Kamu saat ini sedang membaca Ore no 'unmei no akai ito' ni tsunagatteta no wa, tenteki no yōna joshidatta kudanvolume 1 chapter 2. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw
PERNYATAAN MENGEJUTKAN
Waktu berlalu hingga hari Sabtu.
Bunga sakura telah gugur, dan kini daun-daun mulai tampak di beberapa bagian pohonnya.
Saat ini, aku sedang bersantai di kamar, membaca novel ringan terbaru.
"Hei, Onii! Cepat, ayo cepat!"
...yah, sebenarnya tidak sedang begitu.
Aku berada di lantai 3 sebuah pusat perbelanjaan, di area yang penuh dengan pakaian wanita.
Aku terpaksa ke sini karena diseret oleh Kotono, dan tempat seperti ini benar-benar jauh dari minatku.
Lebih parahnya lagi, hampir semua pakaian di sini terlihat dewasa.
Kotono, dengan tubuhnya yang tidak sesuai usianya, dan dia terlihat seperti seorang siswa SMA... atau bahkan sebagai mahasiswa, dia terlihat sangat dewasa sehingga kau akan mempercayainya kalo ada yang melihatnya secara langsung.
Setiap kali dia berjalan, para pria di sekitar melirik ke arahnya.
Hei, kalian semua! Jangan berani-berani menatap Kotono-ku yang manis, kalo kalian mau lihat, bayar dulu!
"Wow! Ini imut sekali! Onii, lihat, ini imut sekali!"
"Jangan terlalu heboh, itu memalukan."
Tapi, perilakunya masih kekanak-kanakan.
Selain itu, dia terlalu bergantung pada kakaknya hingga tidak bisa melepaskan diri.
Hasilnya, dia terus memeluk lenganku.
Panas, mengganggu, dan berisik.
"Boo! Hey, kau sedang berkencan dengan gadis cantik seperti aku, tahu? Seharusnya kau terlihat lebih bahagia!"
"Aku akui kau memang gadis cantik. Tapi, keadaan dimana aku diculik untuk menjadi pembawa barang pada hari libur tidak bisa disebut kencan."
"Wah, menyebut adikmu sendiri sebagai gadis yang cantik itu benar-benar aneh..."
"Apa kau mau ku pukul?"
"Aduh!"
Dia mengusap dahinya yang baru saja kugetok dengan wajah cemberut.
Tapi, entah kenapa dia terlihat sedikit senang.
"Bagaimanapun, kau masih anak SMP dan tidak memiliki uang. Barang-barang di sini rata-rata berharga lebih dari 5 ribu yen. Kau yakin bisa membelinya? Aku beri tahu, aku tidak akan mengeluarkan uang untukmu."
"Itu tidak masalah! Aku sudah minta uang kepada Ayah dengan 'tolong~♡', dan dia langsung memberikan uang kepadaku!"
Serius? Curang sekali. Kalo aku juga berkata 'tolong~♡' kepada Ayah, apakah dia akan memberiku uang? ...Tidak mungkin, aku pasti akan dimarahi habis-habisan.
Kami sudah masuk ke berbagai toko dan melihat-lihat selama hampir 2 jam, tapi hingga saat ini dia belum membeli apa pun.
"Onii, menurutmu apa aku cocok pakai dress ini?"
"Ya, cocok, cocok."
"Kalo celana pendek ini?"
"Cocok, cocok."
"Lalu, bagaimana dengan baju off-shoulder ini?"
"Cocok, cocok."
"....Kalo kaos bergambar beruang ini?"
"Cocok, cocok."
"Onii kau terlalu asal menilai!"
Hei, jangan pukul aku bertubi-tubi begitu.
Kotono meletakkan tangannya di pinggang, memasang wajah cemberut, lalu menunjukku sambil menggerakkan jarinya seperti seorang dirigen.
"Sungguh! Kalo Onii terlalu asal begini, nanti jodoh Onii bisa akan membencimu!"
"Jangan menunjuk orang dengan jari."
Meskipun begitu... aku rasa dia tidak akan membenci diriku, tapi setidaknya aku tidak ingin membuatnya kesal.
...Tunggu, kenapa aku berusaha menghindari membuatnya kesal?
"Onii, selama 15 tahun ini, aku selalu memperhatikan Onii."
"Ya, itu wajar, kita ini saudara kandung."
"Melihat Onii yang sama sekali tidak dikelilingi oleh perempuan, aku akan mengajarkan apa artinya menjadi seorang wanita."
"Kalo yang mengatakan itu adalah dirimu yang tidak dikelilingi oleh laki-laki, kurasa itu agak kurang meyakinkan... Lagipula, aku punya Neka."
"Dia itu lebih seperti anak kecil daripada seorang wanita..."
Benar juga. Kalo Neka mendengar ini, dia pasti akan memukulku dalam diam tanpa berkata apa-apa.
"Jadi, mulai sekarang, Onii harus memperlakukan aku seperti seorang pacar."
"Apa? Memperlakukan Kotono seperti pacar?"
"Benar! Bagaimanapun, seorang perempuan akan merasa senang kalo diperlakukan sebagaimana mestinya!"
Benarkah seperti itu?
Apa Kuonji juga akan merasa senang kalo dia diperlakukan sebagai perempuan? ...Tidak, aku tidak bisa membayangkannya.
Bahkan, membayangkan dia merasa senang saja sudah sulit.
Meskipun dia adalah adikku, kalo dilihat secara objektif, dia memang gadis yang sangat cantik.
Yah, anggap saja ini sebagai latihan.
"Tapi, jangan-jangan ini hanya karena kau ingin diperlakukan seperti seorang perempuan, kan?"
"Gikku...! Ti-tidak, tentu saja tidak begitu!"
Reaksinya terlalu mudah ditebak.
"Kalo Kotono, pasti banyak anak laki-laki di sekolah yang menyukaimu, kan?"
"Ah, tidak bisa. Memang ada yang menembakku, tapi anak-anak seumuranku terlalu kekanak-kanakan. Tidak mungkin."
"Apa? Ada yang menembakmu? Siapa yang berani mendekati Kotono-ku yang imut? Aku akan menginjak mereka sampai habis!"
"Onii, sikapmu sebagai ciscon yang terlalu protektif itu menjijikkan."
"Melindungi adik perempuan adalah tugas seorang Onii-chan."
"Onii ini...sungguh."
Meski dia berkata begitu, Kotono terlihat tersipu malu, pipinya sedikit memerah sambil memainkan rambutnya.
Kalo Kotono memiliki ekor seperti seekor anjing, pasti saat ini ekornya sedang bergoyang-goyang dengan senang.
Betapa imutnya dia.
Kotono kemudian memeluk lenganku dengan gembira, menarik-narikku dengan penuh semangat.
"Baiklah! Kalo begitu, ayo kita segera pergi membeli pakaian!"
"Tidak perlu terburu-buru, toko tidak akan ke mana-mana."
"Ini bukan soal toko yang akan pergi atau tidak!"
Kotono menarik lenganku dan mencoba membawaku masuk ke sebuah toko.
Tapi, tiba-tiba—
Guuuuhhh...
"...Kotono?"
"Bu-bukan aku! Itu bukan suara perutku!"
Kalo memang bukan, jangan memalingkan wajahmu seperti itu.
Lagipula, telingamu sudah merah semua.
Sigh, sungguh dia ini tidak bisa dibiarkan.
"Maaf, Kotono. Rasanya aku akan mati kelaparan sekarang. Aku sudah tidak kuat lagi. Aku akan pingsan karena kelaparan."
"Apa...?"
"Bagaimana kalo kita makan siang dulu? Tolong, ya."
"...Pu-puhahaha! Baiklah, baiklah. Kalo terus begini, aku akan kasihan pada Onii. Gadis cantik nan baik hati seperti Kotono-chan akan mengizinkan kita makan siang lebih dulu. ...Terima kasih."
"Sama-sama."
◆???◆
"Eh? Itu... itu Sanada-kun? ...Apa! Sanada-kun sedang berkencan dengan seorang wanita cantik yang tidak aku kenal!? A-aku harus segera melaporkannya pada Riran-chan...!"
★★★
Aku membawa Kotono ke restoran keluarga yang biasa kami kunjungi bersama keluarga.
Restoran ini terletak di lantai 10 pusat perbelanjaan, di area restoran.
Karena harganya yang terjangkau, tempat ini cukup populer di kalangan anak muda.
Kami diarahkan ke meja untuk 4 orang di dekat jendela.
Sebagian kaca jendela dibuat buram, sehingga sulit terlihat dari luar, tapi dari dalam, pemandangan luar terlihat jelas.
Begitu duduk, Kotono dengan senang mulai melihat-lihat menu.
"Hmm, karena Ayah sudah memberiku uang, sepertinya aku akan memesan sesuatu yang agak spesial."
"Kalo begitu, aku juga—"
"Stop! Tidak boleh!"
Kotono mengangkat tangannya, membentuk tanda silang dengan jarinya, sambil memasang ekspresi kesal.
Eh, apa aku melakukan sesuatu yang salah?
"Onii, itu jawaban yang salah."
"Salah bagaimana?"
"Seharusnya Onii bilang, 'Aku yang akan membayar, jadi pesan saja apa pun yang kau mau.' Membiarkan seorang perempuan membayar itu tidak bisa diterima."
"Begitu, ya?"
"Benar sekali."
Hmm, ternyata menjadi seorang pacar di dunia ini tidaklah mudah, ya.
"Baiklah, Onii, silakan!"
"....Aku yang akan membayar, jadi pesan saja apa yang kau mau."
"Wow, terima kasih atas nada bicaramu yang begitu kaku! Tapi karena aku tidak enak, aku juga akan ikut membayar. Ayo kita makan sesuatu yang enak bersama-sama!"
"Jadi kau tetap mau bayar juga, kan?"
Begitu aku menyela, Kotono menggelengkan jarinya ke kiri dan ke kanan.
"Ck, ck, ck, Onii, kau tidak mengerti. Wanita yang baik itu bukan wanita yang bergantung sepenuhnya pada pria. Itu tidak masuk akal. Wanita yang baik tahu cara menghargai pria dan selalu mendukungnya, kapan pun diperlukan."
Kotono-chan, dari mana kau mendapatkan pemahaman seperti itu? Onii-chan jadi khawatir dengan masa depanmu.
Jadi, seperti ini ya kehidupan pasangan pada umumnya?
Entah kenapa, aku merasa menjadi zomlo seumur hidup tidak terlalu buruk.
Meskipun aku tidak tahu apakah Kuonji memiliki pandangan seperti ini atau tidak...
...Tunggu, kenapa aku memikirkan dia lagi?
"Onii, apa kau sudah memutuskan mau pesan apa?"
"Ah, seperti biasa saja."
"Baik!"
Kotono menekan tombol panggil untuk memanggil pelayan.
"Terima kasih sudah menunggu. Silakan pesanannya."
"2 Cheese-In Hamburg Steak, 2 nasi putih—yang 1 porsi besar. Kemudian kentang goreng, Caesar Salad, dan minuman prasmanan, tolong."
Tanpa ragu, Kotono menyampaikan pesanannya kepada pelayan.
Fakta kalo dia tahu semua menu favorit ku menunjukkan kalo kami memang sering datang ke sini sebagai keluarga.
"Kotono, bagaimana kalo jus jeruk saja?"
"Iya, terima kasih."
Sepertinya dia tidak berniat bergerak lagi, malah asyik bermain dengan HPnya.
Yah, ini sudah biasa.
Aku menuangkan 2 gelas jus jeruk 100 persen tanpa es batu.
"Nih, minumnya."
"Yeay!"
Aku meletakkan satu gelas di depan Kotono dan satu lagi di depanku.
Fiuh... Setelah berjalan tanpa henti selama 2 jam, aku merasa cukup lelah.
Aku meminum seteguk jus jeruk, kemudian menghela napas.
Manisnya benar-benar menyegarkan.
"Onii, aku mau tanya sesuatu."
"Apa itu?"
"Akhir-akhir ini, bagaimana kabarnya Riran-tan?"
"Ah... mungkin dia baik-baik saja. Entahlah, aku tidak tahu."
Sejak insiden di depan atap sekolah itu, aku tidak pernah bicara dengannya lagi.
Dari yang terlihat, dia terlihat seperti biasanya.
Tapi setiap kali mata kami bertemu, dia langsung memalingkan pandangannya.
Rasanya itu menyedihkan.
Aku ingin dia lebih sering melihat ke arahku...
Tunggu, apa yang sedang kupikirkan ini?
Kotono, yang sepertinya tidak puas dengan jawabanku, memprotes.
"Tidak boleh begitu, Onii. Perempuan itu sangat peka. Onii harus lebih perhatian padanya."
"Dia peka? Itu tidak mungkin."
"Onii benar-benar tidak mengerti. Serius, Onii kau sama sekali tidak paham."
Ada apa dengan gerakan seperti orang luar negeri itu?
Hei, jangan tunjukkan wajah seperti itu, seolah-olah kau sedang menghela napas.
"Terutama Riran-tan itu sangat sensitif dan pemalu. Menurut pendapatku, Riran-tan pasti sangat memperhatikan Onii. Tapi karena terlalu malu, dia tidak bisa menunjukkan perasaannya."
HAHHAHA, itu sungguh konyol.
Meskipun aku ingin berkata begitu, akhir-akhir ini, mungkin karena pengaruh benang merah, sepertinya dia sedikit lebih memperhatikanku.
Tapi, kalo dibilang sensitif, rasanya ada yang aneh.
"Dia itu tsundere, Onii. Onii tidak mengerti."
Jadi hentikan ekspresi "Oh tidak" di wajahmu seperti itu, tolong.
Tsundere, kah?
Hmm, sepertinya dia bukan tsundere, malah lebih seperti tsuntsun saja, karena dia belum menunjukkan sisi manisnya.
[TL\n:Tsundere adalah istilah yang menggambarkan karakter yang memiliki perubahan sikap dari tsuntsun (dingin, kasar) menjadi deredere (manis, lembut). Sedangkan Tsuntsun mengacu pada sikap yang selalu dingin, ketus, atau kasar tanpa menunjukkan sisi lembut (deredere).]
"Ah...sungguh, Aku sangat menyukai kalo orang yang ditakdirkan untuk Onii itu Riran-tan."
"Kenapa?"
"Maksudku, tidak peduli bagaimana aku melihatnya, menurutku kalian berdua sangat cocok. Bukan hanya pasangan biasa, tapi seperti suami dan istri."
Kenapa ya, Tatsuya, Ryuguin, dan Kotono semua ingin menjadikan ku dan Kuonji sebagai pasangan suami istri?
Aku dan dia jadi suami istri? Haha, itu tidak mungkin...
『Selamat datang, Akito.』
『Terima kasih atas kerja keras mu. terima kasih seperti biasa.』
『Apa kau mau mandi dulu? Makan dulu? Atau.... a-ta-shi(aku?)♡』
...Bagus...!
Tunggu apa yang sedang kupikirkan ini!
Sial, sejak aku bisa melihat benang merah, semuanya jadi berantakan.
Aku meneguk jus jerukku seolah ingin membodohi diriku sendiri, dan makanan yang baru saja kupesan dibawakan kepadaku.
Aroma lezat menyentuh hidungku, dan suara saus yang sedang dipanggang di atas piring besi terdengar enak di telinga, sangat menyenangkan.
Ini dia, kalo sudah datang ke sini, aku harus makan ini.
"Kalo begitu ayo, makan. Selamat makan."
"Selamat makan~♪ ...Ah, Riran-tan."
"Ah... Hah? Woooah!?"
Kuonji yang berdiri di luar kaca jendela sedang menatap bukan aku, melainkan Kotono.
Kenapa dia ada di sini?
Iblis... atau mungkin setan? Hannya?
[TL\n:Hannya adalah topeng tradisional Jepang yang sering digunakan dalam teater Noh dan Kabuki. Topeng ini menggambarkan wajah seorang wanita yang telah berubah menjadi setan karena kecemburuan, kemarahan, atau kebencian yang mendalam.]
Pokoknya luar biasa, atau lebih tepatnya menakutkan.
Sepertinya dia sudah mengenal Kotono tapi...kenapa dia begitu marah?
Sudut mata Kuonji melotot dan alisnya membentuk angka delapan terbalik sambil terus menatap ke arah Kotono, ekspresinya sangat marah.
[TL\n: 8 dalam jepang kaya gini 八.]
Di belakang Kuonji, ada Ryuguin yang terlihat sangat panik dan bingung.
"Hei, Onii. Riran-tan, dia kelihatan marah padaku, kan?"
"Ah, iya... benar juga."
"....Hmm? Hmm? Ha ha, jadi begitu..."
Apa dia sudah tahu sesuatu?
Kotono menunjukkan senyum mencurigakan.
Pasti dia sedang memikirkan hal-hal yang tidak baik.
"Onii, mulai sekarang, apapun yang terjadi, jangan ikut campur, ya."
"Hah?"
"Di sini, aku yang akan mentraktir."
"Setuju."
"Wah, Onii benar-benar jahat, ya."
Cheese-in-hamburger yang dimakan dengan uang orang lain adalah makanan paling enak di dunia.
Saat kami sedang berbicara seperti itu, Kuonji yang berada di luar toko tiba-tiba masuk dengan langkah besar.
"Selamat datang... Hii!? "
Hei, jangan menakut-nakuti pegawai restoran seperti itu.
Langkah kaki yang berat, dia langsung berjalan menuju kami, lalu berdiri dengan tangan terlipat di depan kami berdua, seperti seorang pahlawan yang siap beraksi.
Melihat hal ini, pelanggan di sekitar kami pun mengalihkan perhatiannya kepada kami, mungkin bertanya-tanya apa yang terjadi.
Maaf kalo kami mengganggu.
Di depan Kuonji yang terlihat marah namun tenang, Kotono hanya tersenyum santai.
"Ah, kau...dari mana asalnya?"
Kotono, kenapa kau pakai bahasa seperti itu? Itu tidak cocok untukmu.
"Tch... Lalu kau siapa?"
"Aku? Hmm, bisa dibilang... orang yang penting baginya."
Sebenarnya, itu tidak sepenuhnya salah.
Tapi, cara dia mengatakannya dengan nada yang penuh arti itu kenapa harus seperti itu?
Ngomong-ngomong, apa Kuonji benar-benar tidak mengenali Kotono?
Memang, dia sekarang mengenakan pakaian yang lebih dewasa dan gaya rambutnya juga berbeda, tapi apa dia sampai begitu sulit dikenali?
"Ta-tapi orang yang penting...!? Sanada, kau...!"
"Tunggu, Kuonji. Dia ini──Mugu"
Aku berusaha berbicara, tapi Kotono menutup mulutku dengan jari telunjuknya.
Apa ini, jari yang bisa membuatku gila?
"Aki-kun, biarkan ini aku yang urus, ya?"
Dia sedang menikmati situasi ini. Juga, jangan panggil aku Aki-kun.
"Ah... A... Aki-ku...!?"
Dia terlihat sangat terkejut, padahal dia lebih muda dariku, dan kami tidak berpacaran, apalagi dia memang adikku.
Tapi, Kuonji terlihat sangat terkejut.
"S... Sa... Na... Da...!"
Aku tidak bersalah, kan? Itu semua salahmu karena salah paham, dan Kotono yang cuma bermain-main dengan situasi ini.
"Tunggu. Kau, berniat mengganggu Aki-kun-ku, ya?"
"Siapa yang punya dia!?"
"Hehehe. Kamu marah seperti kucing, ya? Lucu sekali... atau mungkin."
Kotono, sejak tadi kau hanya menambahkan 'kashira' (mungkin) di ujung kalimatmu.
Gaya wanita dewasa yang kau coba tunjukkan terasa sangat murahan, itu tidak cocok denganmu.
Kotono berdiri dari kursinya. Mungkin karena sepatu hak tinggi, kini Kotono lebih tinggi dari Kuonji.
Taoi, Kuonji tidak gentar dan menatap Kotono dengan tatapan penuh amarah, seolah menatap dari bawah.
"Apa kau seorang mahasiswa? Lalu bagaimana dengan orang yang ditakdirkan untukmu?"
"Hah? Ah, aa..."
Sepertinya dia tidak memikirkan hal itu.
Matanya terlihat gelisah seperti kupu-kupu terbang.
"Ke... keinginan kecil saja, mungkin. Sebagai wanita dewasa, hal seperti ini seharusnya biasa, kan?"
"Ke... keinginan kecil...!?"
Kotono-chan, kau pasti baru saja membaca majalah bodoh lagi, ya. Onii-chan benar-benar khawatir dengan masa depanmu.
Oh, dan tolong berhenti, ini sudah mulai mengganggu pelanggan lain. Serius.
Sambil mengamati percakapan antara Kotono dan Kuonji, aku melanjutkan makan hamburgerku, sementara Ryuguin yang duduk di sebelahku, memiringkan kepalanya dan bertanya.
"He, Sanada-kun. Sebenarnya, dia itu siapa? Bisakah kau diam-diam memberitahuku?"
"Ah... Begini... Begitu..."
"Ahhh... Hehe, jadi begitu..."
Tadi, Ryuguin yang tadinya begitu bingung, tiba-tiba tertawa kecil.
Sepertinya dia juga menikmati situasi ini.
Ryuguin berdiri dan dengan tegas melangkah di antara Kuonji dan Kotono.
"Riran-chan, sepertinya kita mengganggu. Jadi ayo kita pergi. Tidak baik mengganggu kencan mereka."
"Apa yang kau katakan! Tidak mungkin aku bisa mundur sekarang karena aku sudah sejauh ini!"
Tolonglah, mundurlah.
Karena kalian berdua membuat keributan, semua pelanggan di sini menatap kearah kita.
"Lihat itu. Adegan drama, adegan drama!"
"Di zaman sekarang, aku baru pertama kali melihat adegan drama yang begitu terang-terangan..."
"Dan anak-anak di meja itu, levelnya tinggi bet..."
"Sepertinya pria yang mereka perebutkan juga luar biasa, ya...!?"
"Mungkin dia cuma pria brengsek saja, kan...?"
Tolong, jangan lihat aku dengan tatapan seperti itu! Aku hanya korban di sini!
Tapi, meskipun dengan tatapan yang menghakimi itu, interaksi antara keduanya semakin memanas.
"Kau sangat rendahan karena menaruh tanganmu pada pria lain padahal kau sudah punya orang yang ditakdirkan dalam hidupmu..."
"Kau malah terlalu terobsesi dengan Aki-kun, kan?"
"Ah, aku... itu...!"
Dia benar-benar terbata-bata saat berbicara.
"Kau itu, sebenarnya siapa bagi Aki-kun?"
"Ugh... itu... itu karena..."
Jangan lihat ke sini.
Saat aku mengalihkan pandanganku dan fokus makan hamburger, Kuonji menatapku dengan mata berkaca-kaca.
"Sa... Sanada! Aku tidak menyangka kau akan menjadi orang yang seperti ini, yang mengejar perempuan murahan seperti itu!"
"Tidak, aku tidak ke mana-mana kok."
"Jangan kasih alasan bodoh!"
Ini seperti perasaan seorang pria yang dituduh selingkuh padahal tidak melakukan apa-apa.
Dengan mata berkaca-kaca, Kuonji mencengkeram bajuku.
Tunggu, jangan pakai kekerasan!
...Tapi tidak, ini bukan kekerasan, dia terlihat seperti sedang panik.
Matanya tampak berputar-putar.
Hei, jangan terburu-buru. Kau gila sekarang, jadi aku yakin kau akan mengatakan sesuatu yang aneh. Itu sebabnya kau harus tetap diam di sini.
Tapi, meskipun aku berusaha diam, Kuonji tetap melanjutkan.
"Kau harusnya hanya melihatku seumur hidupmu!"
Dia baru saja melemparkan bom besar dalam hubungan kami.
Kotono membuka matanya lebar-lebar.
Ryuguin terkejut dengan penampilannya yang anggun sambil menutup mulutnya dengan tangan..
Sementara Kuonji terlihat seperti baru saja melakukan kesalahan besar.
Ah... Bagaimana ini?
★★★
"Hah!? Ko-Kotono-chan!? Orang ini!?"
"Ah, tidak, aku tidak bilang kalo aku cantik..."
Aku tidak pernah mengatakan itu, bodoh.
Kami kini berada di sebuah plaza di atap pusat perbelanjaan.
Tempat ini cocok untuk anak-anak, dengan jungle gym raksasa dan ruang istirahat agar orang tua bisa bersantai.
Kami duduk di sebuah sudut, saling berhadapan.
Di sebelahku ada Kotono, di depannya ada Ryuguin, dan di depan Kotono ada Kuonji.
"Eh... sebenarnya aku pikir dia terlihat lebih dewasa, tapi apa dia berubah terlalu banyak...? Sekarang dia terlihat seperti mahasiswa."
"Ahaha! Riran-tan memuji ku!"
"Ah, ketegangan ini adalah Kotono-chan, ya."
Kuonji tersenyum masam.
Yah, dia memang masih anak-anak dalam banyak hal.
Kotono menghabiskan royal milk tea-nya dalam sekali teguk, lalu dengan napas yang agak berat, dia mendekat.
"Jangan pikirkan tentang aku! Itu... lebih penting lagi... kan, Rion-tan?"
"Benar, Kot-chan."
Kedua orang itu tersenyum lebar seperti badut.
Baru saja berteman, dan sekarang tiba-tiba mereka jadi akrab... Hebat juga mereka bisa beradaptasi begitu cepat.
Sambil minum teh, aku merenung tentang bagaimana cara mengatasi pernyataan bom yang baru saja dilemparkan tadi. Hmm, bagaimana ini?
...Atau lebih tepatnya, Kuonji baru saja menggali kuburnya sendiri. jadi kenapa aku harus menyeka pantatnya?
[TL\n: yah maksudnya kan Kuonji yang membuat kesalahan besar, jadi kenapa dia yang harus membersihkan kekacauan ini.]
Aku melirik sekilas ke arah Kuonji yang duduk di depanku.
Sepertinya dia juga sedang memikirkan hal yang sama sambil minum cokelat panas dari kaleng.
Tapi, jelas terlihat kalo dia tampak sangat terguncang. Tangan dan tubuhnya bergetar.
"Riran-chan, apa maksud dari perkataanmu tadi?"
"Benar, Riran-tan. Sekarang kau tidak bisa mengelak lagi, lho~☆"
"Ugh... nnu..."
Hei, jangan lihat aku dengan tatapan seperti itu. Semua ini kan salahmu sejak awal.
Tapi... kalo sudah seperti ini, rasanya sulit untuk menjelaskan atau menutupi semuanya dengan kata-kata.
"Kalian ber-2. Tolong, hal ini tetap jadi rahasia, ya?"
"Tunggu, apa kau akan mengatakannya...!?"
"Mau bagaimana lagi. Kalo kau tidak bilang seperti itu tadi, kita tidak akan sampai seperti ini."
"Ugh... hmph!"
Sepertinya Kuonji akhirnya menyerah.
Sungguh, dia ini...
"...Seperti yang kalian duga, aku dan dia terhubung oleh 'benang merah takdir'."
"Benar juga... Aku memang agak terkejut."
Ryuguin memandang kami berdua secara bergantian, seperti melihat sesuatu yang jarang ditemukan.
Aku tidak akan menyebutkan warna benangnya.
Tidak ada yang bertanya, dan bahkan kalo ada, aku tidak akan memberi jawaban yang terlalu jujur.
Warna merah cerah seperti itu, secara logika, tidak mungkin ada.
Tapi... entah kenapa, cara Ryuguin memandangku agak menakutkan... kenapa ya?
"Hohh... benar-benar ada keajaiban seperti itu, ya."
"...Iya. Aku juga, setengah bercanda, berpikir akan mena—eh, maksudku, luar biasa kalo kalian berdua terikat oleh 'benang merah takdir', tapi aku tidak menyangka ternyata memang benar."
Hei, Ryuguin barusan kau hampir mengatakan 'menarik'. Ternyata dia punya sifat buruk juga, ya?
...Untuk saat ini, itu aku akan kesampingkan hal itu dulu.
"Seperti yang aku bilang tadi, tolong, hal ini tetap menjadi rahasia. Aku tidak ingin terlalu banyak orang yang tahu."
"A-aku juga... tolong. Ini, semacam..."
Kuonji juga setuju dengan wajah yang merah merona.
Bayangkan kalo orang tahu kalo aku dan dia terhubung oleh benang merah takdir.
Pasti itu akan menjadi masalah besar. Terutama karena Tatsuya dan Neka.
Mungkin mereka bisa merasakannya, karena mereka berdua tersenyum dengan penuh pengertian.
"Tenang, kami mengerti kok."
"Ya, ya. Kami tidak akan bilang ke siapa-siapa."
Ah, syukurlah...
" "Jadi, maksud kalian, kalian ingin berdua saja tanpa diganggu, kan?" "
" "ITU TIDAK BENAR SAMA SEKALI!" "
★★★
"Kalo begitu, aku serahkan ini pada kalian berdua, anak muda~"
"Kami akan pergi sekarang. Sampai jumpa di sekolah nanti."
Setelah mengatakan itu, Kotono dan Ryuguin pergi meninggalkan kami.
Kini, tinggal aku dan Kuonji yang tersisa di sini. Sejujurnya, aku tidak tahu apa yang harus dibicarakan.
Sebenarnya, aku bisa langsung pulang, tapi... entah kenapa rasanya sayang untuk langsung pergi begitu saja.
" "............" "
...Apa yang harus kita lakukan sekarang?
Aku menatap Kuonji, dan dia sepertinya juga sama bingungnya, seperti tidak tahu harus berbuat apa.
...Kalo dipikir-pikir, sejak sebelum benang merah terlihat, sepertinya ini pertama kalinya aku dan Kuonji benar-benar berdua saja.
Sebelumnya, kami berdua sering bertengkar atau merasa canggung saat hanya berdua...tapi entah kenapa sekarang, udara hening ini terasa nyaman.
Ah, jadi ini efek dari benang merah, ya?
Tapi, kalo cuma duduk diam di sini, rasanya sayang untuk membuang waktu lebih lama.
Bukan hanya waktuku yang terbuang, tapi juga waktunya Kuonji.
Itu sedikit membuatku merasa tidak enak.
"Ah... mau pulang saja?"
"Eh... kau mau pulang...?"
Ah... apa-apaan itu, wajah seperti anak anjing yang ditinggal pergi?
Kuonji, kau kan bukan tipe seperti itu.
Harusnya kau lebih seperti anjing gila yang menggigit balik...!
"Haa...kalo kau memang sedang tidak ada hal lain yang dilakukan, bagaimana kalo kita berbicara sebentar?"
"Ka-Kalo kau benar-benar memintanya, ya...aku tidak keberatan..."
Sebenarnya, aku tidak masalah kalo harus pulang sekarang.
Tapi, kalo aku mengatakan hal itu, dia mungkin akan menunjukkan ekspresi seperti tadi lagi, jadi lebih baik aku diam saja.
Tapi, jujur saja, aku tidak tahu harus membicarakan apa dengannya.
Hmm...ah, mungkin ini bisa jadi topik.
"Ngomong-ngomong, kenapa tadi kau ada di sini? Sedang berbelanja?"
"Bukan. Aku mendengar dari Rion. Katanya kau sedang kencan dengan seorang wanita cantik yang tidak aku kenal."
".....Jadi, kau mendengar kalo aku sedang kencan dengan seorang wanita cantik, lalu kau langsung datang ke sini, begitu?"
"Be-...Be-benar begitu...eh, ta-tapi bukan karena itu! Sama sekali bukan! Aku tidak peduli dengan siapa pun kau menjalin hubungan...meski, ya, aku sedikit memikirkannya, tapi aku tidak peduli!"
Jadi, sebenarnya kau peduli juga, kan?
Ternyata, itulah alasannya dia marah tadi.
Karena dia melihat aku bersama seorang wanita asing, dia langsung merasa terganggu.
『Kau harusnya hanya melihatku seumur hidupmu.』
.....................
Astaga, kenapa aku merasa sangat senang.
Aku benar-benar tidak bisa menahan senyum ini.
"Sanada, ada apa? Wajahmu terlihat sangat merah."
"Ti-tidak ada apa-apa. Aku hanya merasa malu karena teringat sesuatu."
"Oh, begitu ya. Ngomong-ngomong, aku juga pernah mengalami hal seperti itu. Dulu, aku───"
Kuonji bercerita dengan penuh semangat, tapi entah kenapa aku tidak benar-benar menangkap apa yang dia katakan.
Tapi, melihat Kuonji bisa menunjukkan senyum seperti ini di depanku, itu terasa cukup mengejutkan.
Aneh, tapi...menghabiskan waktu seperti ini ternyata menyenangkan.
Mungkin mengejutkan, tapi dia sepertinya sangat menikmati berbicara, diaa bahkan tanpa kehabisan topik.
Kata-katanya mengalir terus seperti peluru dari senapan mesin, tapi anehnya aku sama sekali tidak merasa terganggu.
Tanpa terasa, waktu pun berlalu, dan sekarang sudah pukul 17.00.
Saat matahari mulai condong ke barat dan sinar senja masuk, kami akhirnya meninggalkan pusat perbelanjaan.
Di bawah langit senja yang indah, Kuonji terlihat puas dan meregangkan tubuhnya sambil menghela napas panjang.
Dalam gerakan itu, sedikit terlihat perutnya yang ramping dan ototnya yang terbentuk dengan indah.
Itu pemandangan yang cukup menyenangkan.
Terima kasih banyak, alam semesta.
"Hmm...puhaaah. Maaf ya, untuk hari ini. Gara-gara kecerobohanku, mereka jadi tahu..."
"... Kalo aku bilang aku tidak peduli, yah itu pasti bohong. Tapi aku rasa, cepat atau lambat, kita memang harus memberitahunya."
Bagaimanapun, kami akan menjalani 3 tahun di sekolah yang sama.
Tidak mungkin rahasia ini bisa terus disembunyikan selamanya.
"Lagipula, setelah mendengar 'pernyataan besar' itu, aku rasa aku cukup mengerti apa yang ingin kau sampaikan. Juga, bagaimana perasaanmu."
"Eh...benarkah begitu...?"
"Iya. Bagaimanapun juga, kita ini terikat oleh 'benang merah takdir', bukan? Jadi, setidaknya aku bisa membaca perasaanmu."
Setelah aku mengatakan itu, wajah Kuonji tiba-tiba memerah.
Kurasa itu bukan karena pantulan cahaya senja... atau mungkin saja.
"Ja-jadi....itu artinya...kau ingin terus bersamaku selamanya mulai sekarang..."
"Terus bersama selamanya? Sepertinya itu agak mustahil."
".........Apa?"
Kalo dipikir-pikir dengan tenang, mustahil untuk tetap bersama orang ini selama sisa hidupku karena dia memperlihatkan taringnya setiap kali terjadi sesuatu.
Ucapan besar yang dia lontarkan tadi mungkin muncul karena dia gugup. Atau mungkin karena efek dari melihat 'benang merah takdir' membuatnya sedikit kehilangan kendali emosi.
Lagipula, Kuonji tidak menyukaiku, dan aku selalu menganggapnya sebagai musuh alami.
Kalo bukan begitu, dia pasti tidak akan selalu mencari-cari celah untuk menyerangku setiap kali ada kesempatan, kan?
Kami sudah saling menyindir dan bertengkar selama beberapa tahun terakhir.
Aku yakin, tingkat kebenciannya terhadapku cukup mendalam.
Meskipun... aku tidak pernah benar-benar mengerti alasan kenapa dia sebegitu membenciku.
Itu yang kupikirkan, tapi ada yang aneh... kenapa dia diam saja? Tak ada reaksi.
"Kuonji?"
".........."
Hah? Kenapa dia tiba-tiba menunduk tanpa suara?
Eh, tunggu. Ini... sedikit menyeramkan.
Aku mulai khawatir dan mencoba menatap wajahnya untuk memastikan keadaannya.
"Grrr... grrrrrrrr!"
"Hah?! Ada apa ini!?"
Dia benar-benar marah... dan dia super tidak mood!
Baru saja dia terlihat senang, tapi kenapa suasananya jadi berubah drastis begini?
Mata merah gelap Kuonji yang tadi ceria kini memancarkan amarah, dia melototiku dengan tajam seperti hendak menerkamku.
Dia menggeram seperti binatang buas, hampir menyerupai anjing liar yang siap menyerang.
"K-ka-kau...!"
"Umm... apa aku melakukan sesuatu yang salah?"
Brak! — Eh, apa itu tadi? Rasanya seperti ada yang meledak...
"Kamu itu aah... Aku BENCI sekali padamu!!! BENCI! BENCI! BENCI!!!"
Dan... dia pergi begitu saja.
Ya... meskipun aku sudah tahu dia membenciku, sih.
◆Riran◆
Baka! Baka, baka, baka! Sanada BAKAAAAAAAAAA!
Apa-apaan sih dia?! Kenapa harus begitu?!
Memang benar orang-orang di sekitar kami menganggap aneh kalo kami tiba-tiba mengubah sikap kami, dan aku agak mengerti apa yang dia katakan!
Tapi tetap saja! Tetap saja!
"Arghhh!! Kesal sekaliiiii!!"
Aku akui, selama ini sikapku memang buruk.
Aku juga tahu kalo aku yang membuat dia berpikir aku membencinya.
Itu salahku, dan aku menyesalinya!
Tapi yang paling menyebalkan adalah...
"...Aku malah bilang kalo aku membenci dia...huuuhhh!"
Bodohnya aku!
Aku berguling-guling di sofa, menendang-nendang udara seperti anak kecil yang sedang mengamuk.
Saat itu, pintu ruang tamu terbuka, dan kakakku masuk.
Dia memiliki rambut pirang dan mata merah tua yang sama seperti milikku.
Tapi tubuhnya lebih kecil, rambutnya panjang hingga melewati pinggul, dan ekspresinya selalu terlihat malas.
Posturnya yang kecil sehingga ketika kami berjalan bersama kami sering disangka terbalik—aku yang dianggap sebagai kakak. Padahal dia sudah dewasa dan bahkan mahasiswa.
Karura Onee-chan memiringkan kepalanya sambil mengamati tingkahku. "Hmm? Ada apa?"
"Riran, hari ini kau terlihat lebih gelisah dari biasanya."
"Karu Onee-chan... uu, Onee-chan..."
"Nah, sini. Kau ini, meskipun tubuhmu sudah dewasa, kau tetap saja cengeng, ya."
Ugh. Rasanya nyaman sekali ketika Kakak mengelus kepala seperti ini...
"Apa terjadi sesuatu di sekolah?"
"Itu... sebenarnya..."
"Masalah tentang Akito-kun kesayanganmu, ya?"
"A-a-apa!?"
Ke-kenapa Onee-chan tahu!?
Aku bahkan tidak pernah membicarakan Sanada kepada siapa pun di keluarga ini!
"Soalnya setiap malam kau selalu mengigau sambil menyebut-nyebut namanya. Oh, dan Ayah sama Ibu juga sudah tahu, lho."
"Aku ingin menghilang saja..."
Apa-apaan ini... Jadi bukan hanya Karu Onee-chan, tapi seluruh keluargaku tahu siapa yang aku sukai.
Aku langsung menenggelamkan wajah ke bantal sofa, merasa malu dan tidak ingin melihat dunia.
Tapi, Karu Onee-chan dengan santainya duduk bersandar di sofa dan menatapku.
"Jadi, apa yang terjadi sebenarnya?"
"Eto... begini."
Akhirnya, aku menceritakan semuanya.
Tentang bagaimana aku sudah lama menyukai Sanada.
Tentang bagaimana kami ternyata terhubung dengan 'benang merah takdir.'
Tentang kejadian yang terjadi hari ini.
Dan terutama tentang kesalahan fatalku yang mengatakan aku membencinya.
Tapi, entah kenapa, aku tidak pernah bisa menyembunyikan apa pun dari Karu Onee-chan.
Mungkin karena aku selalu merasa aman saat bersamanya, atau mungkin aku memang butuh seseorang untuk bersandar.
Setiap perasaanku yang ada di dalam hati ku tumpah begitu saja di hadapannya.
Karu Onee-chan mendengarkan ceritaku dengan tenang, lalu menanggapinya dengan lembut, seolah memahami perasaanku sepenuhnya.
"Jadi begitu, ya. Intinya, Riran ingin lebih dekat dengan Akito-kun, yang adalah 'orang takdir'-mu."
"Iya... tapi aku malah bilang aku membenci dia..."
Padahal aku tidak membencinya... aku justru sangat mencintainya.
Tapi kenapa aku tidak bisa jujur di depannya...?
"Kalo begitu, awalnya kenapa kalian bertengkar?"
"Ugh... aku sempat bilang sesuatu ke Sanada... seperti, 'Kau harusnya hanya melihatku seumur hidupmu' atau semacam itu..."
"Wow, itu cukup berani."
Bukan berani, lebih tepatnya... aku benar-benar kehilangan kendali waktu itu.
Aku terlalu gugup di depan Sanada, lalu melihatnya bersama seorang wanita cantik membuatku panik, dan kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku.
Kalo saja waktu bisa diulang, aku ingin memperbaiki semuanya... tapi itu tidak mungkin.
"Setelah itu, Sanada menganggap perkataanku itu hanya lelucon... atau sesuatu yang tidak serius."
"Yah, kalo melihat kebiasaan Riran, wajar saja Akito-kun menangkapnya seperti itu. Kata-kata seperti itu bukan sesuatu yang biasanya keluar dari mulutmu."
"Yah...itu betul sekali."
'Kau harusnya hanya melihatku seumur hidupmu' bukanlah sesuatu yang akan aku ucapkan, dengan kepribadianku yang biasanya.
Terlebih lagi, orang yang dimaksud adalah Sanada Akito, seseorang yang kucintai, suka, dan aku tidak bisa berhenti memikirkannya—orang yang disebut sebagai takdirku.
Ucapan seperti itu adalah sebuah pernyataan yang membuatku ingin menghilang ke dalam lubang kalo ada.
"Yah... kalo begitu, mungkin hubungan antara Riran dan Akito-kun cukup rumit sekarang."
"Benar sekali..."
"Kalo begitu, bagaimana kalo kau mencoba memperbaikinya?"
"Memperbaiki...? Bagaimana caranya...?"
Karu Onee-chan mengerucutkan bibirnya seperti membentuk huruf 'ω', lalu berkata,
"Untuk lebih mengenalnya, kau harus pergi kencan dengannya!"
Apa yang dia katakan!?