> Chapter 2 pertemuan

Chapter 2 pertemuan

 




Malam pas hari itu, aku melupakan Hp-ku di yang ku simpan di laci mejaku. 


Kalo saja aku menyadarinya di siang hari, aku bisa balik lagi dan mengambilnya, tapi aku baru menyadarinya saat malam tiba.


Yah, aku sebenarnya bisa mengambilnya nanti besok pagi, tapi hari ini aku belum login epe epe terheboh lagi ini hari terakhir eventnya, kalo aku sampai kelewatan login kali ini hadia magic cube akan hangus. 


Jadi terpaksa aku harus mengambilnya di laci kelasku. Kalo dipikir-pikir lagi, aku jelas membuat pilihan yang salah.


Aku sadar kalo aku seharusnya tidak melakukan ini, tapi mau bagian mana lagi, iadi aku terus melangkah walau suasana di jalan sangat gelap.


Saat aku sampai di gerbang sekolah, aku melihat ada seberkas cahaya di lantai 2 gedung kosong. 


"...Apa itu?"


Bulu kuduk ku langsung berdiri dan tubuhku mulai gemetar.  

 

Meski begitu, aku sudah sejauh ini, aku tidak bisa memaksa diriku untuk berbalik dan pergi begitu saja.   


Seperti yang telah kurencanakan sebelumnya, aku lalu masuk ke area sekolah dan langsung menuju kelasku untuk mengambil Hp ku.


Ketika aku berjalan di lorong yang gelap yang bisa kudengar hanyalah suara sepatuku. 


Tak, tak, tak, tak. 


Saat aku sampai di kelasku dan membuka pintunya aku terkejut dengan suara pintu yang terbentur yay walau itu ulah ku sendiri. 


"Gah, gelap bet, ku mohon setan jangan muncul."


Aku kemudian berjalan ke tempat duduk ku dan memasukkan tanganku ke laci meja, seperti yang sudah diduga, aku merasakan benda dingin berbentuk persegi panjang. 


"Alhamdulillah, untung gak ilang."


Untuk memastikannya, aku menyalakan senter Hp ku, yang membuatku silau sesaat.


"Tapi cahaya yang ada di lantai 2 tadi itu apa?"


Gumamanku bergema di dalam kelas yang kosong.  


Apa mungkin tadi itu aku hanya salah lihat?   


Otak ku mengatakan kalo aku harus pergi sekarang. Tapi, aku penasaran dengan cahaya yang kulihat tadi.   


Aku kemudian dengan hati-hati berjalan ke tangga, lalu naik ke lantai 2 tempat kelas yang sudah tidak digunakan.


Aku teringat dengan percakapan 2 siswa laki-laki waktu di kantin pas waktu istirahat. 


Karena aku juga penasaran dengan itu aku lalu menuju kelas tempat dimana mayat siswi itu ditemukan. 


Dan yang menyambutku di kelas itu hanyalah kegelapan, ketika aku memasuki kelas angin dan bau debu memenuhi tubuhku. Rasa dingin namun familiar merayapi kulit ku.


"Aying, kok perasaan ku mulai gak enak ya."


Aku mulai mengelilingi kelas, untuk melihat susunan meja dan siapa tau aku dapat pulpen gratis, aku kemudian tertarik dengan satu meja yang ada di bagian paling belakang kelas, terpisah dengan yang lain. 


Aku penasaran apakah mayat siswi itu ditemukan duduk di sini. 


Ketika aku memikirkan itu, aku merasakan seolah ada yang lewat di belakang ku. 


Aku menoleh tapi tidak ada siapapun di dalam kelas.


"Aneh, perasaan tadi aku merasa ada yang lewat."


Aku kembali melihat kemeja itu sambil menyentuh belakang leherku. 


Lalu tiba-tiba pintu kelas itu tertutup dengan suara kera. 


Karena itu terjadi secara tiba-tiba aku sangat terkejut, tubuhku mulai gemetaran, hawa dingin mulai menyebar ke belakang punggung ku.


"Oy, siapa itu? Keluar anjir, sumpah becandamu gak lucu cok."


Aku menyenteri sekitar tapi aku tidak melihat siapa pun, aku lalu berjalan menuju pintu yang tiba-tiba tertutup itu lalu───


"DOOR."


"WAA, MAK, TOLONG RIAN MAK, MAK ADA SETAN. MAK, MAK."


Karena panik, aku langsung berjongkok dan menggedor-gedor pintu seperti orang kesurupan.   


"Pftt, Ahahahahaha."


Di tengah rasa takutku, terdengar suara orang yang berusaha menahan tawanya dan karena dia tidak bisa menahannya lagi dia tertawa terbahak-bahak, dengan takut-takut berbalik dan───


"Pfttt... Yahoo...pfttt."


Di sana, yang berdiri di belakang ku adalah seorang gadis cantik, di memiliki rambut hitam yang lurus, sorot matanya tajam, kulitnya putih, payudaranya yang agak besar dan dia memiliki tinggi 145 cm. 


Dia menyapaku sambil mati-matian menahan tawanya. 


".....Siapa?"


Dengan senyum lebar dan nada santai, dia menjawab. 


"Hahaha... Ah, aku Agustina Aunita, kau bisa memanggilku Au. Teman-temanku memanggilku begitu."


Aku masih berjongkok, tanganku masih gemetar memegang Hp-ku yang masih menyala. Senter dari HP-ku menyorot wajah gadis itu—Agustina Aunita. 


Dia tersenyum lebar. Senyum yang...entah kenapa terasa terlalu santai untuk seseorang yang berada di kelas kosong, malam-malam begini.


"Eeh...jadi...kau juga?" 


Aku mencoba berdiri, berusaha terlihat tidak selemah tadi.


"Juga...apa?"


Tanyanya sambil memiringkan kepalanya.


"Kau...juga ketinggalan HP?"


"Enggak juga. Aku cuma...suka ke sini malam-malam."


Jantungku mulai berdetak lebih cepat, bulu kudukku berdiri lagi. 


"Kau suka ke sini? Sendirian?”


Dia mengangguk pelan, kemudian berjalan ke tengah kelas dengan langkah ringan, seperti sudah sangat akrab dengan ruangan ini. Debu-debu beterbangan di setiap langkahnya.


"Aku suka suasananya... sepi, gelap, dan... dingin."


Matanya melirik padaku dengan tatapan yang sulit dijelaskan antara penasaran dan penuh rahasia.


Aku menelan ludah. 


"Kau tahu...kelas ini katanya tempat ditemukannya mayat.”


"Yup. Aku tahu, makanya aku kesini."


Aku menatapnya. Ada yang mengganjal darinya.


Dia tidak terlihat takut sama sekali. Tidak seperti aku yang barusan nyaris pingsan karena suara pintu.


"Hey... Au apa kau tidak takut datang ke sini sendirin?"


Sebelum menjawab dia menatapku beberapa detik. 


"Aku? Hmmm...kalo dulu sih iya."


"Dulu?"


Jantungku serasa berhenti sejenak, suaraku agak tercekat.


"...Iya, tapi itu dulu banget, waktu aku masih hidup."


"Eh...maksudmu?"


Dia menatapku lama. Wajahnya yang tadi penuh senyum, perlahan berubah menjadi datar. Seperti sedang menimbang sesuatu.


"Kau percaya hantu nggak, Rian?"


Aku membeku.


Aku tidak pernah memberitahu dia namaku.


"Loh... kok tahu nama—"


Tiba-tiba pintu kelas terbuka dengan suara berderit pelan. Angin dingin menerpa masuk dari luar. 


Lampu lorong yang tadinya mati... menyala satu, hanya satu, dan itu pun berkedip-kedip seperti lampu horor murahan.


Ketika aku menoleh kembali ke arah Au—


Dia sudah tidak ada disana.


Di tempat dia berdiri tadi hanya ada bekas jejak kaki kecil yang samar di debu.


Aku melangkah mundur, perlahan, nyaris terjatuh karena kakiku gemetar. Napasku tercekat.


"Rian... sampai jumpa lagi."


Suara Agustina terdengar samar dari arah belakangku—


Dan di saat itu juga, lampu di lorong kembali mati.



Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال