Kamu saat ini sedang membaca Tsukushita garina uchi no yome ni tsuite derete mo ī ka? volume 2, chapter 1 cerita 1. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makinsemagat+buat dana untuk beli raw
CERITA 1 ISTRI DAN PACAR?
──Malam yang istimewa bersama Riko, di mana banyak hal terjadi.
Bahkan setelah sendirian, aku tidak bisa tidur karena aku terus memikirkan bagaimana caranya agar Riko menyukaiku.
Meski aku sudah memutuskan untuk berusaha, aku tetap tidak tahu harus mulai dari mana.
Sebagai seseorang yang tidak berpengalaman dalam urusan cinta, sebanyak apa pun aku memikirkannya, tidak ada ide yang bisa kutemukan.
Saat aku sampai pada kesimpulan itu, cahaya pagi mulai menyinari kamarku.
...Mungkin aku harus mencoba berkonsultasi dengan seseorang yang paham soal hal seperti ini.
Sawa...sepertinya bukan orang yang bisa diandalkan untuk urusan seperti ini.
Tapi, aku juga tidak bisa memikirkan siapa lagi yang bisa menjadi pilihan.
★★★
Sambil terus mengeluh pelan di sepanjang perjalanan ke sekolah, aku tiba di pintu masuk dan segera menyadari ada sesuatu yang berbeda dari biasanya.
Entah kenapa, aku merasa banyak tatapan mengarah kepadaku.
Semua orang terlihat melihat ke arahku dan berbisik-bisik.
...Apa ini?
Aku belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya.
Dengan perasaan bingung, aku melangkah menuju ruang kelas───dan di sanalah aku melihatnya.
"...Apa ini?"
Koran sekolah ditempel di papan tulis.
Di atasnya, tertulis dengan kapur berwarna merah muda.
───Sang putri tercantik di sekolah, Riko Hanie, memilih pacar...
Seorang siswa paling biasa di sekolah!?
Dalam foto di koran sekolah, Riko dan aku terlihat membawa tas ramah lingkungan.
"....."
Tercengang, aku menatap sekeliling kelas—dan tatapanku bertemu dengan tatapan teman-teman sekelas yang sedang memegang koran sekolah itu.
"Shinyama...! Ini...maksudnya apa, hah!?"
Sawa berlari menghampiriku, sambil menggenggam koran sekolah di tangan kanannya.
Suasana kelas langsung berubah hening.
Teman-teman sekelas menatapku dengan penuh rasa ingin tahu, menunggu jawabanku.
"Uh..."
Karena sama sekali tidak membayangkan akan menghadapi situasi seperti ini, pikiranku benar-benar kosong.
Yang jelas, aku harus mencari cara untuk menutupinya...!!
Tapi setelah foto seperti itu tersebar, aku benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa.
Tidak mungkin alasan kami hanya teman masa kecil akan cukup untuk meyakinkan mereka.
Saat itulah──
Di saat yang paling tidak tepat, Riko yang datang sedikit lebih lambat dariku, muncul di ambang pintu kelas.
★★★
Kalo dibiarkan seperti ini, Riko akan jadi sasaran rasa ingin tahu semua orang.
Apa pun yang terjadi, aku harus melindunginya.
Sedetik setelah aku memikirkan itu, tubuhku mulai bergerak sendiri.
"Riko, sini!"
Begitu aku menggenggam tangan Riko dan mulai berlari, sorakan penuh semangat langsung pecah dari teman-teman sekelas yang terlihat sangat antusias.
Tanpa berhenti, aku terus menggandeng Riko menyusuri lorong, menaiki tangga, dan menuju ke atap sekolah.
"Minato-kun..."
Riko memanggil namaku sambil terengah-engah.
"Ah! Maaf!"
Dengan panik aku buru-buru melepaskan tangan Riko yang ku genggam erat.
"Riko, soal tulisan di papan tadi..."
Aku menjelaskan padanya situasi yang terjadi sebisa mungkin, sejauh yang aku pahami.
Semakin lama dia mendengarkan, wajah Riko terlihat semakin pucat.
"Bagaimana ini... Maaf... maaf, ya...! Ini semua karena aku yang mengajakmu ke pusat perbelanjaan..."
"Itu bukan salahmu, Riko. Aku juga terkejut saat tahu ada yang memotret kita, tapi tetap saja..."
Begitu aku mengatakan itu, Riko menggelengkan kepalanya dengan ekspresi sedih.
"Bukan begitu..."
"Eh?"
"...Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya hal seperti ini terjadi..."
"Eh..."
Aku sendiri sebenarnya sudah beberapa kali melihat nama Riko muncul dalam koran sekolah.
Kalo dipikir-pikir, isi artikel-artikel itu sebenarnya sudah melanggar privasi Riko.
Memang bisa dimengerti kalo menulis tentang siswa populer akan menarik perhatian banyak orang.
Tapi tetap saja, seharusnya hal seperti itu dipublikasikan setelah mendapat izin dari yang bersangkutan.
Koran sekolah bukanlah tabloid gosip.
"Seandainya saja aku lebih tegas meminta mereka berhenti dari awal... Ini semua salahku. Maaf ya, Minato-kun, aku malah menyeretmu ke dalam masalah ini. Aku akan bicara pada mereka, supaya kejadian seperti ini tidak terulang lagi... Tapi soal keributan yang sudah terlanjur terjadi sekarang, aku harus bagaimana..."
Riko menunduk dengan ekspresi gelisah di wajahnya.
Aku tidak bisa membiarkan Riko terus menunjukkan wajah seperti itu.
Aku harus melakukan sesuatu.
Lalu, dalam situasi seperti ini, apa langkah terbaik yang bisa kuambil?
Yang jelas, satu hal yang benar-benar harus dihindari adalah terbongkarnya kenyataan kalo kami tinggal bersama dan bahkan sudah menikah.
Kalo sampai hal itu terungkap, pasti perhatian yang tertuju pada kami akan jauh lebih besar dari sekarang.
Dan semua sorotan itu hampir pasti akan tertuju pada Riko, bukan aku.
Itulah sebabnya, kami harus memastikan tidak ada satu orang pun yang mengetahui pernikahan kami.
Aku kembali membaca artikel yang tadi kurebut dari tangan Sawa.
Yang ditulis di sana hanyalah tentang kami yang berbelanja bersama di pusat perbelanjaan dan pulang bersama ke rumahku.
Di dalam artikelnya, hanya disebutkan kalo kemungkinan besar kami sedang berpacaran.
"...Riko, bagaimana kalo...kita mengakui saja kalo kita memang sedang berpacaran?"
"Eh?"
"Dalam situasi seperti ini, rasanya akan sulit untuk meyakinkan orang kalo hubungan kita benar-benar tidak ada apa-apa, jadi aku pikir...itu masih lebih baik daripada rahasia pernikahan kita terbongkar."
Begitu aku melihat Riko yang terkejut dengan mata terbelalak, aku langsung merasa seperti baru saja mengajukan usulan yang keterlaluan.
"Maaf! Lupakan saja yang barusan, anggap aku tidak mengatakan apa pun barusan───"
"Aku pikir itu ide bagus!!"
"...Serius?"
"Ya! Kalo Minato-kun tidak keberatan, aku sangat setuju! Kalo kita mengaku sedang berpacaran, nanti kalo kita belanja bareng atau pulang bersama pun orang-orang tidak akan menganggapnya aneh! Dan aku juga jadi bisa melakukan semua hal yang selama ini ingin kulakukan bersama Minato-kun!"
"Riko...apa kau punya hal-hal yang ingin kau lakukan bersamaku?"
"Ah...! I-itu tadi cuma keceplosan, jadi tolong lupakan saja...!"
"Hmm?"
Aku tidak terlalu mengerti maksudnya, tapi karena dia memintaku melupakannya, aku mengangguk saja.
"Tapi aku rasa tidak akan ada yang percaya kalo aku mengatakan kalo aku adalah pacar Riko."
"Kenapa?"
"Soalnya rasanya kita tidak seimbang."
"...Ugh. Maafkan aku... Aku akan berusaha menjadi gadis yang lebih baik dan lebih pantas untuk Minato-kun..."
"Eh!? Bukan itu maksudku! Maksudku aku yang tidak pantas untuk jadi pacar Riko, bukan sebaliknya!"
Kalo aku mengatakan itu pada Riko, sudah pasti Riko akan menyangkalnya.
Dan benar saja, dia langsung buru-buru berkata, "Tidak seperti itu kok!" dengan nada bersungguh-sungguh, sampai aku rasanya ingin merangkak ke dalam lubang.
"U-uh, bagaimana kalo kita kembali ke kelas sekarang? Jam pelajaran juga sebentar lagi dimulai."
"Ya... Tapi aku gugup saat aku harus mengumumkan kalo kita sedang berpacaran..."
"Riko, aku tanya sekali lagi, apa kau benar-benar tidak keberatan? Walaupun ini hanya kebohongan, semua orang akan mengira kalo kau pacaran dengan orang seperti aku, lho."
Apakah kamu tidak malu bersama orang sepertiku?
Aku ini bahkan sampai disebut tipe pria paling membosankan di sekolah.
Saat aku bertanya sambil menahan keraguan itu, Riko mengangguk pelan dengan pipi yang memerah.
"...Buatku, ini seperti mimpi yang jadi kenyataan."
"Eh?"
"Eh, maksudku bukan itu! Lupakan saja! ...Ngomong-ngomong, waktu kita kembali ke kelas nanti, apa kau mau berpegangan tangan?"
"Eh—uhuk! Uhuk! Uhuk! Ke-kenapa?"
Aku bertanya sambil terbatuk kaget.
"Soalnya waktu kita keluar kelas tadi, kita juga saling berpegangan tangan, kan?"
"Y-ya, memang sih..."
"Jadi, kalo kita kembali dengan cara yang sama, mungkin orang-orang akan lebih mudah percaya kalo kita ini benar-benar pacaran."
Riko menatapku dari bawah sambil sedikit memiringkan kepalanya, bertanya, "Boleh, ya?"
Ti-tidak masuk akal, kenapa dia bisa seimut ini...
Tidak perlu diragukan lagi, aku langsung mengangguk tanpa pikir panjang.