Chapter 1: Anak Laki-laki yang Bernasib Malang
Kiiin kooon kaaan kooon……
Lonceng sekolah yang sudah tidak asing lagi bagi siapa pun menggema di udara musim dingin yang jernih.
Bagi orang dewasa, bunyi itu menghadirkan nuansa nostalgia, namun bagi para siswa yang menjadi subjeknya, itu adalah tanda kebebasan.
Sebuah sekolah menengah pertama yang biasa di sebuah kota kecil di wilayah Kyushu pun tidak terkecuali. Begitu lonceng berhenti berbunyi, suasana langsung menjadi riuh.
Ada siswa yang keluar dengan santai sambil mengobrol bersama teman-temannya, dan ada juga siswa yang tampaknya kelas tiga berjalan sambil menatap buku referensi.
Sebuah pemandangan yang tidak istimewa dan dapat ditemukan di mana pun.
Panggung cerita ini dimulai dari tempat seperti itu.
"Oi, Inoue!"
Suara nyaring memanggil seorang anak laki-laki yang sedang bersiap pulang dan baru saja keluar dari ruang kelas.
Meskipun dari warna sepatu dalamnya diketahui bahwa ia adalah siswa kelas tiga, tubuh anak laki-laki yang dipanggil itu sangat kecil.
Tingginya kemungkinan hanya sedikit di atas 140 sentimeter, bahkan lebih pendek dari para siswi yang berlalu-lalang di sekitarnya.
Berat badannya pun kemungkinan sebanding. Bila berjalan di kota, kemungkinan besar ia akan dikira masih siswa sekolah dasar.
"A-Ada apa?"
Dengan nada ragu dan takut, anak laki-laki itu menoleh ke arah suara tersebut.
Di sana, tiga siswa laki-laki lain dengan sepatu dalam berwarna sama berdiri mengelilinginya sambil menyeringai.
Berkebalikan dengan tubuh anak laki-laki itu yang kecil, mereka bertiga berpostur besar.
Terutama siswa yang berdiri di tengah dan memanggilnya—tingginya jelas melebihi 170 sentimeter dan bertubuh kekar.
Dua orang lainnya memang tidak sebesar itu, namun tetap jauh lebih besar dibanding Inoue.
"Hari ini pun kau akan mengantar koran, ya? Kasihan sekali, menjadi orang miskin itu memang berat."
Kata-kata yang diarahkan kepadanya penuh dengan kebencian, dan ekspresi wajah mereka dipenuhi dengan ejekan.
"Eeji-kun, itu terlalu kejam. Inoue bukan miskin, tapi hanya ditelantarkan oleh orang tuanya saja."
"Benar juga. Kalo dia tidak bekerja, dia tidak bisa makan siang ataupun membeli buku tulis, bukan? Zaman sekarang masih ada yang tidak bisa melanjutkan ke SMA, sungguh menyedihkan."
Dua orang lainnya pun tertawa sambil mengejek.
Sulit dipercaya kalo ketiganya baru berusia sekitar lima belas tahun, karena ekspresi wajah mereka tampak begitu jahat.
"Maaf, maaf. Inoue itu memang dianggap 'tidak dibutuhkan' oleh keluarganya, ya? Eh, kau mau ke mana?!"
Kekerasan verbal itu terus diarahkan kepadanya.
Saat dia mencoba mengabaikannya dan hendak melewati mereka, salah satu dari mereka membentangkan tangan untuk menghalangi jalannya.
Dari sudut pandang mana pun, ini jelas merupakan tindakan perundungan yang serius.
Tapi walaupun begitu, tidak ada satu pun siswa di sekitar yang berusaha menghentikannya.
Sebaliknya, mereka semua berlalu dengan cepat agar tidak terlibat.
Siswa yang menjadi pusat dari perundungan tersebut, Toudou Eeji, adalah putra dari anggota parlemen yang mewakili daerah itu dan berasal dari keluarga terpandang yang memiliki pengaruh besar di wilayah tersebut sejak lama.
Meskipun Eeji membuat masalah, baik sekolah maupun kepolisian akan membiarkannya tanpa mempermasalahkannya.
Kalo seseorang sampai menarik perhatian Eeji dan dijadikan target, maka dia akan berada dalam kesulitan besar.
"Meskipun kau adalah 'anak yang tidak diinginkan', Inoue, kami tetap berterima kasih kepadamu. Karena, lihat ini."
DUG!
"!"
Eeji tiba-tiba menendang paha Inoue dengan lututnya.
Anak itu pun jatuh meringkuk menahan rasa sakit dan berusaha menahan teriakan.
"Kau membantu kami menghilangkan stres menjelang ujian, jadi terima kasih, ya."
"Gyahaha, bukankah menyenangkan? Akhirnya kau bisa berguna juga!!"
Salah satu dari mereka memukul bagian samping tubuh Inoue yang tengah berusaha bangkit sambil menahan sakit.
"!"
Tapi, Inoue tetap menahan suaranya dan memalingkan wajah agar ekspresinya tidak terlihat.
Dia tahu kalo memberikan reaksi hanya akan membuat perundungan menjadi lebih parah.
"Apa yang kalian lakukan."
Suara yang tiba-tiba terdengar menghentikan situasi tersebut.
"! A-ah, Aoyama-sensei, ya. Tidak ada apa-apa kok. Kami hanya berbincang ringan dengan Inoue-kun saja."
Eeji yang terkejut menoleh dengan cepat, namun saat melihat pemilik suara, dia tersenyum seolah merasa lega dan menjawab dengan santai.
Sebuah adegan perundungan yang jelas-jelas terjadi di depan mata. Namun, guru yang berada di tempat itu—disebut Aoyama—hanya melirik dingin ke arah anak laki-laki itu dan mendengus sinis.
"Masih datang ke sekolah rupanya, Inoue. Toh kau tidak akan melanjutkan pendidikan, jadi jangan berkeliaran di sekolah dengan tampang kotor begitu. Sekarang ini masa penting bagi semua siswa yang sedang mempersiapkan ujian. Kehadiran sampah sepertimu saja sudah mengganggu pandangan. Besok sudah mulai ujian akhir, jadi kalian juga, Tōdō dan yang lainnya, sebaiknya jangan buang-buang waktu untuk mengurus sampah semacam itu dan segera pulang."
" " "Baik." " "
Setelah Aoyama berlalu, ketiga siswa itu kembali mengelilingi anak laki-laki tersebut.
Sejujurnya, sejak awal anak laki-laki itu memang tidak berharap apa-apa dari guru bernama Aoyama tersebut.
Aoyama adalah wali kelasnya saat kelas dua, dan sejak awal sudah memperlakukannya dengan dingin.
Bahkan, seolah membencinya, Aoyama terus memberikan nilai terendah meski ia belajar dengan sungguh-sungguh dan mendapat nilai bagus dalam ujian.
Dda sering mempermalukan anak itu dan bahkan secara tidak langsung mendorong perundungan yang dilakukan oleh Eiji dan kawan-kawannya.
Setelah naik ke kelas tiga, mereka tidak lagi bersinggungan kecuali dalam pelajaran yang diajarkan Aoyama, dan itu sudah menjadi satu-satunya pelipur lara.
Meskipun kini Eiji dan kawan-kawannya berada di kelas berbeda, mereka tetap sengaja menunggu dan mengganggunya seperti ini.
"Kasihan sekali, ya. Sampai gurumu sendiri saja sudah tidak peduli. Tapi wajar juga sih, dengan seragam sekotor itu."
Salah satu dari mereka sengaja mengotori celana anak itu dengan sol sepatu dalam ruangan.
Seragam yang dipakai anak laki-laki itu memang seragam resmi sekolah, tapi sudah tampak lusuh seperti telah dipakai selama bertahun-tahun lebih dari seharusnya.
Warna kainnya telah pudar dan beberapa bagian tampak terkoyak, pada bagian siku dan lutut, kainnya terlihat sangat menipis.
Pada zaman sekarang, sangat jarang ada orang yang mengenakan pakaian sampai sekusut itu.
Rambutnya juga berantakan dan dipotong tidak rata, membuatnya terlihat semakin lusuh.
Tapi, wajahnya sebenarnya cukup rupawan, dengan tubuh mungil, wajah bulat, dan mata besar yang membuatnya tampak seperti anak hewan kecil—penuh pesona dan daya tarik tersendiri.
"Hei, apa yang kalian lakukan!?"
Tindakan dan kata-kata yang hendak dilayangkan kembali terhenti karena terdengar suara dari dekat pintu kelas tempat anak laki-laki itu baru saja keluar.
"Cih, Miyamori. Itu bukan urusanmu, kan? Atau jangan-jangan, kalian berdua memang pacaran, ya? Dari dulu aku sudah curiga."
"Betapa kekanak-kanakan. Kaian sudah kelas tiga SMP tapi kalian masih saja bicara seperti anak SD? Aku tidak peduli dengan apa pun yang kau katakan, tapi tidak seperti kamu yang besar karena dimanjakan, Inoue itu sibuk. Jadi, kenapa kamu tidak berhenti dengan hal-hal bodoh seperti ini?"
Gadis bernama Miyamori itu membalas dengan tegas sambil menatap tajam ke arah Eiji tanpa rasa takut.
"Jangan mentang-mentang diam saja, jadi merasa besar kepala, ya. Kamu pikir bisa selamat kalau membuatku marah?"
"Mau apa? Mengadu ke ayahmu? Atau minta tolong ke teman-temanmu? Kalo begitu, aku juga akan meminta bantuan keluargaku. Sudah kukatakan belum ya? Pamanku bekerja di kantor berita di Tokyo, dan kakakku adalah pembawa berita di program televisi."
Tatapan tajam di antara keduanya berlangsung sejenak.
Kali ini, Miyamori yang keluar sebagai pemenang.
"Tch... Ayo pergi."
Meski ayahnya memiliki kekuasaan tertentu di daerah ini, semuanya akan berakhir seketika bila sampai muncul pemberitaan yang merugikan.
Bahkan Eiji tahu sejauh itu. Ia mengklik lidahnya, lalu pergi bersama teman-temannya.
"Terima kasih banyak, Miyamori-san."
"Inoue-kun, apa kau tidak apa-apa? Maaf, aku terlambat sadar. Tadi aku sedang bicara dengan temanku. Kau tidak dipukul, kan?"
Anak laki-laki itu menggeleng samar. Miyamori Wakana, gadis itu, sepertinya bisa menebak apa yang terjadi, namun ia tidak bertanya lebih lanjut. Ia hanya menepuk-nepuk debu yang menempel di seragam anak itu.
"Terima kasih seperti biasa. Kalo begitu, aku pulang dulu ya."
"Iya, sampai jumpa besok."
Melihat senyum malu-malu yang ditampilkan anak itu, Wakana sedikit merona di pipinya.
Dia melambaikan tangan dan memandangi punggung anak laki-laki itu yang berjalan cepat menjauh.
“Aku pulang.”
Meskipun ini Kyushu, saat menjelang malam di akhir Desember tetaplah dingin.
Anak laki-laki itu membungkukkan badan karena udara dingin dan dengan perlahan membuka pintu rumah agar tidak menimbulkan suara saat tiba di rumah, sekitar 15 menit berjalan kaki dari sekolah.
Setelah mengucapkan salam, dia melepas sepatu.
Sepasang sepatu kets yang usang dan hampir tidak terlihat lagi warna aslinya itu dibersihkannya dengan penuh perhatian dan diletakkan rapi di pojok rak sepatu.
“Ke mana saja kau berkeliaran, hah?! Dasar lamban! Cepat masakan makanan!”
"Ma-maaf..."
Begitu memasuki ruang tamu, dia langsung disambut bentakan wanita itu.
Padahal, dia pulang tidak terlambat. Malah sedikit lebih awal karena mendekati masa ujian.
Tapi, anak itu tidak pernah membantah. Ia meletakkan tas di kamarnya dan berganti pakaian.
Dimarahi sudah menjadi hal biasa. Baik datang lebih awal, lebih lambat, atau bahkan tidak melakukan apa pun, tetap saja ia akan dimarahi.
Kalau sampai membantah, dia tidak ingin membayangkan apa yang akan terjadi padanya.
Kamar yang disebut sebagai 'kamarnya' hanya memiliki barang-barang keperluan sekolah dan beberapa helai pakaian pribadi.
Setengah dari ruang berukuran enam tatami itu dipenuhi pakaian wanita tadi.
Hanya ada sebuah kotak kayu sebagai meja, kardus sebagai rak buku, dan sehelai selimut bekas—itulah seluruh ruang pribadinya.
DIa segera berganti ke celana jins pudar dan kemeja, lalu keluar ruangan agar tidak dimarahi lebih lanjut.
Lewat di belakang wanita yang sedang berdandan di depan televisi sambil duduk di sofa, ia menuju dapur untuk mulai memasak.
Sup konsomé dengan wortel dan bawang bombai, serta sandwich ham dan telur—menu ringan untuk dibawa wanita itu ke tempat kerja.
Selain itu, dia juga memasak sup miso, ayam teriyaki, dan beberapa lauk kecil untuk makan malam.
Semua itu hanya satu porsi saja.
Setelah selesai, dia juga mengangkat cucian yang dijemur dan membersihkan rumah secara cepat.
Pekerjaan rumah memang sudah menjadi tanggung jawab anak itu di luar waktu sekolah dan kerja paruh waktu.
Tapi, usahanya itu tidak pernah dihargai.
Masakan yang dibuatnya pun tidak boleh dia makan, bahkan sisa makanan pun harus dibuang.
"Kamarmandinya jorok! Bersihkan sebelum aku pulang, kau dengar?!"
Meski sudah dibersihkan setiap hari, dia tetap mendapat kata-kata yang sama. Dia hanya mengangguk.
Wanita itu melotot padanya sebelum keluar untuk bekerja, hanya menyantap setengah dari makanan yang sudah disiapkan.
Mulut anak itu menelan ludah melihat sandwich yang tidak disentuh sama sekali, tapi dia tahu dirinya tidak boleh menyentuhnya.
Sisa sup dan sandwich itu pun dia buang ke tempat sampah, lalu mencuci peralatan makan.
Waktu terus berjalan, dan tibalah saatnya untuk pergi kerja paruh waktu.
Dua bergegas memastikan semua pintu terkunci dan menuju ke pintu keluar.
Klik.
Tapi, sebelum sempat dia membuka pintu, seseorang dari luar sudah lebih dahulu membukanya.
Seorang pria berdiri di sana dengan wajah kesal.
Usianya sekitar pertengahan tiga puluhan.
Mengenakan setelan training abu-abu dan jaket tebal, rambutnya acak-acakan dan wajahnya tak dicukur—penampilannya jauh dari kesan profesional.
"Hei! Minggir, dasar anak sialan!"
Anak itu segera melepas sepatu dan memberi jalan.
"Tch!"
Pria itu masuk dan menendang sepatunya sembarangan. Anak itu menunduk, memungut sepatu tersebut, dan merapikannya.
Tapi, tiba-tiba ada hantaman keras di punggungnya, membuat wajahnya membentur lantai keras di area depan rumah.
"Aduh..."
Kesadarannya hampir hilang, tapi dia mengguncang kepala dan memaksakan diri untuk tetap sadar.
Saat menyentuh pelipisnya, dia merasa basah dan lengket—darah mengalir dari lukanya.
Dengan wajah meringis karena sakit di punggung dan wajah, dia berdiri perlahan.
Ternyata pria itu masih di sana, berdiri dengan senyum sinis di wajah.
"Ah, maaf ya. Aku kalah main pachinko, jadi aku merasa kesal. Kau mau berangkat kerja, kan? Kalo kau sudah pulangn beli kan aku rokok. Marlboro menthol."
Anak itu hanya menundukkan kepalanya dalam diam, lalu pergi keluar rumah.
DIa tahu, dia harus meminta gaji lebih awal di tempat kerja hanya untuk membeli rokok itu.
Langkah kakinya terasa sangat berat.