> CHAPTER 1

CHAPTER 1

 Kamu saat ini sedang membaca  Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu  volume 4,  chapter 1. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw

SETELAH HUBUNGAN PERCOBAAN



Belakangan ini, Badan Meteorologi Jepang benar-benar tidak bisa diandalkan.


Baru saja diperkirakan cerah, tahu-tahu malah diguyur hujan deras, tapi ketika aku membawa payung sesuai ramalan hujan, tidak setetes pun turun dari langit.


Setelah berpikir kalo lebih baik tidak mempercayainya, aku mengabaikan ramalan hujan───dan kini aku benar-benar dalam kesulitan.


Isi kulkasku mulai menipis, jadi aku mampir ke supermarket───itulah awal kesialanku. Dengan kantong plastik di tanganku, aku menatap ke langit mendung dengan kesal.


Saat aku berdiri di bawah atap dekat pintu keluar, para pelanggan lain yang juga baru keluar satu per satu membuka payung mereka.


Mereka pasti percaya ramalan cuaca, dan membawa payung sejak siang. Ekspresi mereka seolah berkata, 'Akhirnya turun juga hujannya', dan aku malah merasa kesal sendiri karena tidak mempercayai Badan Meteorologi sampai akhir.


Meski jarak ke apartemenku hanya sekitar 10 menit dengan berjalan kaki, tapi dengan hujan yang semakin deras setiap detiknya, rasanya sulit untuk pulang tanpa payung.


Saat aku menghela napas, pasrah karena sepertinya hanya bisa berteduh sementara, seorang anak laki-laki di sebelahku juga menghembuskan napas panjang. 


Dilihat dari seragam dan tinggi badannya, sepertinya dia seorang siswa SMA.


Mungkin karena menyadari pandanganku, siswa SMA itu membungkuk sedikit sambil memberi salam kecil. 


Merasa mungkin membuatnya canggung, aku mencoba tersenyum tipis. 


Dia pun terlihat lega dan pipinya sedikit mengendur.


...Mungkin aku terlihat seperti sedang dalam suasana hati yang buruk.


Perasaan bersalah mulai muncul, dan untuk menyembunyikannya, aku mengeluarkan Hp-ku dari saku.


Hp yang baru aku beli 3 hari lalu sedikit lebih besar dari yang sebelumnya. 


Meskipun sedikit menyulitkan untuk digunakan dengan satu tangan, tapi itu tetap lebih baik daripada terus menggunakan yang layarnya sudah retak.


Sejak aku memecahkan Hp-ku di depan Ayaka, aku tetap menggunakannya dalam kondisi itu dan berkali-kali aku ditegur oleh orang-orang di sekitarku, "Cepat ganti yang baru."


Memikirkan kalo aku tidak akan mengalami percakapan itu lagi, perasaanku yang murung karena hujan pun sedikit terasa lebih ringan.


"Senpai!"


Sebuah suara memanggil dari beberapa meter di depan, dan aku mendongak dari Hp-ku dengan penuh harap.


Seorang gadis berambut hitam pendek menyerahkan payung kepada laki-laki yang berada di sebelahku.


Keduanya yang berseragam sekolah berjalan bersama di bawah satu payung, melangkah menuju dunia luar.


Meski sekeliling tampak suram, hanya di sekitar mereka terasa seakan bercahaya.


Laki-laki itu menoleh kepadaku dan sekali lagi menundukkan kepalanya dengan hormat.


★★★


 Dengan tangan kanan yang basah kuyup, aku memutar kunci. 


Karena tenaga yang sebelumnya kutanamkan seakan lenyap entah ke mana, aku menyadari kalo sudah ada seseorang di dalam rumah.


Saat pintu masuk terbuka, aroma sitrus menyambutku.


"Aku pulang."


Itu adalah sapaan yang biasa, tidak untuk ditujukan kepada siapa pun. 


Sejak mulai hidup sendiri, aku tetap mengucapkannya meskipun tahu tidak akan ada yang membalas. 


Tapi, akhir-akhir ini berbeda.


"Ah, Senpai. Selamat datang kembali."


Shinohara mengintip dari dapur dan tersenyum kecil. 


Rambut coklatnya yang diikat pendek di atas kepala sedikit bergoyang.


"Kau kehujanan, ya? Kupikir itu mungkin terjadi, jadi aku sudah memanaskan air untuk kau mandi."


"Serius?"


Saat aku menutup pintu depan, aku nyaris tak bisa mendengar suara gemuruh hujan badai. 


Baru sekarang aku menyadari betapa baiknya kemampuan peredam suara rumah ini, dan aku mulai memikirkan sesuatu yang remeh seperti 'Mungkin harga sewanya cukup sepadan'.


"Senpai?"


"Ah, tidak. Terima kasih, itu sangat membantu."


Aku mengucapkan terima kasih padanya dan melepas sepatuku. Kaos kakiku yang basah oleh air hujan menimbulkan suara tidak menyenangkan saat diinjak. 


Aku langsung menuju ruang ganti, tapi pikiran untuk menghapus jejak kaki yang telah kubuat sampai saat itu membuatku tertekan.


"Senpai───. Sebentar lagi makan malam siap, jadi cepat-cepat saja mandinya!"


"'Cepat-cepat mandinya' itu maksudnya apa, sih."

 

Aku tersenyum tipis dan menutup pintu ruang ganti. 


Suara dari dapur mulai mereda, dan aku melepas pakaian yang basah dan berat, lalu melemparkannya ke dalam mesin cuci. 


Mesin itu berguncang dengan suara keras, tapi aku tidak terlalu memperdulikannya. 


Aku juga memasukkan pakaian dalam dan kaus kaki, lalu menekan tombol mulai.


Dengan begitu, cucian ini seharusnya selesai bersamaan dengan saat aku selesai mandi.


Begitu aku masuk ke kamar mandi, tubuhku yang kedinginan seolah menyambut hangatnya udara di dalam. 


Dikelilingi udara hangat, aku memutar kepala pancuran dan air dingin membasahi tubuhku.


Setelah beberapa detik, air akhirnya menjadi hangat, jadi aku menyiramkannya ke kepalaku.


Dari kepalaku, dingin itu mengalir dan tersapu pergi. 


Saat aku memejamkan mata, gambaran dari minggu lalu melintas dalam pikiranku.


───Menjelang senja, di dalam bianglala yang terus berputar.


Bahkan sekarang, setelah waktu berlalu, aku masih bisa mengingat dengan jelas percakapan saat itu. 


Aku yakin, bahkan beberapa bulan dari sekarang pun aku akan tetap mengingatnya seperti ini.


Shinohara mencoba mengubah hubungan kami. Dengan keyakinan kalo perubahan itu akan menjadi sesuatu yang baik, dia mencium dahiku.


Setelah hampir 6 bulan sejak kami saling mengenal, momen itu tidak bisa dibilang terlalu cepat. 


Waktu yang dibutuhkan untuk berkembang ke arah hubungan antara laki-laki dan perempuan berbeda-beda pada tiap orang. 


Kenyataannya, hubungan antara aku dan Reina pun hanya butuh waktu kurang dari 3 bulan sampai kami mulai berpacaran.


Tapi, kenapa aku sampai begitu terguncang waktu itu?


Tidak diragukan lagi kalo itu karena hasrat mendasar muncul saat itu, tapi sepertinya ada faktor lain yang ikut mempengaruhi. 


Aku telah menghabiskan satu minggu ini untuk mencari tahu perasaan itu.


Saat aku membenamkan diri hingga bahuku di bak mandi, aku menghela napas. 


Suaranya begitu kosong, seolah-olah jiwaku pun ikut keluar bersamaan dengan embusan itu.


...Alasan kenapa tubuhku terasa panas kemungkinan besar karena oleh suhu air. 


Meskipun aku tahu itu, aku tidak dapat mengungkapkan apa yang berputar-putar di dalam hatiku.


Mungkin karena aku telah memikirkan terlalu banyak hal yang sulit, kepalaku terasa berat. 


Aku pun membiarkan kelopak mataku tertutup, mengikuti kehendak tubuh.

 

"Senpai, aku akan membuka pintunya!"


Aku terbangun karena teriakan Shinohara. Dengan tubuh yang lemas, aku bangkit dan membuka mulut.


"Kenapa harus dibuka, aku ini sedang telanjang, tahu."


"Aku juga tahu i──eh, jadi Senpai sudah bangun! Kenapa kau tidak menjawab, aku jadi khawatir sekali, hukumannya 10 miliar yen!"


"Itu jumlah yang tidak masuk akal."


"Muhh!"


Shinohara bersuara dari balik pintu lipat. 


Aku hendak menegur agar jangan mengeluarkan suara-suara aneh, tapi aku menyadari kepalaku berat dan keluar dari bak mandi.


Aku hampir saja merasa pusing, tapi itu masih dalam batas yang bisa kutahan. Sepertinya aku terlalu lama berendam. 


Tidur dalam keadaan seperti itu jelas bukan keputusan bijak, dan aku menyesalinya dalam hati. 


Dari kepanikan Shinohara, kemungkinan besar dia sudah berkali-kali memanggilku tapi aku tidak memberikan reaksi.


Aku pernah mendengar kalo tidur dalam bak mandi secara fisiologis hampir sama dengan kehilangan kesadaran. 


Konon tekanan darah bisa turun drastis dan menyebabkan hilangnya kesadaran, dan mungkin tadi aku nyaris berada dalam kondisi itu. 


Karena sudah lama tidak berendam, aku sampai lupa kapan harus keluar.


Aku bersumpah untuk keluar secepatnya saat aku merasa ingin tertidur mulai sekarang, dan membuka pintu lipat.


Shinohara menatapku dengan mata terbelalak, seolah sangat terkejut. 


Mulutnya terbuka-tutup tanpa suara. 


Saat aku memandangi warna matanya yang indah, aku pun memanggilnya.


"Hei, maaf sudah membuatmu khawatir."


"Ah...ah..."


"Hmm?"

 

"Apa kau sudah tidak waras!!"


"Kyaaa."


Teriakan itu disusul dengan sebuah sendok sayur yang menghantam kepalaku. 


Suara nyaring 'skon' menggema di ruang ganti, dan barulah aku benar-benar menyadari keadaanku sekarang. 


Aku berdiri di hadapan Shinohara dalam keadaan sebagaimana saat aku dilahirkan. 


Untungnya, bagian terpentingku masih tertutup oleh handuk.


[TL\n: maksudnya komtol.]


Shinohara dengan langkah panik berlari keluar dari ruang ganti, dan aku memanggilnya. 


"Maaf, Shinohara, aku lupa karena terlalu lama berendam."


Dari arah dapur terdengar balasan, "Justru lupa seperti itu yang membuat ku bilang kalo kai sudah tidak waras!" Dan aku pun mengangguk, mengakui kalo dia benar.


Ngomong-ngomong, waktu Shinohara pertama kali menerobos masuk pagi-pagi ke kamarku reaksinya juga tidak kalah terkejut seperti ini.


Sambil mengingat kembali kejadian yang kini terasa seperti kenangan lama, aku pun mengenakan celana dalam terlebih dahulu.


★★★


 "Maaf."


Saat kami berdua menikmati hotpot, aku meminta maaf untuk kedua kalinya. Shinohara mengalihkan pandangan dengan sikap kesal dan hanya mengulang, "Aku tidak marah."


Saat aku mencoba mengambil tahu dengan sumpit khusus, tahu itu malah pecah dan jatuh kembali ke dalam panci. 


Shinohara kemudian menyendoknya dengan sendok sayur yang berbeda dari yang tadi, lalu menuangkannya ke piring kecilku.


"Terima kasih."


"Hmph."


"Jangan marah dong."


Aku menyuapkan tahu ke dalam mulut sambil mengatakan itu. 


Kaldu panas menyebar ke seluruh rongga mulutku, tapi rasa hangat dan nikmat itu membuat wajahku mengendur bahagia.


"Enak."


"Fufu, begitu ya. Berarti usahaku tidak sia-sia."


Shinohara tersenyum seperti biasa, lalu terlihat menyesal. 


Sepertinya sejak awal dia hanya berpura-pura marah.


"Yah. Bagaimana suasana hatimu sekarang?"


"Suasana hatiku sedang buruk. Don, ton, dooon, seperti itu."


"Maaf, aku sama sekali tidak mengerti."


Aku langsung memotong pembicaraannya, menaruh daging sapi di piring kecil dan mencampurnya dengan telur. 


Ketika aku memutar daging sapi itu, kuning telurnya mulai tercampur dan membuat nafsu makan semakin meningkat.


Tepat saat aku hendak menyantapnya dengan penuh semangat, daging sapi itu diambil oleh Shinohara. Atau lebih tepatnya, dimakan olehnya.


"Kau...apa yang baru saja kau lakukan..."


"Mmm, dagingnya enak sekali."


"Kembalikan! Kembalikan dagingku!"

 

Ketika aku berteriak, Shinohara baru membalas setelah selesai mengunyah.


"Aku akan mengembalikannya kalo Senpai bisa menebak kenapa aku berpura-pura marah."


"Jadi kau mengakui kalo kau berpura-pura! Konsistenlah sedikit!"


Aku kembali duduk di atas zabuton setelah sempat membungkuk ke depan. 


[TL\n: Zabuton (座布団) adalah bantal duduk tradisional Jepang yang berbentuk persegi datar, biasa digunakan saat duduk di lantai. Zabuton sering digunakan di rumah-rumah Jepang, kuil, atau dalam kegiatan tradisional seperti upacara minum teh dan pertunjukan rakugo (seni bercerita).]


Saat memikirkan alasan kenapa dia berpura-pura marah, jawabannya segera terlintas di benakku.


"Karena aku telanjang."


"Salah. Lagipula kenapa kau bisa mengatakannya seenteng itu? Apa kau tidak merasa malu?"


"Yah, ini bukan yang pertama juga. Waktu pertama kali kau menginap, kau pernah melihat aku cuma pakai celana dalam, kan?"


"Waktu itu pun kau sama sekali tidak terlihat malu."


"Masa sih."


"Tidak, sungguh."


Shinohara menghela napas, lalu dia meletakkan sumpit sajinya di piring kecil. 


Kalo benar seperti yang dia katakan, mungkin mental ku memang lebih kuat dari yang aku kira. 


Meskipun, dalam kedua kejadian itu aku tidak berniat mempertontonkannya dengan sengaja.


Terdengar suara dentingan samar, dan aku berkedip.


"Senpai, apa kau tahu jenis kelaminku?"


"Kouhai."


"Halo, apa kau masih sadar? Kalo otak Senpai masih tertidur, tidak ada salahnya aku menggunakan sendok sayur lagi."


Karena senyum Shinohara kali ini terlihat cukup menakutkan, aku buru-buru memperbaiki jawabanku.


"Maaf, kau perempuan. Kau benar-benar perempuan sekarang."


"Tidak perlu ada kata 'benar-benar' di sana."

 

Shinohara menyipitkan matanya. Aku balas menatapnya selama beberapa detik, tidak ingin kalah, tapi kemudian dia menurunkan pandangannya.


Shinohara tampak puas dengan reaksiku, lalu membuka mulutnya.


"Benar, aku ini perempuan. Tapi, Senpai sama sekali tidak menyadari hal itu, kan?"


"Tidak, aku menyadarinya. Tadi soal menyebutmu 'Kouhai' itu hanya bercanda."


"Aku bicara ini pun sudah memperhitungkan kalo itu cuma bercanda."


Shinohara berkata dengan ekspresi cemberut.


"Kau sama sekali tidak peduli terlihat telanjang olehku, bukankah itu karena kau tidak menganggapku perempuan? Padahal aku ini sangat imut, tahu? Tapi tadi kau sama sekali tidak menunjukkan kalo kau sadar akan hal itu. Rasanya sangat tidak enak, jadi aku pura-pura marah."


"Jangan menyebut dirimu sendiri imut."


"Aku bilang begitu, karena kalo tidak, Senpai tidak akan pernah menyadarinya kecuali aku memberitahumu."


Setelah berkata begitu, Shinohara mendekat padaku. 


Karena sejak tadi kami sudah duduk agak menyamping berdekatan, dalam sekejap bulu matanya hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajahku.


Meskipun dia adalah Kouhai ku, Shinohara tetap termasuk dalam kategori perempuan dewasa. 


Kalo dia sampai sejauh ini───


Ketika aku berusaha menyembunyikan kegugupan dengan memasang ekspresi datar, Shinohara tiba-tiba mencubit pipiku. 


Dia memaksa wajahku untuk tersenyum. 


Saat aku hendak menepis tangannya, Shinohara lebih dulu berbicara.


"Aku tidak akan menganggap hari itu seolah tidak pernah terjadi. Hanya karena agak malu lalu berpura-pura seperti dulu lagi, aku tidak berpikir begitu. Tidak, aku sama sekali tidak memikirkan hal seperti itu."


"Aku juga tidak pernah berniat menganggap itu tidak pernah terjadi."

 

Tidak mungkin aku bisa melupakannya. 


Bianglala itu sejak awal memang sudah menjadi tempat yang terukir dalam ingatanku.


Saat aku mencoba memberi penjelasan, Shinohara terlihat cemberut.


"Jadi, izinkan aku bertanya sesuatu. Senpai, kau tidak pernah memanggilku dengan nama depanku, kan?"


"Yah, tapi itu hanya berlaku saat kita dalam masa percobaan pacaran, kan."


Itu berasal dari pernyataan Shinohara sendiri, jadi kalo sekarang dia mempermasalahkan hal tersebut, aku akan kesulitan menjawabnya. 


Aku berusaha menarik napas dengan menjangkau panci menggunakan sumpit penyendok. 


Tapi, Shinohara menarik lenganku.


"Setidaknya kau boleh terus memanggilku dengan namaku! Kau memanggil orang dengan nama depannya saat kalian seusia, tapi kenapa aku yang lebih muda justru dipanggil dengan nama keluarga! Kalo begitu, sekalian saja aku dipanggil 'Kouhai', itu akan lebih menyegarkan rasanya!"


"Kouhai."


"Bukan berarti aku ingin dipanggil seperti itu!"


"Fugagagaga."


Shinohara mengguncang pundakku dengan keras sebagai bentuk protes. 


Aku pun akhirnya menyerah mengambil nikudanshi dari panci dan meletakkan kembali sumpit.


Menjelang akhir masa percobaan pacaran, memang aku pernah memanggil Shinohara dengan nama depannya, Mayu. 


Bahkan setelah hubungan itu berakhir pun, aku merasa beberapa kali tetap memanggilnya seperti itu. 


Tapi akhirnya aku kembali memanggilnya dengan nama keluarga karena itu terasa lebih pas.


Entah kenapa, aku tidak bisa lepas dari cara memanggil seperti saat pertama kali kami berkenalan, dan kupikir aku tidak perlu memaksakan diri juga. 


Itu tampaknya membuat Shinohara tidak senang.


"Karena selama ini aku selalu memanggilmu Shinohara, jadi itu agak sulit diubah. Lagipula, kau sendiri juga tidak pernah mengganti panggilanmu padaku dari 'Senpai', kan."


"Kalo memang kau menginginkannya, aku bisa mengubahnya kapan saja, kok. Apa kau ada panggilan tertentu yang kau ingin aku gunakan?"


Mendengar pertanyaan itu, aku tanpa sadar mengerang pelan. 


Selama ini aku tidak pernah ditanya hal semacam itu, dan aku juga tidak pernah memikirkannya secara khusus.


"Bagaimana kalo 'Yuta-senpai'?"


"Itu terlalu panjang. Panggil saja Yuta."


Pertahanan panggilan-panggilan karakter dalam bahasa Jepang, contohnya panggilan kakak


"Eh, pakai nama langsung!? Itu agak terlalu berat..."


"Kalo begitu, aku lebihsuka kau tetap memanggilku Senpai."


"Itu tidak ada bedanya, kan?"


Shinohara mengeluh, tapi aku rasa itu wajar saja. 


Sekali panggilan terhadap seseorang melekat, memang sulit untuk diubah. 


Apalagi kalo tidak ada momentum yang jelas seperti menjalin hubungan, hal itu akan terasa canggung. 


Justru karena hubungan kami waktu itu bersifat percobaan, aku bisa memanggilnya dengan nama depannya tanpa terlalu merasa ragu.


"Tolong, Senpai!"


Aku menyendok nikudanshi dan memasukkannya ke dalam mulutku. 


Daging yang kaya rasa kaldu menyebar di seluruh rongga mulutku, menghangatkan tubuh hingga ke dalam.


...Yah, dia sudah sering memasakkan makanan enak untukku. 


...Yah, dia selalu membuat makanan lezat untukku, jadi kurasa wajar saja kalo aki mendengarkan permintaan kecilnya itu.


"Mayu."


"Feh."


Melihat reaksinya yang aneh, aku melirik ke arahnya. 


Shinohara berkedip-kedip dengan wajah terkejut.


"...Kau sendiri yang menyuruhku memanggilmu dengan nama depanmu, kan? Saat hanya berdua, aku akan memanggilmu dengan nama depanmu."


Saat ada orang lain, aku tetap akan menggunakan nama keluarganya, untuk menghindari perhatian atau spekulasi yang tidak perlu. Dengan begitu, seharusnya tidak akan menjadi masalah. 


Memang butuh waktu bagiku untuk terbiasa, tapi kalo ini sebagai bentuk balasan atas masakannya yang lezat, maka aku tidak keberatan.


Entah dia menyadari maksudku atau tidak, Shinohara menatapku dengan mata curiga untuk beberapa saat, tapi kemudian wajahnya merekah dalam senyuman.


"Hehehe~ Menang, aku menang."


"Bukan berarti aku kalah. Lagi pula, aku tidak merasa ini sebuah pertandingan."


"Iya iya, Senpai kua itu memang tidak pernah mau jujur! Tapi bagian itulah yang sangat aku suka darimu Senpai!"


"Kau sama sekali tidak mendengarkan, ya...”


Aku menghela napas, lalu menyendok isi panci dengan sendok sayur. 


Sebenarnya aku berniat menyisakan nikudanshi untuk Shinohara, tapi tanpa sengaja semua nikudanshi ikut tersendok.


Aku sempat khawatir dia akan protes, jadi aku melirik ke arahnya. 


Tapi ternyata dia tersenyum lebar dengan wajah cerah.


"...Tidak apa-apa?"


"Tentu saja."


"Nanti kau tidak akan menuntut sesuatu, kan?"


"Tidak, aku tidak akan meminta barang bermerek atau semacamnya."


"...Aku akan mengembalikannya."


Saat aku hendak memindahkan nikudanshi ke piring kecil milik Shinohara, dia buru-buru melambaikan tangannya.


"Tidak, tidak, itu hanya bercanda. Sungguh tidak apa-apa. Aku hanya merasa senang melihat Senpai selalu menghabiskan makanan tanpa tersisa."


"Be-begitu ya."


Sebenarnya aku bukan tipe orang yang makan dalam jumlah banyak, dan aku juga bukan seseorang yang terlalu peduli soal makanan. 


Kalo aku memang punya perhatian khusus terhadap makanan, aku pasti akan memasak sendiri meski tinggal aku sendirian.


Kenyataannya, aku hanya sering membeli kotak makan bento dari minimarket tanpa membeli lauk siap saji dari supermarket, dan itu cukup menjelaskan semuanya.


Meski begitu, aku selalu menghabiskan masakan Shinohara. Itu karena rasanya yang enak. 


Tapi tentu, bukan hanya rasa yang menjadi alasannya.


"...Sekarang kalo dipikir-pikir."


"Hmm?"


"Masakan rumahan itu memang enak, ya?"


Sambil menyantap nikudanshi yang kaya rasa kaldu, aku bergumam pelan.


Dibandingkan dengan makanan buatan restoran, rasanya mungkin tidak seenak itu. 


Tapi soal kebahagiaan yang dirasakan, itu jelas lebih unggul.


Kalau aku bisa belajar memasak, mungkin aku juga bisa membuat orang lain merasa bahagia.


...Kalo begitu, mungkin tidak buruk kalo aku mencoba belajar memasak. 


Kalo aku bisa membuat sesuatu yang lebih enak dari hot pot ini, pasti akan ada seseorang yang merasa senang karenanya.


Waktu pertama kali Shinohara datang ke apartemen ini setelah kami saling mengenal, dia pernah ingin mengajariku memasak. 


Tapi sejak rencana itu batal, aku belum pernah meminta dia mengajariku lagi. 


Mungkin sekaranglah saatnya.


Dengan perasaan itu, aku hendak membuka mulut.


"Hot pot ini termasuk masakan rumahan, ya?"


Sebelum aku sempat mengatakannya, pertanyaan polos Shinohara lebih dulu menghantamku.


Tanpa sepatah kata, aku hanya memasukkan nikudanshi ke mulutku yang sempat terbuka.


Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال