sampai menciptakan suasana dingin seperti itu.
...Meskipun, tentu ada kemungkinan juga kalo dia memang tidak sempat memikirkan hal-hal seperti itu.
Tanpa tahu apa yang sedang aku pikirkan, Natsuki melanjutkan dengan, "Apa kau tidak berpikir begitu?"
".....Aku juga berpikir begitu. Maaf, kau benar."
Apa pun alasannya, kesimpulannya tetap sama. Yang penting adalah saat ini. Meskipun masa lalu membentuk siapa kita sekarang, kalo Ayaka sendiri tidak ingin membicarakannya, maka sikap paling bijak adalah tidak memaksa.
Aku berniat mengucapkan terima kasih pada Natsuki, dan menoleh ke belakang.
Saat itu juga, aku melihat Akemi dan Motosaka sedang menuruni tangga ke arah kami, membuatku refleks terdiam.
Yang pertama menyadari pandanganku adalah Motosaka.
Melihat dia tersenyum memperlihatkan gigi putihnya saat mendekat, mungkin dia tidak menyimpan kesan buruk padaku.
Tapi mengingat kejadian dengan Shinohara, tidak mudah untuk bisa benar-benar akrab dengannya.
"Yo, Hasegawa. Yang di sampingmu itu pacarmu ya?"
"Bukan, apa kau pikir kita ini masih anak SMA apa?"
Entah kenapa aku membalasnya dengan ucapan ketus seperti itu.
Natsuki juga merespons dengan nada yang tidak kalah jelas, "Ya, itu mustahil."
Bagian itu membuatku ingin menimpali kalo ucapannya juga cukup kasar, tapi aku menahannya.
Akemi yang berada di sebelahnya, menatap Natsuki dengan penuh ketertarikan.
Mata sipit panjangnya bergerak dari atas ke bawah.
Tatapan itu seperti sedang menilai sesuatu, dan Natsuki terlihat sedikit bingung, dia memiringkan kepalanya.
"Kacamata bulat itu cocok sekali untukmu."
"Eh?"
Setelah sedikit terkejut, Natsuki pun menjawab, "Terima kasih."
Setelah memberikan komentar mengenai kacamata bulat itu, Akemi meninggalkan ruang kuliah, meninggalkan Motosaka sendirian.
Wajahnya yang terlihat terakhir kali menampilkan senyum kecil di sudut bibir, tapi kesan yang ditinggalkan seolah menyimpan makna tersembunyi.
"Apa maksudnya itu ya?" ucap Natsuki, dan Motosaka hanya mengangkat bahu sambil menjawab, "Entahlah."
"Entahlah? Bukankah dia pacarmu?"
Aku tak bisa menahan diri untuk menyela, dan Motosaka menjawab dengan ekspresi tanpa beban.
"Memang dia pacarku, tapi bukan berarti aku tahu apa yang sedang dipikirkannya. Kami juga baru mulai berpacaran akhir-akhir ini."
"Kenapa kau bisa sampai berpacaran dengannya..."
"Karena dia cukup cantik, bukan?Tipe seperti Ayaka-chan, mungkin?Kesan kuat yang dia miliki juga terasa menarik, membuat semangatku naik!"
"....Baiklah, baiklah."
"Apa-apaan itu, tanggapan macam apa itu. Bukankah kau sendiri yang bertanya, Hasegawa!"
Motosaka menepuk bahuku cukup keras.
Aku sendiri tidak merasa hubungan kami sudah sedekat itu hingga pantas untuk mendapat perlakuan seperti itu, tapi karena enggan memancing perdebatan, aku memilih untuk tidak menunjukkan reaksi apa pun.
"Yuta, kalo kalian mau melanjutkan percakapan, kenalkan aku terlebih dahulu."
Ucapan Natsuki membuat Motosaka tertawa geli.
"Haha, seperti pacar sungguhan saja! Kalian terlihat cocok, sungguh!"
"Sudahlah, jangan bercanda seperti itu."
"Bagaimana kalau kita bertukar kontak?"
"Da-dalam situasi seperti ini? ...Yah, tidak masalah."
Di hadapanku, Motosaka dan Natsuki mulai menukar kontak dengan memindai kode QR.
Meskipun aku enggan mengakuinya, kemampuan mereka dalam membangun komunikasi dengan orang baru memang patut diakui.
Sambil mengutak-atik layar Hp-nya, Motosaka berbicara dengan ekspresi penuh semangat.
"'Natsuki', ya? Nama yang indah! Senang berkenalan denganmu~ Mulai sekarang mohon bantuannya. "
"Ya, senang berkenalan juga, Motosaka-kun."
Natsuki membalas sambil tersenyum, tapi terlihat jelas kalo dia merasa hanya terbawa arus.
Nanti aku perlu mengingatkannya untuk berhati-hati kalo dia sampai diundang ke acara minum-minum.
"Hasegawa, kau juga mau tukar kontak denganku?"
"Aku pilih tidak, terima kasih."
"Baiklah. Kalau begitu, Natsuki-san, kirimkan saja kontakku ke Hasegawa."
"Kau benar-benar tidak mengerti situasinya!"
"Hahaha, aku titip ya!"
Setelah berkata begitu, Motosaka keluar dari ruang kuliah.
Akemi sudah tidak terlihat, tapi aku sempat bertanya-tanya───kalau tadi dia menyaksikan semua ini, kira-kira apa yang akan terjadi?
Aku benar-benar ingin dihindarkan dari segala urusan merepotkan.
"Entah kenapa, aku merasa seperti diremehkan barusan.
"Eh?"
Aku mengalihkan pandanganki dari punggung Motosaka ke arah Natsuki yang kini sedikit mengernyitkan alisnya.
Perasaan diremehkan itu, hampir pasti mengacu pada sikap Akemi barusan.
"....Kau terlalu memikirkannya."
"Hmm. Semoga saja memang begitu."
Ekspresi Natsuki terlihat sedikit muram.
Saat aku hendak membuka suara, dia lebih dulu berbicara.
"Ayaka-chan, dari cara bicaranya tadi, kelihatannya dulu cukup dekat dengan orang bernama Akemi itu."
".....Kurasa begitu. Terlepas dari Ayaka, Akemi-san terlihat menunjukkan sikap seperti itu."
Karena mereka saling memanggil nama depan mereka, aku rasa dugaan kami memang tidak salah.
"Dulu, apa Ayaka-chan juga pernah meremehkan orang lain?"
"Itu tidak mungkin."
"....Kenapa kau bisa begitu yakin? Itu kan kejadian sekitar 7 atau 8 tahun yang lalu."
Kalo dihitung dari tahun pertama SMP, memang sekitar selama itu.
Ketika dijabarkan dalam angka seperti itu, aku jadi semakin banyak berpikir.
Masa dari SMP hingga menjadi mahasiswa jelas merupakan periode penting dalam proses pembentukan kepribadian, melalui fase pubertas.
Hal ini tak terbantahkan.
Terkadang terdengar cerita tentang seseorang yang dulunya nakal di SMP, lalu menjadi anak baik setelah masuk SMA.
Meski aku tak percaya Ayaka termasuk dalam kategori seperti itu, tetap saja kemungkinan sekecil apapun tak bisa diabaikan sepenuhnya.
"Orang yang jadi korban biasanya akan terus mengingatnya. Dulu aku pernah dibully waktu SMP, jadi aku cukup peka terhadap perasaan negatif seperti itu. Tentu saja, bisa jadi ini cuma perasaanku saja sih."
Setelah menghela napas, Natsuki mulai melangkah menuju pintu keluar.
Aku berjalan sejajar dengannya, dan saat masih berpikir kalimat apa yang sebaiknya kuucapkan, Natsuki menyambung perkataan sambil menoleh ke samping.
"Tidak apa-apa. Sekarang aku bisa menganggap itu semua sebagai pengalaman berharga kok. Aku tidak mengatakannya karena ingin Yuta bereaksi atau merasa bersimpati. Maaf, ya."
"Begitu ya."
Aku menjawab singkat, dan Natsuki tertawa lepas.
"Hanya sekitar 2–3 bulan saja, kok. Setelah itu sasarannya beralih ke orang lain, dan aku malah sempat jadi akrab juga dengan anak-anak yang dulu membully-ku. Menyeramkan ya."
".....Anak perempuan memang menyeramkan."
Atas perkataanku, Natsuki menggeleng pelan.
"Anak laki-laki juga punya sisi yang mirip, kan? Karena itu, yang sebenarnya menakutkan adalah manusia itu sendiri."
Tiba-tiba, satu bayangan terlintas di benakku.
Setiap kali Shinohara bertemu dengan Ayaka, dia selalu menunjukkan rasa tidak nyaman secara terang-terangan.
Kalo bukan karena aku ada di sana, bisa jadi mereka sudah terlibat adu mulut.
Natsuki berkata kalo orang yang pernah diperlakukan buruk pasti akan mengingatnya.
Seperti halnya aku yang masih mengingat kejadian dengan Sakakishita dengan begitu jelas, mungkin memang begitulah cara kerja ingatan manusia.
Alasan kenapa Shinohara membenci Ayaka.
...Seharusnya bukan karena itu。Meski aku tahu itu, tetap saja perasaan tak tenang ini tak juga hilang dari dalam diriku.