Kamu saat ini sedang membaca Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu volume 2 chapter 9. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw
HUBUNGAN ANTAR MANUSIA
Ketika membuka mata, di depan mata, tepat di dekat hidung, ada sebuah cangkir teh yang diletakkan.
Uap yang tadi mengepul telah sepenuhnya menghilang.
Batang teh kecil menempel di pinggiran cangkir teh yang mungil, sehingga tidak ada cerita tentang apa batang itu berdiri atau tidak.
Dalam kesadaran yang belum sepenuhnya pulih, aku perlahan-lahan meminum teh untuk mempercepat kebangunanku.
Aku tidak tahu kapan aku tertidur, tapi rasanya aku telah melihat mimpi yang panjang.
Mungkin karena sebelum itu aku sedang mengingat-ingat masa SMA, mimpi itu terasa sangat jelas.
──Benar.
Aku dan dia adalah teman, sahabat dekat.
Kalo hubungan antar manusia harus diberi batas tertentu, bisa dibilang aku dan dia menjaga jarak yang pas dan seimbang.
Apa hubungan sahabat ini sedang dalam proses berkembang, atau justru sudah mencapai titik akhir?
Hubunganku dengan dia tidak berubah sejak lama.
"...Mungkin, itu memang yang terbaik."
Ada hal-hal yang justru menjadi baik karena tidak berubah.
Hubunganku dengan dia adalah contoh yang paling nyata.
Banyak orang mencoba mengubah sesuatu dengan paksa.
Itulah sebabnya, semuanya menjadi seperti itu.
Sekarang, aku tahu betapa sulitnya memperbaiki sesuatu yang sudah runtuh sekali, seperti bendungan yang hancur.
Aku menghela napas dan sekali lagi meneguk teh yang sudah dingin.
Tehnya sudah benar-benar dingin, dan batang teh menempel di dalam mulutku, membuatku meringis.
"Apa yang bagus sih?"
"Phuuuh!"
Batang teh terlempar ke atas meja.
Sosok yang baru saja berbisik di dekat telingaku berkata dengan nada terkejut.
"Hei, jangan sembur begitu!"
"I-i-itu tadi salahmu, Mino! Siapa suruh berbicara ke orang yang baru bangun tidur seperti itu!"
Siapa pun pasti akan kaget kalo seseorang mendekat tanpa suara, terutama dalam keadaan setengah sadar seperti saat bangun tidur, apalagi suaranya terdengar tepat di telinga.
Kalo sampai menyemburkan teh, itu memang wajar.
"Jadi, ada apa denganmu?"
"Hah? Maksudmu apa?"
Aku tidak mengerti maksudnya, jadi aku bertanya balik.
"Yah, sudah lama sekali sejak kau memanggilku dengan nama belakang."
"Oh... ya, maaf, itu refleks saja."
"Refleks? Kebiasaan dari kapan itu, sih?"
Ayaka tersenyum lembut, lalu tertawa kecil.
Ekspresi lembut yang sesekali muncul itu sama sekali tidak berubah sejak masa SMA.
Entah kenapa, mimpi tentang masa SMA itu teringat dengan begitu jelas.
Mino Ayaka yang dulu dan Mino Ayaka yang sekarang.
Kalo teman-teman SMA kami melihatnya sekarang, mereka pasti berpikir kalo setidaknya dia sudah berubah sejak kelas 2 SMA.
Aku sendiri, sampai baru-baru ini, tidak pernah terlalu memikirkan apa yang telah berubah dari Ayaka.
Meskipun ada sesuatu yang berubah, sikap Ayaka terhadapku tidak pernah berubah sedikit pun, jadi aku tidak terlalu memikirkannya.
Tapu, sekarang ketika ingatan masa lalu menjadi begitu jelas, jawabannya terasa begitu gamblang.
Dulu, aku pernah bertanya padanya, 『Kenapa kau begitu akrab dengan semua orang?』
Saat itu, aku heran melihatnya berteman akrab dengan orang-orang yang bahkan tidak dia sukai.
Pertanyaan seperti itu tidak mungkin aku lontarkan kepada Ayaka saat dia masih kelas 2 SMA.
Dengan kata lain, saat pertanyaan itu keluar dari mulutku, perubahan pada Ayaka sudah jelas terlihat.
──Dia selalu memperhatikan orang lain dan memastikan segalanya berjalan lancar dalam kehidupan sosial.
Itulah satu-satunya hal yang berubah dari Ayaka.
Di acara minum bersama yang diadakan oleh klub Ayaka untuk merayakan selesai ujian, aku bisa merasakan kalo dia pasti telah berusaha keras.
Semua itu dilakukan untuk berubah.
Tekad yang kuat di masa lalu telah membentuk Ayaka yang sekarang.
"...Yah, mungkin ada satu hal lagi yang berubah."
"Kau tiba-tiba ngomong apa sih?"
Ayaka mengerutkan alisnya membentuk angka 8 sambil tersenyum tipis.
[T\en: Angka 8 dalam Jepang kek gini 八, dibaca 'hachi'.]
"Kau jadi lebih cantik."
"──Apa!?"
Penampilannya, kalo dibandingkan dengan masa SMA, jelas telah meningkat.
Dia memang sudah cantik sejak dulu, tapi sekarang dia telah melampaui dirinya yang dulu.
Entah karena dia yang terlihat lebih dewasa, ekspresi lembutnya yang lebih sering muncul, atau karena gaya dan penampilannya semakin terasah, aku tidak tahu pasti.
Tapi di mataku, Ayaka yang sekarang terlihat begitu bersinar hingga hampir menyilaukan.
"A-apa sih, kau akhir-akhir ini kenapa? Apa kau lagi mencoba merayu ku?"
Mendengar itu, aku langsung menggelengkan kepalaku dengan cepat.
"Bodoh, bukan itu maksudku! Mana mungkin."
Garis batas yang tak terlihat antara satu sama lain memang selalu ada dalam hubungan antar manusia.
Hal ini berlaku bahkan terhadap orang tua sekalipun.
Kemampuan untuk memperkirakan di mana garis batas tersebut ditarik merupakan hal yang esensial dalam membangun hubungan dengan orang lain.
Garis batas antara aku dan Ayaka tidak pernah berubah sejak masa SMA.
Dan memang tidak seharusnya berubah.
Tapi, meskipun begitu...
"Apaan sih? Kalo kau langsung menyangkal seperti itu, itu malah membuatku kesal."
Setiap kali melihat ekspresinya yang terlihat merajuk seperti itu, aku tidak bisa menahan satu pikiran.
Kalo selama ini aku tidak memiliki perasaan yang aneh terhadapnya adalah suatu keajaiban tersendiri.
★★★
Mandi di pemandian air panas sendirian benar-benar merupakan surga.
Awalnya, aku khawatir kalo berada sendirian di kolam terbuka yang luas ini akan membuatku merasa tertekan, tapi kekhawatiranku itu ternyata tidak terbukti.
Aku bahkan bisa menghela napas panjang tanpa khawatir ada orang yang mendengarnya.
Aku meletakkan handuk di atas ember kayu cypress yang terapung di air, dan untuk beberapa saat, aku hanya menatap langit.
Mandi tanpa terburu-buru oleh waktu ternyata begitu menyenangkan.
Di kamar mandi rumahku, ada remote kontrol yang selalu menunjukkan waktu, jadi meskipun berada di dalam kamar mandi, aku bisa tahu berapa lama aku sudah mandi.
Fitur itu sangat praktis, tapi terkadang, mandi dengan santai seperti ini juga tidak kalah menyenankan.
Tapu, surga yang terasa seperti mimpi ini tidak akan bertahan lama.
"Aku hampir pingsan..."
Setelah 15 menit, tubuhku mulai terasa panas tak tertahankan.
Pada akhirnya, aku hanya menikmati pemandian air panas sekitar 30 menit, dan aku menyadari kalo untuk benar-benar merasakannya, aku masih membutuhkan lebih banyak latihan.
Ketika keluar dari ruang ganti, aku merasakan kehangatan dari pemanas ruangan, dan aku bisa berganti pakaian dengan nyaman tanpa merasa kedinginan.
Perhatian terhadap detail seperti ini adalah salah satu hal yang membuat penginapan ini begitu istimewa.
Setelah naik tangga dan kembali ke kamar, aku melihat Ayaka sedang melakukan latihan core.
"....Apa yang sedang kau lakukan?"
"──Ah, kau kembali dengan waktu yang sangat pas..."
Tanpa sempat menyelesaikan kalimatnya, Ayaka terjatuh ke lantai.
Dia terengah-engah, sepertinya dia sudah lama mempertahankan posisi yang sangat sulit.
Aku memandangnya yang sedikit membuka yukata, lalu membuka mulutku.
"Latihan yang membuatmu berkeringat seperti itu, seharusnya dilakukan sebelum masuk ke pemandian air panas. Sayang sekali kau baru melakukannya setelah masuk."
Keringat terlihat menetes di leher Ayaka, mengalir ke arah bagian dadanya yang terbuka.
Pemandangan itu cukup menggoda, dan aku pun mengalihkan pandanganku.
Ayaka bangkit dengan tangan gemetar, dan berkata "Ha ha......" dan menghembuskan napas panjang.
"Aku pepah... tapi kau, kok kembali begitu cepat?"
"Kenapa kau latihan seperti itu? Apa ada acara olahraga di klub?"
Pada klub besar, terkadang mereka menyewa stadion untuk mengadakan acara olahraga.
Untuk klub outdoor tempat Ayaka bergabung, tidak akan aneh kalo ada acara semacam itu.
Tapi, Ayaka menggelengkan kepalanya.
"Bukan, itu hanya rutinitas biasa."
Setelah mengatakan itu, Ayaka perlahan-lahan bangkit.
Saat dia menyadari yukatanya yang sedikit terbuka, wajahnya memerah dan dia segera merapikan kerahnya.
"Harusnya kau mengatakannya padaku, dasar mesum."
"Heh, aku bukan orang mesum. Kau juga pasti merasa canggung kalo harus memberi tahu orang tentang rambut hidung yang terlihat."
"Analogi macam apa yang kamu gunakan? Apa mau kau ingin ku pukul?"
Ayaka menggenggam tangannya dengan gemetar, sementara kerutan menghiasi dahinya.
Senyuman yang terpampang di wajahnya malah menambah suasana mencekam.
"Tidak, maksudku... itu hanya permainan kata-kata. Seperti nama mu, Ayaka."
Lelucon yang bahkan diri ku sendiri anggap tidak lucu hanya membuat Ayaka mengangkat sedikit alisnya tanpa memberikan respons.
Dari sekian banyak kemungkinan respons, diam adalah yang paling menyakitkan.
"...Ngomong-ngomong, soal kebiasaanmu berlatih core. Untuk apa itu sebenarnya?"
Tidak sanggup bertahan dalam keheningan, aku mencoba mengubah topik.
Ayaka menghentikan tangannya yang hendak menuangkan teh ke dalam cangkir.
"Apa, kau benar-benar tertarik dengan itu?"
Kalo ditanya apa aku benar-benar penasaran alasan Ayaka melakukan latihan core, jawabannya adalah...
"Tidak, sebenarnya tidak ada alasan."
"Kalo begitu, aku juga tidak akan menjawab, dasar bodoh."
"Maaf, aku sangat tertarik."
"Itu malah terdengar menjijikkan..."
Ayaka mengatakan itu dengan nada jengkel sambil menyesap tehnya.
Aku memperhatikannya, berpikir kalo teh panas mungkin tidak terlalu enak diminum setelah berolahraga.
Seperti yang diduga, Ayaka hanya meminumnya sekali teguk sebelum meletakkan cangkirnya di atas meja.
"Menurutmu, bagaimana tubuhku ini?"
"Proporsional."
Ketika aku mengatakannya sebagai lelucon, Ayaka mengangguk.
Aku ingin sekali menanggapi dengan, "Kau mengangguk, serius?" tapi aku menahannya agar pembicaraan tidak melebar lagi.
Yah, sejujurnya, aku memang berpikir kalo postur tubuhnya sangat bagus.
"Kalo kau pikir para wanita di luar sana bisa mempertahankan tubuh seperti ini tanpa usaha apa pun, itu salah besar. Di balik layar, mereka juga melatih tubuh seperti ini."
"Kalo tidak melatihnya, apa yang akan terjadi?"
Ayaka terdiam sejenak sebelum menjawab, "Akan kendur."
...Jawaban yang sama sekali tidak kuduga.
"Apa yang kendur?"
Saat aku bertanya lagi Ayaka kembali terdiam lebih lama dari sebelumnya, lalu akhirnya menjawab.
"...Apa kau benar-benar ingin aku mengatakannya?"
"Aku sedang mabuk, jadi tidak apa-apa."
"Kau jelas tidak mabuk. Sungguh, kau ini bodoh sekali... yah, terserah saja."
Entah bagaimana caranya aku berhasil lolos dari situasi tadi, meskipun aku sendiri tidak paham jalan pikirannya.
Mungkin rasa lega karena menikmati pemandian air panas terbuka seorang diri membuatku jadi lebih banyak bicara daripada biasanya.
"Kalo otot dada dilatih, payudara tidak akan kendur. Semakin besar ukurannya, semakin besar juga gravitasi yang memengaruhinya."
"...Apa yang kau bicarakan?"
"Eh, bukankah kau yang membuatku mengatakannya!"
Ayaka tersipu dan berkata dengan suara keras.
Mungkin karena ini pertama kalinya kami menginap di bawah atap yang sama, aku melihat sisi baru dari Ayaka yang belum pernah aku temui sebelumnya.
Walaupun aku sudah lama mengenalnya sejak masa SMA, menyadari kalo masih ada sisi-sisi baru darinya membuatku merasa senang tanpa alasan.
Percakapan konyol seperti ini, yang biasanya tidak pernah terjadi, mungkin muncul karena perasaan itu.
Tapi, ketika perasaan ini hanya bertepuk sebelah tangan, suasana akan menjadi canggung.
Menyadari kalo ini waktu yang tepat untuk mengalihkan pembicaraan, aku melirik ke arah jam.
"Orang yang rutin melatih tubuhnya dan yang tidak, perbedaannya sangat jelas."
"Begitu, ya?"
Waktu menunjukkan pukul 19.00. Saat yang tepat.
"Sepertinya makanan akan segera datang, ya?"
Tepat saat aku mengatakan itu, pintu geser terbuka dengan suara, "Permisi."
Sesuai jadwal, pelayan penginapan datang membawa makanan.
"Oh, ternyata sudah waktunya."
Ayaka lalu menyingkirkan cangkir teh di atas meja, memberi ruang agar pelayan bisa menata hidangan dengan mudah.
Alasan kami memilih makan di dalam kamar adalah karena Ayaka sebelumnya mengatakan kalo dia lebih suka menikmati makan malam di tempat yang hanya ada kami ber-2.
Aku setuju tanpa ragu, bukan karena ada maksud tertentu, melainkan karena suasana tanpa orang asing di sekitar terasa lebih nyaman.
Ketika semua hidangan sudah tersusun di atas meja, pemandangan yang mengesankan terbentang di depan kami.
Udang besar yang menggiurkan, sashimi segar, dan satu set nabe yang menggoda.
Hidangan mewah ini terlihat begitu istimewa, hingga aku dan Ayaka sama-sama merasa sedikit gugup.
Setelah pelayan meninggalkan ruangan, kami mulai menuangkan sake ke dalam gelas.
Meskipun disebut 'sakazuki', gelasnya tidak berdesain tradisional, melainkan modern dan cocok dengan selera anak muda.
[TL\n: Sakazuki dalam konteks budaya Jepang merujuk pada sebuah gelas atau cangkir kecil yang digunakan untuk minum sake (minuman beralkohol tradisional Jepang). Selain itu, sakazuki juga sering digunakan dalam konteks simbolik untuk merujuk pada sumpah atau janji yang diikat dengan minum bersama sake, terutama dalam acara-acara formal atau perayaan.]
Aku menuangkan sake ke dalam gelas Ayaka, lalu menyerahkannya sambil mengangkat gelasku sedikit.
Ayaka menatapku, menunggu apa yang akan aku katakan, sambil tersenyum tipis di sudut bibirnya.
"Baiklah, untuk hari ini, terima kasih atas kerja kerasnya."
Rasa lelah yang kami rasakan saat bepergian jauh lebih menyenangkan dibandingkan dengan kelelahan yang biasa dirasakan sehari-hari.
Tapi, kata-kata seperti 'terima kasih atas kerja kerasnya' tap keluar dari mulutku, mungkin hanya karena kebiasaan.
Sejak masuk kuliah, frekuensi menggunakan ungkapan 'terima kasih atas kerja kerasnya' meningkat drastis.
Mengejutkan betapa ungkapan ini bahkan merambah ke dunia mahasiswa—menandakan kalk orang Jepang, secara umum, mungkin terlalu lelah.
Ayaka mengangguk singkat, membalas dengan "terima kasih atas kerja kerasnya" lalu meminum sake-nya.
Kalo dibandingkan dengan gaya Ayaka saat bersulang di pesta minum klub, balasan kali ini terasa sangat datar.
Bagi yang melihat dari luar, respons itu mungkin terlihat seperti dia sama sekali tidak peduli.
Tapi, bagi orang-orang yang berpikir seperti itu—
"Fufu, enak sekali,"
Ayaka tersenyum lebar, ekspresinya melunak.
──Aku yakin, aku belum pernah melihat ekspresi seperti ini sebelumnya.
Rasa yang segar dan sedikit tajam segera menyebar di dalam mulutku, memberikan sensasi yang menyenangkan.
"Benar. Ini yang terbaik."
"Yeay!"
Kami bersulang lagi, mengangkat gelas ke bibir kami.
Padahal hanya gerakan sederhana itu, tapi entah kenapa, rasa sake kali ini terasa lebih nikmat dibanding sebelumnya.
★★★
"Yah, kita sudah menjalin hubungan cukup lama, ya."
Sambil mengatakan itu, Ayaka menyajikan potongan sashimi terakhir ke piring kecilku.
Aku mengucapkan terima kasih dan menerima sashimi tersebut, lalu mulai mengunyah salmon-nya.
Tidak peduli usia berapa pun, salmon tetap enak.
Aku berharap bisa terus menikmatinya dengan rasa yang sama.
"Apa kau mendengarkan?"
"Tentu, aku mendengarkan. Aku hanya sedang menghitung, kira-kira sudah berapa tahun kita saling mengenal."
Aku pertama kali mengenal Ayaka saat kelas 1 SMA.
Kami mulai dekat saat kelas 2 SMA.
Sekarang ini adalah liburan musim semi sebelum masuk tahun ke-3 kuliah, jadi sudah sekitar 5 atau 5 tahun kami saling mengenal.
"Sejak kapan kau mulai menghitung hubungan kita? Apa sejak kelas 1 SMA? Atau kelas 2 SMA?"
Ayaka meletakkan jarinya di pipinya yang sedikit memerah, menunjukkan ekspresi berpikir.
"Hm, mungkin sejak kelas 1 SMA. Memang saat itu kita tidak banyak berbicara, tapi alasan kita bisa dekat mungkin karena kita satu kelas sejak kelas 1 SMA."
Aku teringat kembali pada hari musim semi itu, saat pertama kali aku berbicara padanya.
"Memang benar. Kalo kita tidak satu kelas selama setahun, aku rasa aku tidak akan berani berbicara denganmu."
Mendengar itu, Ayaka hanya tersenyum pahit.
"Kenapa begitu? Harusnya kau berbicara saja pada ku."
"Tidak, itu tidak mungkin. Aku bukan tipe orang yang suka mengambil risiko."
"Ahaha, itu benar juga. Kalo dipikir-pikir lagi, mungkin banyak hal yang kebetulan tepat waktu, ya? Kita ber-2."
Dengan ekspresi yang sedikit melankolis, Ayaka duduk sendirian, memandang ke luar jendela.
Kalo ekspresinya saat itu ceria, mungkin aku tidak akan merasa terdorong untuk berbicara padanya.
Merenungkan hal itu, aku merasa kalo hubungan ku dan Ayaka yang sekarang ini benar-benar hasil dari kebetulan dan takdir.
"Bagaimanapun juga, tidak lama lagi kita akan mencapai jumlah tahun yang tidak bisa dihitung dengan satu tangan."
Waktu yang terasa panjang, namun bagi hubungan kami, rasanya justru singkat.
Dengan perasaan yang sedikit mendalam, aku menuangkan sake ke dalam cangkir Ayaka yang sudah kosong.
"Benar. Waktu berlalu begitu cepat,"
Saat dia melihat kalo sake dalam cangkirku tinggal sedikit, dia pun menuangkannya hingga mencapai batas 8 per 9.
"Terima kasih."
"Ya. Kalo pada masa SMA, mungkin aku tidak akan melakukan hal seperti ini untukmu."
"Benarkah?"
"Benar. Kau pasti tahu bagaimana aku saat di SMA."
Aku baru saja teringat dengan jelas tentang hal itu tadi.
Pada masa SMA, dia lebih mengutamakan untuk tidak merubah dirinya dan selalu memprioritaskan untuk tidak membengkokkan prinsipnya, tanpa terlalu memikirkan perasaan orang lain.
Hal itu membuatnya menjadi sosok yang banyak dihormati, tapi juga dia harus menghadapi perasaan-perasaan yang terbalik dan kebingungannya.
"Apa aku sudah berubah?"
Ayaka menggumam pelan.
── Sungguh, Ayaka adalah seseorang yang luar biasa.
Dengan penampilan luar yang lebih mudah diterima oleh masyarakat, dia menyembunyikan inti dari dirinya yang sejati, yaitu Minori Ayaka.
Bahkan kalo dia sudah memutuskan untuk berubah, seberapa banyak orang di dunia ini yang bisa berubah sebanyak ini dalam waktu singkat?
Inti dirinya yang tidak berubah sama sekali, dan sisi baru yang terbentuk.
Tapi, sikap terbuka yang hanya dia tunjukkan kepada orang-orang terdekatnya tetap menjadi salah satu daya tarik yang membuat Ayaka tetap menjadi Ayaka.
"Kau sudah berubah, tapi kau tetap sama."
"Apa maksudnya itu? Aku sudah berubah atau tidak?"
"Itu berarti kedua-duanya. Rasanya, kau sudah benar-benar menjadi orang dewasa."
Dalam hidup ini, aku rasa penting juga untuk bisa membedakan dengan jelas.
Meskipun menyakitkan kalo kau harus mengorbankan prinsip diri hingga terkikis habis, ada kalanya kita harus menghadapi dinding yang hanya bisa dilewati dengan cara menyesuaikan diri dengan norma sosial yang ada.
Melakukan hal tersebut sebagai cara untuk mengatasi masalah adalah sebuah strategi yang sangat efektif, meskipun sangat sulit untuk dilakukan.
"Kalo kita punya tekad, pasti bisa dilalui."
"Kenapa kau tiba-tiba bicara soal semangat olahraga begitu?"
"Ahaha, benar juga."
Ayaka tertawa ceria, lalu menghabiskan sisa sake-nya.
Setelah itu, dia berdiri dengan tegak.
"Baiklah, ayo kita mulai dengan memeriksa."
"Hah?"
Suara yang keluar dari mulutku terdengar konyol.
Ayaka mendekat, lalu dia duduk di sampingku dengan kaki diluruskan, dan meletakkan tangannya di atas pahaku.
"──Bolehkah aku memeriksanya?"
"A-apa yang akan kau periksa?"
Dengan suasana yang berbeda dari biasanya, yang penuh daya tarik, aku tanpa sadar menarik tubuhku menjauh.
Kemudian, sebuah lengan melingkari leherku dan dia menangkapku.
"Hei, kau... apa kau jatuh cinta padaku?"
"──Hah!?"
Meskipun berada begitu dekat, aku tidak bisa menahan diri dan mengeluarkan suara keras.
Meskipun dia tidak menanyakan hal buruk kepadaku, entah kenapa detak jantungku tiba-tiba menjadi begitu kencang.
Biasanya, aku hanya akan merespons dengan santai dan hal itu akan berakhir begitu saja.
Seharusnya, aku membalasnya dengan jawaban yang ringan seperti yang selalu kulakukan.
Tapi, situasi sekarang ini membuatku merasa berbeda.
Biasanya, ada banyak orang di sekitar kami.
Biasanya, kami tidak akan berada dalam situasi seperti ini, menginap ber-2 di bawah satu atap.
Aku berusaha membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi pikiranku segera kabur, tidak dapat membentuk gambar yang jelas.
Dalam kebingunganku yang begitu besar, Ayaka melanjutkan kata-katanya.
"Aku tidak punya teman lawan jenis yang lebih dekat darimu. Kadang-kadang, aku jadi bingung dengan jarak antara kita."
Payudaranya Ayaka terlihat lagi, mungkin karena sedikit guncangan tadi itu membuatnya terbuka lagi.
Kalo aku melihatnya sekarang, aku tahu itu tidak akan baik.
Sekeras apapun aku berusaha, dengan jarak seperti ini, pasti aku akan ketahuan hanya dengan pandangan.
Aku memaksa untuk mengalihkan pandanganku ke langit-langit dan menahan keinginanku.
"Kalo kau mau melihatnya, aku tidak apa-apa, lho."
"A-apa maksudmu──"
"Seperti yang aku katakan. Sebenarnya, aku tidak keberatan kalo kau melihatnya."
Kata-kata manis dari Ayaka membuat tenggorokanku tidak sengaja mengeluarkan suara.
Apa yang dia bicarakan sejak tadi?
Garis batas antara aku dan Ayaka yang sebelumnya jelas, kini semakin kabur dan sulit untuk dikenali.
Aku terus-menerus menolak untuk melewati batas ini.
Aku tidak boleh melangkah lebih jauh.
Kalo aku melangkah lebih jauh, semuanya akan hancur.
Dengan pikiran itu, aku perlahan semakin jarang melihat Ayaka sebagai seorang wanita.
Tapi, ketika kami ber-2 pergi ke pemandian air panas, jelas kalo batasan yang hanya bisa dipisahkan oleh kehendakku sendiri akan mulai goyah.
Seorang wanita cantik dalam kimono sedang ada di depanku, dan meskipun kami adalah teman dekat,
──Tidak mungkin aku bisa tidak merasakan apa-apa.
Ayaka tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Benarkah dia benar-benar menunggu aku untuk melihatnya?
Dengan perlahan, aku menurunkan pandanganku dari langit-langit.
Aku tidak punya keberanian untuk menatap wajah Ayaka.
Begitu wajah Ayaka hampir terlihat dalam pandanganku, aku menutup kelopak mataku, lalu membukanya lagi saat pandanganku mencapai area lehernya.
Kalo aku menurunkan pandanganku dari sini, hubungan antara aku dan Ayaka kemungkinan besar akan berubah.
Apa itu akan membawa keberuntungan atau malapetaka?
Aku─
Senyum cerah Ayaka terlintas di benakku.
Pada saat itu, aku mulai meragukan pemikiran tentang apa itu akan membawa keberuntungan atau malapetaka.
Sejak kapan aku mulai memandang hubungan dengan Ayaka ini begitu sepele, sampai-sampai aku menyerahkannya pada takdir?
Aku menggigit bibirku erat-erat, memaksa untuk mengangkat pandanganku, dan aku menemukan diriku di mata Ayaka.
"──Kenapa kau tidak melihatnya?"
"....Karena kau ada orang yang penting bagiku."
Ketika aku mengucapkan itu, mata Ayaka terbuka lebar.
Ekspresi itu, aku hanya pernah melihatnya sekali sebelumnya.
"Begitu ya. ...Kau bodoh. Kesempatan seperti ini, tidak akan datang 2 kali loh."
Ayaka berkata begitu, lalu menutupi payudaranya yang terbuka.
"....Mungkin saja."
Tapi, kalo aku membandingkan hubunganku dengan Ayaka dan kesempatan seperti ini, aku rasa tidak akan ada kesempatan lain yang seimbang di masa depan.
Kalo aku memprioritaskan hubungan saat ini, jawabannya sudah pasti sejak awal.
Ayaka menatapku sejenak, lalu tersenyum lembut.
"Proses konfirmasi selesai. Kerja bagus."
Dengan lembut, dia mengelus kepalaku.
Sensasi keibuan yang melingkupi diriku membuatku tidak bisa bergerak.
"Aku bertanya-tanya, kenapa ini terjadi tiba-tiba?"
Ayaka mundur sedikit dan kembali ke tempat duduk di hadapanku.
Sisa-sisa kehangatan tubuhnya masih terasa.
"...Memang aku berpikir begitu, tapi kalo kau sudah tahu itu, kenapa sekarang seperti ini──"
"Seperti yang ku bilang sebelumnya, aku ingin memastikan apa kau benar-benar tertarik padaku."
"Jadi, kenapa sekarang?"
Ketika aku bertanya, Ayaka terlihat kesulitan untuk mencari kata-kata sejenak, tapu akhirnya dia membuka mulutnya.
"Eum, kau kan pernah dikhianati, kan?"
"...Iya, memang. Terus, kenapa?"
Aku mengernyitkan dahi mendengar kata-kata yang datang dari arah yang tidak terduga.
Setelah kata-kata itu, Ayaka melanjutkan dengan sesuatu yang lagi-lagi tidak aku duga.
"Aku berpikir, apa itu salahku?"
"Hah? Kenapa?"
"Waktu pesta Valentine, aku berpikir. Reina-san, yang hampir tidak pernah bertemu denganku, tapi dia tahu terlalu banyak tentangku."
Kalo aku ingat-ingat lagi, memang ada sesuatu yang aneh tentang sikap Reina-san di pesta Valentine itu.
Itu bukanlah tatapan yang biasanya diberikan seseorang yang baru 2 kali bertemu.
"...Yah, selama kau tidak jatuh cinta padaku, tidak apa-apa."
Ayaka, setelah membuat kesimpulannya sendiri, mulai mengumpulkan piring-piring yang tersebar di meja ke satu tempat.
Mungkin agar lebih mudah dibersihkan oleh pelayan.
"Kali benar aku yang menyebabkan kau dikhianati, aku pikir aku harus meminta maaf."
"....Apa kau datang ke sini hari ini hanya karena rasa bersalah itu?"
Aku bertanya, dan Ayaka melirik ke atas, menatapku sejenak.
"Tentu saja tidak. Sederhana saja, aku ingin datang bersamamu."
Ayaka meletakkan tangannya di pinggangnya dan meregangkan tubuhnya.
"Seperti yang kau tahu, aku bukan orang yang terlalu baik hati. Apa yang orang pikirkan tentangku, itu urusan mereka."
"Upaya yang tidak sia-sia."
Saat aku menggodanya, Ayaka tersenyum nakal.
"Memang. Yah, untuk perjalanan seperti ini, jelas aku tidak ingin bersama orang yang tidak ingin aku ajak. Jadi, maksudku, yang ingin aku katakan. Bagiku, kau lah satu-satunya orang yang kuinginkan untuk bersama."
"Hah, apa aku sedang di rayu sekarang?"
"Haha, memang sih, barusan terdengar seperti rayuan!"
Ayaka tertawa keras, lalu bersandar dengan dagunya di tangan dan berkata,
"Tapi, soal konfirmasi tadi... aku sebenarnya tidak keberatan apapun yang terjadi, kau tahu?"
"....Serius?"
"Hehehe, bodoh. Itu yang aku pikirkan."
Saat aku hendak memberi komentar, pelayan masuk sambil memberi salam dan membuka pintu.
Itu adalah tanda bahwa perjamuan kami berdua malam ini sudah berakhir.
Sambil menatap piring-piring yang dibawa pergi, aku dan Ayaka tertawa bersama tanpa alasan yang jelas.
Pelayan itu juga ikut tertawa kecil dan berkata, "Kalian berdua terlihat sangat dekat", sebelum akhirnya keluar dari ruangan.
"Padahal kita bukan pasangan, kan?"
"Yah, kalo dilihat dari sudut pandang orang lain, pasti mereka akan berpikir begitu."
Hubungan seperti ini mungkin akan terlihat salah di mata orang lain.
Tapi, dalam hubungan antar manusia, tidak ada yang namanya kesalahan.
Setiap hubungan itu berbeda, sesuai dengan jumlah orang yang terlibat, dan itu adalah hal yang wajar.
Tidak ada kewajiban untuk memaksakan diri mengikuti suatu pola tertentu.
Asalkan ke-2 belah pihak senang dengan hubungan tersebut, dan tidak merugikan orang lain.
"Yah, aku akan pergi mandi lagi. Aku berkeringat tadi."
"Yah, itu karena kau tadi melakukan beberapa latihan core. Tapi sepertinya mandi air panas setelah berkeringat pasti menyenangkan."
"Betul, itulah tujuanku. Aku bisa membunuh dua burung dengan satu batu."
Ayaka mengatakan itu dengan santai, lalu dia turun ke bawah menuju pemandian air panas.
Meskipun kami baru saja banyak minum, langkahnya tetap tegap, yang menurutku sangat mengesankan.
Begitu dia menghilang dari pandanganku, aku menghela napas panjang.
"....Ah~"
Tindakan dan ucapan yang telah aku ambil, apa itu benar-benar keputusan yang tepat?
Hal seperti itu tidak akan bisa diketahui hingga masa depan tiba.
Meskipun aku tahu kalo memikirkannya sekarang tidak ada gunanya, pikiranku terus berputar, dan efek dari alkohol pun semakin terasa.
"...Apa dia baik-baik saja di kamar mandi?"
Sekarang aku ingat, kami sudah cukup banyak minum.
Saat duduk, aku tidak terlalu merasakan pengaruh alkohol, tapi begitu berbaring, aku tidak bisa mengabaikan perasaan mabuk yang mulai menguasaiku.
Mandi setelah terlalu banyak minum itu berbahaya.
Aku ingat, tadi dia sendiri yang mengatakan kalo kecelakaan di kamar mandi semakin sering terjadi.
Kecelakaan di kamar mandi yang semakin meningkat ini bisa saja menimpa Ayaka juga.
Aku memutuskan untuk memberi peringatan, meskipun aku merasa sedikit berat untuk bergerak.
Dengan langkah yang agak goyah, aku turun ke bawah dan berdiri di depan pintu ruang ganti, lalu memanggilnya.
"Ayaka."
"Huh? Ada apa?"
Jawaban datang dengan cepat.
Meskipun terdengar sedikit teredam karena pintu, suara itu tidak berbeda dari biasanya.
"...Kau memang kuat minum, ya?"
"Eh, lidahmu baik-baik saja? Apa kau mabuk?"
"...Tentu saja aku mabuk, aku sudah minum cukup banyak."
Sebaliknya, Ayaka yang berjalan dengan langkah mantap dan terlihat baik-baik saja, sebenarnya lebih kuat.
Jumlah yang dia minum seharusnya tidak jauh berbeda dengan yang aku minum.
"Kenapa kau datang ke sini?"
"Ya, belakangan ini kan kecelakaan di kamar mandi semakin banyak... Aku hanya ingin memberitahumu untuk berhati-hati saat mandi dalam waktu lama karena kamu baru saja minum alkohol."
Berendam terlalu lama dapat menurunkan tekanan darah dan memberi beban pada tubuh.
Meskipun kau masih muda, kau tidak boleh lengah.
"Ah... iya. Benar sekali. Baiklah, aku akan keluar lebih awal. Terima kasih ya."
Suara sesuatu yang jatuh terdengar.
Aku mengangguk dan berbalik untuk naik ke tangga, tapi tubuhku yang terpengaruh alkohol membuatku terhuyung dan hampir jatuh ke belakang.
Tangan yang kuulurkan untuk menopang diriku tersangkut pada kenop pintu, dan aku terjatuh ke arah pintu yang terbuka.
"Hei, apa kau baik-baik saja!? "
Saat aku melihat ke arah suara itu—
"Jangan lihat ke sini, dasar pemabuk!"
Tepat sebelum aku dapat melihat melihat sesuatu, wajahku tiba-tiba dipukul dengan handuk mandi.
Aku merasakan campuran penyesalan dan kelegaan karena aku melewatkan sesuatu, membuat suaraku keluar dari perut dengan suara terhimpit.
Di tengah kepalaku yang merasa ingin tidur, terdengar suara dari Ayaka yang jengkel.
"Kesalahanmu adalah, kau tidak tahu batas kapasitasmu dalam minum alkohol—"
Saat aku bergumam, "Aku akan terbiasa sekarang", dia menampar pipiku.
"Aku sama sekali tidak mengerti apa yang kau katakan! Aku akan mengganti pakaianku sebentar, jadi tunggu di sana dalam kondisi seperti itu!"
Sambil merasakan Ayaka yang sibuk bergerak, aku berusaha menahan kantukku.
Tak lama setelah itu, Ayaka selesai berganti pakaian, lalu dia menarik handuk dari wajahku, dan dengan ekspresi marah berkata.
"Buruan, berdiri sendiri!"
Ayaka menopang bahuku saat aku perlahan berdiri.
Ini adalah jarak paling dekat yang pernah kami alami hari ini, tapi sayangnya ini bukan saat dimana kami berdua merasakan sesuatu.
Mendampingi seseorang menaiki tangga adalah tindakan yang sangat melelahkan bagi wanita, apalagi untuk menjaga agar tidak jatuh, kami menggunakan pegangan tangan dan naik perlahan-lahan.
Di sampingku, Ayaka berkata dengan nada kesal.
"....Hah, aku tidak akan pernah datang lagi denganmu...!"
Setiap langkah menaiki tangga diucapkan dengan kata-kata itu, dan aku menjawabnya dengan niat meminta maaf.
"Aku merasa, hari ini, aku senang datang..."
"Aku juga senang, meskipun kau bodoh!!"
Aku didorong ke futon ku dari punggungku, dan berada dalam posisi seolah-olah aku telah menukik terlebih dahulu.
Kepalaku berputar-putar, dan aku hanya bisa memutuskan satu hal.
Untuk sementara, aku akan mengurangi minum alkohol.