> Chapter 3 AGUSTINA AUNITA

Chapter 3 AGUSTINA AUNITA




[Halo Rian di sini, Sorry nih gua ubah nama ceweknya jadi Agustina Aunita ya, maaf atas ketidaknyamanannya.]



 

"Hey, Agustina, gak lucu tahu, hey keluar anjir."


Aku terus memanggilnya tapi dia tidak kelur, aku sangat takut, tubuhku mulai gemetaran, bulu kuduk ku mulai berdiri lagi. 


Saat aku mulai sangat ketakutan, tiba-tiba aku merasakan ada sensasi sentuhan dingin di kakiku, penasaran aku lalu menoleh ke bawah. 


"Bwaa."


"WAAAAAAAAAAA, EMAKKKKKK..."


Dan di sana ada Agustina yang sedang memegang kakiku sambil meyenteri wajahnya. 


Melihat itu aku langsung menutup mataku sambil berteriak dengan suara yang menyedihkan, tubuhku yang gemetaran langsung kehilangan tenaganya dan aku langsung jatuh terduduk. 


"Pftt, Ahahahah...ahah...perutku...pft...perutku sangat sakit...ahahah..."


Agustina yang melihat keadaan ku yang menyedihkan tak kuasa menahan tawanya, dia tertawa dengan sangat kencang sambil memegangi perutnya. 


Mendengar tawanya itu aku membuka mataku, lalu aku melihat ke arah Agustina yang sedang tertawa sambil memegangi perutnya. 


Sambil masih merasakan kakiku gemetaran karena ketakutan, aku lalu berdiri kembali dengan berpegangan di meja dekat aku terjatuh. 


"Hey, Agustina yang tadi itu gak lucu sumpah, aku sangat ketakutan tahu...gimana kalo aku ngompol karena saking takutnya"


Aku tadi itu aku sangat ketakutan, aku bahkan tadi sedikit mengompol di celanaku. 


"...Haha...Maaf, maaf, habisnya, kau sangat lucu tadi, apalagi kau tadi belagak sok keren pas pertama kita bertemu padahal kau sangat ketakutan...jujur itu sangat lucu untukku...Hahaha."


Ketika aku melihat dia yang tertawa kencang, jujur saja aku sangat kesal. 


"Yah, mau bagaimana lagi, aku ini juga laki-laki tahu, aku juga punya harga diri yang harus ku pertahankan...aku merasa tadi itu jantungku hampir copot."


Sambil menahan rasa maluku aku mengatakan itu, lalu aku mengambil nafas dalam-dalam untuk menegakkan diriku. 


"...Jadi Au, kau kesini mau ngapain?"


"Aku cuma gabut aja sih dan yah, setiap ada kasus penemuan mayat kaya gini aku selalu datang ke TKP buat ngilangin rasa penasaran ku aja, makanya aku datang kesini..."


"Hah, cuman gabut? Kau datang kesini?"


"Yup, oya tadi juga aku habis mampir ke laboratorium buat bikin ni cairan."


Apa yang dipegang Agustina adalah botol semprot kecil dan di dalamnya ada sebuah cairan bening yang agak kental. 


"Apa itu?"


Karena penasaran aku bertanya cairan apa itu. 


"Ah, ini adalah Shield-9 versi handmade."


Dia mengatakan itu sambil menggaruk kepalanya. 


"Shield-9?"


"Yah, singkatnya ini cairan buat ngilangin sidik jari."


"Menghilang sidik jari? Berarti kau mau ngilangin bukti? Apa jangan-jangan kau yang..."


Sebelum aku bisa menyelesaikan apa yang ingin aku katakan dia mencela dan berkata───


"Bu-bukan, bukan kek gitu, aku kesini cuma mau liat TKP dan karena aku orangnya penasaran banget aku sering nyentuh barang yang ada di TKP makanya aku sering bawa cairan Shield-9 buat ngilangin sidik jariku, kalo aku gak ngelakuin ini aku malah akan ketangkep."


Dia melambaikan tangan sambil berbicara dengan sangat cepat seolah dia sedang panik. 


"Hmm..."


"Ya sudah kalo kau gak percaya sama aku, aku sih gak ambil pusing, geser dikit aku mau ngilangin sidik jarimu di meja itu, kau gak mau jadi tersangka kan?"


Mendengar itu aku lalu menuruti kata-katannya, aku bergeser kemudian dia berdiri di samping meja tempat aku berpegangan tadi. 


Dia lalu mulai menyemprotkan cairan itu sedikit kemeja itu, lalu udara samar-samar tercium bau alkohol netral setelah 15 detik cairan itu mengering total. 


Dia menyemprot semua meja, kursi pintu dan gagang pintu, cara dia menyemprot barang-barang itu terlihat sangat berpengalaman. 


"Hey, Rian, ayo segera keluar dari sini."


"Ah, oke."


Begitu kami keluar dari ruang kelas itu, udara malam langsung menyambut dengan hawa dingin menusuk tulang. 


Sekolah terlihat sepi, hanya ditemani cahaya lampu lorong yang berkedip-kedip seolah ikut menciptakan suasana seram


Agustina lalu sekali lagi menyemprot gagang pintu yang dia penga tadi. 


Kami berjalan pelan menyusuri koridor. Aku masih sesekali melirik Agustina dengan sedikit waspada.


Karena tidak tahan dengan keheningan yang ada di antara kami, aku membuka percakapan sambil melipat tanganku di depan dadaku. 


"Jadi...Shield-9 buatanmu itu, ampuh banget ya?"


"Yah, lumayan lah. Aku pernah membuat cairan kek gini beberapa kali, dan sejauh ini siduk jariku belum pernah ke deteksi oleh tim forensik."


Dia menjawab seperti itu dengan sangat santai, seolah itu adalah hal yang biasa. 


"Jujur aku gak tahu harus bangga atau takut sih dengar itu."


Dia tertawa kecil, tapi kali ini tawanya tidak sekeras tadi. Itu lebih tenang.


"Aku gak pernah ngelakuin kejahatan, Rian... Aku cuma terlalu suka tahu hal-hal yang...gak seharusnya aku tahu."


Dia mengatakan itu dengan suara agak serius. 


Aku diam sebentar. Kalimat itu mengambang di antara kami seperti kabut.


Agustina berhenti berjalan. Dia menatap lurus ke depan.


"Entah. Tapi yang jelas... orang itu tahu apa yang dia lakukan. Dan dia juga tahu cara main kotor."


Aku menelan ludah. Malam ini rasanya makin berat.


Kami terus berjalan sampai akhirnya sampai di gerbang sekolah. Gerbang besar itu setengah terbuka. 


Di luar, lampu jalan menyinari aspal yang basah, entah karena embun, atau mungkin sisa hujan yang tadi sore.


Aku dan Agustina berdiri diam sejenak, tidak langsung melangkah keluar.


"Yah, kayaknya sampai sini dulu ya." 


Aku lalu meliriknya sekilas sambil mengatakan itu.


"Iya, besok juga aku harus bangun pagi juga. Aku besok ada praktek kimia."


"Hah? Jadi kau masih sekolah juga? Kirain kau hantu."


Mendengar itu dia tersenyum. 


"Kau aja yang terlalu penakut, Rian."


Kami tertawa kecil. Untuk sesaat, suasana menjadi ringan.


Lalu dia melangkah keluar duluan, tapi sebelum dia benar-benar pergi, dia menoleh ke arahku.


"Oh iya, Rian..."


"Hmm?"


"Kalo kau nemu sesuatu yang aneh...atau mencurigakan...jangan langsung lapor polisi dulu. Kasih tahu aku."


Dia berkata pelan, tapi nadanya serius.


Aku menatapnya bingung. 


"Kenapa harus kau dulu?"


"Nanti kau di suruh bayar dulu buat ngurus laporan mu itu.... Canda, aku cuma pengen tahu apa yang sebenarnya  terjadi...dari mata ku sendiri. Bukan dari berita atau laporan resmi."


Aku diam sebentar, lalu mengangguk pelan. 


"Oke... Tapi jangan muncul lagi dari bawah meja. Jantungku gak kuat, serius."


Dia terkekeh kecil, lalu berjalan menjauh, meninggalkan suara langkah sepatunya bergema pelan di aspal.


Aku berdiri sebentar di depan gerbang, memandangi punggungnya sampai menghilang di tikungan jalan.


"...Agustina, sebenarnya kau ini siapa?" 


Angin malam berhembus pelan, membawa suara jangkrik dari balik semak. Sekolah kembali sunyi.


Dan aku tahu... kasus ini baru saja dimulai.




Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال