CHAPTER 3
SAYU HIBIYA INGIN MELAKUKAN YANGT ERBAIK
"...a-ada. ...u...nak...ku..."
Suara manis yang membuat otak terasa seperti meleleh. Dengan lembut, beban mendarat di pundak ku, membangunkan kesadaran ku.
Dalam pandangan yang kabur setelah bangun tidur, aku melihat rambut coklat muda. Dia bergelung di dadaku dan tidak ingin beranjak. aku lalu menggosok mata yang berat dengan punggung tangan, lalu dia tersenyum tipis.
"Selamat pagi. Sudah hampir siang, Ryota-kun, kamu benar-benar pemalas."
"Sudah saatnya begitu ya... Apa yang kamu lakukan di sini, di kamar ku!?"
Itu terjadi dalam sekejap, Saat otak ku memahami situasi saat ini, pandangan ku menjadi jelas, aku lalu melompat keluar dari tempat tidur dengan cepat seperti kucing yang ekor nya terinjak, berteriak hingga tenggorokanku sakit. Suara dari tenggorokan yang baru bangun tidur terlalu kuat. Namun, lebih dari itu, situasi saat ini terlalu mengejutkan.
"Aku datang untuk membangunkan Ryota-kun."
"Tapi itu aneh!"
"Apa yang aneh?"
"Kamu yang masuk ke dalam selimut ku!"
"Apakah itu tidak boleh?"
"Tentu saja tidak boleh!"
"Padahal kita sudah menikah, kan?"
"Kita bukan suami istri!"
Di atas tempat tidur ku, Hibiya duduk dengan santai. Beruntung, naluri ku cukup kuat, tapi aku terlalu tidak waspada...
Kemarin, sebagian besar waktu dihabiskan untuk membawa barang-barang keperluan sehari-hari dan sebagainya dari rumah Hibiya ke sini, sehingga tidak ada peristiwa khusus yang terjadi.
Bahkan saat tidur, kami tidur di ruangan yang berbeda, dan aku merasa bahwa hidup bersama ini akan berjalan dengan lancar...
tapi ternyata aku salah. Kekasih ku agak terlalu agresif. Tiba-tiba, aku menyadari sesuatu, dan pipi ku menjadi sedikit memerah.
"...? Apa yang terjadi, Ryota-kun?"
"T-tidak... itu..."
Bagaimana aku bisa menyampaikan ini dengan baik?
Piyama bermotif bunga berwarna kuning yang dikenakan oleh Hibiya terlihat berantakan, menampakkan bahunya tanpa adanya perlindungan. Tali branya terlihat, Bahkan, ukuran piyama yang dia pakai sepertinya tidak pas padanya, karena itu memperlihatkan lekuk payudaranya.
"Kamu harus bilang kalau tidak aku tidak akan tahu, tahu?"
"...ah, itu..."
Aku ragu untuk mengatakannya secara langsung, dan aku menjadi canggung. Hibiya yang melihatku ragu mengerutkan kening lalu menundukkan kepalanya, menatap tubuhnya. setelah menyadarinya wajahnya dengan cepat memerah. Tanpa memberi waktu untuk bernapas, dia segera menarik selimut yang ada di dekatnya untuk menutupi tubuhnya.
"I-i-ini... Jangan... jangan lihat!"
"M-maaf!"
"Apa yang aku pakai sekarang adalah hal biasa, sebenarnya aku memiliki yang lebih menarik!"
"Kamu tidak perlu memberi penjelasan seperti itu!"
"Jadi, tolong lupakan yang baru saja kamu lihat..."
"...ba-baiklah."
Hibiya membungkus dirinya dengan selimut sampai ke bawah mata, dan Hibiya berbisik dengan suara yang hampir menghilang.
Untuk melarikan diri dari atmosfir yang tidak nyaman, aku meninggalkan kamarku,
aku lalu menuju ke kamar mandi untuk menenangkan wajah yang telah memerah sepenuhnya.
Hari kedua Golden Week, hari kedua saat aku memiliki pacar, dan pagi hari kedua aku tinggal bersama pacarku.
Setelah mencuci muka dan menyikat gigi, aku masuk ke ruang tamu, di meja makan, ada nasi baru matang, ikan panggang, telur dadar, dan sup miso. Berbagai hidangan sarapan sudah tersusun rapi di atas meja. Yah walaupun ini sudah lewat jam sepuluh.
Sepertinya dia membuatnya dengan rajin selama aku tertidur dengan nyenyak. Hibiya saat ini akan tinggal denganku, saat ini dia bertindak seolah-olah tidak ada yang terjadi, aku dapat merasakan tekanan dalam diam agar aku tidak menggali lebih dalam, jadi aku memilih untuk menyimpan kejadian itu di dalam ingatan ku.
"Kamu membuat makanan. Terima kasih."
"Tidak apa-apa, aku hanya membuat yang sederhana."
"Tidak begitu. Ini terasa seperti sarapan yang sebenarnya."
"Benarkah? Ehehe."
"Tapi kalau kamu memberitahu, aku juga bisa membantu."
"Jangan khawatir. Menyiapkan sarapan untuk suami adalah tugas istri."
Hibiya tersenyum segar.
aku merasa bingung.
"Hei, Hibiya. Kita bukan suami istri, ingatlah itu."
"Aku tahu. Itu hanya lelucon."
"Oh, begitu. Kalau begitu tidak masalah..."
"Aku serius 90 persen, sih."
"Jangan bilang itu lelucon!"
"Hehe, hanya bercanda."
Aku semakin bingung, apa arti leluconnya itu?
Sambil tersenyum getir, aku menuju meja makan dan duduk, tak lama kemudian, Hibiya duduk di seberang ku sambil membawa dua cangkir kopi. Setelah memastikan bahwa Hibiya sudah duduk, aku kemudian menyatukan kedua tangan ku.
"Bismillahirrahmanirrahim."
"Silakan."
Aku mengambil sumpit dan segera memasukan telur dadar kemulutku.
Hibiya meyatukan kedua tangannya tanpa emosi dan menatap ku dengan ekspresi cemas.
"Bagaimana rasanya?"
"Enak. Ya, sangat enak."
"Oh, begitu. Aku senang."
Hibiya lalu tersipu malu.
"Kamu semakin mahir dalam memasak. Dulu aku yang lebih bisa masak darimu."
"Hehe, btw, bisakah kamu menebak bahan tambahan yang aku tambahkan?"
"Bahan tambahan? Di mana?"
"Di semua hidangan."
Di semua hidangan?
Itu agak mencurigakan, Jika semua hidangan menggunakan rasa tambahan yang sama, pasti ada sesuatu yang aneh.Sarapan yang disiapkan oleh Hibiya terasa seperti buatan rumahan dan enak.
Namun, aku tidak bisa merasakan adanya bahan tambahan. aku cukup
yakin dengan lidah ku, jadi, aku seharusnya bisa menyadari jika ada bahan tambahan...
"Apa yang kamu tambahkan?"
"Tidak bisa menebak?"
"Aku tidak yakin."
"Hmm, aku menambahkan banyak sekali bahanya, lho."
Hibiya menggembungkan pipinya dengan sedikit kesal, meskipun tidak terlihat marah, tetapi jelas dia hanya merasa tidak puas. Sambil meminum kopiku yang dia siapkan olehnya, aku kembali memikirkannya lagi, tapi...
"Maaf, aku benar-benar tidak tahu. Apa jawabannya?"
"Bahan tambahan itu, pure 100% dari tubuhku sendiri──"
"Apa yang kamu tambahkan!"
"I-itu h-hanya lelucon, tentu saja, aku, tidak akan merusak kualitas masakan dengan hal seperti itu."
"Oh, ya, memang begitu. Jadi, apa bahan tambahannya?"
"Itu rahasia. Ryota-kun, kamu benar-benar lambat, ya?"
Hibiya menatap ku dengan sedikit ketidakpuasan, matanya sedikit basah, meskipun aku ingin menanyakan bahan apa yang dia tambahan itu, Hibiya pasti tidak akan memberi tahu ku lebih lanjut.
" Ryota-kun."
"...Hm?"
Setelah sarapan selesai dan sekitar pukul satu siang, ketika aku sedang belajar bahasa Inggris, Hibiya datang ke padaku.
"Aku akan pergi belanja. Apa yang ingin kamu makan untuk makan malam?"
Belanja, ya? yah aku merasa lemari es sudah cukup kosong.
"Mungkin kari."
"Baiklah. Ryota-kun suka kari, kan?"
"Aku suka kari, tapi kari yang dibuat oleh Hibiya rasanya sangat enak."
"D-dalam hal itu, aku akan membuat kari setiap hari!"
Hibiya tersenyum penuh kegembiraan sambil mengepalkan erat tinjunya, aku lalu bangkit dari kursi dan menutup buku pelajaran bahasa Inggrisku.
"Mungkin tidak perlu setiap hari. Secukupnya saja, oke."
"Y-ya, mungkin begitu. aku terlalu senang... Apa Ryota-kun akan pergi ke suatu tempat?"
"Tidak, jika kamu akan berbelanja, aku ingin ikut."
"Tidak perlu khawatir. aku bisa pergi sendiri."
"Tapi..."
Dia tetap keras kepala tentang pergi sendiri berbelanja, yah Hibiya cenderung menangani segala sesuatu sendiri jika memungkinkan. Yah meskipun begitu, aku tidak bisa membiarkan Hibiya pergi sendiri.
"K-kita pacaran, jadi aku bisa menemani kamu berbelanja."
"Pacar... y-ya, benar juga. Jadi, bolehkah aku mengajak pacar ku untuk pergi belanja bersama ku?"
"tentu saja."
Aku mengangguk setuju. Ketika dia mengulangi kata-kata itu, yah jujur rasanya agak memalukan sih mengatakan itu...
Dengan begitu, Kami bersiap-siap untuk
menuju ke Indomaret
terdekat. aku sudah siap dengan cepat, tetapi Hibiya masih di kamar mandi, Dia sedang berdandan.
Meskipun dia berdandan, dia tidak banyak berubah, yah sejujurnya ku pikir dia tidak perlu berdandan, tapi sepertinya itu adalah
keharusan. Yah itu juga mungkin untuk perawatan kulitnya ,tapi aku tidak terlalu mengerti tentang hal itu.
Setelah menunggu sekitar lima belas menit di sofa ruang tamu, Hibiya datang. Saat ini dia mengenakan atasan berwarna putih dengan rok biru selutut. Penampilannya bersih dan menenangkan.
Meskipun warnanya sederhana, itu menonjolkan garis tubuhnya, dan kulitnya yang putih akan menarik perhatian, potensi Hibiya terpancar dan dia terlihat cantik. Meskipun klise, jika kamu melihatnya di jalan, kamu pasti akan melihatnya dua kali.
"maaf sudah membuatmu menunggu, Ryota-kun."
"O-oh."
Dia sudah imut, jadi ketika dia semakin
terlihat lebih imut lagi, aku
jadi bingung harus berbuat apa, saat dia melihatku tersentak tanpa sadar, Hibiya tersenyum.
"Hehe, bagaimana menurutmu? aku imut, kan?"
Dia berputar memamerkan pakaiannya.
"Ku pikir… k-ka... kau... imut..."
"Eh? Apa itu? Tolong katakan dengan suara yang lebih keras."
"A-aku... tidak akan mengatakannya lagi..."
"Oh, jangan merajuk! Aku hanya bercanda. Maaf ya!"
"Y-ya, aku mengerti. Jangan peluk aku seperti itu."
Hibiya memeluk tubuhku, aroma tubuhnya yang manis bak buah jeruk menyengat hidungku. Wajahku langsung memerah, dan aku meletakkan kedua tangan di bahu Hibiya untuk menarinya memjauh dariku.
"Ryota-kun memang pemalu, ya?"
"Ya, ya, itu benar. Jadi, tolong jangan begitu lagi."
"Aku tidak suka itu. Aku ingin bermesraan di dengan Ryota-kun, aku juga ingin melakukan semua hal yang selama ini sudah lama aku tahan."
"... Yah makanya, jangan peluk aku seperti itu! kita akan pergi belanja, kan?"
Aku berdiri dari sofa seolah-olah melarikan diri, seluruh tubuhku terasa panas, seolah aku sedang demam ringan. Saat aku mengipasi tubuhku dengan tangan kananku sebagai kipas, aku merasa ada sensasi lembut di lengan kiriku.
"Baiklah. Ayo pergi, Ryota-kun."
"Bukankah kamu terlalu dekat? Kita hanya akan pergi belanja, kan?"
"Jika aku berbelanja dengan Ryota-kun, itu sudah menjadi kencan.
Apa Ryota-kun tidak suka? Dengan pacar yang lengket seperti ini?"
"... Aku tidak, tidak suka tapi..."
"Jadi tidak masalah."
Pasti akan ada banyak masalah, ini adalah masalah besar, aku khawatir dengan bagaimana orang-orang di sekitarku akan memandangku.
Tapi Hibiya tidak peduli dengan itu sama sekali dan malah menempelkan tubuhnya dengan erat pada lenganku. Dengan jarak bak seperti baka-Couple kami meninggalkan rumah. Akibatnya, sejumlah besar tatapan bak seperti badai menusukku dengan menyakitkan.
[TL\n: baka-Couple\pasangan bodoh, veteran romcom pasti akrab dengan sebutan kaya gini]
Sungguh saat kami melewati kawasan pemukiman ketika menuju stasiun, itu terasa seperti neraka.
"Anak itu sangat imut, bukan?"
"Wajahnya kecil. Apakah dia seorang selebriti?"
"Apa pria yang tampak membosankan itu pacarnya?"
"Entah kelemahan macam apa yang dipegang pria itu sampe bisa membuat gadis cantik itu jadi pacarnya..."
semakin banyak pujian yang di arahkan Hibiya, sementara itu semakin banyak pula kritik yang ku dapatkan. Ini sangat buruk. Beberapa
orang bahkan mulai mengemukakan teori bahwa aku adalah adik laki-laki atau pacar sewaan Hibiya.
Yah apapun yang mau mereka katakan itu terserah mereka, tapi menurutku mereka seharusnya sedikit lebih merendahkan suara mereka...
Yah, aku juga salah karena aku tidak bisa membantah mereka.
"Mungkin kita harus menjaga jarak sedikit?"
"Ada banyak pasangan disini dengan tangan saling bersilang, lihat di sana juga ada."
"Ya, tapi mereka sangat mencolok."
"Yah kalo gitu kamu harus tampilencolok juga dan tunjukan pada mereka. 'Dia milikku. Kamu tidak boleh menyentuhnya.' dengan suara yang menakutkan."
"itu tidak sesuai dengan karakterku..."
Jika aku melakukan itu, itu hanya akan menambah minyak ke api.
Kebencian mereka bisa tumbuh sampai pada titik dimana itu menjadi sesuatu yang lebih berbahaya.
"Ah. Kalau aku tau hal ini akan terjadi, aku seharusnya melakukan sesuatu dengan gaya rambutku."
Aku hanya membasahi rambutku sedikit untuk merapikannya. yah itu percuma juga karena aku tidak mengatur dengan benar pain yang
kukenakan. Meskipun aku mengubah gaya rambut mungkin itu tidak akan membantu banyak.
[Tl\n : yah tipe orang yg paling gua benci ya gini selalu mikirin apa yang orang lain katakan padanya, ad kata-kata yang gua suka yang tertulis kaya gini ‘You are the author of your own life story. Don't let anyone take the pen from you. ‘ (kamu adalah penulis kisah hidup mu sendiri. Jangan biarkan siapa pun mengambil pena itu dari mu.) ingat bre kisah hidupmu ditanganmu sendiri bukan di tangan orang lain, boleh dengerin kata orang lain tapi itu harus di filter jangan terima semua]
"Ryota-kun, apapun gaya rambutmu, kamu tetap sangat keren. Jadi, percayalah padamu sendiri."
"T-tidak, aku tidak keren. Mungkin aku harus pergi ke dokter mata?"
"Ryota-kun, harga dirimu terlalu rendah. Tidak ada yang lebih keren daripada Ryota-kun."
"Kamu terlalu berlebihan dalam penilaianmu terhadapku. Aku seperti orang biasa, yang bisa ditemukan di mana-mana."
"Jika begitu, kenapa aku sangat menyukai Ryota-kun?"
"Jangan bicara seperti itu di tengah jalan!”
"Ini bukan hal aneh. Ini adalah yang sebenarnya."
"Ugh... k-kamu membuatku malu, jadi hentikan"
Aku merasa sangat malu dan ku yakin sekarang seluruh wajahku memerah, jujur aku tidak memiliki ketahanan terhadap ungkapan
'suka' langsung di depanku.
Hibiya tersenyum lembut lalu mendekatkan tubuhnya padaku, kemudian dia menyandarkan kepala di bahukuku.
"Selain itu, ada alasan mengapa aku manja seperti ini, lho?"
"Alasan?"
"Aku merasa bahagia."
Dia memiliki senyum lembut di wajahnya, pipinya kendur.
Oy jika kamu menunjukan wajahmu yang seperti itu kepadaku aku akanjadi gila tau..
Aku menggaruk pipiku dan perlahan meraih tangan Hibiya dan dengan lembut memegang tanganya, dengan gerakan bak sepasang kekasih, aku menjalin jari-jari kami satu per satu.
"A-apa ini akan lebih membuatmu bahagia?"
"... Y-ya, aku merasa sangat bahagia hingga rasanya aku akan mati."
"Aku akan mendapat masalah jika kamu mati, jadi, mungkin kita sebaiknya berhe──"
"J-jangan berhenti..."
"O-okay..."
Aku bergumam dengan suara yang sperti akan memghilang. Tidak apa-apa untuk aku menggodanya secara aktif, tetapi begitu dia menjadi pasif, aku mendapat reaksi polosnya.
Yah apa ada cara untuk mengatasi kesenjangan ini?
Suasana aneh dan gugup mengalir di antara kami. Dengan pipi yang semakin memerah, kami berjalan selama sekitar sepuluh menit, dan akhirnya kami sampai di Indomaret yang ditandai dengan papan nama berwarna merah,biru,kuning.
ini adalah toko yang terkenal murah, jadi itu cukup ramai.
Saat aku mencoba melepaskan tangan Hibiya, dia dengan keras kepala tidak mau melepaskan tanganku dan dia malah menggenggam tanganku dengan erat.
"Hibiya, sudah waktunya kamu untuk melepaskan tanganku. kalau tidak itu akan menimbulkan banyak masalah nanti."
"Tidak, aku tidak ingin melepaskan kebahagiaan ini."
"Kau terlalu dramatis... Aku akan membiarkanmu memegang taganku nanti sepuasmu."
"Benarkah? kamu janji, jani ya!"
Dengan penuh semangat dan matanya penuh dengan tekad, dia mendekatkan dirinya padaku, hingga wajah kami hampir bersentuhan...
"I-iya aku janji, aku janji. Jadi ayo kita belanja dulu."
"Baiklah. Mari kita mulai dari buah-buahan."
Dengan senyuman lembut, Hibiya memimpin jalan ke bagian buah-buahan, aku lalu mengikutinya dengan mendorong keranjang belanja. Ketika kami sampai di bagian tempat apel berjejer, dia mulai merenungkan dengan bergumam ‘apakah ini atau itu’
"Kau sangat cermat, ya?"
"Benarkah? Aku pikir ini biasa."
Dia mengambil dua apel dan membandingkan bentuk dan warnanya.
Bagiku, yang biasanya hanya mengambil barang-barang yang diperlukan dan memasukannya kedalam keranjang secara sembarangan, aku tidak paham dengan apa yang Hibiya lakukan.
"Bukankah keduanya sama?"
"Tidak, tidak sama sekali. Lihat, perhatikan baik-baik perbedaannya.
Bukankah ini memiliki warna yang lebih bagus?"
"Mmm, oh... kalau begitu, bukankah itu baik-baik saja?"
"Tapi, aku agak khawatir dengan bentuk yang agak miring. Yang ini memiliki bentuk yang lebih baik."
Aku hampir tidak melihat perbedaannya, tapi sepertinya dia tidak suka itu. Dia tampak sangat serius menatap kedua apel itu dan berpikir keras.
[TL\n: PERFEKSIONIS jir, sifat yang paling merepotkan, ya gimana gak repot, semuanya harus sempurna kalo sama orang yang punya sifat kaya gini]
"Kau terlihat seperti ibu rumah tangga."
Saat aku mengatakan itu tanpa berpikir, Hibiya tersentak dan pipinya langsung berubah menjadi merah terang.
Mungkin aku terlalu sembrono.?
"Apakah itu terlihat begitu...?"
"U-uh, ya, sedikit."
“.....”
“.....”
Ada sedikit keheningan. Aku tidak tahu bagaimana cara melanjutkan percakapan, dan aku tidak berani bertatapan mata dengannya. Lalu tiba-tiba seolah Hibiya teringat apel di tangannya dia lalu meminta pendapatku.
"Uh, Ryota-kun, mana yang menurutmu lebih baik?"
Sepertinya dia memberiku hak untuk memilih.Yah sejujurnya, aku tidak peduli, menurutku keduanya baik-baik saja, tetapi jika aku harus mengatakan... ya..
Aku menunjuk satu apel dan berkata.
"Mungkin yang memiliki warna yang lebih bagus."
"Maka kita akan memilih yang ini."
"Bolehkah kamu memutuskannya berdasarkan pendapatku?"
"Tentu saja. Ryota-kun tidak akan salah dalam memilih."
Hibiya tersenyum cerah dan menaruh apel ke dalam keranjang belanja dan berjalan pergi, aku lalu mengikutinya.
Tidak akan salah dalam memilih, ya.? Apakah benar begitu?
Rasanya aku sering salah dalam memilih deh. Tapi, Yah, memilih apel tidak akan mengubah masa depan kami. menurutku tidak ada jawaban yang benar.
Setelah itu, kami berkeliling di bagian sayuran dan buah selama sekitar lima menit, dan kemudian melihat-lihat bagian daging segar dan sejenisnya.
Setelah mengambil barang yang kami butuhkan, yang tersisa adalah membayar di kasir. Saat kami sedang mengantri giliran untuk membayar di kasir, Hibiya meraih lengan bajuku dan menariknya.
"Apa kamu tidak akan menggenggam tanganku?"
"Jangan sekarang ya.."
"Sekarang adalah waktu yang tepat. Aku ingin terus berpegangan tangan dengan Ryota-kun."
"Tanganku pasti akan berkeringat."
"Aku akan sangat senang dengan keringat tangan Ryota-kun."
"Apa itu benar..."
Selagi aku tertegun, Hibiya memanfaatkan kesempatan itu dan meraih tanganku.
"Tangan Ryota-kun kasar dan gagah."
"K-kamu tidak perlu memberitahuku pemikiranmu itu."
"Bagaimana dengan tanganku?"
"Eh..."
"Apa kamu merasa berdebar?"
Yah jika aku di tanya kesan ku tentang tanganya. Aku merasa tanganyan lembut, halus, dan memberikan rasa perasaan puas yang menghangatkan bagian dalam dada mu, jujur aku merasa aku seperti orang yang mesum. Rasa panas berkumpul di pipiku dan aku mengalihkan pandanganku..
Saat giliran kami tiba di kasir, dengan suara hampir tidak terdengar, aku berbicara.
"Y-Yuk, bayar. Lepaskan tanganku"
"Kamu orangnya pemalu, ya, Ryota-kun."
Hibiya melepaskan tanganku dan kali ini dia memelukku. Aku bisa merasakan mata orang-orang di sekitar ku dipenuhi dengan kebencian, aku harap aku tidak dikutuk sampai mati. aku diam-diam berdoa untuk keselamatan ku.
Kami sedang dalam perjalanan pulang setelah selesai berbelanja.
Aku lalu melihat ke langit melalui kaca dan menghela nafas berat.
"Sepertinya kita kurang beruntung, ya..."
Kami tiba-tiba terjebak dalam hujan lebat, Saat ini kami sedang berlindung dari hujan di sebuah toko serba ada, hujan deras menerpa daun telingaku..
Hujannya deras sekali di luar, jika kami tidak membawa payung, mungkin kami akan basah kuyup, yah hujan ini sepertinya tidak akan berhenti dalam beberapa jam kedepan. Jarak pulang ke rumah masih sekitar lima belas menit, aku ingin menghindari berlari saat pulang karena aku juga membawa beberapa barang belanjaan dari supermarket.
"Maaf, aku tidak memeriksa ramalan cuaca."
"Ah, aku juga tidak memeriksa. Meskipun agak mahal, bagaimana kalau kita beli payung?"
"Baiklah."
Hal yang baik tentang kemalangan ini adalah tempat yang kami pilih untuk berteduh dari hujan adalah sebuah toko serba ada.
Meskipun harganya lumayan mahal tapi jika kami memebeli payung kami seharusnya bisa pulang dengan aman, aku lalu memilih dua payung plastik secara sembarangan.Tapi tiba-tiba Hibiya dengan ekspresi bingung menarik lengan baju ku dengan lembut.
"Apa yang kamu lakukan, Ryota-kun?"
"Eh? Apa aku melakukan sesuatu yang aneh?"
"Satu saja sudah cukup, kan?"
"Tapi kalau begitu, kita harus berbagi satu payung..."
"Apakah ada masalah dengan itu?"
"Tidak, tapi..."
Memang hanya dengan satu payung, kamu bisa terhindar dari basah kuyup saat hujan. Yah kami juga tidak terlalu jauh dari rumah, jadi aku tidak perlu memaksakan diri untuk membeli dua payung.
Tapi jujur aku merasa sedikit malu jika harus berbagi payung. karena itu terdengar agak…. yah.. memalukan.
Saat aku sedang merasa malu karena membayangkan berbagi payung dengan Hibiya, terdengar suara tidak termotivasi dari petugas toko yang berkata, ‘Terima kasih atas pembeliannya.’ Ketika aku melihat, Hibiya sudah selesai membayar tagihannya, dan Di tangannya dia sedang memegang satu payung plastik.
... Sementara aku merasa ragu, sepertinya keputusan untuk berbagi payung sudah diputuskan.
"Ayo pulang, Ryota-kun."
"Ah, ya."
Yah, kami sekarang sudah berpacaran, jadi wajar jika saling berbagi payung. Karena hal ini sudah terjadi, aku harus menguatkan diri ku, aku lalu menepuk pipi ku sendiri dan mencoba mengembalikan
semangat ku. Saat kami meninggalkan toko serba ada, aku lalu mengulurkan tangan kiriku ke arah Hibiya.
"...?"
Hibiya sedikit bingung dan memiringkan kepalanya kesamping.
"Kamu tahu, ini."
"Eh? ...Umm, ya."
"Tidak, tidak, maksudku bukan berpegangan tangan, tapi payung. biar aku yang memegang payungnya Karena aku lebih tinggi dari mu."
"Oh, jadi begitu ya. Baiklah, tolong."
Hibiya lalu memberikan payung plastik itu kepada kepadaku. Setelah aku menerimanya, aku langsung membuka lipatan payung itu. Ini tidak cukup untuk digunakan oleh dua orang, tapi yah...cukup bagus..
"Ayo pulang."
"Baiklah."
Di tengah aroma khas hujan, tercium aroma manis yang merangsang pikiran rasional ku menusuk hidungku.
"bukankah kita agak terlalu dekat?"
"Itu tidak benar. Kalau tidak sedekat ini, kamu akan basah."
"A-aku mengerti... itu benar."
"Kau tidak perlu memiringkan payungmu ke arahku, lihat bahu Ryota-kun mulai basah.”
..Apakah dia sudah mengetahuinya?
Yah aku hanya berusaha menjadi pria yang keren dan bertingkah seperti seorang pacar yang perhatian.
“Tapi kalau aku tidak melakukan itu, Hibiya akan basah.”
"Aku akn baik-baik saja. Yang penting, jika Ryota-kun sampai masuk agin itu akan jadi masalah."
"tenaga saja. Aku tidak akan masuk angin atau apa pun. Jadi jangan khawatir”
"Aku juga tidak akan masuk angin, jadi aku baik-baik saja. Jadi, tolong payunggi dirimu dengan baik."
"Mungkin daya tahan tubuh mu kuat. Tapi tubuhmu seperti mudah rusak.”
“Hal itu tidak terjadi akhir-akhir ini.”
"Sepertinya begitu. Menurutku ini lebih baik dari sebelumnya.
Tapi...kurasa seharusnya aku membeli dua payung."
“Itu akan sia-sia. jadi jangan membuang-buang uang.”
Yah mungkin itu bener untuk tidak membuang-buang uang. Hibiya dan aku hidup dari uang orang tua kami, meskipun kita diberi uang lebih dari cukup untuk biaya kebutuhan sehari-hari, tapi itu bukan berarti kami bisa seenaknya menghabiskannya.
Tapi, mungkin lebih baik jika aku membeli dua payung dari awal, daripada terjadi cekcok, Hibiya lalu memalingkan pandangannya dan berbisik.
“Lagipula , aku ingin berbagi payung dengan Ryota-kun setelah sekian lama."
"Oh, ya. Kita dulu sering berbagi payung ya."
"Iya, itu menyenangkan."
"Menyenangkan?... tapi menurutku itu tidak menyenangkan tahu."
"Bagi ku, itu menyenangkan. Karena aku bisa melihat wajah malu Ryota-kun."
"Oh, begitu ya."
Aku mulai teringat kenangan masa lalu, Hibiya selalu ingin berada berbagi payung denganku karena suatu alasan, jadi setiap kali hujan, kami selalu berbagi payung
Tapi itu semua terjadi ketika kami kecil, ketika kami sudah masuk SMP, kami berhenti melakukan itu sepenuhnya.
Saat aku masih di sekolah dasar, aku sering diejek karena aku sering berduaan dengan perempuan.
Tiba-tiba, Hibiya tiba-tiba berhenti berjalan dan mendongak.
"Ryota-kun, maukah kamu mampir ke sini sebentar?"
Aku melihat ke arah yang ditunjuk Hibiya. Hal pertama yang ku lihat adalah gerbang torii berwarna merah, Tempat ini dikenal sebagai ‘Kuil Soudai’ dan konon dikatakan kuil ini memiliki berkah untuk pernikahan. Meskipun itu bukan kuil yang terlalu besar, tapi cukup banyak orang yang datang dari jauh untuk berkunjung. Tapi sepertinya sekarang tidak ada pengunjung di sana.
[TL\n:Torii (鳥居 ) di kuil Shinto merupakan pembatas antara kawasan tempat tinggal manusia dengan kawasan suci tempat tinggal Kami. Selain itu, bangunan ini berfungsi sebagai pintu gerbang kuil.
yah gerbang tori tu mirip kaya yang di pake Hasirama buat segel biju]
"Tidak apa-apa, tapi apa ada sesuatu yang ingin kamu minta?"
"Oh tidak, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih."
"Terima kasih?"
“Sebelum aku memberi tahu Ryota-kun bagaimana perasaanku, aku pernah berdo’a di sini. Aku berharap kita bisa memiliki hubungan khusus. Karena itulah aku ingin mengucapkan terima kasih untuk itu”
Hibiya tersenyum manis, dengan senyum yang menggemaskan.
Aku tidak menyangka dia melakukan hal seberani itu tanpa sepengetahuanku. Apa yang harus aku lakukan. Aduh. aku jadi tidak bisa menatap mata Hibiya dengan tenang.
"Apa yang terjadi?"
"A-Aku tidak tahu harus berbuat apa. Maksudku, ayo pergi. kita akan basah kuyup jika tetap berdiri di sini.”
"Oh, ya, benar."
Kami melintasi gerbang torii dan dan berjalanlah sepanjang jalan menuju kotak persembahan. Karena ada atap di sana, kami bisa melipat payung dan menyimpannya bersama tas belanjaanku.
Saat aku Penasaran dengan tindakan Hibiya, aku meraih pergelangan tangannya.
"Tunggu. Apa yang akan kamu lakukan?"
"Aku akan memberi persembahan."
"Saya tahu, tapi apakah kamu akan mengeluarkan semua uang dari dompetmu?"
"Iya. Karena ini adalah ucapan terima kasih karena aku bisa berkencan dengan Ryota-kun, jadi aku berpikir untuk memberikan semua uang yang aku punya.”.
" Menurutku itu agak berlebihan."
"Apakah begitu?"
Saat aku melihat, aku melihat ada sekitar 10.000 yen di dompetnya.
Yah memberikan semuanya juga merupakan hal yang baik. Tapi buka kan itu terlalu banyak untuk digunakan sebagai persembahan.
Hibiya lalu meletakkan tangannya di dagunya dan berpikir
“Hmm… Benar juga, seharusnya, lebih baik aku menyimpan uang ku untuk masa depanku bersama Ryota-kun
"Oh, baiklah..."
Aku berkata dengan nada agak pasrah, lalu menggaruk kepala ku.
Hibiya lalu mengalihkan pandangannya dari dompetnya dan menatap ku.
"Apa tidak apa-apa jika hanya memberi persembahan 500 yen?"
"Ya. Kalau begitu aku akan melakukan hal yang sama."
Meskipun itu hanya persembahan untuk hari biasa, aku merasa itu agak berlebihan memberikan 500 yen. Tapi yah mungkin itu tidak masalah.
Aku juga mengeluarkan 500 yen dari dompet ku. Meskipun tidak terlalu sinkron, kami melemparkan uang itu ke dalam kotak persembahan hampir pada waktu yang bersamaan.
Dua kali membungkuk, dua kali tepuk tangan, lalu satu kali membungkuk. Yah itu adalah etika beribadah dan bermeditasi.
Setelah menyelesaikan do’aku kepada Tuhan, aku membuka kelopak mataku. Hibiya masih menyatukan tangannya. Setelah menunggu sekitar 20 detik, Hibiya membuka matanya dan menatapku.
"Maaf, aku membuatmu menunggu."
"Tidak apa-apa."
"Sebelum kita menyadarinya, hujan mulai mereda "
"Oh, benar."
Hujan yang tadinya diperkirakan akan berlangsung beberapa jam, kini berubah menjadi gerimis. Awan gelap telah menghilang dan sekarang kita dapat melihat sedikit sinar matahari.
Hujan apa ini...?
Saat aku memperhatikan hal itu, aku menyadari sesuatu dan menepuk bahu Hibiya.
"Hmm?"
"Lihat itu."
Ada pelangi. Aku Sudah lama sekali tidak melihat pelangi seperti ini, Jika kami tidak mampir ke kuil tadi, mungkin kami akan melewatkan ini semua.
"Wah, indah sekali..."
"Itu benar."
Pipi Hibiya mengendur dan dia tersenyuman, senyumannya itu jauh lebih indah dari pelangi yang terlihat.
Hujan yang turun tiba-tiba tidak terasa buruk sama sekali. Anehnya, aku merasa seperti itu.