> EPILOG

EPILOG

 Kamu saat ini sedang membaca   Unmei no hito wa, yome no imōtodeshita.  volume 1, epilog. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw

TAKDIRKU ADALAH DIRIMU



Aku terbangun dengan air mata yang mengalir deras.


(Apa aku...sudah mati?)


Malam. Dunia yang hening. Tidak, tidak sehening di atas Galaxy Express.. 


Di sini, di Pecinan Yokohama, suara riuh orang mabuk yang berteriak-teriak di luar terdengar dengan jelas. 


Suara yang sangat ceria menggema. Tanda keberadaan manusia. Itu nyata adanya.


(Di mana ini? Apa aku masih hidup?)


Aku telah mati. Tidak, bukan begitu. Itu hanya mimpi. Itu adalah kehidupan masa laluku. Diriku di dunia sebelumnya. Ini──Jepang di masa kini. Tidak ada makhluk aneh atau sepeda motor terbang. Ini adalah kamarku. Aku mulai mengingatnya kembali. Dunia yang hancur. Kapal biru itu. Galaxy Express. Dan yang paling penting, gadis itu──yang aku tinggalkan sendirian.


"......"


Padahal kami sudah berjanji untuk mengakhiri semuanya bersama. 


Padahal aku sudah mengatakan kalo aku mencintainya. 


Padahal aku seharusnya terus berada di sisinya. 


Itu adalah janji yang harus aku lindungi sampai akhir.


"Ugh....uekk."


Rasa mual yang hebat menghampirimu, dan aku buru-buru masuk ke kamar mandi. 


Aku memuntahkan seluruh isi perut ke dalam toilet. 


Makanan gorengan yang aku bawa pulang, dan camilan yang aku makan saat makan siang.


"....Nn~...kenapa~? Apa kau tidak apa-apa~?"


Dari arah kamar, terdengar suara mengantuk. Suara Toha. Suara istriku. 


Aku mati-matian mencoba menyusun kembali pikiranku yang panik. 


Tapi aku tidak bisa. Hatiku hancur.


(Karena aku bodoh. Karena aku bertindak tanpa pikir panjang. Aku telah meninggalkan Shishino-san sendirian)


Apa yang terjadi padanya setelah itu? 


Apa dia terus berguncang di atas Galaxy Express sendirian, menjalani waktu yang terasa seperti keabadian dalam kesepian? 


Padahal dia tidak menginginkan hal seperti itu. 


Dia hanya ingin hidup, dan kemudian mati. Itulah yang hendak dia lakukan. 


Tapi karena seorang idiot yang merayunya seperti anak kecil──


(Tidak bagus. Aku tidak bisa berpikir jernih.)

 

Kalo begini terus, aku hanya akan membuat Towa khawatir. 


Aku bergumam kalo aku akan pergi membeli minuman di minimarket, lalu aku keluar. 


Begitu melangkah ke lorong, aku langsung sempoyongan dan menyadari kakiku gemetar. 


Tidak bisa. Sepertinya aku tidak sanggup berjalan dengan normal. Aku tidak seharusnya keluar. 


Sebagai gantinya, aku menaiki tangga dan menuju atap.


(Itu bukan mimpi. Itu adalah 'kenangan'.)


Apa yang aku pikirkan? 


Tidak mungkin itu benar. Kehidupan masa lalu───mana mungkin ada hal seaneh dan tidak ilmiah seperti itu? 


Aku terus-menerus mencoba meyakinkan diriku sendiri. Tragedi itu. Cinta yang aku miliki untuknya. Aku tidak bisa mempercayainya. 


Aku memutar kenop pintu atap yang sudah tua dan berkarat. 


Bunyi berderit terdengar akibat karat.


Aku membuka pintu. Di bawah sinar bulan keemasan yang bersinar di malam gelap tanpa bintang, berdirilah seorang gadis berwarna putih bersih.


"Goshujin......sama...?"


Gadis albino yang secantik salju. Gadis yang tadi masih bersamaku di atas Galaxy Express. Dia sedang menangis. Dia tidak bisa lagi menahan air matanya yang tidak berhenti. Sama persis sepertiku.


──Suka atau tidak, aku menyadarinya.


(Kami melihat mimpi yang sama.)


Atau mungkin aku harus mengatakan kalo kami sama-sama telah mendapatkan kembali kenangan yang sama. 


Shishino-chan mendekatiku sambil menangis, lalu dia menyentuh pipiku. 


Ujung jemarinya yang kecil dan dingin───jemarinya yang dulu sangat aku cintai.


"Bodoh. Bodoh bodoh bodoh. Padahal kau sudah berjanji untuk terus bersamaku. Kau berusaha keras untuk merayuku...!"


Itu bukan cara bicara Shishino-chan yang biasa. 


Tapi intonasinya adalah suara dirinya yang sangat aku kenal. 


Emosi membuncah dalam diriku, dan aku tak lagi menjadi diriku sendiri.


"Aku...aku minta maaf. Aku...aku..."


Perasaan cinta yang tidak tertahankan mengalir dari dalam dadaku. 


Aku bukan lagi Midō Daigo yang berusia 27 tahun, tapi aku kembali menjadi diriku yang dulu───anak kecil yang bodoh berumur 14 tahun. 


Shishino-san tersenyum kecil seperti orang dewasa dan mengelus pipiku berulang kali.


"Kau terlalu banyak menangis. Kau benar-benar masih anak-anak."


"Yah, kau juga begitu."


Kelembutan rambutnya. Aroma manis dari tubuhnya. Tawa ringannya yang khas. Kehangatan tubuhnya. Rambut putih bersihnya memantulkan cahaya bulan dengan samar. 


Saat itu, bagi diriku yang dulu, aku menghargai semua itu lebih dari apa pun.


Aku tidak bisa berbuat apa-apa.


Aku tidak bisa berbuat apa-apa.


Aku tidak bisa berbuat apa-apa.


"...Maafkan aku."


Dia──Chiko Shishino berbisik, lalu menggenggam tanganku erat dengan jemarinya.


"Ini salahmu karena karena terlalu banyak menunda-nunda. Dasar pangeran pemalas."


Gadis yang jauh lebih pendek dibanding masa lalu itu berjinjit dengan sekuat tenaga, menutup matanya. Aku tidak sanggup menolaknya. Karena dia adalah Chiko Shishino. 


Karena dialah orang yang telah kujanjikan untuk menghabiskan sisa hidupku bersamanya.


──Karena dia adalah takdirku.


"Am."

 

Kami menempelkan bibir kami satu sama lain.


Malam itu begitu hening. Bulan keemasan memandangi kami dengan tenang. 


Tidak ada tanda-tanda meteorit biru itu. 


Kami bahkan tidak menggerakkan lidah kami. Bibir kami hanya bersentuhan ringan. 


Itu adalah ciuman yang seolah-olah hanya ingin merasakan hangat tubuh satu sama lain dengan sekuat tenaga.


Kami seakan berusaha merebut kembali waktu yang telah hilang. 


Seakan mencoba menepati janji yang tak sempat terpenuhi. 


Kami hanya saling memeluk dengan erat. 


Dia juga berusaha dengan sekuat tenaga merangkul kepalaku dengan kedua tangannya. 


Kami terus melakukannya, tanpa henti. 


Aku berharap waktu bisa berhenti di saat itu juga.


Pintu berkarat berderit, mengeluarkan suara.


"...Apa...yang kalian lakukan."


Towa berdiri di sana. Dia menatap kami yang tengah berciuman dengan ekspresi tenang.


Hanya bulan berwarna keemasan yang tampak melayang dengan santai, seolah mengatakan kalo semua ini bukan urusannya.





Posting Komentar

نموذج الاتصال