Kamu saat ini sedang membaca Senpai, watashi to shōbu shimashou. Tokimeitara makedesu! Iya shi-kei yōjo kōhai VS bujin-kei senpai volume 1 epilog. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw
RIYA DAN AKU WAKTU SEPULANG SEKOLAH
Setelah jam sekolah berakhir, di gedung klub tempat kegiatan ekstrakurikuler dilaksanakan, bukan di ruang klub sastra, melainkan setelah lonceng yang menandai waktu pulang berbunyi.
Aku telah mengembalikan kunci ruang klub dan berdiri sendirian di depan pintu masuk sekolah.
Sambil menatap langit yang perlahan memerah karena cahaya senja, aku menyaksikan beberapa siswa yang selesai dengan kegiatan klub mereka keluar satu per satu, bersiap menuju rumah masing-masing.
Langit di barat, tempat matahari perlahan tenggelam, memamerkan perpaduan warna ungu pucat dan jingga yang indah.
Meski hampir tenggelam, matahari masih menunjukkan keberadaannya dengan sinarnya yang menyilaukan.
Aku menyipitkan mata karena cahayanya yang tajam, dan entah kenapa, aku merasa ada siswa di sekitarku yang berteriak.
Tapi, mungkin itu hanya perasaanku saja—aku berharap itu sekadar imajinasi yang berlebihan.
Dengan pikiran kosong, aku tetap berdiri di sana sendirian.
Itu pasti sekitar 5 menit setelah aku berdiri sendirian seperti itu.
"Maaf sudah membuat mu menunggu, Senpai!"
Sebuah suara ceria terdengar dari belakangku dan aku lalu menoleh sambil mengangguk.
"Tidak apa-apa... Bagaimana apa kau sudah membuat pengaturannya?"
Saat aku bertanya kepada Kuon, yang sedang mengganti sepatu dalam ruangan dengan sepatu luar, dia membuat tanda V dengan jarinya dan melompat-lompat kecil dengan penuh semangat.
"Tidak ada masalah. Pendampingku juga setuju kalo aku berjalan kaki sampai stasiun."
"Begitu ya."
Setelah memastikan bahwa dia berlari kecil ke arahku dan kini berdiri di sampingku, aku tersenyum tipis dan berkata.
"Kalo begitu...ayo kita pulang bersama."
Mendengar kata-kataku, Kuon pun menunjukkan senyum lebar penuh kebahagiaan dan mengangguk dengan semangat.
"Ya, Senpai!"
──.
Kenapa situasi ini bisa terjadi?
Sebenarnya, tidak ada cerita yang terlalu rumit.
Karena kekacauan terkait rumor pembubaran klub, pertandingan 5 ronde antara aku dan Kuon yang sempat tertunda akhirnya dibahas kembali. Pada akhirnya, aku yang mengakui kekalahan terlebih dahulu.
Awalnya, pertandingan 5 ronde kami berakhir dengan 2 kemenangan dan 2 kekalahan masing-masing.
Tapi, Kuon telah berusaha begitu keras untuk mempertahankan keberadaan Klub Sastra.
...Kalo aku mengatakan kalo usahanya itu tidak membuat hatiku tersentuh, itu jelas sebuah kebohongan.
Karena itu, pertandingan 5 ronde berakhir dengan kemenangan Kuon.
Sebagai hasilnya, aku harus memenuhi 'permintaan' yang dia sebutkan sejak awal—yaitu 'pulang bersama.'
Kami keluar dari area sekolah dan berjalan beriringan menuruni jalan setapak di depan sekolah.
Di ke-w sisi jalan, deretan pohon sakura berjajar rapi.
Meski begitu, bunga-bunganya telah gugur, menyisakan dedaunan hijau yang tidak terlalu menciptakan suasana indah.
"Hm hm-hm♪"
Aku melirik ke arah Kuon, yang berjalan di sampingku dengan suasana hati yang baik sambil bersenandung.
....Sebelumnya, dia selalu diantar-jemput menggunakan mobil, tapi sepertinya dia berhasil membuat pengaturan yang tepat untuk bisa berjalan kaki saat pulang kali ini.
Aku sempat melihatnya menelepon pendampingnya sebelum pulang tadi, rupanya itu untuk memastikan semuanya.
Meskipun begitu, sepertinya dia belum diizinkan untuk pulang sendiri sepenuhnya dari sekolah hingga rumah.
Sebagai kompromi, dia mengusulkan untuk berjalan kaki dari sekolah ke stasiun, yang jaraknya sekitar 15 menit saja.
Bagaimanapun, karena aku memang pergi ke sekolah dengan kereta, situasi ini sebenarnya cukup nyaman bagiku.
Pendamping Kuon juga sepertinya menilai kalo jarak sejauh ini masih cukup aman untuknya. Akibatnya, permintaan Kuon diterima, dan dia bisa menyisihkan waktu untuk pulang bersama denganku seperti sekarang.
"....Tapi, Riya, tetap saja ini cukup berbahaya, kan? Meskipun jaraknya tidak jauh, berjalan hanya ber-2 seperti ini..."
"Tidak sama sekali."
Saat aku menyampaikan kekhawatiranku, dia tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
"Kalaupun aku sampai dalam bahaya dan hampir diculik atau semacamnya, aku yakin Senpai pasti akan melindungiku."
"Tentu saja aku akan berusaha semaksimal mungkin...tapi aku tidak memiliki keahlian bertarung. Tidak ada jaminan kalo aku bisa menghindarkanmu dari situasi buruk."
"Yah, Senpai ini gimana, sih. Seharusnya kau bilang sesuatu seperti, 'Aku akan melindungimu, bahkan jika harus mengorbankan nyawaku!'...Hmm, tapi, yah, tenang saja soal itu."
Saat dia berbicara, dia melihat sekeliling ke jalan yang dibatasi pepohonan di sekelilingnya dan melanjutkan, mencibir bibirnya dengan sikap yang sedikit tidak senang.
"Pendampingku masih mengawasi kita dari suatu tempat di sekitar sini."
"Apa?"
Aku mengikuti Kuon, mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Tapi, aku tidak merasakan kehadiran siapa pun di sekitar. Padahal, sejak kecil aku diajarkan oleh kakekku untuk melatih kemampuan mengenali kehadiran orang lain demi perlindungan diri, tapi kali ini aku sama sekali tidak bisa mendeteksi apa pun.
"....Apa pendampingmu itu seorang ninja atau semacamnya?" .
"Umm, kalo aku mulai menjelaskan, ceritanya mungkin akan menjadi terlalu panjang dan kacau, bahkan tidak akan cukup kalo hanya dibahas di bagian epilog. Jadi, aku lebih baik tidak membahasnya."
Kuon, kali berbicara dengan nada bingung yang jarang kudengar darinya. Apa sebenarnya yang terjadi?
"Yah, bagaimanapun juga, karena itu, kau tidak perlu khawatir, Senpai. No hay problema...—ah, aku tidak sengaja menggunakan bahasa ibu ku."
"Kurasa kita perlu membahas dengan jelas dari mana sebenarnya asal negaramu."
Setelah mengerang frustrasi, aku kembali melangkah beriringan dengannya. Perbedaan panjang langkah kami membuatku harus sering memperhatikan agar jarak di antara kami tidak semakin jauh.
Setelah mempertimbangkan sejenak, aku kembali membuka suara.
"Nah, Riya."
"Ada apa?"
"Bagaimana kalo kita bergandengan tangan?"
"!!!???"
Kuon langsung memerah seketika, seperti pemanas air instan yang menyala dengan kecepatan luar biasa.
Aku hanya bisa memiringkan kepala, bingung kenapa ucapanku tadi membuatnya bereaksi seperti itu.
"Aku hanya berpikir, karena langkah kita tidak seirama, mungkin dengan bergandengan tangan, langkah kita bisa lebih selaras... hanya itu."
"Tidak, tidak, Senpai! Dalam konteks Rom-com, kalimat seperti itu adalah senjata yang sangat mematikan! Penjelasan setengah hati seperti itu hanya masuk akal untuk protagonis yang polos dan clueless!"
"Benarkah? Mungkin karena aku sering menulis cerita seperti itu, aku jadi kurang peka dalam situasi seperti ini. Aku akan berusaha lebih hati-hati."
"Kepada ku, tidak masalah kau berkata seperti itu. Tapi jangan pernah katakan hal seperti ini kepada perempuan lain, oke?"
"Aku akan berusaha."
Aku mengangkat bahuku dan menjawab, dan aku meraih tangan Kuon. ...Aku mulai merasa sedikit malu sekarang setelah hal itu diberitahukan kepadaku, tapi aku merasa berhenti di sini hanya akan membuatku semakin merasa malu, jadi aku mengambil satu langkah ke depan dengan tangan saling terjalin.
"'Tangan Kuon begitu ramping, seputih porselen, lembut, dan tampak rapuh—karena itu aku bersumpah sekali lagi dalam hati untuk melindunginya sepanjang hidupku'...."
"Jangan mengarang narasi begitu saja."
"Tapi bukankah itu yang sebenarnya kau pikirkan?"
"....Yah, aku tidak akan menyangkalnya."
Sambil menggenggam ringan tangan Kuon yang ramping, putih, dan lembut, kami menuruni jalan menuruni bukit yang diapit deretan pohon sakura.
Ketika akhirnya tiba di ujung jalan menurun, kami berhenti di perempatan untuk menunggu lampu merah. Saat itu sudah cukup sore, sehingga hanya ada sedikit mobil yang melintas. Tapi, lampu merah yang terasa terlalu lama membuat suasana menjadi hening.
Di tengah keheningan itu, Kuon tiba-tiba membuka suara.
"Ngomong-ngomong, di sekitar sini, kan?"
"Apa maksudmu?"
"....Ya ampun, perpustakaan itu, Senpai. Tempat yang menjadi sarang cinta kita berdua, perpustakaan itu."
"Ah, benar juga."
Aku mengangguk, berpikir itu benar.
Perpustakaan umum kota yang dimaksud Kuon memang telah ditutup sejak awal tahun ajaran ini karena renovasi besar-besaran.
Ketika aku melihat sekeliling, terlihat sebuah tanda di tiang listrik terdekat yang menunjukkan arah menuju perpustakaan tersebut.
"Senpai, jangan begitu mudah melupakan tempat yang menjadi titik awal pertemuan kita. Itu adalah lokasi yang sangat penting, tahu!"
"Maaf... Aku hanya merasa itu seperti sesuatu yang sudah terjadi sejak lama,"
Kuon hanya mengangkat bahu dan menghela napas kecil, tampak sedikit kecewa.
"Yah, memang benar, waktu yang aku habiskan bersama Senpai selama ini sangat bermakna. Tapi tetap saja, aku ingin Anda selalu mengingat pertemuan pertama kita dengan segar, seperti kenangan baru. Itu kan seperti chapter pertama dalam sebuah novel."
"Baiklah, aku akan berusaha mengingatnya mulai sekarang."
"Pastikan kau melakukannya."
Saat percakapan kami berakhir, lampu lalu lintas berganti menjadi hijau.
Kami pun mulai menyeberang jalan, dan tiba-tiba Kuon melanjutkan.
"Ngomong-ngomong tentang tidak melupakan sesuatu...Senpai, ada satu hal yang baru saja kuingat."
"Apa itu? Kenapa tiba-tiba?"
"Ini tentang saat pertama kali kita bertemu."
Mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Kuon, aku hampir saja berhenti berjalan.
Setelah berhasil menyeberang jalan, aku berhenti dan menatapnya, menunggu dia melanjutkan.
"Waktu pertama kali bertemu Senpai, Senpai memberikan sesuatu kepada kelompok preman itu... seperti buku atau semacamnya, kan? Tanpa ada perkelahian, hanya dengan itu, mereka semua pergi begitu saja. Itu sebenarnya apa yang sedang terjadi?"
Kuon menatap mataku dengan intens dan mengajukan pertanyaan itu. Aku hanya bisa menghela napas kecil.
Sepertinya, aku tidak bisa menghindar lagi. Selain itu... ini adalah benang merah yang sudah kuletakkan sebelumnya, sebagai seorang penulis, aku harus menyelesaikannya.
"Sejujurnya, aku lebih memilih untuk tidak mengatakannya."
Setelah itu, aku kembali menatapnya. Aku mengumpulkan keberanian, siap untuk mengungkapkan kebenaran───
"...Itu adalah 'SunaSuna.'"
Aku akhirnya mengungkapkan kebenaran yang sudah kututup rapat-rapat, yang aku rencanakan untuk kubawa hingga ke kuburanku.
"...Apa?"
"Jadi, itu adalah 'SunaSuna.' Buku saku yang aku berikan kepada mereka waktu itu."
"...Eh, aku sama sekali tidak mengerti ceritanya."
Melihat ekspresi heran Kuon yang terlihat bingung, aku mengangguk dan melanjutkan penjelasanku.
"Waktu itu, kebetulan aku melihat mu diganggu oleh mereka, jadi aku datang untuk membantu. Tapi, aku tidak ingin terlibat dalam perkelahian. Jadi, aku bilang, 'Baca ini dan pelajari cara mengajak wanita keluar,' lalu aku memberikan satu eksemplar 'SunaSuna' yang kebetulan kubawa untuk tujuan dakwah."
Setelah mengaku sejauh itu, aku menutup mataku, menekan dahiku, dan menunduk dengan malu.
Ingatan itu sangat memalukan, hampir seperti bagian dari sejarah hitamku.
Waktu itu, aku hanya mendengar keributan dari gang belakang. Meski terdengar seperti kejadian yang sering muncul dalam komik, ternyata hal semacam itu benar-benar terjadi juga... karena rasa penasaran, aku memutuskan untuk ikut campur, tapi aku tidak tahu harus bagaimana mengatasi situasi tersebut.
Akibatnya, aku justru memilih cara yang seperti itu.
Di depan ku yang tertunduk malu, Kuon juga menekan dahinya dan menatapku dengan wajah serius, sambil sedikit memiringkan kepala.
"...Hmm. Ada banyak hal yang ingin ku katakan, tapi... bagaimana bisa orang-orang yang terlihat begitu kasar itu akhirnya pergi setelah itu?"
"Itu memang benar-benar mengejutkan."
Meskipun mereka terlihat kasar, sebenarnya orang-orang yang mengganggu Kuon cukup mudah dipengaruhi dan ternyata memiliki pemikiran yang lebih polos.
Begitu mereka melihat ilustrasi di halaman pertama yang kuberikan (yang sedikit lebih banyak menampilkan area kulit), mereka terlihat sangat bersemangat, seperti anak laki-laki SMP, dan setelah itu mereka berkata, "Untuk hari ini, aku akan maafkan," dengan kata-kata yang terdengar seperti kalimat pamungkas, dan pergi begitu saja.
"Betapa dunia ini begitu penuh kasih..."
"Omong-omong, aku masih berhubungan dengan mereka setelah itu. Sepertinya mereka semua membeli seluruh volume yang sudah terbit, dan bahkan mengirimkan surat penggemar. Tentu saja, sepertinya mereka tidak sadar kalo aku adalah penulisnya."
"Jadi mereka benar-benar penggemar sejati, ya..."
"Itu sangat dihargai. Omong-omong, semua dari mereka punya tulisan tangan yang sangat melengkung."
"Itu informasi yang tidak ingin ku ketahui..."
Setelah berkata begitu dengan ekspresi yang agak cemas, Kuon berbalik menatapku lagi dengan senyum yang sedikit canggung, seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal di giginya.
"Meski begitu... Sebenarnya, aku sangat berterima kasih karena telah dibantu, tapi... Hmm, bisa dibilang, itu adalah metode negosiasi yang cukup kreatif."
"...Jangan katakan itu,"
Itu adalah poin yang sebenarnya ingin kuhindari.
Tindakan mengedarkan buku yang kutulis dengan ekspresi sombong kepada para preman benar-benar merupakan perilaku gila yang dipengaruhi oleh kekacauan khas masa remaja dan suasana aneh saat itu yang tercampur jadi satu.
...Tapi ya, kalo dilihat dari setengah tahun yang lalu, memang begitu adanya.
Fakta kali diriku yang dulu dan diriku yang sekarang terhubung adalah kenyataan yang sebaiknya tidak kuterima.
Sambil memegang tanganku dengan lembut, Kuon berkata dengan suara menenangkan.
"Tolong jangan bertingkah seperti seseorang yang baru saja menerbitkan coretan catatan dari masa Chuunibyo mereka, Senpai."
[TL\n:Chuunibyo (中二病) adalah istilah dalam bahasa Jepang yang secara harfiah berarti "penyakit kelas dua SMP." Namun, istilah ini tidak merujuk pada penyakit fisik, melainkan menggambarkan fase psikologis tertentu yang biasanya dialami oleh remaja, di mana mereka memiliki keyakinan, perilaku, atau imajinasi yang cenderung berlebihan atau dramatis untuk menonjolkan diri.]
"Sayangnya, itu memang hampir persis seperti itu..."
Sikap aneh Kuon yang suam-suam kuku justru menyakiti hatiku.
"Jadi begini saja. Aku akan menceritakan kisah teman baikku yang penuh dengan kenangan memalukan untuk membuatmu merasa lebih baik. Dia teman sekelasku, gadis bernama Mariya-chan, yang berperan sebagai 'yankee' wannabe."
[TL\n:Wannabe adalah istilah dalam bahasa Inggris yang digunakan untuk merujuk pada seseorang yang ingin menjadi seperti orang lain atau mencoba meniru gaya, perilaku, atau status tertentu. Kata ini berasal dari frasa "want to be" yang berarti "ingin menjadi."]
"Apa kau seorang pedagang kematian...?. Atau lebih baiknya, kenapa tidak cerita tentang pengalamanmu sendiri saja?"
"Aku tidak pernah menyesali satu pun dari tindakanku di masa lalu."
"Dengan ketebalan wajah seperti itu, sepertinya kau bisa menyelam sampai ke dasar laut..."
"Ngomong-ngomong, sebagai rutinitas belakangan ini, aku membaca satu bab dari 'SunaSuna' di kamarku setiap hari."
"Penulisnya saja yang jadi malu...!"
Setelah tertawa kecil melihatku yang memegangi kepalaku, Kuon menarik tanganku dan mulai berjalan lagi.
Aku pun mengikuti langkahnya, bergerak selaras dengannya.
Langkahnya yang lebih maju satu langkah dariku, dia melanjutkan dengan suara yang ceria.
"Yah, itu tadi hanya bercanda. Tapi, sebenarnya aku malah sangat senang."
"...Apa yang menyenankanmu?"
"Karena ternyata, awal pertemuan kita itu justru berkat 'SunaSuna'....Novel yang aku ambil tanpa sadar dan baca bersama denganmu, ternyata itu adalah karya yang kau tulis—dan lebih dari itu, novel itu malah membantu ku. Rasanya seperti takdir."
"Benarkah begitu?"
"Benar, itu memang takdir."
Kuon menoleh ke belakang sambil tersenyum, pipinya merah muda. Melihatnya, aku pun mengendurkan bahu dan menghela napas kecil.
"...Yah, kalo kau bilang begitu, maka itu memang baik."
Kami kembali saling menggenggam tangan dan melangkah berdampingan. Apapun yang terjadi, berada dalam keadaan tanpa rahasia terasa lebih lega.
Dengan langkah yang lebih ringan, kami berjalan di jalan yang sepi.
Sambil memandang bayangan panjang kami berdua, Kuon membuka mulutnya lagi.
"Hei, Senpai."
"Ada apa?"
"Apa kau bisa mengatakan 'aku mencintaimu'?"
Itu adalah pertanyaan yang sama seperti sebelumnya.
Jadi aku pun—seperti dulu—memberi jawaban yang sama.
"Tidak mau."
"Ah, sudah lah. Ini kan saat yang tepat untuk mengatakannya, secara timing."
"Tugas seorang penulis adalah mengkhianati harapan pembaca dengan cara yang tepat."
"Mu~"
Setelah mengembungkan pipinya seperti hewan kecil, dia menghembuskan napas dan melanjutkan.
"....Ngomong-ngomong soal penulis. Apa kau berniat terus menyembunyikan kenyataan kalo kau seorang penulis?"
"Ya. Seperti yang kukatakan, ada citra tertentu yang melekat pada karya."
Sebenarnya, tidak ada keuntungan dalam memberitahukan orang lain tentang hal itu. Lebih baik tetap diam.
Mendengar jawabanku, Kuon mengangguk sambil berkata, "Begitu ya."
"...Aku pikir, kali ini memang ada pembicaraan tentang pembubaran klub dan hal-hal lainnya, tapi jika sejak awal kita mengumpulkan lebih banyak anggota, mungkin Senpai tidak perlu mengungkapkan rahasia kepada ketua OSIS, kan?"
Mendengar pertanyaan dari dia, aku sedikit mengalihkan pandangan sebelum akhirnya menjawab.
"....Mengumpulkan anggota tidak terlalu membuatku tertarik."
"Tidak tertarik? Kenapa begitu?"
"Itu karena..."
Setelah sedikit ragu, aku akhirnya memutuskan untuk menjawab pada Kuon yang memandangku dengan heran.
"....Aku lebih suka kalo hanya ada kita ber-2. Selalu dan akan selalu begitu."
Wajah Kuon yang memerah, tapi sepertinya itu bukan hanya karena matahari yang terbenam. Aku juga pasti memiliki ekspresi yang serupa.
Saat ini, aku tidak berniat mengatakan 'Aku mencintaimu' setidaknya untuk saat ini.
Tapi setidaknya, ini masih dalam batas yang bisa diterima, kan?