Kamu saat ini sedang membaca Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu volume 3, Chapter 1. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw
MEMPERCAYAI
2 minggu setelah perjalanan onsen bersama Ayaka, aku sedang berbaring di atas karpet di rumah, menahan rasa kantuk yang terus menyerangku.
Waktu setelah makan siang memang merupakan saat paling mengantuk.
Biasanya, begitu rasa kantuk menyerang, aku akan langsung melompat ke tempat tidur, tapi kali ini ada alasan kenapa aku tidak bisa melakukannya.
Penyebabnya sangat jelas.
"Hei."
"Ada apa?"
Saat kupanggil, setan kecil itu bangkit dari tempat tidur.
Benar, tempat tidurku sudah sepenuhnya dikuasai oleh Shinohara.
Aku mulai terbiasa dengan situasi ini, dan itu sedikit membuatku takut.
"Aku ngantuk sekarang, tahu."
Mendengar ucapanku, Shinohara menguap kecil, lalu kembali berbaring.
"Hei...jangan begitu..."
Sebenarnya, aku bisa saja memaksanya untuk pergi, tapi hari ini Shinohara mengenakan pakaian yang lebih santai dari biasanya, memperlihatkan lebih banyak kulit.
Aku ragu untuk menyentuhnya, dan mungkin saja Kouhai-ku ini sudah menyadari kebimbanganku.
Gaya berpakaian Shinohara selalu mencerminkan musim dengan baik, yang biasanya menyenangkan, tapi, saat ini, aku hanya merasa itu sebagai hambatan.
"Geser, dasar bodoh."
"Eh, Senpai kau kasar sekali sih."
"Kau pikir ini salah siapa?"
Aku mendekat ke samping tempat tidur dan menarik bantal yang menjadi alas kepalanya.
Shinohara mengeluarkan suara menyedihkan saat kepalanya terkulai ke bawah.
"Buheee."
"Sudah, gantian. Sekarang giliranku untuk bersantai. Turun dari tempat tidur."
"Tidaaak."
Saat aku mencoba menarik selimutnya, Shinohara mencengkeramnya erat dan tidak mau melepaskannya.
Pertarungan tanpa kata itu berlangsung selama beberapa detik, hingga tiba-tiba Shinohara menatapku dengan sorot mata menggoda dan berkata."A-a-atau...bagaimana kalo kita tidur bersama saja?"
"Diam, lepaskan!!"
"Tidak mau! Sedikit lagi, yaaa~"
Tapi, dewi kemenangan akhirnya memihak pemilik rumah dan Shinohara, bersama selimutnya perlahan terseret keluar dari tempat tidur, dan akhirnya wilayah kedamaian itu pun terbebaskan.
Tanpa ragu, aku langsung melompat ke tempat tidur dan berbaring tengkurap.
"Senpai jahat!"
"Katakan saja apa yang kau suka...dan kembalikan selimutnya padaku."
Aku mengulurkan tanganku, dan segera merasakan kehangatan saat selimut itu diberikan oleh Shinohara.
Aku membungkus wajahku dengan selimut tersebut, akhirnya menikmati momen keheningan yang sudah lama kunantikan.
Tapu, di balik selimut, samar-samar aku masih bisa mendengar suara protesnya.
"Senpai, hari ini aku pakai baju musim semi, lho. Bagaimana menurutmu?"
"Tadi aku susah untuk mengusirmu dari tempat tidur, jadi mulai besok pakai baju musim dingin saja."
"Itu bukan pendapat yang aku inginkan!"
"Iya, iya."
"Apa-apaan balasan asal-asalan itu!"
Jujur saja, aku sempat terkejut memperhatikan kulitnya yang putih tadi, tapi aku tidak berniat mengatakannya secara langsung.
Kalo dipikir-pikir, aku pertama kali bertemu Shinohara saat musim Natal, jadi ini pertama kalinya aku melihatnya mengenakan pakaian musim semi, jadi dia tidak bisa disalahkan sepenuhnya.
Sedangkan aku sendiri, masih memakai pakaian yang setengah-setengah, belum menyesuaikan dengan musim.
"Haruskah aku mulai ganti pakaian musiman juga?"
"Kalo begitu, ayo kita pergi berbelanja!"
Aku kalah dengan nada semangatnya dan melirik ke arahnya, aku melihat ekspresi Shinohara bersinar.
Selama 2 minggu terakhir, Shinohara sudah beberapa kali datang ke rumahku, tapi kami belum pernah sekalipun keluar bersama, mungkin itu sebabnya dia begitu bersemangat.
"Itu kelihatannya merepotkan."
"Eh? Moo! Aku ingin keluar rumah!"
Shinohara menggerakkan tangan dan kakinya di atas karpet seperti anak kecil yang protes.
"Kau ini seperti binatang yang terkurung di kandang saja."
"Kejaaaam! Tapi benar, Senpai sama sekali tidak pernah keluar rumah! Kalaupun keluar, paling-paling cuma ke toko serba ada! Kok bisa kau bisa hidup seperti itu, sih?"
"Inilah yang terjadi kalo aku tidak punya rencana."
Saat awal liburan musim semi, aku sempat merasa cemas, berpikir harus membuat rencana atau melakukan sesuatu yang khas anak muda.
Tapi akhirnya aku menyadari kalo bisa berhari-hari mengurung diri di rumah tanpa ada yang memarahi adalah salah satu keistimewaan sebagai mahasiswa.
Lagipula, tahun depan saat liburan musim semi, aku akan mulai sibuk dengan pencarian kerja.
Meski aku tidak akan menghabiskan setiap hari untuk itu, pasti akan ada acara seperti pertemuan untuk berbagi informasi atau pesta kecil, yang akan mengurangi waktu santai di rumah.
Jika ini adalah liburan musim semi terakhir di mana aku bisa bersantai dengan bebas, rasanya tidak apa-apa juga menikmati waktu seperti ini.
"Tapi, ya, 2 minggu memang agak terlalu lama,"
Aku memutar kunci dengan ujung jariku, dan Shinohara langsung merespons dengan mengambil mantel tipisnya di satu tangan lalu menuju pintu masuk.
"Belanja, belanja!"
"Kau ini kayak anjing saja..."
"Woof woof!"
"Tunggu dulu."
Aku menghentikannya Shinohara yang terlihat seperti seekor anak anjing yang mengibas-ngibaskan ekornya, untuk menunggu lalu menggantungkan tas di bahuku.
Saat kami melangkah keluar, sinar matahari hangat yang menandakan awal musim semi menyambut kami ber-2.
★★★
"Ah, Senpai, kita di luar."
"Iya, kita di luar."
Di atap pusat perbelanjaan, sambil menggantungkan kantong belanja, dan satu tangan memegang segelas boba.
Rooftop tersebut memiliki kafe dengan teras terbuka, dan ada menu spesial yang menyajikan boba.
Mungkin karena itu, sebagian besar rooftop kafe dipenuhi oleh para pemuda.
"Aku sangat senang!"
"Jangan membuatnya terdengar seperti kau tidak bahagia di rumah. Itu adalah surga, bahkan di sana."
Kami menemukan bangku yang cukup nyaman dan duduk di sana.
Melalui pagar kaca di depan, pemandangan dari atap dapat terlihat dengan jelas.
Meskipun hanya atap setinggi delapan lantai, pemandangannya cukup indah.
"Apa yang kau katakan, aku lah yang membuat tempat ini seperti surga."
"Jadi tempat yang aku tempati ini adalah surga, ya? Seperti itu ceritanya?"
"Bukan begitu. Karena aku yang mengurus pekerjaan rumah, maka apartemen Senpai tetap terjaga kenyamanannya."
"Terima kasih banyak untuk semuanya!"
"Hehehe, karena kau sudah mentraktir ku bubble tea, semua sudah oke kok."
Shinohara membentuk lingkaran dengan jarinya dan menempelkannya di pipi.
Gerakan itu diikuti dengan kedipan mata, dan jika ada pria di sekitar situ, mereka mungkin akan langsung jatuh hati hanya dengan itu.
Kalo tidak dilatih oleh Ayaka, mungkin aku sudah menjadi mayat sekarang.
"Babytappi!"
Shinohara berkata begitu sambil memasukkan sedotan tebal ke dalam wadah bubble tea.
"Apa itu?"
"Katanya, sekarang sedang tren untuk mengatakan itu saat memasukkan sedotan. Aku tidak begitu paham, tapi sepertinya itu mulai populer setelah tersebar dari salah satu kedai bubble tea."
Memang, aku rasa aku pernah melihat tagar seperti itu di SNS.
[TL\n:SNS adalah singkatan dari Social Networking Service atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai layanan jejaring sosial. SNS mengacu pada platform atau layanan daring yang memungkinkan individu untuk membuat profil pribadi, berinteraksi dengan orang lain, berbagi konten, serta membangun hubungan sosial secara virtual.]
Entah itu disengaja atau tidak, tapi karena hal itu menjadi tren, bisa dibilang itu adalah taktik pemasaran yang cukup pintar.
Dengan memikirkan itu, aku diam-diam memasukkan sedotan bubble tea yang lebih besar dari biasanya ke dalam wadah dan menyeruputnya.
Dari dalam sedotan, bola-bola tapioka masuk dengan cepat ke mulut ku, dan rasanya lebih seperti makan daripada minum.
"Tau nggak, tapioka itu, yang lebih enak itu cairannya daripada tapiokanya sendiri."
"Eh, tapioka-nya juga lumayan enak kok. Senpai, jangan jadi orang yang tidak mau mencoba, itu tidak baik!"
"Aku mengatakan ini karena aku sedang memakannya sekarang, kan?"
Saat aku melihat ke samping, aku menyadari kalo jenis bubble tea yang ada di wadah Shinohara berbeda dengan milik ku.
Mungkin karena aku memperhatikannya, Shinohara lalu menawarkan bubble tea yang hampir sampai ke mulutnya.
"Bagaimana, apa kau mau?"
"Tidak, tidak perlu."
"Eh, tadi sepertinya kita akan saling menukar, kan?"
Aku paham kalo biasanya orang akan saling barter kalo jenisnya berbeda.
Tapi, aku pribadi lebih memilih untuk menghabiskan minuman ku hingga habis tanpa membagikannya.
"Aku hanya melihat saja."
"Kalo begitu, aku akan minum minuman Senpai, jadi pinjamkan punya Senpai, ya?"
"Tidak bisa."
"Kenapa?"
Shinohara berdiri dan menghentakkan kakinya dengan marah, menunjukkan ketidakpuasannya.
"Kenapa tidak boleh?! Aku ingin minum, ingin minum!"
Shinohara menggembungkan pipinya, dan seolah-olah dia secara bertahap menyadari kalo hanya meminta saja tidak cukup untuk mendapatkan apa yang diinginkan, dia kembali duduk di bangku dan menghela napas.
"Senpai."
"Mm?"
Shinohara menempelkan boba di pipinya dan menjulurkan lidahnya.
"Setelah liburan musim semi selesai, aku akan datang ke apartemen mu setiap hari, bagaimana?"
"Baiklah, kalo begitu aku akan menukarnya."
"Memalukan kalo ini menjadi senjata yang efektif..."
Shinohara yang kemerosotan bahunya, dan akhirnya dia menukarkan boba dengan terpaksa.
Walaupun kuliah, klub, dan kegiatan seminar akan segera dimulai, kalo dia datang setiap hari, waktu sendiriku akan hilang begitu saja.
Waktu yang dihabiskan bersama Shinohara memang menyenangkan, tapu itu adalah hal yang berbeda dengan masalah ini.
"Enak sekali!"
Shinohara memandangi boba dengan mata yang bersinar.
Boba milikku sedikit lebih gelap dibandingkan milik Shinohara.
Ketika aku juga meletakkan sedotan di bibirku dan meminumnya, rasa manis yang lebih memanjakan lidah mulai menyebar di mulutku.
"Wow, ini enak sekali!"
Rasa manisnya lebih kuat dibanding boba milikku, tapi jelas sekali ini lebih sesuai dengan seleraku.
"Apa kita akan terus menukarnya seperti ini?"
"Eh, serius? Apa kau yakin? Milikku kan lebih sedikit isinya."
Meskipun sebelumnya dia sangat enggan, tanpa rasa malu Shinohara bertanya, dan dia menjawab dengan tawa ringan tanpa terlihat terganggu.
"Tidak masalah, aku rasa itu lebih sesuai dengan selera Senpai."
"Jadi, kau sudah tahu itu dari awal..."
"Siapa yang biasanya membuatkan Senpai café au lait, menurutmu?"
Setelah Shinohara sedikit membusungkan dadanya, lalu dia menambahkan.
"Jadi, aku tahu kalo dalam beberapa hari terakhir ini Senpai sedang memikirkan sesuatu."
"Eh?"
"Sejak beberapa waktu setelah kembali dari perjalanan, kan? Bagaimana, apa aku benar?"
"Itu tidak—"
"Benarkah?"
Shinohara menatapku dengan tajam, dan aku tidak bisa menahan diri untuk memalingkan wajahku.
──Benar, itu memang tepat.
Pikiranku dipenuhi oleh pesan dari Reina yang aku terima beberapa hari lalu.
『Aku ingin bertemu denganmu, ber-2 saja, minggu depan.』
Saat aku sedang memikirkan bagaimana membalas pesan ini, waktu terus berlalu.
Tanpa terasa, 2 minggu telah berlalu.
Bahkan meskipun minggu yang dijanjikan telah berlalu, tidak ada pesan lagi dari Reina, sehingga layar percakapan pun tidak pernah diperbarui.
Sejak hari itu, semuanya terhenti begitu saja.
Aku masih bingung bagaimana harus membalas pesan dari Reina.
Karena kalo aku menerima ajakannya, aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Aku masih ragu apakah usaha untuk bertemu dengan mantan pacarku itu sebanding dengan hasil yang akan didapatkan.
Tapi, sudah 2 minggu berlalu.
Karena aku berada dalam keadaan di mana aku merasa seperti sedang melarikan diri dari berpikir, kualitas penilaianku tidak akan berubah, bahkan kalo aku menunggu lebih lama lagi.
Kalo begitu, meminta pendapat dari orang lain adalah satu-satunya cara untuk keluar dari situasi ini.
Sebisa mungkin, aku ingin orang yang tidak tahu tentang hubungan ku dan Reina dan orang yang bisa ku percaya.
Tiba-tiba, kata-kata yang pernah aku dengar terlintas di pikiranku.
──Apa aku benar-benar tidak bisa dipercaya?
Pertanyaan itu diajukan oleh Shinohara pada hari saat aku menerima telepon dari Reina.
Saat itu, aku menjawab kali kepercayaan dan berbicara adalah 2 hal yang berbeda.
Sudah 2 bulan sejak saat itu.
Bagi ku, keberadaan Shinohara kini telah sepenuhnya menyatu dengan keseharianku.
"Hei, Senpai."
Shinohara menarik ujung bajuku dengan ringan.
Tubuhku sedikit terhuyung.
Seperti air yang tumpah dari gelas yang miring, tanpa sadar aku sudah mengucapkan kata-kata itu.
"Mantan pacarku meneleponku di LINE. Katanya dia ingin bertemu denganku."
Shinohara terkejut dan membuka matanya lebar-lebar.
Aku juga merasa terkejut dengan diriku sendiri.
Dulu, aku sangat ragu untuk berbicara tentang Reina, tapi kali ini aku mengatakannya begitu saja.
"Mantan pacar. Begitu jadi, senpai punya mantan."
Shinohara berkata sambil mengangguk.
Sepertinya, bibir Shinohara sedikit melengkung, seolah-olah tersenyum.
"Ya, tentu saja, aku punya."
Aku akan segera memasuki tahun ketiga kuliah dan sudah melewati usia 20 tahun.
Melihat teman-teman di sekitarku, sepertinya hampir tidak ada yang belum pernah memiliki pacar.
"Mantan pacar yang mana yang menghubungi, Senpai?"
"Jangan bicara seolah-olah aku punya banyak mantan!"
"Jadi, mantan pacar yang terbaru yang menghubungimu, ya?"
"Itu tidak salah, tapi itu bisa menimbulkan kesalahpahaman..."
Yah, daripada terjebak dalam suasana serius, lebih baik berbicara dengan santai.
Kami berh-2 sedang memegang boba, jadi rasanya lebih baik berbicara dengan perasaan yang lebih ringan.
"Senpai, kenapa kalian berpisah?"
Shinohara bertanya dengan nada ringan.
Tapi entah kenapa, meskipun nadanya santai, aku merasa dia sangat fokus pada jawabanku yang akan keluar selanjutnya.
"Dia selingkuh."
Begitu aku menjawab, boba yang dipegang Shinohara sedikit bergetar.
"Oo..."
Melihat reaksinya, aku langsung menggelengkan kepala.
"Jangan terlalu merasa kasihan."
"Tenang saja, aku tidak akan merasa kasihan padamu sama sekali."
"Setidaknya sedikitlah!"
"Yang mana yang benar jir?!"
Aku sebenarnya tidak menginginkan perhatian berlebihan, tapi kalo dia terlalu jelas menyangkalnya, aku merasa tidak nyaman.
Ketika aku mendengus, Shinohara tersenyum masam.
"Karena, aku juga pernah diselingkuhi. Jadi, aku bukan dalam posisi untuk merasa kasihan pada Senpai."
"Oh, ya, aku ingat. Motosaka mengaku padamu dan tak lama setelah itu, dia malah selingkuh."
"Senpai, tolong lebih berhati-hati dalam menyampaikan sesuatu!"
"Maaf, aku hanya menyampaikan fakta apa adanya."
"Ugh..."
Shinohara menatapku, seolah kehilangan kata-kata.
Aku menarik napas dalam-dalam, membersihkan tenggorokanku, lalu melanjutkan.
"Jadi, itulah sebabnya aku ragu apakah aku harus bertemu dengan mantan pacarku atu tidak."
"Eh, kau masih ragu? Itu cukup mengejutkan."
"Begitu ya? Kenapa?"
Shinohara menyeruput boba dengan suara sedotan. Setelah menemukan rasa yang pas, sepertinya suasana hatinya membaik, dan saat dia menatapku lagi, dia tersenyum.
"Senpai kan tipe yang akan menolak ajakan seperti itu dengan dingin. Menghabiskan waktu untuk hubungan yang sudah selesai itu sia-sia! Begitu kira-kira."
"Sepertinya... aku tidak begitu, deh?"
"Ahaha, kau mudah sekali di mengerti. Berarti kau benar-benar menyukai orang itu, ya?"
Kata-kata Shinohara mengingatkanku pada setahun yang aku jalani bersama Reina.
Memang benar, waktu itu adalah kebahagiaan yang tak tergantikan bagi diriku saat itu.
"Tapi, kalo berpisah karena selingkuh, berarti semua waktu itu sia-sia."
"Benar sekali, aku rasa Senpai pasti akan bilang begitu!"
Shinohara tertawa ceria dan berdiri dari bangku.
"Tapi, kau masih merasa ingin bertemu dengannya, kan? Itu yang aku rasa cukup mengejutkan."
"Itu..."
Alasan untuk berpisah dengan pasangan bisa sangat bervariasi──atau, lebih tepatnya, aku rasa kebanyakan alasannya hampir sama.
Karena saling peduli.
Perbedaan nilai dan pandangan hidup.
Meskipun ada banyak ungkapan klise yang terdengar masuk akal, pada dasarnya alasan utama berpisah adalah karena salah satu pihak kehilangan gairah cinta.
Tapu, meskipun perpisahan itu melibatkan keputusan dari ke-2 belah pihak, hubungan yang telah dijalin hingga saat itu tetap memiliki makna.
Hasil dari pilihan yang kita buat sendiri akan menjadi pengalaman yang bisa dijadikan pelajaran untuk membantu kita membuat keputusan yang lebih baik di masa depan dan memberi kita kesimpulan yang bisa kita terima.
──Itulah kenapa aku merasa iri.
Dalam hubungan yang berakhir karena perselingkuhan, tidak ada pilihan yang benar-benar ada.
Meskipun ada tindakan untuk mengakhiri hubungan dari salah satu pihak, keputusan itu tidak didasari oleh keinginan yang jelas.
Karena faktor eksternal yang mengacaukan segalanya, mereka tidak bisa melawan roda yang telah berputar dan berakhir dengan perpisahan yang sudah ditentukan, seperti mesin yang diprogram untuk mengikuti perintah.
Ada juga orang yang, setelah menjadi tenang sejenak dan mempertimbangkan berbagai hal, akhirnya membuat keputusan.
Tapi, ada juga orang sepertiku, yang tidak pernah bisa tenang dan justru mengakhiri hubungan tanpa berpikir panjang.
Tidak ada alasan yang lebih kosong daripada berpisah karena perselingkuhan.
Yang tersisa hanyalah penyesalan tentang apa arti waktu yang telah kita habiskan bersama.
Terkadang, aku tidak sengaja melihat foto wajahnya di SNS, tapi yang terlintas di pikiranku hanya kenangan tentang perselingkuhannya itu.
Karena itu, kalo saja...
"Aku kadang berpikir, kalo itu bukan perselingkuhan..."
"...Maksudmu?"
"Aku rasa, aku tidak ingin membuang waktu itu sia-sia."
Kalo pemandangan dia yang sedang menggandeng tangan pria lain tidak berhubungan dengan perselingkuhan...
"Hm, jadi kau benar-benar menyukainya, ya."
Shinohara menggumamkan kata-kata itu. Angin musim semi meniup rambut depannya, menyembunyikan ekspresinya.
"...Kalo begitu, aku tidak akan menjalin hubungan dengan dia."
Itulah sebabnya, aku sangat kesulitan menahan perasaan itu.
Pemandangan dia menggandeng tangan pria lain itu membuatku semakin enggan untuk menyelidiki lebih dalam. Aku takut semakin terluka kalo kebenarannya terungkap.
Mencintai seseorang mungkin adalah hal yang mulia, tapi pada saat yang sama, itu juga membuatku menjadi lebih takut.
Kalo aku berpikir kembali, saat itu aku sudah melarikan diri.
"Intinya, meskipun kenyataan kalo kita berpisah tidak berubah, kau hanya ingin menghadapi semuanya dan memberi kepastian dalam hatimu, kan?"
"Ya, kurang lebih begitu... Keren juga kau."
"Sejak beberapa waktu terakhir, aku juga sering bersama Senpai, lho."
Shinohara sedikit cemberut.
Kemudian, sambil menatap pemandangan kota dari rooftop, dia melanjutkan pembicaraannya.
"Jadi, itu... aku senang kau mau bicara tentang ini."
"...Apa maksudmu?"
"I-itu jahat! Padahal kau sudah tahu apa yang aku maksud!"
Shinohara mencoba untuk melambaikan tangannya seperti biasa, tapi sepertinya dia baru ingat kalo dia sedang memegang boba, jadi dia berhenti mendadak.
Setelah menyeruput boba yang masih tersisa, Shinohara berkata.
"Kepercayaan itu berbeda dengan berbicara tentang hal-hal yang lebih mendalam. Apa yang senpai katakan sebelumnya, aku bisa mengerti dan setuju dengan itu."
Aku segera tahu apa yang dia maksud, karena itu juga hal yang sedang aku pikirkan sebelumnya.
"Tapi, tetap saja... Rasanya menyenangkan bisa merasakan langsung kalo aku dipercaya."
Shinohara berkata begitu sambil mengerucutkan pipinya dengan senyum lembut.
Melihat ekspresinya yang jarang kulihat itu, aku hanya bisa terdiam. Senyum lembutnya seolah menyentuh sudut-sudut kenangan di pikiranku.
Saat aku merenung, mencoba mengingat kenangan itu, Shinohara mengalihkan pandangannya.
"...Sebenarnya itu yang ingin aku katakan, tapi karena aku malu, aku rasa aku tidak akan memberitahumu hal ini."
"Tapi aku baru saja mendengarnya dengan jelas kok."
Aku tidak bisa menahan diri dan langsung menggoda dengan komentar itu.
Mendengar itu, Shinohara langsung cemberut.
"Itu cuma candaan untuk menutupi rasa malu!"
"Aku tahu, tapi jangan ungkapkan semuanya! Kenapa semua harus diucapkan!"
Membuka isi hati kepada orang lain membutuhkan keberanian, apapun itu.
Itulah kenapa aku juga merasakan kebahagiaan yang nyata karena merasa dipercaya oleh juniorku ini.
Kalo saja aku bisa menghadapi isi hatiku dan mengungkapkannya seperti Shinohara, apakah perpisahan yang terjadi tidak akan berakhir seperti itu? Mungkin hasilnya bisa sedikit berbeda.
Kalo saja, perselingkuhan itu tidak terjadi.
──Sebenarnya, itu akan lebih baik.
Kalo aku bisa menganggap waktu itu, setahun yang berharga, sebagai sesuatu yang bermakna.
Kalo ada kemungkinan untuk merubah pandangan tentang itu, maka aku akan mempertimbangkan untuk menerima ajakan dari Reina.
Aku dengan tenang menguatkan tekadku, dan saat itu Shinohara, seolah teringat sesuatu, berkata.
"Tapi Senpai, sebelum bertemu dengan mantan pacarmu, ada hal yang seharusnya kau lakukan, kan?"
"Hah?"
Aku bingung dan menoleh, lalu Shinohara mendekat dengan cepat.
"Perut senpai, rasanya sudah mulai bahaya nih."
Shinohara berkata begitu sambil mencubit perutku dan tersenyum.
"Benar kan? Sepertinya aku harus rajin olahraga! Kesehatan itu yang utama."
"Eh?"
Sejak perjalanan ke onsen, aku memang tidak berolahraga, dan otot-ototku sudah banyak berkurang.
Sambil merasa sedikit terkejut karena ternyata kesehatan juga kini berada di bawah pengawasan Shinohara, aku memutuskan untuk segera menuju ke klub basket.
★★★
Di dalam gimnasium tempat kegiatan klub basket 'start' biasanya berlangsung, jumlah orang hari itu lebih sedikit dari biasanya.
Ada klub yang semakin aktif selama liburan musim semi, ada juga yang justru sepi.
Sayangnya, sepertinya 'start' termasuk yang terakhir.
"Oh, akhirnya kau datang juga."
Itu adalah Toudo, si pria tampan.
Begitu dia melihatku, dia segera mendekat dengan senyum ceria yang segar.
Sepertinya pemanasan sudah hampir selesai, karena keringat sudah mulai terlihat di dahinya.
"Eh, bagaimana dengan anak itu?"
Toudo dengan sengaja melirik ke arah pintu masuk dan bertanya.
Kemungkinan besar, dia bertanya tentang Shinohara.
"Dia lagi ganti baju."
"Hebat, sepertinya kau tahu segalanya."
"Itu bukan maksudku."
Shinohara mengikuti ku dan berkata, "Aku akan jadi manajer hari ini", lalu masuk ke ruang ganti.
Karena aku sudah beberapa kali mengajaknya ke sini, dia sepertinya sudah sangat terbiasa.
"Sikit bet orang hari ini, ya."
Saat aku melihat sekitar, Toudo melempar bola ke ring dan kemudian membuka percakapan.
"Liburan musim semi hampir berakhir, banyak orang yang pasti pergi berlibur, kan?"
"Ada juga orang seperti ku yang hanya bersantai di rumah."
"Itu memang di antara keduanya. Tapi yang penting, semua orang sekarang akur, itu yang terbaik."
Mendengar kata-kata Toudo, aku hanya menjawab, "Memang benar."
Hari ini bola terasa sangat mudah untuk aku kendalikan. Mungkin aku sedang dalam kondisi yang baik, jadi aku mencoba untuk menembak, dan bola itu masuk dengan suara yang memuaskan.
"Wow, nice shot... Eh, jadi, kalo balasan pesanmu terlambat, itu berarti kau lagi berhibernasi ya?"
Toudo bertanya sambil tersenyum kecil. Aku menyatukan tanganku untuk menjawab pertanyaan itu..
"Sorry bet."
Aku memang sering kali tidak membalas pesan secara mendadak selama liburan panjang.
Tidak ada alasan khusus untuk kenapa aku tidak membalas pesan orang. Hanya saja, ada kalanya aku merasa malas.
Ada saat-saat tertentu ketika aku merasa ingin memutuskan hubungan dengan dunia luar untuk sementara, memberi waktu untuk beristirahat bagi pikiran dan tubuh ki.
Tapi, Toudo memahami perilaku egois ku ini dan membiarkannya, dan jarak yang ada membuat ku merasa nyaman.
"Haha. Awalnya aku pikir, 'Orang ini!' Tapi sekarang aku sudah terbiasa, jadi jangan terlalu dipikirkan."
Mendengar kata-kata Toudo, aku hanya menghela napas.
"Aku memang tidak cocok dengan SNS."
"Meski begitu, terkadang kau juga memperbarui story mu, kan?"
"Iya, kadang-kadang aku ingin memperbarui storyku. Entahlah, fenomena aneh seperti apa ini."
Kemudian, setelah memposting, saya harus segera menghapus semua notifikasi yang menumpuk di LINE.
Ini adalah strategi untuk menghindari kemarahan yang timbul karena orang-orang yang bilang, 'Kalo kau memperbarui story-mu, balas pesanmu!'
Meskipun, mungkin efeknya tidak begitu besar.
"Seperti reaksi alergi karena terlalu terisolasi dari dunia luar, ya. Tapi, waktu kau pergi liburan dengan Ayaka-san, kau tidak memposting apa-apa, keren juga kau."
Mendengar perkataan Toudo, mau tak mau aku menangkap bola yang memantul dari ring.
Rasa sakit yang tumpul terasa di jari ku, tapi itu bukan masalah utama.
"Eh, bagaimana kau tahu?"
Aku sempat berpikir apa Ayaka memposting tentang perjalanan kami, tapi sepertinya bukan itu.
Kemudian, melihat Toudo yang tertawa sambil menggoyangkan bahunya, aku langsung paham.
"Brengsek, kau mencoba menjebak ku, ya?"
"Tenang saja, aku tidak akan memberitahukan siapa pun. Mungkin cuma aku yang sadar."
Toudo berkata seperti itu sambil berjalan menuju tempat meletakkan barang-barangnya.
Aku juga melemparkan bola ke sisi lapangan dan mengikuti langkahnya, kemudian dia menunjukkan layar Hp-nya.
Itu adalah postingan dari Ayaka.
『Ayaka: Sudah lama aku tidak memakai yukata, tapi aku sangat senang. Rasanya menyenangkan~』
Pada foto itu hanya terlihat yukata wanita yang dilipat.
Dia tidak mengungkapkan tentang penginapan onsen, dan juga tidak ada tanda-tanda kehadiran pria, sehingga isinya cukup netral.
"Lihat ini."
"Eh?"
Ketika aku memeriksa tempat yang ditunjukkan, aou melihat sebuah gantungan kunci kecil terjatuh di bagian lengan yukata.
Itu adalah gantungan kunci macan tutul salju yang terpasang pada kunci apartemen ku.
Mungkin itu terselip secara tidak sengaja.
"Ini milikmu, kan?"
"Eh, serius?!"
Memang, kalo seperti ini, mungkin Toudo bisa menebaknya.
Toudo adalah satu-satunya orang yang mengikuti SNS Ayaka dan mengingat gantungan kunci yang terpasang di kunciku..
"Untungnya aku bukan orang yang cerewet dan suka bergosip."
"Memang, ini keberuntungan di tengah ketidakberuntungan. Kau tentu saja tidak memberitahukan hal ini kepada siapa pun, kan?"
"Tentu saja tidak. Yah bahkan kalo sampe aku memberitahu seseorang, itu juga akan sia-sia."
"Eh? Apa maksudmu?"
Ketika aku kebingungan, Toudo menggaruk rambut abu-abu ashen-nya sambil mulai berbicara.
"Karena aku baru saja menemukan alasan untukmu mentraktirku makan, tentu saja aku ingin memanfaatkannya dengan baik."
Toudo tersenyum nakal, lalu menepukkan sepatu basketnya dengan suara keras.
"Kalo begitu, aku akan kembali ke lapangan untuk melanjutkan latihan tembakan."
"Karaktermu memang menarik──eh, aduh!"
Rasa sakit yang tumpul mulai menyebar dari jariku, dan tanpa sadar aku mengernyitkan wajahku.
Ketika aku menatap ke bawah, jariku sedikit bengkak.
Mungkin itu akibat tadi ketika aku kehilangan bola.
"...Gawat, apa ini salahku?"
"...Boleh dengan traktiran makan saja?"
Mendengar usulanku, Toudo mengangguk dengan enggan.
Sebagai gantinya, jariku yang terkilir sepertinya melindungi dompetku. Meskipun sebenarnya itu bukan hasil yang ku inginkan.
"Pergilah ke ruang ganti. Di sana ada kotak P3K."
"Kenapa kau tidak ikut? Aku tidak tahu di mana letaknya."
Karena cedera ini disebabkan oleh Toudo, aku meminta dia untuk menemaniku, tapi dia menolak dengan mengatakan, "Karena kau sudah setuju dengan traktiran makanan dariku, itu juga dianggap selesai."
Ketika aku mempertimbangkan kerepotan kalo perjalanan dengan Ayaka ini tersebar, dan rasa sakit di jariku, aku merasa rasa sakit itu sedikit berkurang, jadi dengan terpaksa aku pergi ke ruang ganti sendirian.
Perjalanan berdua dengan lawan jenis, kalo bukan pasangan, memang akan dianggap buruk oleh masyarakat.
Hubungan kami terbentuk dari hal-hal yang telah kami bangun bersama, dan aku tahu bahwa bagi orang lain yang tidak tahu, itu mungkin akan terlihat aneh.
Aku sudah lelah dikejar-kejar komentar dari orang-orang yang tidak tahu apa-apa.
"Permisi..."
Saat aku masuk ke ruang ganti, beberapa perempuan menoleh ke arahku.
Ruang ini seharusnya bisa dimasuki siapa saja, tapu entah kenapa tidak ada satu pun pria di dalamnya.
Aku merasa canggung, seperti saat salah naik kereta yang hanya untuk wanita, dan mulai mencari-cari keberadaan kotak P3K untuk segera keluar dari ruangan ini.
Tiba-tiba terdengar suara, "Eh, Senpai!" dan dari sana muncul Shinohara yang mengenakan jersy merah, melompat-lompat dengan ceria.
Dengan rambut yang diikat di belakang dan bergoyang-goyang, dia mendekat dan mengajakku keluar dari ruangan.
"Apa kau tidak bisa menunggu?"
"Eh? Menunggu apa?"
"Eh, aku."
Sebentar, aku benar-benar tidak mengerti apa yang dia katakan, tapi akhirnya aku menyadari kalo itu adalah candaan seperti biasa.
"Sepertinya kau tidak bisa menunggu, ya?"
"Betapa datarnya ucapanmu, terima kasih! Lalu, sebenarnya apa yang terjadi?"
Shinohara memiringkan kepalanya dan bertanya.
"Jari ku cedera."
"Eh, itu cepat sekali, kan? Perasaan baru sekitar 10 menit sejak kita masuk ke dalam gimnasium."
"Cedera datang tiba-tiba."
"Kenapa kau terlihat begitu bangga... Nah, kalo begitu, Senpai, ikutlah ke sini."
Shinohara berkata begitu sambil menarik tanganku.
Tentu saja, dia menarik tangan yang tidak cedera, tapi aku terkejut karena dia melakukannya dengan begitu alami.
"Tindakanmu itu terlihat keren, lho."
"Kalo kau merasa gugup, itu juga tidak masalah."
"Jari ku sakit."
"Aku kalah dari jari terkilir... Tapi tidak masalah. Nah, silakan duduk di sini."
Setelah duduk di bangku di depan mesin penjual otomatis, Shinohara berlari menuju ke ruang ganti.
Tak lama kemudian, Shinohara kembali dengan membawa kotak P3K di tangannya.
Tujuan Shinohara pergi ke ruang ganti adalah untuk mengambil kotak P3K, jadi aku sangat menghargainya.
"Terima kasih. Hebat, kau tahu di mana tempat kotak P3K itu."
Saat aku hendak membuka tutup kotak P3K, Shinohara menghentikanku.
"Apa yang sedang kau lakukan? Senpai, sebaiknya kau diam saja."
"Hah?"
"Aku bisa melakukan pembalutan dengan tape."
Begitu dia berkata, Shinohara mengambil tape dari kotak P3K, lalu berlutut di depanku.
Kemudian, dia dengan lembut menyentuh jariku sebelum mulai membalutnya dengan mahir.
"Tidak kusangka aku harus melakukan perawatan sebelum masuk ke gimnasium, ini benar-benar di luar dugaan."
"O-oh, maaf."
...Kalau dipikir-pikir, Shinohara juga ada di tim bola basket..
Dari keahlian Shinohara dalam membalut, mengingatkan ku pada hal itu.
Aku bisa merasakan adanya ketertarikan dari Shinohara melalui tindakan-tindakannya seperti ini, tapi aku masih belum tahu pasti jenis ketertarikan seperti apa yang dia rasakan padaku. Aku juga merasa tidak perlu untuk memastikannya.
Sebagai seorang Senpai, teman, atau lawan jenis. Ada berbagai jenis ketertarikan, dan mungkin saat pertama kali bertemu, aku disukai sebagai seorang Senpai.
Kalo itu memang berubah, apakah hubungan antara aku dan Shinohara juga akan berubah?
"Sudah selesai."
Tangan kananku ditepuk pelan, dan itu menarikku kembali dari lamunanku.
"Terima kasih."
"Tidak masalah. Apa yang akan kamu lakukan setelah ini hari ini?"
Shinohara masih berlutut, memandangku dengan tatapan mengarah ke atas.
Biasanya, kalo aku terkilir sebelum latihan dimulai, aku pasti langsung pulang, tapi kali ini berbeda.
"Karena kau sudah membalutkan, kan."
Dengan begitu, aku pun berdiri.
"Ya, tunjukkan permainanmu lagi, Senpai!"
"Jangan menaikkan harapan seperti itu."
Shinohara tertawa ceria, dan aku pun membalas dengan senyuman.
Waktu untuk bermain basket memang menyenankan.
Sepertinya, aku sedang melepaskan segala kekesalan yang telah terkumpul di dalam dadaku, bersamaan dengan keringat yang mengalir.
"Bagaimana kalo mencoba melakukan super play?"
"Semoga kau tidak perlu meminta bantuan teiping lagi, ya."
"Aku akan berusaha sebaik mungkin."
Dengan tawa kecil Shinohara yang terdengar di belakangku, aku kembali memasuki gimnasium.
Aroma wax yang mengalir di udara sedikit banyak membuatku merasa lebih bersemangat.