> CHAPTER 2

CHAPTER 2

 Kamu saat ini sedang membaca   Shū 4 de heya ni asobi ni kuru shōakuma gāru wa ku bittake! (GA bunko) volume 1  chapter 2. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw


GADIS IBLIS KECIL, SANDAL, DAN MASAKAN BUATAN TANGAN



Senin setelah bertanding dengan Chloe.


Aku hanya memikirkan untuk tidak terlambat dan dengan pikiran kosong menuju sekolah.


Saat aku masuk kelas, para siswa yang berada di dekat pintu melihat ke arahku, mungkin bertanya-tanya siapa yang baru datang, tapi setelah tahu itu hanya aku, mereka mengalihkan pandangan mereka. 


Tidak ada lagi yang mendekatiku hanya karena aku siswa pindahan. 


Masa berlaku sebagai siswa pindahan hanya sekitar satu minggu lebih.


Aku berjalan melewati meja dan teman-teman sekelas menuju kursiku.


"Selamat pagi, Hirasaka." 


Shitara-lah yang menyapaku saat aku menaruh tas sekolah di atas meja. Di sebelahnya ada Sakakibara.


Keduanya adalah teman sekelas pertama yang mengajakku bicara setelah aku pindah, dan mereka juga yang mengajakku keluar bermain di hari Minggu kemarin.


"Selamat pagi."


"Kau masih terlihat seperti mayat hidup di pagi hari."


Sakakibara tersenyum kecut.


"Itu bawaan lahir. Maafkan saja."


Aku menjawab sambil duduk di tempat duduk ku.


Aku sadar akan hal itu. Manusia, jika kehilangan sesuatu yang dia anggap segalanya, dia akan menjadi mayat hidup yang hanya bernapas.


"Lalu, kemarin kau ngapain?"


"Mayat hidup, seperti di seharusnya, menghabiskan waktu tidur di peti mati di kamarnya."


Sebenarnya, aku mencoba menembakkan bola basket ke ring dalam satu tembakan penentuan. Aku adalah mayat hidup yang cukup aktif dan agresif.


"Itu lebih cocok disebut Count Dracula." 


Kali ini, Shitara tertawa senang.


"Begitu, ya. Jadi begitulah cara Hirasaka menghabiskan waktu liburnya. Nanti kalo kao ada acara lain, kami akan mengajakmu lagi. Kalo kau tertarik, kau boleh bergabung kok."


"Baiklah."


Sebagian besar teman sekelas sudah tidak tertarik pada siswa pindahan. 


Tidak ada alasan bagiku untuk menjadi populer, dan dengan sikap seperti ini, itu wajar saja.


Tapi, Sakakibara, Shitara, dan satu orang lagi berbeda. 


Mungkin karena kasihan padaku yang tampak sulit mendapat teman, atau mungkin karena sifat mereka yang lapang dada menerima bahkan orang sepertiku, mereka tetap mengajakku bicara. 


Mereka tidak marah meski aku menolak ajakan mereka dan lebih memilih tidur, mungkin alasan kedua yang tepat. 


Berkat mereka, aku punya teman yang bisa dihitung dengan jari sekarang.


"Dari dulu aku ingin menanyakan sesuatu padamu, Hirasaka, kenapa kau pindah di waktu yang aneh seperti ini?" 


Tanya Shitara.


"Pertama-tama, bukankah jarang ada yang pindah sekolah di SMA? Tapi kelihatannya kau pindah bukan karena di-bully atau semacamnya, kan?"


"Sudahlah, hentikan." 


Lalu tiba-tiba terdengar suara seorang gadis. 


Itu adalah Tounami.


Dia adalah satu-satunya teman sekelas lain yang cukup aneh untuk mengajakku bicara. 


Menurut cerita, Sakakibara, Shitara, dan Tounami adalah teman sekelas sejak SMP dan entah bagaimana mereka terus berada di kelas yang sama. 


Meskipun Tounami memiliki kelompok teman perempuan sendiri, dia sering terlihat bersama ke-2 orang ini.


Namanya adalah Chiha Tounami. 


Sepertinya dia cukup bangga dengan nama lengkapnya, dan dengan percaya diri memperkenalkan dirinya kepadaku saat pertama kali kami bertemu. 


Itu meninggalkan kesan yang mendalam.


Aku tidak tahu nama lengkap Sakakibara dan Shitara. 


Mereka sempat memperkenalkan diri mereka saat pertama kali berbicara denganku, tapi itu tidak meninggalkan kesan sekuat Tounami, jadi aku tidak mengingatnya.


"Maaf, ya. Dia paki-laki yang tidak peka."


"Hah!"


Tonami berdiri di samping Shitara dan meminta maaf padaku sambil menendang Shitara dengan bagian luar kakinya.


"Aw, sakit! Kakimu itu senjata, ya?"


"Hohoho, tendangan ini masih kuat seperti biasa." 


Tounami tertawa dengan riang menanggapi keluhan Shitara. 


Mereka tampak sangat dekat.


"Tidak masalah. Seperti yang dikatakan Shitara, bukan itu alasannya." 


"Yah, aku juga tidak menyangka begitu. Lagipula, Hirasaka terlihat cukup kuat, tidak seperti tipe yang mudah di-bully." 


Tonami berkata sambil memiringkan kepalanya.


Tampaknya dia juga sedikit penasaran dengan alasan aku pindah sekolah.


"Itu hanya karena urusan orang tua. Tidak ada yang menarik untuk diceritakan."


"Jadi semacam keluarga yang sering pindah karena pekerjaan? Pasti berat, ya!"


Shitara mengartikan jawabanku yang samar seperti itu. 


Yah, daripada menyebut masalah perceraian orang tua, yang jelas bukan topik yang menyenangkan untuk dibicarakan, aku tidak merasa perlu mengoreksi pernyataannya.


"Omong-omong, Hirasaka apa kau pernah ikut klub atau kegiatan semacam itu?"


"...Tidak, tidak ada yang khusus."


Dari semua pertanyaan, ini sebenarnya yang paling tidak ingin ku jawab.


(Yah, setidaknya tanpa Chloe, hatiku sedikit lebih tenang.)

 

Chloe selalu mengangkat topik tentang basket. 


Meskipun dia tidak menyatakannya secara langsung, sepertinya dia memang memiliki pengalaman bermain basket.


"Oh begitu. Sayang sekali."


Tonami merosotkan bahunya.


"Ada apa dengan itu?"


"Nanti ada acara pertandingan bola, lho. Basket dan voli."


"...."


Sakakibara memberi tahu dari samping, tapi aku tidak bisa merespons dengan baik karena kata 'basket' terngiang di pikiranku.


"Jadi, tentu saja kita harus mengirimkan tim seleksi dari kelas kita. Tapi, sepertinya tim basket kita hanya mengandalkan Konan, jadi kelas kita kurang kuat..."


"...."


"Ah, kau pasti tidak mengerti meskipun sudah kukatakan. Hmm..."


Mendengar nama itu, aku terdiam. 


Tonami melihat sekeliling kelas sekali lagi,


"Lihat, di sana. Ada seorang pria kecil di sana, kan? Itu dia Konan. Katanya dia pernah jadi anggota klub basket saat SMP, jadi kalo di kelas olahraga ada basket, dia pasti jadi bintang di lapangan."


Dia menyampaikan informasi ini dalam bentuk kabar burung, mungkin karena pelajaran olahraga biasanya terpisah antara laki-laki dan perempuan. 


Yang memberitahuku adalah Sakakibara dan Shitara.


Ketika aku melihat ke arah yang ditunjukkan Tonami, ada 4 laki-laki. 


Di antara mereka, ada seorang siswa laki-laki yang tingginya tidak mencapai rata-rata. Dia adalah orang yang dimaksud.


(Konan, ya...)


Aku mencoba mengingat namanya, tapi aku tidak bisa mengingatnya.


"Kalo kau mau bermain, pasti ingin mencapai tempat yang baik, kan? Jadi, aku berharap ada pemain berpengalaman selain Konan untuk tim basket."


Sepertinya dia berpikir jika aku, yang merupakan murid baru, adalah salah satunya.


Tonami melipat tangannya dan menghela napas, "Dunia ini memang tidak semudah itu..."


Padahal, sebenarnya dunia ini berjalan cukup baik, tapi karena aku tidak berniat ikut acara pertandingan itu, tidak ada gunanya aku mengaku sebagai pemain berpengalaman. 


Sekarang, aku harus menjelaskan alasanku untuk tidak ikut.


"Bagaimana dengan 2 orang ini?"


Aku menunjukkan Sakakibara dan Shitara.


"Ah, mereka ber-2 bermain sepak bola."


"Kau juga, kan?"


Shitara menyela.


"Tepat. Kami ber-3 pernah bergabung dengan tim klub sepak bola. Aku berhenti saat naik ke SMP."


"Aku dan Sakakibara terus bermain sampai lulus SMP."


Shitara melanjutkan penjelasan Tonami.


Oh, jadi tidak hanya dari SMP hingga sekarang mereka satu kelas, tapi juga memiliki koneksi dari klub sepak bola sebelumnya. 


Membahas kekuatan tendangan Tsubasa mungkin berasal dari situasi ini.


"Ngomong-ngomong, ada lapangan basket di taman dekat rumahku, tapi kenapa di sini tidak ada tim basket?"


"Ada yang namanya 'Friday Night Basketball', tapi sepertinya itu hanya tim yang bersenang-senang sekali seminggu tanpa memandang usia."


"Begitu."


Sepertinya di sini tidak ada tim klub yang serius. 


Sayang sekali, padahal ada lapangan yang bagus seperti itu.


"Ah, ngomong-ngomong, tentang basket—sebenarnya, walaupun belum berpengalaman, kalo mau, ikutlah. Hirasaka, sepertinya kau punya bakat olahraga."


Tonami mengatakan itu sebelum kembali ke kelompok gadis-gadis yang sebelumnya.


Aku belum mendengar rinciannya, tapi jika semua orang ikut, mungkin aku akan meminta namaku ditulis sebagai cadangan di tim voli.


"Apa itu?"


"Itu dia, dia sangat kompetitif."


Shitara bertanya, seolah mewakili keraguanku, dan Sakakibara memberikan jawaban dengan senyuman kecil.


Tak lama kemudian, bel berbunyi, dan Sakakibara serta Shitara kembali ke tempat duduk mereka.


★★★


Di sore hari, aku menerima pesan dari ibuku yang mengatakan, "Hari ini ibu akan terlambat. Jadi silakan kau makan duluan."


"Apa yang harus ku makan...?"


Saat melihat isi pesan itu, aku hanya bisa tersenyum miris.


Setidaknya, aku bisa pulang dan jika ada sesuatu, itu sudah cukup. Kalo tidak ada, aku harus pergi membeli sesuatu. 


Sebagai seorang siswa SMA yang tidak tinggal sendiri, keterampilan memasakku sangat minim. 


Meskipun aku ingin membeli makanan, pasti yang bisa ku beli hanyalah makanan yang bisa langsung dimakan.


Ke-2 orang tuaku bekerja, tapi ibuku cukup mahir dalam mengurus rumah. 


Oleh karena itu, ketika dia tidak bisa melakukannya seperti ini, mungkin ayahku semakin frustrasi. 


Ini mungkin salah satu penyebab ketegangan sebelum perceraian mereka.


Di tengah suhu lembap bulan Juni yang seperti pertanda awal musim panas, saat aku tiba di apartemen, aku sedikit memperhatikan sekeliling.


Ada hal-hal yang perlu diwaspadai di rumah.


Tapi, saat aku menaiki tangga dan mendekati depan rumahku, tidak ada yang duduk menunggu atau tiba-tiba melompat keluar dari pintu masuk rumahku.


"Jadi, hari ini dia tidak ada...?"


Aku merasa sedikit kecewa.


Tapi, saat aku memasukkan kunci ke lubang kunci. 


"Mungkin kau merasa kesepian karena tidak bisa melihatku?"


"Eh?!"


Saat aku mendengar suara itu dan berbalik, Chloe muncul dengan wajahnya terlihat dari pintu masuk rumahnya, mengintip ke arahku. ...Cara munculnya sangat tidak biasa.


"Maaf, aku terlambat."


Melihat reaksiku yang terkejut, dia tertawa dan melompat keluar dari balik pintu.


"Terlambat atau tidak, aku tidak sedang menunggu—"


"Karena aku baru saja mandi."


Tapi, Chloe mengabaikan kata-kataku yang penuh protes dan dia mendekat ke sampingku seolah ingin menunjukkan niatnya untuk masuk ke dalam rumah.


Memang, seperti yang dia katakan, dia pasti baru saja mandi. 


Rambutnya sedikit basah, dan aroma sampo samar-samar tercium. 


Kulitnya juga terlihat sedikit kemerahan, dan garis antara leher dan tulang selangkanya terlihat sangat menggoda karena pakaiannya yang off-shoulder.


"Ya, hari ini memang panas."


Melihat semua itu dari dekat, aku segera memalingkan wajahku, berusaha menutupi rasa gugup di dalam hatiku.


"Itu juga benar, tapi, lihat, aku akan pergi ke kamar Seiya, jadi seharusnya aku siap kalo terjadi sesuatu."


"Tidak akan ada yang terjadi, dan seharusnya kalo kau tidak datang ke kamarku, persiapan yang tidak berguna itu tidak perlu."


Tentu saja, saat dia mengatakan hal yang begitu blak-blakan, aku merasa sedikit menggigil. 


Secara spontan, aku menjawab dengan serius.


"Jadi, masuk atau tidak?"


"Tentu saja, aku akan masuk."


Melihat reaksiku yang dingin, Chloe tampak kesal.


Akhirnya, aku masuk ke dalam rumah, dan dia mengikuti di belakangku.


"Sebenarnya, aku membawa sesuatu yang bagus hari ini."


Chloe mengatakan itu sambil berjalan menuju ruang tamu.


"Sesuatunya yang bagus?"


"Ini dia."


Dia mengeluarkan sepasang sandal dari tas kertas fancy yang dipegangnya. 


Sandal itu bergambar wajah kucing, dengan telinga kucing di bagian punggung kaki.


"Tidakkah menurutmu ini lucu?"


"Ah, ya, lucu."


Memang itu lucu, tapi sepertinya pilihan itu sedikit kekanak-kanakan untuk Chloe. Tapi, mungkin itu wajar untuk anak kelas 3 SMP.


"Ini bukan hanya lucu, kau tahu?"


Kata Chloe.


"Yang menarik, sandal ini kadang bisa mengeluarkan api saat berjalan. Bwoosh!"


"Sandal seperti itu tidak ada!"


Rumah ini bisa terbakar.


"Ya, meskipun aku pikir dia telah bersikap baik dengan membawanya sendiri."


"Karena aku berencana untuk sering berkunjung ke sini, jadi aku harus melakukan hal-hal seperti ini. Oh, aku tidak akan membawanya pulang, jadi biarkan aku meninggalkannya di sini."


"......"


Jadi, dia hanya sok berani. Itu sangat bertentangan dengan sikap baik.


Chloe yang sudah memakai sandal barunya masuk ke ruang tamu dan melintasi sampingku menuju dapur.


"Baiklah, jadi..."


Chloe tiba-tiba membuka kulkas dan mengintip ke dalam.


"He-Hey, Chloe..."


Aku terkejut dengan tindakannya yang tiba-tiba, mengira dia akan mengikuti seperti biasanya. 


Sepertinya ibuku sangat menyukai Chloe, hingga dia memberinya izin untuk menggunakan dapur sesuka hatinya. Tapi, ini sudah kelewatan. Apa dia tidak terlihat kurang sopan?


"Kalo kau ingin sesuatu, aku akan menyiapkannya untukmu—"


"Seiya-san, tolong diam sebentar."


Sambil memeriksa isi kulkas, Chloe dengan tegas berkata tanpa menoleh ke arahku.


"Apa maksudmu diam? Aku ingin tahu..."


Tiba-tiba, Chloe berhenti bergerak dan menoleh ke arahku.


"Apa? Apa ibu-mu tidak memberitahumu?"


"Apa yang harus didengar?"


"Tunggu sebentar."


Setelah itu, Chloe mengeluarkan Ho-nya dan mulai mengoperasikannya.


"Ini... ah, ini adalah selfie sedikit nakal yang pernah aku rencanakan untuk aku kirimkan ke Seiya-san."


"Hah?!"


"Itu hanya bercanda."


Dia berkata dengan tegas.


Dia kemudian mengangkat wajahnya.


"Apa kau berharap itu benar?"


Dia tersenyum dengan manis tapi sedikit nakal, seolah ingin membalas dendam atas kejadian sebelumnya.


"Apa aku terlihat begitu? Aku hanya terkejut."


"Baiklah, kalo kau berjanji untuk tidak menunjukkan kepada siapa pun, aku bisa mengirimkan satu."


"Mana mungkin aku menunjukkan itu kepada orang lain. Itu jelas bisa jadi kasus penangkapan."


Selfie aneh dari siswi SMP itu sangat berbahaya untuk disimpan.


"Ah, ini dia."


Chloe menunjukkan layar aplikasi chat. ...Bagaimana pun cara memikirkannya, layar ini dan folder gambar tidak mungkin tertukar.


Aku melihat log tersebut dan menggelengkan kepala dengan putus asa.


Itu adalah percakapan antara Chloe dan ibuku yang, intinya, meminta untuk menyiapkan makanan karena dia akan pulang terlambat. 


Ibuku benar-benar menggunakan nada yang sangat ramah, tidak seperti saat berbicara denganku.


"Kapan ini terjadi...?"


"Beberapa waktu yang lalu, ketika kita bertemu di luar, kami bertukar ID."


"Ini adalah situasi yang aneh, mengingat aku bahkan tidak melakukan hal semacam itu dengan ibuku."


Lagipula, aku tidak mendaftar ibuku di aplikasi chat. 


Ketika ada sesuatu yang perlu dikomunikasikan, aku lebih sering menggunakan email.


Yah, itu tidak masalah. Apa pun yang mereka lakukan.


Sekarang aku mengerti kenap ibuku hanya mengatakan, "Makanlah duluan." Seharusnya, Chloe memberitahuku kalo dia terlibat dalam percakapan itu.


"Kalo begitu, aku akan bertukar ID dengan Seiya-san juga."


"Tidak, aku kan ada di sini. Kalo kau ada yang perlu, datanglah langsung."


"Ah, itu juga benar."


Chloe dengan mudah menyimpan kembali Hp-nya.


"......"


Aku tidak bisa menahan diri untuk terdiam.


Dalam hal ini, apa aku secara tidak langsung sudah menyatakan kalo dia bisa datang kapan saja? Apa yang harus ku lakukan? Apa aku harus menarik kembali kata-kataku sekarang?


"Apa kita tetap harus bertukar ID?"


Melihat perdebatan batinku, Chloe berkata sambil tertawa.


"Kalo sekarang, foto selfie cabul ku akan langsung dikirimkan padamu sebagai hadiah pertama!"


"Kalo bukan karena kalimat itu, aku mungkin ingin melakukannya."


Kalau aku mengatakan itu sekarang, seolah-olah aku menginginkan foto itu. Sebenarnya, itu mungkin tujuan Chloe. Dia tidak berniat untuk bertukar ID.


"Yah, meskipun aku bisa menghubungimu lewat chat, itu bukan berarti aku akan jarang berkunjung kesini."


Chloe berkata begitu dengan santai.


"Sebaliknya, pesan-pesan datang kepadaku sepanjang waktu. Tidak ada manfaatnya bagiku."


"Ada manfaatnya, kan? Foto selfie."


"Itu bom waktu. Itu malah menjadi kerugian bagiku. ... Ayo kita kembali ke topik kita tadi."


"Kalo kau tidak menunjukkan minat sedikit pun, aku bisa kehilangan rasa percaya diri sebagai seorang gadis loh."


Chloe mengerucutkan bibirnya.


"Kalo kau sampai terjebak, itu malah merepotkanmu."


"Itu tidak benar, lho. 'Seiya-san, kau benar-benar nakal!' lalu aku akan mengirimkan foto terbaikku sambil tertawa."


"Sejauh mana sikap santaimu itu bisa kau pertahankan?"


Apa dia benar-benar seorang siswa SMP? Meskipun kadang-kadang dia menunjukkan ekspresi yang sangat dewasa yang membuatku terkejut, aku tetap meragukan fakta kalo dia ini lebih muda dariku.


Garis pemisah yang sulit dijembatani ini selalu membuatku kehilangan ritme.


"Jadi, pada akhirnya, kau diminta oleh ibuku untuk menyiapkan makanan, dan kau langsung memeriksa isi kulkas, kan?"


"Begitu. Karena aku diizinkan untuk menggunakan apa pun yang ada di dalam, sayangnya, sepertinya aku bisa membuat apa saja."


"Sayangnya? Apa yang disayangkan?"


Aku merasa aneh dengan pilihan kata-katanya dan menanyakannya kembali.


Kemudian, Chloe tersenyum dengan cara yang dewasa seperti biasanya.


"Tidak, jika tidak ada, aku berpikir untuk pergi kencan berbelanja makan malam bersama Seiya-san. Itu yang disayangkan."


"Oh begitu. ... Kalo begitu, aku akan berganti baju di kamarku dulu. Jadi lakukanlah sesukamu."


Aku merasa seperti terkejut mendengar kata 'kencan', jadi aku membalikkan badan dan pergi menjauh.


Chloe tidak mengatakan apa-apa.


Tapu, aku yakin dia pasti sedang tertawa pelan.


★★★


Setelah itu, Chloe mulai melakukan persiapan ringan. Kemudian, seperti biasanya, dia mengobrol santai denganku, dan ketika waktu sudah tepat, dia mulai memasak makan malam dengan serius.


Akhirnya, yang terhidang di meja adalah daging babi teriyaki jahe dan hijiki, serta sebuah mangkuk besar Caesar salad yang disajikan di tengah meja.


"Bagaimana dengan ini?"


Meskipun kalo dibandingkan dengan masakan ibuku yang telah lama mendukung pola makan keluargaku, ini terasa kurang, tapi tetap saja, itu adalah hidangan yang cukup layak. 


Jika ada yang tidak puas dengan ini, mungkin mereka biasanya makan makanan yang jauh lebih mewah atau lebih suka makanan cepat saji daripada masakan rumahan.


"Aku rasa ada sedikit ketidaksesuaian, tapi mohon maklum. Aku masih punya sedikit variasi dalam memasak."


"Jika aku mengeluh tentang ini, aku pasti akan mendapatkan hukuman."


Kaalo aku sendiri, mungkin aku akan mengisi perutku dengan makanan sembarangan, jadi aku sangat berterima kasih bisa menikmati hidangan yang layak seperti ini.


"Seiya-san memuji ku. Aku senang. Tapi seharusnya, kalo kau mau, kau seharusnya bisa bilang, 'Kau akan menjadi istri yang baik.'"


"Kalo aku mengatakan itu, aku bisa membayangkan bagaimana kelanjutannya, jadi lebih baik aku tidak melakukannya."


"Oh, apa kau berpikir, 'Kalo begitu, jadikan aku istrimu' kalo kau mengatakannya? Seiya-san ternyata cukup percaya diri, ya."


Chloe menggodaku dengan nada mengejek.


"Kau tidak akan mengatakannya?"


"Tentu saja aku akan mengatakannya. Kalo kau mau, jadikan aku istrimu."


Tapi, kali ini, dia mengatakannya dengan santai.


"Ku pikir aku adalah barang berkualitas, jadi kalo kau mau memesan, sebaiknya lakukan sekarang."


"Jangan berbicara seolah-olah kau adalah barang."


"Oh, jadi Seiya-san ingin mengatakan kalo ada hal-hal yang tidak bisa diketahui hanya dengan foto, dan ingin mengadakan open house? Baiklah, jika itu yang kau inginkan, aku tidak punya pilihan lain. Ayo kita lakukan di kamarmu lain kali—"


"Maaf. Bolehkah aku mulai makan? Aku lapar."


Aku memotong perkataan Chloe dengan ekspresi serius, dan dia tertawa kecil sebelum menjawab,


"Baiklah. Kita seharusnya mulai makan sekarang."


"Tapi, sebelum itu, ada satu hal. Kenapa ada 2 porsi di sini?"


Sejak tadi, aku merasa penasaran melihat ada 2 porsi makanan di meja.


"Aku berpikir, karena kesempatan ini, aku juga ingin makan bersamamu."


"Seharusnya begitu."


Itu adalah hal yang jelas.


Lagipula, aku sudah diberi makanan. 


Tidak mungkin aku hanya mengizinkannya pergi setelah membuatkan makanan untukku. Jika dia ingin makan bersamaku, aku tidak akan menolak.


Hanya saja, ada sedikit pemikiran yang menggangguku.


"Apa kau tidak makan bersama orang tuamu di rumah?"


"Keluargaku tidak memiliki ritme kehidupan yang sama seperti di rumah Seiya-san."


Chloe menjawab dengan nada sedikit melankolis.


Keluargaku memiliki rutinitas yang teratur; ibuku bekerja dengan jadwal yang tetap dan tidak pernah mengabaikan pekerjaan rumah, jadi setidaknya, ibuku dan aku biasanya makan bersama. 


Meskipun terkadang ada hari seperti hari ini, itu adalah hal yang tak terhindarkan.


Tapi, sepertinya tidak demikian dengan keluarga Chloe.


Aku pernah mendengar tentang situasi keluarganya. Chloe juga berasal dari keluarga satu orang tua, sama seperti aku. 


Ayahnya meninggal beberapa tahun yang lalu karena penyakit. Meskipun ada asuransi dan segala macam hal, dan tidak ada kekhawatiran untuk biaya hidup dan pendidikan dalam waktu dekat, sepertinya ibunya bekerja. 


Aku tidak tahu pekerjaan apa yang dia jalani, tapi mungkin mereka jarang bisa makan bersama.


Itu sebabnya waktu yang bisa dihabiskan bersamaku begitu berarti baginya. 


Aku teringat hari pertama aku bertemu Chloe. Saat itu, dia baru saja pulang dari belanja bersama ibunya.


"Kalo begitu, kau bisa makan di rumahku."


"Terima kasih. ...Nah, sekarang kita bisa mulai makan."


Akhirnya, kami mulai makan.


Di saat-saat seperti ini, sulit bagi orang seperti ku yang tidak suka terlibat secara aktif dengan orang lain untuk menemukan topik yang tepat untuk dibicarakan.


"Ngomong-ngomong, Seiya-san, apa kau sudah terbiasa dengan sekolahmu yang sekarang?"


Chloe mulai mengajukan obrolan sepele.


"Apa maksudmu dengan pertanyaan itu? Apa kau ibuku?"


"Ah, tidak apa-apa kan? Sepertinya belakangan ini, dimanjakan oleh gadis yang lebih muda sedang menjadi tren."


Aku belum pernah mendengar hal semacam itu sebelumnya.


"Ya, kalo sekolah sih, cukup baik. Aku malah merasa lega kalo tidak ada Chloe."


"Ah, apa kau benar-benar akan mengatakan itu?"


Chloe tersenyum kecil mendengar ucapanku yang menyebalkan.


"Apa yang baiknya? Kenapa kau bilang itu?"


"Siapa tahu? Mungkin karena aku suka membuatmu penasaran."


Chloe tertawa nakal sambil menghindar dari jawabanku.


★★★


Keesokan harinya, Chloe tidak datang berkunjung, dan tentu saja aku tidak merasa kesepian karenanya──. 


Begitulah yang terjadi 2 hari kemudian. 


Saat istirahat makan siang, aku bersama Sakakibara dan Shitara berada di ruang guru. 


Bukan karena aku dipanggil karena melakukan kesalahan. Aku hanya pergi ke tempat wali kelasku untuk urusan kecil. 


Urusan itu juga segera selesai, dan aku meninggalkan ruang guru. 


Ketika keluar ke koridor, aku berpikir untuk segera kembali ke kelas, tapi dengan iseng aku melihat ke arah yang berlawanan dari jalan yang aku lalui.


"Apa ini bagian dari SMP?"


Aku bertanya kepada Sakakibara dan Shitara yang menunggu di luar.


"Begitu, Itu jalan yang kita lalui,"  


Sakakibara mengangguk. Sementara itu, apa yang diucapkan Shitara tentang "jalan yang kita lalui" bukanlah tentang jalan fisik, tapi tentang mereka yang merupakan angkatan masuk dari SMP.


Sekolah Shouseikan ini memiliki gedung SMP dan SMA di dalam area yang sama──secara kasar, bisa dibayangkan ada gedung akademik di tengah yang berisi ruang guru dan administrasi, dengan sekolah menengah dan sekolah tinggi di kedua sisinya. 


Ruang guru ini tidak dipisahkan antara SMP dan SMA, sehingga menjadi ruang besar yang mencampurkan ke-2 pengajar dari kedua jenjang.


Keduanya dan Tomonami yang tidak ada di sini, dulunya berada di sisi itu 2 tahun yang lalu. 


Aku mendengar bahwa perpindahan antara SMP dan SMA tidak dilarang secara khusus. Tapi, rasanya tidak mungkin ada yang pergi ke sisi sana tanpa alasan, dan aku juga tidak berpikir akan ada alasan yang muncul bagiku untuk pergi kesana.


Itu dunia yang tidak ada hubungannya denganku. Aku lebih baik cepat-cepat kembali ke kelas.

Pikirku begitu, dan ketika aku berbalik dan melangkah beberapa langkah, aku mendengar suara yang tidak seharusnya kudengar di sini.


"Oh, kebetulan sekali, Seiya-san."


"Eh!?"


Aku terkejut dan berbalik dengan cepat. 


Di sana ada Kuroe Misa──Chloe. Dia baru saja keluar dari ruang guru dan sepertinya dia melihatku.


"Halo."


"Diam, Chloe, kenapa kau ada di sini!?"


Aku bahkan lupa membalas sapaan Chloe dan hanya bertanya kembali.

 

"Hoi, Hirasaka, apa kau kenal anak itu?"


"Ah, ah, sedikit."


Aku menjawab dengan samar pada Shitara yang bertanya dari belakang. 


Saat itu, aku melihat sekeliling dan menyadari cukup banyak siswa yang memperhatikan kami. Mungkin karena aku berbicara dengan suara keras.


"Chloe, ikut aku ke sini."


Aku menggenggam pergelangan tangannya dan menariknya hingga ke dekat kotak sepatu guru di pintu masuk depan ruang guru.


"Kalo begitu, seharusnya kau membawaku ke tempat yang lebih romantis. Misalnya, di antara rak buku di perpustakaan."


"Jangan bicara omong kosong."


"Kenapa di sini?"


Chloe memiringkan kepalanya dan kemudian mengulurkan ke-2 tangannya.


"Apa kau tidak bisa melihat betapa cantiknya seragam ini? Aku adalah siswa SMP di sini."


"...... Tentu saja."


Kalo dia mengenakan pakaian sipil atau seragam dari sekolah lain yang tidak familiar, mungkin itu bisa diperdebatkan, tapi ini adalah seragam SMP yang sudah cukup sering kulihat saat berangkat sekolah. Sangat jelas.


Sepertinya semakin banyak pertanyaan yang tidak perlu yang muncul saat aku berhadapan dengan Chloe. Ini lebih disebabkan oleh tindakan dan sikapnya yang tak terduga daripada kekuranganku dalam memahami.


"Beberapa waktu lalu, kau bilang kau merasa kesepian karena aku tidak ada di sekolah, Seiya-san──"


"Aku tidak pernah bilang begitu."


"Begitukah?"


Chloe menunjukkan senyum yang sangat mencolok.


"Aku pikir itu benar, jadi kemarin, aku berencana untuk datang menemui Seiya-san──"


"Jangan berusaha untuk melanggar batas."


Sepertinya itu tidak dilarang, tapi.


"Ketika aku berpikir Seiya-san mungkin merasa kesepian hari ini──aku sangat senang bisa bertemu denganmu seperti ini."


"......"


Kalo kami tidak secara kebetulan bertemu, mungkin dia akan langsung masuk ke kelasnya.


"Kenapa kau tidak bilang kalo kau bersekolah di SMP di sini? Seharusnya oau tahu kan kalo aku bersekolah di SMA di sini juga."


Dia pasti sudah melihatku dengan seragam ini beberapa kali.


"Aku berencana untuk mengejutkan Seiya-san."


"Ini cerita yang mengerikan......"


Aku hampir saja membungkuk.


Meskipun cara bicaranya imut, pada dasarnya dia sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengejutkanku.


"Jadi, mulai sekarang, mari kita berkenalan lebih baik, Senpai."

 

Chloe menggunakan gelar kehormatan yang biasanya tidak pernah dia gunakan, dan dia mengatakannya dengan senyuman yang sesuai dengan usianya. 


Jika dilihat dari sini, dia tampak seperti kohai yang imut.


"Ah, tapi aku lebih tahu tentang sekolah ini. Kalo ada yang tidak kau mengerti, kau bisa tanyakan langsung padaku."


Chloe mengangkat hidung kecilnya dan membuat ekspresi bangga, "Hmph." ...Aku bertanya-tanya bagaimana dia bisa tampak begitu percaya diri hanya karena dia penduduk asli dan mengenal lingkungan sekitar?


"Rasanya sedikit menjengkelkan kalo orang lain mengandalkanku."


Tapi, kali ini dia mengerutkan dahi dan menatapku dengan tatapan kesal. Gaya kohai yang imutnya jadi berantakan, tapi dengan cara ini juga dia tetap terlihat imut.


"Jadi, sampai jumpa lagi."


Setelah itu, Chloe tersenyum sekali lagi sebelum pergi.


Ketika dia bilang 'lagi,' sepertinya dia berencana untuk datang ke tempatku hari ini. Yah, dia tidak datang kemarin, jadi seharusnya itu tidak mengherankan.


"Hey, yang tadi itu, Kuroe-san kan?"


Setelah Chloe pergi, Sakakibara dan Shitara mendekat. Sepertinya mereka menunggu sampai pembicaraanku selesai.


"Apa kau kenal dia?"


"Aku tidak tahu apa pun tentangnya, tapi dia cukup terkenal"


Shitara menjawab seolah-olah itu adalah pengetahuan umum.


"Terkenal?"


"Dia datang ke sekolah kita saat kita duduk di bangku kelas 3 SMP, dan dia sangat manis, atau lebih tepatnya cantik, hingga kau akan mengira dia adalah seorang siswa SD dengan tas sekolah di punggungnya beberapa saat yang lalu... Sungguh, itu adalah topik yang selalu dibicarakan saat itu."


"........"


Yah, sekarang dia jelas terlihat sebagai gadis cantik tanpa cela. 


Sulit membayangkan dia bukanlah seorang gadis cantik yang lebih unggul dari yang lain 2 tahun lalu.


"Sungguh menyenangkan melihatnya lagi, dia bahkan semakin cantik."


"Benar sekali. Mungkin dia terlihat lebih dewasa daripada anak-anak di kelas kita?"


Mungkin ini adalah hal yang bisa membuatku mendapatkan tendangan dari Tomoha.


"Jadi, bagaimana kau bisa kau kenal dia padahal kau tidak tahu tentang semua itu?"


Sementara keduanya menunjukkan rasa kagum, tapi Shitara tiba-tiba mulai mengajukan pertanyaan dengan sedikit kebencian. Jika seseorang mengenal kohai yang terkenal karena kecantikannya, tentu saja dia akan terlihat seperti itu?


"Rumah kami bersebelahan."


Itu bukan hal yang perlu disembunyikan. Sebenarnya, bahkan jika aku berusaha menyembunyikannya, tidak ada jawaban yang lebih tidak mencolok daripada itu.


Tapi, saat aku mengatakan itu, mereka langsung berseru.


"Serius!?!"

 

"Biarkan aku datang bermain lain kali!"


"Jangan sekali-kali datang!"


Aku tidak menyangka dia akan begitu antusias. Jika dia terus-menerus mengatakan ingin datang bermain, entah apa yang akan terjadi.


★★★

Hari ini, semua pelajaran telah berakhir, dan rapat akhir juga telah selesai.


"Hei, Hirasaka, bagaimana dengan turnamen olahraga yang akan datang? Basket dan voli."


Tonami-lah yang memanggilku saat aku bangkit dari tempat dudukku.


"Tonami-san, apa kau anggota komite olahraga atau semacamnya?"


Dari apa yang ditanyakan, aku tiba-tiba merasa heran dan, tanpa sopan, melemparkan pertanyaan kembali sebelum menjawab.


"Ah, tidak, sebenarnya bukan begitu..."


Tonami terlihat ragu-ragu.


Melihat ekspresinya, aku bisa menebak apa yang ingin dia katakan. 


Intinya, wajahku yang tidak bersemangat dan hanya datang ke sekolah untuk belajar dan pulang tidak bisa dibilang mudah untuk diajak bicara. Apalagi bagi seorang murid pindahan yang datang setelah kelompok sudah terbentuk.


Jadi, mungkin Tonami bertanya padaku sebagai pengganti ketua kelas atau anggota komite olahraga.


"Masukkan saja aku sebagai cadangan voli. Aku sama sekali tidak bisa basket. Aku rasa itu akan lebih baik."


"Be-begitukah?"


Tanggapan cepatku membuat Tonami terkejut.


"Ah, tapi, tunggu, sepertinya mereka akan melakukan basket dan voli secara bergantian di pelajaran olahraga untuk menentukan anggota. Jadi, tidak masalah jika setelah itu."


"Baiklah."


Oh, jadi dalam waktu dekat akan ada pelajaran olahraga dengan basket. Yah, aku sudah memperkirakan kalo itu akan terjadi suatu saat selama 2 tahun terakhir di SMA ini. 


Mungkin aku bisa bermain basket dengan baik dalam pelajaran olahraga. Tapi kali ini, aku akan membiarkan diriku untuk tidak terlalu berusaha. 


Jika aku mengulangi apa yang terjadi di pertandingan lemparan bebas dengan Chloe, yang menunggukj adalah masuk ke tim perwakilan kelas untuk turnamen olahraga.


"Kalau begitu, aku pergi."


Dengan cepat, aku mengambil tasku.


"Kau akan langsung pulang lagi hari ini?"


Kali ini, suara dari Sakakibara.


"Maaf. Memang begitulah aku. Aku ini tipe orang yang lebih suka sendirian, atau yang disebut dengan Yinkya."


[TL\n:Yinkya" (陰キャ) dalam bahasa Jepang adalah istilah slang yang digunakan untuk merujuk pada seseorang yang berkepribadian introvert, pemalu, atau cenderung menghindari perhatian sosial. Kata ini berasal dari "陰" (yin), yang berarti "bayangan" atau "gelap," dan "キャラ" (kyara), singkatan dari "character" dalam bahasa Inggris, yang artinya karakter atau kepribadian.]


"Kau yinkya? Dari mana kau dapat itu?"


Sakakibara tertawa geli.


Jika aku memiliki sedikit teman dan tidak aktif berbicara dengan teman sekelas, aku rasa itu terlihat jelas.

 

"Yah, Kuroe-san pasti menunggu di rumah, jadi kamu harus buru-buru pulang setiap hari kan?"


"Tidak."


Aku menolak pernyataan bodoh dari Shitara dengan satu kalimat.


Tentu saja, dia tidak menunggu di rumahku, tapi cukup mungkin dia akan meyergapku di depan rumahku. 


Mengingat kalimat yang dia ucapkan ketika kami berpisah saat istirahat makan siang tadi, kemungkinan itu sangat tinggi hari ini.


"Kuroe-san itu, Kuroe-san yang itu?"


Bahkan Tonami pun bereaksi saat mendengar nama Chloe.


Ternyata dia memang terkenal.


"Tonami-san apa kau juga tahu tentang dia?"


"Ya, ya."


Dia tersenyum pahit.


"Aku hanya pernah berbicara dengannya sekali sebelumnya, tapi ternyata dia sangat baik."


Jadi begitu. Memang benar dengan spek setinggi itu, dia pasti akan sangat populer.


"Benar, dia sangat berbeda dari gadis-gadis di kelas kita."


"Hmph!"


"Aw, sakit oy!"


Shitara mengucapkan sesuatu yang tidak perlu dan, seperti yang diperkirakan, dia ditendang oleh Tonami.


"Jadi, Apa itu berarti Kuroe-san menunggumu di rumahmu?"


"Kan sudah ku bilang kalo dia tidak menungguku."


Hubungan seperti apa yang harus aku bangun hingga berakhir pada situasi di mana seorang gadis SMP yang 2 tahun lebih muda dariku yang tinggal di sebelah sedang menungguku di rumah?


"Kau tau rumah mereka bersebelahan."


"Oh, begitu."


Penjelasan tambahan dari Sakakibara membuat Tonami mengangguk.


"Kau pasti senang, ada gadis cantik seperti itu di dekat rumahmu."


"Tidak juga."


Aku menjawab dengan dingin pada Tonami yang bercanda.


"Sebaliknya, jika kita bicara tentang tetanggaku..."


Saat dia mengatakan itu, dia melihat ke arah Shitara yang sedang berjongkok dan menggosok kakinya yang baru saja ditendang. 


Ternyata rumah Shitara dan Tonami bersebelahan.


"Haah..."


"aku turut berduka cita. ...Yah, sampai jumpa besok."


Aku memunggungi Tonami, serta Sakakibara dan Shitara, lalu meninggalkan kelas.


★★★

Aku mengganti sepatu di loker sepatu dan keluar.


Saat aku keluar dari pintu masuk, aku menyadari bahwa sekelilingku terasa lebih ramai dari biasanya. Meski sepulang sekolah terasa bebas tapi suasana sedikit lebih ribut. 


Sambil bertanya-tanya apa yang sedang terjadi, aku melangkah menuju gerbang sekolah, dan akhirnya aku menemukan penyebabnya.


"Apa yang dia lakukan?"


Tanpa sengaja, suar seperti itu keluar dari mulutku.


Di sana ada Chloe.

Aku tidak tahu apa yang dia lakukan di sana, tapi beberapa siswa laki-laki sedang berbicara dengannya. 


Chloe membalas dengan senyum, kadang-kadang menunjukkan wajah cemas sambil mengayunkan tangannya di depan dadanya.


(Itu adalah sikap yang tidak akan pernah aku lakukan.)


Itulah gadis terkenal di sekolah ini, Kuroe Misa.


Memang, Jika seorang gadis cantik yang duduk di bangku SMP dan terkenal hingga SMA berdiri di depan gerbang, pasti akan membuat keributan. 


Meski mereka tidak berbicara dengannya, masih banyak siswa yang lewat sambil melihat ke arah Chloe.


"Ah, Seiya-san."


Saat aku mencoba untuk melewatinya, Chloe memanggil namaku.


Dia tampaknya juga melihatku. 


Siswa laki-laki yang tadi berbicara dengannya juga menoleh ke arahku. 


Setelah bertukar beberapa kata di antara mereka, Chloe berlari menghampiriku, sementara tatapan siswa-siswa laki-laki itu tertuju padaku. Semua dengan wajah yang sama, "Siapa dia?"


"Apa yang kau lakukan di sini?"


Meskipun SMP dan SMA berada di area yang sama tapi gerbangnya terpisah. Gedung sekolah terhubung melalui gedung administrasi di tengah, seperti rumah dengan 2 keluarga. 


Karena tidak ada peraturan yang melarang pergi ke sekolah lain, Chloe yang dari SMP tidak dilarang ada di sini, tapi ini juga merupakan tempat di mana dia tidak perlu datang kecuali dia ada alasan untuk melakukannya.


"Aku menunggu Seiya-san."


"Aku?"


Jangan-jangan ibuku meminta sesuatu lagi? Bahkan jika itu masalahnya, aku tidak bisa membayangkan alasan yang cukup untuk membuatnya terburu-buru menunggu di sini dari pada dia harus menunggu di rumah.


"Karena kita bersekolah di tempat yang sama, aku berpikir untuk pulang bersama."


Chloe tersenyum manis.


"... Sepertinya setelah mengungkapkan rahasia, dia tidak lagi merasa ragu."


"Ah, tidak apa-apa, kan? Lagipula, aku bilang 'sampai jumpa lagi', kan?"


Dia tidak membantah ucapanku, bahkan mengedipkan mata seolah tidak merasa bersalah.


"... Memang, aku mengatakannya. Tapi aku tidak menyangka akan seperti ini."


"Ayo kita, pulang bersama."

 

Aku tidak ingat pernah setuju untuk pulang bersama dengannya, jadi seharusnya aku tidak punya keharusan untuk mengikuti Chloe. 


Tapi, tatapan yang diarahkan padaku membuatku merasa sangat tidak nyaman... Tentu saja, itu adalah tekanan diam yang bertanya, "Kenap orang seperti ini ada di sini?" dan "Hubungan seperti apa yang mereka miliki?"


Akhirnya, aku terpaksa mengikuti Chloe.


Yah, dia adalah gadis cantik yang menarik perhatian meski tak terkecuali kelakuannya sehari-hari.


"Ada apa? Kenapa kau menatapku seperti itu?"


Chloe bertanya dengan bingung, tanpa terlihat marah.


"Ah, tidak, aku hanya berpikir kalau kau benar-benar masih seorang siswa SMP."


Melihatnya mengenakan seragam SMP seperti ini, aku tidak bisa tidak menyadari bahwa Chloe masih seorang pelajar SMP.


"Benar."


Chloe mengembungkan pipinya seolah merasa tersinggung.


"Ah, tapi, aku tidak ingin menyombongkan diri, tapi aku lebih dewasa dan berpostur baik dibandingkan anak-anak di sekitarku, jadi kalo kau tidak memikirkan soal usia, aku rasa Kau tidak perlu merasa bersalah."


"Apa maksudmu..."


"Kau memaksa seorang gadis untuk mengatakannya? ... Tentu saja, saat melakukan hal-hal yang cabul."


"Aku tidak bermaksud memaksamu untuk mengatakannya!"


Aku tidak ingin dianggap sebagai penjahat.


"Aku sudah mendengar tentangmu, katanya kau terkenal."


Aku mencoba mengalihkan pembicaraan dengan topik lain.


"Oh, begitu ya?"


Tapi, Chloe hanya memiringkan kepalanya.


Reaksinya sulit ditafsirkan, apakah dia benar-benar tidak tahu tentang rumor atau penilaiannya, atau hanya dia berpura-pura tidak tahu.


Bagi aku, itu bukan masalah besar.


"Sepertinya begitu. ... Jadi, tolong hentikan menunggu di sini."


"Kenapa? Bukankah suatu kehormatan bisa pulang bersama dengan orang terkenal sepertiku?"


"Itu karena kau terkenal."


Hanya fakta itu saja sudah cukup.


"Saat aku bersama Chloe itu akan menarik perhatian. Aku tidak suka menjadi pusat perhatian."


Itu adalah situasi yang cukup sulit bagi seorang siswa laki-laki biasa yang hanya datang ke sekolah setiap hari.


"Aku pikir kau sudah terbiasa dengan itu."


Tapi, Chloe berkata begitu, kepada diriku yang seharusnya biasa saja, atau bahkan di bawah itu.


"... Kenapa kau berpikir begitu?"


Suara ku secara alami menjadi penuh kewaspadaan.


(Apa Chloe tahu tentang itu...? )


Mungkin saja. Memang mungkin, tapi, sudah setahun sejak itu. 


Selain itu, aku yang saat itu sangat berbeda dari diriku yang sekarang.


"Lalu, kenapa?"


Tapi, Chloe hanya tersenyum sambil menghindar.


"... Baiklah, tidak masalah."


Aku juga memutuskan untuk tidak meributkan masalah ini lebih lanjut.


"Pokoknya, tolong hentikan hal-hal seperti ini."


"Begitu ya? Sayang sekali."


Chloe mengatakan begitu, tapi untungnya dia tidak terlihat kecewa. Hanya saja, dia tampak sedang memikirkan sesuatu.


"Kalo begitu, kita lakukan ini."


Akhirnya, dia mengeluarkan usulan.


"Aku akan menyerah untuk pulang bersamamu. Sebagai gantinya, mulai sekarang, panggil aku 'Misa'."


"Apa maksudmu?"


Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya lagi.


"Sebenarnya, aku ingin kau memanggilku seperti itu sejak awal. Tapi, karena kau terlihat tidak suka, aku menahannya."


"Tentu saja. Itu pertemuan pertama kita."


Meskipun begitu, gadis di depanku ini langsung memanggil namaku setelah tahu siapa aku.


"Kalo begitu, sekarang kita sudah saling mengenal, aku bahkan sekarang bisa pergi ke kamarmu untuk bermain, kan? Aku sudah menyerah untuk pulang bersamamu, jadi permintaan itu tidak jadi masalah kan?"


"Tidak ada alasan untuk itu."


"Ini tidak boleh, itu tidak boleh. Sepertinya, Seiya-san adalah orang yang manja."


Chloe mengerucutkan bibirnya dengan kesal.


"Karena itu, kita akan melakukan tantangan free throw."


"Lagi?"


"Ya, lagi."


Chloe mengangguk dengan semangat.


"Baiklah, aku akan mengambil bola, jadi Seiya-san tunggu aku di lapangan."


Setelah mengatakan itu, dia menjauh dariku dengan cepat tanpa menunggu jawabanku.


★★★


"Apa yang terjadi disini...?"


Aku menggerutu sambil menatap lapangan.


Saat aku masih bermain basket, aku selalu berharap ada lapangan dekat sini. 


Tapi, ketika aku sudah mendedikasikan diriku untuk basket, basket justru mengabaikanku, dan tiba-tiba aku meninggalkan basket, hal ini muncul—aku sudah beberapa kali datang ke sini.


Apa ini berarti aku belum sepenuhnya ditinggalkan oleh basket? Atau sebaliknya, ini adalah hasil dari ditinggalkan?


Chloe bilang untuk pemanasan dan menunggu, tapi aku hanya menatap lapangan dengan hampa. 


Aku tidak bisa mengatakan kalo pemanasan itu tidak perlu, tapi kalo ini tantangan free throw, yang seharusnya dilakukan adalah shooting. 


Tapi, bola yang diperlukan tidak ada di tanganku.


"Maaf membuatmu menunggu, Seiya-san."


Sambil menunggu bola datang, aku mendengar suara Chloe.


Ketika aku menoleh, dia sudah mengganti tasnya dengan bola basket dan berjalan ke arahku. 


Dia masih mengenakan seragam.


"Jadi, kali ini hanya aku yang akan melakukan shooting kan?"


"Iya."


Chloe menjawab dengan senyuman, lalu melemparkan bola kepadaku dengan pass yang gesit. 


Bola basket itu masuk ke tanganku.


"Dan aku masih memakai pakaian ini."


Dia mengerutkan roknya dengan tangan yang bebas.


"Memang."


"Aku juga bisa ikut, tapi hari ini aku memakai rok yang kekanak-kanakan, jadi aku rasa kau akan kecewa."


"Lalu, apa aturannya?"


Aku mempercepat pembicaraan, hampir menyela.


Chloe tertawa pelan dan mulai berbicara.


"Kalo Seiya-san gagal dalam melakukan shoot, mulai sekarang, panggil aku dengan 'Misa'."


"Aturannya cukup biasa."


"Begitulah."


Aku mendribble bola sambil berlari ringan, lalu bergerak ke posisi yang tepat dan melompat untuk melakukan jump shot. 


Kemudian bola itu dengan mudahnya melewati ring.


"Aku beritahu, aku punya peluang lebih dari 80% untuk masuk jika ini adalah free throw."


Jika ini adalah free throw, aku sudah menang dengan angka ini.


"Itu baik-baik saja, bagaimanapun."


Tapi, Chloe tetap tersenyum dan tidak mengubah syarat kemenangannya.


Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres, tapi kali ini aku memutuskan untuk menerimanya apa adanya. 


Jika aku membantah, itu hanya akan menjadi alasan yang tidak berarti, dan lagi pula, aku tidak percaya Chloe akan mengatakan hal seperti itu.


Aku melepaskan sekitar 10 tembakan dari berbagai sudut sebagai pemanasan—lalu aku teringat.


"Ngomong-ngomong, kalo aku menang, apa yang akan kau lakukan?"


"Oh, benar juga. Ini adalah syarat utama untuk menyerah pulang bersama."


Dia mulai berpikir.


Tak lama kemudian,


"Kalo begitu, kalo Seiya-san menang, aku akan mengadakan sesi pemotretan di kamarmu dengan pakaian renang."


"Hah!?"


Usulan Chloe yang tiba-tiba membuatku mengeluarkan suara aneh.


"Tunggu, apa yang kau katakan—"


"Ini sedikit memalukan, tapi karena aku mengatakan apa keinginanku, aku rasa aku harus bersedia untuk mempertaruhkan tubuhku."


Dia mengatakannya dengan wajah merah, tapi sikap sok tak peduli itu jelas-jelas membuatku menjadi bahan olok-olokannya.

 

Aku menghela napas—dan memutuskan untuk mengabaikan Chloe serta sarannya.


Aku berdiri di jalur free throw. 


Pemanasanku sudah cukup. 


Sambil menggiring bola, aku menatap ring dengan fokus.


"Seiya-san, pakaian renang seperti apa yang harus aku pakai untuk pemotretan?"


"......."


Konsentrasiku hancur.


".....kau ingin mendengarnya sekarang?"


"Tidak, tapi mengingat kau punya peluang lebih dari 80% untuk mencetak gol, aku rasa aku harus tahu selera Seiya-san sejak sekarang."


"... Aku tidak peduli."


Lagipula, aku akan mengabaikannya.


Aku kembali menghadap ring. 


Tapi, Chloe kembali memanggilku.


"Jadi, pakaian renang sekolah rasanya tidak terlalu seksi, kan? Jadi bagaimana kalo aku mencoba memakai pakaian renang kompetisi?"


"Apa!?"


Konsentrasiku kembali hancur saat aku menoleh ke Chloe.


"Tidak, di dunia ini ada kategori pakaian renang kompetisi, jadi aku pikir itu lebih baik dibandingkan pakaian renang sekolah."


"Di dunia mana kau berada...?"


Dia kadang-kadang membawa topik yang tidak aku mengerti.


Memang, Chloe yang bertubuh proporsional tidak cocok dengan pakaian renang yang ditentukan sekolah. 


Tidak, mungkin ketidakcocokan itu justru memberikan daya tarik yang aneh. 


Jika bicara soal mana yang lebih cocok, tentu saja pakaian renang kompetisi lebih baik.


Baru saat itulah aku menyadari kalo aku sedang memikirkan hal yang sangat konyol. 


Terlebih lagi, Chloe tersenyum seolah dia bisa memahami apa yang kupikirkan.


Aku mengalihkan pandanganku dari tatapannya dan berbalik lagi ke ring.


"Aku rasa, ini adalah kesempatan yang bagus untuk mencoba pakaian renang, bagaimana menurutmu? Apa itu terlalu berlebihan?"


"......Lakukan saja sesukamu."


Aku menjawab dengan acuh tak acuh sambil menatap ring.


Chloe tampaknya mengabaikanku.


"Baiklah. Baiklah, maka aku akan memakai pakaian renang. ...Hahaha, hanya dengan memikirkan sesi pemotretan pakaian renang di kamar Seiya-san sudah membuatku berdebar-debar."


Chloe tertawa dengan cara yang sangat menggoda.


"Bagaimana kalo selama sesi pemotretan kita malah melakukan hal lain? Pastikan untuk memberikan instruksi pose pada awalnya, oke?"


"........"


"Sebaliknya, jika kamu hanya memberikan instruksi pose, itu bisa berarti apa saja. Model harus mengikuti keinginan fotografer, jadi aku sangat menantikan—eh, tidak, sangat khawatir tentang pose apa yang akan diminta."


Aku harus mengabaikannya, mengabaikannya.


Jelas ini adalah sabotase dari Chloe.


Aku mengabaikannya dan berkonsentrasi pada ring. 


Saat ini, yang ada di pikiranku hanyalah mencetak gol. 


Ketika aku yakin sudah mengarahkan bola dengan tepat, aku menekuk lutut dan bersiap melempar bola —aku melakukan seluruh gerakan itu dengan ritme yang mantap.


Ketika bola ku lempar,


Deng!


Itu memantul dari ring dengan suara yang sangat keras.


"Seperti sebelumnya, ini adalah kemenangan untukku. mulai sekarang panggil aku 'Misa', oke?"


"......"


Chloe mengatakan itu dengan senang, dan aku menghela napas panjang.


"Tentu saja, sesi pemotretan juga ditunda, kan?"


"Aku sudah tahu!"


Apa aku pernah mengungkapkan keinginan untuk melakukannya sekali saja?


★★★


Keesokan paginya.


"Selamat tinggal."


Aku keluar dari rumah lebih dulu dibanding ibuku.


“Selamat pagi, Seiya-san."


Di sana, Chloe sudah menungguku.


"Chloe, kau—"


"Oh, aku bilang aku akan menyerah hanya untuk 'pulang bersama’, kan?"


Dia mendahului kata-kataku.


"Aku tidak ingin berjalan berdampingan dengan Chloe, jadi aku yakin itu termasuk 'pergi bersamaku'..."

 

"Oh, begitu ya."


Reaksinya sangat menyebalkan.


Karena ini tentang dia, aku yak8n pasti dia tahu tapi dia tetap melakukannya.


"Ngomong-ngomong, Seiya-san?"


"Apa?"


"Panggil aku dengan 'Misa' oke. Kita sudah memutuskan itu kemarin, kan?"


Chloe yang kini menjadi Misa tersenyum nakal saat dia mengatakan itu.




Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال