> CHAPTER 3

CHAPTER 3

 Kamu saat ini sedang membaca   Shū 4 de heya ni asobi ni kuru shōakuma gāru wa ku bittake! (GA bunko) volume 1  chapter 3. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw

ENTAH KENAPA GADIS IBLIS KECIL BERTINGKAH ANEH AKHIR-AKHIR INI?




Hari itu, setelah sekolah selesai, aku pulang ke rumah seperti biasa. 


Ini sudah memasuki pertengahan Juni, dan aku benar-benar merasakan kalo musim panas sudah tiba. 


Panas yang sangat menyebalkan. 


Tahun lalu, aku masih berlari-larian di dalam gym untuk latihan basket di tengah panas seperti ini, tapi sekarang hal itu terasa tidak mungkin. 


Mungkin aku sudah melemah? 


(Sekarang hanya tinggal membusuk saja, sepertinya)


Tanpa sadar aku tertawa pahit.


Bahkan mayat pun akan membusuk kalo dibiarkan. 


Sepertinya aku yang hidup ini pun akan menuju ke arah yang sama. 


Kebetulan sekarang musim panas, jadi proses pembusukannya mungkin akan lebih cepat.


Saat sampai di depan apartemen tempatku tinggal, aku melihat sosok Misa yang sedang bersandar di pagar tangga dan menatap ke luar. 


Aku kira dia sedang menunggu ku seperti biasa, tapi sepertinya bukan itu. 


Kalo ditanya apa yang dia lakukan, aku akan kesulitan menjawab, tapi yang jelas dia belum menyadari kehadiran ku.


(Apa dia sedang berpikir tentang sesuatu...?)


Dia menatap langit yang jauh. 


Wajahnya terlihat sedikit murung menurut ku.


"Misa."


Aku memanggilnya dari bawah tangga.


Begitu mendengar suara ku, Misa terkejut dan kemudian tersenyum saat dia melihat ku.


"Selamat datang kembali, Seiya-san."


Dia menyebut nama ku dengan ceria.


"Kenapa kau di situ?"


"Tentu saja, aku menunggumu, Seiya-san."


Jawaban yang sama seperti biasa.


Meskipun aku merasa dia tidak sedang menunggu ku, aku memutuskan untuk tidak menyebutkannya. 


Secara tampilan, Misa adalah seorang siswi SMP yang terlihat dewasa. 


Tapi, di balik itu, dia bisa sangat ceria, atau lebih tepatnya suka menggoda orang, meskipun dia pun pasti terkadang berpikir tentang sesuatu.


"Ayo, jangan cuman berdiri di sana, cepat naik. Mari masuk, hari ini panas sekali."


"Oke, oke, aku mengerti. ...Tapi kau benar-benar akan naik ke rumahku, ya?"


Kalo dia kepanasan, seharusnya dia menunggu di rumahnya saja. 


Setelah menghela napas kecil, aku mulai menaiki tangga, dan hal pertama yang kulihat adalah kaki Misa. 


Ketika aku mengangkat wajahku, dia sudah berdiri di tempat yang sama seperti tadi, tersenyum lebar menungguku.


Apa sebenarnya ekspresi sedih yang kulihat pertama kali tadi?


Tapi, aku tidak mungkin menanyakannya, dan selain itu, aku juga tidak tahu harus mengatakan apa. 


Akhirnya, aku hanya diam dan melewati dia. 


Sesuai dengan itu, Misa pun berbalik dan mengikuti langkahku.


★★★

 

"Tinggallah di situ. Aku akan mengganti pakaian dulu."


Aku berkata begitu setelah menyalakan AC di ruang tamu.


"Ah, apa tidak bolehkah aku masuk ke kamar?"


"Setelah dipikir-pikir, ibu juga tidak ada, jadi rasanya tidak perlu bagi kita ber-2 terkunci di kamar yang tidak terlalu besar."


"Tapi, bukankah itu tidak apa-apa? Kita ber-2 mengunci diri di kamar, apa itu tidak membuatmu merasa gugup?" 


Kata Misa dengan nada menggoda.


"Diamlah, aku juga perlu mengganti pakaianku."


Aku berkata begitu dengan agak kasar, lalu masuk ke kamar.


Aku meletakkan tas ku di atas kursi dengan roda di meja belajar, lalu mengganti pakaian dari seragam ke pakaian biasa. 


Karena ada Misa, aku memilih pakaian yang sedikit lebih rapi, yang tidak akan membuat kh malu jika keluar ke sekitar rumah.


Karena Misa sangat perhatian, aku yakin dia pasti sudah menyiapkan minuman dingin untuk kami ber-2. 


Ketika aku keluar dari kamar, dia duduk tegak di sofa, memegang Hp-nya yang terletak di pangkuannya.


Tapi, bukan itu yang terjadi. 


Meskipun matanya tertuju pada layar Hp-nya, jarinya sama sekali tidak bergerak. 


Dia hanya menatap layar tersebut dengan ekspresi melankolis.


Sepertinya dia belum menyadari kalo aku sudah keluar. 


Karena aku tidak ingin mengganggunya, aku langsung menuju dapur untuk menyiapkan minuman untuk kami ber-2.




"Ah, maaf, seharusnya aku yang menyiapkan ini," 


Misa tiba-tiba tersadar saat dia mendengar suara gelas.


Misa kemudian langsung bangkit dari sofa setelah menyadari kehadiran ku.


"Tidak, tidak, kau tidak perlu khawatir."

"Tapi, kalo tidak seperti itu, Seiya-san dan ibu-mu akan bosan denganku. "


"...Kau kira posisimu di rumahku ini apa?"


Aku khawatir kalau-kalau Misa akan mengambil alih semuanya.


"Sudahlah, duduk saja. Ini rumahku, jadi sudah seharusnya aku yang menyiapkan camilan dan minuman."


Hari ini, Misa memang terlihat aneh. 


Aku tidak bermaksud mengatakan kalo menyiapkan minuman adalah tugasnya, tapi biasanya dia akan dengan sigap menyiapkannya tanpa diminta.


Dan ekspresi wajahnya yang tidak ceria sesekali juga membuatku khawatir.


(Yah, ada hari-hari seperti ini.)


Tapi, sebagai tetangga biasa, aku merasa bukan tempatku untuk mencampuri urusannya, jadi aku memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih jauh.


"Hei, Misa."


Aku membawa 2 gelas berisi jus jeruk dan kembali ke ruang tamu. 


Aku tidak merasa perlu untuk memperlakukannya seperti tamu, jadi aku tidak menggunakan nampan.


"Ya? Ada apa?"


"Sudah lama aku ingin menanyakan sesuatu padamu "


Saat aku memulai percakapan itu, aku meletakkan salah satu gelas di depan Misa, Aku juga meletakkan sedotan yang ada di antara jari-jari ku di dekatnya.


"Terima kasih. ...Ada apa? Apa kau ingin tahu 3 ukuran tubuhku?"


[TL\n: 3 ukuran tubuh tu, ukuran payudara, pinggang dan pinggul]


Misa bertanya balik sambil memiringkan kepalanya dengan manis.


"Bukan itu!"


"Kalo begitu, warna pakaian dalamku hari ini?"


"....Itu bukanlah sesuatu yang bisa ku tanyakan dan kau menjawab begitu saja."


Aku pun duduk di sofa dan meneguk minumanku. 


Karena ini rumah ku, aku tidak menggunakan sedotan dan langsung meminum dari gelas.


"Kalo untuk Seiya-san, aku tidak masalah." 


Misa mengatakan itu sambil memasukkan sedotan ke dalam gelasnya dengan santai.


"Kalo kau menanyakannya, aku akan menjawabnya loh. Kalo kau tanya apa itu benar, aku akan menjawab, 'Kalo kau pikir itu bohong, kamu bisa memeriksanya sendiri,' dengan sedikit kesal sambil mengangkat rok ku dan menunjukkan apa yang ada di bawahnya."


"Jangan lakukan itu!"


Terkadang Misa suka terobsesi dengan skenario yang aneh.


"Jadi, maksud mu apa?"


"Basket."


"Basket? Maksudmu bola basket?"


Misa menoleh dan bertanya sambil memegang gelas.


"Iya. ...Apa kau pernah bermain basket sebelumnya?"


"Ya, pernah. Waktu di klub sekolah."


"Seperti yang ku duga."


Tentu saja, aku tidak terkejut dengan jawabannya itu.


"Mungkin kau ingin melihat ku pakai seragam?"  


"...Untuk apa aku melihat itu?"


Meskipun aku sudah lama berhenti bermain basket, aku masih cukup familiar dengan seragam tersebut.


"Benar juga. Itu tidak begitu seksi. Pasti kalo pria, lebih suka cheerleader atau tenis, kan? ...Maaf, Seiya-san. Seharusnya aku ikut klub yang itu demi Seiya-san tapi...."


"Aku bahkan tidak mengatakan itu!"


Kenapa Misa bisa begitu menyesal saat mengatakan hal yang tidak penting seperti itu?


"Benarkah begitu? Kalo begitu, untuk apa?"


"Aku tidak bilang begitu, jadi jangan bilang aku seperti itu. ...Kalo ditanya kenapa, agak sulit untuk menjawabnya, tapi—pembicaraan kita tentang basket bisa lancar, kau juga memegang bola, dan gerakan mu tidak seperti orang yang belum berpengalaman, jadi ku kira begitu saja..."


"Tapi, aku sudah berhenti."


Misa menyela kata-kataku dan memberitahukan hal itu.


"Berhenti?"


"Ya. Ketika aku naik ke kelas 3."


Jadi, berarti dia berhenti bermain sampai Maret kemarin. Artinya, dia berhenti baru-baru ini.


"Karena ujian masuk SMA, ya?"


"Seiya-san, sekolah kami adalah SMP yang terintegrasi, lho. Meskipun ada ujian, kalo kemampuan akademisnya cukup, tidak masalah."


"Kalo begitu kenapa?"


"Karena aku kehilangan makna untuk melanjutkannya, mungkin."


Misa mengatakan itu seolah sedang mengonfirmasi pada dirinya sendiri.


"......"


Makna untuk melanjutkan.


Itulah yang dikatakan Misa, dia kehilangan makna itu. 


Sepertinya, itu mirip dengan apa yang ku rasakan. 


Apa sebenarnya yang terjadi? 


Kenapa Misa, Kuroe Misa, yang pernah bermain basket, akhirnya kehilangan makna untuk melanjutkan?


Aku merasa penasaran, tapi aku tidak ingin bertanya. 


Aku tidak bisa bertanya. 


Aku takut dengan apa yang akan aku hadapi kalo aku bertanya pada Misa. 


Aku khawatir dia akan balik bertanya, "Lalu, bagaimana denganmu?" Misa mungkin sudah menyadari kalo aku juga berhenti bermain basket.


(Mungkin dia juga sudah tahu hal-hal lain...)


Aku ingin menghindari bertanya hal yang tidak perlu, dan kemudian malah terjebak dalam percakapan yang lebih dalam.


"Yah, setiap orang punya alasannya masing-masing, baik untuk melanjutkan maupun untuk berhenti."


Maka dari itu, aku memasang batas. 


Aku tidak akan mencampuri urusan orang lain, jadi kuharap mereka pun tidak ikut campur dalam urusanku.


"Benar."


Misa mengiyakan. 


Entah dia merasakan hal yang sama, atau mungkin dia hanya mencoba menjaga perasaanku. 


Sambil berkata begitu, dia tersenyum tipis dengan ekspresi sedikit sendu.


"........"


Ada yang terasa aneh. 


Sepertinya, Misa hari ini tidak seperti biasanya.


"Misa──"


Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya, dan untuk saat ini aku memang tidak berniat menanyakannya. 


Tapi, entah kenapa, aku merasa sebaiknya ada yang kuucapkan kali ini, jadi aku pun memanggilnya.


"Ya, ada apa, Seiya-san?"


Tapi, jawabannya datang bersamaan dengan senyuman lebar yang tiba-tiba muncul di wajahnya.


"Eh, ekspresi apa itu? Kenapa kau tersenyum begitu?"


"Karena...entah kenapa, setiap kali Seiya-san memanggilku dengan nama 'Misa', aku tak bisa menahan senyumku ini."


Sambil berkata begitu, Misa menutup sebagian wajahnya dengan tangannya.


"Kau ini..."


Aku menghela napas, setengah kehabisan kata-kata.


"Padahal aku sedang mengkhawatirkanmu, tahu?"


"Mengkhawatirkanku? Kenapa?"


Misa menerima kata-kataku dengan pandangan bingung, lalu dia memiringkan kepalanya.


"Ah, bukan...itu..."


Sial. 


Karena respons Misa yang begitu mengejutkan, aku tanpa sadar malah mengatakan hal yang sebenarnya tidak ingin kuutarakan.


Aku mengacak-acak rambutku sedikit sebelum melanjutkan.


"Sejak tadi kau terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu, jadi aku kira kau sedang ada masalah."


"Ah, soal itu ya."


Ekspresinya cerah seolah baru menyadari sesuatu. 


Dia lalu mengambil gelasnya, menyedot jusnya dengan gerakan yang tampak sangat lambat.


"Itu memang bagian dari rencanaku."


Kemudian, setelah melepaskan mulutnya dari sedotan, dia berkata pelan dengan nada yang tak terduga.


"Apa!?"


"Aku berpikir, kalo aku menunjukkan wajah sedikit murung, mungkin Seiya-san akan khawatir padaku."


"......."


Aku terdiam, tak mampu berkata apa-apa. 


Sebagai gantinya, hanya helaan napas yang keluar dari mulutku.


"Eh, apa kau marah?"


"Aku bahkan sudah tidak ingin marah lagi. ...Untuk saat ini, akan ku pastikan apa pun ekspresi yang kau perlihatkan, aku tidak akan khawatir lagi."


Aku mengatakan itu dengan tegas kepada Misa. 


Dia masih menunjukkan senyum manisnya seperti biasa. 


Mungkin, dia sama sekali tidak merasa bersalah.


Tapi walaupun begitu, aku telah melihatnya. 


Saat aku menyinggung wajahnya yang tampak muram, Misa menunjukkan ekspresi terkejut, hanya sesaat. 


Sepertinya, dia sendiri tidak menyadari kalo dirinya memperlihatkan ekspresi seperti itu, dan kemungkinan ada alasan yang jelas kenapa dia begitu.


Tapi, tetap saja, aku merasa itu bukanlah ranah yang seharusnya kuusik. 


Jadi, seperti yang sudah kukatakan pada Misa tadi, aku bertekad untuk tidak mencampuri urusan ekspresi atau perasaan yang dia tunjukkan, setidaknya sampai dia sendiri yang memilih untuk bicara.


Tapi, sejak hari itu, Misa tidak pernah muncul lagi.


★★★


Beberapa hari kemudian, ada pelajaran olahraga yang mengadakan pertandingan voli. 


Hasilnya, bisa dibilang begini:


"Hirasaka, kau payah sekali bermain voli."

 

Saat jam istirahat langsung setelahnya, Shitara menyampaikan kesannya yang sangat blak-blakan kepada ku.


"Padahal kelihatannya kau punya kemampuan fisik yang bagus."


Tonami yang berada di sampingnya, dia tidak mengatakan itu untuk sekadar mengikuti perkataan Shitara, melainkan benar-benar terlihat kebingungan sambil memiringkan kepalanya.


Seperti yang Tonami katakan beberapa hari yang lalu, olahraga hari ini dilakukan gabungan antara laki-laki dan perempuan sebagai acuan untuk pemilihan anggota tim. 


Karena itu, dia juga melihat betapa buruknya performa ku.


"Maaf. Aku hanya kelihatan bagus dari luar saja."


Memang, hasilnya sangat buruk.


Demi menjaga sedikit harga diri, sebetulnya aku merasa kemampuan fisik ku tergolong cukup baik. Apa pun cabang olahraganya, aku punya kepercayaan diri kalo aku bisa melakukannya di atas rata-rata.


Tapi, kali ini, tanpa sadar aku terlalu berhati-hati dengan lengan kanan ku yang pernah patah.


Misalnya, saat menerima bola dalam gerakan yang disebut 'receive', rasa sakit yang tajam dan suara yang mengerikan saat lengan itu patah dulu muncul lagi dalam ingatan, membuat tubuh ku bergerak dengan sendirinya untuk menghindar. 


Hasilnya, aku malah seperti melakukan receive dengan satu tangan, membuat bola melambung ke arah yang salah.


"Dengan begini, mungkin jadi pemain cadangan juga akan sulit untuk mu. Sebagai anak pindahan, bagaimana kalo kau jadi penonton saja?"


"Nah, masih ada pertandingan basket, kan? Mungkin kau bisa menunjukkan bakat yang tak terduga di sana."


Begitulah komentar seenaknya dari Shitara dan Tonami.


Kalau basket, aku sudah sangat terbiasa. 


Aku tahu kapan dan di mana harus mengerahkan tenaga, jadi tidak perlu takut seperti saat bermain voli. 


Aku yakin, aku tidak akan memperlihatkan kesan buruk seperti hari ini. 


Tapi, walaupun begitu, aku memang berniat untuk tidak terlalu serius bermain basket nanti. 


Mungkin mereka akan kecewa lagi.


"Menurut ku, memang dari awal kau kelihatan tidak bersungguh-sungguh."


Kali ini, Sakakibara yang berbicara.


Mendengar ucapannya, aku terkejut.


Sejujurnya, dia benar. 


Selama pelajaran olahraga hari ini, bisa dibilang aku sama sekali tidak bisa fokus, dan tentu ada alasan di balik itu semua.


Misa sudah beberapa hari ini tidak terlihat. 


Terakhir kali aku bertemu dengannya adalah hari itu—hari ketika dia beberapa kali menunjukkan wajah murung, dan saat aku menanyakannya, dia berdalih bahwa itu bagian dari sebuah rencana. 


Sejak hari itu, aku belum lagi melihat Misa.


Sejak aku pindah ke kota ini, Misa selalu datang untuk bermain bersamaku sekitar 4 kali seminggu. 


Tapi, sudah beberapa hari ini dia tidak lagi muncul, bahkan tidak mencoba menemuiku di sekolah atau di jalan saat pergi dan pulang, seperti yang sering dilakukannya. 


Yah, untuk yang terakhir itu, memang sudah merupakan kesepakatan di antara kami. 


Tapi, apa yang sebenarnya terjadi padanya?


"Apa ada sesuatu yang kau khawatirkan?"


"Tidak, tidak ada. Aku baik-baik saja. Kau tahu, kurangnya semangatku ini memang sudah biasa, kan?"


Aku pun menepis kekhawatiran itu ketika Sakakibara menanyakannya. 


Toh, ini hanyalah masalah sebatas lingkup tetangga.


"Mungkin saja." 


Jawabnya sambil tersenyum pahit.


Selama Misa sendiri tidak mengatakan apa pun kepadaku, aku memang tidak berniat mengkhawatirkannya meskipun wajahnya kadang terlihat muram. 


Tapi aku tidak menyangka dia akan tiba-tiba berhenti muncul.


★★★


Pada malam itu,


"Ibu, bagaimana kabar Misa akhir-akhir ini?" 


Aku bertanya pada ibuku saat kami sedang makan malam bersama.


"Ada apa, memangnya? Kenapa kau tanya ke ibu?"


"Kan, Ibu suka berhubungan dengan Misa, kan?"


Beberapa waktu yang lalu, aku sempat melihat chat teks dari Misa yang suasananya sangat akrab dan ramah.


"Ya, memang kami kadang melakukan komunikasi, tapi itu hanya kalo ada keperluan. Kami bukan teman, kan."


Sebagai anak laki-laki-nya, meski agak aneh untuk mengatakannya sendiri, ibu memang selalu menjaga penampilannya—mungkin karena tuntutan pekerjaan—dan tidak terlalu terlihat seperti wanita seusianya. 


Ditambah lagi, sifatnya pun masih muda, jadi kupikir beliau berhubungan dengan Misa dengan perasaan seperti teman.


"Tapi memang anak itu baik sekali. Kalo kami tidak sengaja bertemu di luar, dia selalu menjawab dengan jelas, 'Ya' atau 'Ya, Bu,' seperti itu." 


"Oh, begitu."


Jadi, dia bersikap seperti itu ke Ibu, ya? Padahal kalo denganku, dia malah selalu bersikap sok dewasa dan sering membuatku kesal.


"Lalu, ada apa memangnya dengan Misa-chan?" 


Ibuku mencondongkan tubuhnya ke meja makan dan bertanya.


"Aku hanya merasa sudah lama tidak melihatnya." 


Di sisi lain, aku berusaha untuk menjawab dengan tetap cuek.


"Oh, begitu? Padahal dulu dia hampir setiap hari mengunjungimu. Jangan-jangan, kau mengatakan sesuatu yang membuatnya marah?"


"Sepertinya tidak...walaupun aku juga tidak begitu yakin. Jujur saja, aku tidak pernah benar-benar tahu apa yang bisa membuat seorang gadis marah."


Sebenarnya, akan lebih mudah jika alasannya jelas. 'Tidak tahu kenapa, tapi membuatnya marah' sebenarnya sudah cukup jadi alasan. 


Tapi, bagaimanapun, ekspresi Misa yang terlihat muram itu tidak bisa kulepaskan dari pikiranku. 


Apa itu ada hubungannya?


"Kalo kau penasaran, kenapa kau tidak coba ke rumahnya saja? Toh, dia hanya dia sebelah."


"Ya, mungkin bisa begitu."


Sebenarnya, jika hanya ingin memastikan, ada banyak cara. Aku bisa keluar sekarang juga, lalu menekan bel di depan pintu rumah sebelah. 


Pada jam segini, sepertinya dia tidak sedang keluar, jadi ada kemungkinan aku bisa bertemu dengannya.


Atau, bisa saja aku menemuinya di sekolah. Melintasi perbatasan ke SMP juga merupakan pilihan. 


Meskipun, aku tidak tahu dia kelas berapa, dan kemungkinan staf di ruang guru tidak akan memberitahuku dengan mudah tentang Kuroe Misa. Paling buruk, aku malah terlihat seperti calon stalker.


Pilihan lain adalah dengan membalik keadaan, menunggunya di depan rumahnya.


Intinya, kalo aku memang ingin bertemu Misa, ada beberapa cara yang bisa kulakukan. 


Hanya tinggal masalah apakah aku akan melakukannya atau tidak.


"Terserah lah. Mungkin dia sudah bosan datang ke sini," 


Walaupun aku sendiri yang mengatakannya, aku merasa kalo Misa bukanlah tipe orang yang mudah bosan. 


Awalnya, aku juga berpikir kalo dia akan cepat merasa bosan. 


Tapi, Misa sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda seperti itu. 


Justru karena itu, ketidakhadirannya secara tiba-tiba membuatku merasa sangat aneh.


"Sungguh, apa yang membuatnya senang datang ke rumahku?"


"Mungkin dia merasa seperti bermain di rumah kakak laki-lakinya yang tinggal di dekat rumahnya. Bukankah Misa-chan anak tunggal juga?"


"......."


Aku sulit percaya kalo dia datang ke sini dengan pemikiran seimut itu.


"Seiya juga senang, kan? Punya adik perempuan yang manis seperti Misa-chan. Setidaknya, bersikaplah seperti kakak yang baik untuknya."


Sayangnya, untuk menjadi kakak yang baik, aku mungkin punya beberapa kendala pada diriku sendiri. 


Dan terlebih lagi, kalo Misa tidak ada di sini, tidak ada yang bisa kulakukan.


★★★



Keesokan harinya, seperti yang sudah kuduga, Misa tidak datang untuk bermain.


Aku makan malam bersama ibuku, lalu keluar untuk berjalan-jalan tanpa tujuan yang jelas. 


Jarum jam menunjukkan hampir pukul 7 malam. 


Jika sudah akhir Juni, bisa dikatakan musim panas sudah tiba. 


Di luar masih cukup terang.


Aku sebenarnya tidak memiliki hobi berjalan-jalan, juga tidak terbiasa joging. 


Jadi, aku pun tidak memiliki tujuan tertentu. 


Dan saat seperti ini, tempat yang kutuju biasanya terbatas.


Tanpa sadar, aku sudah tiba di lapangan yang biasa. 


Ini adalah tempat di mana aku pertama kali bertemu dengan Misa, dan juga tempat di mana kami pernah melakukan pertandingan lemparan bebas untuk alasan yang mungkin terlihat sepele tapi sebenarnya cukup serius. 


Meski begitu, bukan karena dorongan perasaan sentimental aku ke sini.


Tapi, pada akhirnya, keputusanku ini benar.


Misa ada di sana.


Dia sedang berjalan di jalan dekat lapangan, menghadap ke arahku. 


Pandangannya tertuju sedikit ke bawah, sehingga aku sulit melihat ekspresi wajahnya dari sini. 


Tapi entah kenapa, aku merasa dia menunjukkan raut wajah yang muram. 


Langkahnya juga terlihat sedikit berat, tidak seperti biasanya yang penuh keceriaan.


"Misa!"


Tanpa sadar aku memanggil namanya.


Mendengar suaraku, Misa mengangkat wajahnya seketika, seolah-olah tersentak. 


Wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut sesaat, tapi segera berubah menjadi senyuman cerah.


"Seiya-saaan!"


Dia melambaikan tangannya dengan wajah bahagia.


"......"


Aku kehilangan kata-kata.


Entah kenapa, pemandangan ini membuat kekhawatiranku selama ini terasa sia-sia.


Misa berlari ke arahku tanpa aku perlu mempercepat langkahku.


"Apa yang sedang kau lakukan di sini?"


"Ah, tidak, tidak ada apa-apa..."


Misa yang sudah berada tepat di hadapanku menanyakan hal itu, dan aku pun memberikan jawaban yang agak samar. 


Sebenarnya aku hanya keluar untuk berjalan-jalan, tapi jika ditelusuri lebih jauh, mungkin alasanku yang sebenarnya adalah karena merasa resah setelah lama tidak melihat Misa.


"Kalo dipikir-pikir lagi, sudah lama kita tidak bertemu, ya."


Saat mengucapkan itu, Misa tiba-tiba berkata, "Ah..." seperti baru saja menyadari sesuatu, dan senyuman jahat muncul di wajahnya.


"Jangan-jangan, kau merasa kesepian karena tidak bertemu dengan ku, lalu kau keluar mencarikan ku?"


“Kenapa begitu? Aku bahkan tidak terpikirkan kalo kau bakal berada di luar malam-malam begini.”


Sebenarnya, aku yang justru ingin tahu, apa yang sedang dilakukannya di luar malam-malam begini.


"Oh, ngomong-ngomong, aku baru saja teringat ada orang lain dengan nama seperti 'Misa kuro'."


[TL\n: Misa kuro\ Misa Hitam]


"Jahat sekali, padahal aku mengenakan pakaian putih begini."

 

Misa cemberut dengan manis.


Memang benar, saat ini dia mengenakan pakaian putih sebagai warna utamanya, tampak seperti sedang keluar untuk acara khusus. Aku bertanya-tanya entah dari mana dia pulang.


"Tentu saja, pakaian dalamnya juga putih, lho."


Dia mengatakan itu sambil menampilkan senyum yang sedikit genit.


"Aku tidak ingin mendengar itu!"


"Duh, bukankah aku sudah mengajari mu waktu itu? Dalam situasi seperti ini, kau seharusnya bertanya, ‘Benarkah?’ Kalo begitu, aku mungkin akan memperlihatkannya padamu loh."


Misa pun mencubit kedua sisi roknya dan membentangkannya sedikit.


"Hari ini, aku mengenakan pakaian dalam yang cukup dewasa, lho. Apa kau tidak penasaran?"


"Jangan melakukan hal seperti itu di tempat umum."


"Baiiik..."


Tanpa sedikit pun merasa bersalah, dia menjawab seperti seorang anak kecil yang baru saja ditegur karena berbuat nakal. 


Begitu tangannya dilepaskan, rok itu pun kembali ke posisinya semula.


"Benar juga. Hal seperti ini memang bukan untuk dilakukan di luar."


"........"


Apa dia benar-benar mengerti, ya?


"Omong-omong, bolehkah aku datang ke kamar Seiya-san sekarang?"


"Jangan datang, apapun alasannya, terutama hari ini."


Kalo dia datang sekarang, aku tidak tahu apa yang mungkin dia lakukannya.


"Ayo pulang. Aku akan mengantarmu."


"Oh, apa tidak apa-apa? Bukanya kau sedang menuju ke suatu tempat?"


"Tidak apa-apa. Toh aku hanya berjalan-jalan tanpa tujuan."


Dengan nada yang sedikit mengisyaratkan agar dia tidak banyak bertanya lagi, aku pun mulai kembali mengikuti jalan yang tadi kulalui. Misa kemudian segera berjalan di sampingku.


Setelah beberapa saat berjalan dalam diam, aku membuka percakapan.


"Aku tidak melihatmu akhir-akhir ini. Apa yang sebenarnya terjadi?"


"Itu bagian dari rencana ku."


Aku bertanya, dan Misa langsung menjawab tanpa ragu.


"Itu karena aku ingin Seiya-san menyadari betapa pentingnya diriku, jadi aku memutuskan untuk memberi sedikit jarak."


"Sudahlah, berhenti dengan yang seperti itu."


Sebelumnya, dia juga pernah mengatakan hal yang serupa. 


Saat itu, aku merasa dia mengatakannya hanya untuk mengalihkan kekhawatiranku. 


Mungkin kali ini pun begitu.


"Sebenarnya, tadi aku makan malam bersama seorang paman yang elegan di lounge hotel."


"Makanya, hal-hal seperti itu—"


"Ini benar, kok?"


Misa memotong perkataanku.


"Aku serius. Habis pulang dari sekolah, aku langsung berdandan rapi, lalu pergi keluar. Saat tiba di tempat pertemuan pada waktu yang telah kami sepakati, paman itu sudah menungguku. Kami lalu makan malam bersama selama sekitar 2 jam, lalu aku pulang."


"......."


Cerita ini terasa agak mengkhawatirkan.


"Oh, benar juga. Dia bilang pakaian ini juga imut."


Misa sepertinya tidak terlalu senang saat mengatakan itu.


"Hey, kau tidak melakukan hal yang aneh, kan?"


"Hal yang aneh?"


Dia menoleh sambil memiringkan kepalanya. Tapi, dia sepertinya langsung menyadari apa yang dia bicarakan.


"Oh, tenang saja. Kami hanya makan malam bersama.”


"Hey!"


"Itu cuma bercanda."


Saat aku merasa tidak tahan lagi mendengar ceritanya, Misa kembali menyela perkataanku.


"Ara, Seiya-san, tentu saja itu cuma bercanda. Apa mungkin kau berpikir aku mencari uang dengan cara yang mencurigakan?"


Misa berkata sambil tertawa cekikikan, terlihat jelas kalo dia hanya bercanda.

 

Kalo dia mengatakan begitu, aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. 


Tapi, ini mirip dengan 'rencana' yang kemarin dan tadi. 


Mau tak mau aku merasa seolah-olah ada sedikit kebenaran yang tersembunyi di dalamnya. 


"......."


"......."


Kami berdua terdiam sambil berjalan pulang.


"Hei, Seiya-san."


Jalan pulang terasa lebih gelap daripada saat kami berangkat, dan tepat saat itu, sepertinya matahari sedang terbenam, saat Misa mulai berbicara.


"Apa itu keluarga?"


"Apa yang kau harapkan menanyakan pertanyaan yang begitu tinggi kepadaku? Tidak mungkin aku bisa menjawabnya. Aku ini cuma 2 tahun lebih tua dari Misa, lho."


Terlebih pagi, jelas dia salah memilih orang untuk bertanya. Bagaimanapun, orang tua ku sudah bercerai. Hal ini bukanlah sesuatu yang bisa diminta dari orang yang tidak mampu mempertahankan bentuk keluarga inti.


Siapa yang memicu ini dulu, ya? Ayah atau ibu?


(Atau mungkin itu aku...)


Jika aku tidak melakukan hal seperti itu, kalo saja tidak terjadi kejadian seperti itu, mungkin kami masih bisa menjadi keluarga. 


Tapi, kenyataannya kami hanya bertahan sebagai struktur keluarga yang beku, dan apa bisa disebut bahagia atau tidak, itu yang jadi pertanyaan.


Mungkin saat ini, yang sebenarnya meragukan apa itu keluarga adalah aku sendiri.


"Ngomong-ngomong, Seiya-san."


"Ada apa?"


Dari kata 'Ngomong-ngomong' yang Misa ucapkan, sepertinya dia sudah selesai dengan topik soal keluarga.


"Apa kau sudah punya pacar?"


"Tentu saja belum. Aku baru sebulan di sini."


Lagipula, aku juga tidak berniat punya pacar.


"Apa? Kalo aku tidak punya pacar, apa Misa yang mau jadi pacarku?"


"Benar. Kalo kau mencari sesuatu yang nakal daripada hubungan yang murni dan pantas, aku mungkin bisa memikirkannya."


"......"


"Ah, kau sedang mempertimbangkannya? Kalo begitu, mungkin kita harus segera pergi ke kamarmu dan bermain-main sekarang juga."


"Tidak! Aku hanya bingung karena kau membicarakan hal aneh seperti itu. Jangan sampai datang ke sini."


Meskipun aku membalas begitu, Misa hanya menatapku dengan mata yang hangat, lalu tersenyum diam-diam. 


Meski itu sebuah salah paham, setidaknya lebih baik daripada tatapan penghinaan.


"Jadi, apa kau punya pacar sebelum kau datang ke sini?"


Dia melanjutkan pertanyaannya.


"........"


"Seiya-san, aku sedang bertanya, lho. Jawablah."


"Kau kenapa bicara seperti itu? ...Aku rasa tidak ada alasan untuk menjawab pertanyaan itu dengan jujur, tapi—ya, dulu aku memang ada. Tapi kami putus sebelum aku pindah."


Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah bukan 'waktu aku pindah', melainkan 'sebelum aku pindah'. Artinya, hubungan itu sudah berakhir sebelum aku pindah. 


Mungkin karena aku sudah tidak menarik lagi, atau mungkin karena merek 'aku' sudah kehilangan nilainya.


"Ah, ternyata memang ada ya. Seiya-san yang bermain basket itu keren sekali, lho."


"......"


Aku harus mengoreksi kalimat ini.


Aku sudah 3 kali menunjukkan sedikit permainan basketku di depan Misa. ...Yang ke-3 kali itu sangat buruk setelah dia menyerang mentalku dengan cara yang kejam. 


Jika Misa benar-benar terkesan setelah melihatnya, seharusnya dia mengatakan, 'Seiya-san yang bermain basket itu keren sekali.' tapi, dia justru mengatakan, 'Seiya-san yang bermain basket itu keren sekali dulu.'


Jadi, aku yakin.


Seperti yang diharapkan Kuroe Misa...


Saat kami berbicara dan berpikir tentang hal itu, akhirnya kami sampai di gedung apartemen tempat aku dan Misa tinggal. Kami berhenti sejenak di depan tangga.


"Terima kasih sudah mengantarku."


"Tidak masalah. Kita tinggal di tempat yang sama, kan?"


Kami tidak melakukan perjalanan jauh, jadi dia seharusnya tidak perlu merasa sungkan. 


"Tapi kau berhenti dari jalan-jalan dan mengantarku."


Oh iya, benar juga, itu memang yang terjadi.


Lalu, Misa tiba-tiba membuka ke-2 tangannya lebar-lebar.


"Apa itu?"


"Sebagai perpisahan, peluk aku dengan erat."


"Tidak, mana mungkin aku melakukan itu!"

 

Saat aku buru-buru membalas, Misa tersenyum seperti anak kecil yang berhasil menjalankan sebuah trik nakal. Sepertinya dia memang sedang menggodaku seperti biasanya.


"Kalo begitu, aku akan datang bermain lagi nanti."


"Iya, iya, aku mengerti."


Entah kenapa, Misa menunjukkan senyuman puas menanggapi respon engganku, lalu dia menaiki tangga satu langkah di depanku. 


Setelah mendengar suara pintu depan rumahnya terbuka dan kemudian tertutup lagi, barulah aku mulai menaiki tangga.


★★★


 Misa kembali datang bermain dengan ritme yang biasa──dan pada pertengahan minggu berikutnya, akhirnya pelajaran olahraga dengan basket pun dimulai.


"Sepertinya kali ini lagi-lagi Konan yang akan mendominasi."


Shitara mengeluarkan suara yang terdengar penuh keputusasaan saat kami sedang melakukan pemanasan.


"Memang ada beberapa yang punya pengalaman bermain basket, tapi tidak ada yang bisa mengimbangi dia."


"Ya, mau bagaimana lagi. Konan itu katanya pernah jadi anggota klub basket waktu SMP, dan dia bahkan jadi starter."


Sakakibara yang juga sedang melakukan peregangan ikut menambahkan.


Ke-2 orang ini adalah atlet yang sangat memahami pentingnya pemanasan, jadi cara mereka melakukannya sangat teliti..


"Setiap orang tentu memiliki keahlian masing-masing."


Aku ikut berbicara.


"Begitu juga dengan Shitara dan Sakakibara bermain sepak bola, kan?"


"Benar. Nanti lihat saja. Aku akan memberikan umpan yang presisi seperti jarum, dan tembakan roket dari Sakakibara. Kami ini kombinasi emas."


Shitara mengatakan itu dengan penuh keyakinan.


Hal ini cukup mengejutkan, karena meskipun Sakakibara terkesan tenang, dan Shitara yang ceria, ternyata gaya bermain mereka sangat berbeda dari apa yang aku bayangkan.


Pelajaran hari itu berfokus pada pemilihan anggota untuk turnamen olahraga yang akan datang, sehingga kami terus bermain dalam format pertandingan.


Kami membentuk tim yang terdiri dari 5 orang, dan berhadapan dengan tim lain. 


Tim yang pertama mencetak 5 poin akan keluar sebagai pemenang, sementara tim yang kalah akan digantikan oleh tim berikutnya.


Karena sebagian besar pemain belum berpengalaman, permainan menjadi cukup kacau dengan banyak pemain yang hanya berlarian mengejar bola.


Tapi, satu-satunya tim yang terlihat terorganisir meskipun sebagian besar anggotanya adalah pemula adalah tim Konan. 


Entah bagaimana, dia memberikan arahan yang jelas, sehingga timnya terlihat sangat terkoordinasi.


Pertahanan mereka menggunakan sistem man-to-man. 


Setiap kali mereka kebobolan atau berhasil merebut bola, bola akan segera diberikan pada Konan, dan seluruh tim akan berlari ke depan—menuju sisi lawan. 


Konan akan membawa bola sambil memantau pergerakan rekannya.


Tim yang dipimpin oleh 'serigala tunggal' ini terus melaju dan memenangkan pertandingan, hingga akhirnya mereka berhadapan dengan tim kami.


Sebenarnya, aku tidak berniat membiarkan hal ini terjadi, tapi permainan berlangsung tanpa memberi aku kesempatan untuk tampil. 


Saat akhirnya bola sampai kepada ku, kami sudah tertinggal 3 poin.


"Heh, sini-sini!"


Shitara tampil mencolok, tapi dia sudah diawasi dengan ketat. 


Tidak mungkin aku bisa mengoper bola ke arahnya. 


Di sisi lain, dengan memanfaatkan perhatian yang teralihkan oleh Shitara, Sakakibara diam-diam menghindari penjaganya dan berlari menuju ring.


Aku hanya memberikan isyarat dengan pandangan mata untuk menggoyahkan penjaga yang sedang mengawasi, dan begitu dia terperangkap oleh gerakanku, aku mengoper bola kepada Sakakibara.


Setelah menerima bola, dia berhasil menyelesaikan tembakan layup yang setia pada teknik dasar yang sudah dia pelajari di latihan, meskipun agak terpaksa.


"Nice pass. Hebat, akurat sekali." 


Sakakibara mengatakan itu saat kembali ke garis belakang—menuju sisi pertahanan. 


Di belakangnya, Konan menatapku dengan tatapan curiga.


Sekarang giliran kami bertahan. 


Tapi, tim Konan yang bergerak dengan terkoordinasi berhasil mencetak poin dengan cepat. 


Itu sudah menjadi poin ke-4 bagi mereka.


Kami berganti posisi antara menyerang dan bertahan. 


Mungkin karena hasil operan tadi, harapan di tim kami meningkat, dan Sakakibara segera mengoper bola kembali padaku.


Sekarang, tidak ada pilihan lain, dan aku tidak ingin berakhir begitu saja. 


Tim Konan menggunakan formasi man-to-man di setengah lapangan, jadi saat aku mundur ke area pertahanan sendiri, aku berjalan perlahan membawa bola. 


Begitu melewati garis tengah, lawan yang sedang menjaga langsung memberikan tekanan.


Aku berpura-pura akan menggiring bola untuk melewati, tapi kemudian berhenti mendadak. 


Gerakan ini cukup sulit diikuti oleh pemain pemula, sehingga lawan terjatuh dan kehilangan keseimbangan. 


Aku pun bebas untuk memfokuskan perhatian dan melakuoan shoot. 


Bola meluncur mulus dan melalui ring.


Karena posisiku lebih jauh dari garis 3 poin, biasanya ini akan dihitung sebagai 3 poin. 


Tapi, karena aturan permainan yang agak longgar, dengan sistem 5 poin untuk kemenangan, tembakan ini hanya dihitung sebagai 1 poin. 


Tidak peduli apakah itu tembakan 3 poin atau free throw, aturan ini tidak membedakannya.


"Apa itu!?!"


"Wow, luar biasa..."


"Pro, dia pasti pro!"


Kerumunan mulai heboh.


Pro, ya? Dulu aku memang sempat bercita-cita menjadi seperti itu. 


Tapi kini, setelah impian itu hancur, rasanya itu cuma sebuah angan-angan yang terlalu tinggi, mungkin itu memang terlalu jauh dari kenyataan.


Apa ini sudah cukup untuk membalas mereka? 


Rasanya, setelah ini mereka hanya akan mencetak 1 poin lagi dan kami akan kalah. 


Tapi, ternyata lawan gagal mencetak tembakan, dan Shitara berhasil merebut rebound, memberi kami kesempatan menyerang lagi.


"Ayo, kita coba 1 lagi!"


Shitara mengoper bola kepadaku.


Begitu aku memegang bola, para penonton langsung bersorak. 


Sepertinya mereka belum ingin menghentikan permainan ini begitu saja.


Tapi, ada 1 orang lagi yang tidak akan membiarkan ini berakhir begitu saja.


Konan.


Sementara rekan-rekan 1 timnya kembali ke garis belakang sesuai arahan, hanya Konami yang tetap maju. 


Tujuannya jelas, dia ingin menghadapi ku yang sedang memegang bola. 


Sepertinya dia berniat memberikan tekanan sepanjang lapangan, berusaha menutupi setiap gerakanku.


Hasilnya,


"Ini dia, duel 1 lawan 1 antara Konan dan Hirasaka!"


Sorakan kembali terdengar dari para penonton.


"Hirasaka, ternyata kau pernah bermain basket ya?"


"Ya, sedikit-sedikit sih." 


Konan menurunkan tubuhnya, siap menghadapi setiap gerakanku dengan postur yang tegap, matanya fokus menatapku.


(Agak terlalu dekat. Jadi, maksudnya...)


Rasa ketegangan yang tajam itu membangkitkan semangat juangku. 


Perasaan ini jauh lebih intens dibandingkan dengan pertandingan free throw satu kali yang pernah kulakukan.


Tanpa kusadari, aku sudah sepenuhnya fokus, menjaga bola dengan serius tanpa rasa lengah.


Para teman sekelas yang tadi riuh kini terdiam, menonton dengan cemas untuk melihat bagaimana akhir dari pertarungan ini.


Konan, yang tidak begitu tinggi, dulu bermain sebagai guard saat di SMP. 


Sementara aku, yang sedikit lebih tinggi dari rata-rata, biasanya bermain sebagai forward. 


Meski ada perbedaan posisi, dia tampaknya yakin hanya dirinyalah yang bisa menghentikanku.


Pada saat itu, ada semacam kesepakatan tak terucap di antara kami.


Dalam permainan ini, tidak ada aturan tentang pelanggaran waktu. 


Tidak ada aturan 3 detik, 5 detik, atau 8 detik. 


Karena jika aturan itu diterapkan, permainan hanya akan menjadi kaku dan memperlambat permainan. 


Selain itu, siapa yang bisa mengingat semuanya?


Tapi, di antara aku dan Konan, ada peraturan yang tidak tertulis itu.


Matanya berkata, "Ayo, lakukanlah!" Dia memberikan tekanan sepanjang lapangan, dan dengan jarak yang cukup dekat, itu adalah bukti bahwa dia sudah siap untuk melakukan segala cara. 


Aku harus membawa bola ke garis depan dalam waktu kurang dari 8 detik, dan dia akan berusaha keras untuk menghentikanku.


Aku memandang seluruh lapangan.


Aku minta maaf untuk mengatakan ini, jujur saja, baik tim lawan maupun tim kami, semuanya masih amatir. 


Berkat taktik Konami, timnya cukup terkoordinasi dalam bertahan—mereka tahu apa yang harus dilakukan saat bertahan dan bagaimana bergerak setelah merebut bola. 


Mereka cukup rapi dalam menjalankan tugasnya. 


Tapi, setiap pemain 1 per 1 belum bisa menunjukkan kemampuan luar biasa. 


Sakakibara dan Shitara, yang sama-sama berasal dari tim sepak bola, kadang mereka bisa bekerja sama dengan baik, tapi sejujurnya, aku tidak bisa terlalu mengandalkan mereka.


Seperti yang dikatakan seseorang, pada akhirnya, permainan ini benar-benar hanya soal duel 1 lawan 1 antara aku dan Konan.


Sayangnya, untuk menghentikan aku, Konan masih sedikit kekurangan dalam hal kekuatan.


Pertarungan ini kemungkinan akan ditentukan dalam sekejap.


Aku mencoba menerobos dengan dribel 2 kali, tapi keduanya tampaknya bisa dihentikan—atau setidaknya terlihat seperti itu. 


Aku kemudian mundur sedikit, seolah kebingungan untuk mencari celah. 


Melihat itu, Konan segera mendekat dan berusaha menekan aku lebih jauh.


Saat itulah momen menentukan tiba.


Aku dengan sengaja mengoper bola melewati selangkangannya.


"Ah!"


Konan mengeluarkan suara kecil, dan aku segera bergerak cepat, melingkari tubuhnya dan menarik bola kembali. 


Tanpa ragu, aku melanjutkan dribel dan bergerak menuju ring. 


Baik tim lawan maupun tim kami tampak terdiam, memberi jalan kepadaku.


"Tsk..."


Aku mendengar suara gerutuan Konan tepat di belakangku. 


Dia mengejarku.


Dia cepat. 


Dengan kecepatan kaki yang luar biasa, dia mencoba memanfaatkan celah kecil dan menyerang ke arah ring. 


Sebagai seorang shooting guard, dia memiliki kemampuan insting yang tajam untuk menangkap peluang dan kecepatan untuk mengejar dalam sekejap. 


Aku yakin dia akan mencoba mengelilingi aku lagi sebelum aku mencapai ring.


Begitu aku hampir sampai di area bawah ring, aku melepaskan bola dari dekat garis 3 poin. 


Bola itu membentur papan belakang dan memantul kembali—aku segera melompat ke arah bola. 


Tentu saja, Konan juga melompat. 


Tapi, dalam hal tinggi badan dan kemampuan melompat, aku lebih unggul. 


Aku sudah memprediksi dengan baik jalur bola yang memantul.


Aku menepis bola lebih tinggi dari jangkauan tangannya dan melemparkannya ke ring.


Sejenak, suasana menjadi hening.


Kemudian, setelah tembakan itu masuk, suara sorakan di gymnasium jauh lebih keras dibandingkan saat aku mencetak tembakan 3 poin sebelumnya.


★★★


Pada waktu istirahat makan siang hari itu,

Sakakibara, Shitara, dan Tounami berkumpul di mejaku.


"Ah, rasanya menyegarkan sekali. Konan yang selalu sombong soal basket sejak kelas 1 sekarang malah kalah telak." 


Shitara tertawa dengan puas. 


Meskipun topiknya cukup sensitif, dia menahan suaranya agar tidak terlalu keras.


"Shitara, kau ini memang jahat. Jangan cuma senang karena Konan kalah, tapi puji juga Hirasaka yang mengalahkan dia."  


"Ah, maaf." 


Sakakibara menegurnya, dan Shitara mengangkat bahu.


"Tapi, serius, Hirasaka kau luar biasa. Bagaimana kau bisa melakukan itu?" 


"Memang itu luar biasa... Kau bilang kalo kau tidak pandai dalam basket tapi lihat sekarang." 


Tounami adalah orang pertama yang mengatakan itu setelah Shitara.


Sepertinya dia sedang dalam suasana hati yang buruk, kebalikan dari Shitara, dan cara dia berbicara sangat sarkastik.


Sama seperti pelajaran olahraga sebelumnya, hari ini juga ada gabungan antara laki-laki dan perempuan. 


Di setengah lapangan lainnya, para gadis bermain basket, dan Tounami serta seluruh tim perempuan juga menyaksikan permainanku. 


Pada saat itu, aku ingat pernah mengatakan kepada Konami kalo aku tidak punya keahlian khusus dalam olahraga, dan tampaknya dia masih terpengaruh dengan pernyataan itu.


Tounami menatapku tajam, wajahnya mengerut, dan matanya penuh dengan intensitas.


"...Kau harus ikut berpartisipasi dalam turnamen turnamen bola basket." 


"Tapi aku—"


"Toh, Seiya!"


Ketika Aku mencoba menolak meskipun Tounami memelototiku.


Saat itu, sebuah suara yang sangat keras hingga menggema di seluruh kelas terdengar di telingaku.


Aku menengadah, dan di tengah keributan kelas, aku melihat Konan berjalan cepat mendekat ke mejaku.


Dia tampak kesal, langkahnya kasar saat sampai di mejaku. 


Tanpa basa-basi, dia melemparkan sebuah majalah ke atas meja.


Majalah itu tampak cukup rusak, dan di sampul depannya tertera tulisan 'Perpustakaan Shōseikan Gakuen' dengan barcode yang ditempelkan. 


Sepertinya dia menemukannya di perpustakaan.


Judul majalah tersebut adalah Gekkan Kōkyū (Majalah Bola Keranjang Bulanan).


Di tengah tren penggunaan huruf Latin yang semakin populer, nama majalah yang hanya menggunakan kanji ini memberi kesan kuno dan elegan, seperti tulisan seorang kaligrafer.


Ternyata ini adalah majalah khusus mengenai bola basket.


Selain itu, majalah yang dia lemparkan itu adalah edisi bulan Juli yang terbit pada awal musim panas tahun lalu—satu edisi yang tak mungkin kulupakan. 


Rasanya seperti sesuatu yang seharusnya sudah kubuang, kini datang mengejar dari masa lalu. 


Aku hampir ingin menghela napas, merasa jengkel.


"Ini?"


Mencoba menahan perasaan itu, aku sengaja bertanya pada Konan.


Dia kembali mengambil majalah itu, membuka halaman tertentu, dan menghadapkannya padaku.


"Ini, kau kan?"


"..."


Di sana, terdapat sebuah artikel khusus dengan judul Pemain SMA yang Diharapkan Tahun Ini yang dipenuhi dengan foto-foto dan cerita.


"Eh, ini...?"


"Serius?"


Begitu aku membaca judul tersebut, hampir seluruh kelas yang sebelumnya diam kini berkumpul, melihat artikel itu dari belakangku, dengan ekspresi terkejut.


Memang, di situ ada fotoku, di awal artikel yang panjang itu, sebagai pemain yang paling diperhatikan. 


Bahkan ada wawancara singkat yang mencantumkan pendapatku.


(Masa lalu, ya. Aku rasa, aku benar-benar cocok dengan sebutan itu.)



Aku tertawa sinis dalam hati.

Sekarang, aku sudah kehilangan semua yang dulu kumiliki, dan hanya menjalani hidup ini dengan sia-sia, seperti mayat hidup. 


Jadi, memang tepat untuk menyebutkan masa sebelum itu sebagai masa lalu.


"Tapi, Tone... kau kan..."


"Orang tuaku bercerai, jadi aku ganti nama." 


Aku menjawab pertanyaan yang diajukan seseorang.

 

Hanya beberapa waktu yang lalu, aku dikenal sebagai Tone Seiya. 


Nama itu tercatat di artikel tersebut. 


Tapi, setelah orang tuaku bercerai dan aku mengikuti ibu ku, namaku menjadi Hirasaka Seiya.


Suasana kelas menjadi canggung. 


Pasti banyak yang sudah menebak alasan kenapa aku pindah sekolah.


“Jadi? Itu memang aku."


"Benar kan. Aku butuh waktu untuk mengingatnya, karena namamu yang sudah berbeda, dan wajahmu juga hampir tidak terlihat seperti dulu."  


Dia yang membawa majalah itu dari perpustakaan, ternyata untuk membuktikan dugaan tersebut.


Setelah itu, dia menarik napas panjang.


"Tapi kau menghilang! Dari dunia basket SMA!"


Konan marah. 


Sejak dia memanggil namaku tadi, dia sudah kesal. 


Bahkan lebih tepatnya, sejak pelajaran olahraga pagi tadi.


Itu bisa dimengerti. 


Sebab setelah aku mengalahkan dia dalam pertandingan 1 lawan 1 tadi, aku hanya mengoper bola ke rekan setim tanpa banyak berusaha bergerak aktif. 


Bagi dia, kekalahan di pertandingan itu bukanlah masalah, tapi cara aku bermain yang terkesan meremehkan itulah yang membuatnya marah.


"Aku sudah berhenti bermain basket."


"Kenapa!?"


"Kenapa?! Bukankah kau bertujuan untuk menjadi seorang profesional!? Bukankah kau berencana pergi ke NBA suatu hari nanti!?"


[TL\n: NBA (National Basketball Association) adalah liga bola basket profesional di Amerika Utara yang terdiri dari tim-tim dari Amerika Serikat dan Kanada. Liga ini dibentuk pada tahun 1946 dan saat ini dianggap sebagai liga bola basket terkuat di dunia. NBA terdiri dari 30 tim yang dibagi menjadi dua konferensi: Konferensi Timur dan Konferensi Barat.]


Menjadi profesional. 


Pergi ke NBA. 


Ke-2 hal itu adalah apa yang pernah aku katakan dalam wawancara di artikel khusus tadi. 


Sekarang, rasanya aku hanya bisa merasa malu atas omonganku itu—bagaimana bisa aku begitu berani mengucapkan hal sebesar itu tanpa rasa malu?


Tapi, itu urusan lain.


"Kenapa? Kenapa? Hah!? Itu bukan urusanmu! Kenapa aku harus menjelaskan itu padamu!? Itu luka hatiku!"


Tanpa sadar, suaraku meninggi.


Suasana di kelas menjadi hening. 


Mungkin mereka tidak menyangka kalo aku, yang biasanya hanya diam seperti mayat hidup, akan berteriak seperti itu.


Di tengah keheningan itu, orang pertama yang bergerak adalah Konan.


"Tsk!"

 

Dia membanting majalah yang masih ada di tangannya ke atas meja, lalu berbalik dan pergi meninggalkan kelas, mendorong teman-teman yang mengerumuni kami untuk membuat jalan.


"Oke, semuanya juga bubar." 


Menganggap ini sebagai sinyal, Tounami mengusir teman-teman sekelasnya yang berkumpul.


Akhirnya, hanya tinggal kami 5 yang sejak awal ada di sini—aku, Sakakibara, Shitara, Tounami, dan tentu saja, majalah Gekkan Kōkyū yang tergeletak di atas meja. 


Seharusnya aku yang mengembalikannya ke perpustakaan, ya?


"Ternyata, kau bisa panas juga, ya."


"Maaf."


Aku meminta maaf pada Sakakibara yang hanya bisa tertawa kecut, menyadari kalo aku sendiri pasti merasa terganggu saat masalah yang ingin kusembunyikan justru dibongkar begitu saja.


"Tapi, memang... kau benar-benar seperti mayat hidup, ya, pantas tidak ada yang mengenali mu."


Shitara mengambil majalah yang ditinggalkan, membuka halaman artikel tentangku dan membaca bagian yang menonjol.


"Wajahmu seperti orang yang beda."


"Benar..."


Tounami juga ikut menoleh dan mengamati dengan nada yang seolah setuju.


"Aku tidak tahu apa aku sendiri yang mengatakannya, tapi saat itu aku penuh dengan semangat."


"Ayo lihat ini... 'Tone-kun, yang memimpin timnya meraih kemenangan di SMP, dan di SMA, dia berhasil masuk ke sekolah bergengsi. Dia adalah pemain yang menjadi sorotan. Prestasinya di turnamen musim panas sangat dinanti.'"


" 'Tentu saja, aku ingin menjadi profesional, dan suatu hari nanti aku akan bermain di NBA!'"


Itu adalah kata-kata bombastis yang keluar dari mulutku dalam wawancara, yang kini terasa konyol ketika dibaca di hadapanku seperti ini.


"Jangan di baca lagi, pah."


"Ayo, lanjutkan... Ada juga, kan, penjelasannya tentang 'Bertumbuh menjadi pemain yang menjanjikan'."

 

"Kau berhenti bermain basket?"


"Ya, begitulah. Seperti dikhianati oleh dewa basket."


"Begitu ya?"


Sakakibara yang bertanya, hanya mengangguk setelah mendengar jawabanku, dengan nada yang agak mengerti.


"Sayang sekali, kalo begitu."


"Ya, mungkin sekarang mereka menyesal." 


Jawabku sambil tersenyum pahit.


★★★


Tak perlu dikatakan, hari ini pun seperti biasa, setelah pelajaran berakhir, aku langsung pulang.


Saat istirahat makan siang, mungkin karena kejadian yang cukup mengganggu di kelas, aku bahkan tidak berbicara dengan Sakakibara atau yang lainnya. 


Begitu upacara penutupan selesai, aku adalah orang pertama yang keluar dari kelas.


Aku mengganti sepatu di loker, lalu keluar. 


Begitu melintasi gerbang sekolah dan berjalan di trotoar di sepanjang jalan, tiba-tiba...


"Hirasaka-kun!"


Suara yang asing di telingaku.


Saat aku menoleh, 2 gadis berlari menuju ke arahku. 


Aku pernah melihat mereka di kelas sebelumnya, jadi mereka mungkin teman sekelasku. 


Tentu saja, aku belum pernah berbicara dengan mereka sebelumnya.


"Sampai jumpa besok!"


Mereka berhenti di depanku dan salah satu dari mereka dengan penuh keberanian mengucapkan kata-kata itu.


"Ah, iya. Sampai besok." 


Mau tak mau aku menjawab dengan ragu, aku agak terkejut dengan sikap mereka. 


Saat aku masih tertegun dan melihat mereka pergi, mereka mulai berteriak, "Aku berbicara dengan Hirasaka-kun!" sambil tertawa dan berlari bermain satu sama lain.


"...."


Apa maksudnya tadi?


Setelah berjalan beberapa langkah lagi, aku dipanggil lagi. 


Kali ini, 3 gadis yang sekelas denganku yang datang menghampiriku, tentu saja ini pertama kalinya aku berbicara dengan mereka.


"Aku sedang menonton olahraga hari ini"


"Kau keren sekali!"


"Terus, ini juga kami lihat!"


Salah satu dari mereka menunjukkan majalah Gekkan Kōkyū yang sama. 


Aku yakin Shitara hendak mengembalikannya pada Konan, tapi sepertinya benda itu berputar-putar dan berakhir di tangan mereka. 


Apa ini dibolehkan, ya?


"Hirasaka-kun, ternyata kau pemain hebat, ya."


"....Itu hanya cerita lama."


Akhirnya aku bisa berbicara juga.


"Eh, eh, jadi di acara lomba olahraga nanti kau akan bermain basket, kan?"


"Entahlah. Akan kupikirkan."


Aku menjawab dengan nada yang tidak terlalu serius, sebenarnya aku tidak berniat untuk ikut.


★★★


"Aku lelah..."


Setelah pulang ke rumah, aku terjatuh ke sofa dalam keadaan masih mengenakan seragam, kata-kata itu keluar dari mulutku sambil menghela nafas.


Tadi, aku sempat terlibat cekcok dengan Konan, dan kemudian ada gadis-gadis yang selama ini tidak pernah aku ajak bicara tiba-tiba menyapaku — padahal itu hanya kejadian kecil, tapi entah kenapa aku merasa kelelahan.


"Tapi, ini bukan saatnya untuk merasa lelah."


Aku menegur diriku sendiri dan dengan susah payah menggerakkan tubuhku yang lelah, bangkit dari sofa.


Aku masuk ke kamarku dan mengganti pakaian.


Hari ini kemungkinan besar Misa akan datang. 


Mengingat dia sudah hampir setiap minggu datang sekitar 4 kali, aku bisa menebaknya.


"Dia lama sekali..."


30 menit setelah aku sampai di rumah, aku melihat jam di dinding ruang tamu dan bergumam pada diri sendiri.


Misa masih belum datang juga.


Apa dia tidak akan datang hari ini? 


Kalo begitu, tidak masalah. 


Hanya saja aku merasa bodoh karena menunggu dengan harapan kosong tanpa melakukan apa-apa.


Aku teringat kejadian beberapa waktu lalu.


Aku melihat ekspresi Misa yang tidak biasa, dia terlihat murung, lalu dia menghilang untuk beberapa waktu, dan suatu hari, dia keluar dengan pakaian yang agak formal di waktu yang agak larut...


Dia bilang itu hanya bercanda, hanya sebuah taktik. 


Tapi aku merasa ada sedikit kebenaran di balik sikap bercandanya itu.


(Apa hari ini...?)


Mungkin aku harus bertanya padanya, dengan hati-hati, tentang hal itu — sementara aku merenung, tiba-tiba bel pintu terdengar.


"Akhirnya..."


Aku bangkit dan mengambil interkom dinding di ruang tamu.


"Ya?"


"Ini aku, Misa."


Suara ceria Misa terdengar seperti biasa... Ternyata itu memang dia.


"Aku akan membukanya sekarang."


Aku berusaha untuk tidak menunjukkan kegugupanku dan berbicara dengan nada datar, kemudian aku meletakkan interkom dan menuju pintu depan untuk membukanya.


Di sana, Misa berdiri. Tentu saja.


Tapi kali ini, dia tidak mengenakan pakaian santai seperti biasa saat bermain, melainkan pakaian yang lebih formal, hampir seperti ketika dia keluar beberapa waktu lalu.


"Selamat siang, Seiya-san. Aku datang untuk bermain."


"... Ya, aku bisa melihatnya."


Ketika aku sedikit kebingungan saat menjawab, Misa tampaknya menganggapnya sebagai sikap acuh tak acuh ku seperti biasanya, lalu tertawa kecil.


"Permisi." 


Dia melewati ku dan masuk tanpa ragu ke dalam rumah. 


Dengan santainya, Misa mengenakan sandal miliknya yang sudah dia tinggalkan di pintu, lalu berjalan lebih jauh. 


Setelah menutup pintu depan, aku mengikuti langkahnya.


Begitu masuk ke ruang tamu, Misa langsung duduk di sofa dengan santai.


"Kenapa kau terlambat hari ini?"


Sementara itu, aku mulai menyiapkan minuman di dapur.


"Aku baru pulang sekitar 30 menit yang lalu, tapi aku agak lama memilih pakaian."


"Begitu ya."


Sepertinya waktu itu hampir sama dengan ku. 


Mungkin saja kami berjalan pulang di dekat yang sama tanpa sadar.


"Ngomong-ngomong soal pakaian itu──"


Aku dengan cepat membuat minuman campuran—kuyupid, yakni campuran kalpis dengan cola, lalu membawa 2 gelas kembali ke ruang tamu.


"Kau akan pergi kemana lagi sekarang?"


"Terima kasih. ...Tidak, sebenarnya aku tidak ada rencana khusus."


Saat aku hendak meletakkan gelas di depan Misa, dia malah meraih gelas itu dan mengambilnya langsung, lalu meletakkannya perlahan di atas meja.


"Jadi kenapa?"


Ternyata tidak ada janji dengan 'makan malam dengan paman yang luar biasa' seperti yang ku khawatirkan. 


Aku merasa lega dalam hati. 


Tapi tentu saja, aku tidak tahu apakah cerita itu benar atau tidak.


Aku kemudian duduk di sofa dan meneguk sedikit minuman ku.


"Tentu saja, sesekali aku ingin memperlihatkan diriku yang sedikit lebih rapi pada Seiya-san. Aku mencoba untuk tampil imut namun tetap elegan. Bahkan, pakaian dalam ku juga cukup menarik. ...Apa kau mau melihatnya?"


"?!?"


Tanpa ragu, Misa menarik ujung roknya dari tubuhnya dan menunjukkannya.


Karena dia melakukannya tiba-tiba saat aku sedang meneguk kuyupid, aku hampir tersedak.


"Kau ini, bagaimana kalo sampai terlihat?"


"Tidak masalah. Aku sudah menghitung semuanya dengan baik. Aku bahkan sudah berlatih." 


Latihan yang tidak ada gunanya.


Dengan sedikit kewaspadaan, aku berbalik menghadap Misa. 


Dia segera merapikan posisinya dan, seolah tidak ada yang terjadi, dia mulai mengeluarkan sedotan dari kemasannya. 


Postur tubuhnya tetap tegak, seperti biasa.


"Selain itu, kalo sampai terlihat juga tidak masalah, kan? Tidak ada yang berkurang."  


"Itu seharusnya kalimat yang diucapkan oleh seorang pria."


Meskipun aku mengatakannya, itu adalah kalimat yang terdengar seperti ucapan terakhir seorang pria.


"Ah, itu bagus. 'Tidak ada yang berkurang, jadi sedikit saja tidak masalah,' aku ingin Seiya-san mengatakan itu pada ku. Lalu, aku pasti akan menjawab, 'Ah, ya mau bagaimana lagi. ...Tapi hanya sedikit saja, ya?' sambil memerah, dan aku rasa aku akan melakukan hal yang sama seperti tadi. Tentu saja, aku akan menariknya hingga terlihat dengan jelas."


"Aku tidak akan pernah mengatakan itu!"


Dengan perasaan frustrasi, aku kembali meneguk minuman ku.


"Aki sudah bilang sebelumnya, kan? Sebenarnya, aku tidak bermaksud membanggakan diri ku, tapi aku sudah cukup dewasa, aku memiliki tubuh yang bagus, dan sedikit nakal, jadi..."


"Tunggu, kalimat ini jadi seperti tambahan deskripsi diri. Apa 'Aku tidak bermaksud membanggakan diri' itu juga bagian dari deskripsi tersebut?"


"Ya, itu bagian dari deskripsiku. Aku tidak bermaksud menyombongkan diri ku, tapi aku sudah cukup dewasa, aku tidak bermaksud menyombongkan diri ku, tapi aku memiliki tubuh yang bagus, dan aku tidak bermaksud menyombongkan diri ku, meskipun terlihat seperti ini, aku lebih nakal daripada teman-teman sekelas ku. Jadi, pakaian yang lebih dewasa pun cocok dengan ku, dan aku rasa aku tidak kalah dengan wanita-wanita di sekitar Seiya-san."


"Apa yang sebenarnya sedang kau lawankan, sih? ...Aku benar-benar tidak mengerti apa yang ada dalam pikiranmu, Misa."


"Benar, kan? Aku juga merasa sama. Aku rasa Seiya-san tidak akan pernah mengerti."


Misa mengatakan itu dengan ekspresi sedikit sombong, lalu menempelkan sedotan ke bibirnya. 


Entah kenapa, aku merasa ada sedikit rasa marah yang terpancar dari sikapnya.


"......"


Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh Misa hari ini.



Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال