Ini adalah rumahku, kamarku, dan tempat tidurku. Dengan kata lain, tempat ini adalah dunia yang paling mencerminkan diriku, ruang milikku sendiri.
Tapi, alasan kenapa aku merasa ini seperti wilayah asing mungkin karena kehadiran seorang gadis berambut putih, sahabat masa kecilku, sekaligus gadis tercantik di sekolah, Sagiri.
Dia mengenakan kaos putih oversize yang sudah sangat lusuh, sampai kerahnya melonggar dan memperlihatkan tulang selangkanya.
Hanya itu saja sudah cukup menjadi godaan mematikan bagi pria, belum lagi bentuk payudaranya yang besar terlihat sangat jelas di balik kaos itu, membuat otakku nyaris lumpuh.
Tolonglah, apa ada yang bisa membantuku?
"Jadi, bagaimana kau akan menghangatkanku, sahabat?"
Dia bersandar di dinding sambil duduk di tepi tempat tidur, dan dengan senyum menggodanya, kakinya yang panjang terlihat jelas di bawah celana pendek biru yang dia pakai.
Berada di tempat tidur yang sama dengan Sagiri sudah sering terjadi sejak kami masih kecil dan bahkan dulu kami pernah tidur bersama.
Tapi, itu dulu. Sekarang kami sudah tumbuh, menjadi siswa kelas 2 SMA, dan perbedaan biologis antara pria dan wanita semakin terlihat.
Secara singkat, sahabatku sangat menggoda.
"K-kau... ingin diperlakukan bagaimana?"
Aku tak bisa melakukan apa pun selain bertanya.
Bagaimana mungkin aku tahu cara menghangatkan seorang gadis cantik yang tubuhnya begitu menggoda?
"Hmm?"
Sagiri menatapku dengan tatapan penuh kepuasan, seperti saat dia berhasil melakukan keusilan saat kami masih kecil.
Sejak kapan senyum jahilnya itu mulai membuat jantungku berdetak lebih cepat?
Mungkin sejak kami berciuman.
"Kau ingin aku yang mengatakan apa yang harus dilakukan, ya?"
"T-tidak! Bukan itu maksudku!"
"Hahaha, bercanda kok! Sahabatku Kau terlihat sangat imut saat panik."
"Ini tidak lucu."
"Jangan khawatir, aku hanya bercanda seperti ini denganmu."
Aku tidak tahu harus merespons seperti apa.
"Yah, baiklah. Sepertinya sahabatku yang pemalu ini butuh sedikit bimbingan. Biar Sagiri Onee-san, yang akan mengajarkannya."
"Kita seumuran. Aku bahkan lahir lebih dulu."
"Kalo kau terlalu mempermasalahkan hal kecil seperti itu, kau tidak akan populer, tahu?"
Kau yang salah di sini, pikirku. Lagipula, apa maksudnya dengan 'sahabat pemalu'?
"Jadi... ini."
"...Hm?"
"...Nah...begini."
"Hm... apa?"
Sagiri berhenti bersandar pada dinding dan duduk tegak di atas tempat tidur. Lalu, dia membuka kedua tangannya, menghadap ke arahku. Kaos lusuh yang dia pakai menekankan tulang selangkanya lagi.
"...Peluk aku."
Dia baru saja melemparkan bom yang membuat semua hal lainnya terlupakan.
"ka-kau ingin aku memelukmu?!"
"Kenapa kau harus malu?"
"T-tentu saja! Pelukan di tempat tidur antara pria dan wanita itu tidak benar!"
"Kita ini sahabat, kan?"
Satu kata itu membuatku terdiam. Kata 'sahabat' sudah menjadi sesuatu yang sangat spesial bagiku.
"Hanya pelukan, tidak lebih."
"Tapi... itu tetap saja..."
"Apa berciuman baik-baik saja?"
Dengan tatapan yang seolah ingin menguji, Sagiri memiringkan kepalanya, membuatku tidak mampu berkata apa-apa.
"Hey sahabat..."
Suara manis itu terdengar.
"Peluk aku dengan lembut."
Dia berbisik di telingaku.
"O-o-okay..."
Aku menjawab, meski suaraku terdengar sangat canggung. tapi, rasa malu itu tidak lagi terasa begitu besar.
Yang ada di pikiranku hanya satu hal—memeluk sahabatku.
"Ah! T-tergesa sekali."
"Ma-maaf!"
Tubuhnya terasa sangat lembut saat kupeluk. Meskipun dia selalu berada di sisiku, aku tidak pernah tahu kalo sahabatku ternyata selembut ini.
"Kau tidak perlu ragu-ragu."
"Tapi tetap saja!"
"Kau hangat sekali, sahabat..."
Dia mempererat pelukannya di punggungku.
Aku memeluk sahabatku. Aku memeluk teman masa kecilku, Sagiri, di atas tempat tidurku.
Hangatnya tubuhnya terasa begitu nyata di dadaku. Kelembutannya juga, yang pastinya berasal dari payudaranya yang besar.
Meskipun kami berpakaian, sentuhan tubuh kami terasa begitu nyata. Getaran ini milikku, atau... miliknya?
"Aku merasa seperti sedang melakukan sesuatu yang sedikit cabul"
"Kurasa ini lebih dari sekadar 'sedikit'..."
"Berarti, kita rekan dalam kejahatan?"
Sagiri tersenyum, membuat jantungku semakin berdegup kencang.
Akhir-akhir ini, sering kali Sagiri mendekatiku dengan alasan kalo kami sahabat. Tapi kali ini, aku melihat sekilas Sagiri yang kukenal.
Ini dia, Sagiri yang kukenal sejak kecil.
Dan kini, aku menyadari, bahwa aku sedang terpikat oleh sahabatku sendiri.
"Jangan menatapku begitu, aku malu tahu."
"Sagiri..."
Aku memanggil namanya begitu saja.
"Ya?"
Aku rasa, hanya dengan memanggil namanya, dia sudah mengerti segalanya.
"Kita ini... sahabat, kan?"
Dengan wajah merah, dia menunduk sedikit, lalu tersenyum malu-malu.
"...Bolehkah aku menciummu?"
Wajahnya yang tersipu, diiringi ajakan untuk berciuman, adalah pemandangan yang belum pernah kulihat sebelumnya.