> CHAPTER 1

CHAPTER 1

 Kamu saat ini sedang membaca  Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu  volume 2  chapter 1. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw




...........PAGI BERSAMA IBLIS KECIL...........



Saat aku membuka mataku, sinar matahari menembus melalui celah-celah tirai.


Dari sensasi hangat cahaya matahari di kulit, aku bisa merasakan kalo sekarang sudah siang.


Ketika aku melihat jam, dan aku melihat kalo saat itu sudah pukul 13.00—waktu bangun yang mencerminkan gaya hidup mahasiswa yang malas.


Di tengah tidur yang tidak teratur ini, aku merasa seolah-olah baru saja mengalami mimpi, tapi aku tidak bisa mengingatnya.


"...Tidak bisa."


Aku menyerah dan mengusap mataku.


Jarang sekali kau bisa mengingat mimpi yang pernah kau lupakan.


Saat hendak kembali membiarkan tubuhku tenggelam di atas selimut, telapak tanganku merasakan sesuatu yang jelas bukan kasur.


Saat aku menunduk kaget, aku melihat rambut cokelat berayun perlahan dengan ritme teratur.


Pemilik nafas lembut itu adalah Shinohara Mayu.


Kohai baruku, yang baru sekitar 2 bulan lalu mulai dekat denganku.


Kelihatannya, dia cukup nyaman untuk tidur dengan posisi yang benar-benar tidak waspada seperti ini di sini.


"....Shinohara?"


Aku memanggil, tapi Shinohara tidak merespon.


Sepertinya dia benar-benar sedang tidur.


Dengan pikiran yang masih belum sepenuhnya sadar setelah bangun, aku hanya terdiam sambil memperhatikan wajah tidur Shinohara. Perlahan-lahan aku mulai mengingat kejadian pagi ini.


Seperti biasa, aku dibangunkan oleh dering interkom dari Shinohara yang terus-menerus, aku pun membiarkan dia masuk ke kamarku, langsung menuju tempat tidur, dan kembali tertidur.


Rasanya aku sedikit ingat saat dia berkata, "Eh, kau akan tidur lagi!?"


Padahal kemarin aku tidak melakukan hal yang melelahkan, tapi entah bagaimana aku bisa tidur sampai jam segini, aku sendiri cukup kagum dengan diriku.


"Hmm..."


Shinohara berguling.


...Aku bersukur dia membiarkanku tidur tanpa membangunkanku, tapi jika dia sebegitu bosan sampai tertidur, kenapa dia harus tetap tinggal di rumahku?


Terlebih lagi, sepertinya dia sudah membersihkan makeup-nya sebelum tidur.


Di atas tas Shinohara tergeletak alat-alat pembersih makeup.


Kohai yang sedikit nakal dan bertingkah seperti gadis penggoda ini, ketika kuperhatikan seperti ini, dia terlihat hanya seperti seorang gadis mungil.


Kurasa sebaiknya aku tidak terlalu banyak melihat wajahnya yang polos tanpa makeup, jadi aku mengalihkan pandangan ke HP-ku yang tergeletak di samping bantal.


Ketika aku menyalakannya, ada notifikasi panggilan tak terjawab dari Ayaka. Panggilan itu masuk pukul 08:00 pagi.


"Mustahil aku bisa mengagkat di jam segitu..."


Tanpa sadar aku bergumam.


Dengan gaya hidup serampangan yang mulai mengakar padaku, menjawab telepon pada jam 8 pagi itu hampir mustahil.


".....Senpai."


"Hm?"


Aku menoleh ke arah suara itu, dan melihat Shinohara yang masih terlihat mengantuk, memicingkan matanya.


"Ah, benar juga, aku juga tertidur... Selamat pagi, Senpai."


"Selamat pagi. Kau tidur nyenyak, ya?"


"Iya...ah, sayang sekali, aku tidak menyiapkan sarapan."


Sambil berkata begitu, Shinohara mulai merapikan kerutan di bajunya dengan gerakan pelan.


Lalu, seolah dia menyadari sesuatu, dia bertanya padaku.


"Eh, Senpai. Apa kau menyentuh payudara ku, tadi? Rasanya tadi aku terbangun karena terasa agak tertekan."


"Aku tidak tahu. Kalo aku menyentuhnya, maaf."


"....Itu cara minta maaf yang jujur, ya?"


Shinohara tertawa mendengar jawabanku yang polos, lalu meregangkan tubuhnya.


Gerakan itu justru semakin menonjolkan bentuk tubuhnya, hingga aku refleks mengalihkan pandanganku.


Agak terlalu merangsang untuk menonton dari jarak dekat setelah bangun tidur.


"Rasanya agak sempit, jadi badanku jadi kaku."

"Untung kita sama-sama punya kebiasaan tidur yang tenang."

Kalau 2 orang yang tidurnya tidak tenang tidur bersebelahan, pasti akan saling menendang satu sama lain. Sekarang, dengan Shinohara yang kadang menginap, merupakan suatu berkah kalo kami ber-2 tidur dengan tenang.

[TL\n: asli gak enak bet tidur dengan org yang kalo tidur banyak gerak, gua pernah tidur dengan org yang kaya gitu, kalo gak kena pukul ya kena tendang.]

"Ngomong-ngomong, kenapa kau tidur di sebelahku? Kan ada futon yang bisa kau pakai."

"Ya, tapi kasur memang lebih nyaman. Kebetulan ada ruang yang tersisa juga."

Kemudian Shinohara berkata, "Permisi sebentar, aku mau memetik bunga," dan dengan cekatan melangkahi kakiku lalu turun ke lantai.

"Bilang saja mau ke toilet."

"Tapi 'memetik bunga' terdengar lebih imut, kan?"

Shinohara berkata begitu sambil berlalu keluar dari kamar.

Dari balik pintu, suara langkah kakinya di lantai kayu terdengar menjauh.

Libur musim semi yang panjang di kampus baru saja dimulai.

Aku mulai bertanya-tanya, apakah kohai ini akan terus-terusan datang ke rumahku seperti ini.

Meski mungkin aneh kali aku yang mengatakan ini, rasanya agak disayangkan kalo terlalu banyak waktu dihabiskan hanya di rumah.

...Masa menjadi mahasiswa itu terbatas.

Seorang senpai di klubku mengatakan kepada ku dengan getir kalo aku akan menyesalinya nanti jika aku tidak menggunakan waktu kuliahku dengan lebih bermakna.

"...Apa aku ada rencana hari ini?"

Setelah memeriksa kalender, ternyata aku ada latihan basket klub 'Start' sore ini.

Berbicara tentang kuliah, pasti ada kegiatan klub.

Lebih baik pergi ke klub daripada menghabiskan waktu tanpa melakukan apa-apa.

Aku mulai turun dari tempat tidur untuk mencari pakaian latihan, namun tiba-tiba merasakan sesuatu terinjak di bawah kakiku.

"Ah, sial."

Dengan firasat buruk, aku menunduk dan melihat Choco Pie yang sudah gepeng.

Aku membuka bungkusnya dan, dengan ragu, memasukkan ke dalam mulutku.

Meskipun penampilan dan teksturnya tidak begitu enak, rasanya masih bisa dinikmati.

Saat aku membuka bungkus Choco Pie lainnya yang ada di dekatku, Shinohara kembali dari 'memetik bunga.'

Ketika melihat Choco Pie di tanganku, matanya berbinar.

"Ah, enak tuh Choco Pie! Itu favorit ku."

"Oh, begitu. Apa kau mau makan?"

"Mau!"

Shinohara mengulurkan tangan dari jarak agak jauh.

Sepertinya dia memintaku untuk melemparkannya. Aku pun mengambil Choco Pie terdekat dan melemparkannya begitu saja.

Taoi, ternyata Choco Pie itu sudah terbuka, dan isinya melesat keluar hingga mengenai wajah Shinohara.

"....Ma-maaf."

Aku perlahan menyatukan ke-2 telapak tangan sebagai tanda permintaan maaf. Melihat Choco Pie yang terlempar tadi sekarang sudah hancur, mungkin benturannya memang cukup kuat.

"...Senpai."

"Y-ya?"

Aku refleks menegakkan punggung saat berhadapan dengan kohaiku ini.

"Kenapa tadi kau melemparkannya dari atas!? Bukankah seharusnya dilempar dari bawah!?”

"Hah, kau lebih mempermasalahkan itu!? Bukan soal bungkusnya yang sudah terbuka!?"

Shinohara mengambil Choco Pie yang pecah tadi dan memasukkannya ke dalam mulutnya.

Mungkin ada remahan yang jatuh di karpet, jadi aku harus membersihkannya nanti.

"Bukankah saat kita memberikan sesuatu kepada orang lain, sebaiknya dari bawah? Kau belajar dari mana, sih?"

"....Seingatku, dulu kita diajarkan untuk tidak melempar barang sama sekali."

Aku kembali berbaring di tempat tidur, menopangkan daguku di atas bantal.

Entah kenapa, posisi ini terasa sangat nyaman.

"Apa rencanamu hari ini? Sarapan di sini lalu pulang?"

"Bagaimana ya? Sebenarnya hari ini aku tidak memiliki rencana apapun. Mungkin tinggal di sini seharian juga bisa, kan?"

"Tidak bisa idiot. Tolong berikan aku waktu untuk sendiri."

Melihat Shinohara cemberut karena jawabanku, sejujurnya aku hampir berpikir tidak masalah kalau dia tinggal di sini seharian. Tapi, kalo dibiarkan terus begini, aku akan khawatir tentang apa yang akan terjadi ke depannya.

Waktu bersama Shinohara memang menyenangkan, tapi waktu sendirian juga penting bagi ku. 

Tidak peduli sebanyak apa pun dia membantuku dengan masakannya, itu tidak mengubah kebutuhanku akan waktu pribadi.

Itulah yang kupikirkan saat aku melihat Shinohara membuka kulkas di dapur.

"Senpai, bukankah lebih baik jika kamu membeli telur lagi? Kalo kita menggunakannya secara normal, kita mungkin akan kehabisan telur besok, kan? Hanya ada 4 butir yang tersisa."

"Kenapa kau berbicara seolah-olah kau akan berada di sini sampai besok? Untukku sendiri, ini cukup untuk 4 hari."

"Baiklah, terserah."

Dengan gerakan khasnya, Shinohara mulai mengeluarkan peralatan masak yang dia perlukan. Sepertinya dia sudah hafal letak semua barang di dapurku.

"Aku akan membuat makanan yang sederhana saja, jadi Senpai boleh bersantai setelah mencuci muka."

"Baik, terima kasih."

Setelah mendengar jawabanku, Shinohara menggulung lengan bajunya dan menuangkan minyak ke piring kecil.

Dia meresapkan minyak ke tisu dapur dan mengoleskannya di wajan.

"Senpai kenapa kau terus menatapku seperti itu?"

Menyadari pandanganku, Shinohara berhenti sejenak.

Aku sempat berpikir kalo melihat dia memasak dengan wajah polosnya tanpa riasan, dia terlihat lebih 'rumahan'. Tapi, aku ragu untuk mengatakannya.

"Tidak, hanya saja hati-hati agar tidak terluka."

"Aku tidak ingin senpai yang ceroboh memberitahuku itu!"

Shinohara tertawa kecil sambil kembali melanjutkan memasak.

Melihatnya memecahkan telur dengan cekatan, aku jadi tertarik untuk mencoba teknik memecah telur dengan satu tangan juga.

Tapi, aku tahu itu hanya akan mengganggunya, jadi aku menahan diri dan berjalan melewati dapur.

"Setelah mencuci muka, boleh aku keluar sebentar untuk membeli majalah?"

"Majalah? Kalo begitu, boleh sekalian belikan majalah fesyen untuk ku, Senpai. Sudah lama aku tidak membelinya. Biayanya akan ku ganti nanti."

Yah wajar saja kalo dia membaca majalah fesyen, pikirku.

Melihat selera pakaiannya sehari-hari yang selalu mengikuti tren, itu memang tidak mengejutkan.

"Baiklah."

Aku menjawab singkat lalu keluar dari kamar.

Saat mencuci muka di wastafel, rasanya kesadaranku langsung terbangun. 

Aku sangat menyukai momen ini.

Meski sebenarnya, kegiatan mencuci muka di pagi hari kadang cukup merepotkan.

Ketika keluar ke lorong dan mulai mengenakan sepatu, aku mendengar suara di belakang ku yang berkata, "Makanannya akan siap sekitar 15 menit lagi, jadi usahakan Senpai sudah kembali di waktu itu ya."

Aku lalu membuka pintu depa, dan berpikir kalo Kohaiku sangat perhatian.

Udara dingin yang kering langsung menyambutku, menusuk kulitku.


★★★


Saat aku kembali ke apartemen ku, aroma harum menggelitik hidungku.  


Aku masuk ke ruangan, meletakkan majalah yang baru saja kubeli di atas sofa, lalu menguap lebar. 


Aku takut pada diriku sendiri karena menguap bahkan setelah tidur terlalu lama.


"Selamat datang kembali! Pas sekali, makanannya baru saja selesai dibuat." 


"Oh, terima kasih. Majalahnya sudah kutaruh di atas sofa."  


Ketika aku menunjuk ke arah sofa, Shinohara keluar dari dapur untuk melihat majalah yang kumaksud.


"Majalah apa yang kau beli, Senpai?"


"Majalah Shonen Mingguan. Aku sudah membacanya setiap minggu." 


Ah, ada beberapa gadis yang membacanya juga. Tolong izinkan aku membacanya nanti."

 

Sambil mengatakan ini, Shinohara membawa piring di kedua tangannya.


Aku segera mengosongkan meja dengan menaruh barang-barang ke lantai untuk memberi ruang agar kami bisa makan.


"Senpai, kau melempar semuanya ke lantai seperti itu, malah jadi berantakan."  


"Tidak apa-apa, ini kamarku."


"Menurutmu berapa kali aku membersihkannya?"


Shinohara menggembungkan pipinya.


Aku menyadari belakangan ini aku memang jarang membersihkan kamarku sendiri, tapi kalo dipikir-pikir, Shinohara yang lebih sering membereskannya.


"Oke, oke, nanti aku yang akan membesarkannya. Tapi sekarang, kita makan dulu."  


"Padahal senpai hampir tidak pernah benar-benar melakukannya,. Tapi baiklah, kita makan dulu."


Di atas piring besar, ada hidangan telur dadar dengan ham dan roti lapis dan ada 2 piring kecil berisi tamagoyaki dan salad. 


Aku baru menyadari kenapa tadi dia sempat mengomentari stok telur yang akan habis.


Di samping makanan, tersedia Café au lait dan segelas susu.


"Senpai, ini Café au lait. Senpai menyukainya, kan?" 


"Benar sekali. Kau memang Kohai yang perhatian." 


"Ya, begitulah. Aku ini memang orang yang perhatian."


Shinohara mengatakan itu dengan percaya diri, Aku tidak bisa berkata apa-apa karena apa yang dia katakan benar.


Alih-alih bereaksi, aku malah menyatukan tanganku.


"Aku akan menikmati ini."


"Iya, selamat makan."


Setelah aku mengatakan itu aku mengambil sandwich. 


Bagian dalamnya diolesi mentega, berisi ham dan keju. 


Aku memasukkannya ke dalam mulutku, pipiku membengkak, dan ketika aku meminum cafe au lait yang telah disiapkan untukku, aku merasakan kemewahan.


"Saat aku makan makanan lezat, aku merasa termotivasi untuk bekerja keras sepanjang hari."


"Kalo begitu, senpai semangat juga untuk bersih-bersih, ya!"


".....Baiklah."


Aku menjawabnya dengan sedikit enggan, yang membuat Shinohara tertawa kecil.


"Nanti aku akan membantumu, kok."

 

"Aku mengerti. Aku akan melakukan yang terbaik."


Aku merasa semakin berenergi saat memakan tamagoyaki, jadi aku setuju.


Sejak Shinohara sering berkunjung ke apartemen ku, pola hidupku terasa semakin sehat dan teratur.


"Hei, Hei, Shinohara, kalo kau punya kesempatan lagi, tolong buatkan aku sarapan lagi ya."


Padahal, baru tadi pagi aku merasa Shinohara terlalu sering datang, tapi, kini aku justru berharap dia terus membuatkan sarapan untukku.


Aku sangat sadar akan perlunya uang tunai, tapi begitu aku sudah sarapan, mau tak mau aku memintanya.


Shinohara menatap wajahku sejenak sebelum menjawab.


"Tentu. Sarapan tidak terlalu sulit untuk dibuat, kok. Walaupun saat ini kita sebenarnya sedang makan siang."


Meskipun sudah siang, makan setelah bangun tidur tetap terasa seperti sarapan bagiku.


"Makan pagi yang sehat dan teratur akan membuat hidup lebih bahagia."


"Ah, senpai maksudnya 'hidup yang sehat dan teratur', ya? Satu kata 'teratur'-nya sepertinya tidak perlu ditambahkan."  


"Detail sekali."


Aku meneguk cafe au lait untuk menghindari rasa canggung.


Cafe au lait ini sepertinya bukan instan, mungkin dia mencampur susu dan kopi yang ada di kulkas, serta menambahkan gula. Ini juga mengandung gula untuk memberikan rasa yang sedikit manis.


Untuk menyiapkan semuanya dalam waktu hanya 15 menit, Shinohara benar-benar harus punya keterampilan yang baik.


Saat aku menikmati kafe au lait buatan Shinohara, dia menatapku dengan penuh harap dan bertanya untuk pertama kalinya hari ini.


"Apa itu enak?"


"...Iya, ini luar biasa."


"Syukurlah!"


Shinohara tersenyum puas lalu mulai menyantap ham dan telur. 


Saat aku memandangnya, tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang berbeda.


Meski terasa aneh, hanya saja ada beberapa hal yang berubah dibandingkan sebelumnya, dan itu bukan perubahan negatif. Itu jelas merupakan nilai tambah.


"Rasanya, matamu terlihat lebih cantik dari sebelumnya?"  


Mendengar itu, Shinohara yang sedang mengunyah telurnya, terbatuk dan berkata, "Astaga," dan berkonsentrasi mengunyah sebentar.  


Aku merasa kasihan, kemudian Shinohara membuka mulutnya.


"Aku tadi pakai penjepit bulu mata. Senpai ternyata kau bisa menyadari ya."


"Oh, alat yang buat melentikkan bulu mata, ya? Ternyata bisa membuat perbedaan, ya."


"Ya, sih, walaupun biasanya perubahannya tidak begitu kelihatan. Setelah makan, mungkin aku akan pakai foundation juga, itu lebih kelihatan. Tapi aku salut pada senpai karena senpai bisa langsung sadar hanya dengan perubahan penjepit bulu mata."


Shinohara meletakkan kembali ham dan telur yang setengah dimakan ke piring dan bertepuk tangan.


Aku pernah pacaran selama setahun, jadi hal seperti ini bukan hal yang sulit untuk kuperhatikan. 


Aku hendak mengatakan itu, tapi setelah dipikir-pikir lagi aku memutuskan untuk tidak mengungkit masa lalu.


Aku teringat telepon dari Reina setelah pesta perayaan selesai ujian, dan merasa enggan menyebut mantan pacar di hadapan Shinohara.


Setelah sampai pada kesimpulan itu dalam pikiranku, aku mengajukan pertanyaan alih-alih apa yang ingin aku katakan sebelumnya. 


"Apa kau selalu membawa kosmetik kemana-mana?"


Di atas tas Shinohara, terlihat peralatan make-up yang selalu dia bawa. 


Shinohara tersenyum saat mendengar pertanyaanku.


"Ya, hanya peralatan touch-up saja. Banyak kok yang membawanya. Selain itu, coba lihat ini.”


Shinohara mengeluarkan sebuah wadah kosmetik berbentuk bulat dari tasnya.


"Ini imut sekali kan? Ini tempat blush on, dan melihatnya saja sudah membuatku bersemangat."


Tutup wadahnya dihiasi dengan ornamen berkilauan yang pasti menarik hati para wanita.


Aku jadi teringat Ayaka yang pernah memperlihatkan kosmetik barunya, mengatakan betapa lucunya desainnya. 


Benda-benda ini memang memiliki desain yang estetis, jadi mungkin bukan masalah bagi mereka untuk dibawa setiap hari.


Tapi tetap saja dari sudut pandang pria, itu tetap terasa merepotkan kalo harus membawa benda seperti ini setiap hari.


"Tapi pasti merepotkan, kalo harus membawa itu setiap hari."


"Tidak juga kok. Aku tidak tahu orang lain, tapi aku tidak membawanya kemana-mana pada hari-hari ketika aku lagi tidak mood." 


"Oh begitu, jadi kau membawanya sesuai mood mu, ya?"


Kalo begitu, sepertinya itu tidak terlalu membebani. 


Tapi, aku sedikit bingung dan menanyakan pertanyaan satu lagi..


"Kalo begitu, kenapa hari ini kau membawanya?"


Shinohara memiringkan kepalanya.


"Yah, tentu saja karena aku mau datang ke apartemen senpai."


Mendengar kata-kata tak terduga itu, aku menjatuhkan ham dan telur yang hampir kumakan.


"Eh, apa maksudmu?"


"Ya, artinya, aku sedikit berusaha hari ini. Senpai akan mengajakku jalan-jalan hari ini kan?"


Shinohara tersenyum nakal sambil menaikkan sudut bibirnya. 


Dia memiliki senyuman jahat yang membuatnya terlihat seperti ada tanduk yang tumbuh di kepalanya.


"Baiklah, aku akan membawamu ke tempat spesial." 


Mendengar itu, mata gadis iblis kecil itu berbinar.  




Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال