> CHAPTER 10

CHAPTER 10

 Kamu saat ini sedang membaca   Unmei no hito wa, yome no imōtodeshita.  volume 1 chapter 10. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw

BALADA SINGA DAN METEORIT BIRU ②



"Selamat pagi, Goshujin-sama... chu."


Suara yang lembut. Suara seseorang yang kucintai. Aku merasakan sentuhan halus di pipiku. 


Aku pun terbangun.


"Fuaah... Selamat pagi, Shishino-san."


Saat aku duduk, terlihat seorang wanita tinggi mengenakan seragam pelayan bergaya klasik berdiri di sudut ruangan, dia menatapku dengan pandangan dingin. 


Namanya───Senko Shishino. Dia telah bekerja sebagai pembantuku selama 6 bulan.


"Selamat pagi, Goshujin-sama."


Sejak 3 bulan lalu, ketika nenekku memindahkan seluruh kesadarannya ke dalam jaringan digital, kami berdua tinggal bersama. 


Awalnya aku cukup gugup karena tinggal serumah dengan wanita secantik ini, tapi sekarang aku sudah terbiasa.


(Tunggu...barusan aku merasa kalo dia menyentuh pipiku.)


Apa itu mungkin hanya perasaan saja? 


Setidaknya Shishino-san berada cukup jauh, jadi dia tidak mungkin menyentuhku. 


Tapi aku merasa benar-benar ada sesuatu yang lembut menyentuh pipiku...


"Goshujin-sama, aku sudah mengingatkan kalo sarapan disajikan pukul 9. Kau kembali terlambat bangun, ya."


"Sebenarnya aku sudah bangun sejak jam 8. tapi aku menunggu Shishino-san membangunkanku."


"...Eh?"


Shishino-san menatapku tajam tanpa mengubah ekspresi, lalu bergumam pelan.


"Kalo begitu... Apa kau benar-benar sudah bangun tadi? Maksudku, saat aku masuk ke kamar?"


"Ah, tidak... Aku sempat tertidur lagi, jadi sepertinya aku masih tidur waktu itu."


"Begitu, ya."


(Apa maksud dari pertanyaan barusan?)


───6 bulan lalu, aku menyelamatkan Shishino-san saat dia dikejar oleh makhluk mirip serangga. 


Setelah itu, aku membawanya ke apartemenku untuk mengobatinya, dan nenekku, yang mendengar kalo dia sedang mencari pekerjaan, mempekerjakannya.


"Hari ini pun kau terlihat cantik, Shishino-san."


Aku───jatuh cinta padanya.


"Sepertinya kau masih setengah tertidur, ya."


Hampir setiap hari aku menyatakan perasaanku padanya, dan hampir setiap hari pula dia menghindarinya dengan tatapan dingin. 


Hari-hari kami berjalan seperti itu. 


Itu terjadi pada musim gugur tahun 1962. Tapi tentu saja, aku sadar betul.


Kalo kehidupan sehari-hari yang bahagia ini tidak akan bertahan selamanya.


───Karena kemungkinan besar, dalam waktu sekitar satu tahun lagi, Bumi ini akan musnah.

 

Di tempat ini───di Kota Yokohama, satu-satunya wilayah yang masih dapat dihuni manusia kini hanyalah Menara Landmark di kawasan Minato Mirai. 


Ketika dunia diketahui akan berakhir, kepanikan melanda seluruh Bumi. 


Tapi, kenyataan yang terjadi jauh lebih buruk dari apa yang semula dibayangkan. 


Penyebab utamanya, secara umum, adalah meningkatnya konflik antar perusahaan jasa pengamanan bersenjata.


Pertempuran antara 3 organisasi yang menguasai Yokohama───'Pedagogu', 'S.G.H.', dan 'Ordo Ksatria Netral'───kian memanas, dan lambat laun merusak seluruh kota.


Kelompok AI murni yang disebut 'Sensei' menyebarkan Virus Ontologi, yang mengubah berbagai materi menjadi konsep-konsep tak berwujud. 


Sebagai tanggapan, 'S.G.H.' melepaskan zombie-chimera ke seluruh kota, yang menyerang tanpa membedakan kawan maupun lawan, melucuti daging dari tubuh mereka hingga ke kulit. 


Sementara itu, Menara Landmark dilindungi oleh segelintir anggota 'Ordo Ksatria Netral'. Mereka memegang teguh nilai paling mendasar, kesinambungan eksistensi. Dengan kata lain───hidup itu sendiri.


"Shishino-san. Menurutku...kau sebaiknya juga mulai mempertimbangkan untuk sepenuhnya pindah ke jaringan digital."


Aku bergumam sambil memandangi kota Yokohama dari jendela sebuah kamar kecil di Menara Landmark.


"Kita juga tidak tahu kapan tempat ini akan runtuh. Dunia nyata terlalu berbahaya."


Banyak manusia dan AI kini telah meninggalkan tubuh fisik mereka, dan hidup di dalam jaringan digital. 


Bahkan setelah kehancuran Bumi, mereka masih dapat terus eksis di dalam 'Galaxy Express', yang mengembara tanpa henti di angkasa dalam durasi yang nyaris abadi. 


Tapi, seperti biasa, Shishino-san menolak usulku yang telah berkali-kali kusampaikan.


"Tidak bisa. Aku belum merasa telah bekerja setimpal dengan upah yang diberikan Nenek."


"Aku bisa bertahan sendiri, kok."


"Fufu. Apa sih yang kau katakan, kau masih anak-anak. Kau bahkan tidak bisa bangun sendiri."


Itu salahku karena Shishino masih bertahan di dunia nyata. 


Aku memiliki kondisi langka bawaan lahir yang membuatku tidak bisa membentuk kesadaran di ruang jaringan. 


Sistem sarafku tidak dapat dikonversi menjadi data yang bisa berfungsi sebagai pikiran. 


Katanya, kondisi seperti ini hanya terjadi pada satu dari 10 juta orang.


"Shishino-san... Aku mencintaimu. Sangat."


"Begitukah."


"Itu sebabnya, aku ingin kau tetap selamat."


Dia menatapku dengan mata dingin, seolah tak tertarik. Tapi aku sudah lama tahu, tatapan itu tidak sepenuhnya mencerminkan isi hatinya.


"Goshujin-sama. Aku tidak bertahan di sini karenamu, atau karena alasan sentimentil semacam itu. Aku sudah lama hidup dalam dunia yang tidak ideal. Hidup yang penuh penderitaan bukanlah hal baru bagiku. Tapi sekalipun begitu, aku tidak pernah sekalipun berpikir untuk lari ke dalam jaringan digital."


"Lalu...untuk apa kau tetap di dunia nyata?"


"Karena aku ingin hidup. Cukup makan roti di pagi hari, dan minum segelas wiski di malam hari. Saat waktunya tiba, aku akan mati. Hidup, lalu mati. Itulah kebanggaan yang kupegang."


Shishino-san tersenyum tenang. Kata-katanya memang terdengar dingin, tapi aku tahu betul dia mengatakannya dari hati.


Seperti biasa, kami menikmati sarapan bersama di apartemen kecil kami. 


Dia sangat terampil menggunakan alat penyusun bahan makanan───sebuah perangkat untuk menciptakan bahan makanan dari pelet komposit───dan dia sering memasak makanan khas dari kampung halamannya.


"Ohhhaa-rooonn~♪"

  

Tiba-tiba, dari langit-langit muncul sesosok makhluk───seekor putri duyung yang mengenakan kostum perawat konyol. Itu adalah Sena. Dengan tawa yang ceria dan santai, dia melayang turun dan tanpa ragu merebut bánh xèo yang sedang kumakan.


『Uwaa, ini enak sekali! Shishino-chan, kemampuan memasakmu makin meningkat ya!』


Shishino-san langsung melempar garpu yang dipegangnya, menusuk wajah Sena hingga penuh seperti sarang lebah.


『Aaaakh! Jangan rusak tekstur wajahku dong!』


"Sudah berkali-kali aku katakan, jangan ganggu waktu sarapan kami. Pelanggaran etika harus disingkirkan."


『...Kau tidak perlu sampai semarah itu cuma karena momen kalian berdua terganggu, kan?』 


Terdengar suara halus seperti jiji, lalu tekstur wajah Sena kembali diperbaiki.


"Selamat pagi, Sena."


『Aaah~ Daigo-kun, hari ini kau juga imut sekali ya~! Lupakan maid tua berwajah dingin itu, apa kau mau jadi adik dari suster cantik ini saja?』


"Se... Sena... Terlalu dekat, kau terlalu dekat..."


Sena mendekat hingga napasnya menyentuh kulitku, lalu dia menggelitik telingaku dengan jari-jarinya. 


Tak butuh waktu lama, wajahnya kembali tertusuk garpu lemparan Shishino-san. Bahkan itu nyaris mengenai pipiku juga.


"Uwaa! Shishino-san, itu berbahaya, tahu!?"


"Maaf, tapi aku kira menatap dada AI dengan wajah mesum di pagi hari juga termasuk pelanggaran etika."


"A-aku tidak melihat, kok..."


"...Kalo perempuan, siapa pun boleh, ya?"


Shishino-san menatapku dengan pandangan tajam penuh kecurigaan. 


Sementara itu, Sena, biang keladinya, dengan santainya terus menyantap bánh xèo sambil menyeringai puas.


『Ngomong-ngomong, Shishino-chan. Peletnya sudah habis, lho. Serius, deh.』


"Begitukah."


Wajah Shishino-san tetap tenang, namun situasinya sebenarnya cukup serius. 


Bantuan dari organisasi perlindungan hak asasi manusia yang telah memindahkan markas mereka ke dalam jaringan digital, diperkirakan baru akan datang 2 minggu lagi.


"Aku akan mengambilnya. Kudengar portal di Stasiun Kawasaki masih berfungsi."


"Tidak boleh."


Dia melotot ke arahku dengan tatapan tajam seperti burung pemangsa. 


Tatapan penuh tekanan itu membuat jantungku serasa membeku.


"Aku akan melakukan sesuatu tentang itu."


"'Melakukan sesuatu tentang itu' apa maksudmu...?"


Shishino-san hanya membalas dengan senyum lembut yang seolah dia ingin meyakinkanku.


★★★


Setelah selesai sarapan, aku kembali ke kamarku untuk berganti pakaian.


(Goshujin-sama... Hari ini pun dia menyantapnya dengan lahap.)


Dulu, mengenakan seragam maid yang penuh hiasan seperti ini adalah hal yang sangat sulit bagiku. Tapi sekarang, aku sudah terbiasa. Padahal dulunya aku tidak menyukai pagi hari. Aku tidak pernah memasak sebelumnya. Aku tidak punya keahlian lain selain menggunakan hole gun. Tapi dia───Goshujin-sama───menerima semua pelayanan dariku dengan senang hati.


(...Apa boleh aku merasa sebahagia ini?)


Hidupku selama ini hanyalah kehidupan yang membosankan dan biasa-biasa saja. 


Ketika aku sudah cukup dewasa untuk mengerti dinia, aku sudah berada di gang belakang, hidup dari sisa makanan dan bangkai binatang. 


Saat aku menyadari bakatku, aku memanfaatkannya sebaik mungkin untuk menghasilkan uang sebanyak yang aku bisa. 


Aku rasa, aku sudah melakukan begitu banyak hal yang keji.


Tapi semua itu terasa begitu lumrah, sampai aku tidak lagi tahu mana yang benar dan mana yang salah.


(Meski begitu...anak itu tetap tersenyum padaku.)


Goshujin-sam kecil yang hanya milikku. 


Lembut, tulus, dan selalu tampak menggemaskan. 


Setiap kali dia memanggil namaku, aku merasakan kekosongan di dalam dadaku perlahan terisi. 


Setiap kali dia menatapku dengan kasih sayang, rasanya aku bisa meleleh dan lenyap di tempat itu juga. 


Perasaan yang nyaris meledak itu tidak bisa aku tahan lagi, hingga akhirnya keluar begitu saja dari mulutku.


"Aku mencintaimu... Goshujin-sama..."


『Eh? Shishino-san bilang kalau dia mencintaiku!?』


"Pi...nya!"


Saat aku mendengar suara Goshujin-sama dan menoleh ke belakang, Sena sedang berdiri di sana sambil menyeringai penuh kepuasan.


『Hehehe, bercanda~』


Segera, aku mulai mengoperasikan chip nano untuk menghapus instalasi dirinya.


『Gyaa! Itu cuma bercanda, sumpah! Cuma gurauan saja!』


"Setiap kali aku bicara denganmu, aku selalu bertanya-tanya kenapa aku harus berurusan dengan makhluk seperti ini. Rasanya kepalaku mau pecah."


『Ih, padahal kita kan sahabat!』


Sena menyenggol bahuku. Padahal dia hanya hologram, tapi dia bisa menciptakan sensasi sentuhan yang begitu nyata───sungguh menyebalkan.


『Shishino-chan, kau ini penakut sekali, sih. Padahal kau tinggal bilang saja, 'Aku juga mencintaimu, Daigo-kun!' Kan mudah.』


"......."


Ketika aku menatap tajam ke arahnya, Sena hanya tersenyum santai seolah tak terjadi apa-apa.


"Tidak perlu. Bagiku, ini sudah cukup. Beginilah seharusnya."


Aku merasa...aku tidak punya hak untuk membalas perasaan Goshujin-sama. Lagipula, itu memang lebih baik begitu.


"Karena...segalanya akan segera lenyap. Semuanya akan musnah."


『Ya.』


"Kalo semuanya akan menghilang, lalu menganggap sesuatu sebagai milik sendiri...bukankah itu terlalu kejam?"


『Berlagak seperti 'ini bukan demi diriku sendiri' itu malah terlihat menyedihkan. Kau cuma pengecut, itu saja.』


Sena tertawa, dan aku ikut tertawa juga. Karena aku tahu, dia benar. 


Yang takut kehilangan───itu adalah aku sendiri. 


Aku mengenakan kembali setelan lamaku yang sudah usang, lalu mulai melangkah pergi.



 

Lantai atas Landmark Tower telah diubah menjadi tempat parkir bagi floater (kendaraan aerodinamis). 


Aku menaiki salah satu unit yang terlihat paling usang, lalu menyalakan mesinnya menggunakan sistem identifikasi biometrik.


"Tunggu!"


"Eh?"


Tepat sebelum floater itu melaju, aku merasakan beban di belakang tubuhku. 


Dia memeluk pinggangku erat, dan kami pun melesat menembus langit Yokohama. 


Langit biru cerah yang tidak sepadan dengan kehancuran dunia yang tengah berlangsung.


"Goshujin-sama! Apa yang sedang kau lakukan?!"


"Aku tidak bisa membiarkan seorang gadis pergi sendirian, kan?!"


Apa yang sebenarnya sedang dia bicarakan? 'Seorang gadis'. Padahal dia lebih muda dariku. Dia masih anak-anak. Dia bahkan tidak bisa mengalahkanku dalam adu panco. Bahkan dia tidak bisa bangun sendiri di pagi hari.


"Meski kau kembali sekarang dan menurunkanku, aku tetap akan ikut."


"...Haa."


Orang ini keras kepala───sekali dia sudah memutuskan sesuatu, mustahil untuk membujuknya. Menasihatinya hanya akan sia-sia. 


Aku pun menetapkan tekatku. Aku harus melindungi orang ini. Setidaknya, sampai dunia ini benar-benar berakhir.


"Jangan pernah, sekalipun, melepaskan genggamanmu dariku."


"U-uh, baik! Terima kasih!"


──Selain itu. Akan bohong kalo aku bilang aku tidak bahagia.


Akan bohong juga kalo aku bilang aku tidak takut sendirian.


Kehangatan tubuhmu yang menjalar ke punggungku perlahan mengusir dingin dari tubuhku. Seperti selalu.


Aku menginjak pedal akselerasi sekuat tenaga, dan kami terbang menembus awan.


"!"


Aku bisa merasakan Goshujin-sam menahan napas di belakangku. 


Pada ketinggian ini, pemandangan kota Yokohama terlihat jelas. 


Stasiun Yokohama dipenuhi oleh kompleks kubus raksasa. 


Waktu telah rusak, membiaskan cahaya. Di dalam kubus itu, satu detik mungkin terasa seperti 100 ribu tahun. 


Orang-orang yang tertinggal di dalam stasiun, sungguh tragis nasibnya.


Di Isezaki-Chojamachi, sesuatu yang menyerupai semut kecil menghalangi jalan, menggumpal seperti bakso daging. 


Setelah diamati lebih seksama, ternyata itu adalah tumpukan manusia. 


Manusia yang kakinya berada di atas dan kepalanya di bawah, saling menggigit kulit satu sama lain sambil meronta.


Tiba-tiba, Teluk Tokyo bergolak. Muncul dari dasar laut, seekor siput raksasa dalam toples, setinggi 400 meter. Makhluk itu secara acak menjebak makhluk cerdas di dalam botol, dengan fenomena ruang-waktu yang berputar.


Dalam sekejap, isi toples dipenuhi oleh AI, manusia, bahkan sapi buatan───semuanya meleleh oleh daging lunak siput itu.


"...Aku tak pernah membayangkan akhir dunia bisa seburuk ini."


Goshujin-sama bergumam sambil memandangi pemandangan di bawah sana.


"!"


Tiba-tiba, nanochip yang tertanam di dalam otakku mulai berderak, seperti letupan kecil.


"Goshujin-sama! Ada seseorang yang mengincar kita! Jangan lepaskan tanganmu, apapun yang terjadi!"


Aku memutar setir floater dengan kasar. 


Floater kami terbang secara acak seperti capung, dengan lintasan yang tak menentu. 


Fiu, fiu, fiu───suara angin memotong telinga. 


Sesuatu melintas nyaris menyentuh kami dari belakang.


"Shishino-san! Di atas!"


Bayangan besar menutupi cahaya matahari di atas floater kami. Aku mendongak.


Seorang nenek raksasa───telanjang bulat───melayang di udara. Kulitnya yang kendur tertiup angin, matanya membelalak tajam menatap kami.


Tingginya kira-kira 30 meter? Mungkin itu salah satu dari makhluk iblis buatan yang diproduksi oleh ‘S.G.H'.


"Goshujin-sama, kau yang kemudikan!"


Aku menyerahkan kemudi padanya dan mengaktifkan hole gun.


(Aku harus melindungi Goshujin-sama dengan segala cara.)


Hanya itu yang kupikirkan. Hal-hal lain, tidak lagi penting.




Kami memarkir floater di depan sebuah bangunan ramping berwarna hitam pekat yang terletak di kawasan Pecinan Yokohama.


"Fuh..."


Hanya dalam 5 menit penerbangan, kami sudah mengalami kekacauan luar biasa. 


Sepertinya, mencapai Stasiun Kawasaki benar-benar mustahil. 


Menurut informasi di jaringan, sebagian besar kota di wilayah Kanto telah lama runtuh.


"Pecinan ini...terasa sangat sunyi, ya."


Goshujin-sama menatap sekeliling. Tidak ada satu pun bangunan yang runtuh. 


Bisa dikatakan, keadaan di sini tampak damai.


(Aku yakin 'mereka' yang berhasil mengendalikan situasi dengan baik.)


Kemungkinan besar mereka sudah bekerja sama dengan 'perusahaan keamanan'. 


Saat kami masuk ke dalam gedung, seekor buaya kecil berpakaian jas menyambut kami dan menanyakan keperluan kami. 


Ketika aku memberitahunya namaku, dia mempersilakan kami masuk.


"Goshujin-sama, tolong tunggu di sini. Sena, beri tahu segera kalo terjadi sesuatu."


『Okeee~. Kalo begitu, ayo kita bermesraan bersama onee-san yang cantik, ini yaa~』


(Serius...mungkin sudah waktunya aku mencopot program ini.)


Buaya itu membawaku ke lantai atas gedung. 


Sebuah pintu hitam pekat terbuka di lorong yang sunyi senyap.


Seorang wanita mengenakan topeng tengkorak yang dicat cerah menatapku dan tersenyum.


『Halo, Shishino-san. Sudah lama tidak bertemu.』


Masih dengan suara sintetis seperti biasanya. 


Suaranya terdengar seperti suara gadis kecil dari radio tua yang penuh gangguan.


"Halo, Shashin. Lama tidak bertemu."


Shashin───namanya berasal dari bahasa Sanskerta kuno yang berarti 'bulan'───juga seorang gadis kuil dari sebuah agama yang disebut 'Gereja Terowongan Tanpa Ujung'. 


Dia juga orang yang telah memanggilku ke Jepang — klienku.


"Persediaan makanan kami telah habis. Aku pikir kau mungkin dapat membantu menyediakannya."


『Akan kami kirimkan dari bawah tanah. Saat ini kau tinggal di Landmark Tower, kan?』


"Benar. Jika memungkinkan, mohon sediakan juga untuk orang-orang lain."


Dia mengangguk ringan, seolah itu bukan masalah besar───dan memang kenyataannya bukan.


(Gereja Terowongan Tanpa Ujung───sebuah agama preppers yang muncul sekitar 90 tahun lalu.)


Preppers adalah sekelompok orang yang mempercayai dan mempersiapkan diri untuk kehancuran dunia. 


Dahulu mereka dianggap sebagai kaum paranoid yang konyol. 


Tapi, kini saat dunia benar-benar runtuh, tidak ada komunitas yang lebih bisa diandalkan daripada mereka.


『Ngomong-ngomong, Shishino-san...bagaimana keadaan 'suami' kita?』


".....Dia ada di bawah. Dia datang bersamaku."


Aku menjawab pelan. Shashin terdiam beberapa detik. 


Karena wajahnya tertutup topeng tengkorak, ekspresinya tidak terlihat. 


Tapi mungkin itu karena amarah. Aku bisa memahaminya.


『Dalam situasi berbahaya ini, kenapa kau membawanya keluar?』


"Tidak masalah. Aku akan mengawasinya."


『Aku mempercayaimu. Kau adalah satu-satunya ranker kelas A yang tersisa di dunia nyata.』 


Meskipun dia berkata kalo dia mempercayaiku, nada bicaranya masih menyimpan keraguan. 


Aku bisa memakluminya. Kalo posisinya terbalik, mungkin aku juga akan merasa sama.


『Mido Daigo adalah orang yang seharusnya menaiki 'Perahu Manu'. Keamanannya harus dijamin semaksimal mungkin.』


"Aku mengerti."


Perahu Manu───itu adalah versi mitologi Hindu dari kisah 'bahtera penyelamat'. Sebuah legenda tentang seorang pria bernama Manu yang selamat dari banjir besar yang melanda seluruh kehidupan di bumi, dengan membawa 7 Rishi (orang bijak) dan seluruh benih kehidupan di atas sebuah perahu.


[TL\n: fyi kisa mitologi ini emang sama dengan kisahnya Nabi Nuh tapi sebenarnya berbeda. Di kisah mitologi perahu Manu, dia disini sebagi manusia pertama dan sekaligus leluhur umat manusi, di dalam kisah ini sebelum banjir dasyat datang Manu di beritahu ama seekor ikan yang jadi jelmaannya Dewa Wisnu. Kalo kalian mau yang fersi lengkapnya bisa kalin cari sendiri di Google atau langsung tanya GPT, Gemini, atu sejenisnya supaya langsung bisa di rangkum dengan padat. Disini gua cuman kasih garis besarnya tentang kisah ini.]


(Tugasku adalah melindungi Mido Daigo. Dan───ketika dunia berada di ambang kehancuran, aku harus menyerahkannya dirinya ke tangan yang ditentukan.)


Aku telah menerima bayaran yang sepadan untuk tugas itu. 


Pertemuan pertama dengan Goshujin-sama terjadi secara kebetulan. 


Tapi, alasan aku akhirnya bekerja di sisinya adalah murni karena tugas ini.


"Tapi kenapa Daigo-sama yang harus dipilih?"


"Karena dia adalah orang yang akan meneruskan benih umat manusia───dia adalah sosok 'suami' yang telah ditentukan."


"Seperti kisah Adam dan Hawa? Kalo begitu, apa Hawa-nya adalah kau?"


"......Seandainya itu benar, aku akan sangat bersyukur."


Shashin menatap wajahku lekat-lekat.


"Ketika dunia ini berakhir nanti, pastikan kau membawanya ke Perahu Manu. Hanya itu yang aku minta."


"Kenapa kalian tidak melakukannya sendiri saja?"


"Meminta seseorang untuk menaiki kapal dari kultus yang mencurigakan di saat-saat terakhir hidupnya? Sudah jelas dia akan menolak. Kami tidak ingin menyakitinya."


Itu benar. Setidaknya mereka masih punya kesadaran diri. 


Aku harus mendekati Mido Daigo dan mendapatkan kepercayaannya demi menyelesaikan misi ini. 


...Awalnya, itu saja tujuanku.


★★★


Malam pun tiba, dan dunia telah ditelan oleh kegelapan. 


Fasilitas pembangkit listrik di Kota Yokohama sepertinya sudah hancur. 


Listrik seminimal mungkin masih bisa didapatkan dari sel bahan bakar hidrogen yang ada di tempat evakuasi, tapi penghematan energi benar-benar diperlukan. 


Kami membungkus diri kami dengan selimut dan membakar kain serta kertas bekas di dalam drum logam. 


Nyala api yang lembut itu terasa menenangkan.


"Saat kau masih kecil, Shishino-san, apa kau perna berpikir tentang apa yang akan kau lakukan pada hari terakhir sebelum dunia berakhir?"


"Seperti pertanyaan 'Kalo kau ke pulau tak berpenghuni, kau mau membawa apa?' begitu, ya?"


"Ya, semacam itu."


"Aku ingin makan camilan sampai kenyang."


"Camilan?"


"Ya, camilan. Yang dijual di supermarket itu. Soalnya aku tidak pernah punya banyak uang. Kalo itu hari terakhir, semuanya akan berakhir, kan? Jadi kupikir, kalo aku mencurinya pun, tak akan ada yang memarahiku."


"Pola pikir seorang perusuh, ya.”


Sekarang kalo dipikir-pikir memang begitu, ucap Shishino-san sambil tersenyum. 


Senyumnya seperti salju pertama di awal musim semi───indah, namun menghilang seketika saat kita berpaling. 


Mungkin justru karena itu dia tampak begitu menawan.


"Bagaimana denganmu, Goshujin-sama?"


"Aku...hanya ingin bisa menghabiskan waktu bersama keluargaku. Itu saja."


Orang tuaku sudah meninggal beberapa tahun lalu. 


Di zaman sekarang, hidup di dunia nyata bukanlah hal yang mudah. Hal itu pun bukan sesuatu yang langka. 


Shishino-san memandangi wajahku dalam diam, lalu dengan lembut mengelus dahiku.


"Ap-apa yang tiba-tiba kau lakukan? Jangan perlakukan aku seperti anak kecil."


"Apa yang kau bicarakan? Padahal kau sangat kecil."


"Kalau soal tinggi badan, yinggiku hampir sama dengan Shishino-san."


Dia terkikik kecil, seperti seorang kakak perempuan. 


Meski aku tidak bisa lagi menghabiskan waktu bersama keluargaku, kupikir aku akan baik-baik saja selama dia ada di sampingku.


"Melawan seperti itu—Itulah yang membuatmu menjadi anak kecil"


"...Usia kita juga sepertinya tidak terpaut jauh."


"Ara? Padahal aku ini sudah nenek-nenek berusia 92 tahun, lho."

 

Tentu, kalau dihitung dengan waktu selama dalam cold sleep juga, memang begitu. 


Tapi kalo bicara soal tahun-tahun yang dijalani dengan sadar, seharusnya selisih usia kami hanya sekitar 8 tahun. 


Meski begitu...ya, 8 tahun itu sebenarnya cukup besar.


"Kenapa kau menjalani cold sleep, Shishino-san? Bukankah kau punya keluarga atau teman di sekitarmu?"


"Ada, kok. Tapi aku ini orang yang berhati dingin. Mungkin karena itu aku tidak terlalu terikat secara emosional."


Dia sering merendahkan dirinya sendiri, menyebut dirinya manusia berhati dingin. 


Tapi entah kenapa, aku tidak pernah bisa melihatnya seperti itu. 


Memang, suhu tubuhnya terasa dingin, tapi selimut yang kami bagi terasa hangat bersamanya di dalamnya.


"...Aku menginginkan uang. Selalu begitu. Padahal aku sudah cukup menghasilkan cukup banyak uang. Bahkan ketika hidupku sudah cukup layak, aku terus menginginkan lebih dan lebih lagi. Aku terus bekerja mati-matian."


"Apakah ada sesuatu yang kau inginkan?"


Shishino-san memandangi nyala api dengan saksama, lalu bergumam pelan.


"Waktu kecil... aku pernah menonton film. Waktu itu layanan video model lama sangat murah, bahkan lebih murah dari sepotong roti tawar. Jadi aku mengalihkan rasa laparku dengan menonton film yang menarik."


"........."


"Ada seorang putri cantik, dia berkata begini, 'Setiap orang pasti punya seseorang yang ditakdirkan untuknya. Aku juga sedang menunggu pangeranku', sambil bernyanyi bersama burung-burung kecil. Gaunnya bergoyang lembut saat dia menari.”


Dia memejamkan mata dinginnya. Bulu matanya yang panjang bergetar sedikit.


"Makanya aku berjuang. Aku mencoba yang terbaik. Meski tangan dan kakiku harus putus, meski hampir semua organ dalamku diganti dengan barang murahan, aku terus bekerja. Aku bahkan melakukan hal-hal keji. Mungkin kalo kau tahu, kau akan merasa jijik dan tak akan mau menatapku lagi. Tapi tetap saja, aku terus bekerja. Karena──"


Cahaya api yang lembut memantul di rambutnya yang putih bersih.


"Saat aku bertemu dengan orang yang ditakdirkan untukku, akan jadi masalah kalo aku tidak punya gaun. Aku tidak mau terlihat menyedihkan."


Ketika dia selesai bicara, sesaat aku merasa dia terlihat seperti gadis kecil yang sangat rapuh. 


Aku ingin memeluk kepalanya dan membelainya sambil berkata, kau sudah berjuang dengan sangat baik. 


Tapi kalo aku benar-benar melakukan itu, dia mungkin akan sangat marah dan dia tidak akan mau berbicara denganku lagi. 


Karena itu, aku hanya menyandarkan kepalaku ke pundaknya.

  

"....Kalo itu aku, apa tidak bisakah? Maksudku...sebagai orang yang ditakdirkan untukmu...begitu."


"Tidak bisa."


"Ugh."


Padahal perasaanku begitu terbuka padanya. 


Dia pun selalu membalasnya dengan senyum lembut. 


Kami bahkan sedang bersandar berdekatan begini, dengan jari-jari yang saling menggenggam seolah tak ingin dilepaskan.


"Karena aku ini pengkhianat. Aku sedang berusaha menjualmu, tahu."


Aku sudah menyadari itu sejak lama. 


Dia sering berbicara dengan orang-orang mencurigakan tentang hal-hal yang tidak ak upahami. 


Lalu dia selalu menatapku dengan pandangan penuh rasa sakit setelahnya. 


Tentu saja aku tidak tahu rinciannya. Tapi aku cukup mengerti kalo dia sedang berusaha memanfaatkan aku. 


Aku tidak se-naif itu untuk percaya kalo dia bersamaku tanpa alasan.


"Meskipun begitu tidak apa-apa. Aku menyukaimu. Aku mencintaimu, Shishino-san. Menikahlah denganku."


"Kukuku. Kau benar-benar seperti anak-anak. Menikah itu dilakukan setelah menjalani hubungan serius terlebih dahulu."


"Tapi kalo kita menunggu, dunia bisa saja sudah kiamat."


Shishino-san tertawa kecil sambil menatap wajahku seolah menggoda.


"───Goshujin-sama kau ingin menjadikanku istrimu, ya?」


Kata-katanya tenang. Matanya yang indah seperti batu rubi menatapku. 


Dia tertawa, menggoda, tapi suaranya sedikit bergetar, dan tatapannya pun tampak goyah. 


Aku hampir kehilangan kendali, tapi aku tahu aku tidak boleh goyah.


"Ya, aku ingin."


"Fufu. Kenapa kau jadi pakai bahasa formal begitu?"


Dia tertawa ringan seolah tetap tenang, tapi aku bisa merasakan genggaman jarinya semakin erat. 


Dia menghirup aroma dari kepalaku yang bersandar di pundaknya, lalu mengusap rambutku dengan pipinya.


"Kalo begitu, silakan rayu aku."


"Eh?"


"Sepanjang sejarah, itu cara paling wajar untuk mendapatkan hati wanita."


Pipi Shishino-san sedikit memerah. 


Dia terlihat sangat manis, dan itu membuatku memutar otak mencari kata-kata rayuan.


"Shishino-san...kau sangat cantik."


"──Apa itu yang kau sebut rayuan?"


"Kau baik. Kau memang terlihat dingin dan cuek sih."


"────Tunggu. Itu terdengar seperti hinaan."


"Payudara mu...ramping dan indah."


"────Sepertinya kau ingin aku pukuli, ya."


"Kalo bersamamu, aku merasa sangat tenang."


"────Aku juga. Meskipun...begitu."


"Aku suka sekali mendengarmu bersenandung saat mengerjakan pekerjaan rumah."


"───Kau hanya tuli nada. Kau tidak punya sama sekali."


"Kau terlihat sangat cantik dengan gaun berenda"


"───Goshujin-sama kau suka maid, kan?"


"Aku suka aromamu yang manis. Itu membuatku melayang."


"────Ja-jangan cium aromaku seperti itu."


"Rambutmu halus sekali, rasanya aku bisa memandanginya selamanya”."


"────...Aku kadang merasa tatapanmu aneh."


"Aku suka tekadmu yang kuat. Itu sangat keren."


"────Itu karena aku keras kepala dan tidak fleksibel."


"Saat kau terlihat hampir menangis, aku ingin memelukmu."


"────Aku ini orang dewasa. Jadi aku tidak akan menangis begitu saja."


"Kau terlalu baik padaku. Siapa yang tidak akan jatuh cinta coba."


"────Laki-laki memang cepat sekali salah paham."


"Lagipula, kau pasti menyukaiku juga."


"────Iya iya. Itu cuma delusi yang menyakitkan."


"Tapi kau tidak mau melepas tanganku."


"───Karena sirkulasi darahku buruk. Jari-jariku dingin sekali"



"Aku tau kadang kau membangunkanku dengan ciuman."


"───A-aku tidak pernah melakukan hal seperti itu."


"Kenapa...kau bisa secantik itu?"


"──Diam. Jangan menatapku seperti itu."


"Aku mencintaimu. Tolong jadilah pacarku."


"────Itu sudah bukan rayuan lagi."


"Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu."


"────............."

 

Aku menyentuh tubuhnya. Dengan lembut aku menopang bahunya dan mendorong punggungnya. Tidak ada penolakan. Dia tetap berbaring diam di lantai. Mengalihkan pandangannya. Dengan wajah seolah hendak menangis. Pipinya semerah apel.


"Kalo kau juga mencintaimu, lalu apa?"


"Eh?"


"Bagaimana kalo aku mencintaimu? Bagaimana kalo aku mencintaimu? Semuanya akan lenyap juga pada akhirnya."


Dia menangis. Dengan air mata menggenang di matanya seperti seorang gadis kecil, dia menatapku.


"Kalo aku yang mati, aku bisa menerimanya. Itu sama sekali tidak menakutkan."


Shishino-san meletakkan tangannya di dadaku, lalu mendorongku dengan kuat.


"Tapi kalo orang yang sangat aku cintai yang mati, aku tidak sanggup. Aku tidak ingin berpisah dengan orang yang aku sayangi. Aku tidak ingin dia ada dalam genggaman ini. Tolong, tetaplah berada di tempat yang jauh. Jangan mendekat. Jangan menatapku. ...Jangan menyentuhku."


Ah. Andai saja aku lebih kuat. Andai aku ini pahlawan super yang bisa menyelamatkan bumi yang akan musnah. 


Kalo begitu, aku bisa memeluk orang ini dan berkata kalo aku akan melindunginya seumur hidup. 


Tapi aku yang lemah ini hanya bisa melakukan sesuatu yang bahkan seekor monyet pun bisa───aku lalu mengusap pipinya yang berlinang air mata.


"Aku juga tidak ingin berpisah denganmu. Justru karena itu, di akhir nanti, aku ingin berada di tempat paling dekat denganmu."


Aku menggenggam tangannya dengan erat. Agar kami tidak akan pernah terpisah lagi. Agar kami bisa terus bersama mulai sekarang.


(Ah...'tidak akan pernah lagi'───apa sebenarnya maksud dari kata-kata itu)


Aku sedikit terkejut dengan kata yang tiba-tiba muncul dalam pikiranku, tapi sekarang yang lebih penting adalah membujuk orang ini.


"Shishino-san. Aku mencintaimu. Habiskan akhir dunia bersamaku."


Dia menatap mataku dalam-dalam. Dia jelas-jelas terlihat bingung dan panik. Tapi terlihat sangat, dia sangat megemaskan.


"Tapi... aku tidak bisa."


"Kau masih menolak? Kenapa?"


"Karena... aku masih punya pekerjaan yang harus aku lakukan."


"Pekerjaan."


"Di akhir dunia, aku harus menaikkanmu ke bahtera. Atau, apa namanya, kapal Manu ya? Aku tidak tahu. Tapi itulah tugasku. Dan aku...tidak bisa naik ke kapal itu."


Tanpa sadar aku tertawa kecil. 'Pekerjaan'. Dengan kata lain, 'karena dia sudah berjanji sebelumnya'. 


Betapa orang ini begitu teguh pada prinsipnya dan canggung dalam mengekspresikan dirinya. Tapi justru sifat seperti itulah yang membuatku jatuh cinta padanya.

 

"Mana yang lebih penting, pekerjaan atau aku?"


Aku mencoba bertanya dengan cara yang licik, yang sering digunakan orang. 


Aku merasa harus bertanya sejujur itu kepada Shishino-san. 


Dia langsung terlihat terguncang, hampir menangis, lalu dia menutupi wajahnya dengan tangannya.


"....Tentu saja kau, Goshujin-sama."


"!!"


Berhasil. Apa akhirnya dia menyerah!? 


Tepat saat aku mulai berpikir begitu, dia segera melanjutkan.


"Tapi Goshujin-sama, kau harus naik ke kapal Manu. Mungkin Goshujin-sama masih bisa selamat."


Ah. Itulah alasan sebenarnya kenapa aku mencintainya. Betapa lembut dan canggungnya dia, sampai membuatku semakin mencintainya. 


Ada hal yang sejak dulu ingin aku katakan, tapi aku tahan karena aku pikir dia akan menolak—sekarang aku putuskan untuk mengatakannya.


"Ayo kita naik ke Galaxy Express. Bersama."


"Benda itu! Itu milik AI dan orang-orang yang sudah sepenuhnya berpindah ke jaringan. ...Itu hanya cara untuk mengulur waktu."


"Tapi itu tetap lebih baik daripada tinggal di bumi yang akan hancur. Kudengar ada zona hunian di dalamnya."


"....Dan, itu semua untuk apa. Hidup selamanya terkurung dalam kereta baja itu."


"Agar aku bisa bersama Shishino-san, meski hanya sedikit lebih lama."


"Jangan berkata hal kekanak-kanakan seperti itu..."


Padahal biasanya dia yang mengejekku sebagai anak-anak. 


Betapa liciknya dia berkata seperti itu sekarang. 


Shishino-san bukan orang yang terlalu memedulikan dirinya sendiri. 


Mungkin dia bahkan tidak pernah berniat untuk hidup dengan kuat. 


Karena itulah mungkin, dia tidak pernah tertarik dengan Galaxy Express. 


Hanya hidup, lalu mati. Itulah keyakinannya.


"──Hiduplah bersamaku. Dan kalo semua sudah benar-benar tidak bisa dihindari, barulah kita akan mati bersama."


Dia berpikir sejenak, dengan wajah berlinang air mata, lalu dia tertawa pelan.


"Apa itu?"


Memang itu terdengar seperti logika yang aneh. Tapi mau bagaimana lagi? 


Hidup sesuka hati, mati juga sesuka hati. 


Pada akhirnya, kita hanya akan tidur di bawah tanah bersama penyesalan-penyesalan sepele. 


Sampai saat itu tiba, aku hanya ingin menggenggam tangan orang yang aku cintai dengan erat, percaya bahwa aku tidak sendirian.


"Aku mencintaimu. Shishino-san."


"....Ya."


"Tidak, bukan hanya 'ya' saja. ...Aku ingin jawabanmu."


"P-pinya."


Aku mendorong tubuhnya perlahan hingga dia berbaring di lantai, tangan lembutnya menekan dadaku. Rambutnya yang lembut menyebar seperti kelopak bunga putih. Jarak kami cukup dekat hingga hidung kami bersentuhan, lalu dia berbisik dengan suara pelan dan bergetar.


"────Aku juga mencintaimu, Goshujin-sama. Aku mencintaimu. Aku akan memberikan segalanya untukmu."


Jantungku berdetak kencang. Shishino-san tersenyum seperti anak kecil, lalu dia menatap mataku. 


Kami sama-sama tahu apa yang akan terjadi setelah ini. 


Dahi kami bersentuhan. Hembusan napasnya menyentuh bibirku. Aroma manis. Untuk sesaat, pikiranku hampir meledak.


Aku hendak menutup bibirnya dengan bibirku──


『Ping pong pan po~n. Mohon maaf mengganggu di saat yang sangat menentukan, ini siaran kilat』


Tanah berguncang. Angin kencang menderu dan menghantam jendela. Cahaya biru terang berpendar berkilauan di malam yang seharusnya diselimuti kegelapan pekat.


Shishino-san langsung berdiri dan menatap ke luar jendela.


"!!"


────Kota Yokohama diliputi oleh cahaya biru. Itu adalah partikel yang terpancar dari meteor. Tidak, itu aneh. 


Aku belum pernah dengar ada meteor yang bercahaya biru. 


Gooo, gooo, gooo, gooo. 


Dunia mengeluarkan suara kehancurannya. Lapisan mantel bumi mulai berderit.


"Goshujin-sama!"


Dia menggenggam tanganku dan mulai berlari. 


Menara Yokohama Landmark mulai roboh. 


Dia menendang lantai yang sudah miring, menarik Skywalker-ku, lalu melompat keluar jendela menuju langit malam.


"Jangan pernah lepaskan tanganku!"


Shishino-san melesat di langit malam Yokohama. 


Aku digendong dalam posisi seperti putri raja, tapi tak ada waktu untuk protes. 


Akhir dunia telah dimulai. Karena gangguan gravitasi dari meteor, bumi akan hancur.


Aku menatap langit malam.


Di sana terlihat sebuah kapal raksasa.

 

Sambil menyerap cahaya biru fosfor yang dipancarkan oleh meteor, sebuah kapal raksasa sebesar gunung melintasi langit malam yang hitam pekat. 


Aku menyadarinya. Itulah 'Kapal Manu'. Cahaya biru itu adalah cahaya portal yang khas. 


Mereka memanfaatkan gravitasi meteor raksasa itu untuk secara paksa merobek lubang dimensi.


(──Meteor itu tidak jatuh ke bumi secara kebetulan. Seseorang sengaja mengarahkannya ke sini)


Apa orang-orang yang membuat kapal itu──yang mengoperasikan kapal itu──berniat menghancurkan bumi ini?


『Selamat siang, Shishino-san. Dan juga 'suami' kami, Midou Daigo-san. Tempat itu berbahaya. Segeralah ke sini.』


Di bagian depan kapal itu berdiri seorang gadis dengan topeng tengkorak berwarna cerah. 


Ketika aku memegang bahu Shishino-san, dia berbisik pelan, "Tidak apa-apa."


"Selamat siang, Shashin! Mohon maaf, tapi kontraknya akan aku batalkan." 


『Batal? Kenapa begitu?』


Untuk sesaat, Shishino-san menatapku dengan wajah berlinang air mata, tapi segera setelah itu, warna di matanya berubah menjadi keteguhan. 


Keteguhan dan tekad itu───itulah yang paling aku cintai darinya.

 

"Karena orang ini adalah takdirku."


Kapal raksasa berwarna biru itu mengoyak langit malam dengan suara gemuruh.


★★★


Dunia telah hancur.


──Tidak, lebih tepatnya sedang berada dalam proses kehancuran. 


Tahun 1962 Masehi. Yokohama telah ditelan oleh bencana.


"Goshujin-sama, ke sini」


Aku menarik tangan Goshujin-sama yang mungil. Dia bilang tinggi kami hampir sama, tapi bagiku dia tetap kecil. Goshujin-sama yang kecil, kecil sekali, milikku seorang.


"Shishino-san kau benar-benar bodoh."


"Yang bodoh itu justru kau, Goshujin-sama."


Pelarian kami dari kapal biru itu, 'Kapal Manu', sama sekali bukan hal yang mudah. 


Entah kenapa, senjata Hole-Gun di ujung jariku tidak berfungsi. Aku tidak tahu tahu kenapa. 


Kami penuh luka. Banyak tulang kami yang patah. 


Tapi yang lebih parah justru kondisi Goshujin-sama.


(Karena orang ini terlalu baik hati)


Padahal akulah yang seharusnya terluka. Tapi hanya dia yang terus-menerus menderita.


"Waaah! Dunia benar-benar sudah kiamat, ya!"


『Sebelum malam mencapai akhir! Cepat! Kejar Midou Daigo───!!』


Sebuah floater (kendaraan bertenaga aerodinamika) melaju di belakang kami. 


Itu para pengikut 'Gereja Terowongan Tanpa Akhir'. 


Beberapa telah aku tangani dengan pisau, tapi mereka terus mengejar tanpa rasa takut. 


Itu sangat khas para fanatik.


(Di mana para monster? Chimera-Zombie? Manusia-serangga dari Pedagogue?)


Dalam arti tertentu, kota Yokohama sudah menjadi damai. Mungkin karena pengaruh cahaya portal. 


Keberadaan yang tidak pasti secara eksistensial tidak mampu mempertahankan bentuknya di hadapan energi sebesar itu.


"Goshujin-sama!!"


Salah satu floater mengaktifkan portal darurat andalan mereka dan menyerbu kami dengan niat bunuh diri. 


Aku langsung memeluknya dan menerobos masuk ke semak belukar. 


Kami berhasil lolos tepat waktu, namun situasinya tetap tidak membaik.


"Shishino-san, lupakan aku dan larilah sendiri. Kamu masih punya tiket Galaxy Express-mu."


"Bodoh."


Sesaat aku hampir kehilangan kendali. Apa-apaan orang ini! Bukankah kau sendiri yang bilang kalo kau ingin hidup bersamaku? Kau ingin selalu bersamaku? Dan sekarang, kau bilang aku harus pergi sendiri? 


Sudah terlambat untuk itu.


"Tolong jangan pernah bilang 'sendiri' lagi. Aku tidak takut pada peluru. Aku tidak takut pada akhir dunia. Tidak pernah sekalipun aku gentar menghadapi luka atau kematian."


Tapi──aku merintih sambil bergantung padanya.


"Kalo aku harus berpisah denganmu, aku akan hancur."


Hei, Goshujin-sama ketahuilah. Hidupku ini sungguh kacau dan menyedihkan. 


Aku tidak peduli kalo aku harus mati kapan saja. 


Aku hidup hanya karena alasan bodoh seperti lelucon murahan. 


Tapi aku ingin melindungimu. Aku ingin bersamamu meski hanya satu detik lebih lama.


Demi cinta kecil ini, aku mengumpulkan semua keberanian yang kumiliki.


Kami terus berlari sekuat tenaga. Kami lolos dari para pengejar kami, dan terkadang kami takut dengan sisa-sisa monster yang muncul di ujung penglihatan kami, tapi kami tetap terus berjuang untuk harapan. 


Kami hidup dengan sekuat tenaga, dan mati pun dengan sekuat tenaga. Itu sama seperti biasanya.


"Goshujin-sama. Lihat."

 

Tempat yang kami capai adalah sebuah bukit kecil. Seharusnya aku bertemu dengan 'dia' di sini. Tapi tidak ada siapa pun disini. Tidak ada seorang pun. Tidak ada apa-apa───ini hanya sebuah tempat tinggi yang sangat cocok untuk menyaksikan akhir dunia.


"Ahaha."


Aku tertawa, lalu duduk perlahan di tempat itu.


(Inilah akhirnya. Tapi...rasanya tidak terlalu buruk)


Aku sudah berjuang sekuat tenaga untuk hidup. Bertahan sampai akhir. Maka sekarang, tinggal menunggu kematian. Goshujin-sama duduk di sisiku, seolah merapat padaku. Dan bagiku, itu saja sudah cukup.


"Maafkan aku, Goshujin-sama."


"....Tidak apa. Justru aku yang bersyukur. 


"Kenapa?"


"Karena, aku bisa bersama Shishino-san di saat-saat terakhirku."


Sungguh. Sampai akhir pun dia masih mencoba merayuku seperti itu. 


Sejak kapan dia menjadi anak yang suka menggoda seperti ini? 


Aku menatapnya dengan kesal, dan dia hanya tertawa malu.


"Aku mencintaimu."


"....Apa-apaan cara bicaramu itu. Kau bertingkah seperti orang dewasa."


Sungguh menggemaskan. Jujur saja, aku sangat menyukainya.


"Karena ini saat terakhir, aku ingin menutupnya dengan keren."


"Ini bukan akhir."


Dia menggenggam erat tanganku. Sangat erat, sampai terasa sakit. Tapi itu bukan alasan untuk menolaknya.


"Karena kita terikat oleh takdir. Sekalipun hari ini kita mati, kita pasti akan bertemu lagi."


Aku tidak ingin dia merasa takut, walau sedikit. Meski itu hanya penghiburan yang membosankan, aku ingin dia tetap punya harapan. Dan itu juga adalah harapanku sendiri.


(Di kehidupan selanjutnya pun, izinkan aku menggenggam tanganmu. Izinkan aku mengatakan kalo aku mencintaimu)


Dengan segenap perasaanku itu, aku menatap dirinya.


"Saat kita bertemu lagi, jadikan aku istrimu."


Oh ya. Masih ada satu hal terakhir yang membuatku kesal.


(Bahkan untuk ciuman pun, kenapa kau harus malu begitu? Goshujin-sama Baka.)

 

Ini adalah ciuman pertamaku. Aku tidak ingin menjadi orang yang melakukannya. Aku ingin seorang pangeran yang melakukannya. Saat aku menatapnya dengan memohon, aku mendengar suara bernada tinggi. 

 

Itu adalah suara mesin floater. Kami segera bersiaga, namun tak lama kemudian suara riang terdengar.


『Shishino-chaan! Daigo-kuun! Maaf, aku telat──!』


Seorang putri duyung berpakaian perawat. Sebuah AI yang berpenampilan konyol sedang menunggangi sepeda motor besar.


"Sena! Kau terlalu lambat!"


Aku menaiki sepeda motor terbang itu dan membiarkan Goshujin-sama duduk di belakangku.

 



Bagian dalam Galaxy Express yang diluncurkan darurat karena kehancuran Bumi, sangatlah sunyi. 


Di kabin penumpang yang dibuat untuk umat manusia, tidak ada siapa pun selain kami. 


Mungkin saja, kami adalah satu-satunya makhluk dari dunia daging yang mencoba bertahan tanpa sepenuhnya berpindah ke jaringan.


Bercanda. Kurasa kami tidak berada di gerbong yang sama. Bagaimanapun, kereta ini sangat besar.


"Kereta ini akan pergi sampai ke mana, ya." Goshujin-sama bergumam dengan suara lelah.


"Kalo tidak salah, tujuannya adalah planet yang memungkinkan kehidupan untuk berkembang."


Tapi, kemungkinan besar kami tidak akan pernah melihatnya. Kereta ini akan menyeberangi alam semesta selama jutaan tahun. Ini akan menjadi perjalanan yang luar biasa panjang. Tapi kalo aku bersama Goshujin-sama, sepertinya itu bukan hal yang buruk.


"Goshujin-sama, tunggulah di sini. Aku akan mencari di mana letak ruang medis."


Goshujin-sama yang penuh luka tersenyum kecil dan mengangguk.


Galaxy Express dengan panjang total 280 km itu, seingatku, seharusnya memiliki area hunian untuk makhluk hidup di suatu tempat.


"Baiklah."


Di lorong tempat suara mesin penggerak Galaxy Express terdengar samar, langkah kakiku yang berdentum turut bergema. 


Aku mencari tangga dengan menelusuri peta. 


Setelah membuka palka dari bagian sambungan gerbong, aku merangkak keluar menuju bagian luar. 


Galaxy Express masih melaju di ketinggian sekitar 10 kilometer dari permukaan tanah. 


Itu karena kereta ini masih menunggu manusia seperti kami untuk naik ke dalamnya.


"....Selamat siang, Shashin."


『Maaf, mendadak memanggilmu seperti ini.』


Yang berada di atas atap Galaxy Express adalah seorang gadis yang mengenakan topeng tengkorak. Aku telah menerima sinyal darinya berkali-kali. Menyuruhku untuk datang ke tempat ini. Aku tidak bisa lari dari panggilannya.


"Kenapa kau ada di tempat seperti ini?"


Meski berada di atas kereta yang melaju dengan kecepatan tinggi, tidak ada tekanan angin yang terasa. 


Itu merupakan pengaruh dari medan anti-gravitasi milik Kereta Galaksi. 


Dalam radius beberapa meter dari kereta ini, gravitasi yang mirip dengan Bumi dipertahankan.


『Kalo di dalam, aku mungkin bisa melukai Daigo-kun.』


Kapal berwarna biru itu sudah terlihat jauh di belakang. Apa kemampuan terbangnya memang rendah?


"Aku tidak mengerti. Apa tujuanmu? Kenapa kau ingin membawa Goshujin-sama?"


Aku tidak merasa ini semata karena ajaran agama sesat atau semacamnya. Tidak ada sorot mata penuh fanatisme, tidak ada nada suara khas pemuja buta dalam dirinya. Tatapannya tenang. Suaranya pun pelan saat dia berbicara.


『──Bagaimana kalo segala hal di dunia ini telah ditentukan oleh 'takdir'? Apa yang akan kau lakukan?』


Aku tidak mengerti maksud dari pertanyaannya. Apa itu semacam metafora? Tidak, dia terlihat begitu serius.


『Aku tidak menyukai hal itu. Bukan soal benar atau salah, baik atau buruk. Aku hanya tidak suka. Kalo memang ada sesuatu yang menggerakkan kita seperti boneka, aku ingin menghancurkannya.』


"Keinginan yang membosankan."


『Haha. Benarkah begitu?』


Entah sejak kapan, cara bicara Shashin telah berubah. Mungkin inilah dirinya yang sebenarnya.


"Aku tidak tertarik pada takdir. Asalkan aku bisa makan makanan enak, dan orang yang aku cintai berada di sisiku, itu sudah cukup."


Aku tahu dia menarik napas karena terkejut. Aku bisa merasakan tubuhnya dipenuhi oleh kemarahan yang tenang. Aku tidak tahu apa penyebabnya. Karena aku tidak pandai membaca perasaan orang lain. 


Tapi, justru karena akulah yang berada di hadapannya, aku dapat menangkap firasat itu dengan sangat jelas. 


──Itu adalah firasat akan sebuah duel.

 

『Seperti yang kuduga, aku memang tidak cocok berbicara denganmu, ShiShi.』


Yang diambil Shashin dari balik pakaiannya adalah sebuah gagang kecil. 


Saat dia mengayunkannya di udara, garis besar sebuah gergaji besar berwarna biru muncul. 


Aku tidak tahu senjata macam apa itu. Aku belum pernah melihat yang seperti itu sebelumnya. 


Tapi, aku tidak merasa takut. Pada dasarnya, aku memang tidak pernah merasakan hal semacam itu.


(Aku tidak peduli apakah aku hidup atau mati)


Aku tidak pernah merasa takut pada apa pun. 


Kata 'takut' hanya sesuatu yang kupahami dari arti katanya saja.


(Tapi, kalo aku harus kehilangan Goshujin-sama──itulah yang paling menakutkan untukku)


Itulah sebabnya aku tidak ingin mencintainya. Tapi demi cinta kecil yang remeh itu, aku memaksakan keberanianku yang tersisa. 


Aku tidak punya pilihan selain melakukannya. Setelah menarik napas dalam-dalam, aku mengeluarkan pisau yang sudah tumpul karena lemak.


『Raaahhhhhhhhh──!!』


"Oooooooaaaaaaaaaaaaaaaaaaa──!!"


Aku menghindari tebasan menyilang dari gergaji Shashin dengan posisi rendah, lalu menusukkan pisaunya dari bawah. 


Pisau itu menancap di lengan kanannya. 


Tapi, dia sama sekali tidak mengerang kesakitan, bahkan dia tidak melepaskan gergajinya. 


Aku yang terkejut sempat kehilangan fokus sejenak. 


Dia lalu memukul pipiku dengan lengan kirinya yang kosong.


"Guh..."


Yang kehilangan keseimbangan justru aku, karena serangan tak terduga itu. 


Gerakannya beberapa kali lebih tajam dari yang kuduga, dan gaya bertarungnya seperti seseorang yang terbiasa bertarung. 


Shashin tidak menghentikan serangannya saat aku terhuyung-huyung.


(Aku bukan hanya seorang jagoan jalanan biasa. Tubuhku dan sistem sarafku sudah dimodifikasi untuk bertarung.)


Aku mundur satu langkah besar untuk mengambil jarak dan menyusun ulang posisiku. 


Shashin mengambil kembali gergaji yang terjatuh dan bersiap dalam posisi bertahan. 


Gergaji biru itu berkilau seperti api yang bergetar.


『Heh. Jadi kau merasa kuat, ya? Hanya karena punya tenaga dan bisa berlari cepat?』


"....!"


『Kau kekurangan satu hal──keputusasaan』


Dalam sekejap, dia sudah menutupi jarak kami. 


Saat aku nyaris menghindari gergaji yang diayunkan ke atas, dia langsung mengubah arah dengan memanfaatkan pantulan gerakan, dan menyerang dari bawah. 


Bilah itu menyayat bahuku. Suara mengerikan dari otot yang robek terdengar jelas.


"Ggah...!"


『Ini akhirmu!』


Shashin berputar ke samping, menambah gaya sentrifugal untuk menebas tubuhku sepenuhnya.


"Gwooooaaaaahhhhh!!"


Terdengar suara dentuman yang menusuk telinga. 


Itu adalah suara saat telapak tanganku mencoba menahan bilah gergaji, dan lenganku terbelah hingga ke siku. 


Untunglah itu lengan buatan. Kalo itu lengan dari daging dan tulang, tubuhku pasti sudah terbelah dua.


"Luka ini..."


Dengan tangan yang berlumuran darah, aku menggenggam pisau sekuat tenaga.


"Jangan remehkan akuuu──!!"


Dengan segenap kekuatan, aku mengarahkan ujung pisau ke rongga mata Shashin. 


Tapi dua memutar tubuhnya, menghindar dari serangan itu. 


Sebagai gantinya, topeng tengkoraknya pecah dan wajah aslinya terlihat.


『......』


──Wajah Shashin tertutup oleh gangguan visual seperti blok piksel.


Seperti video lama yang rusak, wajah gadis itu dipenuhi kotak-kotak hitam putih. 


Seolah-olah cahaya di bagian itu terganggu oleh gangguan dunia. 


Seperti layar yang rusak dan tak lagi bisa menampilkan gambar dengan sempurna.

 

(Apakah orang ini hologram? Tidak mungkin. Kecerdasan buatan? Tekstur digital? Bukan. Ini adalah manusia sungguhan)


Darah merah menyala mengalir dari celah topeng yang retak.


『Ketahuan~ deh~. ...Cuma bercanda』


Shashin tertawa dengan nada bercanda, lalu memutar pergelangan tanganku dengan satu tangannya yang kosong, dan menjatuhkan pisau dari genggamanku.


"Guh."


Perutku ditendang ke atas, membuatku terjatuh dan meringkuk di tempat. 


Shashin mengangkat gergajinya.


『Selamat tinggal, ShiiShii. Tom-ku. Di kehidupan berikutnya, ayo kita bertengkar dengan akur lagi.』


Aku menatap kematian tepat di depan mataku. Dan pada saat itulah, terdengar suara langkah kaki menaiki atap, tontan.


".....Apa yang...kau lakukan."


Shashin bergumam "Eh" dan menoleh. Yang berdiri di sana adalah Goshujin-sama. 


Tubuh kecilnya menatap kami dengan wajah yang pucat. Aku ingin berteriak 'lari', tapi karena aku baru saja ditendang di ulu hati, suaraku tidak bisa keluar. 


Aku memaksakan diri untuk bersuara. Tapi yang keluar dari mulutku hanyalah erangan pelan.


『Tidak...jangan lihat...!』


Shashin menutupi wajahnya dengan telapak tangannya, seolah ingin menyembunyikannya. 


Dia tidak memberikan pukulan terakhir padaku. Dia juga tidak menyerang Goshujin-sama. Dia hanya menutupi wajahnya seperti seorang gadis pemalu yang sedang menyembunyikan air matanya.


(Apa alasannya?)


Aku tidak tahu apa alasannya. Karena aku tidak peka terhadap perasaan orang lain. 


Aku memang lemah dalam berbicara dengan orang, juga dalam memahami perasaan orang. 


Tapi tetap saja, ada hal yang bisa aku pahami.


『Guh.』

 

──Di tengah pertarungan hidup dan mati, kalo kau mengalihkan pandanganmu, maka tidak ada hak untuk mengeluh meskipun kau harus mati. 


Aku menusuk dadanya dengan lengan kananku yang tajam, yang telah terpotong menjadi dua. 


Darah merah menyala meluap ke langit malam. Aku bisa merasakan sensasi daging yang tembus yang nyata. 


Meskipun kehilangan keseimbangan, Shashin tidak sekalipun melepaskan tangannya yang menutupi wajahnya.


『...Ahhh. Lagi-lagi, aku kalah ya』


Tubuhnya yang berdarah mulai tidak stabil. Di atas Galaxy Express yang melaju di angkasa, gerakan seperti itu berarti kehilangan nyawa.


『Lain kali aku yang menang, baby.』


Shashin tersandung dan terjatuh dari Galactic Railroad. Aku hanya bisa menatap kepergiannya dengan dengan kaget. Itu adalah akhir yang sangat antiklimaks. Aku memang kalah darinya, tapi pada akhirnya, aku yang bertahan. Dengan kata lain, ini akhir yang bahagia?


──Tapi, aku seharusnya menyadari satu hal.


Kalo di sini ada seorang anak laki-laki yang luar biasa baik, bodohnya seperti kejujuran itu sendiri, dan selalu lurus dalam bertindak. 


Seseorang yang akan secara refleks berusaha menyelamatkan orang yang jatuh dari langit.


『Eh?』


Goshujin-sama telah menggenggam tangan Shashin yang melayang di udara. 


'Jangan'. Saat aku hendak berteriak seperti itu, keduanya telah lenyap dari pandanganku. 


Mereka jatuh bersama. Tertarik oleh gravitasi. Meskipun masih dalam batas stratosfer, ketinggiannya lebih dari 10 kilometer.


Di bawah langit tempat meteor biru menghujani bumi, hanya aku yang tertinggal sendirian.


Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال