> CHAPTER 4

CHAPTER 4

 Kamu saat ini sedang membaca  Ore no 'unmei no akai ito' ni tsunagatteta no wa, tenteki no yōna joshidatta kudanvolume 1 chapter 4. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw

PERASAAN YANG SEBENARNYA



◆ RIRAN ◆


Setelah melarikan diri dari Sanada, aku langsung pulang ke rumah. 


Tanpa menyapa keluargaku, aku langsung mengurung diri di kamar, mengunci pintu, dan meringkuk di sudut ruangan. 


Dalam cahaya redup, aku hanya menatap ke langit-langit kamarku, membiarkan waktu berlalu.


...Sanada, dia tidak langsung menjawab pertanyaanku... Ya, tentu saja. Tidak apa-apa.


Aku tidak merasa sedih. Lebih dari itu, yang aku rasakan adalah perasaan 'sudah kuduga'. Karena itu, seolah-olah ada lubang besar di hatiku. 


Ini adalah hukuman karena selama ini aku telah memperlakukan dia dengan buruk. 


Aku sangat mencintainya, tapi aku tidak bisa jujur... Ini tanggung jawabku.


Karena aku tidak bisa jujur dan melakukan hal-hal seperti itu, mungkin Sanada sebenarnya membenciku di lubuk hatinya.


Ah, aku ingin menangis... Tidak. Tidak boleh. Aku tidak boleh menangis. Ini tanggung jawabku. 


Kalo saja aku bisa jujur, ini tidak akan terjadi... Jadi, ini salahku.


...Oke. Tenang. Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja.


Sanada membenciku. 


Itu sebabnya ketika aku bertanya padanya tentang bagaimana tanggapannya kalo Tsuchimikado mengungkapkan perasaannya, dia tidak bisa langsung menjawab.


Seperti yang dikatakan Tsuchimikado, bahkan di zaman sekarang, orang bisa menikah tanpa diikat oleh benang merah takdir. 


Mereka ingin menikah dengan orang pilihan mereka sendiri, tanpa terpengaruh oleh benang merah. 


Aku sangat mengerti perasaan itu.


Artinya, Sanada berpikir kalo dia akan lebih bahagia bersama Tsuchimikado daripada bersamaku... Itu sebabnya dia tidak mengatakan apa-apa...


"...uuu..."


Hanya dengan memikirkannya, hatiku yang sudah tenang menjadi gelisah lagi. 


Aku menangis. Padahal aku tahu ini adalah tanggung jawabku.


...Tidak. Justru karena aku tahu ini adalah kesalahanku, yang ada hanyalah penyesalan.

 

Ini bukan perasaan sedih. Bukan juga perasaan 'sudah kuduga'.  

Ini adalah penyesalan.  


Begitu aku menyadarinya, tiba-tiba kenangan saat itu muncul kembali seperti kilasan kilas balik.  




Itu terjadi ketika aku masih duduk di kelas dua SD.  


Saat itu, 'Benang Merah Takdir' sudah menjadi pengetahuan umum di seluruh dunia. 


Meskipun anak-anak setengah Jepang tidak terlalu langka, setelah Karu-Onee-chan lulus, aku satu-satunya anak setengah Jepang di SD yang kuhadiri.  


Rambut pirang dan mata merah. Selain itu, meskipun aku yang mengatakannya sendiri, penampilanku sejak kecil sudah cukup menonjol. Singkatnya, aku sangat menarik perhatian.  


Ditambah lagi, saat itu aku sangat pemalu dan sulit bergaul dengan orang lain.  


Mungkin karena itulah, aku sering di-bully.  


Tidak hanya oleh teman sekelas, tapi juga oleh para senpai.  


Saat itu, aku ingat dibully oleh 3 anak laki-laki kelas 6.  


Di sebuah taman sepi sepulang sekolah, 3 anak yang lebih besar dariku menunjukkan niat jahat mereka dengan terang-terangan. 


Saat itu, aku tidak bisa melawan atau meminta tolong. Aku hanya menunduk dan diam.  


"Hei, lihat, mata merah!"  


"Menjijikkan sekali!"  


"Rambut pirang? Jelek sekali, jelek!"  


"Yah, jelek! Jelek!"  


Aku bertahan. Menunduk dan menunggu sampai semuanya berakhir.  


Aku berpikir, kalo aku menangis, mereka akan semakin membullyku. 


Jadi, aku bahkan menahan diri untuk tidak menangis.  


Tapi salah satu dari mereka sepertinya tidak suka dengan sikapku. 


Dia tiba-tiba mendengus kesal dan mengeluarkan gunting dari tasnya.  


Melihat itu, 2 lainnya juga mengeluarkan gunting.  


"Rambut jelek ini, kita potong saja!"  


"To-tolong jangan...!"  


Aku takut. Baik itu gunting yang pertama kali diarahkan padaku, maupun senyum jelek mereka yang membuatku mual.

 

Ini bukan sekadar pengetahuan, melainkan ketakutan yang sepenuhnya berasal dari insting.  


Aku tidak bisa melakukan apa-apa, tidak bisa berteriak, dan rambutku hampir dipotong... Saat itulah.  


"Pergi kalian, penjahat!"  


──Seorang pahlawan muncul.  


Seorang anak laki-laki yang lebih pendek dariku tiba-tiba datang dari suatu tempat. 

 

Dia menendang dengan keras area selangkangan para Senpai itu.  


"Gyaaa!?"  


Sekarang aku mengerti. Rupanya, itu sangat menyakitkan.  


Dia berdiri di depanku seolah melindungiku, memandangi ketiga anak laki-laki yang merintih di tanah.  


Punggungnya terlihat lebih besar dan kuat daripada tinggi badannya yang sebenarnya.  


"Kalian ini, apa kalian pantas disebut laki-laki? Kalo kalian memang laki-laki, seharusnya kalian melindungi anak perempuan! Kalian sungguh memalukan!"  


Aku ingat dia mengambil pose aneh, mungkin itu terinspirasi dari anime atau acara tokusatsu.  


Tapi, saat itu, bagiku, dia terlihat begitu bersinar dan memesona.  


"Akito!"  


"Sanada, ada apa?"  


Tak lama kemudian, sekitar 5 anak laki-laki datang, mungkin teman-teman Sanada saat itu.  


"Ooh, kalian semua datang! Dengarkan baik-baik. Orang-orang ini adalah penjahat yang baru saja mencoba menyakiti anak perempuan ini! Sekarang, kita akan menghukum mereka bersama-sama!"  


"Apa!?"  


"Orang jahat!"  


"Hukum! Hukum!"  


6 anak laki-laki, termasuk Sanada, menggunakan tongkat pemukul yang mereka bawa sebagai senjata dan mendekati ketiga Senpai yang masih tergeletak.  


Ini pertama kalinya aku dilindungi oleh anak laki-laki seperti ini.  


Ini pertama kalinya aku merasakan jantung berdebar kencang karena seorang anak laki-laki.  


Jantungku berdegup kencang dan aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi. 


Aku merapatkan tanganku di depan dadaku, berusaha menahan getaran yang berisik namun nyaman ini.  


Tiba-tiba, Sanada mendekatiku.  


"Apa kau baik-baik saja?"  


"...Eh, ah... itu..."  


Aku tidak bisa mengeluarkan suara dengan baik. 


Jantungku berdegup kencang dan hanya melihat wajahnya saja sudah membuatku kewalahan.  


"Wah, rambutmu benar-benar pirang! Keren, lucu sekali!"  


"────"

 

Ini adalah pertama kalinya. Seorang anak laki-laki yang seumuran denganku memuji rambutku.


Itu membuat detak jantungku semakin kencang. 


Selama ini, saat aku di-bully, aku bisa mengendalikan diriku sendiri, tapi di depan Sanada, aku tidak bisa melakukannya.


"Ah... a, no──"


"Akito taicho! Kami sudah mengikatnya dengan tali skipping!"


"Oke! Baiklah, Aku akan membawa mereka ke pos keamanan! Ayo pergi!"


Sanada dan yang lain tidak mempedulikanku sama sekali, mereka membawa ketiga orang itu pergi seperti badai.


Tiba-tiba, hanya Sanada yang menoleh ke belakang dan berteriak.


"Sampai jumpa lagi!"


Sampai jumpa lagi.


Aku pernah mendengar seseorang mengatakannya... tapi ini adalah pertama kalinya igu diucapkan untukku.


Aku terdiam, tertegun.


"Akito... Sanada... Sanada, Akito."


Tapi, nama anak itu tidak bisa lepas dari pikiranku.


"...Sampai jumpa lagi."




Waktu pun berlalu, dan aku masuk SMP.


Sejak saat itu, aku tidak bisa melupakan Sanada dan penampilannya memberiku keberanian untuk mencoba berbagai hal.


Aku berusaha keras dalam pelajaran yang tidak ku sukai dan aku memperbaiki sifat pemalu yang kumiliki.


Aku juga tidak mengabaikan perawatan rambutku yang dipuji sebagai cantik dan indah. 


Agar tidak kalah dengan rambutku, aku juga berusaha keras dalam perawatan kulit dan olahraga yang baik untuk kecantikan.


Aku bermimpi suatu hari nanti aku akan bertemu kembali dengan Sanada.


Dan akhirnya, hari upacara penerimaan SMP tiba.


"Ah...!"


Aku bertemu kembali dengannya... dengan Akito Sanada.


Tentu saja, dia lebih tinggi dari yang kuingat.


Tubuh dan tingginya berbeda dari yang kuingat. Penampilannya juga cukup menawan. 


Meskipun tidak sampai selevel pria tampan yang luar biasa, bagiku dialah anak laki-laki terhebat.


Jantungku berdebar kencang seakan akan pecah.


Aku sangat senang bisa bertemu lagi dengannya, aku sangat senang.


Tanpa bisa menahan perasaan yang menggebu-gebu, aku menyapanya.

 

"Sa, Sanada, lama tidak bertemu!"


"...Eh... apa kita pernah bertemu sebelumnya?"


Dia telah melupakanku.


Padahal, dengan warna rambut dan mataku yang mencolok, seharusnya aku mudah diingat. Tapi, dia melupakanku. Itu sangat mengejutkan untukku.


Tapi mungkin itu baik. Meski kami bersekolah di SD yang berbeda, sekarang kami berada di SMP yang sama. 


Di tahun pertama, kami berada di kelas yang berbeda, tapi aku bisa melihat Sanada yang keren itu dari dekat lagi, seperti dulu.


...Begitulah pikiranku.


"Malas bet."


"Merepotkan."


"Aku pengen pulang."


Dia telah berubah menjadi pemalas.


Aku tidak bisa menerimanya. Ke mana Sanada yang keren itu? Kenapa dia menjadi seperti ini?... Aku selalu merasa kesal.


Kemarahan itu kujadikan sebagai motivasi untuk belajar, menjadi ketua kelas, dan terlibat dalam acara-acara sekolah.


Aku berusaha memotivasi siswa-siswa yang tidak bersemangat dan menunjukkan kepemimpinan dengan melibatkan orang-orang di sekitarku. 


Guru-guru pun memujiku, dan aku merasa cukup disukai oleh teman-teman sekelas lainnya.


Ini bukanlah patah hati... tapi aku memutuskan untuk melupakan Sanada. 


Untuk menikmati kehidupan SMP sebaik mungkin, aku akan berusaha keras.


Begitulah pikiranku... sampai suatu hari.


Ketika aku dipanggil oleh guru dan sedang menuju ruang guru, di sudut lorong berbentuk L, aku tidak sengaja mendengar percakapan 3 teman sekelasku yang sedang berbicara.


"Kuonji-san itu agak menyebalkan, ya."


"Iya, dia terlalu bersemangat sendirian."


"Benar sekali. Seperti dia pikir kalo dirinya itu cantik dan pintar."


Mendengar itu, aku tidak bisa menegur mereka... aku hanya berhenti di sudut lorong.


Itu adalah kesalahan.


"Lagipula, bukankah menjengkelkan kalo semua anak laki-laki di kelas jatuh cinta pada Kuonji-san?."


"Katanya di kelas lain juga ada yang suka dengannya."


"Ew. Dia pasti gonta-ganti pacar deh. Aku iri sekali~"


"Pasti dia sudah seperti itu sejak SD."


Mereka bertiga tertawa vulgar.


Aku tidak bisa mundur, aku hanya bisa hanya terdiam, dan kata-kata kejam mereka menusuk hatiku.


Meski masih kelas satu SMP, aku mengerti arti kata-kata mereka.


Bendungan di hatiku hampir jebol. Air mata yang selama ini kutahan hampir meluap.


Kenapa? Kenapa tidak ada yang mengakuiku?


Kenapa aku yang selalu menjadi bahan omongan seperti ini?


Kenapa──.


"Apa yang sedang kalian lakukan?"


........Ah........


Bukan kepadaku. Suara itu ditujukan kepada 3 orang tersebut.


"Ah, Sanada-kun!"


Sanada. Sanada Akito. Dia berada di sana.


Begitu memikirkannya, aku tidak bisa menahan diri dan mengintip sedikit.


...Dia ada di sana. Sanada.


Sanada yang berjalan dari ujung lorong itu tetap memiliki wajah yang terlihat malas. 


Kebiasaannya itu membuatku tidak sengaja tersenyum.


"Kalian sedang membicarakan apa? Terlihat seru."


"Tentang Kuonji-san. Kau tahu, anak dari kelas kita."


"Ah...si gadis setengah Jepang itu?"


"Iya, iya. Dia terlihat terlalu bersemangat, seperti menarik-narik orang lain tanpa perlu."


"Menyebalkan, bukan? Kami sedang membicarakan itu. Yah, Sanada-kun berada di kelas yang berbeda, jadi mungkin kau tidak merasakannya. Tapi sungguh buruk berada di kelas yang sama dengannya.』


Ke-3 gadis itu mungkin berpura-pura manis, mendekati Sanada dengan suara yang merayu.


Tolong hentikan...jangan katakan itu kepada Sanada.


Kalo Sanada mengatakan hal seperti itu kepadaku, aku pasti...akan hancur──.



"Kenapa? Orang yang berusaha keras itu keren, lho."



──Ah.


Dengan kata-kata Sanada, duniaku seakan terbuka.


Duniaku yang gelap dan kelabu tiba-tiba dipenuhi warna.


Begitulah perasaanku.


"Eh, tapi di SMP masih berusaha keras itu rasanya ketinggalan zaman."


"Apa yang kamu bicarakan? Aku juga punya hal-hal yang kuperjuangkan, lho."


"Ah, Sanada-kun tidak terlihat seperti tipe orang seperti itu.』


"Hiroshi berkata, berusaha itu seperti buang air besar. Pertama, hal yang harus terus berjalan. Kedua, itu hal yang harus dilakukan setiap hari. Ketiga, disiram air. Keempat, jangan pernah menunjukkan usahamu kepada orang lain. Jadi usahaku tidak akan kuperlihatkan kepada orang lain."


"Tidak, itu menjijikkan!"


"Sanada-kun kau memang lucu!"


Pembicaraan ketiganya tiba-tiba berfokus pada Sanada.


Seolah mereka lupa kalo mereka sedang membicarakanku.


"Oh ya, Sanada-kun, kau ada waktu tidak? Bagaimana kalau kita pergi karaoke?"


"Ah, maaf. Aku mau buang air besar."


"Kenapa kau berusaha keras seperti buang air besar (lol)."


"Kalau begitu, aku juga mau belajar...eh, maksudku buang air besar untuk pertama kalinya setelah sekian lama."


"Aku juga."


"Eh...apa perempuan bisa semudah itu mengatakan mau buang air besar...?"


" " "Aku tidak mau dibilang begitu oleh kau!" " "


4 orang, termasuk Sanada, pergi dengan riang gembira, tertawa ceria.


Aku hanya bisa melihat mereka pergi, karena jantungku berdetak lebih kencang daripada saat aku masih di SD.


Pada saat yang sama, perasaanku terhadap Sanada kembali menyala. 


Tidak, lebih dari itu—aku semakin merindukannya dengan penuh gairah.


Tanpa sadar, aku meletakkan tangan di jari manis tangan kiriku.


Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku aku begitu menginginkan untuk terikat dengan seseorang dari lubuk hatiku yang terdalam.


Ah, Sanada—aku ingin terikat denganmu oleh benang merah takdir.


Di dalam ruangan yang remang-remang, aku teringat jelas momen itu. 

 

Kenapa aku bisa melupakannya? Perasaanku terhadapnya.  


Tubuhku terasa panas, detak jantungku berdegup kencang dan tidak teratur.

  

...Aku mencintaimu...cinta, cinta, cinta. Aku sangat mencintaimu...aku mencintai Sanada.  


Aku ingin menyampaikan perasaan ini. Aku ingin mempersembahkan perasaanku ini kepada Sanada.  

Begitulah yang kupikirkan.  


Di dalam pikiran dan hatiku, hanya ada Sanada. 

 

Baik saat tidur, bangun, makan, bahkan selama pelajaran di sekolah, yang kupikirkan hanyalah Sanada.  


Mungkin karena itu, saat berada di hadapannya, perasaanku meluap-luap, aku menjadi gugup, dan panik.  


Dan karena itu...


『A-A-Aku tidak mengakui apa pun tentangmu!』  


Hanya dengan mengingatnya, aku merasa sedih. Aku sendiri merasa konyol.

  

Tapi...setelah bertemu di masa SD, dan bertemu kembali di SMP...perasaanku semakin kuat.  


Aku tetap...mencintai Sanada.  


Aku tidak ingin memberikannya kepada siapa pun, dan aku tidak akan melepaskan posisi di samping Sanada.  


Meskipun Tsuchimikado-san juga mencintai Sanada...


Aku pasti, pasti—lebih mencintainya daripada siapa pun.  


◆HIYORI◆  


 

Ah, aku sudah melakukannya, ya. Ahaha.


Setelah selesai kerja paruh waktu, dalam perjalanan pulang, aku teringat kejadian tadi.


Melihat mereka berdua akur, perasaan Hiyori meluap dan tanpa sadar aku menyatakan perang.


Aku tahu kalo Rira-tan menyukai Sana-tan. Melihat mereka berdua hari ini, aku yakin itu benar.


Tapi... meski begitu, Hiyori juga menyukai Sana-tan.


Aku teringat hari ujian masuk SMA itu──.


Hari ujian masuk SMA.


Pada masa itu, Hiyori juga belajar dengan sungguh-sungguh, yang jarang terjadi.


Motivasinya tidak murni dan sederhana. Hanya karena melihat di TV, aku berpikir kalo siswi SMA itu keren dan lucu. Alasan memilih SMA Ginkgo juga hanya karena seragamnya yang imut.


Guru SMP ku mengatakan kalo masuk SMA Ginkgo akan sulit. Hiyori merasa gugup seperti belum pernah sebelumnya.


Ya, meski begitu, aku tetap merias wajah dengan baik dan merasa lebih bersemangat dari biasanya.


"Aku, aku gugup...!"


Sambil menunggu kereta, aku tanpa sadar bergumam.


Ini ujian pertama dalam hidupku, dan tidak ada teman yang ikut ke tempat ini. Tidak mungkin tidak gugup.


Tapi, kalo dipikir-pikir sekarang, mungkin itulah masalahnya.


Saat itu, Hiyori tidak punya ketenangan dalam hati. Bahkan hal sederhana seperti memperhatikan sekitar pun tidak bisa dilakukan.


Karena itulah, hal itu terjadi...


Setelah menunggu sebentar, akhirnya kereta datang. Banyak orang asing di sekitarku, dan aku naik kereta sambil setengah terhimpit.


Bau. Panas. Berat.


Sudah gugup mau muntah, kereta yang penuh sesak semakin menambah stres Hiyori.


Riasan yang sudah dipoles dengan sempurna pun mulai sedikit luntur. Sangat buruk.


Kesal, kesal, kesal, kesal──.


Swa...


"Ah."


Sesuatu menyentuh bokongku.


Hanya sekejap, dan setelah itu tidak ada lagi yang menyentuh untuk beberapa waktu.


Hal seperti ini kadang terjadi. Mungkin hanya tidak sengaja tersentuh, atau semacamnya. Jadi, aku pikir tidak perlu membuat keributan.


Swa, swa.


Lagi, ada yang menyentuh.


Pelecehan seksual...!


Aku langsung menyadarinya. Ya, Hiyori juga cukup cantik, dan ini bukan pertama atau kedua kalinya aku mengalami pelecehan seperti ini.


Seperti biasa, cukup tangkap dan berteriak.


Tapi...


"...! .........!?"


Suaraku tidak keluar.


Karena tegang menghadapi ujian dan stres akibat kereta yang penuh sesak, tubuh Hiyori tidak bisa bergerak sesuai keinginan. Tidak bisa menepis tangan itu, dan kepalaku panik.


Apa karena ucapan "Aku gugup...!" tadi, si pelaku melihat stresku dan menjadikanku target? Apa dia mengira Hiyori adalah anak yang tidak akan berteriak?


Aku takut. Tidak mengerti apa-apa, aku hanya bisa pasrah. Kalo ini Hiyori yang biasa, pasti tidak akan membiarkan hal ini terjadi.


Mungkin si pelaku yakin kalo Hiyori tidak akan berteriak, jadi dia semakin berani menyentuh.


Jijik, jijik, jijik...!


Aku ingin menangis, ingin muntah, ingin marah... tapi tidak bisa melakukan apa-apa.


Tolong. Seseorang... tolonglah...!


Aku berteriak dalam hati, tapi tidak ada yang menolong.


Memang begitulah. Tidak ada yang menyangka Hiyori sedang dilecehkan.


Orang modern, baik atau buruk, tidak tertarik pada orang lain. 


Dengan Hp, koran, atau buku di depan mereka, mereka tidak melihat sekeliling.


Itu membuatku marah, sedih, dan semuanya menjadi tidak penting lagi.


Mungkin si pelaku merasakan keputusasaanku, dan dengan suara tertawa yang menjijikkan, dia perlahan mengangkat rokku.


Haah... ini benar-benar buruk──.


Saat itulah.


"Hei, pak. Kau tertangkap basah melakukan pelecehan."


Seorang anak laki-laki datang menyelamatkanku.


Rambut hitamnya tidak terlalu pendek maupun panjang, dan dia mengenakan seragam sekolah hitam. 


Seorang anak laki-laki tinggi dengan wajah yang penuh kemarahan, seperti sosok Hanuman yang marah.


Sekilas, dia terlihat menakutkan dan memiliki penampilan yang tidak ramah.


Tapi, bagi Hiyori saat itu, penampilannya terlihat sangat keren.


"Apa kau baik-baik saja?"


Sangat menyilaukan.


Aku tidak terlalu ingat apa yang terjadi setelahnya.


Si pria itu berteriak, "Aku tidak melakukannya!" dan mencoba melarikan diri, tapi akhirnya ditangkap oleh Sana-tan dan dibawa ke polisi kereta api.


Hiyori hanya merasa sangat takut dan tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis.


Setelah itu, Hiyori menangis di bangku depan stasiun, dan anak laki-laki itu tetap berada di sampingnya.


Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya mendampingi, memastikan Hiyori tidak sendirian.


"Hiks... terima kasih."


"Jangan dipikirkan. Aku tidak bisa membiarkan hal seperti itu. Ngomong-ngomong... ini, tiket ujianmu."


Apa aku menjatuhkannya saat itu? Dia memberikan tiket ujian Hiyori.


Tapi.


"... tidak usah."


"Kenapa?"


"Itu sudah tidak penting lagi."


Kondisi mentalku saat itu benar-benar kacau.


Aku benar-benar merasa kalo ujian sudah tidak penting lagi, dan aku hanya ingin pulang dan tidur.


Karena itu wajar, kan? Setelah mengalami pelecehan seperti itu, tidak masuk akal untuk mengikuti ujian masuk SMA. Kenapa harus hari ini? Apa Hiyori melakukan sesuatu yang salah?


Begitu memikirkannya, air mataku kembali mengalir.


Tapi anak laki-laki itu tidak meninggalkan Hiyori.


"Sia-sia dong, kalo kau tidak mengikuti ujian di SMA Ginkgo."


"Tidak apa-apa. Biarkan saja."


"Masa sih? Aku tahu betapa kerasnya kau berusaha untuk bisa mengikuti ujian di sana. Bagaimanapun, aku juga akan mengikutinya."


Dia mengeluarkan tiket ujiannya sendiri.


Akito Sanda.


Saat itulah, untuk pertama kalinya, aku mengetahui namanya.

 

Orang yang menolong Hiyori ternyata juga akan mengikuti ujian di SMA yang sama dengan Hiyori.


Meskipun terkesan sederhana, untuk Hiyori, hal itu terasa seperti takdir...dan jantung Hiyori berdebar kencang.


Dia... Sana-tan menyimpan tiket ujiannya sendiri, lalu dengan senyum lembut, dia mengusap kepala Hiyori. Seolah sedang menenangkan adik perempuan yang sedang menangis.


"Sekarang, banyak hal yang terjadi dan hatimu sedang kacau. Tahukah kau apa yang harus dilakukan saat seperti ini?"


"...Aku tidak tahu."


"Mudah. Makan sesuatu yang manis. Tunggu sebentar."


Setelah mengatakan itu, Sana-tan masuk ke minimarket dekat stasiun dan segera keluar kembali.


Di tangannya ada cokelat dan 2 cokelat panas.


Salah satunya dia berikan kepada Hiyori.


"Ini, untuk merayakan lebih awal."


"...Merayakan lebih awal? Merayakan apa?"


"Kita berdua akan lulus ujian masuk SMA Ginkgo. Ini perayaan lebih dulu."


────.


"...Hehe. Apa itu, kita belum mengikuti ujiannya loh."


"Tidak masalah. Daripada pergi dengan pikiran akan gagal, lebih baik pergi dengan keyakinan akan lulus, kan? Intinya adalah perasaan."


Perasaan.


Kata itu terngiang-ngiang di telingaku. Sampai sekarang, masih terngiang.


"Kalo begitu, ayo kita merayakan kelulusan kita di SMA Ginkgo."


"...Hehe. Ayo kita merayakannya."


" "Bersulang!" "


Tidak ada yang lebih menghangatkan hati Hiyori selain cokelat panas saat itu.


Hati dan tubuhku terasa hangat.


Begitu memikirkannya, perasaanku mulai membaik.


"... ya. Aku sudah baik-baik saja. Ayo pergi?"


"Oh, begitu. Kalo begitu, ayo kita pergi bersama... ah, aaaaaaaah!"


"Eh!? Apa, apa-apaan!?"


"Tinggal 15 menit lagi sampai pendaftaran ditutup! Kita harus lari sekarang juga! Ayo, Tsuchimikado!"


Tsuchimikado.


Hiyori tidak suka nama keluarga ini. Itu terlalu kaku dan terdengar kuno.


Tapi saat dipanggil seperti itu oleh Sana-tan, anehnya aku tidak merasa tidak nyaman.


Meski begitu.


"Hiyorin."


"Eh?"


"Panggil aku Hiyorin, Sana-tan~."


"Eh, serius sekarang!? Pokoknya, kita harus lari!"


"Tunggu, Sana-tan!"


"Bisakah kau berhenti memanggilku Sana-tan!?"


Setiap kali Hiyori memanggilnya, dia selalu membalas. Dia hanya memandang Hiyori.


Aku senang dengan interaksi sederhana ini, dan itu sangat berharga...


Pada saat yang sama, jari manis kiriku terasa hangat.


Seingatku, ini terjadi sejak aku masih kecil.


──Aku tidak pernah merasa ingin terikat dengan seseorang yang aku cintai oleh benang merah seperti ini.




Begitulah, Hiyori dan Sana-tan berhasil lulus ujian masuk SMA Ginkgo.


Ini pasti takdir. Tidak ada orang lain selain Sana-tan yang ditakdirkan untuk Hiyori!


... Begitulah pikiranku, sampai muncul saingan yang sangat kuat.


Kuonji Riran. Rira-tan.


Seorang gadis yang menyukai orang yang sama dengan Hiyori, dan diberi hak oleh Tuhan untuk berada di sampingnya.


Mereka berdua menyangkalnya, tapi aku yakin mereka diikat oleh benang merah.


Gadis yang sangat cantik dan sangat mencintai Sana-tan seperti itu... Tuhan memang kejam.


Meski begitu, Hiyori tidak akan menyerah.


Seperti Rira-tan mencintai Sana-tan, Hiyori juga mencintai Sana-tan.


Sama kuatnya... atau lebih tepatnya, tidak kalah cintanya.


Di dunia ini, ada banyak contoh pasangan yang menikah tanpa diikat oleh benang merah.


Aku melihat mereka berdua, sepertinya mereka belum berpacaran, dan Sana-tan mungkin belum menyadari perasaannya sendiri.


Kalo begitu, Hiyori masih punya kesempatan.


Karena Hiyori juga──tidak, Hiyori lebih mencintainya.


★★★


Katanya, hari Senin adalah hari yang menyebalkan.


Ayahku juga selalu pergi kerja dengan wajah murung di hari Senin... tapi hari ini, aku yang merasa depresi.


Tentu saja, alasannya adalah kejadian di hari Sabtu.


Aku sudah mengirim beberapa pesan kepada Kuonji, tapi tidak ada balasan sama sekali. Bisa dibilang, aku diabaikan. Ini cukup menyakitkan.


Untuk mengusir rasa depresi, aku menghela napas dalam-dalam di kelas, lalu Neka dan Tatsuya mendekat.


"Akito, kau kok kelihatan lesu? Ini kan hari Senin, semangat dong! Hei hei hei!"


"Hai, Akki-yo yo yo!"


"Kalian berdua, tidak bisa memahami perasaan orang lain."


"Tidak bisa (hahaha)."


Menyebalkan.


Tapi... saat bersama mereka, perasaanku sedikit lebih tenang. Itu membuatku terlihat seperti orang bodoh karena sangat berhati-hati.


...Tentu saja aku tidak akan mengatakannya. Kalo aku mengatakannya, mereka akan menggodaku sampai mati.


Kemudian, Neka yang duduk di belakangku mengangguk seolah menyadari sesuatu.


"Ngomong-ngomong, Kuonji belum datang hari ini."


"Jangan-jangan Akki lesu karena itu? Maaf ya, aku tidak menyadarinya."


"Berisik."


Aku sedikit tersinggung karena mereka benar.


Ya, seperti yang dikatakan Neka, Kuonji belum datang. Kursi di depanku masih kosong. Meski begitu, dari perasaanku, sepertinya dia sedang dalam perjalanan.

 

"Yosh yosh, Akki, semangatlah."


"Kami selalu ada untukmu, kan?"


"Kebaikanmu yang aneh itu malah membuatku tidak nyaman, jadi tolong hentikan."


Jadi, berhentilah mengelus kepalaku.


Sambil bercanda seperti biasa dengan mereka berdua, Ryuguin datang sambil memperlihatkan Hp-nya.


"Snada-kun, Riran bilang dia akan terlambat."


"Kenapa kau memberitahuku itu?"


"Karena Riran kan calon istrimu, Sanada-kun?"


"Sudah kubilang itu tidak benar."


"...Hmmm~"


Dia tertawa riang dan kembali ke tempat duduknya.


Neka dan Tatsuya tidak masalah, tapi Ryuguin tahu hubungan kami, jadi ini agak canggung.


Tapi... apa-apaan sih dia? Dia mengabaikan pesanku, tapi masih berkomunikasi dengan Ryuguin? ...Tidak, aku tidak terkejut atau apa.


Melihat kami, Neka dan Tatsuya menyeringai.


"Nah, lihat. Bahkan Rio, sahabat Rira, sudah menganggapmu sebagai calon suaminya."


"Ini sudah pasti, ya."


Orang-orang ini membuatku kesal.


Setelah menepuk kepala mereka berdua, Tsuchimikado masuk ke kelas dengan langkah ringan dan mendekatiku.


"Sana-tan, selamat pagi~"


"Ah, selamat pagi, Tsuchimikado."


Aku sedikit menghindari kontak mata. Jujur saja, ini agak canggung karena kejadian di hari Sabtu.


Tapi Tsuchimikado sepertinya tidak memikirkannya, dia tetap tersenyum lebar seperti biasa.


"Kura-tan dan Nee-tan juga, selamat pagi~. Hei~"


"Hei~ Tsuchimikado. Selamat pagi~"


"Hiyorin, selamat pagi~"


Dia menyapa sambil tos dengan Neka dan Tatsuya. Kemampuan komunikasinya tetap mengesankan.


"Oh? Rira-tan belum datang?"


"...Sepertinya begitu."


"Kenapa ya?"


Dasar kau, sok santai.


Tsuchimikado memanfaatkan ketidakhadiran Kuonji dan duduk di kursinya dengan santai.


Tatsuya melihat ini dan memiringkan kepalanya, "Hah?"


"Langka sekali melihat Tsuchimikado bergabung dengan kita. Bagaimana dengan Kurosegawa dan yang lain?"


"Hmm? Tentu saja nanti aku akan ke mereka, tapi sekarang aku ingin berbicara dengan Sana-tan~"


Aku tidak merasa seperti itu~.


Tapi Neka dan Tatsuya menangkapnya dengan cara yang berbeda dan menutup mulut mereka dengan tangan.


"Apa kau dengar, Tatsuya-kun? Ini mungkin tempat perselingkuhan."


"Aku dengar, Neka-san. Ini pasti benar. Kita harus melaporkannya ke Kuonji."


"Hey, berhentilah bersikap bodoh."


" "Canda deng~" "


Kalian berdua selalu kompak.


"Bercanda, bercanda. Kalo begitu, ayo kita serahkan sisanya pada pada 2 anak muda itu."


"Kita mundur saja, ya~"

 

Mereka berdua berjalan menjauhiku dan Tsuchimikado sambil nyengir.


Sungguh, aku tidak membutuhkan perhatian seperti itu sekarang. 


Setelah memikirkan kejadian di hari Sabtu, aku tidak terlalu ingin bersama Tsuchimikado.


Tsuchimikado menyandarkan siku di mejaku dan menatapku dari jarak dekat.


"Nyuufu~. Hanya berdua, ya, Sana-tan?"


"E-eh, sebenarnya kita di kelas, jadi kita tidak benar-benar berdua."


"Aku tidak peduli dengan yang lain. Hiyori paling bahagia saat bisa bersamamu."


Dia menatapku dengan pandangan penuh semangat, pipinya memerah. Suaranya manis dan memikat, membuatku terbuai.


Aku tidak bisa tidak terpana oleh semua itu.


"Hey, Sana-tan. Apa kau sudah memikirkan pembicaraan kita sedikit?"


"P-pembicaraan? Yang mana?"


"Ah, kau pasti tahu apa yang ku maksud... Kau jadi malu, imutnya~"


Dia mengusap ujung rambut panjangnya yang bergelombang dan berwarna peach ke hidungku.


Aroma manis seperti buah persik tercium, dan rambutnya yang terawat sempurna terasa seperti kuas buatan ahli.


Saraf di tempat yang disentuhnya seolah terbuka, dan aku merasakan sensasi manis yang meleleh.


"Ah, hentikan, itu geli."


"Aha~♪ Hidungmu sensitif, ya? Kalo telinga gimana?"


"Sudah, hentikan."


"Auw~"


Aku menepuk kepalanya dengan ringan, dan matanya berubah seperti ini: 『> <』


"Ini bullying, kejam sekali!"


"Jangan bilang hal yang terdengar buruk seperti itu!"


Itu hal yang tidak bisa dianggap remeh di zaman sekarang!


Tsuchimikado menjulurkan lidahnya dan menatapku dengan mata basah.


"Hey, Sana-tan. Apa kau ada waktu luang sepulang sekolah hari ini?”


"Aku sibuk."


"Kalo begitu, ayo kita pergi bermain sebentar saja! Oke?"


Dia benar-benar tidak mendengarkan orang lain.


"Sudah kubilang aku sibuk."


"Benarkah~?"


"..."


"Nyuufu~. Sana-tan yang jujur itu, Ka-wa-i (imut), nya~♡"


Menyebalkan.


Aku tidak sengaja memalingkan wajahku. Tsuchimikado berdiri dan menepuk pipiku dengan lengan bajunya yang menggemaskan.


"Fufu~. Kalo begitu, sampai nanti setelah sekolah, ya~"


Dia mengibaskan lengan bajunya dan pergi dengan bersenandung gembira ke arah Kurosegawa dan yang lain.


Dia benar-benar seperti badai.


Tepat saat bel berbunyi, Michinomiya Sensei masuk ke kelas melalui pintu depan.


Seorang guru wanita cantik dengan kacamata, payudara besar, dan rambut dikuncir tinggi—seperti impian setiap pria.


Tapi, dia sangat tegas dalam hal disiplin dan memiliki aura yang kuat, membuatnya populer di kalangan siswa, baik laki-laki maupun perempuan.


Michinomiya Sensei memandang sekeliling kelas dengan mata ungu yang tajam... dan anehnya, dia mengangguk bingung.


"Ara. Kuonji-san belum datang, ya?"


"Ah, Sensei. Baru saja ada kabar dari Riran kalo dia akan terlambat—"


"Maaf, aku terlambat!"


Ah, Kuonji.


Kuonji masuk ke kelas, memotong pembicaraan Ryuguin. Tentu saja, semua orang memandangnya.


"Tidak apa-apa, Kuonji-san. Kita belum mulai. ...Tapi ini jarang terjadi. Kau biasanya tidak sampai mepet waktu."


"Ma-maaf. Aku begadang sampai larut malam..."


"Belajar? Jangan terlalu memaksakan diri, ya."


"Iya..."


Memang, wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya. Tapi, Kuonji sampai begadang? Itu tidak biasa.


"Kuonji-san, silakan duduk. Ketua kelas Suwabe, tolong pimpin salam."


"Iya. Berdiri, hormat, salam. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh."


" " "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh!" " "


[TL\n: gua jadi ke inget pas masih Sd jir.]


Pada akhirnya, aku tidak sempat berbicara dengan Kuonji sebelum homeroom dimulai.


◆ RIRAN ◆


Aku hampir terlambat, tapi untungnya tidak. Mungkin karena perbuatanku yang baik selama ini. Kerja bagus, diriku di masa lalu.


Tapi sekarang bukan saatnya untuk memikirkan itu.


Aku bisa merasakan tatapan Sanada menusuk punggungku.


Ini buruk... buruk, buruk, buruk!


Begitu aku menyadari kembali perasaanku terhadap Sanada, jantungku berdegup kencang dan aku tidak bisa menatapnya!


Hanya dengan memikirkan Sanada, aku tidak bisa fokus pada apa pun. 


Bahkan saat menutup mata, yang terbayang hanyalah wajah Sanada. 


Karena itu, aku begadang semalam dan bangun kesiangan pagi ini, kulitku pun terlihat kusam. 


Semuanya berantakan!


Kalo aku mencoba berbicara dengannya dalam keadaan seperti ini, pasti aku akan bersikap buruk lagi.


Padahal di hari Sabtu semuanya mulai membaik, tapi kalo hubungan kami kembali memburuk... itu tidak boleh terjadi. 


Sama sekali tidak boleh.


Aku juga penasaran dengan Tsuchimikado-san, dan aku tahu aku tidak bisa bersantai...tapi kalo itu membuat tingkat kesukaan Sanada padaku menjadi nol... atau bahkan minus, semuanya akan sia-sia.


Hari ini, aku harus fokus menghindar. Itu satu-satunya pilihan.


★★★


Apa-apaan ini?


Setiap kali aku mencoba mendekati Kuonji saat istirahat, dia menghindariku.


Bahkan kalo aku mencoba mendahuluinya, dia tetap menghindar.


Pada akhirnya, dia bersikap seolah-olah aku tidak ada sama sekali. Dia bahkan tidak mau menatapku, apalagi berbicara.


Sepertinya kami kembali ke keadaan sebelum 'Sindrom Benang Merah Takdir' muncul.


Dulu ketika aku tidak berbicara dengannya itu tidak masalah, dan aku tidak merasa apa-apa.


Tapi sekarang...


"Ini sangat melelahkan."


Tidak bisa berbicara dengan Kuonji. Ternyata ini sangat melelahkan.


Setelah kejadian di hari Sabtu, kupikir kami sudah sedikit lebih dekat...tapi mungkin karena ada Tsuchimikado, kami malah sedikit menjauh.


Kelas sudah selesai, dan yang tersisa hanyalah pulang, tapi aku merasa sulit untuk bangkit dari kursiku.


Aku ingin cepat-cepat pulang dan mandi... oh, tapi sebelumnya aku ada janji dengan Tsuchimikado. 


Kuonji juga sudah pulang...ah, ini tidak menyenangkan.


Saat aku duduk di kursi, Tatsuya dari belakang memanggilku.


"Hey, Akito, ayo kita main hari ini."


"Ah... maaf. Sepertinya hari ini aku tidak bisa."


"Hmm? Hari ini kan hari libur gym, kan?"


"Ada sesuatu yang harus kulakukan."


Bahkan kalo aku tidak ada urusan dengan Tsuchimikado, aku tidak mood untuk bermain hari ini.


Tapi sepertinya Tatsuya tidak mengerti. Melihat itu, Neka menepuk punggung Tatsuya dengan ekspresi "Wow".


"Astaga. Tatsuya, kau benar-benar tidak mengerti, ya?"


"Apa maksudmu?"


"Hari ini Akki dihindari sama istrinya, tahu? Jadi dia sedang sedih."


"Justru karena itu. Ayo kita main dan lupakan hari ini. Aku yakin suasana hati Kuonji sedang buruk hari ini karena ini adalah hari perempuan."


[TL\n: yah mungkin maksudnya si Kuonji lagi datang bulan\PMS.]


"Tatsuya, dasar idiot!"


"Hebuh!"


Tatsuya terjatuh karena tamparan Neka. 


Neka yang tingginya sekitar 140 cm menampar Tatsuya yang hampir 190 cm... seperti biasa, kemampuan fisik Neka memang luar biasa.


Neka lalu melompat ke pangkuanku dan bersandar padaku seolah menghiburki.


"Tenang, Akki. Kalian pasti akan segera berbaikan. Aku jamin!"


"...Kau memang tidak pernah berubah."


"Hehehe. Manusia tidak mudah berubah, kan?"


Tidak berubah... tidak berubah, ya.


Hubunganku dengan Kuonji, sepertinya berubah tapi juga tidak... mungkin begitu.


................ 


...Tidak, itu tidak benar.


Kami pasti sedang bergerak maju. Kami berubah.


Meskipun Tsuchimikado bilang begitu, tapi aku...


"...Terima kasih, Neka."


"Lain kali traktir aku Super Cosmo Ultra Deluxe Parfait, ya~"


"Apa itu parfait dengan nama bodoh itu? ...Tapi, oke lah."


Aku menyelipkan tanganku di bawah ketiak Neka dan mengangkatnya seperti menggendong anak kecil.


Seperti biasa, dia terlalu ringan.


"Ih, Akki menyentuh payudaraku. Hentai~"


"Bilang saja apa adanya, anak kecil."


"Aku akan menghajarmu."


★★★


Setelah melihat mereka berdua pergi, Tsuchimikado mendatangiku.


"Sana-tan, maaf membuatmu menunggu. Ayo pergi."


"...Oke."


Aku mengganti sepatu bersama Tsuchimikado dan keluar dari gerbang sekolah.


Aku sudah sering pergi bersama Tsuchimikado atau berbelanja dengannya... tapi aku belum pernah merasa gugup seperti ini.


"Nah, Sana-tan. Pertama-tama, mari kita makan crepe! Katanya ada food truck dari toko crepe terkenal di Tokyo di depan stasiun!"


"Ah, benar. Aku melihat selebaran tentang itu. Oke lah."


"Hore! Sana-tan yang traktir~"


"Aku tidak mengatakan itu."


Tsuchimikado bertingkah seperti biasa, seolah kejadian di hari Sabtu tidak pernah terjadi.


Dari percakapan tadi, aku sedikit tenang.


Ya. Aku hanya perlu bersikap seperti biasa. Untuk saat ini, lupakan saja kata-kata yang diucapkan Tsuchimikado di hari Sabtu. Nikmati saja waktu bersamanya dengan santai.


Kami berbicara tentang hal-hal sepele sambil berjalan ke depan stasiun.


Video viral yang lucu belakangan ini, tempat makan dessert enak di sekitar sini, atau pengalaman pergi ke pemandian air panas bersama Kurosegawa dan Midorikawa. Pokoknya, topik pembicaraan kami tidak ada habisnya.


"Jadi, gini~ ...Eh? Nyufufu~. Kenapa kau terus melihat wajah Hiyori? Apa kau jatuh cinta padaku?"


"Tidak. Aku hanya terkesan dengan obrolanmu yang seperti senapan mesin. Jangan khawatir."


"Ah... ma-maaf. Apa kau tidak suka?"


Tsuchimikado menatapku dengan wajah cemas. Seperti Kotono saat dimarahi.


"...Tidak, bukanya aku tidak tidak suka. Aku hanya kagum karena itu adalah skill yang tidak aku miliki."


Bahkan saat bersama Tatsuya dan Neka, aku biasanya hanya mendengarkan atau memberikan komentar. Justru itu lebih nyaman untuk ku karena aku tidak perlu memimpin pembicaraan.


"Omong-omong, apa kau tidak lelah berbicara begitu banyak? Kau tidak perlu memaksakan diri hanya karena aku yang mendengarkan..."


"Tidak, aku tidak lelah. Hiyori juga seperti ini saat bersama Kuro-tan dan Mit-tan. Lagipula, aku suka berbicara~"


"O-oh. Begitu ya..."


Energi gadis SMA memang luar biasa...


Kami terus berjalan sebentar. Saat tiba di depan stasiun, sekelompok gadis SMA sedang mengantri di depan toko crepe.


"Ayo kita antri."


"Wah. Sana-tan, ternyata kau terbiasa dengan hal seperti ini?"


"Adik perempuanku suka crepe. Kami sering antri bersama. Oh, dan..."


"Ada apa?"


"...Tidak, tidak apa-apa. Ayo."


"Oke~"


Hampir saja. Aku hampir menceritakan tentang ruang ganti saat berbelanja dengan Kuonji.


Dibandingkan dengan pesona dan dorongan Kuonji saat itu, situasi ini tidak ada artinya.


Tapi... meskipun kami hanya bersenang-senang, tidak baik membicarakan gadis lain saat sedang bersama seorang gadis. Aku harus lebih hati-hati.


Kami mengantri di toko crepe selama sekitar 10 menit. Dan akhirnya, giliran kami tiba.


"Aku mau crepe pisang coklat!"


"Kalo aku───"


──Aku juga suka stroberi──.


Ah.


"──Crepe stroberi."


"Oh, Sana-tan kau suka stroberi?"


"Ah... ya, lumayan."


Aku teringat saat Kuonji bingung memilih antara parfait stroberi dan puding, dan tanpa sadar aku memesan crepe stroberi.


Ah... Aku payah. Pikiran tentang Kuonji terus muncul.


Kejadian di hari Sabtu terlalu kuat. Aku harus lebih berhati-hati.


"Hmm..."


"...Ada apa?"


"Tidak, tidak ada~"


Ekspresi gelap yang muncul sebentar, tapi segera berubah kembali menjadi senyuman.


Onee-san pelayan toko dengan cekatan membuat 2 crepe.


Crepe stroberi diisi dengan krim kocok dan krim stroberi, lalu disiram saus stroberi. Benar-benar penuh dengan stroberi.


Crepe pisang cokelat diisi dengan krim kocok dan irisan pisang utuh, lalu disiram saus cokelat. Keduanya memiliki porsi yang besar.


"Wah...! Ini besar sekali, Sana-tan!"


"Aku mengerti. aku mengerti, jadi jangan menggoyang ku."


Setelah menerima krep dan mengambil beberapa foto di depan toko, kami berjalan menuju taman.


Area ini memiliki banyak jalur jalan kaki dan alam, menjadikannya tempat bersantai bagi penduduk sekitar.


Biasanya, taman ini lebih banyak dikunjungi oleh orang tua atau keluarga dengan anak-anak, tapi pada jam ini, cukup banyak pasangan yang terlihat. Untuk pelajar yang tidak punya banyak uang, ini adalah tempat kencan yang bagus.


Yah, kami bukan pasangan. Ini bahkan bukan kencan.


"Mmm, krep pisang cokelat ini enak sekali~"


"Seperti yang diharapkan dari toko yang terkenal di Tokyo. Adonan dan buahnya sangat lezat."


Kami duduk di bangku dan menikmati krep.


Aku juga suka makanan manis, tapi ini adalah krep terlezat yang pernah kurasakan. Inilah kekuatan Tokyo.


Di tengah alam yang indah, kami menghabiskan waktu santai sambil menikmati krep.


Tiba-tiba, Tsuchimikodo menatap krep yang kupegang dengan mata berbinar.


"Sana-tan, boleh aku mencoba krep stroberimu sedikit?"


"Yah, tidak apa-apa... ini."


"Nyam. Mmm! Stroberinya juga enak banget~!"


3 jenis stroberi dipadukan dengan krim segar secara sempurna, menghasilkan kombinasi rasa manis dan asam yang memukau di mulut. 


Ini benar-benar krep yang luar biasa.


Aku harus memberitahu Kuonji tentang ini lain kali.


...Tunggu, kenapa aku malah berpikir untuk memberi tahu Kuonji?


Aku menggigit krep lagi, berusaha melupakan pikiran tentang Kuonji. Krep ini tidak bersalah. Ya, sangat lezat.


"Mmm... Hei, Sana-tan."


"Hmm?"


"Sana-tan dan Rira-tan benar-benar tidak ada apa-apa, kan? Kalian tidak berpacaran atau semacamnya, kan?"


"...Tidak, benar-benar tidak."


"Kalo begitu, tidak apa-apa~"


Meski kami terhubung oleh benang merah takdir, tapi kami tidak berpacaran.


Sejujurnya, bahkan aku sendiri tidak tahu bagaimana perasaanku terhadap Kuonji.


Apak aku membencinya, menganggapnya sebagai musuh alami, atau... mungkin menyukainya?


Belakangan ini, waktu yang kuhabiskan bersama Kuonji semakin banyak, dan perasaanku mulai goyah.


Bagaimana perasaanku terhadapnya... itu yang paling ingin kuketahui.


"Muu~... Sana-tan. Kau dari tadi terus memikirkan Rira-tan, ya?"


"...Maaf."


"Kamu malah langsung minta maaf."


"...Maaf."


Aku tidak menemukan kata-kata lain, jadi aku meminta maaf lagi.


Lalu, tangan Tsuchimikodo meraih dahiku... 'bess'. Dia mencolekku.


"Oke, aku maafkan mu~"


"...Kau baik, Tsuchimikodo."


"Panggil aku Hiyorin~"


Tsuchimikodo tersenyum cerah.


Senyumannya, sesuai dengan namanya 'Hiyori', senyumnya cerah bagaikan hari yang cerah.


[TL\n: Hiyori (日和) Secara harfiah terdiri dari: 日 (hi) yang berarti 'matahari' atau 'hari'. Dan 和 (yori) yang berarti 'harmoni' atau 'keadaan yang baik'. Secara keseluruhan, 'Hiyori' sering digunakan untuk menggambarkan hari yang cerah dan nyaman, cocok untuk melakukan aktivitas di luar ruangan. Kata ini juga dapat bermakna 'cuaca yang baik' atau 'hari yang tenang.']




Setelah selesai makan krep, kami memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar di taman.


"Anginnya sejuk ya~"


"Iya, benar."


Di taman yang diterangi cahaya matahari sore, angin sejuk membelai wajah kami. Sesekali, menghabiskan waktu sepulang sekolah seperti ini juga menyenangkan.


Waktu berlalu dengan tenang dan santai.


Tiba-tiba, semak-semak bergerak tidak wajar.


"Nya~"


"Oh?"


"Ah, itu kucing liar."


Seekor kucing belang tiga keluar dari semak-semak dan mendekati Tsuchimikodo dengan suara manja.


"Hauuu. Imut sekali...!"


Tsuchimikodo membelai kucing yang menggosok-gosokkan tubuhnya ke kakinya.


Kucing itu juga terlihat nyaman, mendengkur sambil semakin mendekat.


...Jelas sekali kucing ini sudah terbiasa dengan manusia. Mungkin dia sedang meminta makanan. 


Maaf, kucing. Aku tidak membawa makanan untukmu.


"Nyan, nyan, nya~n"


"Grrrrrr"


"Aaaaaa... imuuut sekali...!"


Memang imut. Aku tidak tahu ada kucing seperti ini di sini.


"Tsuchimikodo kau suka kucing, ya?"


"Iya, aku suka. Aku suka sekali kalo mereka manja seperti ini~"


Tsuchimikodo juga terlihat sangat senang sambil terus membelai kucing itu. 


Mungkin karena cara belaian Tsuchimikodo yang ahli, kucing itu terlihat sangat nyaman seperti slime yang meleleh.


"Ayo, Sana-tan, coba kau belai juga dia. Imut banget lho~"


"Ah, oke."


Aku berjongkok dan mulai membelai leher serta kepala kucing itu.


"Nyaa..."


"Im... imut sekali...!"


"Benar, kan? Hehehe. Meskipun Sana-tan lebih suka anjing, sepertinya kau juga tidak bisa menolak pesona kucing ini."


Ya. Memang benar, ini adalah keimutan yang tidak dimiliki oleh anjing.


Anjing itu bagus, tapi kucing juga bagus.


...Ngomong-ngomong tentang anjing, hari Sabtu kemarin aku pergi ke toko hewan peliharaan. Anak-anak anjing di sana juga imut, tapi yang paling menarik adalah ekspresi Kuonji saat memandangi anjing itu... Ah.


"Sana-tan?"


"Nyan?"


"Ah... tidak apa-apa."


Aku berdiri dengan cepat, seolah-olah ingin menghindari Tsuchimikodo, dan duduk di bangku terdekat.


"...Begitu ya..."


Tsuchimikodo memiringkan kepalanya, tapi dia masih bermain dengan kucing itu.


Entah bagaimana... aku merasa hampir hancur karena rasa bersalah.


Kenapa hari ini aku terus memikirkan Kuonji? ...Ah, tidak. Belakangan ini sepertinya aku sering memikirkan Kuonji. Tapi, hari ini terasa agak aneh.


...Apa mungkin itu karena seharian ini aku belum berbicara dengannya? 


Apa-apaan ini. Aku seharusnya bukan orang yang cengeng seperti ini.


Tanpa sengaja, aku menatap langit.


Matahari terbenam, dan bintang pertama mulai terlihat.


...Entah kenapa, tiba-tiba aku sangat ingin berbicara dengan Kuonji...


Aku ingin melihat senyumannya saat itu... melihatnya berbicara dengan riang.


Haah... apa yang sebenarnya terjadi padaku?


Saat aku kebingungan dengan perubahan dalam diriku, Tsuchimikodo yang sudah selesai bermain dengan kucing itu mendatangiku.


"Sana-taaan. Ayo kita pulang."


"Hm? Sudah selesai?"


"Iya. Hari ini hanya untuk memastikan saja. Tapi, sepertinya 90% benar, deh~"


"Memastikan apa?"


"Aku tidak akan memberitahumu~"


Apa-apaan itu?


"Oh ya, Sana-tan. Besok sepulang sekolah, apa kau ada waktu lagi?"


"Kita akan bermain lagi?"


"Bukan. Bukan itu."


Ketika aku menoleh, ekspresinya berbeda dari senyuman biasanya... wajahnya terlihat sangat serius, bahkan terasa menekan.


"Besok sepulang sekolah. Datanglah ke belakang gedung sekolah. ...Aku ingin mendengar jawabanmu dari waktu itu di sana."



◆HIYORI◆


Setelah berpisah dengan Sana-tan, Hiyori berjalan menyusuri permukiman yang sepi.


Baru saja aku bersama orang yang kusuka. Hanya berdua, bermain bersama.


Makan krep bersama, saling menyuapi, bermain dengan kucing.


Mungkin karena kebahagiaan itu, sekarang aku merasa sedikit kesepian sekaligus...


Perasaan sedih karena menyadari perasaan yang bahkan tidak disadari oleh Akito Sanada sendiri membuat dada Hiyori terasa sesak.


Ini... tidak bisa menang.


Begitu aku menyadarinya... entah bagaimana. Tidak, jelas sekali... Aku merasa marah.


Sudah jelas jawabannya ada di dalam diri Sana-tan. Tapi dia tidak menyadarinya? Aku tidak mengerti. Aku hampir meledak. Atau mungkin setengahnya sudah meledak, Hiyori.


Sungguh... Hiyori, aku tidak punya kepribadian yang merepotkan seperti ini. Sungguh melelahkan.


Hiyori mengeluarkan Hp-nya dan menelepon seseorang.


1, 2, 3 dering.


『...Halo?』 


Wow. Suaranya terdengar waspada.


"Ah, halo~? Kamu ada waktu sebentar?"


Beberapa detik menunggu. Suara yang sangat enggan terdengar dari seberang telepon. Mendapat reaksi seperti itu membuat Hiyori sedih.


Tapi, lupakan itu.


"Hiyori punya sedikit saran...apa tidak apa-apa?"


★★★


Bagian belakang gedung sekolah ini adalah area yang benar-benar tersembunyi, tidak terlihat dari luar maupun dari dalam sekolah.


Itulah kenapa area ini dilarang untuk dimasuki, dan pada dasarnya tidak ada yang datang ke tempat seperti ini. Tempat yang sempurna untuk pertemuan rahasia.


Benar-benar hanya ada aku dan Tsuchimikodo.


"Aku sudah menunggumu, Sana-tan."


"Tsuchimikodo..."


Seperti yang dijanjikan, ketika aku datang ke belakang gedung sekolah, Tsuchimikodo tersenyum dengan gembira.


Di tempat yang remang-remang, dengan sinar matahari yang hampir tidak menembus, dia tersenyum seperti sinar matahari yang cerah.


Seperti di kelas, hanya dengan tersenyum, Tsuchimikodo bisa membuat kelas menjadi lebih cerah.


Senyuman seperti itu sekarang hanya ditujukan padaku.


"Terima kasih sudah datang. Aku sangat senang."


"Yah, aku sudah berjanji. Meskipun sepihak."


"Tapi tetap saja."


Sss──. Apa dia tidak punya rasa jarak? Dia dengan mudah memasuki ruang pribadiku.


Jarak yang cukup dekat untuk memeluk kalo dia melingkarkan tangannya, atau bahkan mencium kalo dia sedikit membungkuk.


Tapi... entah kenapa, aku tidak merasakan ketegangan yang sama seperti saat Kuonji mendekatiku.


"Hei, Sanatan. Kamu gugup?"


"Eh, tidak, um..."


"...Hiyori gugup. Karena berduaan dengan orang yang disukai... dalam jarak seperti ini."


Pipinya memerah. Matanya berkilau. Suaranya sedikit gemetar karena gugup.

 

Sial. Melihatnya seperti ini, Tsuchimikodo benar-benar gadis tercantik yang pernah ada.


Dia berada dalam jarak sedekat ini, mengatakan hal-hal seperti ini... tidak ada kata lain yang bisa kugunakan selain 'licik.'


Aku tidak gugup, tapi aku merasa sedikit tidak nyaman dan sedikit memalingkan muka.


"Sana-tan. Jangan memalingkan wajahmu. Lihatlah Hiyori."


"Eh, um... itu..."


"Tolong."


Tsuchimikodo memegang blazerku dengan lemah.


"Hanya untuk sekarang... lihatlah hanya Hiyori."


.........


Dengan tekad bulat, aku menatap Tsuchimikodo langsung.


Melihat itu, Tsuchimikodo menunjukkan senyuman lembut yang hangat.


Dia menutup matanya, dan ketika dia membukanya lagi, tatapannya serius seperti yang dia tunjukkan saat kami berpisah kemarin.


"Sana-tan. Hiyori akan mengungkapkan perasaanku sekali lagi. Setelah itu, Hiyori ingin mendengar perasaanmu. Jangan berbohong pada dirimu sendiri, katakan yang sebenarnya."


...Perasaanku yang sebenarnya?


Dia menarik napas dalam-dalam dan memegang tanganku.


"Akito Sanada-kun. Hiyori menyukaimu. Hiyori ingin menikah denganmu, memiliki anak, dan membangun keluarga bahagia yang tidak kalah dengan siapa pun... Tolong, berkencanlah dengan Hiyori."


Wajah Tsuchimikodo memerah saat dia mengatakannya.


Perasaan 'suka' yang tulus dan langsung yang ditujukan padaku sekali lagi.


Menerima perasaan tulus itu, hal pertama yang muncul di benakku adalah──


『Hei, Sanada!』


──Ah... jadi itu... masalahnya.


Perasaanku yang sebenarnya, yang harus aku sadari.


Menyadarinya pada saat seperti ini...


...Tidak, mungkin Tsuchimikodo sudah menyadari perasaan ini yang bahkan tidak aku sadari.


Dia menyadarinya, dan tetap... menyatakan perasaannya padaku.


Ini bukan kekuatan 'benang merah takdir', bukan kutukan, atau apa pun. Ini adalah tanggung jawabku, yang bersembunyi di balik kenyamanan 'benang merah' dan menyerah untuk berpikir.


Tsuchimikodo meletakkan tangannya di dadanya. Seolah-olah dia menahan keinginan untuk melarikan diri.


"Hei... katakan padaku. Sana-tan. Jawabanmu."


.........


Tsuchimikodo telah memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya.


Kalo begitu... aku juga harus mengatakannya.


Perasaanku yang sebenarnya.


"...Tsuchimikodo. Aku tidak bisa membalas perasaanmu... Maaf."


"...Lanjutkan."


"...Aku punya seseorang yang aku sukai."


"Orang takdirmu?"


"...Ya."


"Siapa itu?"


"..."


Wajahnya muncul di benakku.

 

Wajahnya yang menyebalkan. 


Wajahnya yang penuh semangat. 


Wajahnya yang agresif. 


Wajahnya yang malu-malu. 


Senyum polosnya.


Semuanya, semuanya berharga.


Sekarang aku bisa mengatakannya. Dari lubuk hatiku... aku menyukainya.


"Aku menyukai gadis yang terhubung denganku melalui 'benang merah takdir'... Kuonji Riran."


Aku menyadarinya. Perasaanku.


Sebelum benang merah muncul, dia jelas adalah musuh alamiku.


Awal mula perhatianku padanya adalah 'benang merah takdir'.


Meskipun awalnya adalah benang merah... sekarang berbeda. Hatiku mengatakan kalo aku ingin mengenal Kuonji.


Aku berbicara dengan Kuonji Riran, menyentuhnya, bermain bersamanya, dan mengenal sisi-sisi yang belum kuketahui. Dia imut, berharga, sedikit menyebalkan, tapi itu juga membuatnya semakin imut.


Aku ingin mengenalnya lebih jauh.


"Aku tidak tahu bagaimana perasaannya tentangku. Tapi, aku menyukainya. Karena itu, aku tidak bisa membalas perasaanmu, Tsuchimikodo."


Ah, aku mengatakannya. Aku sudah mengatakannya.


Setelah menyadari dan mengungkapkannya, perasaanku menjadi jelas.


Hatiku yang sebenarnya, yang bahkan belum kukatakan pada Kuonji sendiri.


Perasaanku kalo aku menyukai Riran Kuonji.


Mendengar itu, Tsuchimikodo tetap tidak kehilangan senyumannya.


"Tapi, bukankah kalian berdua dulu tidak akur?"


"Kadang-kadang aku masih merasakan itu... tapi aku menyukainya, termasuk semua bagian itu."


"...Begitu ya."


Dia masih tetap tersenyum.


Bahkan, sepertinya dia sudah tahu jawaban ini dari awal...


"Ah, sayang sekali~. Ini pertama kalinya aku ditolak dalam hidupku."


"...Maaf."


"Tidak, tidak. Aku sama sekali tidak keberatan. Atau lebih tepatnya, ini juga pertama kalinya aku mengungkapkan perasaanku, lho~"


Apa-apaan itu.


"Hei, Sana-tan. Pernahkah ada orang yang mengungkapkan perasaan padamu?"


"Eh... tidak, belum pernah."


"Kalo begitu, Hiyori telah mengambil keperawananmu dalam hal menerima pengakuan cinta~. Wah, aku telah melakukan hal buruk pada Rira-tan!"


"Jangan membuat istilah aneh."


"Tapi, aku pikir kejutan pertama sulit dilupakan. Meskipun Hiyori tidak bisa berdiri di sampingmu... ingatan kalo Hiyori adalah orang pertama yang mengungkapkan perasaannya padamu akan terus hidup dalam dirimu. Hiyori puas dengan itu."


Tsuchimikodo dengan wajah lega, sedikit menjauh dariku.


"Memang ini mengecewakan, tapi 'benang merah takdir' tidak memilih kita. Itu adalah takdir."


Tsuchimikodo berbalik dan bersiap untuk pergi, lalu menoleh sedikit ke arahku.


"Jaga baik-baik Rira-tan, ya~"


"...Tentu saja."


"Nihii. Sampai jumpa~"


Dia melambaikan lengan bajunya yang menggemaskan dan berlari pergi dari belakang gedung sekolah.


...Aku juga harus pulang. Besok, aku akan berbicara dengan Kuonji dengan baik.


Aku menguatkan hati dan meninggalkan belakang gedung sekolah.



◆HIYORI◆


"Ah, halo~? Kau di mana? ...Oke, aku segera ke sana!"


Lun-tatta~ lun-tatta~.


Menapaki tangga, satu, dua, tiga! Tiba di kelas kami!


"Permisi~! Oh, kau di sini──Rira-tan."


"..."


Di sudut kelas yang luas dan kosong, Rira-tan sedang meringkuk. Seperti binatang kecil. Imut sekali, kan?


"Riira-tan♪ bagaimana? Apa kau mendengarnya? Wah, fitur speaker ini sangat berguna, ya~. Suara kami sampai ke telingamu♪"


Hiyori melambaikan Hp-nya. Di tangan Rira-tan juga tergenggam Hp.


Ya, bagaimana bisa! Percakapan kami di belakang gedung sekolah tadi semuanya terdengar oleh Rira-tan melalui fitur speaker Hp! Baaam!


"..."


"...Rira-tan?"


"............"


Oh, dia benar-benar tidak bergerak.


Hiyori khawatir dan duduk di depan Rira-tan yang sedang meringkuk.


Lalu, Rira-tan bergerak sedikit. Sepertinya dia masih sadar.


Yah, aku mengerti perasaannya. Meskipun hanya melalui speaker, mendengar kata-kata cinta yang begitu membara pasti membuatnya seperti ini. Aku sangat iri.


Hiyori dengan lembut membelai kepala Rira-tan yang masih enggan mengangkat wajahnya.


"Bagaimana? Apa kau terkejut mendengar isi hati Sana-tan?"


"............ (mengangguk)"


"Yah, itu wajar sih~. Untuk Rira-tan, ini seperti kejutan besar, kan?"


"............ (mengangguk)"


Rira-tan mengangguk sambil tetap meringkuk. Dia tetap diam saja.


"Riira-tan? Aku tahu kau malu, tapi tunjukkin wajahmu dong~"


Hiyori memegang kepala Rira-tan yang meringkuk dalam posisi duduk segitiga dari kedua sisi dan memaksanya untuk menoleh ke arahnya.


"Ah, u..."


"────"


Wajahnya merah seperti apel. Uap seolah mengepul dari kepalanya. 


Alisnya terkulai, matanya berkaca-kaca. Mulutnya terbuka lemas dan miring.

 

Ini bukan Rira-tan yang tegas, juga bukan Rira-tan yang cemberut.


Rira-tan saat ini, siapa pun yang melihatnya, pasti akan jatuh cinta karena dia begitu imut dan menggemaskan.


Dia menunjukkan wajah seorang gadis yang jatuh cinta pada cinta.


Rira-tan seperti itu perlahan membuka mulutnya.


"...Apa yang harus aku lakukan..."


"Hah?"


"Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan normal lagi."


Dia terlalu imut.


Hiyori duduk di sebelah Rira-tan, juga dalam posisi duduk segitiga, dan menatap langit-langit.


"Tapi, strateginya terlalu sukses sampai aku kaget. Aku juga tidak menyangka dia akan begitu terbuka."


"Bukannya kau yang mengusulkan strategi ini, Tsuchimikodo-san?"


"Nahaha~"


Hiyori benar-benar menyukai Sana-tan.


Jika memungkinkan, aku ingin menikah dengannya. ...Jujur, bahkan sekarang pun aku masih memikirkannya.


Aku sangat mencintainya.


Bahkan setelah melihat benang merah, perasaanku tidak hilang.


Yah, 'benang merah takdir' Hiyori adalah warna merah yang khusus di bidang ekonomi. Mungkin perasaan cintanya terhadap orang takdirnya memang tipis, jadi perasaannya terhadap Sana-tan masih tersisa.


Aku yang selalu mengikuti orang yang sangat sangat sangat kucintai... dan melalui kencan kemarin (setidaknya untuk Hiyori), aku menyadarinya.


Sana-tan dan Rira-tan terhubung oleh benang merah.


Interaksi dan tatapan mereka sekarang jauh lebih terhubung daripada sebelumnya.


Hati Sana-tan dipenuhi oleh Rira-tan.


Karena Hiyori yang sangat mencintai Sana-tan mengatakan ini, pasti tidak salah.


Mereka terhubung oleh 'benang merah takdir', dan saling mencintai, hanya memikirkan satu sama lain, itu terlalu kuat. Tidak ada celah bagi Hiyori untuk masuk.


Tentu saja itu mengejutkan? Aku marah pada Tuhan, kenapa bukan aku yang ditakdirkan bertemu seperti itu.


Tapi lebih dari itu, reaksi dan respons Rira-tan membuatku tidak sabar.


Aku kesal dengan hati Sana-tan yang begitu lambat.


Rira-tan. Dia mendapatkan hak untuk berada di sebelah Akito Sanada, yang sangat kuinginkan, tapi dia tidak melakukan apa-apa. Itu tidak bisa diterima!


Sana-tan. Meskipun dia begitu memikirkan Rira-tan, dia tidak mengerti perasaannya sendiri? Tidak masuk akal! Tololnya luar biasa! Semoga dia ditendang kuda!


Itulah kenapa aku bertindak.


Tidak ada celah untuk masuk di antara mereka. Kalo aku memaksakan diri, aku pasti tidak akan menang, dan hatiku hanya akan terkikis.


Jadi, aku memutuskan.


Kalo mereka berdua begitu lambat, aku akan mendorong mereka.


Untuk kebahagiaan mereka berdua, aku akan membantu.


Jujur, kalo Sana-tan bisa bahagia, tidak masalah kalk yang di sampingnya bukan aku. Aku tidak bisa mengatakan hal yang begitu dewasa.



[TL\n: ini satu-satunya alasan gua benci bet ama genre romance harem, pasti heroin yg tertolak bakalan terlihat menyedihkan dan dia nyerah dan berusaha tersenyum seolah dia gak papa. Yah kalo genre harem ya semua ceweknya di embat mc aja anjing, jangan cuman satu doang yg di pilih.]


Perasaan 'kalo itu aku...' masih belum hilang.


Tapi ini kenyataan.


Aku memutuskan untuk mendukung mereka berdua, yang saling mencintai dan hatinya lebih terhubung daripada siapa pun.


"Rira-tan menyukai Sana-tan, kan? Tidak diragukan lagi, kan?"


"............ (mengangguk)"


"Kalo begitu, kau tahu kalo Hiyori menyukai Sana-tan, kan?"


"............ (mengangguk)"


Hmm. Reaksinya seperti binatang kecil! Imut sekali. Ngehehehe... oh, bahaya bahaya. Hampir saja pembicaraannya melenceng.


Aku meletakkan kepalaku di bahu Rira-tan dan menatap langit-langit.


"Jadi... semua perasaan Hiyori ini, aku percayakan padamu, Rira-tan. Kau yang akan membuat Sana-tan bahagia."


"...Mm. Maaf... mmm."


"Ooh, kau tidak perlu minta maaf! Kalo tidak, Hiyori akan seperti tokoh tragis. Fufufu... Rira-tan, lihat ini!"


Tangan kiri, baaam!


...Yah, hanya aku yang bisa melihat benang ini.


Tapi itu tidak penting!


"Seperti Sana-tan adalah orang yang ditakdirkan untuk Rira-tan, Hiyori juga punya orang yang ditakdirkan. Setiap orang di dunia ini pasti terhubung dengan orang takdirnya. Tidak ada tokoh tragis. Semua orang bahagia, semua orang adalah protagonis."


"Tsuchimikodo-san..."


Tahhaa! Aku baru saja mengatakan sesuatu yang bagus!


...Eh, aku mengatakannya, kan? Ya, anggap saja aku mengatakannya!


"Jadi... jangan minta maaf. Hiyori baik-baik saja. Aku pasti akan bahagia."


"...Aku juga akan bahagia. Tidak kalah dari Tsuchimikodo-san."


"Kalo tidak, kali ini Hiyori akan merebut Sana-tan darimu, lho♪"


"Jangan bicara seperti itu."


Hehehe. Itulah Rira-tan.


"Hei, Tsuchimikodo-san... Bolehkah aku memanggilmu Hiyori dari sekarang?"


"Oh? Boleh saja! Panggil saja sesukamu!"


"...Pfft. Apa-apaan sih?"


Yap yap. Memang Rira-tan lebih cocok dengan wajah yang tersenyum.


"Nah, kalo begitu Hiyori pulang dulu. Untuk mengalahkan gadis secantik Rira-tan, Hiyori juga harus menjadi gadis yang cantik sepenuhnya."


Aku berdiri, melompat-lompat, dan pergi dengan riang.


"Hiyori!"


"Hm?"


"...Terima kasih."


"────"


...Ah... Dia benar-benar licik, ya...


"...Fufu, apa sih? Hiyorin tidak ngerti~☆"


Bercanda, Hiyori meninggalkan kelas.


Tidak bisa. Aku tidak bisa menunjukkan wajah seperti ini. Aku harus melarikan diri dari sini, secepat mungkin.


Aku sudah memutuskan untuk mendukung mereka berdua.


Aku sudah memutuskan untuk menjadi lebih bahagia daripada mereka berdua.


Jadi... jadi...


Berhentilah──air mataku.



[TL\n: nah kan gua bilang apa di cuman pura pura tersenyum. Ah bangsat lah, author sialan. Kalo ngasih genre Harem ya minimal semua karakter yg suka ama mc ya di kasih rute win anjing.]



Posting Komentar

نموذج الاتصال