> CERITA 3

CERITA 3

 Kamu saat ini sedang membaca   Tsukushita garina uchi no yome ni tsuite derete mo ī ka?  volume 2,  chapter 1 cerita 3. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makinsemagat+buat dana untuk beli raw

CARA YANG TEPAT BAGI PASANGAN SMA UNTUK MENGHABISKAN WAKTU BERSAMA (EDISI HARI BIASA) ①



Hari itu, sepanjang hari, berbagai hal yang melelahkan terjadi.  


Pertama-tama, aku terus-menerus menerima tatapan dari sekeliling.  


Bukan hanya saat istirahat atau ketika berpindah kelas, bahkan selama pelajaran berlangsung pun begitu. 

 

Ketika aku berbohong kalo Riko adalah teman masa kecilku, aku memang menarik perhatian, tapi jelas tidak sebanding dengan yang terjadi kali ini.  


"Lihat, itu orang yang berpacaran dengan Hanae-san..." 


"Eh... Benarkah...?" 


Bersamaan dengan tatapan itu, terdengar pula suara-suara pelan yang sedang bergosip.  


Ya, aku mengerti maksud mereka.  


Mereka pasti berpikir kami tidak sepadan, sulit dipercaya, atau semacamnya. 

 

Aku sendiri pun sependapat, sehingga aku benar-benar memahaminya.  


Meski begitu, aku malah berusaha agar Riko menyukaiku—aku memang menjadi semakin nekat.  


Padahal, pada dasarnya, menjadi pusat perhatian seperti ini sangat tidak kusukai.  


Tapi, bahkan hal yang tidak kusenangi sekalipun, aku rela menghadapinya asalkan tidak kehilangan kehidupan pernikahan bersama Riko.  


Cinta memang mampu mengubah seseorang sedemikian rupa.  


Sungguh membuatku merenung.  


Kembali ke pokok persoalan, selain menjadi bahan perbincangan, ada masalah lain yang cukup merepotkan.  


Yaitu, masalah Sawa.  


"Niiyamaaaaaaa!!! Kenapa kau diam saja?! Ini tidak adil! Kenapa aku harus mendengar kabar tentangmu yang mendapatkan pacar di saat yang sama dengan teman-teman sekelasmu yang tidak penting itu?! Lagi pula, pacarmu ternyata Riko-hime...! Aku merasa sangat iri dan juga merasa begitu hina sampai bisa membuatku stres!!"

 

Begitu kelas pertama berakhir, Sawa berlari ke tempat dudukku dan mulai menggaruk kepalanya. 


Karena tatapan teman-teman sekelas terasa terlalu menyakitkan, aku segera membawa Sawa pergi ke ruang kelas kosong.  


"Sawa, tenanglah. Aku minta maaf telah menyembunyikannya. Pasanganku ini... memang istimewa. Kami berpacaran secara diam-diam, jadi aku tidak bisa mengatakannya."  


"Dulu aku pernah mengatakan kalo Riko-hime menyukaimu. Kau bilang ada gadis lain yang kau sukai, tapi ternyata kalian sudah berpacaran sejak saat itu...?" 


Ah, celaka...


Kebohongan yang kulakukan di masa lalu kini justru menghantuiku...!


Ketika aku bingung harus menjawab apa, Sawa tiba-tiba menyilangkan lengannya sambil berkata, "Hahaan!"


"Tidak usah dijelaskan. Aku mengerti perasaanmu."


"Hah?"


"Walaupun ada gadis lain yang kau sukai, mustahil bisa menolak perasaan Riko-hime yang menggemaskan seperti itu. Aku tidak bisa menyalahkan tindakanmu."


"Ah, ya..."


Entah bagaimana, dia sepertinya telah menerima penjelasanku sendiri, dan itu cukup melegakan.


Tapi, tentu saja gangguan merepotkan dari Sawa tidak berhenti sampai di situ.


Setiap kali istirahat tiba, Sawa terus membanjiriku dengan berbagai pertanyaan tentang Riko.


Mulai dari apa benar Riko-hime yang mengungkapkan perasaannya duluan, hingga sejak kapan kami berpacaran.


Karena kami belum membicarakan detail seperti itu, yang bisa kulakukan hanyalah menjawab, "Aku tidak ingin membicarakannya."


"Kenapa?! Tidak apa-apa memberitahuku kan?"


"Aku tidak bisa membicarakannya."


"Lalu apa alasannya?"


Bahkan di tengah waktu makan siang, Sawa yang duduk di seberangku terus mendesak dengan bersemangat.


Untungnya kantin sekolah ramai seperti biasa.


Aku benar-benar tidak ingin percakapan ini didengar siswa lain...


"Niyama, beritahu aku alasannya.”


"A-alasannya adalah...ya, begitulah. Ada orang lain yang terlibat. Aku tidak bisa sembarangan membicarakannya sendiri."


"Apa-apaan itu. Kedengarannya seperti selebriti yang ketahuan berpacaran. Kalo begitu, tanyakan pada Riko-hime. Tanya apa boleh memberitahu sahabatnya Sawa-kun apa boleh menceritakan tentang hubungan kalian berdua?"


"Aku yang tidak mau, itu saja."


"Tidak, Niiyama. Coba pikirkan baik-baik. Ini kan pertama kalinya kau memiliki pacar?"


"I-iya, tapi apa hubungannya...?"


"Kau pikir bisa selalu memilih jalan yang benar sendirian? Percintaan itu seperti permainan galge. Salah memilih satu kali saja, pacarmu yang selalu kalo dia sangat mencintaimu akan mulai mengatakan hal-hal seperti, 'Niiyama-kun sangat menjijikkan. Aku mau putus'."


"......"


"Aku tanya sekali lagi. Apa kau yakin bisa selalu memilih jalan yang benar sendirian?"


Aku merasakan darah seakan mengering sambil hanya bisa menggelengkan kepalaku. Mustahil aku memiliki keyakinan seperti itu.


"Kalo begitu, kau harus bergantung padaku yang spesialis dalam urusan percintaan ini."


"Tapi Sawa, kau juga belum pernah punya pacar kan..."


"Benar! Tapi sejak kecil aku sudah mempelajari teknik-teknik percintaan dengan sangat mendalam!"


Hmm. Aku penasaran apa aku bisa mengandalkannya atau tidak...


Tetapi menurutku, lebih baik punya teman bicara daripada hanya mengandalkan pemikiranku sendiri.


"Tunggu sampai aku bertanya padanya apa aku boleh menceritakan hal-hal antara aku dan Riko."


"Mengerti! Kalau begitu aku akan mengubah pertanyaannya."


"...Kau masih akan melanjutkan topik ini?"


"Tentu saja! Aku belum mendapatkan informasi yang berarti sama sekali!"


"Kau jelas-jelas menikmati ini ya...?"


"Apa maksudmu? Kekhawatiranku 20%, kesenanganku 80%!"


Itu sama saja dengan mengatakan kau benar-benar menikmati ini...!


"Baiklah, pertanyaan berikutnya - kenapa kau tidak makan siang bersama Riko-hime meski kalian sudah berpacaran?"


"Eh? Apa itu hal yang biasa dilakukan?"


"Coba lihat sana."


Aku melihat ke arah yang ditunjuk Sawa dan aku melihat sebuah meja di mana seorang pria dan seorang wanita tengah makan siang.


"Semua orang menikmati waktu bersama seperti itu. Tidak seperti orang dewasa, hubungan asmara di SMA memiliki waktu terbatas untuk dihabiskan bersama. Bahkan kalo kau ingin kencan setelah sekolah, kalo keluyuran terlalu larut kau bisa kena razia polisi."


"Aku mengerti."


"Kau sendiri kan sudah sibuk dengan berbagai pekerjaan paruh waktumu sampai kau hampir tidak punya waktu luang. Kalo begitu, di hari biasa, bukankah hanya ada waktu istirahat siang dan pulang sekolah saja yang bisa kau gunakan untuk bersama Riko-hime?"


Tentu saja aku tidak bisa mengatakan "Kami selalu bersama di rumah", jadi aku memberikan senyuman ambigu sebagai balasannya.


"Apa? Kok tiba-tiba kau terlihat santai sekali? ...Ah, jangan-jangan───"


"A-apa?"


Aku hampir terkejut setengah mati.


"Jangan-jangan kalian sudah sering kencan di hari libur sampai di hari biasa tidak perlu lagi?! Sial! Aku iri sekali! Mati saja kau!!"


Aku menghela napas lega mendengar teabakan liar Sawa yang melenceng jauh.


"Ne, ne! Kencan seperti apa yang biasa kau lakukan dengan Riko-hime? Aku janji tidak akan memberitahu siapa pun, jadi tolong beri tahu aku!"


"Kencan..."


Pada dasarnya, kami hanya pernah pergi berdua sekali saja saat berbelanja di pusat perbelanjaan itu.


Ini masalah...


Haruskah aku mengarang cerita tentang pengalaman kencan fiktif?


Tapi aku yang belum pernah sekalipun pergi kencan seumur hidupku ini pasti akan langsung ketahuan berbohong.


Kalo sudah begitu, pasti akan muncul pertanyaan kenapa aku harus berbohong, dan bisa-bisa hubungan kami yang sebenarnya akan terbongkar.


Sepertinya lebih baik jujur saja di sini.


"Kami belum pernah pergi kencan."


"Hah?! Kau bohong kan?!"


"Tidak, itu sungguhhan."


"Kenapa bisa?! Eh, tapi foto yang diambil di pusat perbelanjaan itu?!"


"Itu satu-satunya saat kami pergi kelaur bersama, lagipula apa berbelanja di pusat perbelanjaan bisa disebut kencan?"


"Mem-Memang juga... Tapi kenapa kalian tidak pergi kencan?! Ah, apa itu karena kalian menyembunyikan hubungan kalian?"


Sawa memberikan alasan yang menguntungkanku, jadi aku buru-buru menyambutnya.


"Benar! Itulah kenapa kami belum pernah melakukan kencan apa pun."


"Begitu ya. Tapi sekarang kalian bebas pergi ke mana saja!"


"Hah?"


"Baikpah, sekarang kalian kan sudah tidak perlu menyembunyikannya lagi. Ayo langsung pergi kencan akhir pekan ini! Kau kan bilang kalo kau jarang bisa libur kerja paruh waktu. Lalu laporkan hasilnya padaku!"


"Tidak-tidak, aku tidak akan melakukannya!"


"Dengar, pria yang malas mengajak kencan pasti akan dibenci perempuan."


"Eh... Benarkah...?"


"Yah, tentu saja. Pria yang tidak memberikan hiburan atau kegembiraan itu membosankan dan wanita akan cepat kehilangan minat padanya."


Membuat kehilangan minat...


Kata-kata itu begitu menyakitkan hingga membuatku merasa pusing.


Tapi itu kan berlaku kalo Riko benar-benar pacarku, kan?!


Atau... meski bukan pacaran, apa dengan mengajak kencan aku bisa memberikan 'hiburan dan kegembiraan' seperti yang dikatakan Sawa?


Kalo bisa, bukankah kencan itu kesempatan untuk menunjukkan pada Riko kalo 'bersamaku itu menyenangkan'...?


"Lagipula, kalo ketahuan kalo kalian jarang bersama di sekolah bahkan tidak pernah berkencan, itu bisa bahaya. Pria lain mungkin akan mulai mendekati Riko-hime. Selama ini dia tidak dekat dengan pria manapun, jadi semua hanya mengaguminya dari jauh. Tapi sekarang dia punya pacar, dan pacarnya hanya Niiyama yang biasa-biasa saja. Bisa-bisa gelombang pengakuan cinta seperti saat dia baru masuk sekolah akan terulang."


"...Itu masalah besar..."


"Benar, kan? Mungkin ada pria di luar sana yang tidak peduli kalo dia sudah punya pacar atau tidak. Kau tidak boleh membiarkan mereka berpikir ada celah dalam hubungan kalian."


"Begitu ya. Tapi... apa yang harus aku lakukan untuk menutup celah itu...?"


"Yaitu makan siang sambil mesra-mesraan, berjalan ke dan dari sekolah berdua sambil mesra-mesraan. Tunjukkan pada semua orang kalo kalian adalah pasangan yang sangat mesra sampai tidak ada yang bisa mencampuri!"


"Tapi... bagaimana kalo Riko tidak mau..."


"Kenapa dia harus tidak mau? Bukankah Riko-hime menyukaimu?"


"Itu... ada situasi yang cukup rumit."


Sangat merepotkan tidak bisa mengatakan yang sebenarnya di saat seperti ini.


"Situasi rumit? Aku tidak terlalu mengerti, tapi contoh yang aku berikan tadi adalah hal biasa yang dilakukan pasangan pelajar yang berpacaran."


"...Makan siang sambil bermesraan?"


"Tentu saja tingkat kemesraannya berbeda-beda tergantung orangnya, tapi hampir semua pasangan menghabiskan waktu istirahat makan siang mereka bersama dan pergi-pulang sekolah berdua. Sebaliknya, kalo tidak melakukan hal-hal seperti itu, bukankah sama saja mempertanyakan tujuan berpacaran? Dari sudut pandang perempuan, pacar yang tidak melakukan hal-hal romantis meski sudah resmi berpacaran adalah yang terburuk. Itu membosankan dan membuatnya bertanya-tanya 'Untuk apa aku berpacaran dengan orang ini?'"


"Apa... Benarkah?!"


"Tidak salah lagi. Ingat, berpacaran bukanlah tujuan akhir. Yang lebih penting justru setelah mulai berpacaran. Kau harus terus menghibur dan membuatnya jatuh cinta padamu, atau dia akan langsung meninggalkanmu." 


Meski sebenarnya kami bahkan belum resmi berpacaran, kata-kata Sawa mengandung petunjuk tentang hal yang ingin kuketahui.


"Sawa, aku memang ingin berkonsultasi tentang hal itu! Menurutmu, apa yang harus aku lakukan untuk membuat seorang gadis jatuh cinta padaku?"


"Apa maksudmu? Bukankah Riko-hime sudah jatuh cinta padamu?"


"Ah... Iya, tapi..."


Tentu saja aku tidak bisa mengatakan kalo sikap Riko hanyalah akting, dan aku berencana berusaha membuatnya benar-benar menyukaiku.


"Benar! Seperti yang baru saja kau katakan - 'harus terus membuatnya jatuh cinta atau dia akan meningalianku'. Maksudku, aku ingin berusaha untuk itu."


"Ah, begitu. Kalo begitu sederhana saja. Untuk membuat seorang gadis tetap mencintaimu, yang paling penting adalah perhatian tulus sehari-hari!"


Sawa sama sepertiku, belum pernah memiliki pacar sama sekali.


Tapi tidak sepertiku, dia menghabiskan waktu luangnya membeli novel-novel romantis, membaca majalah-majalah khusus hubungan asmara, bahkan mengumpulkan buku-buku pengembangan diri tentang percintaan. Pengetahuannya tentang hubungan romantis cukup luas.


Bagi seorang seperti diriku yang sama sekali tidak tahu harus berbuat apa, Sawa mulai terlihat seperti seseorang yang sangat dapat aku andalkan.


"Apa yang kau maksud dengan 'Perhatian tulus sehari-hari itu?' Tolong jelaskan lebih detail."


"Hmm. Maksudku, seperti yang aku katakan tadi, makan siang bersama pacar setiap hari, pulang sekolah berdua, memprioritaskan interaksi sehari-hari seperti itu sambil melakukan hal-hal kecil yang bisa menyenangkan hatinya. Misalnya, kalo dia membuatkan bekal, pujilah dengan antusias meski rasanya tidak enak, atau kalo dia mengubah gaya rambut sedikit saja, berilah pujian yang berlebihan. Saat pulang bersama, sengaja jemput dia di kelasnya biar merasa seperti putri. Ada pepatah 'ikan yang sudah dipancing tidak perlu diberi umpan lagi', tapi itu sudah ketinggalan zaman. Sekarang, kalo pria bersikap seperti itu, pacarnya akan segera berpaling dan meninggalkannya. Di era sekarang, pria biasa yang perhatian dan menyenangkan lebih populer daripada pria tampan yang membosankan."


[TL\n: maksud pepatah tu Sesuatu yang sudah pasti atau sudah didapatkan tidak perlu diusahakan lagi secara berlebihan.]


"Aku... mengerti..."


Baik untuk mendapatkan hati seorang gadis maupun mempertahankan perasaannya, keduanya sepertinya cukup sulit.


Meski begitu, setidaknya ada secercah harapan.


Meski mustahil untuk ku untuk menjadi pria yang tampan, menjadi pribadi yang penuh perhatian adalah hal yang bisa aku capai dengan usahaku sendiri.


"...Baiklah. Aku mengerti. Untuk permulaan, aku akan mengajak Riko pulang bersama hari ini."


"Bagus! Itu baru semangat! Dan kalo ada kejadian pahit-manis yang terjadi, laporkan padaku ya!"


Dengan mata berbinar seperti ibu rumah tangga yang menyaksikan acara gosip, Sawa merangkul bahuku.


Sepertinya Sawa sudah beralih ke mode menikmati hubunganku dengan Riko sebagai hiburan.


Memang dia selalu sangat menyukai cerita-cerita romantis...


Tapi bagaimanapun, dia adalah satu-satunya tempatku berkonsultasi, jadi aku tidak bisa menolaknya.


Sejujurnya, aku sempat khawatir Sawa akan marah karena dia sebenarnya menyukai Riko.


Tapi alih-alih marah, dia justru dengan tulus memberkati kami dengan riang dan aku sangat berterima kasih padanya.


Tentu saja aku tidak akan mengatakannya padanya langsung karena dia pasti akan menjadi sombong.


"Besok aku tidak sabar mendengar laporan dari Niiyama!"


"Jangan punya ekspektasi yang aneh-aneh..."


"Jangan konyol. Kalian adalah pasangan nyata pertama di sekitarku! Aku akan memeras semua informasi yang bisa kudapat dari kalian sampai kalian kehabisan tenaga."


"...Dengan ucapan seperti itu, aku malah jadi ingin merahasiakan apapun yang terjadi darimu Sawa."


"Hey, setelah semua bantuanku, jangan seperti itulah, Niiyama!"


Aku bersyukur atas bantuan Sawa, tapi menjadi bahan hiburan... itu agak...


Lagipula, bahkan kalo Riko mau pulang bersamaku, kecil kemungkinan akan terjadi momen manis seperti yang diharapkan Sawa.


Tapi prediksiku yang begitu percaya diri itu ternyata meleset.



Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال