Kamu saat ini sedang membaca Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu volume 1 chapter 10. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw
...........MENGINAP...........
Di bawah cahaya lampu jalan yang berkedip-kedip jarang, aku kembali ke rumah dan berbaring santai di sofa.
Ada kabar kalo acara lanjutannya akan diadakan di karaoke, tapi aku memilih untuk tidak ikut.
Meskipun undangan dari Ayaka membuat teman-teman bersikap hangat kepadaku, itu adalah hal yang berbeda.
Setelah itu, beberapa anggota klub yang dipanggil oleh Ayaka dan Natsuki membantu menghangatkan suasana di meja, dan acara minum menjadi momen yang menyenangkan.
Berkat alkohol yang membuat keberanianku bertambah, aku pun tidak perlu repot menjaga sikap.
Di meja minum, keakraban memang terbentuk dengan cepat.
"Senpai, sebentar lagi cuci piringnya selesai. Ternyata sudah cukup banyak yang menumpuk, ya?"
“Terima kasih.”
Alasan Shinohara masih berada di rumahku meskipun aku menyuruhnya 'pulang' adalah karena dia menghabiskan di minimarket terdekat.
Kebetulan hari ini berbagai majalah mengeluarkan edisi baru, sehingga waktu terasa berlalu dengan cepat baginya.
Sementara Shinohara sedang mencuci piring, aku pun bersantai, tapi seiring waktu, kepalaku mulai terasa berat, mungkin karena aku yang sedang mabuk.
Akhirnya, aku merasakan tanda-tanda Shinohara selesai dari dapur, dan aku membuka mata sedikit.
"Tei!"
Suara tepukan yang bagus terdengar di pipiku.
Sensasi dingin di telapak tangannya menunjukkan kalo Shinohara dengan penuh semangat menepukkan tangannya ke wajahku.
"Aduh..."
"Ah, sepertinya senpai belum sepenuhnya sadar, ya? Kalo Senpai yang biasanya, pasti dia sudah marah di sini."
Shinohara mengusap pipiku sambil tersenyum kecil.
"Aku mabuk."
"Jelas sekali, kok."
Aku aku mencoba memalingkan wajahku, tapi tangan Shinohara tidak bergerak.
Aku merasa dia semakin mendekat, menandakan kalo Shinohara mungkin ada di dekatku.
Mataku perlahan terpejam, dan dengan kepala yang berat, aku menyadari kalo aku benar-benar mabuk.
Baru saja aku melakukan percakapan seperti itu dengan Reina, tapi saat merasakan tangan Shinohara yang dingin, pikiranku terasa kosong, aku merasa kalo aku tidak perlu memikirkan apa pun.
"Senpai?"
".....Rasanya nyaman."
"Oh, iya. Itu karena aku baru selesai mencuci piring."
Ngomong-ngomong, hari ini Shinohara sepertinya belum makan di sini.
Artinya, dia hanya mencuci piring milikku saja.
Melihat aku yang mabuk, dia mungkin tahu kalo pekerjaan rumah tangga akan terabaikan hari ini, jadi dia melakukannya untukku.
"Terima kasih."
Saat aku mengucapkan terima kasih, Shinohara tertawa kecil.
"Ini kan bukan hal baru. Kalo mau mau berterimakasih, bilanglah dari dulu."
"Biasanya sebagai pengganti uang sewa..."
"Tidak apa-apa kalo kau memahaminya sekarang."
Shinohara mencubit pipiku pelan, lalu mengusapnya dengan lembut.
[TL\n: jay TTM (teman tapi mesra) jadi pengen punya temen kaya gini.]
Beberapa detik berlalu dalam keheningan.
Bukan keheningan yang canggung, melainkan yang terasa menenangkan.
"Apa kau mau menginap di sini? Malam ini."
Tanpa sadar, aku mengatakan hal itu.
Entah karena mabuk atau karena aku sebenarnya ingin dia tetap di rumahku?
Mendengar tawaranku, Shinohara menunjukkan ekspresi terkejut.
"Aku tidak membawa baju ganti, tapi kalo Senpai tidak masalah..."
Tidak butuh waktu lama bagi Shinohara untuk memberikan jawabannya.
★★★
"Lagipula, mengusir orang bahkan saat waktu sudah hampir tengah malam itu sebenarnya sudah tidak wajar."
Shinohara mengatakan itu sambil mengobrak-abrik laci lemari pakaian ku dengan nada kesal.
Akulah yang memintanya mencari pakaian yang bisa dipakai, tapi melihat pakaian bertumpuk semakin tinggi membuatku merasa gelisah.
Sepertinya Shinohara menyadari kegelisahanku, dan dia tersenyum tipis.
"Jangan khawatir, aku akan melipatnya dan menata ulang. Tadi ketika aku masuk kesini juga sudah berantakan, jadi sekalian saja aku keluarkan semuanya."
"Oh, begitu."
Aku merasa lega dan dan berguling.
Kalo begitu, tidak masalah kalo dia membuatnya berantakan sebanyak apa pun.
Malah, aku berharap dia bisa sekalian membereskan isi lemari ini untukku.
Memang itu sedikit tidak bertanggung jawab, tapi tubuhku yang terasa berat karena alkohol tidak ingin mendengarkan.
"Senpai, aku pinjam yang ini saja, ya?"
Sesaat setelah aku berguling, dia memanggilku lagi, dan dengan sedikit malas, aku membalikkan badanku lagi.
Di antara jarinya, dia memegang jersey yang biasa kupakai untuk kegiatan basket.
Karena memang bisa digunakan sebagai pakaian tidur, aku pun mengizinkannya.
"Boleh saja kok. Maaf ya, di sini tidak ada pakaian perempuan."
"Kalo ada justru aku akan sangat kaget."
Mendengar jawabannya, aku memastikan dalam hati kalo barang-barang milik Reina memang sudah tidak ada lagi.
Setelah kami putus, aku memang tidak sempat menata ulang isi lemariku, sehingga aku sempat merasa sedikit cemas.
Tapi, melihat Shinohara yang terlihat santai, tampaknya memang tidak ada apa pun yang tertinggal.
Aku sering melihat isi lemari pakaian, tapi jarang sekali melihat isi laci lemari, jadi ingatanku pun samar-samar.
"Oh ya, Senpai saat ini kau tidak punya pacar, kan? Apa tidak apa apa aku menginap di sini malam ini?"
"Iya, untuk sekarang tidak ada. Jadi, tidak masalah."
Mungkin karena mendengar kata 'sekarang', membuat Shinohara menghentikan tangan yang sedang melipat pakaian yang berantakan.
Aku belum pernah bercerita pada Shinohara kalo sampai baru-baru ini, aku punya seorang pacar.
Meski aku pernah membahas pandangan tentang percintaanku, aku sama sekali tidak pernah menyebutkan kejadian apa pun yang terjadi antara aku dan Reina.
Sebenarnya, aku ingin sebisa mungkin menghindari berbicara tentang Reina dengan seseorang yang sama sekali tidak tahu apa-apa.
Tapi, pertemuan kembali dengannya melalui telepon telah membangkitkan ingatan masa lalu dengan jelas.
Sekarang, aku mulai merasa berat untuk memikulnya sendirian.
Mungkin perasaan seperti itulah yang membuatku berbicara dengan nada tersirat kepada Shinohara, berharap tanpa sadar agar dia menyadarinya.
"Aku baru saja putus."
Mengungkapkan keberadaan Reina kepada seseorang yang tidak tahu apa-apa cukup menguras tenagaku.
Kalo bukan karena hari itu adalah hari ketika Reina meneleponku, dan kalo bukan Shinohara orangnya, aku mungkin tidak akan bercerita.
Hari ini adalah hari istimewa di mana kebetulan semua syarat itu terpenuhi.
"Sudah berapa lama kalian pacaran?"
Shinohara bertanya, sepertinya dia hanya menyela saat sedang melipat baju tanpa terlalu memperlihatkan ketertarikan.
"Setahun, kurasa."
"Oh."
"Ada apa?"
"Setahun itu cukup lama, bukan?"
"Kurasa itu waktu yang biasa saja."
Saat SMA, banyak pasangan yang putus setelah 3 bulan, atau bahkan dalam waktu 1 bulan saja.
Tapi di masa kuliah, durasi itu bisa dikatakan tergolong cepat.
Setahun bukan waktu yang terlalu lama, tapi juga tidak terlalu singkat.
Shinohara tampak mengembungkan pipinya setelah mendengar jawabanku.
"Pacaranku cuma 3 bulan."
"Oh, ya, kalo kau memang begitu."
"Astaga! Kau menghinaku, ya!"
"Bukan begitu, aku tidak ada maksud lain."
Aku berguling, mencoba menjauh dari suara yang mengganggu.
Berbicara tentang Reina, membuat perasaanku menjadi sedikit lebih ringan.
Selain itu, karena Shinohara tidak bertanya lebih jauh dari yang kuduga, aku merasa lega.
Memikulnya sendiri memang hal yang berat, tapi seiring pembicaraan, justru lebih menyakitkan untukku mengingat-ingat kejadian di masa lalu.
Mungkin rasa lega ini mempercepat efek mabukku.
Seketika, rasa kantuk yang luar biasa menyerang, dan aku pun menyerah tanpa perlawanan, melepas kesadaranku perlahan.
★★★
Terdengar suara pintu kamar mandi tertutup, membuatku perlahan membuka kelopak mata yang terasa berat.
Rasa berat di kepalaku akibat alkohol sudah agak berkurang, tapi aku masih belum ingin bangun.
Aku mengambil Hp-ku dan mengecek jam berapa sekarang, ternyata sekarang sudah jam 2 pagi.
Artinya, aku tertidur sekitar 2 jam.
"Apa aku mbangunkanmu?"
Aku mengubah posisi tubuhku ke arah suara di lorong dan mendapati Shinohara dengan ekspresi sedikit bersalah, mengenakan jersey milikku.
Aromanya setelah mandi tercium dari lorong, dan aku bertanya-tanya kenapa aroma sampo yang sama bisa tercium begitu harum.
"Senpai?"
"Tadi aku tidur."
"Aku tahu kok. Apa kau tidak mendengar apa yang aku katakan tadi?"
Ketika aku duduk, rasa lelahku semakin terasa.
Rasanya aku seperti baru saja mengalami mimpi yang panjang, meski aku hanya tertidur sebentar.
Katanya, seseorang cenderung mengingat mimpi yang dialaminya tepat sebelum terbangun, jadi mungkin durasi tidur tidak begitu berpengaruh.
"Senpai apa kau baik-baik saja? Sebaiknya kau minum air dulu."
"Tidak usah."
Aku berpindah ke tempat tidur dan langsung menjatuhkan tubuh lagi.
Bagi kebanyakan laki-laki, melihat Shinohara mengenakan pakaian mereka sebagai baju tidur mungkin akan membuat jantung berdebar.
Berdiri di depan seorang pria yang mabuk dengan sikap yang agak tidak waspada mungkin bukan hal yang biasa.
Tapi, situasi menggembirakan ini tap tidak mampu mengalahkan rasa lelah yang kurasa masih akan tersisa hingga besok.
Shinohara terlihat sedikit kesal karena aku tidak menunjukkan reaksi apapun terhadap pakaiannya.
"Senpai, apa kau tidak ada reaksi sama sekali?"
"Apa maksudmu?"
"Bukannya aku mau memuji diri ku sendiri, tapi──"
"Ya, ya, situasinya sangat mewah karena ada gadis cantik yang memakai baju laki-laki, kan? Aku mengerti. Terima kasih, selamat malam."
Sambil mengatakan itu, aku menutup wajahku dengan selimut agar cahaya tidak masuk ke mataku.
Tapi selimut itu segera ditarik.
"Silau, aku bisa meleleh. Sebenarnya aku ini vampir──"
"Kalau kau vampir, Kau pasti segar bugar di jam segini. Jangan bicara yang aneh-aneh."
Shinohara mendengus dan menempelkan sesuatu yang dingin di dahiku.
"Apa ini?"
"Minuman yang bagus untuk mengatasi mabuk. Tadi aku ke minimarket dan membelinya."
"Oy, itu bahaya. Gadis cantik sepertimu keluar di jam segini."
"Bukannya selama ini Senpai selalu tidak mengizinkan ki menginap sampai larut malam? Kenapa sekarang kau malah bilang begitu?"
Shinohara tersenyum lalu meletakkan obat di sampingku.
Sebagai pencegahan mabuk, aku langsung menenggaknya sekaligus, dan membuang kemasan kosongnya ke tempat sampah.
"Pahit sekali."
"Obat yang manjur memang biasanya pahit."
"Ya, itu ada benarnya. Terima kasih."
"Ah, sama-sama."
Saat itulah aku pertama kali benar-benar menatap wajah Shinohara.
Karena aku terlalu terfokus pada jersey-ku yang dia kenakan, aku tidak menyadari kalo kali ini Shinohara tidak memakai riasan, dia tampil dengan wajah polosnya.
Ada satu lagi alasan kenapa aku baru menyadarinya.
Selain karena teralihkan oleh jersey-ku, aku memang tidak terlalu memperhatikan sebelumnya.
"Kau tetap cantik meski tanpa riasan."
"Senpai, kau mendapatkan 100 poin. Pujian seperti itu akan membuat perempuan senang."
Melihat Shinohara mengacungkan jempolnya dengan semangat, aku tertawa.
"Lalu, apa komentar yang mendapat 0 poin?"
"Itu adalah, 'Kau lebih cantik tanpa riasan'"
"Maksudnya?"
"Begini, kalo ada yang bilang kami lebih cantik tanpa riasan, itu membuat kami merasa riasan kami jadi tidak berarti. Kami berdandan supaya sedikit lebih menarik."
Dari nada bicaranya yang penuh semangat, kemungkinan besar dia pernah mendengar komentar seperti itu beberapa kali.
Meski aku tidak sengaja mengatakannya, pujianku ternyata tepat di matanya.
"Kadang ada saja orang yang bilang, 'Lihat, kau lebih cantik tanpa riasan!' saat kami ikut acara seperti kemah. Mereka sama sekali! Tidak mengerti!"
"Tenang, tenang, Shinohara. Tenanglah."
"Demi riasan, kami sudah mengeluarkan uang untuk membeli berbagai produk yang mahal! Tapi kalo─"
Aku menutup mulut Shinohara dengan tanganku.
Meskipun dia sedikit meronta, saat aku menunjuk jam dinding, dia pun segera terdiam dan aku melepaskan tanganku.
"Maaf. Aku terlalu bersemangat di tengah malam."
"Emosimu tidak stabil, ya?"
"Itulah betapa berlawanannya komentar seperti itu."
"Ya, ya, ayo kita tidur."
Sebenarnya, pembicaraan ini tidak begitu penting bagiku karena aku memang sudah benar sejak awal.
Dan ini bukan pertama kalinya aku mendengar cerita seperti ini.
Setahun yang lalu, Ayaka pernah mengatakan hal yang sama.
Meskipun si pemberi pujian mungkin menganggap itu adalah pujian tertinggi, nyatanya di balik itu justru bisa membuat perempuan merasa kesal.
Ini menunjukkan bahkan dalam memuji, pemilihan kata sangatlah penting.
"Kalo perasaan ingin memuji sudah tersampaikan, maafkan saja mereka."
Ketika aku secara tak sengaja membela kaum pria, Shinohara tertawa.
"Bukan berarti aku benar-benar marah, kok. Hanya saja, tadi aku terbawa suasana."
"Begitu, ya? Ya, jangan sampai merasa tidak nyaman."
"Itu tergantung orangnya. Kalo dari Senpai, aku tidak masalah."
"Oh begitu. Senang mendengarnya."
"Wah, nadamu datar sekali. Kalo bersikap seperti itu, besok aku tidak mau memasakkan makan untuk mu."
Itu masalah besar.
Kemungkinan besar, setelah bangun nanti tubuhku masih terasa berat, jadi aku akan sangat butuh dia memasak.
Meski sudah minum minuman pencegah mabuk, tetap saja bangun dan bergerak di pagi hari terasa berat.
"Maaf. Maaf, ya."
"Langsung berubah, ya. Benar-benar tak tahu malu."
Shinohara mendengus lalu merebahkan diri di sofa.
"Apa kau tidak mau melakukan perawatan kulit dulu?"
"Aku sudah melakukan perawatan yang dasar saja. Tapi di kamar mandi hanya ada produk untuk pria. Apa benar kalo Senpai pernah punya pacar?"
"Kalo ada barang-barang peninggalan mantan, itu malah aneh, kan? Semua barang pribadinya sudah aku kembalikan."
Aku memang punya pelembap, tapi tidak ada masker wajah.
Mungkin kalo aku punya kesadaran tinggi soal penampilan, aku akan memilikinya.
Tapi, aku hanya mencuci wajahku saja, lalu perawatan setelahnya kulakukan seadanya.
Shinohara menguap, lalu meraih selimut dari sofa dan menyelimutkan dirinya.
"Hei, rambutmu belum dikeringkan?"
"Hari ini biar kering alami saja. Suara hair dryer itu berisik."
Mungkin dia juga memikirkan tetangga.
Meski aneh mendengar ini dari orang yang tadi berbicara dengan suara keras, kepeduliannya patut diapresiasi.
"Ini kabar baik untukmu, Shinohara. Hair dryer-ku hampir tidak bersuara dan performanya tinggi."
"Serius?"
"Serius."
Shinohara langsung bangkit dan kembali ke kamar mandi.
Rambut memang mahkota bagi seorang perempuan.
Shinohara juga sepertinya agak keberatan jika harus membiarkan rambutnya kering secara alami yang bisa merusak rambutnya.
Walau ini apartemen, temboknya cukup tebal, jadi tidak perlu terlalu khawatir soal kebisingan.
Suara halus terdengar dari arah kamar mandi, dan aku merasa senang telah membeli pengering rambut yang berkualitas tinggi.
Aku baru ingat, mungkin dia tidak tahu di mana pelembapnya, jadi aku pergi ke kamar mandi.
Ketika aku membuka pintu, aku melihat Shinohara menaruh Hp-nya di meja kamar mandi, sambil menonton video dan mengeringkan rambutnya.
Pemandangan santainya saat mengeringkan rambut membuatku sedikit terpesona.
"Pelembapnya ada di rak atas. Kau belum menggunakannya, kan?"
Aku berusaha menjaga suara tetap datar agar dia tidak menyadari perasaanku.
"Wow, Senpai! Aku kaget tau."
Shinohara bergidik seolah merasakan sesuatu yang menakutkan dan bahunya bergetar.
"Ini sudah tengah malam. Masuklah dengan cara yang tidak membuat orang kaget."
"Apa kau takut hantu?"
"Apa ada orang yang tidak takut hantu? Kalo di tanya percaya atau tidak, mungkin aku bisa mengerti. Tapi aku rasa tidak ada orang yang benar-benar bisa santai dengan hantu."
[TL\n: ada nuh, gua dan keluarga gua gak takut hantu, bahkan kak gua B aja pas ketemu hantu, trus tu hantunya malah di suruh balik ke tempatnya.]
Aku setuju dengan itu, tapi rasa iseng ku sedikit terpancing melihat Shinohara yang terlihat tidak nyaman.
"Sebenarnya aku punya indra ke-6."
"Serius?"
Shinohara menghentikan pengering rambutnya dan menatap ke arah ku.
Mungkin karena dia sudah selesai mengeringkan rambutnya, atau karena rasa ingin tahunya lebih besar.
"Aku biasanya menyembunyikannya. Jadi, kalo ada makhluk semacam itu di belakangmu, aku bisa mengetahuinya."
"...Kau masih mabuk, kan?"
Shinohara terlihat sedikit bingung antara percaya atau tidak.
Memang benar aku masih mabuk, tapi kalo ingin bercanda, sebaiknya aku membuatnya percaya dulu.
Aku pun mulai menceritakan sebuah kisah yang pernah ku baca di internet.
"Ketika aku kelas 3 SD, di pemandian umum dekat rumah ku..."
"Berhenti! Aku mau tidur!"
Shinohara langsung berlari keluar dari kamar mandi, melompat ke tempat tidur ku, dan membungkus dirinya dengan selimut.
Meskipun dia adalah tamu, aku tidak keberatan membiarkannya menggunakan tempat tidur ku, tapi melihat dia melompat tanpa ragu membuat ku berpikir betapa dia sangat tidak suka cerita horor.
"Rasanya kau terlalu cepat menyerah..."
Ketika aku menghela napas, Shinohara mengintip dari balik selimut, menatap ku dengan matanya yang besar.
"Tidak bisa. Aku benar-benar tidak tahan. Kalo kau akan terus melanjutkan ceritanya, aku tidak akan memasakkan makanan lagi untuk mu."
"Baiklah, baiklah. Maaf. Aku memang mabuk."
"Betul, hantu itu tidak ada. Orang-orang dulu hanya salah paham karena fenomena simulakrum. Cuma ada 3 titik saja, tapi kita menganggapnya sebagai wajah. Itulah sebenarnya hantu!"
[TL\n: Simulakrum berasal dari bahasa Latin 'simulacrum', yang artinya adalah tiruan atau replika. Dalam konteks filsafat dan budaya modern, simulakrum merujuk pada representasi atau tiruan dari suatu objek, ide, atau realitas yang sudah kehilangan hubungan dengan bentuk aslinya. Konsep ini menjadi terkenal dalam pemikiran Jean Baudrillard, seorang filsuf Perancis. Baudrillard membahas simulakrum sebagai bagian dari teori simulasi, di mana ia menyatakan bahwa masyarakat modern semakin hidup dalam dunia simulasi. Dalam tahap simulasi, gambar atau representasi tidak lagi sekadar mencerminkan realitas, tetapi menjadi "hiperrealitas"—realitas yang tidak memiliki acuan nyata.]
Sambil mendengarkan pernyataan Shinohara, aku membelakangi dia dan mengeluarkan futon dari lemari.
Ketika aku mulai hidup sendiri, aku membeli 2 futon.
Aku pikir itu akan berguna saat aku memiliki pacar atau ketika ada temanku yang menginap.
Tapi futon ini jarang dipakai.
Reina kadang-kadang menginap, tapi aku jarang sekali membiarkan teman ku menginap di rumah ku karena memang aku tidak terlalu suka jika ada orang lain masuk kedalam rumahku.
Ayaka juga tahu hal ini, jadi dia tidak pernah datang ke rumah ku kecuali saat siang hari.
Hanya Shinohara yang selalu datang tanpa sungkan.
Mungkin ada sesuatu pada dirinya yang membuat aku bisa menerima kehadirannya, tapi aku pun tidak tahu pasti apa alasannya.
Mungkin kami hanya cocok satu sama lain.
"Ah, senpai, aku akan membantu membawanya."
Ketika aku sedang memeluk futon yang akan ku gunakan, Shinohara berdiri.
"Tidak perlu, ini futon ku sendiri."
"Eh, apa kau benar-benar boleh tidur di tempat tidur?"
"Tempat tidur itu lebih nyaman."
Jika memang harus membiarkannya menginap, aku ingin dia tidur di tempat yang lebih baik.
Ada saat-saat di mana sebagai orang yang lebih tua, aku ingin sedikit terlihat baik.
Melihat ekspresi terkejut Shinohara membuat aku merasa puas.
Sepertinya dia hanya melompat ke tempat tidur ku untuk menghindari cerita horor tadi, bukan karena dia benar-benar berniat untuk tidur di sana.
"Kau boleh mengganti seprai-nya kalo kau mau."
"Tidak usah, mencucinya pasti akan merepotkan. Aku tidak keberatan begini saja. Tapi, apa ini benar-benar tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa, kan tidak ada yang akan berkurang juga."
Aku pun membentangkan futon dan masuk ke dalamnya.
Futon ku dan tempat tidur Shinohara tidak terlalu berjauhan, tapi di kamar sempit di apartemen satu kamar ini, itulah jarak maksimalnya.
Ketika lampu dimatikan, hampir seluruh ruangan terbungkus dalam bayangan kegelapan.
Hanya ada seberkas cahaya bulan yang menembus celah tirai.
"Selamat malam."
Saat aku mengatakan itu, aku merasakan Shinohara tersenyum.
"Iya, selamat malam."
Saat aku memejamkan mataku, terdengar suara samar dari gerakan Shinohara.
Begitu juga dengan kj, dia pasti bisa merasakan setiap gerakan yang aku lakukan.
Dalam keheningan ini, fakta kalo kami hanya ber-2 di ruangan ini terasa semakin kuat, membuat aku menekan mata ku lebih rapat.
"Senpai, bukankah ini tidak terlalu jauh?"
Aku membuka kelopak mataku sedikit saat mendengar suara Shinohara yang teredam.
"Tidak terlalu, kok. Jaraknya bahkan tidak sampai 2 meter."
Saat aku menjawab, suara ku sedikit bergetar.
Entah karena efek alkohol yang mengeringkan tenggorokan ku atau karena gugup menghadapi situasi yang tidak biasa ini.
Memang sedikit memalukan merasa gugup di saat seperti ini, tapi aku merasakan sesuatu yang berbeda dibandingkan ketika aku tidur bersama dengan orang lain sebelumnya.
Setelah menunggu beberapa saat, tidak ada lagi jawaban dari Shinohara.
Dalam keheningan itu, suara detik jarum jam terdengar sangat jelas, membuat ku menyesal tidak memilih jam digital.
Kalo dia sudah tertidur, berarti dia memang seorang perempuan yang cukup tenang.
Tidak peduli seberapa besar dia memercayai ku, bukankah dia tidak terlalu waspada?
Mungkin karena ini sudah tengah malam, pikiran-pikiran ini malah semakin membuat ku sulit tidur.
Semakin aku mencoba tidur, semakin sadar kepala ku.
Aku membuka mata dan memandang langit-langit dengan rasa frustrasi.
"Aku tidak bisa tidur..."
Tidak ada jawaban.
"Shinohara?"
Aku memanggilnya sekali lagi.
Kalo tidak ada jawaban kali ini, aku rasa tidak ada pilihan lain selain bermain Hp, meskipun itu akan semakin membuat mata ku terjaga.
Tentu saja, aku ingin menghindari itu jika memungkinkan.
Tapu, untungnya terdengar suara selimut yang bergesekan dari arah Shinohara.
"...Aku hampir tidur."
"Maaf."
Suara Shinohara, yang baru saja ditarik keluar dari dunia tidur, terdengar serak, membuat aku tanpa sengaja meminta maaf.
Shinohara bergerak sedikit lagi, namun akhirnya diam.
Aku tidak bisa memastikan apakah dia sudah tertidur, tapi aku merasa enggan untuk membangunkannya lebih lama lagi.
Aku menghela napas kecil.
Akhirnya, aku mengambil Hp-ku dari saku-ku.
"Apa kau ingin tidur bersamaku?"
"...Eh?"
Aku mengeluarkan suara yang agak konyol tanpa langsung memahami kata-kata Shinohara yang terdengar mendadak.
"Silakan, Senpai juga bisa tidur di tempat tidur."
Akhirnya aku memahami apa yang dimaksud Shinohara, dan aku berbalik menghadap ke arah yang berlawanan dari tempat tidur Shinohara.
"Aku tidak bisa tidur di tempat tidur yang sama dengan Kohaiku, yang bukan pacarku."
"Prinsip itu keren, tapi ya sudah, tidurlah dengan tenang."
"Tidak bisa, aku tidak bisa tidur."
"Kalo begitu, datang saja ke sini."
Aku bisa merasakan Shinohara bergerak sedikit.
Meskipun gelap, aku merasakan tatapan Shinohara menembus ke arah punggung ku.
Kalo ini keadaan biasa, aku pasti akan langsung menolaknya tanpa berpikir.
Tapi, ada alasan kenapa aku sedikit ragu.
Futon yang ku persiapkan untuk tamu tidak biasa aku gunakan, jadi aku merasa sulit tidur di sana.
...Tapi itu juga hanya alasan.
Saking sulitnya menahan godaan Shinohara, pikiran seperti itu pun terlintas di kepala ku.
Suara Shinohara yang begitu menggoda dari dalam kegelapan terasa mengalun indah di telinga ku.
Aku bangkit dari Futon dan, dengan penglihatan yang hampir tidak bisa melihat apa pun, aku berusaha menuju tempat tidur.
"Silakan."
Shinohara, seolah tahu kehadiran ku, menarik tangan ku dan mengajak ku duduk di sampingnya.

[TL\n: pengen gua ramas cok.]
Ketika aku duduk di tempat tidur, aku merasakan aroma Shinohara semakin dekat.
Aroma manis yang tidak biasa di kamar tidur ku mengusik penciuman ku.
"Aku akan menempel di dekat dinding. Jangan sampai menendang ku saat tidur, ya."
“Tidak tidur seburuk itu."
Aku membalasnya, dan aku bisa merasakan Shinohara tersenyum.
Akhirnya, mata ku mulai terbiasa dengan kegelapan, dan aku bisa melihat wajah Shinohara dengan lebih jelas.
"Kalo begitu, tidak masalah."
Shinohara memindahkan tubuhnya ke arah dinding, meletakkan kepalanya di bantal.
Aku pun meletakkan bantal yang ku bawa di sampingnya, kemudian perlahan-lahan mengubah posisi ku.
Meskipun aku memunggungi Shinohara, jaraknya hanya beberapa puluh sentimeter membuat aku bisa merasakan setiap hembusan napasnya.
Aku merasa kesulitan untuk tidur dengan keadaan seperti ini, tapi entah kenapa aku merasa sedikit puas, sehingga aku tidak terlalu peduli dengan hal tersebut.
Suara jarum jam yang sebelumnya terdengar, kini sudah tidak bisa didengar lagi.
Setelah suara bantal dan rambut yang bergesekan berhenti, kami ber-2 terdiam tanpa kata-kata.
Karena aku sudah tidak mendengar suara napasnya, aku menyadari kalo Shinohara belum tertidur.
Aku membuka mataku dan memandangi kegelapan yang kosong.
Akhirnya, Shinohara mulai berbicara.
"Senpai, kau benar-benar orang yang teguh ya."
Aku tidak begitu mengerti apa yang dimaksud dengan 'teguh'.
Kata-kata tersebut terkesan samar, tapi aku bisa merasakannya.
"...Seorang pria yang benar-benar teguh tidak akan mengundang perempuan yang tidak dia pacari untuk menginap di rumahnya."
"Memang benar."
"Jangan langsung setuju begitu saja."
Aku sedikit bercanda, dan suasana canggung itu sedikit mereda.
Hujan mulai turun dengan perlahan.
Aku bisa mendengar suara hujan yang mulai jatuh di malam hari, mengetuk tanah.
Karena aku tidak bisa tidur, aku tetap terbaring, menatap ruang kosong.
Begitu mata ku mulai terbiasa dengan kegelapan, aku merasa cahaya di sekitar mulai menghilang perlahan.
Mungkin awan mulai menutupi bulan.
Aku terus membuka mata beberapa saat, namun akhirnya rasa bosan itu datang juga.
"Senpai."
"Hmm?"
"Kenapa kau bisa putus dengan mantan pacar mu?"
Aku sedikit menyesal sudah memberi tahu Shinohara tentang mantan pacar ku.
Reina sudah menjadi masa lalu.
Kalo saja kami tidak bertemu lagi di pusat perbelanjaan, kalo saja tidak ada telepon yang datang...
Segala sesuatu tentangnya pasti sudah tenggelam dan lama-lama akan terlupakan.
Aku tidak ingin lagi teringat tentang Reina setelah memberitahukan Shinohara tentang hal itu.
Lagi pula, aku merasa tidak ada gunanya membuang waktu dan tenaga untuk masalah yang tidak akan terpecahkan.
Sekarang, saat pengaruh alkohol mulai menghilang, aku mulai berpikir seperti itu.
Karena itu, aku tidak merasa perlu memberi tahu Shinohara lebih banyak.
"Aku rasa, setelah melihat Senpai sebelumnya, aku bisa sedikit menebak kalo kau tidak suka membahas hal-hal pribadi seperti ini. Maka dari itu, meskipun karena pengaruh alkohol, aku merasa senang kau mau menceritakan-nya padaku."
"Senang? Kenapa?"
"Kenapa? Hmm, bisa dibilang..."
Dia mengulang kata-katanya dengan nada yang seolah-olah ingin mengatakan itu adalah hal yang aneh.
Tapi aku tidak bisa memahami alasan itu, dan hanya diam menunggu jawabannya.
"Karena aku merasa dipercaya."
Aku mengulang kata 'dipercaya' dalam hati ku, aku merenungkan maknanya.
Mempercayai dan bergantung pada seseorang, aku mengerti artinya, tapi karena itu bukanlah tindakan yang aku sengaja pikirkan, aku sedikit terdiam.
Sejujurnya, aku tidak memiliki niat seperti itu sama sekali.
Hanya saja, itu karena aku sedikit kelelahan menanggung semuanya sendiri, perasaan itu akhirnya keluar akibat alkohol yang meruntuhkan benteng pertahanan ku.
"Aku bisa melihat sisi lain dari diri senpai yang tidak senpai tunjukkan pada orang lain."
Begitu mendengar kata-katanya, aku teringat pada Ayaka.
Aku yang mengetahui sisi lain dari Ayaka yang tidak diketahui orang lain, bisa dibilang itu adalah bukti kepercayaan.
Kalo aku bilang aku tidak merasa senang karena itu, pasti itu bohong.
Menyadari hal itu, akh akhirnya sadar kalo aku juga pasti mempercayai Shinohara.
Aku mengerti kalo cara Shinohara melihatnya—menilai sisi lain dari diri seseorang sebagai bukti kepercayaan—adalah sebuah pandangan yang saya terima.
"Mungkin."
Setelah aku menjawab, aku merasakan Shinohara bangkit dan melihat ke arah ku.
Meskipun dalam gelap, aku bisa merasakan tatapan langsung darinya.
"Aku pikir sebelumnya aku tidak seharusnya bertanya, tapi sekarang aku penasaran."
Dengan nada suara yang lebih serius dari sebelumnya, aku bisa menebak apa yang ingin dia tanyakan.
"Tadi, apa ada sesuatu yang terjadi antara senpai dan mantan pacarmu?"
Aku terdiam.
Hujan yang tiba-tiba turun terdengar semakin jelas mengetuk jendela.
Hujan musim dingin yang mulai turun pasti sangat dingin.
Cahaya bulan yang sempat masuk ke dalam ruangan sudah menghilang, tertutup awan, dan aku tidak bisa lagi melihat ekspresi Shinohara yang tadi masih bisa sedikit terlihat.
Diamku kemungkinan sudah menjadi jawaban bagi Shinohara.
"Lagi pula, kau tidak mempercayaiku, kan?”
"Caramu bertanya seperti itu tidak adil tau. Apa aku percaya padamu atau tidak, itu masalah yang berbeda."
Yang membuat ku tidak ingin berbicara, adalah karena aku ingin melupakan masalahku dengan Reina.
Kalo aku menceritakan-nya pada Shinohara, aku merasa itu tidak akan membawa perubahan apapun.
Aku merasa itu adalah masalah yang bisa diselesaikan dengan perasaan ku sendiri, maka aku tidak ingin membicarakannya.
Bukan berarti aku tidak mempercayai Shinohara, itu 2 hal yang terpisah.
"Kalo aku tidak mempercayai mu, aku tidak akan mengizinkanmu menginap di sini"
Tidak ada jawaban dari Shinohara, jadi aku kembali berbicara, kali ini menghadap ke langit-langit.
"Kau, kalo mempercayai seseorang, apa kau bercerita semuanya pada mereka? Misalnya pada ku."
Mungkin ini terdengar agak sombong.
Tapi, melihat bagaimana hari-hari ku yang terus dipenuhi dengan kedatangan Shinohara, bahkan akhirnya tidur di bawah atap yang sama hari ini, aku merasa aku pasti tidak dianggap tidak dapat dipercaya.
Meski aku sadar kalo ini hanya persepsi ku saja, aku merasa tenang karena tidak ada keberatan dari Shinohara.
"...Memang benar.Aku akan juga seperti itu."
Shinohara berbicara perlahan, dengan nada yang seolah sedang memikirkan kata-katanya.
"Kepercayaan dan berbicara tentang hal-hal pribadi itu memang hal yang berbeda."
Setelah mengatakan itu, Shinohara kembali berbaring.
Meskipun aku tidak bisa melihatnya, aku bisa merasakan kalo dia kini memunggungi ku.
"Aku senang mendengarnya. Jadi memang seperti itu. Ternyata semua orang begitu."
"Aku hanya tahu untuk diri ku sendiri, yang lainnya aku tidak tahu."
"Aku yakin, semua orang seperti itu. Aku juga begitu."
Shinohara menghembuskan napas pelan, lalu melanjutkan.
"Aku juga punya hal-hal yang tidak ingin aku ceritakan pada senpai."
Mungkin itu tentang Ayaka, atau sesuatu yang terkait dengan Ayaka.
Atau mungkin itu hal lain yang sama sekali berbeda.
Aku kemudian menyadari kalo perasaan ingin mendengar cerita dari orang lain, meskipun kita tahu mereka tidak ingin berbicara, sebenarnya adalah bentuk kepedulian.
Mungkin inilah perasaan yang dimiliki Shinohara saat itu.
"Aku sudah memutuskan."
"Memutuskan apa?"
"Aku akan membuat senpai lebih menyukai ku."
Mau tak mau aku terkejut dengan pernyataannya yang tiba-tiba itu.
"A-apa yang kau katakan tiba-tiba?"
"Karena, meskipun kita sudah sering bersama, rasanya tidak adil kalo senpai tidak bercerita. Aku ingin kita bisa menjadi hubungan yang membuat senpai merasa nyaman untuk berbicara."
Aku merasakan pergerakan Shinohara yang mulai berbalik ke arah ku.
Kali ini, dia semakin dekat sehingga aku bisa merasakan hembusan napasnya.
"Selamat malam, senpai."
Tangan Shinohara menyentuh sedikit punggung ku.
Pelukan yang ringan.
Sentuhan lembut itu mengingatkan ku pada aroma sampo yang tercium dari lehernya.
Ada kehangatan yang jelas di sana.
Pelukan itu bertahan sejenak, namun akhirnya Shinohara melepas tangan yang melingkari pinggang ku.
"Ah, aku jadi deg-degan."
"Setelah kau melakukannya sendiri, kenapa jadi begitu?"
Aku berusaha bersikap tegas agar tidak menunjukkan perasaan ku yang bergejolak.
"Karena... ini pertama kalinya bagiku."
"Apa maksudnya?"
"—Rahasia!"
Shinohara merampas selimut ku dan membungkus dirinya di dalamnya.
"Hei, ini dingin! Kembalikan!"
Shinohara tertawa kecil dan mengubur wajahnya dalam selimut.
Aku, tidak punya pilihan lain, aku kemudian menarik selimut dari kasur futon ku dan membungkus tubuh ku dengan itu.
Sepertinya mulai hari ini, Shinohara akan semakin banyak terlibat dalam kehidupan ku.
Hubungan kami baru saja berlangsung sebulan.
Tapi, hanya dalam waktu sesingkat itu, Shinohara telah menyatu dalam kehidupan sehari-hari ku, menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Memikirkan bagaimana hubungan kami mungkin akan semakin dekat, aku merasa sedikit antusias.
"Baiklah, selamat malam."
Tidak ada jawaban.
Dari beberapa sentimeter dekatnya, aku bisa mendengar napasnya yang halus.
"Kau benar-benar tertidur cepat sekali."
Aku tertawa pelan, dan memberi sedikit jarak dari Shinohara.
Hari ini, sepertinya aku tidak perlu lagi mengingat masa lalu.
Dengan perasaan itu, aku menutup mataku dan membayangkan hari-hari baru yang akan datang.