> Cerita 3

Cerita 3

 Kamu saat ini sedang membaca   Tsukushita garina uchi no yome ni tsuite derete mo ī ka?  volume 1,  chapter 3 cerita 3. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makinsemagat+buat dana untuk beli raw

ISTRI KU ADALAH TIPE ORANG YANG MEMUJI KU DAN MENDORONG KU UNTUK BERKEMBANG




Hari karyawisata.


Aku memutuskan untuk membantu Riko dan bangun satu jam lebih awal dari biasanya. Tapi ternyata, ketika aku masuk ke dapur, Riko sudah mulai menyiapkan semuanya.


"Hai, Minato-kun! Pagi! Kamu bangun lebih awal, ya!"


Riko, yang mengenakan celemekk kuning lembut di atas seragamnya, menutup lemari es dan berlari ke arahku.


"Selamat pagi. Aku pikir mungkin ada yang bisa ku bantu. Tapi sepertinya aku bangun terlambat. Maaf ya."


"Ah, tidak! Aku juga baru bangun kok...! ──Apa kamu mau bantu aku?”


"Aku tidak yakin apa aku bisa berguna, sih."


Maksudku, kemungkinan besar aku malah akan merepotkan.


Ketika aku bilang kalau aku akan keluar dari dapur jika aku mengganggunya, Riko menyipitkan matanya dan tersenyum lucu.


"Minato-kun mau aku usir dari dapur? Itu pasti tidak akan pernah terjadi. Aku senang kita bisa memasak bersama."


"Eh? S-Serius?"


"Iya! Karena kalo kita melakukan itu kita akan terlihat seperti pasangan pengantin baru, kan?"


Ternyata Riko suka dengan hal-hal yang berbau pengantin baru atau istri. Jadi, rasa senangnya pasti karena alasan itu.


"Apa yang harus aku lakukan?"


"Kalau begitu, bisakah kamu mencuci sayurannya?"


"Baik."


Syukurlah, sepertinya aku bisa melakukan hal ini.


Tapi, ketika mencuci, apakah lebih baik dilakukan dengan waktu yang lama dan teliti, atau lebih baik dengan cepat dan efisien?


Ini adalah sayuran yang dijual di supermarket, jadi tidak terlihat kotor.


Tapi, kalau tidak dicuci dengan benar, mungkin jadi tidak higienis...


Ah, aku bingung. Aku tidak tahu harus mencuci seberapa bersih.


Aku tidak tau mana yang benar. 


Aku ingin memarahi diriku sendiri beberapa saat yang lalu karena merasa mencuci sayur adalah hal yang mudah.


Sepertinya bertanya langsung adalah yang terbaik...


"Maaf, Riko. Aku penasaran berapa lama aku harus mencuci sayuran."


"Wah! Maaf kalau penjelasanku kurang jelas...! Sayur yang kelihatannya tidak kotor bisa dicuci cepat saja! Misalnya, kentang ──"


Riko mendekat ke sampingku dan berdiri sangat dekat denganku, hingga bahu kami hampir bersentuhan. Aku yang terkejut, dengan panik berusaha menjaga jarak. Tapi berneda denganku, Riko yang fokus pada penjelasannya tampaknya tidak menyadari jarak kami yang sangat dekat.


"Begini kira-kira."


"Oh, oh. Begitu ya."


Setelah mendapat penjelasan yang jelas, akhirnya aku mengerti cara yang benar.


Saat aku mulai mencuci sayur mengikuti cara Riko, dia yang sedang memasak di sampingku memuji pekerjaanku.


"Bagus, bagus! Kamu melakukannya dengan sangat baik!"


Saat mendengar pujian seperti itu, semangatku langsung membara.


"Selanjutnya apa yang harus kulakukan?"


"Kalau begitu aku ingin kamu memotong sayuran itu untukku. Pertama, kita gunakan Pira (alat pengupas) untuk mengupas kulitnya."


"Pira?"


"Ini nih, yang namanya Pira."


"Oh, jadi namanya seperti itu?"


"Lucu ya namanya?"


"Rasanya lebih mirip nama monster."


"Haha, mungkin benar juga!"


Riko tertawa ceria mendengar komentarku.


Rasanya... Kebahagiaan di saat seperti ini sangat tinggi. Membantu memasak ternyata menyenangkan sekali.


Sebelum mulai membantu, aku khawatir tentang kemampuanku dan apa aku malah akan merepotkannya, tapi berkat cara Riko yang lembut mengajarkanku, rasanya hanya ada kesenangan.


Aku merasa seperti ingin menyenandungkan sebuah lagu sambil terus bekerja dengan penuh semangat.


Mengupas kulit wortel, kentang, dan ubi manis, lalu memotongnya sesuai petunjuk.


"Wow, hebat sekali, Minato-kun. Hebat!"


Karena Riko memujiku tanpa ragu, aku merasa malu dan akhirnya tertawa.


"Riko, kamu memberiku terlalu banyak pujian. Bahkan seorang siswa sekolah dasar pun mungkin bisa mengupas dan memotong sayuran seperti yang kamu ajarkan padaku."


"Tapi Minato-kun, hanya dengan sekali penjelasan kamu langsung mengerti, dan kamu sangat terampil. Menurutku kamu luar biasa, tahu?"


Saat didekati dengan wajah serius, yang bisa kukatakan hanyalah "Ah, ya."


Meski begitu, aku masih merasa Riko terlalu memujiku.


"Dan juga, selain keterampilanmu, cara tanganmu bekerja sangat teliti. Melihatnya bikin aku deg-degan."


"Eh?"


"Ah...! Bukan apa-apa...! aku akan mulai membuat tamagoyaki ya!”


Riko segera membalikkan badannya dan mulai menyiapkan tamagoyaki di meja dapur. Sementara aku mengamatinya, aku mulai merenung.


Apa tangan yang teliti benar-benar bisa membuat seseorang deg-degan?


 tidak, tidak, tidak! 


Begitu aku sadar, jantungku berdebar sangat cepat dan aku merasa sangat tertekan.


Tenanglah wahaia diriku, tenag!


Saat aku berusaha keras meyakinkan diriku sendiri, tiba-tiba aku mencium aroma minyak wijen yang nikmat. Saat aku melihat ke atas, Riko sedang menuangkan telur ke dalam penggorengan.


Dengan suara gemericik yang enak, telur menyebar di wajan. Riko dengan cekatan menggunakan sumpit dapur, membolak-balik telur dengan lihai.


Menakjubkan sekali.


Aku terpaku, terpesona dengan keterampilan Riko.


Riko dengan terampil mengatur telur di bagian depan wajan. Segera, minyak ditambahkan tipis di bagian belakang wajan, dan telur dituangkan ke area kosong tersebut. Lalu, dia melanjutkan membolak-baliknya dengan sangat terampil.


Apa begini caranya membuat tamagoyaki? Aku ingin tau bagaimana dia bisa menggulungnya dengan begitu rapi...


Jika aku yang melakukanya, pasti akan berantakan.


Tertarik dengan prosesnya, aku terus memandang penuh perhatian, dan ketika Riko selesai membuat tamagoyaki, dia tersenyum dan menoleh ke arahku.


"Kalo kamu menatapku seperti itu, aku jadi maulu tau..."


"...! Maaf. Aku tidak bermaksud begitu."


"Bukannya aku tidak suka, kok. Aku hanya malu saja."


"Ah, iya."


"Ah, hei, Minato-kun. Apakah kamu ingin mencicipi tamagoyaki?"


"Eh! Boleh?"


"Iya, tentu."


"Kalau begitu, aku akan menerima tawaranmu."


Saat aku hendak mengambil sumpit untuk mengambil tamagoyaki yang ada di piring, aku dihentikan oleh Riko dan menyuruh ku menunggu.


"Eh?"


"Silakan."


Ririko tersenyum bahagia dan memberiku sepotong tamagoyaki yang dia ambil dengan sumpit. Tentu saja ke mulutku.


Ini... 


Ini mirip sekali dengan saat dia menyuapku 'aaan’ ketika aku sakit sebelum menikah.


Meskipun ini sudah kedua kalinya, tapi tetap saja ini masih sangat memalukan.


Tapi... aku tidak mbencinya samasekali


Sebaliknya, aku malah merasa senang.


Dulu, saat pertama kali dia melakukan ini untukku, aku tidak punya ruang untuk berpikir seperti itu.


Berbeda dengan saat itu, sekarang tidak ada pilihan untuk menolak suapan Riko.


"......Aku akan menikmati ini"


Aku membuka mulutku meskipun aku merasa seperti mendidih karena malu.


"──Hmm. ...Enak."


Tamagoyaki yang lembut dengan rasa yang agak nostalgia sangat lezat.


"Ini benar-benar enak. Aku bahkan ingin memakannya semuanya."


Mendengar kata-kataku, Riko menunjukkan ekspresi lega, dan itu membuatnya terlihat sangat manis.


Ternyata, membantu memasak memiliki keuntungan seperti ini...


Kesenangan dari mencicipi makanan. Senyum Riko. Kesan khusus saat memasak berdua di dapur yang sempit.


Dulu aku tidak pernah tertarik dan hanya menganggap memasak sebagai hal yang merepotkan. Tapi ternyata sangat menyenangkan saat bersama Riko.


Walaupun aku hampir setiap hari bekerja paruh waktu dan jarang berada di rumah saat Riko memasak, aku ingin membantunya lagi kalo ada kesempatan.


Aku tahu seharusnya tidak terbawa suasana, tapi perasaanku sedikit demi sedikit mulai ingin menikmati masa-masa seakan-akan kami adalah pasangan pengantin baru.







Selanjutnya



Posting Komentar

نموذج الاتصال