> CHAPTER 9

CHAPTER 9

 Kamu saat ini sedang membaca  Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu  volume 4,  chapter 9. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw

  

KINCIR RIA TERUS BERPUTAR



"Wah, benar-benar menyenangkan ya."


Saat matahari mulai terbenam, Shinohara berkata sambil meregangkan tubuhnya.


"Ya, senang sekali bisa datang ke sini setelah sekian lama."


Aku membalas sambil membunyikan sendi-sendi di bahuku. Sepertinya kelelahan hari ini datang lebih cepat dari biasanya.


Taman hiburan 'Poland' yang terletak beberapa puluh menit perjalanan naik kereta. 


Meskipun tidak sebesar taman hiburan besar lainnya, tempat ini telah memiliki popularitas tersendiri di kalangan anak muda karena cukup dikenal secara nasional. 


Aku sendiri pernah beberapa kali mengunjunginya saat masih berpacaran dengan Reina.


Beberapa jam berlalu dalam sekejap mata saat kami menikmati komidi putar, cangkir kopi, dan pertunjukan maskot yang menari.


Sekarang kami sedang mengantre untuk menaiki wahana paling populer, yaitu bianglala, yang memang kami sisakan untuk dinikmati di akhir.


"Bukankah Churros yang dimakan di taman hiburan itu, rasanya jauh lebih enak?"


Shinohara berkata sambil memandangi churros miliknya dengan takjub.


"Memang. Aku juga biasanya hanya makan churros di tempat seperti ini, tapi justru karena itu, setiap datang ke taman hiburan rasanya kita wajib untuk makannya."


"Betul, kan? Senpai, bagaimana kalo kita barter?"


Shinohara mengulurkan churros rasa original yang dipegangnya dengan satu tangan ke arahku.


Aku sempat ragu sejenak, tapi sekarang kami sedang dalam masa pacaran pura-pura, jadi tidak ada pilihan lain. 


Aku pun mengulurkan tangan hendak memberikan churros rasa cokelatku.


Saat itu, mata Shinohara tampak berbinar.


Perasaan tidak enak langsung muncul, tapi sudah terlambat.


Churros milikku sudah berada di dalam mulut kecil Shinobara. Dan lebih dalam dari yang kubayangkan, sehingga aku pun buru-buru menariknya kembali.


"Fubobe."


Suara aneh yang belum pernah kudengar menyertai kembalinya churros itu. Tapi seperti yang sudah kuduga──


"Ugh, memalukan sekali!"


Shinohara berkata demikian, lalu kembali menggigit churros milikku.


...Kalo dipikir-pikir, churros itu sudah dalam kondisi sekarat, jadi mungkin lebih baik kalo dia menghabiskannya saja.


Saat aku berniat membalas dengan memakan churros milik Shinobara dalam porsi yang sama, tiba-tiba churros milikku ditarik dari tanganku.


"Ah, dasar kau!"


"Hyenpai, mulutnya kasar."


Menurutku justru dia yang menyebabkan aku berkata kasar, tapi entahlah.


Shinohara menatapku dengan mata sayu, tapi aku pun balik menatapnya tanpa mundur.


Lalu tiba-tiba, Shinohara menutup matanya.


"Hyaaai."


"...Apa itu barusan, hey."


Meskipun bertanya, sebenarnya aku tahu jawabannya hanya dengan melihat.


Ini semacam aksi yang sering terlihat pada pasangan kekasih yang terlalu mesra. 


Bukan permainan Pocky, tapi permainan churros.


"....Terus saja tutup matamu."


"Feh?."


Shinohara bereaksi kaget mendengar ucapanku.


"Sudah, tutup saja matamu."


"Eh, eh?"


Saat aku kembali menegaskan, Shinohara terlihat panik tapi dia tetap memejamkan matanya erat-erat.


Sebelum dia sempat membuka matanya, aku dengan cepat memutus churros yang menjulur dari mulut Shinohara menjadi dua, lalu menyuapkannya ke mulutku. 


Rasa manis yang lembut segera memenuhi rongga mulutku.


"Hm───, tetap saja rasa coklat itu yang terbaik."


"....Senpai."


"Apa lagi."


"Ka-kau tidak berperasaan!! Mempermainkan perasaan seorang gadis."


"Bukankah itu yang selalu kau lakukan? Kenapa tiba-tiba jadi sok kaget."


"Aku tidak sampai melakukan hal ekstrim seperti ini kecuali sesekali, tahu!?"


"Berarti tetap kau lakukan juga, kan!"


Saat aku memprotes, terdengar suara dari belakang, "Pengunjung selanjutnya───." 


Saat aku menoleh ke arah kincir ria, sepertinya giliran kami akan segera tiba.


"Ayo, sebentar lagi giliran kita."


"Aku dipermainkan! Dipermainkan! Dipermainkan!"


"Menakutkan sekali, maaf, maaf!"


Sambil mengucap permintaan maaf seadanya, aku menarik tangan Shinohara yang menginjak-injak lantai dengan kesal.


Tepatnya, mungkin lebih tepat kalo disebut aku menggandeng lengannya.


Shinohara mengikuti sambil seperti diseret, mulutnya terus menggumamkan kata-kata penuh dendam.


Dengan sedikit rasa takut, aku menaiki gondola mengikuti arahan staf.


Begitu kami berdua masuk, pintu pun tertutup dari belakang.


Untuk diriku, ini adalah kali pertama aku menaiki bianglala setelah sekian lama.


"Berdua saja dengan Senpai! Berdua saja dengan orang mesum!"


"Sudah duduk saja!"


Shinohara mengembungkan pipinya dengan kesal, lalu duduk dengan kasar di kursi seberangku. 


Perlahan-lahan, staf yang tadi membimbing semakin menjauh, dan pemandangan pun mulai terbuka lebar.


Taman hiburan terlihat di bawah kami, dan semakin naik ke atas, pemandangan pun terasa semakin megah.


Pemandangannya lebih bagus dari yang aku harapkan. Wajar saja, karena daya tarik utama dari Poland bukanlah roller coaster-nya, melainkan bianglala ini.


Bagian dalam gondola bianglala memang terasa tertutup, tapi pada saat yang sama juga menciptakan suasana yang romantis.


Menikmati pemandangan sambil bercengkerama dengan pasangan bisa dibilang adalah cara menikmati bianglala yang ideal.


Tentu saja, bukan berarti itu satu-satunya cara untuk menikmati wahana ini, tapi tidak dapat disangkal kalo banyak orang pernah membayangkan situasi seperti itu.


...Meski dengan syarat kalo seseorang mampu mengendalikan suasana yang tercipta.


Bianglala ini membutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk satu putaran penuh, jadi kalo suasananya menjadi canggung, waktu yang tersisa akan terasa sangat menyiksa.


Tiba-tiba, kenangan beberapa bulan lalu kembali terlintas di benakku. 


Saat aku menaiki bianglala ini bersama Reina, tidak ada kesulitan dalam berbincang.


Kami berbicara dalam suasana yang lebih hangat dari biasanya, dan ketika sampai di puncak──


Ketika aku hampir membiarkan kenangan manis itu muncul, aku menepuk kepalaku sendiri dengan keras.


Melihat tingkahku itu, Shinohara terkejut dan sedikit menjauhkan tubuhnya.


"Kau tidak perlu merasa bersalah tentang hal itu. Aku hanya bercanda saat aku marah..."


"Ah──begitu ya, syukurlah."


Aku menjawab singkat, lalu menghela napas pelan.


Terkadang, kenangan itu muncul tanpa permisi. 


Saat dulu aku mengira dia berselingkuh, yang teringat hanya kenangan-kenangan buruk menjelang perpisahan. 


Tapi belakangan ini, justru kenangan indah yang sering muncul. 


Otakku benar-benar terlalu mudah merasa bahagia, bahkan aku sendiri berpikir demikian.


"Senpai?"


"Hmm."


"Pemandangannya bagus, ya."


"Ya. Terasa emosional."


"Dari mulut Senpai keluar kata 'emosional'... sepertinya ini cukup luar biasa."


Shinobara tertawa kecil, lalu bertumpu dengan satu lutut pada bingkai jendela gondola.


Gondola yang kami tumpangi bergetar tidak teratur dengan bunyi gakon, gakon. 


Cahaya senja menembus kaca, tapi tidak sampai membuat mata terasa silau hingga harus memejamkan mata.


Saat aku mulai terbuai dalam kehangatan yang seolah menyelimuti, Shinohara tiba-tiba berbicara.


"Senpai, biasanya bagaimana cara Senpai jatuh cinta pada seseorang?"


"Hmm... mungkin terjadi begitu saja secara alami."


"Oh, secara alami."


"Bisa dibilang sebagian besar karena keadaan yang mengarah ke sana."


"Begitu ya—yah, memang biasanya seperti itu sih."


Shinohara menghela napas dengan ekspresi yang terlihat tidak begitu senang.


Mungkin dia berharap aku mengatakan kalo ada suatu kejadian dramatis seperti dalam film romantis.


Sayangnya, aku tidak pernah mengalami kejadian menabrak siswi SMA yang menggigit roti di mulutnya di jalanan.


Paling-paling, aku pernah menabrak Santa pembagi brosur. ...Meskipun itu juga cukup dramatis, karena aku tidak jatuh cinta pada Santa tersebut, maka itu tidak termasuk dalam pembahasan ini.


"Ngomong-ngomong Senpai, apa kau tahu? Katanya pasangan yang datang ke taman hiburan ini biasanya berakhir putus."


"Puhah, aku ingat rumor itu. Nostalgianya."


Karena saat itu posisi gondola sudah hampir mencapai puncak, aku tidak bisa menahan tawa.


Memang, saat masih SMA dulu, Poland ini sering dijadikan bahan lelucon sebagai lokasi kencan yang membawa putus cinta.


Tapi, sekarang kami sudah mahasiswa. Rumor seperti itu hanyalah sesuatu yang bisa ditertawakan.


"Ngomong-ngomong, aku putus dengan Yudo-senpai seminggu setelah kami datang ke sini."


"Aku juga, 2 bulan setelah kencan di sini, aku putus dengan Reina."


"...Padahal aku sendiri yang mengusulkan ke sini, tapi sepertinya tempat ini tidak membawa keberuntungan, ya."


Ekspresi Shinohara terlihat sedikit suram saat mengatakan itu.


Melihatnya begitu, aku hanya bisa mengangkat bahu.


"Yah, kebanyakan pasangan memang akhirnya putus. Kalo tempat ini sering dikunjungi pasangan, tentu jumlah yang putus juga lebih banyak."


"Be-benarkah? Senpai, kata-kata Senpai bagus sekali!"


Shinohara terkadang mudah terpengaruh oleh rumor-rumor seperti ini. 


Mengingat dia tidak pernah melewatkan acara Tv bertema cinta itu, hal ini bisa dimaklumi, tapi karena kepribadiannya yang tegas, kesan yang ditimbulkan jadi agak bertolak belakang.


Yah, kalo di usia segini seseorang bisa bersikap tegas dalam segala hal, tentu hidupnya tidak akan sesulit itu.


"Kita ini mahasiswa. Pasangan yang putus, pada dasarnya hanya karena masalah pribadi di antara mereka saja."


"Benar juga, Senpai dan Reina-san pun contohnya seperti itu."


"Jangan korek luka lama, aku sudah menyesal kok."


Mendengar lelucon yang sangat tepat waktu itu, aku hanya bisa tersenyum kecut.


Tapi, suara Shinohara terdengar jauh lebih serius daripada yang kukira.


"Seperti yang aku katakan waktu itu juga, apa benar-benar perlu menyesalinya?"


"Eh? Ya, tentu saja perlu."


"Aku tidak bilang tidak perlu sama sekali... Tapi soal harus berubah, bagaimana ya. Maksudku, aku tidak ingin Senpai berubah."


"Kau tadi juga sempat bilang begitu."


"Ah, ternyata Senpai memang mendengarnya."


Shinohara menjulurkan lidahnya sedikit.


Dia terlihat malu, tapi juga sedikit menyesal.


"Boleh aku tahu kenapa kau berpikir begitu?"


"Tidak ada... alasan besar sebenarnya."


Aku tidak langsung menanggapi. Aku hanya diam, menanti jawabannya.


Getaran kecil dari gondola terasa merambat dari bawah kaki.


Shinohara menggoyang-goyangkan kakinya sebentar, lalu aku mendengar dia menarik napas pelan.


"Mari kita ganti topik sebentar."


Mungkin ingin mengubah suasana, dia berdeham ringan sebelum melanjutkan.


"Eh, diganti?"


Aku tanpa sadar menyuarakan protes. Aku tidak ingin memaksanya untuk bicara, tapi mengakhiri percakapan ini di sini rasanya sungguh menggantung.


"Tolong jangan buat wajah seperti itu. Aku akan memberitahunya nanti. Tapi hari ini, ada sesuatu yang sudah aku rencanakan untuk aku tanyakan pada Senpai dengan serius. Jadi aku ingin memprioritaskan itu."


"Perasaan gelisah ini seharusnya aku bawa ke mana, sih!?"


"Tolong dengarkan dulu! Aku ingin bertanya pada Senpai, bagaimana caranya bisa mulai menyukai lawan jenis!"


"Kau sudah menanyakan hal itu padaku sebelumnya."


"Tapi aku ingin jawaban yang lebih membangun!"


Shinohara mengayun-ayunkan tangannya dengan semangat, lalu melanjutkan perkataannya.


"Senpai, Apa yang kau sukai dariku?"


"Hah!?"


"Maksudku, sebagai manusia! Sebagai manusia!"


"Ah, begitu."


Aku mengangguk dan mengelus dadaku. 


Meski agak enggan mengakuinya, aku tidak bisa membantah pertanyaan Shinohara. 


Kalo aku memang tidak menyukainya, tidak mungkin aku akan membiarkannya datang ke apartemenku berkali-kali dalam seminggu.


Apartemenku adalah tempat ternyaman bagiku. Kalo ada seseorang yang tidak kusukai ingin datang, aku tidak akan membiarkannya masuk bahkan untuk satu hari pun.


Saat aku sedang memikirkan hal itu, Shinohara tiba-tiba berdiri, seolah mulai merasa cemas.


"Se-Senpai, kau pasti suka aku, kan!?"


"Tentu saja. Kalo tidak, kau sudah kuusir dari apartemenku sejak awal."


Mendengar jawabanku, Shinohara sempat melongo sebentar, lalu duduk dan tersenyum tipis.


"Senpai kau memang tidak pernah jujur."


"Padahal aku sudah cukup jujur barusan. Tapi apa kau benar-benar hanya ingin menanyakan sesuatu yang begitu jelas?"


"Tentu saja, Senpai...hubungan kita sudah cukup dekat sekarang...aku senang."


"Diam, dasar bodoh."


"Jangan pangil aku bodoh───!!"


Shinohara membungkuk dan mulai menepuk-nepuk pahaku dengan kedua tangannya.


Entah kenapa, sepertinya kali ini dia menahan tenaganya.


Akhirnya, aku pun mengutarakan pendapatku.


"Biasanya, aku mulai suka seseorang kalo obrolan dengannya terasa menyenangkan, atau kalo tiba-tiba aku merasakan dorongan untuk bertemu dengannya."


"Itu sama sekali tidak membantu, tolong ulangi dari awal."


...Meski begitu, berbohong juga tidak ada gunanya. 


Mungkin Shinohara sedang mencari tahu apakah ada perasaan dalam dirinya yang sesuai dengan pengalamanku, tapi jawaban palsu tidak akan ada manfaatnya.


"Maaf, tapi memang sesederhana itu alasannya."


Kataku dengan nada datar.


Shinohara terlihat ingin mengatakan sesuatu, bibirnya sedikit bergerak, tapi akhirnya dia menundukkan kepalanya.


Mungkin saja, Shinohara benar-benar menaruh harapan pada jawabanku.


Kalo jawabanku akan memengaruhi cara berpikirnya. Kalo nilai-nilai dalam dirinya akan condong ke arah yang dia inginkan.


Aku tidak mengerti alasan kenapa seseorang begitu ingin jatuh cinta.


Memang benar, kalo cinta cocok dengan kehidupan seseorang, itu dapat memperindah keseharian. 


Tapi kalo tidak ada pun, hidup tetap bisa dijalani dengan baik seorang diri. 


Di masyarakat modern ini, tersedia banyak sarana untuk mendukung hal tersebut.


"Ini pertama kalinya aku bisa sedekat ini dengan lawan jenis. Memang, aku pernah berpacaran, tapi rasanya aku belum pernah menunjukkan diriku yang sebenarnya... Lebih tepatnya, aku belum pernah menyukai lawan jenis dalam arti romantis."


"Bagaimana dengan cinta pertamamu waktu SD?"


"Jati diri ku yang sekarang baru terbentuk jauh setelah itu."


Shinohara berkata, "Aku sudah lama ingin menanyakan ini." Lalu berdiri perlahan.


"Orang-orang pada umumnya bisa jatuh cinta dengan cepat. Dari teman lawan jenis menjadi kekasih. Baru kenal sebentar, langsung jadi pasangan. Aku ingin tahu, gejolak emosi seperti apa yang membuat seseorang bisa seperti itu."


Shinohara berbicara dengan cepat, lalu tiba-tiba dia mendekatiku dengan cepat.


Ketika aku berusaha menghindar secara refleks, kepalaku justru terjepit di antara kedua lengannya, membuatku tidak bisa bergerak. 


Aku sempat berpikir, bagaimana rasanya sebagai seorang pria dipojokkan oleh gadis yang lebih muda.


"Senpai. Ajarkan aku tentang cinta."


Napas manisnya menyapu telingaku.


Bagian yang terkena embusan itu terasa menghangat seketika.


"De-dekat sekali."


"...Senpai, apa kau tidak merasa gugup?"


"Merasa, tentu saja. Siapa pun pasti merasa seperti itu."


"Begitu ya. Aku juga... merasa gugup."


Shinohara mencubit kerah bajunya dan menariknya sedikit.


Meski lebih muda dariku, siluet tubuhnya yang berkembang terlihat sekilas di ujung pandanganku. 


Aku mencoba mengalihkan pandangan ke atas agar tidak melihat, tapi Shinohara justru mendekatkan wajahnya dan menghalangi gerakanku.


"Sekarang aku punya pertanyaan."


"A-apa itu."


"Deg-degan yang aku rasakan ini, apa ini cinta? Atau hanya reaksi fisiologis ketika tubuhku terlalu dekat dengan lawan jenis?"


"Mana mungkin──"


Tidak ada cara untuk mengetahui hal seperti itu. 


Bahkan kalo aku memiliki kemampuan untuk mengintip ke dalam otaknya, menafsirkannya pasti sangat sulit.


Cinta hanyalah sesuatu yang menjadi cinta kalo seseorang menyadarinya, dan bukan cinta tidak disadari. Tidak ada definisi yang pasti—dia hanya konsep yang ambigu.


Istilah 'cinta' terdengar indah, itulah sebabnya sering digunakan.


Kalo pun ingin mencari kejelasan tentang hal itu──


"Menurutmu, kalo kita berciuman, apakah jawabannya akan terlihat jelas?"


"Jangan bodoh, jangan pernah lakukan itu."


Aku spontan menatap Shinohara dengan tajam.


Kencan ini hanyalah bagian dari hubungan pura-pura. 


Kalo yang dimaksud adalah hubungan pura-pura dengan pertimbangan menuju pernikahan seperti yang disebutkan Shinohara sebelumnya, itu lain cerita. 


Tapi untuk pelajar seperti kami, berciuman jelas tidak masuk akal.


Lagi pula, yang mengusulkan hubungan pura-pura ini adalah Reina. Semuanya bermula dari saran Reina. 


Tidak seharusnya hubungan pura-pura ini berkembang sampai ke titik berciuman.


"Tolong lihat aku."


Jarak antara kami semakin menyempit.


"Apa kau merasa perlu menjaga perasaan Reina-san? Tapi bukankah saat dia mengirim aku ke sini, Reina-san juga pasti sudah memperhitungkan kemungkinan ini?"


"Bukan itu──"


"Tolong lihat aku."


Shinohara berkata demikian sambil melingkarkan lengannya ke leherku. 


Sensasi lembut menjalar ke seluruh inderaku, membuatku tercekat.


"Saat ini, lihatlah hanya aku. Pikirkan hanya tentang aku."


"Itulah sebabnya, tunggu dulu. Aku tidak ingin hubungan kita berubah."


Mungkin ini terdengar seperti alasan untuk menghindar. 


Tapi, aku lebih memilih menyampaikan perasaanku yang sebenarnya kepada Shinohara daripada menutupi dengan kata-kata yang terdengar manis. 


Meski begitu, ketika benar-benar diucapkan, kata-kataku terasa hampa, dan aku menggigit bibirku.


"Apa itu... maksudmu kalo hubungan kita berubah ke arah yang lebih baik? Atau sebaliknya."


"Ke arah yang lebih buruk. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Tidak ada jaminan. Itu sebabnya aku takut."


"Meskipun begitu──aku tetap ingin mencobanya."


"Apa kau bersungguh-sungguh?"


Aku mencoba menjauhkan tubuh Shinohara yang menempel padaku, sambil memegang kedua lengannya. 


Aku tidak menggunakan tenagaku, aku hanya berharap perasaanku bisa tersampaikan lewat gerakan itu.


Nada suaraku memang terdengar tegas, tapi menahan godaan yang ada di hadapanku menuntut kekuatan mental yang besar. 


Kalo aku mengulurkan tangan sedikit saja, dia akan ada di sana. Aku tahu Shinohara pasti akan menerimanya.


Waktu yang tersisa sebelum gondola kembali ke tempat yang terlihat orang banyak adalah satu-satunya celah untuk bertindak berdasarkan naluri. 


Menahan dorongan naluriah itu, meski menyadari kesempatan itu ada, sangatlah sulit.


Meski aku berusaha menutupinya dengan logika, hasrat terdalam itu memang nyata.


Shinohara memandangku beberapa saat, lalu bibirnya melengkung pelan.


"...Benar juga, aku memang sedang sedikit menguji Senpai."


Sambil berkata demikian, Shinohara perlahan menjauh dariku. 


Aroma lembut yang tadi menggelitik hidungku pun ikut menjauh.


"Memang benar, untuk ku, Senpai bukan lagi seseorang yang bisa aku pertaruhkan begitu saja."


Shinohara duduk kembali di kursi seberang, lalu memandang pemandangan di balik kaca.


Melihat itu, aku merasa benar-benar lega.


...Barusan itu sangat berbahaya. 


Bisa kukatakan, itu yang paling berbahaya sejauh ini.


Saat ini, aku jelas-jelas menyadari Shinohara sebagai seorang perempuan.


Untuk menenangkan pikiranku, aku mengalihkan pandanganki ke luar jendela.


Tanpa terasa, gondola sudah melewati puncak dan mulai turun ke bawah.


Sinar matahari yang menyinari mulai berubah menjadi warna merah bata, menandakan kalo malam semakin mendekat.



──Tiba-tiba, langit yang terwarnai matahari terbenam itu bergetar.



Begitu aku menoleh, sensasi lembut terasa di dahiku.


Leher putihnya menyentuh ujung hidungku, dan pemahamanku terhadap situasi terlambat datang.


Yang terasa hanyalah kehangatan manusia. 


Gelombang sinyal yang dikirim Shinohara mengalir dari dahiku hingga ke seluruh tubuhku.


Naluri berkata, peluk dia sekarang. Setelah pelukan, pastikan kalian saling merasakan kehangatan masing-masing.


Aku merasakan tubuhku menjadi panas.


Setelah bibir lembut Shinohara terlepas dari dahiku, aku beberapa detik terdiam dan tidak bisa bergerak.


Waktu yang terasa seperti keabadian itu, ketika akhirnya berakhir, hanya seperti buih yang hilang.


Melihat ekspresiku, Shinohara tersenyum tipis.


"...Aku gagal. Senpai, ternyata tidak sepenuhnya menolaknya."


"Kau...apa yang kau lakukan──"


"Aku tahu. Aku baru saja mencium dahi Senpai."


"Bukan itu maksudku."


"Apa maksudmu, tindakan yang bisa mengubah hubungan kita?"


Shinohara mengulang percakapan sebelumnya dengan suara pelan.


"Senpai, pasti pernah merasa seperti itu, kan? Pernah berpikir untuk mengubah hubungan, melakukan sesuatu yang tergesa-gesa dan dipaksakan... Aku rasa Senpai pasti sudah pernah mengalaminya."


Shinohara berbisik pelan. Dari wajahnya yang diterangi sinar matahari terbenam, aku tidak bisa membaca ekspresinya.


"Itulah kenapa Senpai mengatakan berhenti, berhenti padaku. Karena status quo adalah jawaban yang benar bagimu."


Kata-kata itu membawaku pada ingatan tentang Ayaka.


Kalo dipikirkan, tindakan Shinohara barusan──tindakan yang menyimpan kemungkinan untuk mengubah hubungan kami, sama persis dengan apa yang Ayaka lakukan pada hari perjalanan ke pemandian air panas.


Dengan kata lain, Shinohara benar-benar menganggap hubungan kami dengan serius. 


Sebelum memulai hubungan percakapan ini, Shinohara bilang ada hal yang ingin dia pastikan. 


Dengan ciuman ini, Shinohara ingin memastikan hal itu.


Yaitu kemungkinan hubungan kami bisa semakin dalam.


Mungkin ini hanya kesombonganku. Aku tidak bisa berkata itu pasti, tapi sejak awal aku sudah merasakan kalo Shinohara menyukaiku sebagai seorang manusia.


Kalo itu memang sama seperti apa yang Ayaka lakukan padaku dulu. 


Maka jawabanku terhadap perasaan itu, yang aku miliki saat ini, hanya ada satu, yaitu mempertahankan keadaan seperti sekarang.


Seperti yang Shinohara katakan, jawabanku adalah itu.


Tapi sebenarnya, aku mengerti.


Jawaban yang ada dalam diriku bukanlah jawaban yang bisa mengubah segala sesuatu menjadi lebih baik, melainkan hanya pelarian untuk mempertahankan kebahagiaan yang ada sekarang.


Aku sendiri pun tidak tahu. Aku tidak tahu bagaimana nasib perasaan yang berkembang begitu cepat dalam diriku ini.


Aku tidak memiliki jawaban apapun yang bisa aku sampaikan dengan penuh keyakinan terhadap pertanyaan yang Shinohara ajukan.


──Tapu, ada satu hal yang bisa aku katakan. Sesuatu yang harus aku sampaikan sekarang.


"Kau sangat penting untukku. Perasaan ini tidak akan pernah berubah."


Gondola itu bergetar cukup keras.


Dalam pandanganku yang bergoyang, sepertinya aku melihat mata Shinohara yang mulai basah.


Itu adalah kata-kata yang biasa.


Kata-kata yang sering kita dengar di suatu tempat, kata-kata yang sudah sering digunakan.


Meskipun begitu, Shinohara tetap menunduk, seolah menggigit bibirnya. 


Aku bisa merasakan kalo dia sedang mengulang kata-kata tadi dalam pikirannya.


Suara yang keluar dari Shinohara berikutnya terdengar agak serak.


"Kenapa senpai bisa memberikan kata-kata yang aku inginkan?"


"Aku bilang itu karena kau yang memintaku untuk tidak berubah."


Jawabanku membuat Shinohara terkejut, matanya terbuka lebar.


Suara mesin kincir ria terdengar semakin keras.


Keheningan yang telah datang beberapa kali di ruang ini, kali ini pecah dengan tawa Shinohara.


"Jadi, sekarang kau tertawa?"


Aku bertanya, dan Shinohara tersenyum geli.


"Karena aku tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu."


"Ya, itu memang jawaban yang khas dariku."


"Benar, itu memang khas senpai. Bahkan hal seperti itu pun, aku rasa itu menyenangkan."


Shinohara mengatakan itu dengan santai, lalu memalingkan pandangannya ke luar.


Aku ikut teralihkan dan menatap pemandangan melalui jendela, di mana tanah sudah semakin dekat, mengisyaratkan kalo waktu yang tidak biasa ini akan segera berakhir.


"Bagian terakhir, kau sama sekali tidak melihat pemandangannya, ya?"


Shinohara tertawa kecil lagi sebelum berdiri.


Ketika staf membuka pintu dengan tongkat panjang dan melepas kunci, Shinohara turun dengan gesit ke tanah.


"Senpai!"


Shinohara mengulurkan tangannya padaku. 


Tangannya yang kecil tampak seolah menungguku untuk meraihnya.


"Ya."


Begitu tangan kami bersentuhan, aku merasakan kehangatan tubuhnya. 


Berbeda dari sebelumnya, kali ini kehangatan itu memberi rasa nyaman.




Kami melangkah keluar menuju alun-alun, mengikuti petunjuk tanda, dan Shinohara mengeluarkan suara yang terdengar lega.


"Kalo begitu, hubungan pacaran pura-pura ini sudah selesai, ya?"


Dengan satu kata, aku menjawab, "Iya."


Itu tidak mengejutkan untukku.


Shinohara awalnya menginginkan periode percakapan sementara selama seminggu, tapi mungkin ada perubahan perasaan selama di kincir ria ini.


"Perasaanku yang menganggapmu penting tidak berubah. Hanya mendengar itu saja, sudah cukup membuat pacaran pura-pura ini terasa berharga. Fufu, senpai benar-benar menganggapku penting."


Aku merasa canggung mendengar kata-kata yang terus terang itu, dan untuk menghindari rasa malu, aku mendengus.


"Diam."


"Kenapa kau tiba-tiba jadi dingin padaku?"


Shinohara menggembungkan pipinya dan menepuk lengan ku dengan keras. 


Saat aku melepaskan tanganku yang tadi digenggam, ekspresi kesedihan sepertinya muncul, atau mungkin itu hanya perasaanku saja.


"Kalo begitu, Senpai, terakhir. Mulai sekarang sampai kita pulang, panggil aku dengan namaku, ya. Biasanya, perempuan tidak terlalu suka dipanggil 'kau'."


Mendengar itu, aku secara tofak sadar berhenti melangkah.


"Eh, aku kan sering sekali memanggilmu dengan 'kau' sebelumnya."


"Biasanya tidak apa-apa kalau itu kau, senpai. Tapi sekarang aku masih pacarmu, jadi aku ingin pacarku memanggilku dengan namaku. Ini yang terakhir, jadi setidaknya sekali saja."


"A-aku mengerti. Itu benar, aku sama sekali tidak memikirkannya."


"Benar, Senpai. Kalo begitu, silakan."


Shinohara melangkah sedikit ke depan, kemudian berputar menghadapku.


Dengan senyum di bibirnya, dia menunggu kata-kataku dengan penuh kegembiraan.


"....Kalo begini, jadi agak sulit untuk mengatakannya."


"Silakan saja, tidak apa-apa."


Dengan jawaban dan senyuman cerianya itu, aku menyerah dan memutuskan untuk mengatakan kata itu.


Aku membuka mulutku untuk menyebutkan namanya. 


Waktu yang terasa panjang, namun juga seakan singkat, berlalu sebelum aku bisa mengucapkannya.


"....Mayu."


dua kata itu lebih memalukan dari yang kubayangkan.


[TL\n: kalo di tulis kek gini 真由 ya emang 2 kata.]


Aku merasa tidak nyaman, lalu mengalihkan pandanganku.


Tiba-tiba, dadaku disentuh sedikit.


"Ya. Aku, Shinohara Mayu, yang sangat dekat dengan Yuuta-senpai."


Kouhai yang seperti iblis kecil itu menatapku dengan senyum cerah tanpa beban.


Untuk pertama kalinya, aku merasa terpesona dengan tatapan mata yang mengarah ke atas itu.


Angin musim semi yang datang tiba-tiba seolah menghapuskan panas yang ada di hatiku, membawanya terbang ke langit senja.


...Aku tidak bisa memberitahunya tentang pikiran itu.


Aku menarik napas panjang, lalu melewatinya dan melanjutkan langkahku.


Kincir ria itu terus berputar.


Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال