Kamu saat ini sedang membaca Unmei no hito wa, yome no imōtodeshita. volume 1 chapter 1. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw
GADIS YANG DITAKDIRKAN UNTUK KU, AKU MENEMUKANNYA
── 6 bulan telah berlalu.
Apartemen yang aku kelola, 'Maison de Shanghai', terletak di distrik Naka, Yokohama, Prefektur Kanagawa. Tepatnya di kawasan Chinatown Yokohama. Chinatown terbesar di Jepang!
Dengan deretan kios-kios yang berjumlah sebanyak bintang di langit dan restoran-restoran Chinese food yang padat.
Tempat ini selalu dipenuhi dengan suasana yang begitu ramai dan menggairahkan.
"Heii, apa kabar?"
Saat aku sedang menyapu depan apartemen, seorang wanita kecil seperti gayaru mendekat dan menyapaku.
"...SiHan. Sudah lama kita tidak bertemu, ya?"
Yen SiHan. Seperti yang pernah aku sebutkan sebelumnya, dia adalah sahabatku.
Meskipun dia keturunan Cina, dia lahir dan besar di Yokohama, dan meskipun dia suka makanan Sichuan, dia lebih menyukai ramen khas Yokohama.
"Terakhir kali kita bertemu saat pernikahan teman kita, jadi sudah setengah tahun ya?"
Setengah tahun yang lalu, kami pergi ke pernikahan teman kami.
Saat itu, aku bertemu dengan mantan istriku, minum terlalu banyak, menyusup ke kafe landak, dan akhirnya mendapat bantuan dari petugas polisi yang sibuk.
── Dan ketika aku terbangun, Yen Si Han sudah menghilang dari kota ini.
"Kau selama ini ke mana saja?"
Dia tinggal di kamar 201 'Maison de Shanghai'. Bagian belakang apartemen menghadap ke restoran Chinese food, jadi jika dia menjemur pakaian di balkon, baunya akan menempel, tapi sebagai gantinya, harga sewanya adalah yang paling murah di daerah ini.
Sejak dia menghilang begitu saja, sewa yang menunggak sudah cukup banyak, dan ada banyak hal yang ingin kubicarakan.
"....Hmm."
Dia menggerakkan ekor kuncir 2 miliknya dengan riang lalu tersenyum.
"Untuk sementara, mari makan dulu."
Kami pergi ke sebuah restoran tua yang terletak di gang sempit Chinatown, 'Kōryūtei.'
Tempat ini adalah restoran favorit kami.
Menu yang paling populer adalah bubur Cina, yang kuahnya terasa sangat kuat dari kaldu kerang.
Itu sangat menyegarkan di perut dan sangat cocok untuk sarapan.
"Aku ada di New York."
"Eh?"
"New York. Aku ingin tampil di panggung Broadway. Tapi aku merindukan mie, jadi aku akhirnya menyerah."
Seriusan?
"Aku tidak punya uang untuk biaya pulang, jadi aku bekerja di bar jazz selama 6 bulan, dan akhirnya hari ini aku kembali ke sini."
Dia memang selalu memiliki sifat yang tidak terduga.Kami pun mengangkat gelas dan bersulang untuk pertemuan kembali kami, sambil menikmati bubur Cina seharga 250 yen per mangkuk.
Ini adalah momen sederhana namun membahagiakan, menikmati bir sejak pagi hari.
"Ngomong-ngomong, kau tidak ingat ya? Aku sudah mengatakan itu padamu."
"Kapan?"
"Setelah pernikahan itu. Kita minum di Noge. Kemudian minum lagi di Bentendori. Membeli alkohol di konbini, lalu minum di Taman Yamashita."
Kami benar-benar minum sebanyak itu? Perlahan, aku mulai mengingat kembali.
"Kita mabuk berat, lalu berbicara tentang impian. Aku bilang, kalo aku ingin mewujudkan impian masa kecilku, aku harus pergi ke Amerika—"
"Ah."
Sekarang aku ingat.
"—Tapi aku ini ibarat landak yang mencintai semua orang dan menyakiti mereka, jadi aku pergi untuk memeluk makhluk malang itu."
Aku teringat malam itu, saat aku menangis karena dilema si landak.
Sungguh konyol. Seharusnya aku mengatakan 'porcupine.'
Itu adalah kenangan buruk yang ingin kutinggalkan, jadi aku simpan dalam hati dengan hati-hati.
"Kalo kau sendiri, bagaimana selama setengah tahun ini?"
Shihan bertanya, dan aku pun mengangguk.
"Setengah tahun yang terbaik."
"Akhinya kau menjalani prosedur phimosis?"
"Matilah."
Aku menunjukkan layar Hp-ku ke SiHan.
Di layar kecil itu, terlihat percakapan antara aku dan H.N. 'Towa', di mana kami berbicara dengan mesra.
SiHan memiringkan kepalanya.
"Apa ini? Oh, aplikasi pencari pasangan. Akhirnya kau mencoba bangkit setelah perceraianmu. Bagus juga."
"Itu bukan satu-satunya alasan."
3 setengah tahun yang lalu, aku bercerai dengan orang yang kucintai.
Sejak itu, aku takut untuk menjalin hubungan yang dalam dengan wanita, aku merasa takut dan menghindar.
Aku rasa aku tidak akan pernah bertemu dengan 'orang yang ditakdirkan.'
Tapi, akhirnya aku mulai melangkah ke depan.
"──Aku menikah!"
SiHan terkejut sejenak.
"Wah, itu luar biasa. Mungkin agak cepat, tapi... memang begitulah proses pencarian pasangan, ya? Pasanganmu cantik?"
"Tidak tahu."
"Apa?"
Dia menatapku, alisnya sangat mengernyit.
"Akhir-akhir ini ada yang namanya 'blind marriage.' Apa kau tau?"
"Tidak tahu, dan aku punya firasat buruk."
"Intinya, kita tidak berkomunikasi kecuali lewat Telepon atau email. Bahkan bertemu langsung pun tidak. Surat nikah dikirim lewat pos, dan setelah suray diserahkan ke kantor pemerintah, baru kita bertemu."
"Hei, hei, hei, hei, hei, hei, hei, hei."
SiHan menjatuhkan sumpit yang dipegangnya.
"Dasar bodoh! Kau menikahi seseorang yang bahkan belum pernah kau temui sebelumnya?!"
Aku mengerti kenapa dia terkejut, dan aku juga paham kenapa dia cemas.
Itu juga keputusan yang kuambil setelah berpikir keras.
Tentu saja itu bukan keputusan yang mudah.
Bahkan hingga sekarang, kalo aku bilang aku tidak merasa takut, itu akan menjadi kebohongan.
"Toa-san adalah wanita takdirku!"
──H.N. 'Towa.' Kami bertemu melalui aplikasi pencari pasangan yang sedang tren, dan segera kami merasa sangat cocok.
Kami yakin kalo kami adalah pasangan yang ditakdirkan.
Selama sekitar 6 bulan, kami berbicara di telepon hampir setiap malam, kami berbicara hingga pagi hari.
Meskipun kami tidak pernah bertemu secara langsung, kami merasa kalo kami adalah pasangan yang sempurna.
Aku yakin kalo hanya dia yang cocok untukku.
"Tapi, seharusnya setidaknya kalian bertemu sekali, kan?"
"Tidak bisa. Towa-san bilang dia hanya akan melakukan 'blind marriage,' selain itu tidak."
"Apa?"
"Dia bilang dia tidak akan bertemu aku sampai kami menikah."
SiHan menepuk bahuku dengan ringan.
"Itu penipuan."
"Bukan, bukan, bukan! Dia hanya pemalu dan sangat sopan!"
Ketika kami sedang ribut, pintu masuk dari Kōryūtei terbuka.
Meskipun Yokohama Chinatown adalah daerah wisata, hanya pelanggan tetap yang datang ke restoran ini pada waktu seperti ini.
"Ah! Yen, kau kembali ya! Aku merindukan mu !"
Seorang gadis dengan rambut pirang panjang yang jatuh sampai pinggang, mengenakan cheongsam dengan belahan sampai paha, dan mata biru—seorang peramal yang tampak sangat mencurigakan—tersenyum lebar.
Namanya adalah Linget Aki Hoenheim. Dia tinggal di kamar 401 Maison de Shanghai, dan dengan senang hati duduk bersama kami.
SiHan menatapnya dengan wajah jengkel.
"Ling, kau masih pakai gaun cheongsam itu? Bau seperti film bokep cosplay, jauhi aku."
Linget adalah seorang mahasiswa asal Inggris yang sedang belajar di Jepang.
Ada banyak rumor tentang dirinya, mulai dari keturunan suku Romani, seorang matematikawan jenius, hingga keturunan manusia purba yang selamat dari zaman kuno yang tinggal di bawah tanah—tapi mana yang benar masih menjadi misteri.
Begitu Linget duduk, dia langsung menunjuk wajahku dengan tegas.
"Ramalan dari Dewi Peramal Iwas—Hari ini, kau akan bertemu dengan orang yang ditakdirkan untukmu!"
"Ah, jadi memang benar seperti itu?!"
Ramalan gadis itu terkenal di Yokohama Chinatown, meskipun terdengar mencurigakan, sering kali ramalanya terbukti akurat.
Di sudut pandangku, SiHan terlihat menggelengkan kepalanya dengan ekspresi jengkel.
"Sebetulnya, hari ini aku akan bertemu dengan istriku untuk pertama kalinya. Kami ada janji makan malam sore nanti."
"Ah! Akhirnya kalian bisa bertemu ya! Keren, Daigo! Selamat!"
SiHan yang tadinya terlihat terkejut, tiba-tiba menatap dengan tajam dan meraih ujung gaun cheongsam Linget dengan kuat.
Ketika celana dalamnya hampir terlihat, Linget pun lari dengan wajah merah dan bersembunyi di belakangku.
"'Akhirnya?' Hei, Ling, kau tahu tentang ini kan? Tentang blind marriage yang bodoh ini. Kau tahu dia akan melakukannya dan kau tidak mencegahnya?"
"Karena itu indah! Menikah dengan seorang gadis yang wajahnya tidak di kenal, tapi hanya dengan jiwa yang terikat, dan berjanji akan cinta sejati selamanya! Itulah cinta sejati!"
SiHan semakin mengelengkan kepalanya, dia terlihat semakin bingung.
"Daigo, kalo nanti saat makan malam, yang datang malah seorang wanita yang terlihat seperti nurarihyon yang digambar oleh Toriyama Sekien (coba cek di internet!), kamu mau gimana?"
[TL\n: sumpah bukan gua yg nambahin itu, itu emang dari raw nya.]
"Yang penting adalah perasaan! Kalo dia mencintaiku, aku akan mencintainya seumur hidup!"
"...Kau ini, betapa bodohnya kau, ya."
SiHan terlihat sangat bingung, tapi dia sedikit tersenyum tipis.
Sore pun tiba.
Sesuai janji, aku menuju restoran di gudang bata merah yang menjadi tempat pertemuanku dengan Towa.
Aku tiba sekitar 5 menit sebelum janji untuk menghindari datang terlalu awal dan membuat kesan buruk pada restoran.
"Silakan duduk di sini dan tunggu."
Pelayan membimbingku ke kursi di bawah lampu gantung bergaya Skandinavia, lalu menuangkan air lemon untukku.
Ketika aku melihat sekeliling, hampir semua yang ada di sini adalah pasangan.
Suasana yang manis dan penuh dengan kemewahan.
(Towa belum datang, ya?)
Aku menyadari tenggorokanku terasa sangat kering karena kecemasan.
Bagaimanapun, aku akan bertemu dengan orang yang di takdirkan untuk dirku.
Itu wajar saja.
Aku berusaha menenangkan jantungku yang berdetak kencang sambil meneguk air dari gelas, terus menatap pintu masuk restoran...hingga akhirnya pintu itu terbuka.
"!"
Yang muncul adalah seorang wanita dengan aura elegan.
Mungkin dia berusia akhir 50-an. Dengan langkah penuh percaya diri, sepatu hak tingginya berdetak keras, tubuhnya yang berisi bergoyang mengikuti langkahnya.
(Aku akan mencintainya seumur hidup.)
Aku berjanji dalam hati.
Memang, dia jauh lebih tua dari yang aku bayangkan, tapi dalam percintaan, usia tidaklah masalah.
[TL\n: usia hanyalah lubang, angka bisa di paksa, eh gimana sih yang bener.]
Meskipun tubuhnya sedikit tidak sehat, kami akan berolahraga bersama dan berusaha hidup panjang.
"Senang bertemu denganmu. Aku Midou..."
"Silakan ikut saya, Tuan."
Pelayan itu melewatiku dan mengantar wanita yang mirip dugong itu menuju ke bagian dalam restoran.
(Itu bukan dia!).
Aku menghela napas lega. Tapi, perasaan kikuk yang timbul justru sedikit mengejutkanku.
"──Apakah Anda 'Midou Daigo'?"
Aku mendengar sebuah suara.
Itu seindah dan tenag seperti salju pertama di awal musim dingin, dan kedengarannya seperti bisa meleleh kalo aku mengalihkan pandangan.
Ketika aku menoleh. Ada seorang gadis berpakaian serba putih di sana.
Seorang gadis albino dengan mata merah.
Dalam sekejap, aku berpikir, "Begitu, itulah kenapa kita tidak pernah bertemu sebelumnya."
Gadis itu terlihat begitu rapuh, seperti akan hancur kalo sedikit saja disentuh.
Dengan rambut putihnya yang melambai, dia menatapku.
"Ya, benar. Aku Midou Daigo. Senang bertemu denganmu."
"Senang bertemu denganmu?"
Kenapa kata pertama yang keluar dari mulutku terasa begitu bodoh?
Seharusnya aku bisa berkata sesuatu yang lebih cerdas.
Tapi yah, aku tahu, pikiranku benar-benar kosong.
(Tapi, siapa yang menyangka gadis secantik ini akan datang?)
Apa dia, istriku? Apa dia, wanita yang di takdirkan untuk ku? Seseorang yang secantik ini?
Dengan gerakan kaku, aku seperti tentara timah yang kikuk, aku mengulurkan telapak tangan ke arahnya.
Eh? Apa yang sedang aku lakukan? Biasanya kita berjabat tangan, kan? Ah, ini benar-benar membuatku panik!
"Eh? Ah, senang bertemu denganmu."
Dia terlihat sedikit terkejut, lalu dengan jelas masih terlihat cemas, dia menggenggam telapak tanganku yang terulur.
(Betapa kecil dan dinginnya tangan itu.)
Apa ini? Ada yang aneh. Aku merasakan sensasi yang familiar. Kenapa?
Seperti aku pernah menggenggam tangan ini sebelumnya.
(Apa aku pernah bertemu gadis ini?)
Gadis yang begitu mencolok seperti ini, pasti tidak akan aku lupakan kalo kami sudah bertemu sekali.
Tiba-tiba, aku merasa seolah mendengar suara lonceng berdentang.
Mungkin itu hanya perasaanku, tapi sensasi itu begitu nyata.
Pada saat yang sama, aku merasakan dunia ini seperti terdistorsi, menarikku dengan gaya gravitasi yang besar.
Sesuatu masuk ke dalam pikiranku.
Terlalu tiba-tiba. Tanpa permisi.
Itu adalah ingatan. Ingatanku. Sebuah ingatan yang sangat lama. Dan itu, masuk ke dalam diriku.
(Tangan kecilnya. Itu satu-satunya yang tidak boleh kubiarkan pergi.)
★★★
Dunia ini telah hancur.
──Sebenarnya, lebih tepatnya, dunia sedang dalam proses kehancuran.
Pada musim dingin tahun 1962, kota Yokohama telah dilanda bencana, dan kami berusaha untuk melarikan diri.
Di langit malam yang gelap pekat, terlihat sebuah meteorit besar berwarna biru mengambang.
Karena gravitasi aneh dari benda raksasa itu, Bumi berada dalam kondisi yang sangat buruk.
(Aku harus segera membawanya ke Kereta Galaksi.)
Meski situasinya seakan-akan menggambarkan keputusasaan, langit berbintang tetap bersinar terang seperti tak peduli apa pun yang terjadi, dan Kereta Galaksi melaju di tengah Bima Sakti.
Kami berusaha sekuat tenaga untuk menuju ke harapan terakhir yang terang benderang itu.
"Tuan, ke sini."
Tangan yang menarikku adalah seorang wanita albino tinggi dengan gaun maid berenda dan pita berbulu, seluruh tubuhnya berlumuran darah segar.
"Shishino-san memang benar-benar bodoh."
──Namanya adalah Chiko Shishino. Satu-satunya orang yang tidak pernah meninggalkanku hingga akhir.
"Yang bodoh itu Tuan, bukan aku."
Tubuhku penuh luka, bahkan beberapa tulangku sepertinya patah.
Meski begitu, kami berdua terus berlari menjauh dari kehancuran Bumi. Kami menghindari tubuh mayat zombie chimera. Kami melihat potongan-potongan iblis buatan di sepanjang perjalanan. Kami dapat merasakan akhir dunia yang hampir menyentuh kulit kami.
(Aku tidak peduli dengan diriku sendiri. Tapi Shishino-san, aku harus melindunginya.)
Pada saat itu, aku yang berusia 14 tahun dan masih anak-anak yang bodoh, saat itu aku hanya memikirkan satu hal itu saja.
Shishino-san adalah seorang maid dewasa yang ahli dalam menggunakan Hall Gun dan dapat menangani segala situasi, sementara aku hanyalah anak kecil yang tidak berguna dan membosankan, yang tidak bisa melakukan apa-apa.
"Tunggu──! Chiko Shishino! Mi... Mi... Mi... Mi... Mi... Mi... Mii...!"
Seseorang memanggil kami. Siapa sebenarnya orang itu?
"Wah! Ini benar-benar akhir dunia, ya?!"
"Sebelum malam ini berakhir, buru-buru kejar Mi... Mi... Mii... Mii...!"
Dari belakang, terdengar suara tinggi, cuuu──────. Itu adalah suara kendaraan aerodinamis, floater. Oh ya, benar! Itu adalah 'Gereja Terowongan Tak Terbatas'! Mereka sepertinya akan mengejar kami dengan ribut.
Walau dunia akan hancur, mereka tetap religius.
"Tuan!"
Para anggota 'Gereja Terowongan Tak Terbatas' terlihat dengan wajah terdesak mengejar kami.
Sebuah floater mengaktifkan portal kecil dan dengan niat untuk menghadapi kami, mereka mendekat.
Shishino-san memelukku dan menyeretku ke dalam semak.
Kami berhasil lolos, tapi situasinya masih belum membaik.
"Shishino-san, aku sudah tidak apa-apa. Kau pergi saja sendiri. Masih ada tiket Kereta Galaksi, kan?"
"Bodoh."
Dia menatapku dengan mata yang hampir menangis.
"Jangan pernah lagi katakan 'sendirian' seperti itu. Aku tidak takut dengan peluru. Aku tidak takut dengan akhir dunia. Aku tidak pernah takut untuk terluka atau mati, bahkan sekali pun."
Tapi──dia tersenyum kecil.
"Kalo aku harus berpisah darimu, aku akan hancur."
Senyuman itu, betapa berharganya senyuman itu? Bahkan kalo aku menggabungkan seluruh hidupku, itu tidak ada artinya dibandingkan dengan senyuman itu. Pasti, hanya dia yang merupakan segalanya bagiku.
Kami bersembunyi di semak-semak, berusaha merendahkan tubuh kami, dan saling menggenggam tangan dengan erat.
Di antara kegelapan malam dan keributan kehancuran dunia, kami terus berjalan.
Ketika kami memasuki hutan, sepertinya 'Gereja Terowongan Tak Terbatas' kehilangan jejak kami.
Tapi kami tetap waspada. Kami hanya mengandalkan kehangatan tubuh satu sama lain, sambil terus berusaha menuju tujuan kami.
"Tuan, lihat."
Kami tiba di sebuah bukit kecil. Seharusnya aku bertemu dengannya di sini.
"Tidak ada siapa-siapa."
Tidak ada seorang pun di sana. Tempat itu kosong, hanya sebuah tempat tinggi yang sempurna untuk melihat kehancuran dunia.
"Ahaha."
Shishino-san tertawa dan duduk di tempat itu.
Ini jarang terjadi, karena biasanya dia sangat sopan.
Aku juga duduk di sampingnya dan mendekat.
Tak lama kemudian, Shishino-san meletakkan kepalanya dengan lembut di bahuku.
Aku sangat terkejut, karena dia jarang begitu manja padaku.
"Maafkan aku, Tuan."
"....Tidak apa-apa. Sebaliknya, aku malah senang."
"Kenapa?"
"Karena ini terakhir kalinya aku bisa berada di sampingmu."
Wajahnya memerah, dan dia menatapku.
"Aku mencintaimu."
"...Apa itu cara bicaramu? Sok dewasa."
Itu hanya rasa malu yang aku sembunyikan.
Karena melihat Shishino-san yang biasanya tenang dan dewasa, kini menatapku dengan ekspresi seperti gadis kecil, dengan tatapan penuh cinta.
Yang biasanya begitu tegas dan bijaksana, sekarang tampak seperti seorang gadis yang sedang jatuh cinta.
"Karena ini yang terakhir, aku ingin menutupnya dengan cara yang keren."
Aku menghindari rasa malu dan memberi alasan, dan Shishino-san tersenyum dengan wajah yang hampir menangis.
"Ini bukan yang terakhir."
Dia menggenggam telapak tanganku dengan sangat erat.
Rasanya cukup sakit, tapi itu tidak cukup untuk membuatku menolaknya.
Malahan, aku ingin merasakan rasa sakit itu lebih lagi, agar aku tidak pernah melupakan momen ini.
(Betapa kecil dan dinginnya tangan ini.)
Pada saat itu, dia seharusnya lebih tinggi dariku.
Tapu, tangannya kecil dan ramping, begitu penuh kasih sayang.
"Apa maksudmu dengan 'bukan yang terakhir'?"
Aku bertanya dengan rasa putus asa.
Mata merah Shishino-san menatapku.
"──Kita terikat oleh takdir. Meskipun kita mati hari ini, kita akan bertemu lagi suatu saat nanti."
Meskipun aku bukan orang yang optimis dan tidak mudah mempercayai kata-kata tidak ilmiah seperti itu, entah bagaimana aku ingin itu terjadi.
Aku berharap itu akan terjadi.
Kalo kami bisa bertemu lagi, ada banyak hal yang ingin kulakukan. Banyak hal yang ingin kukatakan.
'Takdir'.
Meskipun itu terdengar sangat tidak masuk akal, aku hanya bisa mempercayainya.
"Ketika kita bertemu lagi, tolong jadikan aku istrimu."
Terdengar suara lonceng berdentang.
Suara itu menarik pikiranku dan membawaku ke dunia yang sepenuhnya berbeda.
★★★
Aku terbangun. Tidak, tunggu dulu. Aku sekarang baru saja 'terbangun' dari apa?
(Apa yang aku lihat barusan? Apa itu?)
Aku menoleh ke sekitar. Ini adalah sebuah restoran bergaya modern yang ada di dalam Gudang Batu Merah.
Aku mengeluarkan Hp-ku untuk memeriksa tanggal. 2023. Bukan tahun 1962. Dunia tidak hancur.
"Maaf. Apa kau bisa melepaskan tangan mu sekarang?"
Gadis albino itu menatapku dengan ekspresi bingung.
Aku melepaskan tangannya.
Matanya yang merah seperti bunga mawar.
Aku mengenalnya, meskipun seharusnya ini adalah pertama kalinya aku bertemu dengannya.
Tidak mungkin aku bisa melupakannya.
"....Shishino-san?"
Gadis albino itu terkejut.
"Kenapa...kau tahu namaku?"
(Apa? Benarkah nama aslinya 'Shishino'?)
Gadis albino di depanku ini memiliki penampilan yang persis sama dengan 'Shishino-san' yang aku lihat dalam penglihatan aneh tadi.
Satu-satunya perbedaan adalah dia tidak mengenakan pakaian pelayan dan tubuhnya jauh lebih kecil.
Jadi, apa dia ini benar-benar orang yang sama?
(Jadi, itu berarti...apa yang aku lihat barusan mungkin...)
──Mungkinkah itu ingatan dari kehidupan sebelumnya?
Kalo itu benar, semuanya akan menjadi masuk akal.
Dalam mimpi, Shishino mengatakan, "Kita akan bertemu lagi." Karena kita terikat oleh "takdir", kita akan bertemu lagi di "kehidupan berikutnya."
Di bumi yang hancur pada tahun 1962, aku dan Shishino-san saling mencintai.
Entah karena apa, kami bertemu lagi di sini.
(Gadis ini benar-benar, adalah 'wanita yang di takdirkan untukku.')
Aku merasakan detak jantungku yang cepat.
Aku sadar kalo aku telah bertemu dengan orang yang seharusnya kutemui.
Karena pada waktu itu, aku memiliki banyak hal yang ingin kuucapkan kepadanya.
Banyak hal yang ingin kulakukan bersamanya.
Ingatan dari kehidupan sebelumnya melekat erat di dalam dadaku.
Tapi, dengan sekuat tenaga, aku berusaha untuk tetap tenang.
Aku menarik kursi di sebelahnya. Shishino-san sepertinya sedikit bingung.
Kenapa ya?
Aku berusaha menggerakkan tenggorokanku yang kering dan mengucapkan kata-kata yang pantas untuk kencan pertama.
"Sejujurnya, aku terkejut... Aku tidak menyangka kau secantik ini."
Mungkin terdengar sedikit berlebihan.
Tapi, dia adalah calon istriku, jadi sepertinya aku bisa mengatakannya, bukan?
Aku berpikir begitu, tapi reaksi dia sangat berbeda dari yang kuharapkan.
"Ha?"
Suara yang dingin. Shishino menatapku dengan tatapan seolah-olah dia tidak percaya.
Kenapa?
"Ah, tidak, maaf kalo itu tidak sesuai dengan keinginanmu. Hanya saja, aku benar-benar terkejut."
"...Ya, memang saya terlihat seperti ini. Pasti membuatmu terkejut."
"Itu tidak seperti itu! Maksud ku, kau benar-benar, sangat cantik..."
Dia menatapku dengan tatapan dingin, seolah-olah ingin menghakimi.
Jadi, kenapa?
(Mungkinkah dia tidak suka kalo penampilannya dibicarakan? Dia sampai ikut aplikasi kencan yang anonim. Mungkin lebih baik kalo aku tidak membahas hal-hal semacam itu.)
Aku kemudian mencoba bertanya hal yang lebih aman.
"Kau mau minum apa? Katanya di sini wine-nya enak."
"Heh?"
"He?"
Terjadi momen aneh di mana kami saling memandang dengan ekspresi kebingungan, tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
"Aku masih di bawah umur, tapi aku akan berusia 16 tahun, tahun ini."
...........................................................................................................
(Apa maksudnya?)
Aku benar-benar bingung. Tunggu, apa maksudnya?
Ketika aku memperhatikannya lagi, Shishino-san terlihat seperti gadis yang dewasa dan tenang, jadi aku tidak menyadarinya, tapi setelah dia mengatakan itu, ternyata dia masih sangat muda.
(16 tahun? Memang usia itu bisa untuk menikah, tapi...)
Tapi, apakah aplikasi kencan bisa digunakan oleh orang yang berusia 16 tahun? Dan yang lebih penting, kenapa dia sampai menggunakannya?
"Jadi, Shishino-chan masih pelajar SMA?"
"Belum, aku masih kelas 3 SMP. Dulu aku sering sakit waktu kecil, jadi aku terlambat 1 tahun untuk masuk sekolah."
Kelas 3 SMP.
(Tunggu, tunggu. Serius? Apa maksudnya ini?)
Apa aku baru saja mendaftarkan pernikahan dengan seorang gadis kelas 3 SMP?
[TL\n: aying beruntung ni mc bangsat, kalo gua mah gas aye, yah kan dapat dau muda, masa di sia-sia’in heheh.]
Memang, aku yang pertama kali menandatangani formulir pernikahan dan mengirimkannya kepadanya, jadi aku tidak mengetahui usia sebenarnya.
Aku kira kami seumur. Hukum perlindungan anak terlintas dalam pikiranku. Itu menakutkan.
"Apa ada yang salah? Wajahmu pucat sekali, kau kelihatan sedang berpikir keras."
Ya, tentu saja aku berpikir keras.
Jarak usia seperti ini sepertinya sangat bermasalah, bukan?
Apa pernikahan dengan gadis kelas 3 SMP akan diterima masyarakat?
Kalo sudah ada persetujuan, itu seharusnya tidak ilegal, kan?
Tapi yang terpenting adalah...
(Shishino-chan adalah orang yang ditakdirkan untukku.)
Tadi aku baru saja melihat 'mimpi' itu.
Dunia musim dingin tahun 1962. Aku belum bisa sepenuhnya memahami apa itu, tapi aku merasa itu sangat penting.
(Aku mencintai Shishino di kehidupan sebelumnya. Dan aku berjanji akan mencintainya lagi di kehidupan selanjutnya.)
─ Umur tidak masalah. Mau 16 tahun atau 50 tahun, aku sudah siap sejak lama.
[TL\n: yup setuju...Umur hanyalah angka , penjara hanyalah ruangan , amukan warga hanyalah kekesalan , rasa malu keluarga hanyalah sesaat , Fisik di tubuh hanyalah jasad , Sistem robot hanyalah pelengkap , kerasnya Besi hanyalah rintangan yg terlewat , Gedoran FBI hanyalah pengingat , tetapi nafsu ini menggoda syahwat , menggelora di dalam raga , menembus sanubari di dada , bersamaan dengan ketulusan cinta , pd si mungil ini yg cantik nan jelita , kasih sayang kami saling mengisi di relung jiwa , badai amarah kan kami lalui bersama , kejaran polisi hanyalah olahraga semata , hukuman mati hanyalah pemisah sementara , namun cintaku pada si mungil ini tetap bersemi sepanjang masa , restu orang tua telah kami dapat dengan usaha, omongan masyarakat tidak akan menghapuskan cinta kita , karena cinta kita berdua tetap bersatu sampai hari tua , bahkan ketika maut memisahkan kita , cintaku padanya tetap abadi sepanjang masa]
"Aku akan membuatmu bahagia, Shishino-chan."
"He?"
"Kita akan menua bersama, dan ketika kita jadi kakek dan nenek, perbedaan usia itu tidak akan berarti apa-apa. Suatu saat nanti, aku akan membuatmu merasa bahwa menikah denganku adalah keputusan yang tepat. Aku akan berusaha keras. Aku akan membuatmu bahagia."
"Eh?"
"Kita sudah sering ngobrol lewat telepon atau chat, kan? Kadang kita mulai telepon di sore hari, tapi tiba-tiba sudah tengah malam. Itu menyenangkan. Kita banyak bicara bersama, dan aku merasa, denganmu... aku bisa membangun keluarga yang bahagia. Aku berharap kau juga merasa seperti itu. Meski ke depannya pasti sulit, tapi mari kita berusaha bersama."
Aku menggenggam tangannya──tapi, dia segera melepaskannya.
"Eh, dari tadi. Sebenarnya, apa yang sedang kau katakan?"
"He?"
"Apa kau tidak salah paham? Kau kan, Daigo Midou-san, benar kan?"
"Ya, itu benar, tapi... kau 'Towa', kan?"
"'Towa'?"
"Hanya nama panggilan 'Towa', kan? Bukankah begitu?"
Dia menatapku bingung dengan mata yang besar.
"'Towa' itu kakakku."
"...Kakak?"
"Tunggu sebentar. Apa kau tidak tahu apa-apa? Tidak ada yang kau dengar dari Towa?"
"Ma... maaf. Aku bingung. Kau bukan 'Towa', kan?"
Dia menggelengkan kepalanuua dengan bingung.
Rambut putihnya yang halus bergoyang ke kiri dan kanan.
"Aku adalah adik dari Towa Chiko, yaitu, adik iparmu, Shishino Chiko."
Tunggu dulu. Lalu, apa tadi yang aku lihat dalam mimpi itu? Apa wanita yang menjadi takdirku adalah dia? Jadi itu semua hanya salah paham? Maksudnya──
──Orang yang ditakdirkan untukku ternyata adalah adik ipar dari istriku. Begitu maksudnya?