> Hey Sahabat Bolehkah Kita Berciuman Lagi Hari Ini?

Hey Sahabat Bolehkah Kita Berciuman Lagi Hari Ini?

 Kamu saat ini sedang membaca   Hey Sahabat Bolehkah Kita Berciuman Lagi Hari Ini?  Selingan. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw


Chapter 18: Boleh aku juga… mendapatkan hadiah?



Klub jibuken kami, secara teknis, memang diakui oleh pihak sekolah.


Kenapa dikatakan 'secara teknis'? Karena statusnya berada di wilayah abu-abu—setengah resmi, setengah tidak.


Aktivitas kami yang samar, yakni meneliti, mengeksplorasi, dan mengejar 'jati diri', tentu saja tidak cukup kuat untuk mendapatkan persetujuan penuh. Oleh karena itu, nama resmi klub kami adalah 'Klub Relawan'.


Dengan kata lain, kegiatan sosial adalah kedok yang digunakan di permukaan, sedangkan identitas sejatinya adalah Klub Penelitian Jati Diri.


Sebagai catatan, keempat anggota klub ini jarang sekali menyebutnya 'Klub Relawan'. Biasanya hanya saat berbicara dengan guru.


Ruang klub yang dibentuk di atas landasan serba samar itu pun terletak di tempat yang bisa dikatakan seperti kapal yang mulai tenggelam—bekas gudang di sudut sekolah.


Gedung khusus yang berisi ruang-ruang kelas tambahan, bagian paling ujung, lantai satu, di bagian paling belakang.


Ruang klub mungil ini berada di ujung tangga, bersebelahan dengan ruang persiapan laboratorium sains. 


Secara terus terang, lokasi seperti itu pada waktu seusai sekolah hampir tidak pernah dikunjungi siapa pun.


Di koridor yang nyaris sepi itu, aku dan Sagiri berjalan berdua.


Karena tidak ada orang lain, suara langkah kami bergema cukup keras.


"Hmm~! Duduk terlalu lama benar-benar melelahkan!"


Itulah kelebihan sekaligus kekuatan dari teman masa kecilku yang berjalan di sampingku—dia mampu mengubah suasana muram hanya dengan keberadaannya.


Sagiri yang terlihat lelah karena terlalu lama duduk, mengangkat kedua tangannya tinggi sambil berjalan, meregangkan tubuhnya. 


Gerakan tersebut secara tidak langsung menonjolkan bentuk tubuhnya, dan kemeja putih yang dikenakannya tampak agak tertarik dari dalam.


"Memang benar, saat ada Yuzurun, suasananya jadi lebih ceria dan menyenangkan."  


"Y-ya…"  


Ucapannya itu disertai senyuman. Dia pun memutar tubuh bagian atasnya dengan kedua tangan masih terangkat untuk melakukan peregangan, dan aku merasa tidak tenang melihatnya.


Perhatianku, tanpa bisa dicegah, tertuju pada dadanya yang menonjol itu.


Sejak hari itu, selain bibirnya, aku juga mulai menyadari bagian tubuh lain darinya.


Pikiran seperti ini mungkin terdengar tidak pantas dan kalo diketahui orang lain, mungkin aku akan dicemooh. 


Tapi, mohon dimaklumi—aku ini remaja laki-laki yang sedang berada dalam masa pubertas.


Laki-laki memang makhluk yang dipenuhi keinginan dan kelemahan.


"Hmm? Kenapa responsmu terdengar lesu begitu?"


Sagiri menyadari arah pandanganku. Dia perlahan menghentikan gerakannya, lalu menyilangkan kedua tangan ke depan dadanya seolah berusaha menutupi bagian tersebut.


"…Tidak sopan."


"…Maaf."


Aku hanya bisa menerima tatapan sinisnya sambil menahan keringat dingin yang mengalir.




Permintaan maafku akhirnya diterima dengan imbalan yang sangat jelas—aku membelikan minuman untuk seluruh anggota klub sebagai bentuk 'tanggung jawab'.


Meskipun harga minuman di mesin otomatis sekolah lebih murah dibanding di luar, bagi siswa SMA yang hidup dari uang saku dan tidak memiliki pekerjaan paruh waktu, pengeluaran seperti ini tetap terasa berat.


Tapi, aku anggap itu sebagai bentuk perasaanku pada Sagiri, sekaligus ucapan selamat datang kembali untuk Yuzuru, dan… bentuk penghargaan atas semangat belajar Hasegawa, mungkin.


"Hmm, dingin sekali! Enak!"


Di samping itu, melihat teman masa kecilku kembali ceria dan tersenyum sudah cukup membuatku puas.


Sagiri membawa dua minuman—jus anggur kaleng di tangan kanan, dan susu dalam kemasan kotak di tangan kiri. 


Dia menempelkan keduanya ke pipinya untuk mendinginkan wajahnya. 


Jus anggur itu miliknya, sedangkan susu adalah milik Yuzuru.


"Renji juga coba. Dingin dan menyegarkan."


"Kalo aku yang melakukannya, tidak ada yang merasa senang."


Aku juga membawa dua minuman di tanganku—jus anggur yang sama di tangan kanan, dan soda botol untuk Hasegawa di tangan kiri.


Aku tidak ingin membayangkan kalo Hasegawa harus meminum soda dari botol yang sudah kutempelkan ke pipiku. Rasanya tidak pantas.


"Eh? Jadi kalo aku yang melakukannya, kau akan senang?"


Dengan ekspresi bingung dan polos, Saegiri bertanya kepadaku.


"…Ya, maksudku… kau kan memang menarik perhatian…"


Aku langsung menyadari kekeliruan dalam kata-kataku.


"Heheh…"


Pandangan matanya yang diarahkan padaku seolah berubah.


"Kalo begitu, Renji bagaimana?"


Langkah Sagiri terhenti.


"Renji… akan senang juga kalo aku yang melakukannya?"


Dia menatapku sambil tetap menjepit kedua pipinya dengan dua minuman. 


Jujur saja, dia terlihat sangat manis.


"…Kau memang terlihat manis apa pun yang kau lakukan."


"…Eh?"


Agar dia tidak menyadari perasaanku, aku melangkah cepat, melewatinya tanpa mengatakan apa pun.


"Ah, tu-tunggu… Renji!"


Aku mendengar suara dari belakang, tapi aku tidak berhenti. Bagaimanapun juga, Sagiri pasti akan segera menyusul.


Benar saja, dia langsung kembali berjalan di sampingku.


".........."


".........."


Eh? Bukankah jaraknya terlalu dekat?


Sebelumnya dia berjalan lebih dulu di depan, tapi sekarang dia ada di sampingku. Itu bukan masalah.


Masalahnya adalah jaraknya sangat dekat—hingga lengan kami hampir bersentuhan.


"............."


"............"


Kami berjalan kembali menyusuri koridor yang sama, tanpa sepatah kata pun. Hanya suara langkah kaki yang menggema.


Aku dan Saegiri berjalan dalam diam, menuju ruang klub. Tapi suasananya tidak sekadar 'berjalan seperti biasa'.


"…Umm, ini…"


"…Y-ya?"


Sambil berjalan, Saegiri berbicara pelan.


"…Jus ini. Untuk Yuzurun, sebagai hadiah karena dia telah berusaha, bukan?"


"…Y-ya, benar."


Aku melirik ke arahnya, tetapi karena dia sedikit menunduk, aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.


"…Aku juga, kan? Aku juga sudah belajar. Dan aku membimbing Yuzurun…"


"…Ya, memang begitu."


Tapi, aku mulai memahami arah pembicaraan ini.


"…Hei, Renji. Sebagai sahabat, bolehkah aku juga…?"


Wajahnya berbeda dari biasanya, dengan ekspresi malu saat ia mengatakan—


"U-um… Boleh aku juga… mendapatkan hadiah?"


Dan saat itu, dia terlihat… luar biasa manis.



Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال