> CHAPTER 4

CHAPTER 4

 Kamu saat ini sedang membaca   Shū 4 de heya ni asobi ni kuru shōakuma gāru wa ku bittake! (GA bunko) volume 1  chapter 4. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw



 GADIS IBLIS KECIL INGIN PERGI BERKENCAN



Keesokan paginya, saat aku masuk ke dalam kelas, suasana di ruangan itu langsung berubah. 


Kalo harus diungkapkan dengan satu kata, mungkin 'kebingungan'.


Mungkin itu karena kemarin aku berbicara dengan suara lantang. 


Atau mungkin, alasannya sedikit lebih dalam lagi—mungkin karena aku, seorang siswa pindahan yang terlihat seperti 'mayat hidup', dulunya adalah seorang pemain basket yang cukup hebat hingga pernah muncul di majalah.


Aku merasakan tatapan dari sudut mata beberapa teman yang tampak ragu, tapi aku tetap melangkah melintasi kelas menuju bangkuku. 


Ketika aku duduk di kursiku, terdengar suara yang memanggilku.


"Tone!"


Aku dipanggil dengan nama lamaku yang sudah tidak ku kugunakan pagi. 


Suaranya berasal dari arah depan kelas; terlihat Konan berjalan mendekat sambil membawa bola basket yang dia bawa dari rumah, lalu melemparkannya kepadaku. 


Aku menangkapnya.


"Namaku Hirasaka sekarang."


Kataku, sedikit untuk meluruskan tanpa benar-benar terlalu peduli. 


Malahan, nama itu masih terasa lebih akrab bagiku karena aku telah menggunakannya selama hampir 17 tahun, hingga sebulan yang lalu.


Aku mulai memutar bola di ujung jariku, dan terdengar sedikit sorakan pelan dari sekeliling, "Wow, hebat!"


"Bagiku, kau tetap Tone. Tone, ayo bertanding denganku."


“Bukankah sudah kubilang kemarin? Aku sudah berhenti bermain basket." 


"Apa—"


Konan terlihat ingin membalas dengan cepat, mungkin dia ingin bertanya alasan kenapa aku berhenti? 


Tapi, seolah menyadari kalo itu adalah pertanyaan terlarang, dia menahan diri.


"Sejujurnya, aku juga ingin tetap bermain basket setelah masuk SMA. Tapi, karena tubuhku tidak tumbuh lebih tinggi, aku harus menyerah."


Tinggi badan memang krusial dalam basket. 


Hingga SMP, tubuh yang tidak terlalu tinggi masih bisa diimbangi dengan kemampuan teknik. 


Faktanya, itulah yang terjadi pada dirinya. 


Tapi, di level SMA, situasinya berbeda. 


Kecepatan dan teknik menjadi penting, dan seseorang harus memiliki kemampuan yang luar biasa untuk mengimbangi. 


Seperti pemain NBA pertama dari Jepang, misalnya.


[TL\n:Pemain NBA pertama dari Jepang adalah Yuta Tabuse. Ia menandatangani kontrak dengan tim Phoenix Suns pada tahun 2004. Tabuse bermain di posisi point guard dan menjadi pemain Jepang pertama yang berkompetisi di NBA, meskipun kariernya di liga hanya berlangsung singkat. Setelah bermain di beberapa pertandingan dengan Suns, ia kemudian bermain di liga-liga lain di luar NBA, termasuk di Jepang.]


"Kau memang tidak terlalu tinggi, tapi kau punya teknik yang bisa bersaing dengan pemain-pemain besar. Kau punya bakat, kau punya insting."


Aku tidak tahu harus berkata apa, tapi aku tahu kalo hal itu benar. 


Sebagai pemain basket, aku memang tidak tergolong tinggi. 


Tentu saja, aku tidak memiliki fisik yang bisa diandalkan untuk bersaing dalam perebutan rebound di bawah ring, juga aku tidak punya kecepatan yang cukup luar biasa untuk mengimbangi kelemahan itu. 


Meskipun begitu, aku tetap menjadi pemain yang diunggulkan dan bahkan pernah mendapat sorotan utama dalam artikel majalah basket khusus. 


Itu semua karena aku melatih 'teknik'.


Kekuatan yang kutunjukkan saat melawan Konan dalam permainan 1 on 1 kemarin. 


Kemampuan penetrasi ke arah ring dengan menghindari para pemain bertahan. 


Akurasi tinggi dalam mencetak skor pada jarak favoritku. 


Umpan-umpan yang tepat berkat penglihatan yang luas—semua itulah keunggulan seorang pemain bernama Tone Seiya.


"Ketika aku membaca artikel tentangmu tahun lalu, aku benar-benar berpikir kau akan menjadi pemain profesional. Setiap orang yang pernah melawanmu, termasuk aku, merasa iri karena terlahir di era yang sama denganmu, tapi di sisi lain, kami juga merasa bangga."


"......."


Perasaan teman-teman seangkatanku seperti itu adalah sesuatu yang belum pernah kudengar sebelumnya. 


Tentu tidak mungkin menyamakan kata-katanya dengan perasaan semua orang, tapi setidaknya Konan memiliki perasaan seperti itu. 


Sungguh, itu membuatku senang.


"Lalu, kenapa kau berhenti bermain basket begitu saja!? Jangan bercanda. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi dengan bakat sebesar itu, kenapa kau tidak melanjutkan permainan mu!?"


"......."


"Ah, sudahlah. Aku sudah tidak peduli lagi."


Saat aku tetap diam dan tidak menjawab apa-apa, dia berkata begitu dengan nada jengkel.


"Pokoknya, lawan aku lagi dengan serius. Kemarin aku tidak tahu kalo kau adalah Tone, jadi aku agak lengah. Kali ini, aku akan mengerahkan semua kemampuanku."


Wajar saja Konan marah. 


Aku terpaksa berhenti bermain basket karena alasan yang tak bisa dia kendalikan. 


Dari sudut pandangnya, aku terlihat seperti seseorang yang membuang semua kesempatan yang kumiliki, meskipun aku berbakat.


"Maaf, tapi carilah orang lain. Aku sudah tidak mau lagi bermain."


Sambil berkata begitu, aku melemparkan bola itu kembali kepadanya.


Tapi, tak peduli seberapa besar kemarahannya, aku tak bisa lagi memenuhi harapan Konan. 


Aku merasa bersalah kepadanya, tapi itu sudah keputusan final ku.


"Ha!? Lalu, kemarin itu apa!? Bukankah itu—"


"Itu hanya keisenganku saja."


Kata-katanya kupotong dan aku menjawab dengan tegas.


"Meskipun aku sudah berhenti, aku tetap tidak suka kalah."


"Kau!"


"Konan, hentikan!"


Konan yang sepertinya mau meluapkan amarahnya kepadaku, ditahan oleh teman sekelas lain yang ada di sebelahnya.


"Kau juga sudah keterlaluan, Hirasaka. Kenapa kau tidak mau meladeninya? Atau jangan-jangan apa, seorang yang dulu bercita-cita jadi profesional tidak akan mau melawan pemain biasa?"


Nada bicaranya mengandung kebencian.


Ah, aku ingat. 


Kemarin dia bermain di tim Konan. 


Karena mereka satu tim, pasti mereka memiliki hubungan yang dekat. 


Meski berusaha menahan perkelahian, dia tampak lebih berpihak pada Konan.


"Kurang lebih, begitu."


Saat aku mengatakan itu, dia menghela napas panjang.


"Wah, hebat sekali. Seperti yang diharapkan dari pemain yang sampai muncul di majalah. ...Ayo pergi, Konan. Jangan buang waktumu lagi untuk orang seperti dia."


Lalu, dia mengajak Konan dan pergi menjauh. 


Teman-teman sekelas yang lain juga sama. 


Semua berpaling dariku dengan ekspresi kecewa. 


Mungkin mulai sekarang aku akan dijauhi oleh semuanya—begitu pikirku saat itu.


Tiba-tiba, plak, kepalaku ditampar. 


Ketika aku mendongak, Tonami berdiri di sana.


"Pilih kata-katamu."


Katanya Terlebih Dahulu.


Kau sebenarnya tidak berpikir seperti itu, kan? Kalo kau tidak bisa bertanding dengan Konan, katakan saja alasannya dengan jujur." 


Lanjutnya Sambil Menasihatiku.


"Aku sungguh berpikir begitu. Kenapa aku yang dulunya bertekad menjadi profesional harus menerima tantangan dari pemain amatir?"


"Ah, kau benar-benar mengulang kata-kata Majima, tapi kau tetap keras kepala."


Tonami mengangkat bahu seolah-olah merasa kesal. 


Apa pria tadi bernama Majima?


"Baiklah, kalo kau memang tidak bisa mengatakan alasanmu pada perempuan seperti aku, itu tidak masalah. Tapi, setidaknya berikan penjelasan yang jujur pada mereka."


"Mereka?"


"2 orang itu, Sakakibara dan Shitara."


Saat aku bertanya, dia menjawab seperti itu.


"Kau mungkin bisa menebak dari Shitara, tapi Sakakibara juga, meski wajahnya terlihat pintar, sebenarnya dia tidak akan paham kecuali kau menjelaskannya."


Tonami memang berkata cukup kasar tentang Shitara.


"Tidak akan paham tanpa penjelasan, kah? Kalo begitu, kalo aku tidak menjelaskannya, mereka akan terus menganggapku sebagai orang sombong dan akan menjauhiku."


"Percayalah, mereka benar-benar tidak akan paham."


Setelah mengatakan itu sambil tertawa, Tonami pergi.


Tak lama setelah itu, seperti bergantian dengan Tonami, datanglah Sakakibara dan Shitara. 


Mungkin Tonami menahan mereka terlebih dahulu, lalu datang duluan untuk berbicara denganku.


"Hei, apa maksud dari sikapmu tadi!? Ada alasannya, kan?"


"Ya, jelaskan pada kami."


Keduanya berdiri mengelilingiku yang duduk di tempat duduk ku.


"Kami tidak akan mempercayainya begitu saja. Tidak mungkin Hirasaka seperti itu."


"......."


Jadi, begitulah tipe mereka. 


Rupanya mereka benar-benar tidak paham dan tidak akan bisa mengerti tanpa penjelasan.


★★★


Sepulang sekolah, aku meninggalkan ruang kelas yang atmosfernya sudah terasa tidak enak karena perselisihan antara aku dan Konan, lalu aku langsung menuju rumahku. 


Saat itu, seolah waktunya sudah diatur, sebuah pesan dari Misa muncul di aplikasi chat.


Aku mengeluarkan Hp-ku dari saku celanaku, lalu memeriksa pesannya. 


Aku dan Misa, entah bagaimana, akhirnya saling bertukar ID di aplikasi chat. 


Aku sudah bilang padanya agar dia tidak mengirim pesan untuk hal-hal yang sebaiknya dibicarakan langsung, dan sejak itu, dia benar-benar tidak pernah mengirim apa-apa. 


Ini sebenarnya adalah pertama kalinya dia mengirim pesan setelah saling mengirim pesan percobaan untuk memastikan ID masing-masing. 


Mungkin karena kami bisa bertemu kapan saja, jadi tidak perlu sering-sering berkirim pesan.


"Semoga ini bukan hal yang tidak penting."


Gumamku sambil membuka pesannya tersebut.


"Kau sudah pulang, kan? Kalo kau sudah, datanglah ke lapangan yang biasa." 


"Dia benar-benar tidak memperhitungkan kemungkinan aku pergi bermain dengan teman-temanku."


Tapi memang akhir-akhir ini aku tidak punya kesempatan untuk itu. 


Setelah perselisihan dengan Konan, suasana semakin tidak kondusif. 


Bisa jadi aku memang mulai dijauhi sebagai murid pindahan yang merepotkan.


Pesan berikutnya muncul.


"Kalo kau tidak segera datang, aku akan mengirimimu foto selfie ku yang sedikit cabul."


"Masih saja dia mengatakan itu..." 


Sepertinya aku memang harus segera pergi. 


Rapuh, sebelum aku sempat bergerak, pesan lain muncul—kali ini berupa foto. 


Bahkan foto itu terlihat dengan kulit yang cukup terekspos.


"Wah!?"


Tanpa berpikir panjang, aku langsung menghapus foto itu tanpa melihatnya lebih lama lagi. 


Lalu, dengan cepat aku mengirim balasan.


"Aku akan segera ke sana, jadi jangan kirim yang aneh-aneh lagi."


"Baiklah♡."


Jawabnya dengan kata-kata yang terlihat manis di layar. 


Tapi, mudah bagiku membayangkan Misa tersenyum licik sambil melihat balasanku di layar Hp-nya.


Aku segera berganti pakaian dengan pakaian yang lebih kasual untuk keluar. 


Lalu keluar rumah dan berjalan menuju lapangan. 


Karena aku sudah memintanya agar tidak mengirimi hal-hal yang aneh lagi, seharusnya dia tidak akan mengirimi aku apa-apa lagi. 


Tapi, mengingat Misa, aku tidak bisa benar-benar yakin. 


Jika aku berlari ke sana, dia mungkin akan berpikir aku benar-benar terpancing. 


Jadi akhirnya, aku memutuskan untuk berjalan cepat sebagai jalan tengah.


Sekitar 7 menit kemudian, aku tiba di lapangan yang hanya 10 menit berjalan kaki dari apartemen kami. 


Di sana, Misa sudah menunggu dengan pakaian yang terlihat nyaman dan mudah bergerak. 


Rambutnya yang panjang diikat di belakang leher, dan di tangannya ada bola basket.


"Oh, Seiya-san!"


Saat dia melihatku dia lalu tersenyum lebar. 


Tapi segera saja senyumnya berubah menjadi senyum nakal yang licik.


"Kau cepat juga ya. Sebenarnya aku tidak keberatan kalo kau datang lebih lambat. Aku masih punya banyak stok foto selfieku."


"Diamlah. Jangan pernah mengirim hal semacam itu lagi." 


Aku harus mengatakannya dengan tegas di sini, atau dia pasti akan mengulanginya.


"Jadi, apa kau sudah melihat fotonya?"


"...Tidak. Aku langsung menghapusnya."


Aku menjawab dengan nada dingin, berusaha agar tidak sesuai dengan harapannya.


"Yah, kenapa harus di hapus? Itu pertama kalinya aku mengenakan bikini, lho. Apa kau tidak merasa rugi?"


"...."


Jadi foto itu ternyata fotonya dengan hanya mengenakan bikini.


"Selain itu, bukankah kau sendiri yang bilang kalo kau ingin membandingkannya dengan para idola yang ada di majalah?"


"Perasaan aku tidak pernah bilang begitu! Jangan mengarang."


Dia ternyata menyimpan 'umpan' sejak beberapa hari lalu untuk digunakan sekarang.


"Kalo kau penasaran, nanti tinggal ambil dari tempat sampah, ya? Kalo ada permintaan pose atau kostum, kau bisa langsung beri tahu aku saja."


"Jadi, kenapa kau memanggil ku ke sini?"


Aku memotong perkataannya. 


Meski topik diubah begitu saja, dia tetap tersenyum lebar seolah merasa senang.


"Seiya-san, bisakah kau mengajari ku sedikit tentang basket?"


"Basket?"


Aku mengulanginya sambil berpikir. 


Setahu ku, Misa berhenti bermain basket karena merasa tidak ada lagi alasan untuk melanjutkannya. 


Tapi, di sisi lain, dia masih membawa bola sendiri dan sering datang ke lapangan ini. 


Pertemuan pertama ku dengannya juga terjadi di sini.


"Apa yang ingin kau pelajari?"

 

Senyum di wajah Misa semakin lebar mendengar pertanyaan ku.


"Aku ingin bisa melewati lawan dengan gaya yang keren."


"Dengan gaya keren, ya."


Entah apa itu benar-benar keren atau tidak, tapi hal semacam itu memang menjadi bidang keahlian ku. 


Serangan cepat 1 Vs 1, atau bahkan 1 vs 2, menerobos hingga ke area bawah ring, melewati pemain bertahan, mencetak skor, atau menciptakan peluang tanpa memberi celah bagi lawan untuk menyentuh ku—itulah keahlian seorang pemain seperti Tone Seiya.


"Misa, berikan bolanya."


Dengan singkat, aku meminta bola darinya.


"Oh, baik... Eh!?"


Begitu bola sampai di tangan ku, mata Misa terbelalak kaget. 


Dalam sekejap, aku sudah berhasil melewatinya.


"Inilah yang disebut crossover."


Aku melanjutkan dengan melepaskan tembakan layup dan mengambil bola yang jatuh sambil menjelaskan. 


Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, pertama-tama aku berpura-pura akan melewati sisi kiri Misa dengan langkah kecil sebagai tipuan. 


Lalu, aku memindahkan dribble di depan tubuhku dan melewati dari arah sebaliknya.


Inilah yang disebut crossover.


Gerakan-gerakan ini sebenarnya cukup dasar, sehingga bukanlah teknik tingkat tinggi. 


Tapi, jika setiap gerakan tidak dilakukan dengan tepat, maka crossover tidak akan efektif untuk melewati lawan.


"Pastikan saat melakukan tipuan, kau juga menggerakkan wajahmu. Lalu, saat melakukan front change, usahakan dribble-nya rendah dan cepat, sehingga lawan tidak bisa meraihnya. Terakhir, saat melangkah dengan kaki yang di belakang untuk melewati dari arah berlawanan, pastikan langkahmu lebar."


"..."


Aku menjelaskan poin-poin penting itu, tapi Misa masih tampak terkejut.


"Halo? Kau mendengarku, kan?"


"Maaf. Aku kaget karena kecepatan mu tadi luar biasa..."


"Kalo aku tidak cepat, ya, tidak ada gunanya."


Meski begitu, yang aku lakukan masih dalam level standar untuk pemain SMA putra, dan aku sendiri termasuk unggul di level itu. 


Bagaimanapun, crossover adalah teknik yang sudah menjadi ciri khas Tone Seiya. 


Wajar saja kalo Misa, seorang siswi SMP, merasa terkejut melihatnya dari dekat.


"Kalo memungkinkan, usahakan juga membaca gerakan lawan dengan baik. Jika mereka tidak bereaksi terhadap tipuan pertama, kau bisa langsung melewatinya dengan dribble."


"Apa aku bisa melakukannya...?"


Misa terlihat ragu. 


Teknik ini sendiri sebenarnya tidak terlalu sulit, tapi mungkin karena melihat ku melakukannya dengan sempurna, dia merasa tidak yakin apakah dia bisa menirunya.


"Siapa yang tahu? Kalo kau ingin bisa melakukannya, ya kau harus berlatih terus."


Aku tidak tahu seberapa kemampuan Misa dalam bermain. 


Jadi, aku tidak bisa sembarangan mengatakan, "Kau pasti bisa."


"Misa, sekali lagi." 


Aku kembali ke posisi semula dan mengembalikan bola kepada Misa dengan umpan pantul. 


Misa sepertinya mengerti maksudku, lalu dia kembali melemparkan bola dengan ringan.


"Inilah yang disebut reverse turn."


Setelah menerima bola, aku mulai dengan dribble pendek seolah akan melewati sisi kirinya, lalu berputar dengan membelakangi Misa. 


Pada saat yang sama, aku menguasai bola dengan tangan kanan dan bergerak melewati sisi kanannya.


Kali ini, aku sengaja memperlambat gerakanku untuk memperlihatkan tekniknya. 


Misa, berdiri sebagai pertahanan, mengikuti setiap gerakanku dengan pandangannya.


Setelah melewati sisinya, aku melepaskan tembakan lompat dari jarak yang agak acak.


"Luar biasa. Gerakanmu begitu lincah. Kau memang hebat, Seiya-san."


"Jangan cuma terkesan. Bukannya kau mau mengingatnya?"


Misa menjulurkan lidahnya sedikit sambil mengangguk. 


Begitulah, pelajaran singkat basket mendadak ini pun dimulai.


"Seiya-san, apa kau tidak akan bermain basket lagi?"


Setelah beberapa teknik 1 Vs 1, tiba-tiba Misa mengajukan pertanyaan itu. 


Dia juga mengoperkan bola kembali kepadaku, seakan memintaku melakukan sesuatu selain mengajar.


Dengan sedikit tantangan, Misa mengirimkan umpan yang kuat. 


Untuk menjawab harapannya, aku pun menggiring bola menuju ring.


"Fuh."


Saat mencapai posisi terbaik, aku melompat dan membawa bola ke ring dengan 1 tangan, tanpa pernah menahannya dengan 2 tangan. 


Tapi, bola itu tidak cukup tinggi untuk mencapai ring.


"Tsk."


Dengan sedikit kesal, aku menggerakkan pergelangan tangan, melepaskan bola dengan sedikit jentikan.


"Sudah kukatakan berkali-kali, aku sudah tidak punya niat lagi." 


Setelah Aku mendarat, aku menjawab Misa.


Latihan yang sudah lama kutinggalkan memang berpengaruh pada kondisiku, dan aku merasa kalo kemampuanku mulai menurun.


"Padahal, kau masih sangat hebat."


"Sekarang, cuma ini yang bisa kulakukan."


Di puncak kemampuanku, saat kondisiku prima, pergelangan tanganku hampir menyentuh ring, sehingga aku bisa mendorong bola masuk. 


Istilahnya adalah dunk.


Kalau sekadar kemampuan fisik, mungkin aku masih bisa mencapainya kembali dengan latihan keras. 


Tapi ada hal yang tidak bisa dipulihkan. 


Tahun lalu, saat aku mematahkan lengan dominanku, ada sesuatu yang hilang.


"Sayang sekali. Padahal, aku ingin sekali melihat permainan Seiya-san."


Setelah mendengar jawabanku, Misa berkata begitu dengan sedih.


"Bukankah kau sendiri sudah berhenti bermain basket? Latihan pun rasanya tidak ada gunanya lagi, kan?"


"Memang, tapi... aku hanya ingin sedikit menggerakkan badanku saja."


Misa menjawab sambil tersenyum malu, seolah mencoba menutupi sesuatu. 


Tapu, ekspresi wajahnya lebih mirip senyum yang bercampur kesedihan, dan entah kenapa hal itu membuatku merasa khawatir.


Ada satu hal lagi yang menarik perhatianku.


"Kau ingin menggerakkan badanmu? Apa ada sesuatu yang terjadi?"


Tentu saja, setiap orang punya alasannya sendiri. 


Saat aku merasa ingin berolahraga, biasanya itu karena aku sedang banyak pikiran, dan latihan menjadi caraku untuk melampiaskan. 


Apa Misa juga sedang menghadapi masalah? Atau mungkin dia hanya ingin menikmati olahraga dalam suasana hati yang baik.


"Yah, akhir-akhir ini ada banyak hal."


"Jadi begitu."


Melihat cara bicaranya yang sedikit tertahan, sepertinya hal itu bukanlah sesuatu yang menyenangkan. 


Aku hanya mengangguk pelan dan memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh.


"Seiya-san, bagaimana kalau kita bermain bersama?”


"Hm? Ah, ya, mungkin kalo hanya sebentar..."


Setelah memberikan beberapa teknik dan sedikit berolahraga, tidak ada salahnya menemaninya sedikit lebih lama, pikirku. 


Baru saja aku akan menyetujui ajakannya, Misa berkata,


"Aku bisa menggerakkan badanku dengan cara yang sedikit cabul di kamarmu kalo kau mau."


"Tidak, terima kasih!"


Aku segera menelan kata-kataku sendiri. Hampir saja aku terjebak dalam situasi yang tidak diinginkan.


"Kenapa? Siapa tahu kita bisa menemukan gaya permainan yang cocok untuk ku?"


"Jangan mengungkapkan hal yang tidak senonoh dengan nada seolah-olah kita sedang membahas olahraga!"


"Benarkah? Bagaimana kalo mencoba permainan seperti 'pasangan baru yang sedang berbulan madu' atau 'kencan setelah sekolah dengan seragam'? Itu terdengar sangat sehat, kan? Oh, aku baru saja membeli bikini baru. Bagaimana kalo kita mencoba peragaan bikini pertama kali di kamarmu?"


"Hentikan itu!"


Jika dibiarkan, dia akan terus mengatakan hal-hal yang membuat kepalaku pusing.


"Apa kau benar-benar masih SMP, kan?" 


Semakin lama aku berinteraksi dengannya, semakin sulit untuk mempercayainya.


"Tentu saja. Memang, kalo dilihat dari tubuhku, mungkin aku tidak terlihat seperti itu, tapi aku benar-benar siswa SMP."


"Urusan tubuhmu, aku tidak mau tahu!"


Ketika aku menegurnya dengan tegas, tampaknya reaksiku membuat Misa semakin senang dan sekali lagu dia menunjukkan senyum nakalnya.


"Jangan meremehkan betapa 'dewasa'nya siswi SMP zaman sekarang."


"Itu hanya kau saja."


"Ya, mungkin."


Dengan senyum nakal di wajahnya, Misa malah mengakui itu tanpa ragu. 


Entah itu menjadi pernyataan umum atau hanya berlaku pada dirinya, situasi tetap tidak berubah.


"Pokoknya, selain basket, aku tidak akan menemanimu."


"Baiklah, kalo begitu. Sepertinya aku tidak punya pilihan."


Misa mengatakan itu dengan nada yang tidak terlalu kecewa, lebih seperti dia ingin mundur untuk sementara. 


Sepertinya dia akan kembali membawa topik serupa di lain waktu.


"Tapi, meski ini bukan tentang basket... Aku ingin mengajakmu berkencan, Seiya-san."


"......."


Aku terdiam sejenak. 


Meskipun dia menggunakan kata 'kencan', tapi dia tidak terlihat malu atau ragu, dan sepertinya dia hanya ingin pergi ke suatu tempat tanpa maksud yang terlalu mendalam. 


Di saat yang sama, aku teringat ekspresi wajahnya yang seperti tertawa sambil menangis tadi, dan juga kejadian ketika dia pergi malam-malam sebelumnya. 


Belakangan ini, ada sesuatu yang aneh pada Misa. 


Mungkin dia butuh sesuatu untuk menyegarkan pikirannya.


"Baiklah, ayo kita pergi ke suatu tempat lain kali."


"Benarkah!? Aku senang sekali! Aku benar-benar menantikannya."


Reaksinya lebih antusias daripada yang aku kira, dan aku sedikit terkejut. 


Tapi, melihat dia senang tentu saja tidak buruk.


"Kencannya di luar, atau di rumah?"


"Di luar, tentu saja!"


Aku tidak menyangka dia akan langsung bertanya seperti itu.


★★★



Pada hari Sabtu itu, tepat pukul 10 pagi, aku menekan bel pintu rumah keluarga Kuroe.


"Ya?"


Yang membuka pintu adalah ibu Misa.


"Ah, Seiya-san."


"Selamat pagi. Apa Misa ada di rumah?"


Hari ini adalah hari yang kami janjikan untuk pergi bersama, jadi tentu saja dia ada di rumah, tapi aku tidak bisa memikirkan cara lain untuk bertanya, jadi ini menjadi kalimat pertama ku.


"Ya, dia sedang bersiap. Tidak lama lagi dia akan keluar."


Ibu Kuroe menoleh ke belakang, tersenyum sambil mengatakan itu. 


Sebagai ibu dari Misa, dia sangat cantik. 


Terlebih lagi, dia terlihat muda. 


Rasanya sulit dipercaya kalo dia adalah seorang ibu dari seorang anak yang sudah duduk di bangku SMP. 


Tentu saja, jika melihat hubungan sebab-akibat, bisa dikatakan bahwa Misa mewarisi kecantikan ibunya, yang menjadikannya seorang gadis yang sangat cantik.


"Seharusnya aku ingin Misa pergi bersamaku hari ini, tapi karena kau sudah ada janji dengan Seiya-san, sepertinya tidak ada pilihan lain."


"Bu, kalo kau bilang begitu, Seiya-san bisa merasa canggung."


Dari dalam, Misa keluar. 


Dia mengenakan kaos berkerah V-neck dengan rok pendek, keduanya berwarna cerah seperti musim panas. 


Penampilannya tidak sekaku waktu pertama kali kami bertemu, yang menunjukkan kalo dia tidak terlalu tegang tentang kencan hari ini.


Misa melewati ibunya dan mengenakan sandal mule tanpa kaus kaki.


"Benar juga. Jangan khawatirkan aku, nikmatilah hari kalian. ...Seiya-san, tolong jaga Misa, ya."


"Aku pergi."


Misa diantar oleh ibunya dan bergegas keluar dari pintu depan. 


Aku menundukkan kepalaku sedikit dan menutup pintu.


Kami ber-2 turun tangga menuju lantai bawah. 


Kami berjalan keluar menuju stasiun, dan aku pun bertanya pada Misa.


"Apa kau ada rencana lain hari ini?"


"Tidak apa-apa."


Tapi, dia hanya menjawab singkat begitu saja. 


Cara dia menjawab terasa agak dingin, yang cukup jarang untuknya.


"Tapi, aku pikir—"


"Apa kau ingin aku pergi makan dengan seorang pria tua yang tampan, Seiya-san?"


"......"


Sekali lagi, aku bertambah satu hal yang ingin ditanyakan.


"Eh, Misa, pria tua yang seperti apa—"


"Tunggu, Seiya-san. Sudahkah kau memutuskan ke mana kita akan pergi hari ini?"


Misa sekali lagi memotong perkataan saya.


"......Tidak, aku belum memutuskannya."


Baiklah, nanti saja aku akan menayakanya.


"Hari ini, aku hanya berperan sebagai pengasuh. Jadi, Misa, kau bisa pergi ke tempat yang kau inginkan. Aku akan ikut dengan senang hati ke mana pun itu."


"Eh? Kan aku bilang ini kencan. Sebagai seorang pria, seharusnya kau sudah memutuskan semuanya. Kalo begitu, aku akan kecewa."


Misa marah dengan cara yang imut.


"Kalo begitu, kau juga harus lebih rapi lagi. Penampilanmu tidak jauh beda dengan saat kau datang ke kamarku."


"Tenang saja. Bagian yang tidak terlihat sudah dipersiapkan dengan baik. Kalo suasananya tepat, akan ku tunjukkan padamu."


"Perhatikan penampilanmu di bagian yang terlihat."


Akhirnya, kami naik kereta menuju stasiun utama, berpikir kalo kami pergi ke pusat kota pasti akan ada banyak pilihan tempat.


Tapi, karena hari ini adalah hari Sabtu, kereta cukup penuh. 


Begitu kereta datang tepat waktu dan kami masuk, ternyata kereta tersebut penuh sesak dengan keluarga, sahabat, dan pasangan, sehingga kereta lebih ramai dari yang aku kira.


Sampai saat itu tidak masalah, aku mendorong Misa ke dekat pintu yang sepi dan berdiri di depan Misa agar dia bisa bersandar pada ku, menciptakan jarak yang agak dekat. 


Tidak terlalu dekat, tapi tap saja, jaraknya lebih dekat dari biasanya. 


Kereta yang penuh sesak ini menjadi aneh; kalo orang asing, rasanya tidak masalah, tapi kalo orang yang kita kenal, rasanya jadi canggung.


Selain itu, karena Misa mengenakan pakaian yang agak terbuka di bagian dada, aku merasa sedikit bingung harus melihat ke mana.


"Kereta sangat penuh, ya..."


"Ya, memang."


Misa berkata agak bingung, dan aku menjawab tanpa menoleh, tetap memalingkan kepala ku 90 derajat.


"Tapi, kita akan segera sampai."


"Ya, memang."


Aku menjawab dengan kata-kata yang sama.


"Ngomong-ngomong, Seiya-san, apa lehermu tidak sakit karena terus menoleh ke samping?"


"Tidak masalah, jangan khawatir."


Kenapa dia bisa begitu sadar dengan daya tariknya dan menggunakan itu sebagai senjata, tapi di situasi seperti ini dia malah terlihat tidak sadar dan tidak terlindungi. 


"Ah, mungkin kau merasa malu karena wajahmu sangat dekat dengan wajahku?"


"......Yah, mungkin begitu."


Aku hanya setuju begitu saja, seolah-olah itu sudah cukup, setengahnya karena itu juga memang alasan ku.


"Jangan terlalu dipikirkan. Tidak perlu sungkan, lihat saja ke sini. Kalo kau mau, kau bisa melihat ke bawah sedikit dan menikmatinya sebanyak yang kau mau."


"......"


Ternyata, dia tidak tidak sadar dan tidak terlindungi begitu saja, melainkan dia sengaja bertindak begitu.


Lalu, Misa menarik tubuhnya sedikit dan berbisik di dekat telinga ku.


"Bukankah ini suasana yang bagus? Apa kau ingin melihatnya?"


Dengan santainya, Misa menyelipkan jarinya ke bagian dada bajunya.


"Apa yang bagus dari ini?"


"Benarkah? Bukankah rasanya lebih seru kalo kita melakukannya tanpa diketahui orang di sekitar kita? Apa itu tidak membuat jantung berdebar?"


Misa menggoda ku sambil mengatakan itu.


"......."


"Seiya-san?"


"Kau, berhentilah. Kalo kau begini terus, aku akan turun di stasiun berikutnya dan aku akan pulau."


"Baiklah!"


Ketika aku menatapnya dan mengatakan itu, Misa menjawab seperti anak yang ketahuan sedang bercanda. 


Biasanya, saat seperti ini dia tidak akan benar-benar menyesal, tapi setidaknya dia berhenti melakukan hal bodoh itu.


Aku diam-diam menghela napas.


Sebenarnya, aku menemani Misa hari ini karena aku khawatir tentang dia—tapi ternyata dia sama seperti biasanya. 


Aku merasa seperti telah khawatir dengan sia-sia.


Meskipun Misa baru saja berpura-pura menyesal, kenyataannya jarak kami tetap dekat. 


Aku kembali mengalihkan pandangan ku dari wajahnya dan melihat ke luar jendela kereta.


"Jadi kau tidak mau melihat ke sini, ya?"


Melihat ku seperti itu, Misa tertawa kecil.


"Kau juga pasti merasa canggung kalo melihat orang sepertiku di samping wajahmu, kan?"


"Tidak juga. Aku sih tidak masalah. Justru, aku akan terus melihat Seiya-san."


"Hentikan..."


Karena dia baru saja berpura-pura menyesal, aku rasa dia tidak sedang menggodaku, melainkan di benar-benar mengatakan itu dengan serius. 


Meskipun begitu, menurutku, ada yang salah dengan hal itu.


"Kalo begitu, setidaknya kita berbicara sambil saling melihat wajah. Atau kau merasa malu karena aku sedekat ini denganmu karena aku gadis yang imut?”


"Sungguh, kau akan mengatakan itu?"


Selain itu, yang luar biasa adalah dia tidak mengatakannya dengan penuh percaya diri, melainkan dengan cara yang seolah-olah itu hal yang wajar.


"Yang bilang begitu bukan hanya aku saja, loh? Waktu kita baru bertemu, Seiya-san juga sempat bilang begitu."


"Aku lupa, itu kapan?"


Apa aku pernah mengatakan itu? 


Aku sama sekali tidak ingat, tapi karena Misa yang bilang begitu, mungkin itu memang benar.


"Misa sangat imut, jadi aku malu melihat wajahnya karena dia imut dan itu membuat ku canggung. Yah, bukan berarti itu sepenuhnya bohong."


Aku berkata dengan nada pasrah.


Memang benar, Kuroe Misa itu imut. 


Lebih tepatnya, dia memiliki ciri-ciri wajah seorang wanita cantik yang elegan. 


Seperti yang sering dia katakan, meskipun dia masih kelas 3 SMP, dia cukup tinggi dan memiliki postur tubuh yang bagus. 


Karena itu, wajahnya yang cantik lebih terkesan dewasa, dan lebih tepat jika disebut sebagai 'cantik' daripada 'imut'.


"Seiya-san yang malu, itu juga imut."


Misa mengatakan itu sambil menunjukkan senyum yang sangat menggoda.

Terkadang, dia bahkan terlihat lebih dewasa hingga terkesan memikat, dan itu cukup menakutkan.


★★★


Tak lama kemudian, kami tiba di stasiun terminal.


"Jadi, kita mau ke mana?"


"Seperti yang aku katakan tadi, kau boleh melakukan apapun yang kau mau Misa. Aku akan menemanimu kemanapun kamu pergi."


Aku menjawab sambil memutar leher yang terasa kaku karena terlalu sering menoleh ke samping.


Di tempat seperti ini, hampir semua bisa ditemukan.

 

Kalo dia ingin berbelanja, ada bisa pergilah ke department store atau Center Gai. Kalo dia ingin mencoba makanan manis, dia bisa pergi ke Center Street juga. Ada juga fasilitas hiburan dengan bioskop dan tempat permainan, jadi kalo dia ingin pergi menonton film atau bermain game, kita bisa ke sana.


Tempat ini cukup dekat dengan tempat tinggal ku sebelum aku pindah, jadi aku beberapa kali pernah datang ke sini bersama teman-temanku saat hari libur dari kegiatan klub. 


Dulu, aku merasa tim kami sangat kompak dan memiliki ikatan yang kuat.

 

—Padahal, sebenarnya tidak begitu.


"Kalo ada yang kau inginkan, aku bisa membelikannya untuk mu."


"Benarkah!? "


"Tapi jangan lupa, aku ini masih seorang siswa SMA, oke."


Aku sudah sedikit bersiap, tapi kalo dia meminta barang yang sangat mahal, aku akan kesulitan.


"Kalo begitu, ayo pergi ke department store."


"Baiklah, baiklah."


Aku hanya bisa tersenyum pahit.


Begitu tahu ada kemungkinan untuk membeli sesuatu, semangatnya langsung naik satu level. 


Meskipun penampilannya terkesan dewasa di luar, ternyata di dalam dirinya dia masih seumuran dengan anak seusianya.


"Kalo begitu, apa yang ingin kau beli?"


Saat kami menuju department store, aku dengan santai bertanya pada Misa yang berjalan di sebelahku.


"Aku ingin kau membelikanku pakaian dalam."


"Hei, jangan pikirkan hal bodoh seperti itu."


Aku langsung menjawab.


"Apa itu tidak boleh? Kalo begitu, kau tidak perlu membelinya, tapi tolong pilihkan untuk ku."


"Sebenarnya lebih baik kalo hanya membelikan saja."


Aku sudah mengatakannya, jadi aku tidak punya niat untuk menariknya kembali, tapi meskipun aku rela mengeluarkan uang, aku tidak ingin ikut campur dalam hal seperti itu.


"Karena ini kesempatan langka, aku pikir akan menarik kalo Seiya-san yang memilihkan sesuatu yang cocok untuk ku."


"Tidak mungkin aku bisa mengerti..."

 

Kalo aku punya adik perempuan, mungkin aku akan sedikit mengerti, tapi sayangnya aku tidak punya adik perempuan, bahkan kakak perempuan pun tidak ada.


"Baiklah. Kalo begitu, pilihkan saja apa pun yang kau ingin aku kenakan. Aku sangat bersemangat untuk melihat apa yang akan Seiya-san pilih."


Dengan senyum menggoda, Misa kembali tertawa dengan penuh pesona.


"....Aku akan menolaknya."


Sebenarnya, yang membuatku terkejut adalah aku sendiri, dan berusaha menyembunyikan kegugupanku, aku pun membalasnya.


"Begitu ya? Seperti yang kau lihat, aku diberkahi dengan bentuk tubuh yang baik, jadi aku rasa pilihannya lebih banyak dibandingkan dengan anak-anak seumuranku. Aku juga lebih suka gaya yang lebih dewasa."


"......."


Ku pikir itu memang benar. Seperti yang sempat aku pikirkan sebelumnya, dan seperti yang Misa katakan sendiri, dia memiliki tubuh yang bagus. 


Oleh karena itu, meskipun pakaian yang dipakai oleh siswa SMA, dia mungkin akan tetap terlihat cocok. 


Tapi, seberapa besar perbedaan antara siswa SMP dan SMA, aku sendiri tidak begitu mengerti.


"Baiklah, kalo begitu, mari kita pergi membeli apa yang kau bayangkan itu. Bagaimana, apa yang kau pilih? Pakaian yang dewasa tapi imut? Atau yang seksi? Atau mungkin yang sedikit cabul?"


"Aku tidak membayangkannya apapun!"


Aku menarik tangan Misa dan berusaha mempercepat langkahku menuju department store, sambil mencoba mengusir bayangan yang terlintas di kepalaku.


"Pokoknya, itu dilarang."


"Sayang sekali..."


Misa pun menundukkan wajahnya dengan ekspresi kecewa. 


Tapi, tak lama kemudian dia mendongak dengan ceria.


"Kalo begitu, sebagai gantinya, pilihkan aku pakaian renang."


"Itu juga aku tolak. Lagipula, kau sudah punya kan?"


"Begitukah?"


Misa tertawa, pura-pura tidak tahu. 


Tanggapan itu seperti seorang politisi yang dengan mudah mengkhianati pemilihnya.


[TL\n: anjing ini bukan imptof dari gua ya, ini emang dari rawnya.]


"Kau kan pernah mengirimi foto itu padaku."


"Apa kau sudah melihatnya?"


Misa dengan ceria mengatupkan tangan di depan dadanya dan berputar menghadapku.


"Hei, jangan berhenti di sini. Itu berbahaya."


Kami berada di stasiun terminal, dan lorong yang menghubungkan ke department store penuh sesak dengan orang-orang. 


Ini jelas bukan tempat untuk berhenti.


Aku meletakkan tanganku di ke-2 bahunya, memutar tubuhnya, dan mendorongnya untuk melanjutkan langkahnya.


"Aku tidak melihatnya. Aku langsung menghapusnya."


Jawabku sambil berdiri di samping Misa, yang mulai berjalan lagi


"Kalo begitu, aku akan bersikeras kalo aku tidak punya pakaian renang. Karena kau tidak melihatnya, kau tidak bisa membuktikan aku punya, kan?"


"Jangan bicara dengan logika 

seolah-olah sesuatu yang tidak bisa dipastikan itu tidak ada."


Mungkin ini seperti konsep dalam mekanika kuantum atau kucing Schrödinger, pikirku.


[TL\n: intinya kucing Schrödinger tu adalah kucing imajiner Schrödinger. Eksperimen ini menggambarkan sebuah kucing yang ditempatkan dalam kotak tertutup bersama alat yang dapat membunuhnya, berdasarkan peluruhan atom radioaktif. Jika atom tersebut meluruh, alat akan menghancurkan botol asam sianida yang akan membunuh kucing. Namun, jika atom tidak meluruh, kucing tetap hidup. Menurut teori mekanika kuantum, sebelum kita membuka kotak, atom tersebut berada dalam keadaan "superposisi" antara meluruh dan tidak meluruh. Dengan demikian, kucing berada dalam keadaan "hidup dan mati" secara bersamaan, sampai ada pengamatan yang dilakukan (dengan membuka kotak).Tujuan eksperimen pemikiran ini adalah untuk menunjukkan ketidakkonsistenan ketika mekanika kuantum diterapkan pada skala makroskopis dan mengilustrasikan masalah pengukuran dalam teori kuantum. ]


Pada dasarnya, Misa berusaha untuk mengelak dengan memanfaatkan kenyataan kalo aku tidak bisa memberikan bukti yang jelas. 


Kalo aku mengatakan kalo aku sudah melihatnya, Misa akan sangat senang. 


Artinya, apapun jawaban yang aku berikan, dia bisa mengarahkan percakapan ke arah yang dia inginkan.


"Kalo misalnya aku punya..."


"Tidak perlu kata 'kalo', kau pasti punya."


"Seorang gadis biasanya memiliki 2 pasang pakaian renang."


Misa mengabaikan komentarku dan terus berbicara, sepertinya dia ingin bersikeras kalo dia tidak memiliki satu pun.


"Begitu ya?"


"Benar. Satu untuk dipakai di laut atau kolam renang, satu lagi untuk permainan dengan pakaian renang."


"Aku belum pernah mendengarnya."


Misa, seorang gadis SMP, dengan tegas mengatakan hal-hal yang menggelikan tanpa ragu.


"Sejujurnya, aku juga belum pernah mendengarnya sebelumnya, tapi tiba-tiba itu terlintas dalam pikiranku kalo memang begitulah seharusnya seorang gadis."



"Kau ini..."


Dari mana datangnya pemikiran anehnya seperti itu?


"Bagaimana kalo permainan di kamar, di mana pacarmu memilihkan pakaian renang untukmu, dan kau keluar dengan malu-malu berkata, 'A-aku rasa pakaian ini terlalu berani untukku...'?"


"Kau benar-benar harus menghentikan gaya bercandamu itu."


Beberapa hari lalu, aku hampir gila karena dia mengajukan ide-ide serupa. 


Apa benar dia ini benar-benar seorang siswa SMP? Tidak hanya penampilannya, pikirannya juga tidak seperti anak seusianya. 


Ini mirip dengan pepatah "jiwa yang sehat ada dalam tubuh yang sehat," kan?


Saat aku mulai mengeluh dengan kesal, anehnya Misa tiba-tiba langsung terdiam. 


Aku bahkan bisa melihatnya merajuk, bibirnya sedikit terangkat.


"Misa?"


"Oh, tidak, aku hanya merasa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, tapi kalo kau tidak ingin membicarakannya, aku juga bingung."


"U-uh?"


Apa yang sebenarnya dia bicarakan?


"Pokoknya, sepertinya pakaian renang tidak akan berhasil."


"Ya, itu benar."


Aku menjawab dengan sedikit kehilangan semangat.


"Kalo begitu, meminta Seiya-san yang tidak mengerti perasaan seorang gadis untuk memilihkan pakaian pasti sangat kejam."


"......"


Memang itu terdengar kasar, tapi kalo ada pria seperti itu yang benar-benar mengerti perasaan gadis dan bisa memilihkan pakaian untuk mereka, aku ingin sekali menemui orang seperti itu.


"Kalo begitu, ayo kita pilih aksesori saja, supaya lebih mudah bagi Seiya-san yang tidak mengerti perasaan seorang gadis, bisa mengungkapkan pendapatnya dengan mudah."


"Terima kasih sudah perhatiannya," 


Kenapa dia mengucapkan itu 2 kali? Apa itu begitu penting?


"Jangan minta pendapat dariku. Aku memang bilang kalo aku akan membelikanmu sesuatu, tapi aku tidak bilang akan memilihkan untukmu."  


"Tidak bisa begitu. Tidak ada kencan yang mudah seperti itu. Menjadi pria artinya memberikan pendapat setelah berpikir matang, meskipun pendapat itu tidak akan dipakai sama sekali."


"Itu peran yang menyedihkan, ya... Tapi, ya, aku tidak bisa berkata itu sepenuhnya salah."


Ketika aku masuk SMA dan sempat berpacaran sebentar hingga aku tidak bisa lagi bermain basket, aku pernah diajak berbelanja beberapa kali, tapi tidak ada satupun pendapat yang kuberikan—mulai dari pakaian, aksesori, hingga rasa makanan manis—yang pernah digunakan. 


Sepertinya, seperti yang Misa katakan, begitulah peran pria.


"Seiya-san, berpikir tentang gadis lain saat kencan itu tidak sopan tahu."


"Ah, maaf."


Aku secara spontan meminta maaf, karena dia mengatakannya dengan nada seperti kakak yang sedang menegur adiknya.



Tapi setelah melakukan itu, tiba-tiba aku memikirkannya. 


Apa ini benar-benar sesuatu yang bagus? Bagi ku, ini seperti menjaga seorang gadis tetanggaku saja.


Tiba-tiba, Misa menepuk lengan atasku dengan keras.


"Sakit! Kenapa kau melakukan itu?"


"Aku rasa kau sedang berpikir hal yang tidak sopan." 


"....."


Aku bertanya-tanya bagaimana dia bisa tahu? Apa itu insting seorang wanita?


"Hei, kemana kau pergi?"


Aku langsung memanggil Misa ketika dia tiba-tiba berbelok.


"Aku mau ke Center Gai. Kalo soal barang-barang kecil, tempat di sana lebih bagus."


"Itu benar juga."

 

Meskipun toko barang kecil di department store kebanyakan berisi barang-barang bermerek, Center Gai memiliki lebih banyak toko yang menyasar remaja SMP dan SMA. 


Justru bagi gadis-gadis SMP, mungkin lebih baik berbelanja di toko yang sedang populer di kalangan mereka daripada membeli barang bermerek.


Jadi, aku dan Misa akhirnya sampai di sebuah toko aksesori di Center Gai. 


Kami masuk tanpa banyak ragu, jadi sepertinya dia sering datang ke sini.


Aku merasa dia mungkin akan merasa canggung jika aku terus menemaninya, jadi aku memilih untuk pergi sebentar dan melihat-lihat toko sendirian.


Aku ingin memilihkan sesuatu untuk Misa, tapi seperti yang diharapkan, aku tidak bisa menemukan apa pun yang bisa membuatku merasa yakin bahwa itu cocok untuknya atau dia akan bahagia. Aku sudah lama mengabdi pada bola basket, dan sejak itu aku menjadi mayat hidup, jadi aku sepertinya tidak punya perasaan terhadap hal semacam itu.


Ketika aku menyerah dan kembali ke Misa, dia tampak sangat khawatir.


"Ada kau bingung?"


"Ah, Seiya-san... Ya, aku agak bingung mau pilih yang mana."


Misa menoleh mendengar suaraku dan menjawab dengan wajah bingung.


"Yang mana dan yang mana?"


"Gantungan kunci dan kalung."


Di tangannya, ada gantungan kunci berbentuk kucing, dan sebuah kalung dengan motif pita.


"Gantungan kunci? Apa itu untuk dipasang di kunci?"


"Tentu saja tidak hanya itu. Itu bisa dipasang di tas, atau resleting tempat pensil, banyak tempat lain yang bisa. Dan ini bisa dibawa ke sekolah juga, itu yang bagus."


"Hmm."


Aku sendiri tidak pernah berpikir untuk mendekorasi tasku karena aku selalu membawa tas olahraga, jadi aku tidak memiliki perasaan seperti itu.


"Sebaliknya, kalung ini tidak bisa dipakai ke sekolah, tapi aku ingin punya satu untuk musim panas yang lebih hangat. Seiya-san, menurutmu yang mana yang lebih baik?"


"Kenapa kau tanya aku? Aku yakin kau tidak akan kau mendengarkan saranku."


Aku tidak melupakan apa yang kukatakan beberapa menit yang lalu.


"Yah, memang begitu sih. Cuma sebagai formalitas."


Misa tersenyum lebar tanpa rasa bersalah. 


Sepertinya dia benar-benar berpikir kalo percakapan seperti ini memang harus seperti itu.


"Ini tidak adil... baiklah, aku beli akan membelikanmu keduanya."


"Eh?"


Misa menatapku dengan wajah terkejut..


"Karena kau bingung, aku rasa pasti kau mau keduanya. Jadi, aku akan membeli keduanya. Dengan begitu, aku tidak perlu memberikan pendapat, kan?"


Sebenarnya, harga yang tertera di gantungan kunci dan kalung itu tidak terlalu mahal. 


Karena ini toko yang menyasar remaja SMP dan SMA, mungkin Misa tanpa sadar memilih barang yang sesuai dengan anggarannya. 


2 barang ini, jika dijumlahkan, sedikit lebih dari jumlah yang kupikirkan untuk ku keluarkan. 


Jadi, lebih baik aku membeli keduanya dan masalah selesai.


"Apa itu baik-baik saja!?"


"Tentu saja."


"Benarkah?! Terima kasih banyak!"


Misa terlihat sangat senang dan matanya berbinar.


Aku merasa senang melihat dia begitu bahagia, tapi di sisi lain, aku merasa sedikit kasihan pada diriku sendiri dan menyesal telah memutuskan apakah akan membelinya berdasarkan harga atau tidak


Di saat seperti ini, aku ingin menjadi pria yang membuat keputusan karena ingin melihat orang lain bahagia, bukan karena harga.


"Ayo, belilah sebelum aku berubah pikiran."


Karena merasa canggung ketika dia begitu senang, aku terburu-buru menyuruhnya membeli barang itu.


Kami memanggil pramuniaga dan menyelesaikan pembayaran.


"Terima kasih. Aku pasti akan menjaga dengan baik."


Misa berkata begitu, lalu dengan hati-hati dia menyimpan barang yang dibungkus itu ke dalam tasnya.


Dia terlihat sangat senang.


"Kau cukup imut juga, ya."


"Eh? Kenapa tiba-tiba begitu?"


Kata-kata yang keluar tanpa sengaja dari mulutku membuat Misa bingung. 


Wajahnya sedikit memerah.


"Kalo melakukan itu, kau terlihat imut seperti anak SMP"  


"M-moo, tolong jangan bilang hal aneh seperti itu..."


Misa semakin tersipu dan dia menundukkan kepalanya.


Tadi, dia sendiri yang mengatakan kalau dirinya imut. 


Mungkin sebenarnya dia agak lemah ketika dipuji secara langsung.


"Kalungnya akan saya pakai pada kencan kita berikutnya."


"Ah, akan ku tunggu dengan senang hati."


Tentu saja, kalo ada kesempatan.


"Atau, bagaimana kalo aku hanya memakai kalung dan tidak memakai pakaian?"


"Apa? Apa kau punya penyakit yang akan membunuhmu jika kamu tidak mengatakan hal seperti itu secara teratur?"


Aku merasa kesulitan untuk menyeimbangkan situasi ini, meskipun tadi aku memang mengatakan dia imut.


★★★


Pada siang hari, kami masuk ke sebuah kedai untuk makan. 


Pilihan tempat ini tentunya dari Misa, yang mengatakan kalo ini adalah kedai roti dan kopi bergaya Skandinavia. 


Kami sudah selesai memesan—di hadapan Misa terdapat 2 roti yang dia pilih setelah banyak berpikir, sementara di hadapanku ada 3 jenis roti yang berbeda. 


Minumannya adalah cortado, sejenis kopi espresso yang sepertinya menjadi minuman khas Skandinavia.


Ketika Misa memilih roti, aku tidak ikut campur sama sekali. 


Sebaliknya, dia malah memutuskan roti yang akan kupilih. Aku sudah bisa menebak kalo nanti dia pasti akan meminta sedikit dari roti-rotiku.


Saat kami mulai makan, aku melihat Misa sedang sibuk mengobrak-abrik tasnya di seberang meja. 


Aku kira dia akan mengeluarkan sesuatu, tapi ternyata...


"Ini dia. Lihat, Seiya-san. Ini imut, kan?"


Misa menunjukkan tasnya yang kini dilengkapi dengan gantungan kunci berbentuk kucing yang baru saja kami beli. 


Gantungan kunci itu terpasang pada resleting tasnya.


"Ya, imut kok."


"Benar kan? Aku juga pikir begitu."


Misa tersenyum senang.


Sejujurnya, Misa yang terlihat begitu polos dan bahagia juga terlihat imut.


Tapi, tiba-tiba ekspresinya berubah menjadi murung. 


Dia mengarahkan tasnya ke arahnya sendiri dan menatap gantungan kunci itu dengan serius.


"Ada apa?"


Apa gantungan kuncinya tergores?


"Benarkah kau tidak menyesal sudah membelikan 2 barang ini untukku...?"


Begitu kata Misa.


"Ah, itu sih tidak masalah. Sejak awal aku memang sudah berniat untuk membelikanmu sesuatu. Jujur saja, ke-2 barang itu masih dalam anggaran yang sudah aku siapkan, jadi kautidak perlu khawatir. Kalo kau masih mengkhawatirkan itu, anggap saja salah satunya sebagai hadiah ulang tahunmu."


Aku tidak tahu kapan tepatnya ulang tahunnya, tapi...


"Ulang tahun ku nanti tanggal 14 Maret loh!"


"Wah, ternyata masih lama... Kau baru 14 tahun juga kan?"


Padahal, masih ada waktu sekitar 3 bulan lagi hingga saat itu.


"Ya, aku umur ku baru 14 tahun. ...Bagaimana, menurutmu? Gadis 14 tahun yang dewasa, bergaya, dan sedikit nakal, bagaimana?"


"Yang itu sih, benar-benar tidak ingin aku sentuh."


Tidak ada yang tahu kapan kita bisa berubah menjadi seorang pelaku kejahatan.


"Jadi, seperti apa mantan pacarmu yang pernah kau pacari sebelumnya?"


"Jangan bilang 'pacari'. Itu terdengar buruk... Kenapa kau menanyakan hal itu?”


"Sebagai pacarmu yang sekarang, aku rasa wajar saja kalo aku ingin tahu tentang mantan pacarmu, kan?"


"Siapa yang bilang kau pacar ku sekarang?"


Mungkin, seperti yang Misa katakan, perasaan ingin tahu tentang mantan pacar adalah hal yang normal bagi seorang gadis. 


Tapi, dalam konteks ini, premisnya jelas salah.


"Ah, sekarang kau akhirnya merespon, ya."


"Apa yang kau maksud?"


"Jadi, seperti apa orangnya? Cantik, kah?"


Misa benar-benar tidak peduli dengan pertanyaanku, dan dengan cara yang santai, dia malah melanjutkan pertanyaannya. 


Aku menghela napas dan kemudian menjawab.


"Ya, dia memang cantik tanpa ragu. Pintar, penuh perhatian...tapi dia sedikit terlalu terobsesi dengan merek-merek terkenal."


Baginya, pacar adalah aksesori. 


Terutama atlet yang memiliki prestasi, yang dianggap merek yang sangat jelas. 


Dan, salah satu merek yang terbaik adalah 'Tone Seiya' yang berada di tingkat nasional. 


Itulah kenapa ketika aku berhenti bermain basket dan kehilangan nilaiku, dia dengan mudah meninggalkanku.


Aku menceritakan hal itu seakan itu bukan masalahku lagi.


"Seiya-san, apa kau juga berpikir kalo kau sudah tidak berharga lagi?"


Setelah mendengar ceritaku, Misa bertanya dengan nada yang agak kesal.


Aku pikir dia akan menanyakan tentang mantan pacarku, tapi dia malah bertanya tentang diriku.


"Entahlah. Setidaknya, aku pasti merasa kehilangan hal yang selama ini aku anggap sebagai segalanya. Sekarang, aku merasa tidak ada yang tersisa lagi."


Basketball adalah segalanya bagiku. 


Aku merasa seolah-olah aku dilahirkan untuk itu. 


Faktanya, aku memiliki bakat yang luar biasa di bidang tersebut dan diharapkan memiliki masa depan yang cerah.


Tapi, aku kehilangan semuanya.


"Tapi, kau tidak benar-benar berhenti, kan? Kau sudah mengajariku banyak hal, menunjukkan permainan yang luar biasa."


"Itu tidak seberapa. Aku jauh lebih hebat setahun yang lalu. Tapi, aku takkan bisa kembali menjadi diriku yang dulu."


"Kalo begitu, seakan kau bilang kalo hanya kejayaan masa lalu yang punya nilai."


Misa berkata dengan tajam.


"Jangan menyerah pada dirimu sendiri. Bukankah Seiya-san masih punya masa depan?"


"......"


Aku terdiam sejenak. 


Setelah berpikir, aku akhirnya membuka mulut.


"...Tidak. Aku sekarang ini hanya sekadar kerangka kosong."


Atau mungkin, seperti mayat hidup.


Begitu aku mengatakannya, Misa menghela napas kecil.


"Aku kecewa denganmu, Seiya-san."


"Maafkan aku."


Aku hanya bisa membalas dengan itu saja—dan akhirnya, percakapan ini pun berakhir di situ.


★★★


Setelah makan siang, kami kembali ke Center Gai. 


Kali ini, kami tidak memiliki tujuan khusus, jadi kami hanya memasuki toko-toko yang menarik perhatian kami dan sekadar melihat-lihat. 


Selama kami membicarakan hal-hal seperti 'ini lucu' atau 'itu lucu', percakapan berjalan lancar. 


Tapi, begitu percakapan tersebut berhenti—misalnya saat kami bergerak menuju toko berikutnya—suasananya menjadi sedikit canggung. 


Mungkin interaksi kami di toko tadi memengaruhi suasana hati kami. 


Meskipun tidak sepenuhnya canggung, kami ber-2 terlihat enggan mencari topik pembicaraan.


(Ah, ini agak merepotkan...)


Sambil berpikir begitu, aku berjalan bersama Misa yang sedang mencari toko lainnya. 


Lalu tiba-tiba,


"Tone!"


Suara yang memanggil nama lamaku. 


Saat aku menoleh untuk melihat siapa orang itu, ada tiga anak SMA seusiaku.


Aku langsung mengenali wajah mereka.


Tentu saja, mereka adalah teman-temanku dari klub basket yang sama di sekolah lamaku yang baru saja aku tinggalkan.


(Takasu, Mizuno-senpai, dan Shibusawa-senpai...)


Aku memikirkan nama-nama mereka satu per satu.


"Sudah lama tidak bertemu." 


Orang yang mengatakan ini dengan tatapan nostalgia adalah Mizuno-senpai, yang bertubuh kecil untuk seorang pemain basket. Posisinya adalah point guard.


"Benar juga. Senpai apa kalian semua libur hari ini?" 


"Ya, begitulah. Kami hanya jalan-jalan saja." 


Saat aku melihat wajah tersenyum bahagia Mizuno-senpai, aku tersadar.


"Jadi, kalian menang pertandingan ya?" 


"Ya, begitullah." 


Sudah menjadi tradisi di klub kalo tim menang dalam pertandingan, latihan akan dibatalkan untuk sehari sebagai hadiah. 


Jadi, hari ini pasti adalah hari libur setelah kemenangan tersebut.


"Kalo kau sendiri, sedang apa di sini?" 


Orang berikutnya yang bertanya adalah Takasu, yang paling tinggi di antara mereka. 


Dia satu angkatan denganku dan bermain di posisi center. 


Melihatnya yang sedang bersama 2 senpai lainnya, sepertinya dia sudah menjadi pemain inti tim sekarang.


Sambil berbicara, Takasu melirik Misa.


Artinya, pertanyaannya bukan hanya sekadar pertanyaan biasa. 


Dia bertanya siapa gadis yang ada di sampingku.


"Aku hanya jalan-jalan dengan anak tetangga." 


"Wah, dia sangat imut!"  


"Mungkin."  


Tidak ada keraguan kalau dia imut, jadi aku setuju, tapi dengan syarat dia berperilaku seperti siswa SMP.


"Hey, Tone." 


Kemudian, seolah-olah telah mengambil keputusan, Shibusawa-senpai, yang selama ini diam, angkat bicara. 


Dia bermain di posisi small forward, sama seperti ku.


"....."


Tapi, dia tidak melanjutkan kata-katanya.


Sepertinya, orang yang pertama kali memanggil namaku adalah Shibusawa-senpai. 


Jadi, pasti ada sesuatu yang ingin dia katakan.


"Apa kau masih bermain basket?"


Akhirnya, dia bertanya juga. 


Ah, ini benar-benar merepotkan.


"Aku sudah berhenti."  


Karena terlalu merepotkan, jadi aku membalasnya.


"Apa kau sudah berhenti...?"  


"Ya, aku berhenti. Senpai pasti ingin aku berhenti kan? Jangan-jangan, meskipun kalian ingin aku berhenti dari klub, kalian sebenarnya berharap aku tetap melanjutkan di tempat lain, kan?" 


Aku berkata dengan nada sinis.


Karena perasaan malas, aku akhirnya melontarkan kata-kata itu. 


Mizuno-senpai dan Takasu terkejut mendengarnya. 


Di sampingku, aku bisa merasakan Misa yang menatapku dengan terkejut.


Tapi, reaksi paling mencolok datang dari Shibusawa-senpai. 


Dia menahan diri, menggigit bibirnya dengan kuat.


"Sepertinya kau ingin meminta maaf, tapi itu tidak perlu, senpai. Tapi, kata-kata senpai yang dulu, 'Kau jelek' dan 'Kalo kau tidak bisa melakukan itu, mending kau berhenti saja' masih terngiang di telingaku." 


"...Untuk itu, aku minta maaf. Waktu itu aku..." 


Shibusawa-senpai mulai berbicara, tapi aku langsung memotongnya.


"Seperti yang aku katakan tidak perlu minta maaf."  


"Sebenarnya, saat itu aku juga sudah berpikir untuk berhenti dari basket." 


"Hah?" 


Takasu terdengar kebingungan.


"Semua orang mulai menjauhiku, dan aku juga ingin berhenti. Jadi, itu adalah kesempatan yang tepat untuk ku berhenti. Sebenarnya, basket itu cuma untuk gaya-gayaan saja. Aku pikir, 'Olahraga apa yang bisa membuat gadis tertarik padaku?' Terus aku bingung antara basket dan sepak bola, tapi aku tidak mau kotor-kotoran bermain bola, jadi aku memilih basket." 


"Apa kau serius?" 


Takasu memelototiku dengan kemarahan yang terlihat jelas. 


Dia dan aku satu angkatan, dan kami berlatih bersama. 


Mungkin dia tidak menyangka aku punya pemikiran seperti itu.


"Tentu saja,"  


"Setelah mencoba, ternyata aku punya bakat yang tidak terduga, bahkan sampai ada liputan majalah. Setelah berhenti, aku tetap populer, keren kan? Aku menjadi pahlawan yang tragis yang harus menyerah pada mimpinya di tengah jalan. Par gadis-gadis suka dengan itu. Bahkan gadis ini, aku 'terkena perangkap ku' di sini hari ini."  


Itu akan berakhir jika Misa mengatakan sesuatu pada saat ini, tapi aku berasumsi dia mungkin tidak akan mengatakan apa-apa.


"Aku kecewa ternyata kau seperti itu." 


Kata Mizuno-senpai.


Hari ini sepertinya aku sedang dipandang dengan rasa kecewa oleh banyak orang.


"Begitu ya. Tapi, Mizuno-senpai, kau juga...tidak, semua senpai dulu, sedikit banyak pasti pernah mengejekku. Sebenarnya, ada beberapa senpai yang kalo bertanding 1 vs 1, mungkin mereka bahkan kesulitan melawan aku waktu itu. Mizuno-senpai, bagaimana menurutmu? Kalo menurutku, kita seimbang." 



"Hei, kau...!"


"Cukup, Mizuno." 


Mizuno-senpai mencoba menyerangku, tapi Shibusawa-senpai menghentikannya.


"Ayo pergi." 


Shibusawa-senpai terlihat kecewa dan membalikkan badannya, diikuti Mizuno-senpai yang menggerutu dengan nada kesal. Tinggal Takasu yang masih berdiri di tempat.


"Tone..." 

 

"Jangan pasang wajah seperti itu, Takasu. Kau harus tetap percaya diri, seperti saat bertanding." 


Takasu adalah pemain yang selalu berani dan percaya diri dalam bermain di bawah ring. 


Tapi, melihat wajahnya yang kini penuh kekecewaan, aku bisa merasakan betapa kecewanya dia terhadapku.


"Semuanya merasa sangat terpukul. Mereka tidak menyangka kau sampai pindah sekolah. Yang paling sedih mungkin adalah Asamiya-san." 


Aku terdiam.


Asamiya Makoto. 


Gadis yang dulu pernah menjadi pacarku.


"Jadi dia baru menyadari betapa pentingnya aku setelah dia kehilangannku ya? Itu terlalu klise. Tapi bukankah itu wajar? Saat aku sedang terpuruk menghadapi kenyataan yang pahit, aku justru menjadi bahan tertawaan. Tentu aku ingin pergi dan memulai hidup baru." 


"Tone, aku..." 


Takasu mencoba berkata sesuatu.


"Takasu! Cepat kesini!" 


Teriak Mizuno-senpai, suaranya terdengar seperti sedang menahan amarah.


"Sebaiknya kau pergi," 


"Ah, iya, aku mengerti. Aku akan menghubungimu nanti." 


Setelah mengatakan itu, Takasu, kemudian berlari mengejar ke-2 senpainya.


Tanpa melihat kepergian mereka, aku membalikkan badanku.


"Bagaimana kalau kita pergi juga?"


"......."


Misa tidak berkata apa-apa.


★★★


Di hadapanku berdiri sebuah objek keras yang tampak seperti terbuat dari kaca, menjulang tinggi. 


Objek ini ditempatkan menembus hingga lantai 3 di tengah pusat perbelanjaan. 


Saat musim Natal tiba, hiasan-hiasan seperti pohon pun dipasang padanya. 


Aku dan Misa melihatnya dari lantai 2, melewati pegangan tangga.


"Maafkan aku. Aku jadi memperlihatkan hal yang tidak pantas."


Kami hanya terdiam sambil memandang objek itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. 


Tapi, akhirnya aku mulai berbicara.


"Aku bukan gadis yang bisa dianggap gampangan seperti itu."


"Itu sebabnya aku minta maaf."


Sepertinya dia tersinggung dengan skenario yang kubuat tadi tentang 'gadis yang mudah didekati.'


"Dan kau juga bukan orang yang bisa dianggap ringan begitu saja, Seiya-san."


Misa marah.


"Seiya-san adalah seseorang yang telah berdedikasi pada basket, bekerja keras lebih dari siapa pun, dan berhasil meraih pencapaian besar."


"......"


Misa benar-benar marah.


"Nah, Misa. Kau tahu tentang diriku yang dulu, kan?"


"Ya..."


Ketika aku bertanya, dia menganggukkan kepalanya. 


Sepertinya memang begitu. 


Dari ucapan-ucapannya sejauh ini, aku sudah mulai merasa kalo dia mengetahui sesuatu. 


Bahkan tadi siang, kata-kata 'kejayaan masa lalu' membuatku curiga, dan jika kupikirkan lagi, ucapan Misa saat pertama kali bertemu, "Dulu kau bermain basket, kan?" juga terasa aneh. 


Itu menunjukkan dia tahu kalo aku sudah berhenti bermain basket.


"Pertama kali aku melihat Seiya-san adalah saat aku baru masuk SMP."


"Berarti, waktu itu aku kelas 3 SMP."


"Betul. Saat itu aku belum bermain basket dan masih bergabung dengan klub tenis. Tapi kebetulan, aku melihat pertandingan yang diikuti oleh Seiya-san."


Aku sendiri tidak ingat pernah bermain melawan SMP di Akademi Shoseikan. 


Mungkin dia menonton salah satu pertandingan kami melawan sekolah lain.


"Itu luar biasa. Meski kau dijaga oleh 2 pemain lawan setiap kali memegang bola, kau tetap bisa mengatasi mereka dengan mudah. Aku tidak bisa berpaling sedetik pun dari mu."


Misa akhirnya melepaskan pandangannya dari objek itu dan berbalik ke arahku, seolah ingin menyampaikan perasaannya yang dalam. 


Aku juga berpaling setengah badan, bersandar pada pegangan dan menghadap ke arahnya.


Saat aku kelas 3 SMP, namaku sudah dikenal di seluruh negeri. 


Pertahanan terhadap Tone Seiya selalu dilakukan dengan berani—para lawan harus siap mendapat hukuman karena pelanggaran, dengan melakukan penjagaan ganda yang hampir menjadi satu-satunya cara melawanku.


"Permainan yang kulihat saat itu masih terbayang jelas hingga kini, dan malam itu aku sangat bersemangat hingga aku tidak bisa tidur. Oh, tapi jangan tanya apa yang kulakukan ketika tidak bisa tidur, ya?"


"Tak perlu mengungkit hal yang tidak penting begitu!"


Aku merasa seperti mendengar kata-kata yang menakutkan, dan aku buru-buru membalikkan tubuhku kembali ke arah objek di depan kami. 


Saat itu, kudengar Misa terkikik pelan.


"Tak lama setelah itu, aku berhenti dari tenis dan bergabung dengan klub basket."


"Itu tindakan yang sia-sia...."


Berbeda sekolah, berbeda pula jenis kelaminnya, meski Misa memulai basket, bukan berarti itu bisa membuatnya lebih dekat denganku.


"Ya, itu memang tindakan yang sia-sia. Tapi, aku tetap mulai bermain basket karena aku ingin sedikit saja lebih dekat dengan mu, Seiya-san. Aku cukup tinggi, dan meskipun alasannya kurang murni tapi sangat tulus, aku berkembang cukup cepat meski mulai terlambat dibandingkan teman-teman di angkatanku."


Misa kembali memalingkan pandangannya ke arah objek itu, lalu mengenang masa lalu.


"Saat itu aku terpikir, mungkin akan bagus kalo aku masuk SMA yang sama dengan mu."


"Lalu bagaimana kalo aku masuk sekolah terkenal di Tohoku atau semacamnya?"


"Tentu saja aku akan mengejar mu. Lalu berpura-pura bertemu secara kebetulan, mulai mengobrol seolah kita satu kampung halam, dan...akhirnya jatuh cinta sesuai rencana."


Misa mengatakan itu dengan wajah serius.


"Kau ini...."


"Jangan marah. Ini hanya khayalan biasa anak SMP perempuan."


Aku menghela napas, sementara Misa tersenyum kecil.


"Oh, dan aku punya 3 eksemplar majalah bulanan basket yang memuat artikel tentang mu. Karena aku menjaganya dengan baik, eksemplar pertama pun masih terlihat seperti baru."


"Bakar saja majalah seperti itu."


kataku dengan santai. 


Yah, setengah dari diriku benar-benar serius. 


Kini hal itu hanyalah noda dari masa laluku.


"Untungnya, atau mungkin sayangnya, Seiya-san akhirnya masuk SMA yang cukup dekat, jadi itu semua tidak terjadi. Tapi—"


Saat itu suara Misa terdengar gelap dan suram.


"Seiya-san tiba-tiba menghilang dari dunia basket."


"......."


Iti di musim gugur tahun lalu, mungkin.


"Itulah sebabnya aku juga berhenti bermain basket."


"Jangan salahkan aku. Bukankah kau sudah menjadi lebih baik? Kenapa kau tidak terus bermain saja?"


"Aku tidak bermaksud menyalahkan siapa pun. Tapi, aku mulai bermain basket untuk lebih dekat dengan Seiya-san. Jika aku tetap di sana saat Seiya-san berhenti, jarak antara kita akan semakin jauh."


Alasan itu terdengar masuk akal, tapi juga tidak sepenuhnya logis. 


Misa pernah mengungkapkan hal ini sebagai 'kehilangan makna untuk melanjutkan.'


"Aku mendengar kabar kalo kau cedera, kan?"


"Iya."


Aku mengangguk.


"Ada kecelakaan kecil, dan lengan kananku patah."


"Lengan dominanmu?"


"Iya. Butuh 2 bulan untuk pulih. Aku cedera di pertengahan musim panas dan kembali bermain di musim gugur. Tapi saat itu, tubuhku tidak lagi bisa bergerak seperti sebelumnya."


Kini giliran aku yang bercerita.


Patah tulang di lengan domiman telah merenggut kemampuan pengendalian bolaku yang dulu sangat halus, itu mengganggu keterampilanku dalam melakukan operan, menggiring bola, dan melepaskan tembakan. 


Itu menjadi kerugian besar bagi gaya bermainku, di mana aku biasanya menerobos pertahanan lawan untuk langsung mencetak poin atau menarik perhatian pemain bertahan untuk menciptakan peluang dengan operan yang tepat.


Akibatnya, aku tidak bisa lagi bermain seperti dulu.


Aku yang pernah dianggap bintang dalam dunia basket SMA, diam-diam bahkan terang-terangan menjadi sasaran ejekan dari para senpai yang mungkin selama ini menyimpan rasa iri. 


Mereka menyebutku "tidak berguna," atau mengatakan "Sepertinya Tane sudah habis."


Untungnya aku tidak pernah jatuh sampai ke level amatir. 


Hanya saja permainan jadi sedikit kurang berkilau. 


Bahkan pada masa itu, mungkin ada banyak senpai yang tidak bisa mengalahkanku dalam pertandingan 1 Vs 1. 


Tapi, bagi mereka itu tidak penting, yang terpenting adalah kesempatan untuk menjatuhkan pemain baru yang berbakat.


Yang paling keras mengejekku adalah Shibusawa-senpai. 


Karena kami sama-sama bermain di posisi forward, kami bersaing untuk posisi inti. 


Setelah siswa kelas 3 tahun itu pensiun, aku menjadi penghalang terbesar bagi Shibusawa untuk mengamankan tempatnya di tim inti.


Akhirnya, aku tidak bisa lagi bertahan dalam situasi itu dan memutuskan mundur dari klub.


Walau alasan utama aku berhenti bukanlah ejekan para senpai, melainkan karena aku tidak bisa menerima kenyataan kalo aku tidak lagi bisa bergerak seperti dulu.


Sekolah itu memang tidak punya sistem beasiswa, tapi aku tahu betul guru pembimbing klub sangat berharap agar aku tetap bermain di sana. 


Tapi, setelah aku keluar dari klub, aku merasa terasing, lalu di saat yang bersamaan, orang tuaku membahas tentang perceraian mereka. 


Dengan dalih itu, aku meninggalkan sekolah tersebut.


Dengan begitu, aku kehilangan segalanya dan seperti menjadi bayangan dari diriku yang dulu, hingga akhirnya tiba di kota ini.


"Aku sangat terkejut. Siapa sangka Seiya-san pindah ke kota ini, apalagi tinggal di sebelah apartemen ku. Ketika aku melihatmu di lapangan, aku sampai merasa seolah bermimpi."


"Kenapa kau berpura-pura tidak mengenalku?"


"Kau sudah berhenti dari basket dan sampai pindah sekolah. Aku pikir Seiya-san ingin memulai kembali dari awal."


Apa dia berpikir kalo kehadiran seseorang yang mengenal diriku di masa lalu akan mengganggu usahaku untuk melupakan segalanya?


"Kau terlalu memujiku. Tidak ada keinginan sedikit pun dalam diriku untuk memulai hidup baru. Aku hanya ingin menghabiskan sisa hidupku tanpa tujuan di sini."


"Benarkah? Tapi menurutku, masih ada semangat dalam diri Seiya-san untuk basket. Kau begitu bersemangat saat mengajariku, dan ketika berdiri di garis lemparan bebas, kau juga melakukan shoot dengan penuh keseriusan."


"......."


Apa tantangan lemparan bebas aneh itu adalah ujian bagiku?


"Aku ingin bertanya sekali lagi padamu. Apa Seiya-san hanya hidup di masa lalu? Apa benar-benar tidak ada lagi yang kau inginkan untuk masa depan?"


Misa kembali memandangku dan bertanya. 


Apa kau hanya berharga di masa lalu? Apa kau tidak berniat menjadi seseorang yang berharga lagi ke depannya?


Aku menatapnya sekilas, lalu menjawab.


"Kau terlalu keras kepala, Misa. Sudah kubilang, aku ini hanya bayangan diriku yang dulu. Setelah kehilangan basket yang merupakan seluruh hidupku, yang tersisa hanya bayangan kosong."


"Begitukah…..."

 

Misa merosotkan bahunya dan membalikkan tubuhnya ke arah objek seni itu.


Keheningan menyelimuti kami sesaat.


"Tadi..."


Akhirnya, aku membuka suara, mencoba mencari waktu yang tepat.


"Menurutmu kenapa aku mengatakan hal itu pada mereka?"


"Aku tidak tahu."


Misa menggeleng kepalanya.


"Mungkin Taka—dia yang tinggi dan terakhir pergi tadi, benar. Saat itu mereka membuatku jadi bahan tertawaan... Tapi, ketika akhirnya aku keluar dari klub dan sampai pindah sekolah, barulah mereka menyadari apa yang sudah mereka lakukan. Jadi, mereka ingin meminta maaf."


Faktanya, Shibusawa-senpai, yang menjadi pemimpin ejekan itu, berusaha mengucapkan kata maaf.


"Mungkin bagi mereka, sekadar mengatakan 'maaf' sudah cukup untuk menenangkan perasaan mereka. Tapi bagaimana denganku? Aku yang sudah jatuh, bahkan dipukul saat tenggelam, tidak bisa mengakhiri semuanya dengan sesederhana itu. Maka dari itu, aku tidak membiarkan mereka meminta maaf."


Itu saja alasanku.


"Apa itu membuatmu merasa lebih baik?"


"......."


Aku terdiam mendengar pertanyaan Misa.


".....Sebenarnya, mengatakan hal itu pun membuatku ingin muntah."


"Pastinya. Itu bukan sifat Seiya-san. ...Tapi, kupikir itu menunjukkan betapa kau terluka. Karena itu, meski mungkin tidak baik, aku tidak bisa menyalahkanmu."


"Begitu ya. Terima kasih."


Sepertinya dia masih bisa memahami perasaanku, meskipun itu tidak membuat tindakanku bisa dibenarkan sepenuhnya. 


Walau begitu, sedikit ada perasaan lega di dalam diriku.


"Lalu... maaf ya."


"Maaf untuk apa?"


"Karena orang yang kau kagumi, Tone Seiya, ternyata begini."


Pasti dia sangat kecewa karena orang yang menjadi alasannya mulai bermain basket ternyata hanyalah manusia yang kecil seperti ini.


"......"


Tapi, tidak ada jawaban dari Misa.


Aku sebenarnya tidak memaksa untuk mendapat jawaban apa pun darinya, jadi kami kembali terdiam, hanya menatap objek seni di depan kami.


Setelah beberapa saat, aku melihat jam di layar kunci Hp-ku, waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore.


"Ayo pulang. Kalo terlalu malam, nanti ibumu akan khawatir."


Lagipula, aku sedang menemani seorang anak SMP. 


Rasanya ini waktu yang pas untuk pulang, jadi aku mengajak Misa.


"......"


Tapi lagi-lagi, dia tidak memberi respon apa pun.


Bahkan, tanpa sengaja aku melihat Misa menggenggam pegangan tangan dengan erat, seolah enggan untuk meninggalkan tempat ini. 


Merasa tidak ada pilihan, aku pun menjauh sejenak darinya, lalu duduk di bangku kosong yang ada di dekat situ. 


Dengan posisi seperti 'Pemikir' karya Rodin, aku mengamati Misa dari belakang.


[TL\n: buat yang penasaran gayanya ke apa kalian bisa klik ini]

 

Apa yang sedang dia pikirkan? 


Wajahnya tertutupi oleh rambut panjang, jadi aku tidak bisa melihat ekspresinya dari sini. 


Apa dia memasang wajah muram yang beberapa kali kulihat akhir-akhir ini? 


Belakangan ini tingkahnya sering aneh, dan aku jadi sedikit khawatir.


Tapi, tidak ada gunanya jika aku hanya mengkhawatirkan sesuatu tanpa tahu alasannya. 


Paling baik memang segera membawanya pulang.


Setelah sekitar 30 menit, aku berdiri.


"Misa, sudah cukup. Ayo pulang."


Aku meletakkan tanganku di bahunya sambil mengajaknya dengan lembut.


"Tidak..."


"Apa?"


"Aku tidak ingin pulang..."


"Misa?"


"Aku tidak ingin pulang."


Aku menatap Misa yang berkata lirih sambil tetap menundukkan pandangannya ke tangannya yang memegang pegangan tangan, seolah tidak ingin melepaskannya.


"Misa, apa yang—"


"Ahaha, bercanda kok, bercanda."


Misa tiba-tiba berbalik menatapku, menunjukkan senyum lebarnya.


"Hah?"


Aku secara refleks memandangnya dengan terkejut.


Melihat reaksiku, dia lalu tersenyum nakal.


"Hm? Apa tadi kau pikir aku ingin bilang sesuatu seperti 'Malam ini aku tidak mau pulang' begitu? Wah, Seiya-san, jangan terlalu berharap ya. Sekalipun aku terlihat dewasa, punya penampilan menarik, dan agak menggoda, aku ini masih berumur 14 tahun, lho. Akan gawat kalau kau macam-macam."


[TL\n: gua curiga keknya ni si Misa bakalan kena drama deh.]


"Kau ini..."


Aku merasa lelah mendengar kata-kata Misa yang seolah menegurku untuk sesuatu yang bahkan tidak aku pikirkan sama sekali.


"Oh, tapi kalo Seiya-san mau, aku bisa saja mempertimbangkannya, lho? Aku punya pakaian dalam baru yang sengaja kubeli untuk kesempatan seperti ini. Kalo kau mau, aku bisa memamerkannya dengan wajah malu-malu sambil bilang, 'Se-sebenarnya, ini membuatku sedikit malu...'"


"Sudah kubilang berhenti bicara yang seperti itu! ...Sudahlah, ayo pulang."


"Baik!"


Aku segera berbalik, dan Misa hanya menjawab dengan nada riang sambil berjalan di sampingku.


"Kemudian, Seiya-san pasti akan bilang, 'Kalo kau menutupnya, aku tidak bisa melihat apa-apa' dan—"


"Hentikan! Jangan lanjutkan lagi!"


Dengan begitu, kencan kecil kami akhirnya berakhir.


Tapi, hari ini belum benar-benar selesai.



Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال