Kamu saat ini sedang membaca Shū 4 de heya ni asobi ni kuru shōakuma gāru wa ku bittake! (GA bunko) volume 1 chapter 5. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw
GADIS IBLIS KECIL TIDAK MAU PULANG
Pukul 7 malam, saat makan malam di rumah.
"Bagaimana tadi, dengan Misa-chan? Kau sudah berusaha jadi kakak yang baik, kan?"
Ibuku bertanya dari seberang meja makan.
"Entahlah. Aku sempat membelikannya beberapa barang yang dia mau."
"Itu tidak berarti kau sudah jadi kakak yang baik hanya dengan membelikannya barang yang dia mau, kan?"
"Aku tahu."
Tapi, sosok seperti apa yang disebut sebagai 'kakak yang baik' untuk gadis seperti iblis kecil itu?
Apa sama-sama seperti iblis, atau justru harus seperti seorang dewa atau manusia suci?
"Meski begitu, Misa-chan terlihat lebih dewasa daripada Seiya. Jadi mungkin justru dia yang bisa jadi kakakmu."
"Tolong hentikan."
Posisiku jadi terasa terancam.
"Dia benar-benar bisa diandalkan. Ibu bersyukur kalo misal ibu pulang terlambat, Ibu masih bisa mengandalkannya untuk menyiapkan makan malam untuk Seiya."
Bagaimana mungkin orang yang sudah dewasa malah bergantung pada gadis SMP yang tinggal di dekat rumahnya?
"Misa itu masih anak-anak, Bu."
Saat kubelikan barang yang dia mau, dia terlihat sangat senang.
Dia masih anak-anak sampai taraf itu.
"Kalo terlalu bergantung padanya, kasihan juga."
"Oh, iya juga ya..."
Dan meski dia masih anak-anak, sepertinya dia punya sesuatu yang sedang dia pikirkan.
Apa itu, aku belum tahu.
★★★
Tepat sebelum jam 8 malam bel rumahku berbunyi.
Saat itu, aku sedang berada di kamarku, tapi aku bisa mendengar ibu menjawab interkom dan berjalan ke arah pintu depan.
"Seiya, Seiya!"
Tak lama kemudian, aku mendengar suara ibuku memanggilku.
Saat aku keluar dari kamar, aku tidak melihat ibu di sana, jadi kemungkinan dia di pintu depan.
Aku pergi ke arah pintu dan menemukan ibu di sana bersama dengan ibu Misa.
Wajahnya terlihat pucat, dan perasaanku mulai tidak enak.
"Ah, Seiya, apa kau tahu di mana Misa? Dia belum datang ke sini, kan?"
Dengan wajah cemas, Bibi bertanya padaku.
Aku menatap ibu, dan dia balik menatapku dengan ekspresi serius.
"Apa Misa tidak ada di rumah?"
"Iya, betul. Saat aku sedang memasak untuk makan malam, dia diam-diam keluar. Aku kira dia hanya keluar sebentar untuk jalan-jalan dan akan segera kembali..."
Tapi hingga jam segini, dia masih belum pulang, ya.
"Apa Bibi sudah coba menelponnya?"
Aku bertanya, dan Bibi menggeleng kepalanya pelan.
Kemudian, dengan suara bergetar, dia berkata,
"Kalo sampe terjadi sesuatu pada anakku, aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya pada suamiku yang telah tiada..."
Air mata mengalir di pipinya.
"Anak itu..."
Dengan perasaan kesal, aku mengalihkan pandangan dari 2 ibu-ibu di hadapanku dan kembali masuk ke dalam rumah.
"Seiya?"
"Aku akan mencarinya."
Melewati ruang tengah, aku masuk ke kamarku, cepat-cepat mengganti baju, memasukkan Hp dan dompetku ke dalam saku.
"Kalo aku menemukan sesuatu, aku akan menghubungimu."
Aku mengatakan itu sambil menuju pintu, kemudian bergegas keluar.
Di jalan, aku mencoba menelepon Misa—tapi dia tidak menjawab.
"Bahkan aku pun tidak diangkat. Apa yang sedang dia lakukan..."
Aku bisa mengerti kenapa Misa tidak mengangkat telepon dari ibunya.
Pasti ada sesuatu yang terjadi di rumah.
Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku yakin ada masalah.
Mungkin jika aku bertanya pada Bibi, dia bisa memberitahuku apa yang terjadi.
Tapi, aku memutuskan untuk tidak menanyakannya, karena itu tidak akan membantu menemukan Misa.
Kupikir jika telepon dari ibunya tidak diangkat, mungkin dia akan mengangkat telepon dariku—tapi sepertinya dugaanku salah.
Aku pun menuju lapangan biasa tempat dia berlatih.
Tapi tidak ada tanda-tanda Misa di sana.
Yang kutemukan hanyalah sebuah bola basket yang tersangkut di antara ring dan papan.
Kejadian seperti ini memang kadang terjadi.
Kalo sudah begitu, satu-satunya cara untuk mengambilnya adalah dengan melempar bola lain atau dengan seseorang yang cukup tinggi untuk melompat menjangkaunya.
Aku tidak yakin apa itu bola milik Misa atau bukan.
Lagipula, sudah gelap dan bola basket terlihat hampir sama.
Tapi jika itu memang bola Misa, pasti dia kesal.
Dia tidak punya bola lain untuk melempar, dan meskipun dia melompat setinggi mungkin, dia tetap tidak akan bisa mencapainya.
Membayangkan Misa yang sedang frustasi membuatku merasa tidak tega.
Aku harus menemukannya secepat mungkin.
Tapi, ke mana aku harus mencarinya?
Toko favoritnya, tempat penuh kenangan, teman yang bisa dia andalkan saat seperti ini... Sayangnya, kami baru saling mengenal selama 2 minggu, dan aku tidak tahu tempat-tempat itu.
Jadi, aku mulai membayangkan situasinya dan mencoba menebak.
Mungkin awalnya Misa datang ke sini untuk berolahraga.
Saat berlatih, bola basketnya tersangkut, dan dia tidak bisa mengambilnya.
Saat sedang bingung, mungkin perasaan cemas dan masalah yang mengganggunya belakangan ini kembali muncul, membuatnya merasa seolah semua hal tidak berarti lagi.
Akhirnya, mungkin dia memutuskan untuk meninggalkan bolanya dan berjalan pergi tanpa arah...
Jika begitu, ke mana dia akan pergi?
★★★
"Misa"
Ketika kupanggil namanya, tubuh Misa sedikit tersentak.
Dia menoleh ke belakang dengan dengan ragu.
"Seiya-san, bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini...?"
Kami berada di depan objek seni di dalam gedung pusat perbelanjaan, tempat yang pernah kami datangi sebelumnya.
Saat itu, aku dan Misa hanya berdiri tanpa tujuan di depan objek tersebut, berbicara tentang hidup tanpa merasa terkesan dengan seni yang ditampilkan.
Sekarang, Misa berdiri tepat di tempat yang sama seperti saat itu.
"Kupikir kalo Misa, mau pergi ke suatu tempat hari ini, aku rasa kau akan ke sini."
Seandainya kalo ini terjadi pada hari lain, aku mungkin tidak akan tahu harus mulai mencari dari mana.
"Bibi sangat khawatir. Ayo kita pulang."
"Tidak. Aku tidak mau pulang."
Misa menjawab tanpa keraguan.
"Apa ada sesuatu yang terjadi di rumahmu?"
"......."
Meski kutanya, Misa hanya tutu mulut.
Dulu, dia juga mengatakan hal yang sama di tempat ini.
Sekarang, aku mengerti kalo kata-katanya saat itu bukan lelucon.
Dia terlihat teguh dengan keputusannya.
"Baiklah, kau tidak perlu mengatakannya, dan saat ini kau juga tidak perlu pulang."
"Eh...?"
"Tapi, setelah aku menemukanmu seperti ini, aku tidak mungkin meninggalkanmu sendirian. Kalo kau ingin terus melihat objek ini, silakan lihat sepuasnya. Kalo kau ingin pergi ke tempat lain, aku akan ikut denganmu."
Setelah mengatakan itu, aku lalu duduk di bangku terdekat.
Aku memang sudah berjanji akan mencarinya, dan kini aku sudah menemukannya.
Sebenarnya, tugasku adalah membawanya pulang, tapi karena dia menolak, aku tidak punya pilihan.
Tapi, meninggalkan dia sendirian juga bukanlah pilihan yang baik.
Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah menemaninya.
Misa itu cerdas.
Dia pasti mengerti kalo situasi ini tidak bisa berlangsung lama.
Aku tidak tahu apa masalah yang dia hadapi, tapi aku yakin pikirannya akan tenang besok pagi.
"Benarkah...?"
"Iya. Meski begitu, tempat ini akan segera tutup."
Gedung ini akan di tutup pukul 21.00.
Ini sudah hampir waktunya, dan hanya sedikit pengunjung yang tersisa.
Tidak lama lagi, kami juga harus segera keluar.
"Kalo begitu, ada tempat yang ingin aku kunjungi."
"Silakan."
Sekarang ini ada banyak tempat yang buka selama 24 jam.
Ada restoran cepat saji, kafe manga, dan karaoke.
Beberapa tempat mungkin jarang dikunjungi oleh seorang siswi SMP, tapi ini bisa menjadi kesempatan bagi Misa untuk mengunjungi tempat yang membuatnya tertarik.
Dengan begitu, suasana hatinya mungkin akan lebih baik, dan dia akan lebih mudah mengatasi pikirannya.
Misa tidak membawa dompetnya.
Dari ceritanya, aku bisa menebak kalo dia sampai di sini dengan menggunakan kartu IC transportasi yang dia simpan di casing Hp-nya.
Pertama-tama, aku mengajaknya ke restoran cepat saji untuk makan malam, karena sejak siang tadi dia belum makan.
Setelah makan, ternyata dia ingin pergi ke tempat yang tidak terduga...
"Kenapa malah ke tempat ini?"
Aku bergumam dengan kesal.
Saat ini, Misa sedang mandi.
Kaca di sekitar kamar mandi ini entah kenapa lebih transparan daripada kaca rumahan biasanya, sehingga pergerakan seseorang di dalam cukup terlihat.
Suara air juga terdengar jelas seolah-olah tidak ada peredam suara.
Tempat ini adalah sebuah penginapan dengan tingkat anonimitas yang tinggi, di mana orang bisa menginap tanpa ditanya identitasnya.
Tempat yang biasanya disebut dengan istilah 'hotel cinta'.
[TL\n: tempat esek esek kelamin]
"Kenapa aku harus masuk ke tempat seperti ini dengan seorang siswi SMP? Kalo ketahuan, bisa-bisa aku langsung kena masalah."
Aku menggerutu lagi sambil mengalihkan pandangan dari kamar mandi.
Di dalam ruangan, ada sebuah tempat tidur ukuran double yang terlihat sangat bersih.
Ruangan ini juga memiliki cermin besar yang menutupi seluruh dinding, mungkin agar terlihat lebih luas, meski rasanya itu cukup berlebihan.
"Benar juga, aku harus menelepon Bibi."
Aku ingat kalo aku harus memberi tahu ibunya kalo Misa sudah ditemukan.
Karena aku tidak punya nomor teleponnya, aku memutuskan untuk menelepon ke rumahku.
"Halo, Ibu? Misa sudah kutemukan."
Aku berbicara di tempat yang paling jauh dari kamar mandi agar suara air tidak terdengar.
"Syukurlah."
"Tapi, dia bilang kalo dia belum mau pulang sekarang."
"Eh? Tapi...kalo begitu..."
Ibuku terdengar ragu.
"Aku mengerti. Kalo memaksanya pulang juga tidak akan ada gunanya. Jadi, aku akan menemaninya sampai pagi. Kalo suasana hatinya sudah lebih baik, aku akan membawanya pulang. Tolong sampaikan itu ke ibunya."
"Baiklah."
Aku bisa mendengar kelegaan dalam suara ibuku.
"Sekarang kalian ada di mana?"
"......"
Tentu saja aku tidak cukup bodoh untuk memberitahu lokasi kami yang sebenarnya.
"Seiya?"
"Maaf. Sepertinya sinyalnya agak buruk... Misa bilang dia ingin mandi, jadi sekarang kami ada di warnet. Tenang saja, aku akan tetap menjaga dan memastikan dia tidak pergi ke tempat yang aneh."
Yah wala saat ini kami justru sudah berada di tempat yang sebenarnya agak aneh.
"Begitu. Baiklah, jaga Misa-chan baik-baik ya. Aku akan memberi tahu ibunya dari sini."
"Ya, terima kasih."
Saat menyadari keadaan sekeliling, suara air di kamar mandi sudah berhenti.
"Lihat, Seiya! Ini pertama kalinya aku memakai jubah mandi."
Tak lama kemudian Misa keluar dengan mengenakan jubah mandi.
Dia mengenakan jubah mandi putih.
Dia terlihat sedikit bersemangat entah karena baru selesai mandi atau karena dia bersemangat berada di tempat yang baru.
"Kalo dari luar, apa kamar mandinya terlihat jelas? Atau justru hanya samar-samar dan membuat orang jadi membayangkan yang macam-macam?"
"Aku tidak melihat, jadi tidak aku tahu."
Jawabku, sambil aku mencoba mengalihkan pandanganku darinya.
"Ah, tolong perhatikan aku baik-baik! Nah kalo begitu aku punya tebakan untukmu, Seya-san. Menurutmu, di bawah jubah mandi ini aku pakai apa?"
Saat Misa mengatakan itu, Dengan santai dia membuka kedua lengannya.
"Aku tidak tahu. Sudahlah, hentikan lelucon bodohmu itu, lebih baik kau cepat tidur."
"Masih terlalu dini untuk tidur. Aku kan bukan anak kecil lagi. Atau kau pikir anak kecil bisa ke tempat seperti ini, Seiya-san?"
Katanya sambil terkekeh.
"Baiklah, ini jawabannya."
Kemudian, dia perlahan melepaskan ikatan obi dan membiarkan jubah mandinya jatuh kelantai.
"Hei, apa yang kau lakukan?"
Aku terkejut melihat Misa, apa yang kulihat di mataku adalah Misa yang hanya mengenakan pakaian dalamnya.
"Di drama-drama, mereka biasanya tidak memakai apa-apa di balik jubah, jadi aku ingin mencobanya. Tapi ternyata rasanya kurang nyaman, jadi aku tetap memakai pakaian dalamku."
"Baiklah, aku mengerti, aku mengerti. Sekarang, pakai lagi jubahnya,"
Kataku sambil memalingkan muka.
"Kalo kau bersikeras, aku bisa memakainya lagi, tapi pertama-tama katakan padaku apa pendapat mu tentang pakaian dalam ini terlebih dahulu."
"Kenapa kau harus melakukan itu ......?"
"Oh, begitu. Kalo begitu, aku akan tetap seperti ini sampai pagi. ...Ah, apa kau memang bermaksud membuatku melakukan itu?"
Suara yang sangat berkilau terdengar di daun telingaku.
"...... Oke, aku mengerti. Aku mengerti, kalo aku memberitahu apa pendapatku kau akan memakainya lagi kan?"
"Ya...... Tapi, tolong lihat aku dan katakan dengan benar, oke?"
Akumenghitung sampai 3 dalam pikiranku dan kemudian menatap Misa.
Dia berdiri dalam pose di mana dia memegang siku lengan kirinya dengan tangan kanannya.
Pipinya memerah, berlawanan dengan pertukaran yang menggoda sampai sekarang, yang dia lakukan selama ini.
Dan kemudian, ada tubuhnya.
Bagian atas dan bawahnya berwarna putih elegan.
Celana dalamnya berukuran kecil dan hampir seperti tali di kedua sisi pinggang.
Ada simpul di sana.
Pada awalnya aku pikir celana dalam dalamnya memiliki ukuran kecil dan imut, tapi segera aku mempertimbangkannya kembali karena itu agak sensasional.
Sebaliknya, bra itu menutupi payudaranya dengan sangat baik, sedemikian rupa sehingga aku tidak dapat mengetahui seberapa besar volumenya.
Bukan dengan cara yang aneh, tapi apak ini yang disebut pakaian dalam orang dewasa?
"Bagaimana apa kau menyukainya, ......?"
"Oh, ya, menurut ku itu indah."
Ketika aku ditanya, aku mengatakan itu sambil terus memandang tubuh telanjang Misa."Eh, apa itu berarti kau sedang memberikan pendapat tentang tubuh ku?"
"Eh? Oh, mungkin begitu...?"
Saat itu aku baru menyadari kalo aku telah terpesona dan tidak bisa melepaskan pandangan ku dari tubuh telanjangnya, lalu aku buru-buru mengalihkan pandangan ku.
"Seiya-san, kau benar-benar imut, ya."
Misa tertawa kecil.
"Lalu—bagaimana menurutmu?"
"Hmm, menurutku, itu sangat cocok untuk mu. Tapi, bukankah itu agak terlalu dewasa? Atau mungkin, untuk seorang murid kelas 3 SMP, itu sudah biasa?"
Sayangnya, aku tidak punya referensi mengenai sampel yang bisa dibandingkan, baik itu siswa SMP atau siswa SMA.
"Bagaimana, ya? Aku tidak tahu untuk yang lain, tapi aku sendiri suka memakai yang seperti ini dan aku bahkan punya beberapa yang seperti ini. Biasanya aku memakai ini saat aku ingin berdandan."
"Ja-jadi, begitu...?"
Membayangkan kalo dia sering memakai pakaian seperti itu, jantung ku berdegup kencang.
Tapi, aku segera sadar.
"He-hei, dengar, aku sudah memberikan pendapatku. Sekarang, pakailah itu dengan benar."
"......."
Tidak ada jawaban.
"Misa? ...Wah!"
Ketika aku merasa curiga, dan berusaha mengalihkan pandangan ku ke arahnya, tiba-tiba tangannya menarik ku.
Aku terjatuh ke atas tempat tidur dan seketika, aku mendapati diri ku terjatuh dengan Misa berada di atas ku.
Dia mengenakan pakaian dalam dan memandang ku dari atas.
"K-kau...Apa yang sedang kau lakukan...?"
"Ya sudah jelas. Ini adalah hal yang sesuai untuk tempat seperti ini. ...Seiya-san, maukah kau melakukan sesuatu yang nikmat denganku? Ah, dalam hal ini, mungkin lebih tepatnya sesuatu yang cabul?"
Misa tertawa kecil dengan cara yang menggoda.
"Berhentilah bersikap bodoh."
"Ini bukan hal bodoh, kan? Aku juga tertarik dengan hal-hal yang berbau seksual. Aku ingin tahu bagaimana rasanya disentuh oleh orang yang aku sukai. Apa itu lebih menyenangkan dibandingkan menyentuh diri sendiri...Seiya-san, kau akan membantuku memenuhi rasa ingin tahu ku, kan?"
Wajah Misa dengan senyum menggoda semakin mendekat.
"Berhenti. Kau bertingkah aneh dari tadi."
Aku meraih bahu Misa dan menghentikannya.
"Benarkah? Aku hanya mengajak melakukan hal yang sesuai di tempat seperti ini. Bukankah itu hal yang wajar?"
"Tidak ada yang wajar di sini! Umurmu berapa sih?!"
"Sudahlah! Lagipula, kenapa harus kita harus memikirkan itu sekarang?"
Misa menggeliat dan mengayunkan tangannya untuk melepaskan diri dari cengkeraman ku.
Itu adalah gerakan yang kasar, seolah-olah dia sedang marah.
Seperti...
"...Kau ini kenapa jadi kesal begini?"
Tiba-tiba, gerakan Misa berhenti seketika.
"Bukanya aku kesal atau apa. Lagipula, aku ini anak dari ibu ku. Jadi, aku memang seperti ini.”
"Pembicaraan apa ini?"
"Kau tahu? Ibu ku akan menikah lagi, lho."
Misa berkata sambil tersenyum sinis, dengan sudut bibirnya terangkat.
Ekspresinya terlihat seperti campuran antara tertawa dan menangis.
Ah, jadi itu masalahnya.
"Baiklah, ceritakan saja. Aku akan mendengarkanmu.”
"......."
"Kalo kau tidak menceritakannya, aku tidak akan tahu. Atau kau merasa tidak punya kewajiban untuk memberitahuku?"
Misa diam, lalu menggelengkan kepalanya.
"Jadi, apa kau akan menceritakannya?"
Misa mengangguk.
"Kalau begitu, pastikan kau memakai itu dengan benar."
Kemudian, seolah dia akhirnya sadar, wajahnya memerah.
★★★
Dengan mengenakan kembali jubah mandi, Misa duduk di tepi tempat tidur.
Biasanya dia duduk dengan punggung tegak dan anggun, tapi sekarang wajahnya tertunduk dan bahunya terkulai.
Aku duduk di kursi yang ku ambil dari meja di samping.
"Ibu ku, sepertinya di akan menikah lagi."
"Orang macam apa dia? Apakah dia orang yang tidak disukai Misa?"
Misa menggelengkan kepalanya.
"Dia orang yang sangat baik. Dia terlihat penyayang dan dia benar-benar peduli dengan ku. Dia mengatakan kalo istrinya meninggal pada usia dini sebelum dia dapat memiliki anak, jadi dia sangat ingin memiliki seorang putri."
"Apa dia pria yang kau sebutkan sebagai 'paman yang baik' itu?"
"Ya..."
Dengan kata lain pria yang makan bersamanya, dan mungkin yang akan dia temui lagi hari ini, ternyata adalah calon suami ibunya.
Karena mereka mengatur pertemuan seperti itu, sepertinya ibu Misa tidak menyembunyikan pembicaraan tentangnya dari Misa.
"Jadi, apa yang membuatmu tidak suka?"
Tampaknya dia bukan orang jahat.
Dia tidak hanya peduli pada ibu Misa, tapi juga dia menginginkan seorang putri dan peduli pada Misa.
Sejauh yang ku dengar, pernikahan ini bukanlah hal yang buruk.
"Kalo ibu menikah lagi, apa itu berarti dia akan melupakan ayah?"
"..."
"Apa itu keluar? Jika ada ayah, ibu, dan anak, apa itu yang disebut keluarga?"
Misa pernah bertanya kepadaku tentang itu sebelumnya.
Apa itu keluarga.
"Sudah ku bilang kan, aku tidak mengerti hal-hal yang muluk seperti itu. Jadi, tunggu saja jawabanya. Sekarang, izinkan aku berbicara tentang diri ku."
"Tentang cerita Seiya-san, ya?"
"Yup."
Yang sebenarnya adalah cerita tentang keluarga Tone yang hancur.
"Ibu ku, meskipun aku yang mengatakan ini sebagai anaknya, adalah orang yang luar biasa. Dia sangat sempurna dalam pekerjaannya dan pekerjaan rumah tangga. ...Mungkin dia tidak sebaik ibu mu."
"Tidak, ibu mu memang orang yang luar biasa."
"Terima kasih."
Meskipun begitu, jika semuanya sempurna, aku rasa ibu tidak akan pernah meminta tolong kepada gadis-gadis di sekitar untuk menyiapkan makan malam untuk anaknya...Tapi, mungkin kita bisa mengatakan kalo itu termasuk dalam rangkaian dukungan ketika dia tidak bisa melakukannya sendiri, dan itu juga bisa disebut sempurna.
"Tapi, sepertinya ayahku tidak menyukai itu. Kadang-kadang, ketika ada hal-hal yang ibu lakukan yang kurang sempurna, ayah akan marah pada ibuku seperti api yang membakar."
Mungkin itu sebenarnya adalah cerminan dari kompleksitas dalam dirinya.
"Karena itu, ibuku yang semakin frustrasi akhirnya mulai membalas omelan ayah. Pada awalnya, ibu hanya diam menerima kemarahan ayah, tapi lama kelamaan dia mulai membalasnya. Dari sudut pandang ayah, ibu yang bisa mengurus rumah dan pekerjaan dengan sempurna, namun tidak punya daya tarik, semakin membuatnya marah."
Ketika aku naik ke SMA, keduanya sering terlibat perdebatan.
"Lalu, suatu ketika, ayah akhirnya mengangkat tangannya pada ibuku."
[TL\n: maksudnya mukul.]
"Eh?"
Misa terkejut dan membuka matanya.
"Sebenarnya, karena aku langsung melangkah di antara merekaa, ibu tidak sampai terluka. Tapi, akibatnya, lengan ku patah."
"Ja-jadi itukah kecelakaannya?"
"Ya."
Aku mengangguk.
Seperti yang pernah ibu katakan, mungkin aku memang sedang sial.
Ayah yang sebelumnya hanya berteriak-teriak, kali itu untuk pertama kalinya melampiaskan kemarahan dengan kekerasan.
Tidak dengan menggunakan alat seperti pemukul baseball atau stik golf, hanya menggunakan tangan kosong yang dilakukan secara impulsif.
Tapi, entah karena tempat yang salah atau cara saya jatuh yang salah, lengan ku patah.
"Yang paling terkejut adalah ayahku. Selain kenyataan kalo dia pertama kali menggunakan kekerasan, dia juga tanpa sengaja menghancurkan masa depan ku sebagai bintang bola basket SMA yang sangat diharapkan. Dia merusak masa depan anaknya sendiri. ...Oh, aku malu mengatakan kalo aku sebagai bintang."
Aku tersenyum kecut, dan Misa juga tersenyum kecil.
Sisanya seperti yang sudah aku ceritakan pada Misa.
Luka ku sembuh dan aku berhasil kembali ke latihanku yang biasanya, tapi aku tidak bisa bermain seperti dulu dan akhirnya aku berhenti bermain basket.
Dan itu menjadi salah satu alasan perpisahan ayah dan ibu.
"Pada akhir tahun, mereka mendaftarkan perceraian mereka dengan terburu-buru, menyelesaikan berbagai prosedur, dan pada bulan Juni, akhirnya aku dan ibu menjadi keluarga tunggal. Sejak saat itu, aku merasa wajah ibu sedikit berbeda."
"Wajah, maksudmu?"
Misa memiringkan kepalanya.
"Sepertinya ibu berpikir kalo dia harus membesarkan ku seorang diri mulai sekarang. Bisa dibilang itu adalah tekad atau keteguhan hatinya. Di dunia ini, ada orang yang lulus SMP dan menjadi mandiri. Aku berada pada usia di mana dia bisa meninggalkanku sendirian dan mulai menjadi dewasa."
Sebaliknya, aku seharusnya yang mendukung ibu ku.
Aku tertawa pahit.
"Misa, apa kau pernah melihat ibumu menangis?"
"Tidak. Tidak pernah."
"Begitu kan? Berbeda dengan keluarga kami, ibumu sudah lebih awal menjadi ibu tunggal. Dia harus membesarkanmu yang masih kecil, jadi tidak ada waktu untuk menangis atau meratapi nasib."
Itu mirip dengan ibu ku.
Dia merasa kalo dia harus membesarkan Misa.
"Tapi, ibumu menangis karena kau pergi."
"?!"
Misa terkejut dan menahan napas.
"Dia berkata, 'Jika sesuatu terjadi pada Misa, apa yang harus ku katakan pada ayahnya yang sudah tiada?'"
"Ibu..."
[TL\n: bre gua tau ini kedengarannya kaya gua sok tau, tapi bre, kalo kalian punya masalah jangan kalian badindang masalah itu dengan masalah org lain, mungkin aja masalah kalian cuman masalah kecil bagi mereka, dan bre jangan berharap kalian ingin bertukar posisi dengan org lain, walaupun kalian bisa bertukar posisi dengan org lain, gua yakin kalian tidak akan mampu menanggung masalah org tersebut, maknanya bre kalian harus menjadi diri kalian sendiri, nikmati masalah itu, masalah itu pasti akan berlalu dengan sendirinya, kalian harus menjalani hidup dengan lebih baik dari yang kemarin, jadilah versi terbaik dari diri kalian.]
Misa menundukkan wajahnya, menggenggam jubah mandinya dengan erat.
Air matanya jatuh di telapak tangannya.
Aku menunggu sejenak sebelum membuka mulutku lagi.
"Tentu saja, Bibi adalah ibu Misa, jadi dia orang yang cantik."
Aku menjaga nada suara ku sedikit lebih ringan.
"Jadi, pasti ada orang yang akan jatuh cinta padanya, dan ibu mu pun bisa jatuh cinta pada seseorang dan menemukan kebahagiaannya lagi. Misa kan sudah dewasa, jadi kau pasti bisa memahami itu, kan? Atau kau hanya terlihat dewasa, tapi sebenarnya kau masih seperti anak-anak?"
Setelah aku bertanya seperti itu, Misa menggelengkan kepala.
"...Aku mengerti. Aku juga ingin ibu ku bahagia..."
"Benar. Aku juga ingin ibuku mengejar kebahagiaan dan kesenangannya sendiri, daripada menghabiskan hidupnya hanya untuk menjaga dan merawatku."
Aku mengatakan itu dengan serius.
Aku mencoba menyampaikan perasaan Misa juga, aku percaya kalo kata-kata ku bisa mewakili perasaannya.
"Tenang saja. Ibumu tahu kalo Misa adalah anak dari dirinya dan almarhum ayahmu. Meskipun dia menikah lagi, dia tidak akan melupakan ayahmu."
Setelah jeda sejenak.
"Sekarang semuanya akan baik-baik saja. Pagi nanti kita akan pulang ya."
"Ya..."
Misa mengangguk sambil menangis.
★★★
Misa tidur di tempat tidur, sementara aku tidur di sofa.
Untungnya, meskipun sudah bisa dibilang musim panas, tidur tanpa selimut tidak membuat ku kedinginan.
Meskipun agak tidak nyaman.
Ku pikir Misa akan mengatakan sesuatu tentang tidur bersama, tetapi entah kenapa, hal itu tidak terjadi.
Mungkin dia tidak mood untuk bercanda seperti itu.
Di dalam kegelapan, aku bisa mendengar suara dari arah tempat tidurnya.
"Seiya-san apa kau masih bagun?"
"Ya, aku masih bangun."
Aku sedang berpikir.
Biasanya, aku sudah berada di alam mimpi pada waktu seperti ini, tapi kali ini tidak ada rasa kantuk sedikit pun—aku hanya terjaga dan merenung.
"Aku juga tidak bisa tidur. Mungkin karena ini bukan tempat tidurku.”
"Tidak, aku rasa ini juga bisa menjadi tempat tidur."
Aku rasa aku tidak akan bisa terus terjaga sepanjang malam.
"Cuma karena tempat ini tidak biasa untuk mu, kan?"
"Apa kau membenciku karena aku membawa Seiya-san ke tempat seperti ini?"
"....Aku tidak akan melakukan itu."
Misa merasa putus asa.
Ibu yang melupakan ayahnya dan menikah dengan pria lain, membuat Misa berpikir sebagai anak perempuan dia juga seharusnya bebas berhubungan dengan lawan jenis dan mencoba berperilaku seperti itu.
"Lalu, lupakan saja apa yang aku katakan atau lakukan di sini."
"....Aku mengerti."
Jika kita mulai serius menanggapi setiap tindakan seseorang yang sedang frustasi, kita tidak akan pernah selesai.
"Sebagai gantinya, aku akan mengirimimu foto selfie ku yang nakal."
"Aku tidak mau!"
Aku rasa itu juga bagian dari perasaan putus asa yang dia tunjukkan.
"Sudahlah, cepat tidur."
"Baiklah."
Jawaban Misa selalu penuh semangat, seperti biasa, dan setelah itu aku mendengar samar-samar suara pegas tempat tidur berderit. Mungkin dia akhirnya sudah bersiap tidur.
"Um, Seiya-san..."
Tapi, suaranya terdengar lagi.
"Ada apa?"
"Terima kasih."
"......?"
Rasanya aneh menerima ucapan terima kasih dengan begitu formal.
"Tidak masalah. Aku tidak melakukan apa-apa."
"Tapi, kau sudah menemukanku."
".....Itu hanya kebetulan."
Dengan jawaban itu, aku membalikkan badan sehingga punggungku menghadap Misa.
Aku hanya ingin berpikir sedikit lebih lama.
Aku yang sudah mengatakan hal-hal sok tahu kepada Misa, akankah tetap seperti ini saja?
"Itu tidak mungkin, kan..."
Akhirnya, gumaman yang keluar tanpa sadar dari mulutku, mungkin itulah jawabannya untuk diriku sendiri.
★★★
Sepertinya aku yang terbangun lebih dulu.
Karena tidur di sofa, tubuhku terasa sakit, jadi aku melakukan peregangan sederhana.
Tapi, meskipun berada dalam lingkungan seperti ini, aku tetap bisa tidur dengan cukup nyenyak.
Ternyata, tubuh bisa menyesuaikan diri dengan baik.
Ketika aku melihat ke dalam kamar lagi, aku melihat Misa sedang tidur meringkuk, dengan tubuhnya melingkar kecil di atas tempat tidur double yang besar.
Saat terjaga, dia selalu bergerak dengan sikap yang dewasa, tapi saat tidur, penampilannya sesuai dengan usianya.
Tentu saja, dia pasti tidak ingin dilihat saat tidur, jadi aku duduk di kursi dengan punggung menghadap Misa dan mulai mengetik pesan teks.
"Selamat pagi, Seiya-san."
Setelah beberapa saat kemudian, Misa terbangun.
Saat aku berbalik, dia sedang duduk di tempat tidur dengan seprai melilit tubuhnya.
Dia masih terlihat mengantuk.
Mungkin dia tidak bisa tidur sebanyak aku.
"Sudah bangun, ya? Kalo begitu, ayo bersiap-siap dan keluar dari tempat ini."
"Benar. ...Ah, tapi sebelum itu."
Tiba-tiba, Misa mengangkat suaranya seolah mengingat sesuatu.
"Ada apa?"
"Sebelum kita keluar, bukankah sebaiknya kita melakukan sesuatu yang sesuai dengan tempat seperti ini?"
"Jangan bodoh."
Bahkan aku heran kenapa dia berpikir itu baik.
"Karena, kalo Seiya-san bercerita tentang kejadian hari ini pada seseorang, rasanya itu akan agak memalukan kali ternyata kita tidak melakukan apa-apa."
"Pertama, aku tidak akan menceritakannya pada siapa pun, jadi tidak perlu khawatir tentang itu."
Aku membalas dengan lelah, sementara Misa hanya tersenyum ceria melihatku.
"Sungguh. Kalo kau bisa mengatakan itu, berarti sudah tidak ada masalah lagi, kan? Ayo, kita segera keluar dari sini."
"Benar."
Kurasa aku akan jadi gila kalo kami tinggal terlalu lama di sini.
★★★
"Maaf, tapi aku ingin mampir ke suatu tempat sebentar."
Setelah makan sarapan dengan menu pagi dari restoran cepat saji, aku memberitahukan Misa seperti itu.
"Tentu saja, tidak masalah... Tapi, kau mengatakan itu, padahal kita sudah hampir sampai di apartemen kita, kan?"
"Tidak apa-apa. Tempat yang aku ingin tuju ini juga tempat yang Misa kenal."
Aku menjawab seperti itu, lalu turun di stasiun terdekat dan menuju ke tempat yang biasa, yaitu lapangan.
Meski hari Minggu pagi, lapangan itu kosong, tidak ada orang.
Sungguh sayang. Aku bahkan mulai berpikir, mungkin hanya aku dan Misa yang menggunakan tempat ini di kota ini.
"Itu milik Misa, kan?"
Lalu, aku melihat bola basket yang masih tersangkut di keranjang, persis seperti saat malam sebelumnya.
"Ya, itu milik ku. ...Apa yang harus kita lakukan? Apa kita harus membawa sapu dari rumah?"
"Tidak perlu, itu tidak perlu."
Mungkin dia berpikir akan menggunakan sapu panjang untuk menjatuhkan bola itu.
Tapi, ada cara yang lebih cepat.
Aku memutar pergelangan tangan dan kaki, lalu melompat beberapa kali sebagai pemanasan.
Toh, ada hal lain yang akan dilakukan setelah ini, jadi tak masalah.
Aku berlari menuju keranjang.
Bukan dengan kecepatan penuh, tapi dengan mempertahankan tenaga.
Kemudian, pada 2 langkah terakhir, aku menendang tanah dengan kuat.
"Ha!"
Pada langkah ke-3, aku melompat, memanfaatkan kecepatan yang sudah ku dapat untuk terbang lebih tinggi.
"Ya!"
Jariku menyentuh bola, memantulkannya dengan sempurna.
Bola itu pun meleset dari ring dengan sangat baik.
"Hebat! Aku seperti melihat Seiya-san yang tahun lalu!"
"Ah, tidak seperti itu."
Karena ini tentang diriku sendiri, akulah yang paling tahu.
Aku masih belum sebaik di masa kejayaanku, jadi menurutku mungkin aku hanya sedikit mencapai bola itu.
Jika bola itu terjebak terlalu kuat di samping ring, mungkin aku tidak bisa mengambilnya.
"Apa kau datang ke sini hanya untuk itu?"
Misa bertanya sambil memegang bola di tangannya setelah kembali untuk pertama kalinya dalam setengah hari.
"Tidak."
Saat aku menjawab seperti itu, tiba-tiba terdengar suara.
"Tone!"
Nama belakangku yang dulu.
Konan lah yang memanggilku. Dia memiliki bola basket di tangannya.
"Selamat pagi, Konan."
"Apanya yang 'selamat pagi'? Tiba-tiba kau memanggilku begini."
Sepertinya dia tidak keberatan datang ke sini, tapi dia sepertinya tidak senang karena panggilan yang tiba-tiba ini.
"Selamat pagi."
"Wah! K-Kuroe-san!?"
Ternyata, karena terlalu kesal, Konan hanya melihatku.
Ketika Misa menyapanya, Konan sangat terkejut sampai hampir melompat.
"Kenapa, kau kenal dia?"
"Y-ya, dia kan terkenal..."
Dia terlihat canggung, dia melirik Misa, matanya berputar tidak nyaman.
Ternyata, Konan juga mengikuti rumor tentang gadis-gadis terkenal.
Meski begitu, dia belum pernah berinteraksi dengannya secara langsung sebelumnya, jadi wajar kalau dia bingung dengan situasi tiba-tiba ini.
"Tone, kenapa kau membawa Kuroe-san ke sini?"
"Rumah kami berdekat. Waktu aku keluar tadi kebetulan aku bertemu dengannya, dan dia mengikutiku tanpa izin."
Tidak mungkin aku bisa mengatakan kalo kami habis dari hotel cinta bersama beberapa saat yang lalu.
Misa, seolah mengetahui apa yang ada dalam pikiranku, dia tersenyum ceria.
Semoga dia tidak mengatakan hal yang tidak perlu.
"Yah, tidak apa-apa. Tapi, yang lebih penting, apa kau benar-benar mau bertanding denganku?"
"Tentu saja. Itu kan juga tertulis di pesan tadi. Makanya aku membawa bola."
Pagi tadi, yang aku ajak bicara lewat pesan teks adalah Konan.
Hari pertama aku pindah sekolah, aku bertukar ID dengan banyak orang tanpa tahu siapa saja mereka, termasuk Konan.
"Janji harus ditepati. Konan Shoutarou dari SMP Tsukazato."
"Ha!? Kau...?"
Konan terkejut, matanya terbuka lebar.
"Kau ingat?"
"Tentu saja. Itu waktu turnamen pertama di kelas 3 SMP."
"Benar."
Konan memberi isyarat setuju dengan nada marah.
Pada turnamen segera setelah kami naik ke kelas 3 SMP, timku, Miki Junior High, bertemu dengan tim Tsukazato Junior High yang dimotori oleh Konan.
Saat itu, posisi forward yang kupegang benar-benar tidak bisa dihentikan oleh mereka, jadi mereka memutuskan untuk mengganti penjagaan dengan seorang point guard kecil yang ternyata adalah Konan.
Dengan tekadnya yang besar, jauh lebih besar dibanding saat di pelajaran olahraga beberapa hari lalu, dia berhasil membatasi gerakanku.
Tentu saja, kami tetap menang, tapi setelah pertandingan itu, aku dan Konan berjanji untuk bertanding lagi suatu hari nanti.
Tapi, kesempatan untuk bertemu kembali di pertandingan besar yang menjadi panggung terakhir bagi banyak siswa kelas 3, yaitu turnamen musim panas, akhirnya lenyap begitu saja, dan janji itu tidak pernah terpenuhi sampai sekarang.
"Kau ingat, tapi kenapa pura-pura lupa?"
"....Mungkin aku merasa aku tidak bisa menepati janji denganmu Konan."
"Apa maksudmu?"
Konan bertanya padaku, dia memilih kata-katanya dengan hati-hati.
"Sepertinya Konan tidak tahu, tapi alasanku berhenti bermain basket adalah karena tangan kananku patahkan."
"Hah?"
"Sejak saat itu, aku tidak bisa bermain seperti dulu, terutama dalam hal penguasaan bola yang lebih halus."
"Jadi...itu yang terjadi...Hmm, bagi mu itu memang fatal."
Karena dia tahu betul bagaimana permainanku di masa lalu, Konan akhirnya mengerti.
"Sekarang, aku bukan lagi orang yang dulu, dan aku tak bisa bermain sebaik dulu."
Apa itu berarti aku sudah memenuhi janji kami?
"Ngomong-ngomong, meskipun begitu, aku akan tetap menang."
"Bagaimana? Mau melanjutkannya?"
"Tentu saja! Jangan asal memutuskan hasil pertandingan!"
"Ups."
Konan melemparkan bola dengan cepat lewat chest pass, dan aku menangkapnya.
Aku bermain-main sebentar dengan bola itu sebelum melemparkannya kembali ke arahnya.
"Baiklah, kalo begitu, ayo kita mulai."
Kami ber-2 pun mulai melakukan pemanasan.
"Makanya sudah ku bilang kan?"
Tiba-tiba Misa berbicara.
"Apa maksudmu?"
"Seandainya kau melakukan apa yang seharusnya kau lakukan, kau tidak perlu menyembunyikan soal kita yang pergi ke hotel itu."
"Aku bukan menyembunyikan karena merasa malu, itu karena tidak ada yang perlu dibicarakan."
Sebenarnya, pergi ke hotel cinta itu sendiri adalah sesuatu yang seharusnya disembunyikan, apalagi kalo ada sesuatu yang terjadi di sana.
Tentu saja, mungkin Misa juga tahu itu, dan hanya mengungkapkan sesuatu yang agak salah sasaran.
"Baiklah, itu urusan lain."
Setelah tertawa ringan, dia akhirnya mengajukan pertanyaan baru.
"Kenapa kau yang dulunya sangat enggan bermain basket, sekarang malah ingin melakukannya?"
"Hmm, ya..."
Aku melihat Konan yang mulai melakukan shooting menggunakan ring di ujung sana.
Dia membawa bola basket miliknya, yang bahkan merupakan bola ukuran 7, yang digunakan di tingkat basket SMA dan lebih tinggi.
Itu berarti bola itu dibeli setelah dia memutuskan untuk berhenti bermain basket di SMP, tapi meskipun dia berhenti, dia tidak membuang kecintaannya pada basket.
Sebenarnya, dia tetap berusaha keras di pelajaran olahraga.
Dia memberikan instruksi dengan baik kepada 4 orang pemula dan terus menang tanpa henti.
Jika dibandingkan dengan dia yang terus serius menghadapi basket, bagaimana dengan diriku?
Aku berhenti bermain basket hanya karena tidak bisa bergerak seperti dulu, dan lebih jauh lagi, aku bahkan meninggalkan basket itu sendiri.
Apakah basket meninggalkanku?
Tidak.
Justru akulah yang membelakangi basket.
Apa Konan akan merasa senang melawan seseorang yang telah meninggalkan basket seperti diriku?
"Aku rasa, aku tidak membenci diriku yang tidak bisa bergerak seperti dulu, tapi sebenarnya aku tidak bisa menerima diriku yang seperti itu."
"Apa itu berbeda?"
"Intinya adalah aku hanya tidak suka dengan diriku yang seperti imalamni."
Dan pada akhirnya, aku hanya terjerumus dalam keputusasaan seperti seseorang yang kemarin malam.
Sebenarnya, tidak ada alasan untuk meninggalkan basket, dan tidak ada alasan bagi basket untuk meninggalkanku.
Mungkin aku memang tidak bisa bermain seperti dulu, tapi seperti yang dikatakan Misa, aku masih bisa mencari 'jalan untuk melangkah ke depan'.
Bahkan jika aku tidak bisa lagi bertarung di panggung yang aku impikan, aku masih bisa tetap berhadapan dengan basket, seperti Konan Shoutarou yang terus bermain meski situasinya sudah berbeda.
"Misa, pinjam bolanya."
"Ah, iya."
Setelah menerima bola dari Misa, aku mulai melakukan shooting.
Karena bola Misa berukuran 6, bola itu terasa lebih ringan.
Aku rasa lebih baik kalo aku tidak terbiasa dengan bola itu, jadi aku hanya melakukan pemanasan seadanya.
"Konan, haruskah kita memulainya sekarang?"
"Siap."
Tak lama kemudian, pertandingan dimulai.
Aturannya sederhana.
Permainan 1 VS 1 di setengah lapangan.
Kami akan bergantian bertindak sebagai penyerang dan bertahan.
Tidak ada peraturan soal berapa kali bertahan atau mencetak poin terlebih dahulu.
Mengatur hal-hal seperti itu hanya akan sia-sia.
Jelas kalo aku yang akan mendominasi.
Meskipun aku sudah pensiun karena cedera, dulu aku pernah bercita-cita untuk masuk NBA dan banyak orang yang mengharapkannya.
Jadi, tidak mungkin aku akan kalah.
Setelah ini, yang perlu kulakukan hanya membuat Konan puas atau membiarkannya merasa puas.
Aku mulai sebagai penyerang.
Kami berdiri berhadapan di sekitar garis tengah lapangan.
Aku memberikan bola kepadanya, dan dia segera mengembalikannya.
Pertandingan pun dimulai.
"Ah."
Tapi, mata Konan yang semakin mendekatkan jarak ke arahku terbelalak karena terkejut.
Aku berhasil melewatinya dalam sekejap.
Gerakan crossover yang beberapa hari lalu aku tunjukkan pada Misa, kali ini aku lakukan tanpa belas kasihan.
Itu terlalu cepat sehingga Konan bahkan tidak bisa merespon langkah pertamaku, aku sengaja mengubah dribblenya dan melewatinya dari sisi yang berlawanan.
"Ini yang pertama."
Aku dengan tenang berhasil mencetak layup.
"Keparat... Tidak ada yang bisa kulakukan..."
Konan menendang lantai dengan tumitnya, menunjukkan rasa frustrasinya.
Tentu saja dia tidak bisa mengimbangiku.
Crossover adalah keahlian andalanku.
Meskipun mungkin kecepatanku sedikit berkurang, itu tidak berarti aku sudah tidak tajam lagi.
Perubahan posisi.
Dia langsung memasukkan fake.
Aku, yang tanpa sadar bereaksi, terkena tipuannya dan dia berhasil melewati tubuhku dengan Memanfaatkan reaksi sesaatku.
Cepat.
Meski sudah berhenti bermain basket, dia tetap mempertahankan kecepatan yang hampir setara dengan saat masih aktif.
Tapi, meskipun aku tertinggal, aku mengejarnya dan berlari sejajar dengannya.
Lalu, aku melompat tepat saat dia melepaskan bola untuk layup dan aku berhasil menepis bola itu.
Bola meluncur keluar lapangan melewati garis samping.
"Biasanya, tidak ada yang bisa memblokir layup seperti itu."
"Karena tembakanmu terlalu mudah, Konan. Kalo kau dihadang pemain besar, lebih baik bermain dengan timing yang tepat."
Aku memberikan sedikit saran pada Konan yang hanya mendengus dan terlihat tidak senang.
Tentu saja, dalam situasi ini, aku yang terus memberikan tekanan dari sisi membuatnya terburu-buru melakukan tembakan dan pada akhirnya, layup yang sederhana itu bisa aku blokir.
"Diamlah."
Konan mengambil bola dan melemparkannya kepadaku.
Posisi berganti lagi.
Aku memegang bola, sementara Konan menurunkan badan dan bersiap dengan kewaspadaan yang tinggi.
Kemungkinan besar dia menjadi lebih waspada setelah aku melewatinya dengan mudah tadi
Tapi, dia terlalu jauh.
".....Konan."
"Hah?"
"Kau terlalu mundur, kau terlalu fokus pada drive-ku."
Aku mengambil kesempatan itu, memasuki posisi tembakan, seolah-olah ingin mencoba tembakan.
Konan, yang mendengus, buru-buru bergerak maju untuk menghalangi tembakan.
Tapu, aku menghentikan gerakan tembakanku, lalu dengan sekali dribble, aku bergerak menyilang ke depan dengan satu langkah.
Dengan ritme yang tetap terjaga, aku melakukan jump shot.
Bola melayang melewati ring tanpa ada yang menyentuhnya.
"Ini yang ke-2."
Dari segi skor, tembakan terakhir itu adalah 3 poin, menjadikannya total 5 poin untukku.
"Gi-giliran berikutnya!"
Konan berlari untuk mengambil bola dan kembali ke posisi semula.
Posisi berganti, kini giliran serangan ke-2 untuk Konami.
Kali ini, dia sepertinya tidak berniat untuk membuat keputusan cepat, melainkan memilih untuk menyerang secara perlahan.
Dia mencoba melewatiku tapi terhalang, dia mundur sebentar, mencoba untuk melewatiku tapi terhalang lagi, dan secara bertahap dia mendekati ring.
Akhirnya, dia melepaskan tembakan dari jarak menengah.
Tapi, arah tembakannya sedikit meleset.
Konan sendiri tampaknya menyadari hal ini, dan segera berlari menuju bawah ring.
Aku juga berbalik dan mengikuti langkahnya, kami ber-2 berusaha merebut posisi dengan saling menekan menggunakan tubuh kami.
Perbedaan tinggi kami sekitar 10 cm.
Hasil dari perebutan rebound ini sudah jelas.
Kalo Konan memiliki loncatan yang luar biasa, mungkin akan berbeda ceritanya, tapi kebetulan aku juga percaya diri dengan kemampuan lompatanku.
Tapi, meskipun begitu, Konan tidak menyerah dan tetap berusaha bertarung merebutkan posisi.
Seperti yang bisa kuperkirakan, tembakannya meleset, dan kami ber-2 melompat untuk meraih bola yang memantul dari ring.
Dengan sedikit keunggulan tinggi, aku berhasil menguasai rebound.
Aku menangkap bola dengan ke-2 tanganku saat mendarat, sementara Konan terlempar ke udara dan jatuh terduduk.
Meskipun aku tidak sekuat itu, dengan tubuhnya yang lebih kecil, aku bisa dengan mudah mengalahkannya dalam pertarungan fisik ini.
"Apa kau baik-baik saja?"
"Kalo hanya seperti ini, tidak masalah."
Konan menggunakan tanganku untuk bangkit kembali.
Sepertinya pertandingan mulai berjalan sepihak—begitulah kira-kira.
Kaalo hanya melihat skornya, aku selalu mencetak angka sementara serangan Konan selalu terhalang.
Tapu, isi dari permainan itu mulai menunjukkan tanda-tanda keseimbangan.
Semakin sering terjadi situasi di mana aku mencetak angka hanya karena kebetulan tembakan Konan meleset atau karena aku berhasil memasukkan bola meski sudah dibuntuti ketat olehnya.
Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu pun tiba.
Serangan terakhir Konan.
"Ini tidak akan selesai begitu saja!"
Dia menunjukkan tekadnya.
Saat itu, aku berpikir kalo Konan akan mencoba melewatiku dengan kecepatan.
Jadi, aku bersiap untuk menghadang di depannya—tapi dalam sekejap, dia sudah menghilang dari hadapanku.
Tanpa sadar, aku menyadari kalo Konan sudah berada di sisi lain dan dalam hitungan detik, dia sudah hampir mencapai ring.
Aku hanya bisa diam dan menyaksikan, melihat dia melepaskan bola untuk layup, yang akhirnya masuk ke dalam ring.
Konan menggunakan 2 kali fake.
Satu fake dengan tekad dan kekuatan untuk melewatiku, dan satu lagi adalah crossover yang pernah menjadi andalanku, yang kini dia kuasai dengan sempurna.
Aku terperangkap oleh ke-2 gerakan fake itu.
"Bagaimana menurutmu? Apa kau melihatnya, Tone!"
Konan berteriak keras di bawah ring.
Bagi sebagian orang, tembakan itu mungkin tampak seperti hasil dari perjuangan panjang yang akhirnya membuahkan hasil.
"Ya, aku melihatnya. Hebat!"
Tapu bagiku, itu adalah sesuatu yang sangat memukau.
Seorang pria yang, meskipun harus menyerah pada basket, tidak pernah benar-benar meninggalkan basket.
Dia terus bertarung melawan lawan yang jauh lebih kuat dan akhirnya berhasil meraih 1 poin.
Itu sudah sangat berharga.
Tapi, yang merusak momen itu adalah aku sendiri.
Seandainya musuh yang dia hadapi bukanlah seseorang yang telah meninggalkan basket dan hanya bertahan dengan kemampuan lama, mungkin hasilnya akan lebih luar biasa.
"Setidaknya, aku harus membalasnya dengan caraku sendiri sekarang."
Posisi berganti. Sekarang giliranku.
Aku dan Konami berdiri saling berhadapan, penuh kewaspadaan.
Tapi, meskipun ada ketegangan yang terasa di udara, dia tersenyum.
Seolah-olah dia sedang melihat cermin.
Karena aku pun, pada saat itu, pasti tersenyum seperti dia.
Ketegangan yang menyenangkan ini mengangkat semangatku.
Aku mulai bergerak.
Aku melangkah maju untuk mencoba melewati Konan.
Tentunya dia langsung bereaksi terhadap gerakanku.
Tapu, di saat itu juga, aku melakukan dribble rendah dan cepat, mengganti arah dribble ke depan untuk mencoba melewatinya dari sisi lain.
Tentu saja, itu adalah crossover.
"Kali dia mengalahkanku dengan crossover, aku juga harus membalasnya dengan crossover."
Aku pikir aku berhasil melewatinya.
Tapi, aku melihatnya.
Begitu aku mencoba melewatinya, Konan segera melakukan reverse turn untuk menghadapiku.
Mengalihkan gerakan ke reverse turn setelah terjebak oleh fake mungkin adalah cara paling efisien untuk mengembalikan posisi.
Dia tidak menyerah dan terus berusaha mengejarku.
Akibatnya, aku tidak sepenuhnya berhasil melewatinya, dan Konami menempel ketat di sampingku.
Apa yang harus aku lakukan? Berhenti sejenak dan merapikan langkahou? Tidak, rasanya aku tidak bisa melewatinya kali ini.
Kalo begitu, maka aku harus membuat keputusan, meskipun ini mungkin tidak adil baginya, untuk mengambil posisi yang lebih menguntungkan.
Aku melepaskan bola itu.
Kemudian, aku melompat untuk menyambut bola yang memantul dari papan belakang.
Ini mirip dengan saat aku bermain 1 Vs 1 dengan Konan di pelajaran olahraga.
Tapi kali ini, aku tidak hanya melempar bola, aku melakukan alley-oop.
Sebuah alley-oop satu tangan—maksudnya, aku menangkap bola yang memantul dengan telapak tangan, lalu langsung melemparkan bola ke dalam ring dengan dunk satu tangan.
Dengan tangan kananku tergantung di ring, aku memastikan tidak ada Konan di bawah sebelum akhirnya mendarat.
"Yosh!"
Begitu aku menginjakkan kaki di lapangan, Konan terlihat terkejut.
Tak lama kemudian, dia tersadar dan berkata,
"Haha, itu dunk Tone kah? Keren banget! Serius, itu keren sekaali!"
Entah kenapa, dia terlihat sangat senang.
Aku sendiri juga merasa sangat bersemangat di dalam.
Dunk tersebut, bahkan di masa jayaku, hanya bisa aku lakukan saat kondisi tubuhku benar-benar fit.
Mungkin alasan aku bisa melakukan itu sekarang karena aku terinspirasi oleh semangat juang Konan yang tak tergoyahkan.
Setelah itu, kami melanjutkan permainan 1 Vs 1 hingga kami ber-2 kelelahan.
★★★
Aku dan Konami tergeletak di 2 bangku yang berdampingan, dengan kepala kami hampir saling bersentuhan karena kelelahan.
"Akhirnya kita bisa menepati janji waktu itu."
"Ya, benar."
Kami berdua saling bertukar kata meski nafas kami terengah-engah.
Janji waktu itu, setelah pertandingan pertama kami di turnamen kelas 3 SMP, saat tim Konami melawan Tsukazato Junior High, kami berjanji untuk bertanding lagi suatu hari nanti.
Tapi, entah bagaimana nasib buruknya, setelah itu kami tidak pernah bertemu lagi di turnamen atau pertandingan persahabatan.
Pada akhirnya, kesempatan untuk bertemu kembali datang di turnamen terakhir, Sotai.
Tapi, Tsukazato kalah dalam pertandingan yang menentukan mereka bertemu tim kami, Miki Junior High, dan janji itu tetap tidak terwujud.
"He, yang mengalahkan tim kami di Sotai, itu pemain Nan-Daini Junior High, yang seperti 'senjata rahasia'. Kau tahu dia?"
"Tidak,"
Nan-Daini Junior High adalah tim yang tidak kami perhitungkan.
Tapi, di pertandingan terakhir, mereka menurunkan pemain yang belum pernah dimainkan sebelumnya.
Pemain itu, meski tubuhnya lebih kecil dari Konan, memiliki akselerasi luar biasa yang mencapai kecepatan puncaknya hanya dalam 3 langkah, dan naluri untuk menyerang bola dan ring sangat tajam.
Dengan pemain itu, Tsukazato hampir kalah.
"Tapi, ya, kami sudah membalasnya."
"Tidak ada yang meminta itu."
Konan tersenyum pahit.
Miki Junior High bertanding melawan Nan-Daini yang berhasil lolos menggantikan Tsukazato.
Pertandingan berlangsung ketat sampai kuarter ketiga, namun gaya bermain pemain 'senjata rahasia' itu akhirnya merugikan timnya.
Dia mengumpulkan 4 pelanggaran, dan setelah pelanggaran ke-5 di kuarter ke-4, dia dikeluarkan dari pertandingan.
Setelah itu, tim kami langsung mengambil alih dan meraih kemenangan.
Jujur saja, kemenangan itu terasa seperti kemenangan yang sangat sulit melawan tim yang kurang dikenal.
"Tone, apa kau benar-benar tidak akan bermain basket lagi?"
"Rencananya begitu. Aku tahu diriku dengan sangat baik. Sepertinya aku tidak bisa bermain secepat dulu sebelum cedera."
Aku menjawab pertanyaan Konan.
"Begitu ya..."
Dia menggumamkan itu dengan nada kecewa.
Memang benar aku tidak punya niat untuk kembali ke basket SMA.
Tapi, aku juga tidak berniat meninggalkan basket sepenuhnya.
Jadi, kalo ada kesempatan di tempat lain, aku pikir aku akan mencobanya lagi.
Misalnya, seperti turnamen olahraga yang akan datang.
"Terima kasih atas kerja kerasnya, kalian ber-2."
Tiba-tiba terdengar suara dari samping.
"Woah, Kuroe-san!?"
"Ah, ternyata kau ada di sini."
Konan terkejut dan duduk tegak di bangku, sementara aku tetap duduk dengan sikap dingin dan berkata,
"Betapa buruknya, Seiya-san. Aku membelikanmu sesuatu yang seperti ini, tapi..."
Melihat tangan Misa, aku baru menyadari kalo dia memegang 2 botol minuman olahraga, satu di masing-masing tangannya.
Tapi, aku ingat dengan jelas kalo Misaki keluar tadi malam hanya membawa Hp-nya.
Mungkin dia pergi ke mesin penjual otomatis yang menerima Hp atau kartu IC transportasi.
"...Kau membelikan ini untukku?"
"Ya. Lagipula, dana yang digunakan berasal dari dompet Seiya-san."
"Tunggu dulu."
Kenapa dia membeli barang dengan uang orang lain tanpa izin?
"Maaf ya, Tone,"
Konan mengangkat botol itu dan meminumnya.
Sudahlah, dia bisa melakukan sesukanya.
"Misa, bagaiman kalo kita segera pulang?"
"Ya, benar."
Karena aku yang membuat kami singgah di sini, jadinya kami pulang lebih lama dari yang seharusnya.
Pasti Bibi sudah khawatir.
"Sampai jumpa, Tone."
"Ya, sampai besok."
Aku berdiri dari bangku.
"Konan, sekarang aku adalah Hirasaka. Aku tidak berniat mengatakan kalo Tone Seiya sudah mati dan aku berhenti dari basket, tapi aku bukan Tone lagi, aku Hirasaka."
"Benar juga, Hirasaka."
Setelah sedikit terdiam, Konan pun berdiri.
Kami saling berjabat tangan dan kemudian masing-masing berbalik dan pergi.
★★★
"Aku pulang..."
Selagi aku memperhatikan, Misa dengan hati-hati membuka pintu depan.
"Misa...!? Ah, syukurlah, kau selamat. Sebenarnya, dari mana saja kau?"
Segera, dengan suara sandal yang berdecit, Bibi muncul dan langsung memeluk Misa.
Meskipun seharusnya Bibi sudah tahu kalo Misa baik-baik saja melalui ibuku, tetap saja, melihat anaknya kembali di rumah adalah hal yang berbeda, dan mungkin itulah sebabnya dia merasa lega setelah memastikan keadaannya secara langsung.
"Maafkan aku..."
Meskipun dia tahu tidak bisa mengatakan yang sebenarnya kepada orang tuanya, Misa hanya bisa meminta maaf.
Tentu saja, dia memang melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan.
Untuk malam itu, aku sudah memberinya saran agar mengatakan pergi ke tempat-tempat aman seperti restoran keluarga atau internet café, jadi aku rasa dia akan baik-baik saja.
"Maafkan kami, Seiya-san. Terima kasih sudah membantu Misa."
"Tidak apa-apa..."
Aku hanya menemani Misa semalam.
Itu saja.
Atau mungkin...
"Misa kau juga..."
"Seiya-san, terima kasih banyak."
"Tidak apa-apa."
Misa, yang kini dengan sikap lebih sopan mengucapkan terima kasih atas dorongan ibunya, aku jawab sambil tersenyum kecil.
"Baiklah, kalo begitu, aku permisi."
Dengan itu, dia menutup pintu rumah Kuroe.
Apa ini berarti malam panjang itu akhirnya berakhir?
Tapi, meskipun begitu, aku merasa tidak melakukan apa-apa untuk menyelesaikan malam ini.
Aku hanya menemani Misa sepanjang malam, berbicara tentang hal-hal sepele.
Atau mungkin, dalam percakapan tersebut, ketika Misa bertanya apa dia masih punya 'masa depan', kata-katanya menusuk perasaanku yang paling dalam, dan aku bisa melihat ke dalam diriku sambil menenangkan dirinya yang tengah terpuruk.
Dalam arti tertentu, mungkin aku adalah orang yang diselamatkan.