Setelah itu, kami pergi ke arcade.
Aku yang pengecut tidak berani pergi ke arcade dekat sekolah, jadi aku memutuskan untuk pergi ke arcade yang terletak satu stasiun jauhnya bersama adik perempuan Hamura.
Dalam perjalanan itu—.
“Maaf ya, sudah memilih arcade yang jauh.”
“Tidak, tidak, aku yang mengajak, jadi silakan pilih tempat yang kakak suka. Fufu, Senpai, biasanya main game apa?”
Karena kami punya hobi yang sama, pembicaraan jadi mengalir lancar. Ini pertama kalinya aku bisa ngobrol dengan santai dengan seorang gadis...
“Hmm, biasanya RPG atau game aksi. Tapi pada akhirnya, aku main segala genre sih.”
“Wah~~ bagus! Aku juga begitu! Akhir-akhir ini aku suka main FPS, game tembak-menembak! Yang pertarungan online!”
FPS adalah game sudut pandang orang pertama, dan belakangan ini, game di mana 100 orang turun ke satu medan perang dan bertarung sampai tersisa satu orang menjadi sangat populer.
“Ufufufu.”
Entah kenapa, mata adik perempuan Hamura bersinar dengan cara yang aneh. Ah... dia ini tipe sadis.
“Aku mengingat ID game orang yang menembak mayatku... lalu saat bertemu lagi, aku menghancurkan mereka jadi berkeping-keping. Ufufu…”
“...Itu dendam yang berlebihan. Aku paham perasaannya, tapi tetap saja.”
Menembak mayat adalah tindakan menyerang lawan yang sudah dikalahkan, sebuah perbuatan yang tergolong pelecehan dan melanggar etika.
Aku juga pernah beberapa kali mengalami hal itu... dan memang menyebalkan.
“Ufufu, aku bercanda kok? Tapi masih lebih baik dari rata-rata batting pitcher di liga bisbol Jepang…”
“Berarti kalo begutu kamu serius 80%.. dan itu menakutkan.”
“Eh? Senpai takut padaku aku? Senpai tahu, Onee-cuan... Onee-chan lebih menakutkan, lho? Dalam berbagai arti... benar-benar... dari lubuk hati.”
“Hamura...?”
Dia... hari ini saja, kesanku terhadapnya sudah berubah drastis... jujur saja, aku belum bisa menebak orang seperti apa dia sebenarnya.
“Iya, di luar dia terlihat seperti siswa teladan, tapi... kalau sudah melihat seseorang sebagai musuh, dia tidak akan ragu-ragu...”
Senyum adik Hamura yang tadi ceria, kini berubah jadi sedikit canggung. Dia menatapku ragu-ragu, dan berbicara dengan gugup.
“Senpai, kalau Onee-chan-ku sudah meyukai sesuatu, dia bisa terlalu fokus dan lupa pada sekelilingnya... dia hanya begitu padaku dan... Senpai adalah orang pertama selain aku yang dia perlakukan begitu, jadi... kalau bisa, tolong jangan membencinya... hari ini dia merepotkan, kan? Onee-chan itu sangat ahli dalam hal yandere...”
“...”
Oh, jadi adik Hamura pikir aku bakal benci sepupuku, ya... mungkin dia datang ke sini untuk meluruskan kesalahpahaman tentang sepupunya? Ah, dia orang yang baik.
Yah, aku memang sedang di-stalking, jadi wajar kalau dia khawatir... huh, naif sekali. Terlalu naif.
“Dengar, yandere tidak akan berpengaruh padaku. Meski alasannya mencintaiku sangat tidak masuk akal, kalau cewek secantik Hamura menyukaiku, itu sudah pasti aku senang... eh? Tapi aku benar-benar disukai, kan? Itu masih misteri sih…”
“...Eh?”
Sepertinya dia terkejut dengan ucapanku. Adik Hamura menatapku dengan kebingungan, kepalanya sedikit dimiringkan.
“Kamu pikir aku bakal tersenyum palsu dan melupakan semuanya, ya? Aku beda dari pria tampan yang cuma mengandalkan tampang. Di-stalking oleh yandere cantik itu malah sebuah hadiah.”
“Senpai…”
Adik Hamura terlihat ( ゜д゜) ternganga.
Hah, terkejut dengan kedalaman kepribadianku, ya... yah, meskipun aku cuma orang yang introvert dan penyendiri.
“...Senpai benar-benar bodoh, ya. Ugh...”
“Hei, itu penghinaan langsung. Aku bisa terluka, tahu, dan menangis.”
“Ufufu... Senpai benar-benar bodoh.”
“Adik Hamura, aku harus menyangkal itu—”
Hamura menggembungkan pipinya dan menempelkan jari telunjuknya ke bibirku. Sentuhan lembut itu membuatku sedikit terkejut.
“Na...”
“Aduh, kenapa sih, Senpai terus manggilku dengan sebutan adik Hamura... Memang sih, aku adik perempuan Onee-chan, tapi... panggil aku Miu saja.”
“Eh... manggil dengan nama depanmu langsung... itu terlalu sulit buat penyendiri sepertiku, dan penyendiri punya kebanggaan tersendiri...”
“Jangan berisik. Ayo, anak baik, panggil aku Miu.”
“Miu...”
“Ufufu, bagus sekali. Pintar, pintar.”
“...Berani sekali, anak SMP ini.”
“Aduh! Senpai! Aku bukan anak SMP, aku kelas 1 SMA! Aku cuma satu tahun lebih muda dari Senpai...”
“Eh...? Se...serius? itu tidak kelihatan sih—”
“Se...Senpai? Apa yang kau liahat? Payudara, ya? Senpai kau melihat payudaraku, kan? Aku bisa merasakan tatapan ke payudara 5 kali lebih sensitif daripada perempuab lain, tahu? Maaf ya, memang payudaraku kecil. Aku agak sensitif soal itu, jadi kalau ada yang bilang langsung... bagian yandereku akan keluar sepenuhnya, tahu? Ufufufu.”
“...A-aku, eh... ya, ngomong-ngomong, aku ada yang mau ditanya ke kamu!”
“Senpai kau mengalihkan pembicaraan, ya. Pintar sekali... Haaah, aku ingin punya payudara yang besar.”
...Topik ini sepertinya terlalu dalam.
“Jadi... kenapa Hamura menyukaiku? Aku benar-benar nggak paham, dan... apa benar aku disukai?”
“Ah, ah... itu... yaaah, itu... sebenarnya bukan aku yang seharusnya ngomong! Senpai ayo! ayo cepat pergi! Setelah jam 6 sore, aku sering ditanyai petugas arcade atau polisi karena penampilanku, lho!”
“Hei, tunggu! Jangan menarik-manikku!”
(Ah, itu bikin aku makin penasaran...!!!)
Lalu kami pun bergegas ke arcade.
Meskipun banyak pertanyaan muncul di kepalaku, ekspresi Miu yang berubah-ubah membuat suasana jadi lebih ceria, dan entah kenapa, aku merasa sedikit lebih bersemangat saat melihatnya.