> CHAPTER 3

CHAPTER 3

 Kamu saat ini sedang membaca  Ore no 'unmei no akai ito' ni tsunagatteta no wa, tenteki no yōna joshidatta kudanvolume 1 chapter 3. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw

KENCAN DAN GEJOLAK


"Ji──"

..........。

"Ji────"

....Tatapan itu menyakitkan.

Sekilas, aku melirik ke arah pintu depan. 

Mungkin dia buru-buru bersembunyi, tapi rambut pirangnya tidak sepenuhnya tertutup. 

Sepertinya dia sangat waspada.

Ketika aku mengalihkan pandangan, dia kembali mengintip dengan diam-diam. 

Sepertinya dia sedang melotot padaku. 

Ternyata dia masih menyimpan rasa kesal tentang kejadian hari Sabtu.

Hmm... aku masih belum mengerti apa yang membuatnya marah.

Pagi ini mendung dan menyedihkan, Senin yang suram. 

Kemungkinan hujan mencapai 70%. 

Beberapa tempat mungkin dilanda petir.

Pada hari yang sangat buruk ini, Kuonji bertingkah seperti itu. 

Kalo dia terus bersembunyi di tempat seperti itu, dia akan mengganggu teman-teman sekelas yang masuk ke dalam kelas. 

Sebaiknya dia berhenti, bukan?

Tingkah aneh Kuonji dan aku yang canggung mengalihkan pandangan. 

Tentu saja, Tatsuya dan Neka tidak akan melewatkan hal ini.

"Akki, Apa terjadi sesuatu dengan Riran?"



"Tidak ada apa-apa...seharusnya begitu."


"Hei Akito, kalo tidak ada apa-apa, masa bisa jadi seperti itu?"

Hal itu membuatku tidak bisa berkata apa-apa.

Sekali lagi, aku tidak mengerti apa yang membuatnya marah. 

Seharusnya aku dan Kuonji memiliki perasaan yang sama... atau setidaknya itu yang aku kira.

Dia membenciku, sementara aku menganggapnya sebagai musuh utama.

Aku hanya menyampaikan perasaanku dengan jujur, tapi kenapa aku malah dimarahi dan dijauhi?

Ini sangat membingungkan.

"Yah, jangan sampai membuatnya menangis, Akito."

"Benar, benar. Gadis harus diperlakukan dengan hati-hati, seperti telur."

Setelah berkata begitu, mereka berdua pergi begitu saja.

Semua ini terjadi karena aku tanpa sengaja menginjak ranjau... Tapi, aku masih tidak mengerti apa yang sebenarnya menjadi ranjau tersebut. 

Tolong bantu aku, Doraemon.



"Riran-chan, apa yang sedang kau lakukan?"

"Ssst! Rion, sekarang kau pergi dulu. Aku sedang bersembunyi dan menunggu waktu yang tepat..."

"...Aku tidak tahu apa yang dimaksud dengan waktu yang tepat, tapi semuanya sudah terlihat jelas, kan?"

"!?"

★★★


Pagi berjalan tanpa kejadian berarti, dan pelajaran pun berakhir (meskipun selama waktu istirahat aku terus dihindari). 


Saatnya istirahat makan siang.


Kuonji sudah tidak ada di tempat duduknya. 


Bahkan, dia tidak ada di dalam kelas. 


Sepertinya aku benar-benar dihindari.


...Yah, tidak apa-apa. Ayo makan.


"Hei, Akito, ayo makan."


"Ayo kita makan di kantin hari ini, Akki."


"...Ah, ayo kita pergi."


Saat aku berjalan menuju 2 orang yang sedang menunggu di lorong, tiba-tiba ada sesuatu yang menyentuh kepalaku.


Kertas kusut...ini bukan sampah, tapi...apa ini sebuah bentuk perundungan?


Aku melihat sekeliling, tapi tidak ada orang yang terlihat seperti akan melemparkan sesuatu. 


Siapa yang melakukannya?


Aku memiringkan kepalaku dan mencoba membukanya.


『Datanglah di depan rooftop.』 


Tertulis dengan huruf bulat yang imut. 


Pengirimnya...yah, mungkin orang itu.


"Maaf, kalian berdua. Silakan pergi duluan."


"Hm? Akito, kau mau ke mana?"


"Ya, sebentar. Aku ada urusan."


"Baiklah."


"Akki, aku akan menunggu di kantin."


Setelah diantarkan oleh keduanya, aku berjalan dengan hati-hati menuju tempat yang telah ditentukan, berusaha menghindari perhatian orang lain.


Saat aku tiba di sini, meskipun ini adalah waktu istirahat makan siang, keributan dari bawah tidak terdengar sama sekali. 


Suasana sangat tenang.


Di puncak tangga, Kuonji duduk seorang diri. 


Kepalanya ditekukkan ke lutut, seolah berusaha menutupi wajahnya.


...Sungguh, aku ingin dia berhenti melakukan itu. 


Celana dalam berwarna pink-nya terlihat.


Tapi, meskipun aku sudah datang, Kuonji masih belum mengangkat wajahnya. ...Apa dia benar-benar tidak menyadari kedatanganku?


"Emm... Kuonji, aku sudah datang."


"......"


Dia sedikit mengangkat wajahnya dan melirik ke arahku.


Kalo dilihat lebih dekat, wajahnya terlihat memerah. 


Aku tidak tahu apa itu karena kemarahan atau rasa malu.


" "......" "


Kami terdiam dalam kebingungan. 


Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.


Kemudian, Kuonji perlahan menghembuskan napas dan mengangkat wajahnya.


Dengan mata yang tampak penuh tekad, dia menatapku.


"Sanada, aku minta maaf untuk hari Sabtu... Maafkan aku."


"Eh? Maaf untuk apa?"


"....Karena aku berkata 'aku sangat membencimu' begitu saja."


.........Eh? Apa maksudnya? Karena itu, dia mengatakannya dengan emosi?


"Jadi... maksudmu sebenarnya kau tidak membenciku... kan?"


"Jangan salah paham."


"Oh, baiklah."


Ya, tentu saja, ha ha ha.


"Ah, ti-tidak... ugh."


...Aku tidak mengerti. 


Sejak dulu pun aku tidak mengerti, tapi belakangan ini tingkah laku Kuonji semakin sulit dimengerti.


"Pokoknya, aku benar-benar minta maaf!"


"...Aku mengerti. Meskipun aku tidak tahu apa yang sebenarnya kau minta maafkan, tapi aku mengerti."


"...Kau memang jujur, ya."


"Memang aku tidak tahu, sih. Daripada berpura-pura dan membuatnya lebih rumit nantinya, lebih baik jujur saja."


"Heh, apa itu?"


Oh, dia tersenyum. 


Seperti yang aku pikirkan pada hari Sabtu, ternyata dia memang lebih terlihat imut saat tersenyum.


"Jadi, kau memanggilku ke sini hanya untuk itu?"


"Bukan itu. Jadi...kita kan terhubung oleh 'benang merah takdir', kan?"


Kuonji mengangkat tangan kirinya. 


Aku pun mengangkat tanganku. 


Di sana, jelas ada benang merah yang menghubungkan kami.


Aku sudah terbiasa dengan ini, jadi tidak masalah lagi.


"Ah, iya, memang begitu."


"Dan aku pikir...kalo begitu, kenapa kita tidak berhenti bermusuhan saja?"


"...Maksudmu?"


"Eh, maksudku...aku tidak tahu...juga meskipun kita mungkin belum bisa menjadi teman baik, tapi bagaimana kalo kita saling mengenal satu sama lain?"


Hmm, aku mengerti. 


Jadi, sebenarnya Kuonji juga ingin lebih dekat denganku.


...Apa maksudnya 'juga'? Seolah-olah aku yang ingin berteman dengannya.


Ketika aku menggelengkan kepalaku, Kuonji mulai memain-mainkan jarinya dengan canggung.


"Ka-kalo kita saling mengenal... mungkin kesalahpahaman perasaan kita bisa teratasi..."


"...Kesalahpahaman perasaan?"


"!I-itu tadi bukan maksudku! Itu hanya kesalahan kata!"


"Oh, begitu."


Aku berusaha untuk tidak berpikir terlalu dalam. 


Kalo aku terlalu memikirkannya, bisa-bisa aku malah berprasangka aneh tentang dia, padahal aku masih belum mengenalnya dengan baik.


"Tapi, kan, kita sudah pernah bicara untuk tidak mengubah sikap kita secara tiba-tiba di sekolah. Lalu bagaimana kita melanjutkannya?"


"Jadi, maksudmu...di luar sekolah, misalnya...?"


"Ah, jadi di luar. Baiklah, itu ide yang bagus."


"Yup, itu benar, kalo tiba-tiba mengatakannya di sekolah, pasti akan merepotkan..."


"Eh?"


Apa? Kenapa dia terlihat begitu terkejut?


"Kalo kita saling mengenal, mungkin di luar sekolah kita bisa lebih menunjukkan diri kita yang sebenarnya. Itu lebih baik, kan? Jadi, tidak masalah."


"Apa...itu benar-benar oke?"


"Ya. Kalo begitu, ayo kita tukar alamat LINE agar kita bisa memutuskan ke mana kita akan pergi pada hari Sabtu."


Aku lalu membuka aplikasi pesan, LINE.


Melihat itu, Kuonji juga membuka LINE dengan ekspresi bingung.


"Kalo begitu, ayo kita saling menggeser. Ayo, geser."


"F-fokus... geser..."


"...Oh, berhasil. Kalo begitu, aku akan menghubungimu setelah aku pulang. Sampai nanti."


"U-uh."


Aku turun dari tangga, terus menuruni tangga.


Aku melihat 'Teman Baru' yang baru saja terdaftar di LINE.





【RIRAN】


......


Ah, tidak boleh. Jangan tersenyum. 


Ini buruk, sungguh, aku benar-benar tidak boleh seperti ini.


Aku berlari menuruni tangga hingga ke lantai paling bawah, lalu duduk di ruang bawah tangga agar tidak terlihat oleh siapa pun.


Sial...aku merasa sangat senang.


◆Riran◆


".........."


Aku tertegun. Saat ini, aku merasakan kata-kata itu dengan seluruh tubuhku.


Aku tidak mengerti maksudnya.


Meskipun belum bisa disebut kencan, kami sudah membuat janji untuk pergi bersama.


Tapi itu bukan satu-satunya hal yang terjadi. 


Sesuatu yang tidak terduga terjadi.


Di LINE, ada teman baru yang ditambahkan.


【AKITO】


".........."


.........


"NYAAAHHHHHHHHHHHHHHHH!!!"


◆Hiyori◆


"Aneh..."


"Apa yang aneh?"


"Eh? Ah, maaf, tidak ada apa-apa... Ayo, makan bentou mu!"


Mitta-chan terlihat bingung sambil memiringkan kepalanya, tapi Hiyori mengalihkan pembicaraan dengan menggigit sandwich.


Meskipun begitu, pikirannya dipenuhi dengan kedua orang itu.


Belakangan ini, Hiyori sudah memperhatikan mereka berdua, dan tetap saja, ada sesuatu yang terasa aneh.


Tatapan Rira-tan terhadap Sana-tan semakin intens, dan sikap Sana-tan terhadap Rira-tan juga terasa lebih lembut, entah kenapa.


Jelas sekali cara mereka berinteraksi dan sikap mereka berbeda dari sebelumnya. 


Bisa dibilang jarak mereka semakin dekat. Begitulah kira-kira.


Apa mungkin ada sesuatu yang terjadi? 


Sesuatu, sesuatu, sesuatu.


Hiyori mencoba mengingat kembali kejadian-kejadian akhir-akhir ini dan waktu perubahan sikap mereka.


...Jangan-jangan... Eh, tidak, tidak mungkin. Itu pasti hanya pikiranku saja. Hahaha, itu tidak mungkin terjadi.


Keringat dingin mengalir di punggung Hiyori, dan sebuah hipotesis terlintas dalam pikirannya.


Bahkan membayangkannya saja terasa konyol. Hipotesis seperti itu.


Hahaha. Apa mungkin itu terjadi? Bukankah itu tentang mereka berdua? Rira-tan sangat menyukai Sana-tan, tapi Sanada-tan sepertinya agak canggung dengan Rira-tan... Jadi, kedua orang itu, mereka──.


──"Terikat oleh 'benang merah takdir'...?"


★★★


Setelah menyelesaikan latihan yang menjadi rutinitas harianku setelah sekolah, aku kembali ke kamarku di malam hari.


Sekarang, aku sedang duduk bersila di atas tempat tidur.


Di depanku, ada Hp yang biasa aku gunakan. 


Layar yang terbuka adalah layar percakapan dengan 【Riran】. 


Tentu saja, riwayat percakapan masih kosong.


Semuanya baik-baik saja sampai aku bertukar kontak dengan Kuonji. 


Tapi... apa yang harus aku kirimkan?


"'Selamat malam'... rasanya tidak tepat. 'Senang bertemu' denganmu?... Tapi kan ini bukan pertama kali aku bertemu dengannya. 'Hei, cewek, kai lagi memakai celana dalam model apa?'... Eh, ini malah cabul sekali."


Sigh, aku benar-benar panik.


Aku sangat bingung... Kalo dengan Neka atau Kotono, aku mungkin tidak akan terlalu tegang, tapi kalo dengan Kuonji, aku tidak tahu harus mengatakan apa.


Kalo dengan gadis lain, seharusnya aku tidak perlu segugup ini... Mungkin karena dia orang yang 'ditakdirkan' untukku.


Waktu sudah menunjukkan lebih dari pukul delapan malam.


Kalo lebih lambat dari ini, aku merasa ini bisa mengganggu... Ah, apa pedulinya!


"Akito: Selamat malam."


"Akito: (Sticker anjing sedang menyapa)"


Huff. Ini percakapan ringan, untuk mencoba merasakan suasana.


Tidak lama kemudian, suara notifikasi terdengar dan balasan pun datang.


『Riran: Yahhhooo☆』


『Riran: Aki-kun, kau kaku sekali☆ Santai saja☆』


Siapa ini?


"Akito: Maaf, aku salah kirim."


『Riran: Gomeyu Sanata (Maaf,Sanada!) Sekarang aku lagi dengan Onee-chanku! Onee-chanku yang mengirimkan chat tadi!』


Oh, jadi dia punya kakak perempuan. 


Ternyata Kuonji adalah anak kedua.


Orang ini terlalu terburu-buru. dia bahkan membuat banyak kesalahan ketik. Imutnya──.


"Ugh...!"


Aku hampir saja mengatakan kalo dia imut...dan malah aku sudah mengatakannya tadi!


Sial, aku jadi bingung sendiri!


"Akito: Oh, begitu. Sepertinya kakakmu orang yang ceria ya."


『Riran: Ya, dia sering membantuku. Bahkan sekarang...』


"Akito: Ada apa? Apa yang sedang kau?"


...Hah? Kenapa dia berhenti di sini, padahal sudah terbaca?


Bip. Oh, balasannya datang.


『Riran: Belajar! Aku sedang dibantu belajar! Onee-chan ku kuliah di kampus Teito』


"Akito: Teito, ya? Itu salah satu kampus terbaik di Jepang. Itu luar biasa."


Aku juga belajar dengan serius, tapi rasanya aku tidak mungkin bisa masuk ke kampus Teito.


Ternyata, seperti keluarga Kuonji, mereka pasti orang-orang yang disiplin dan teratur.


...Tapi, setelah melihat pesan ini, sepertinya dia agak ceroboh juga.


『Riran: Ngomong-ngomong, soal hari Sabtu nanti』


"Akito: Ah, kita mau keluar, kan? Mau ke mana?"


『Riran: Senada, apa ada tempat yang ingin kau kunjungi?』


Tempat yang ingin aku kunjungi, kah.


Untuk waktu luang, biasanya kalo aku pergi dengan Kotono kami akan pergi ke pusat perbelanjaan. 


Kalo dengan Tatsuya atau Neka, biasanya ke arcade. 


Kalau soal belanja, tidak ada hal khusus yang kuinginkan saat ini.


Mungkin menonton film atau ke akuarium? ...Tapi, ini bukan kencan. 


"Akito: Tidak ada yang khusus sih. Kalo kau bagaimana?"


Di sini, dia berhenti lagi.


Sepertinya dia sedang bingung menentukan tempat tujuan.


Lima menit berlalu. Akhirnya, balasan datang.


『Riran: Banyak sekali pilihan, jadi aku bingung』


Apa dia tidak terlalu imut? Tidak bisa, belakangan ini, keimutan Kuonji semakin menonjol.


...Tapi, sepertinya Kuonji sendiri tidak berubah. 


Yang berubah adalah cara pandangku terhadapnya.


Setelah aku tahu kalo kami terikat dengan 'benang merah takdir, aku mulai merasakan keimutannya, bukan lagi kekesalan. 


Aku memang sederhana dan dangkal...


Bip. Oh, balasan datang lagi.


『Riran: Kalo menurutku, mungkin hotel cinta bisa jadi pilihan』


『Riran: Ini juga bisa jadi cara bagus untuk saling mengenal, kan?』


────. Hotel cinta... hotel cinta?


"Fa!? "


Eh... eh!? Apak ini ajakan untuk ngewe!?


Memang, sepertinya itu terlalu cepat, atau malah terkesan berani! 


Meski sebagai remaja, aku tidak menolaknya, dan aku adalah tipe pria yang makan apa yang ada di meja, jadi, bisa dibilang aku senang juga!


[TL\n: maksudnya dia tipe yang akan mengambil kesempatan yang ada di depan matanya, ya kalo gua juga pasti bakalan nerima, kan di ajak ehehe.]


Bip. Oh, ada balasan lagi.


『Riran: Itu juga Onee-chan yang mengirimnya!』


[TL\n: alasan sejuta umat waktu nembak cewek lewat chat dulu, kalo di tolak seketika langsung bilang kalo itu diketik oleh teman\kakak\adek. Btw gua juga pernah pake alasan ini.]


『Riran: jadi segera lupakan itu! Lupakan itu!』


『Riran: Kita belanja biasa saja! Biasa saja, biasa saja!』


O-oh, iya, benar. Jadi itu maksudnya. Kuonji, tolong jangan membuat jantungku berdebar begitu.


...Tapi, aku yang sedikit kecewa itu rahasia, ya.


"Akito: Tolong bilang ke Onee-chan mu untuk berhenti melakukan itu, karena itu buruk untuk jantungku."


『Riran: Oke, aku akan mengatakan padanya』


Tapi, berbicara tentang hotel cinta dengan Kuonji...


A-aku harus berhenti memikirkannya. 


Kalo tidak, ini bisa jadi pelecehan seksual.


『Riran: Nah, jadi tentang hari Sabtu, bagaimana kalo kita pergi berbelanja?』


『Riran: Pasti ada pakaian musim panas yang baru dijual, kan?』


Oh, pakaian ya.


Sebenarnya aku tidak terlalu peduli dengan pakaian... Tapi, sepertinya Kuonji sangat menantikannya.


Tapi, aku tidak akan mengirim pesan yang seperti, "Aku tidak tertarik, tapi tidak masalah." Itu hanya akan membuat Kuonji bingung.


"Akito: Pakaian, ya? Sebenarnya aku juga ingin membeli beberapa, jadi tidak apa-apa."


『Riran: Benarkah? Terima kasih』


Sepertinya itu jawaban yang tepat.


Aku tidak boleh membuat Kuonji kesal sekarang.


"Akito: aku ingin membeli pakaian, tapi aku tidak tahu pakaian apa yang harus aku beli."


『Riran: Kalo begitu, biar aku yang memilihkannya untukmu.』


"Akito: Aku sangat terbantu."


『Riran: (Stiker anjing yang mengatakan "Serahkan padaku")』


Sepertinya, Riran seorang dog lover's. Aku juga dog lover's, jadi aku merasa sedikit lebih dekat dengannya.


"Akito: Kalo begitu, tolong ya."


『Riran: Oke, baiklah.』


『Riran: Aku harus mempersiapkan pelajaran untuk besok, jadi hari ini sampai di sini dulu. Selamat malam.』


"Akito: Oke, selamat malam."


Mempersiapkan pelajaran, ya... Aku sudah lama tidak melakukannya.


Waktu SMP aku rajin belajar, tapi sejak masuk SMA, aku sama sekali tidak melakukannya.


..........


"Mungkin aku juga harus belajar sekali-sekali."


Baiklah...sebelum itu, ayo pergi ke minimarket.


◆Riran◆


"Karu Onee-chan!"


"Maaf ya~"


Onee-chan sama sekali tidak terlihat meminta maaf!


Karura-onee-chan menatapku dengan seringai di wajahnya saat dia memakan es krim Gorigorikun.


"Tapi, tidak apa-apa, kan? Kalo kalian mau saling mengenal, lebih cepat kalo langsung ngewe."


"Aku bilang itu terlalu cepat!"


Sungguh onee-chan ini!


"Adikku ini memang penakut ya."


"Aku memang penakut, tidak apa-apa, hmph!"


"Tapi, kan Riran yang datang kepadaku sambil menangis karena tidak tahu harus mengirim apa kan?"


"Ugh..."


"Bukankah berkat aku kalian bisa berbicara?"


"Ugh...! ... Aku akan memberimu bagianku dari es krim Gorigorikun di kulkas."


"Hehe. Makasih~”


Aku merasa sekali lagi kalo aku tidak akan pernah bisa mengalahkan Onee-chan ku.


★★★


Sejak itu, hampir setiap malam aku berkomunikasi dengan Kuonji, dan di sekolah kami tetap bertengkar seperti biasa. 


Hingga akhirnya, hari Sabtu yang ditunggu-tunggu pun tiba.


Setelah menyelesaikan latihan harianku di gym, aku pulang menjelang pukul 10 pagi.  


Janjiku temuku dengan Kuonji adalah pukul 12 siang di depan stasiun, jadi masih aku masih punya waktu luang.  


Aku mandi dengan teliti, lalu menata rambutku dengan menggunakan wax yang biasanya tidak kupakai.  


Aku juga mengoleskan parfum solid di belakang telinga dan pergelangan tanganku. 


Terakhir, aku memeriksa penampilanku di cermin.  


"Tidak ada kotoran mata. Tidak ada bulu jenggot yang tidak tercukur. Rambutku sudah rapi. Pakaian juga tidak kusut. Oke, tidak ada masalah."  


...Kenapa aku sampai serius begini, ya?  


Setelah dipikir-pikir lagi, ini bukanlah kencan. 


Ini bukan kencan, hanya sekadar pergi bersama untuk saling mengenal satu sama lain.  


...Apa aku terlalu bersemangat? ...Tidak-tidak, ini normal. Ini memang diriku. Ya, seharusnya tidak ada masalah!  


Aku memeriksa jam tanganku. 


Sekarang pukul 11.10. 


Dari rumahku ke stasiun membutuhkan waktu 20 menit berjalan kaki, tapi aku bisa berangkat sekarang dan menunggu dia di sana.  


"Baiklah. Ayo berangkat."  


Dengan semangat, aku mengenakan sepatu sneaker kulit favoritku.  


Dengan ini, berjalan jauh pun tidak akan membuat kakiku sakit atau lelah.  


Aku memeriksa penampilanku sekali lagi di cermin dekat pintu depan dan bersiap untuk pergi, ketika Kotono, yang baru saja bangun, turun dari tangga sambil menguap.


"Fuaaa~. Hei~, Onii, kau mau pergi ke mana? Kotono juga mau ikut~."  


"Hey, kau terlihat masih sangat mengantuk sampai-sampai kau mengalami kemunduran menjadi balita. Dan tolong pakai baju yang benar."  


Bahu kanan kamisolnya melorot, nyaris terbuka, tapi masih tertahan di payudaranya sehingga tidak sepenuhnya terlihat.  


Sungguh, dia sudah cukup umur, aku harap dia punya sedikit rasa malu. 


Sebagai onii-chan-nya, aku khawatir dengan masa depan Kotono.  


"Baiklah, aku pergi dulu. Kotono, cepatlah cuci mukamu."  


"Oke~. Hati-hati di jalan~."  


Setelah keluar rumah, aku berjalan santai melewati permukiman.  


Ini benar-benar cuaca yang sempurna untuk jalan-jalan. 


Angin sepoi-sepoi terasa menyenangkan, seperti anak nakal yang mengelus kulitku. 


Meskipun langit tidak sepenuhnya cerah tanpa awan, awan putih terlihat kontras dengan kanvas biru langit.  


Sambil berjalan santai, aku melihat seorang anak laki-laki dan perempuan bermain di taman.  


Apa mereka kakak beradik? Atau anak dari 2 emak-emak yang sedang mengobrol di dekat sana?  


Bagaimanapun, mereka terlihat akur. Sangat berbeda dengan aku dan Kuonji.  


Tiba-tiba, 2 emak-emak itu memanggil anak-anak mereka. 


Ternyata, seperti yang kuduga, mereka adalah anak dari emak-emak itu.  


Wahai anak-anak, hargailah orang yang ada di sampingmu sekarang. 


Bisa jadi, orang di sebelahmu adalah takdirmu di masa depan.  


Jika saja aku tahu kalo Kuonji adalah takdirku, aku pasti akan lebih menghargainya───  


"Ugohhhhhhhhh!!"  


Apa maksudku dengan 'menghargai' ituaaaaa!!


"Ibu, lihat! Kakak laki-laki itu sedang membenturkan kepalanya ke tembok."  


"Orang aneh~"  


"Jangan lihat!"  


Grr...! Kalo ini terus berlanjut, aku akan dianggap sebagai orang mencurigakan. 


Lebih baik aku segera pergi.  


Aku bergegas meninggalkan taman menuju stasiun, seolah-olah melarikan diri.  


...Eh, ada gadis kecil? Apa itu? Ada sesuatu yang mengganjal di kepalaku.  


『Sampai jumpa lagi!』  


Hmm? Sampai jumpa lagi? Apa maksudnya? Sepertinya ada sesuatu yang terjadi saat aku masih sangat kecil.  


...Tidak, tidak sekarang. 


Sekarang aku harus fokus untuk membuat jalan-jalanku bersama Kuonji berjalan dengan baik.  


Mungkin karena perasaan gelisah itu, waktu menunjukkan pukul 11.20. 


Aku tiba jauh lebih awal dari rencana.  


Tapi... aneh. 


Benang merah sudah terbentang mengarah ke stasiun.  


Kalo mempertimbangkan rumahku, rumah Kuonji, dan tempat pertemuan, benang merah seharusnya mengarah ke arah yang berlawanan. 


Juga masih ada 40 menit lagi sebelum waktu yang dijadwalkan.  


Tapi...  


"...Kenapa dia sudah ada di sini?"  


Di bawah menara jam di depan stasiun, Kuonji terlihat gelisah, memainkan poni rambutnya.  


Dia mengenakan rok ekor ikan berwarna krem dan kemeja lengan bel putih.  


Kalung dengan satu titik hiasan bersinar di lehernya, memancarkan warna pelangi tergantung pada cahaya.  


Meskipun gelisah, dia tetap terlihat elegan, dan siapa pun yang melihatnya akan menganggapnya sebagai bunga yang sulit dijangkau.  


Di sekeliling Kuonji, yang menjadi pusat perhatian, terbentuk ruang kosong berbentuk lingkaran. 


Sungguh, area suci yang tidak bisa dimasuki oleh siapa pun.  


Sangat sulit untuk mendekatinya...  


Ti-tidak, tidak perlu merasa terintimidasi, aku. 


Kuonji sedang menungguku. 


Ya, jadi tidak apa-apa untuk mendekatinya.  


Dengan diam-diam mengumpulkan keberanian, aku mencoba mendekati Kuonji. Tapi saat itu—


"Wah, cantik sekali! Hei, nona, apa kau sedang tidak sibuk?"  


Orang asing mendekati Kuonji.  


...Hah? Siapa ini?  


Jelas-jelas dia adalah pria yang terlalu percaya diri dan populer. 


Pria dengan kesan seperti itu menghampiri Kuonji.  


"...Siapa kau?"  


Sepertinya Kuonji juga berpikir hal yang sama, matanya menyipit sambil menatap pria itu.  


Tapi, pria itu tidak gentar dengan tatapan itu.  


"Kau bahkan terlihat manis bahkan ketika kau sedang marah! Aku tahu kedai kopi yang bagus di sekitar sini? Apa kau mau minum teh bersamaku?"  


"Tidak, terima kasih."  


"Ayolah, jangan bilang begitu."  


Pria itu kemudian mencoba mengalungkan tangannya di bahu Kuonji—  


"Kau ini...!"  


"Jangan menyentuhnya tanpa ijin."  


Tanpa kusadari, aku sudah memegang pergelangan tangan pria itu dan memelintirnya.  


"Aah... S-Sanada..."  


"Maaf, Kuonji. Aku membuatmu takut."  


"Umm...tidak, aku baik-baik saja."  


Kuonji kemudian bersembunyi di belakangku, memegang bajuku dengan erat.  


Dia gemetar... Sepertinya dia memang ketakutan. 


Haruskah aku menghajar pria ini?  


Aku menambah sedikit tekanan pada genggamanku.


"Aduh, aduh, aduh! Hei, apa-apaan ini?!"  


"Apa-apaan? Kau sendiri yang mulai merayu sembarangan."  


"Hah?! Bukannya itu hal yang biasa dilakukan? Cinta dengan takdir dan nafsu itu 2 hal yang berbeda, tahu!"  


"Kalo begitu, lebih baik kau pulang dan tidur sendirian di rumah."  


Dengan mendorong tangan yang sudah kuperas ke depan, pria itu tersandung dan jatuh terduduk.  


Dia menatapku dengan penuh kebencian. 


Tapi, setelah melihat penampilanku, pria itu ketakutan dan pergi meninggalkan tempat itu.  


Yah, dibandingkan dengan pria biasa, aku memang lebih berotot. 


Ditambah lagi, pakaian yang kupakai cukup tipis. Wajar saja dia ketakutan.  


"Kuonji, apa kau baik-baik saja? ...Kuonji?"  


Hah? Tidak ada respons.  


Aku menoleh ke belakang, melihat Kuonji yang masih memegang bajuku.  


Ternyata, Kuonji menatapku dengan tatapan yang penuh kekaguman.  

"Kuonji? Hei?"  


"...Kau keren..."  


"Hah?"  


"...Tidak, bukan apa-apa!"  


"O-oh, begitu."  


Eh, kenapa tiba-tiba dia marah padaku?  


Tapi sepertinya Kuonji masih ketakutan karena kejadian tadi, karena dia tidak melepaskan genggamannya pada bajuku.


"....Aku akan mengucapkan terima kasih. Terima kasih."


"Jangan dipikirkan. ...Sebaliknya, apa aku membuatmu menunggu?"


"Tidak, aku juga baru saja tiba. ...Kau sendiri, bukannya kau datang terlalu cepat?"


"Ah... Hanya ingin saja. Kau juga cepat."


"Aku juga hanya ingin saja."


" ".....hehe. Haha." "


Sungguh, apa-apaan ini.


"Karena kita sudah berkumpul lebih awal, jadi ayo kita makan dulu."


"Setuju. ...Oh ya, Kuonji."


"Apa?"


"Pakaian itu cocok untukmu.”


"Nya!? H-hei, jangan mengejutkanku!"


Aku tidak bermaksud mengejutkannya. 


Meskipun begitu, Neka, Tsuchimikado, dan Kotono sangat cerewet tentang hal-hal seperti ini. 


Jadi aku tidak sengaja terbawa suasana.


Masih memegang bajuku, Kuonji menemani ku masuk ke pusat perbelanjaan dan kami makan ringan di sebuah kafe.


Aku memesan napolitan, sementara Kuonji memesan sandwich.


Cara makannya yang pelan-pelan seperti hewan kecil membuatku tidak pernah bosan melihatnya. 


Sungguh dia sangat menggemaskan.


Makanan kami berdua berlanjut dalam keheningan. 


Tapi, anehnya, suasana ini terasa nyaman. 


Aku tidak merasa terganggu dengan kesunyian ini.


Meskipun dia seperti musuh alami bagi ku, sejak aku mulai ingin berteman dan saling mengenalnya, suasana seperti ini terasa menyenangkan.


Setelah menyelesaikan sandwich telurnya, Kuonji merapikan posturnya dan menundukkan kepalanya.


"Sanada. Sekali lagi, terima kasih untuk tadi. Jujur, aku sedikit takut."


"Jangan dipikirkan. Lagipula, orang yang begitu agresif seperti itu jarang ditemui. Wajar kalo kau merasa takut."


Mengajak kenalan secara langsung seperti itu jarang terjadi di zaman sekarang.


Dia bilang "semua orang melakukannya", tapi di zaman modern ini, di mana orang bisa mengetahui dengan jelas siapa jodoh mereka, kemungkinan berhasil dengan cara seperti itu pasti rendah.


Hanya wanita yang sangat terbuka dengan hubungan yang mungkin berhasil dengan cara seperti itu.


Artinya, dia melihat Kuonji dan mengira kali dia bisa berhasil mendekatinya...


"Haruskah aku mencari dia dan memberinya pelajaran?"


"Kenapa kau sampai pada kesimpulan itu!?"


[TL\n: anjir ni mc roman-romanya punya sifat yandere.]


"Karena dia...ah, tidak, lupakan."


"Apa? Sekarang aku jadi penasaran."


"Sudah kubilang, tidak ada apa-apa."


Sepertinya dia menyadari kalo dia terus mengejar lebih jauh itu akan sia-sia, kemudian dia memasukkan sandwich tuna ke mulutnya sambil menatapku dengan tatapan tajam.


Fuuh... Tenang, tenang wahai diriku. 


Kemungkinan besar aku tidak akan bertemu lagi dengan orang seperti itu. 


Ya, tidak perlu dipikirkan.


Aku melilitkan pasta di garpu dan memakannya.


Melihat itu, Kuonji memiringkan kepalanya dengan ekspresi penasaran.


"Sanada, apa hanya itu cukup untukmu"?


"Ya. Aku sudah minum protein di rumah."


"Nah, protein. Jadi benar kamu sedang melatih tubuhmu."


"Itu untuk memperkuat tubuhku demi kickboxing."


"Heh... Hei, boleh aku menyentuhnya sebentar?"


"Tentu. Silahkan."


"──Ah."


Kuonji menghentikan tangannya yang terulur. 


Pada saat yang sama, kejadian di tangga itu terlintas di pikiranku.


Saat itu, hanya sentuhan telapak tangan saja sudah mengirimkan kejutan ke seluruh tubuhku, seolah-olah aku baru saja tersambar petir.


Ini... Aku berniat membiarkannya menyentuh biasa, tapi pasti ini akan berakhir buruk.


Aku dan Kuonji sama-sama membeku.


Wajah Kuonji memerah dengan cepat, dan aku juga menyadari wajahku mulai terasa panas.


"A-ah... Ayo kita makan."


"I-i-iya, benar...!"


Rasanya canggung...tapi canggung yang menyenangkan.


Apa Kuonji juga merasakan hal yang sama? 


Dia menyembunyikan pipinya yang memerah sambil tersenyum lebar dan menggigit sandwich tunanya.


Aku dan Kuonji pergi bersama, makan bersama... Kalo aku memberitahu diriku beberapa hari yang lalu, pasti dia tidak akan percaya.


"Ini aneh."


"Eh... Apa yang aneh?"


"Kau dan aku, pergi bersama seperti ini."


"....Benar juga."


Apa Kuonji juga memikirkan hal yang sama?


...........


Ah, bagaimana ini? Aku hampir tidak bisa menahan senyumku! Ini sangat menyenangkan!


Tenang, tenanglah wahai diriku. 


Aku harus berpura-puralah menjadi cool. 


Makan saja napolitan ini seperti biasa. Ya, aku tetap tenang.


Tapi yah, tidak bisa dipungkiri, aku sangat senang!


"...? Sanada, ada apa?"


"A-apa maksudmu?"


"Kau terlihat aneh. Meskipun biasanya kau juga aneh."


"'Biasanya aneh' itu tidak perlu."


Ah, bagus. Aku bisa sedikit tenang kembali.


Kuonji memiringkan kepalanya, setelah selesai makan, dia membersihkan mulutnya dan menyatukan tangannya.


"Apa kau mau memesan dessert?"


"Boleh? Bagaimana dengan waktu belanja kita..."


"Aku juga sedang berpikir untuk memesan. Lagipula, waktu kita masih banyak, kan?"


Ketika aku melihat ke tangan kiriku, Kuonji juga terlihat terkejut.


Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya, tapi aku tidak ingin hari ini berakhir hanya dengan pergi keluar bersama.


"Kau, tentang aku..."


"Hm?"


"...Tidak, tidak apa-apa. Nah, apa yang harus aku pesan, ya?"


Kuonji tersenyum lebar sambil melihat menu.


Apa dia suka dessert? 


Matanya bersinar seperti anak kecil...tidak, aku merasa seperti sedang menghadapi Kotono. 


Melihatnya seperti ini, aku jadi ingin memanjakannya.


"Hmm, apa aku harus pesan puding original atau parfait stroberi...aku jadi bingung."


"Apa kau suka keduanya?"


"Iya. Aku sangat suka stroberi, dan juga suka puding."


"....Aku akan mencicipi sedikit, jadi kau bisa pesan keduanya."


"Benarkah!? Boleh!?"


"Tentu. Seorang pria tidak akan menarik kembali ucapannya."


"Hehehe. Wah, kau baik sekali! Kalo begitu, aku pesan parfait stroberi, dan kau pesan puding original, ya!"


"Iya, iya."


Reaksinya persis seperti Kotono.


Tapi, aku tidak akan memperlakukannya seperti adikku. 


Orang yang ada di depanku ini adalah orang yang ditakdirkan untukku.


Mencoba untuk memperlakukannya sebagai saudara perempuanku. Itu tidak sopan, dan kalo dia mengetahuinya, aku pasti akan dibunuh.


Kuonji Riran, seorang yang penuh integritas, menyukai makanan manis, dan memiliki sisi yang menggemaskan.


Dalam beberapa hari terakhir, aku merasa semakin mengenal sisi baik dari Kuonji.


Hari ini, perjalanan kami bersama sepertinya akan menjadi hari yang menyenangkan.


Sambil melihat Kuonji memesan dessert kepada pelayan, aku merasa begitu.


★★★


Setelah selesai makan, kami memutuskan untuk keluar dari restoran dan melakukan window shopping.


Menurut Kuonji, menjelang akhir April, pakaian untuk musim panas awal hingga musim panas akan mulai dijual, dan pakaian musim semi saat ini dijual dengan diskon lebih dari setengah harga.


Meskipun diskon lebih dari setengah harga, dari segi harga, itu masih cukup memberatkan kantong seorang siswa SMA.


"Pusat perbelanjaan ini cukup mahal, tapi apa kau membawa uang yang cukup untuk berbelanja?"


"Aku minta uang pada ayahku, dan dia memberiku 5 lembar uang 10 ribu yen.」


Bukankah para ayah di dunia ini terlalu memanjakan anak perempuan mereka?


Kotono juga mendapatkan uang untuk belanja pakaian dari ayahnya. 


Ini tidak adil. Aku juga ingin uang.


[TL|n: dunia ini memaang tidak adil bung, jadi biasakan dirimu; Pertrick Star.]


Merasa sedikit sedih dengan perbedaan perlakuan antara anak perempuan dan laki-laki, kami memasuki sebuah toko bermerek yang agak mahal.


Dengan wajah serius, Kuonji sedang melihat-lihat pakaian tanpa lengan yang terlihat seperti baju kerja...


"Apa ini? Baju kerja?"


"Bukan. Ini adalah gaucho tanpa lengan all-in-one. Dengan mengencangkan sabuk di bagian tengah, kau bisa menonjolkan garis tubuh yang feminin. Bagian kakinya longgar, jadi mudah untuk bergerak..."


Blablabla. 


Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dia katakan.


Tapi, melihatnya berbicara dengan antusias, aku juga merasa ikut senang.


Kuonji kemudian mengambil 2 jenis pakaian all-in-one.


"Hei, mana yang lebih cocok untukku?"


Ini dia, pertanyaan yang merepotkan. 


Kotono juga sering mengatakan hal yang sama saat berbelanja denganku.


Tapi, melihat Kuonji yang terlihat begitu bersemangat, aku tidak bisa menolaknya dengan kasar.


Aku membandingkan kedua pakaian itu. 


Satu berwarna hitam. Di bagian pinggang, ada pita dengan sulaman emas sebagai aksen. Desainnya cukup sederhana.


Yang satunya lagi berwarna kuning. Berbeda dengan yang hitam, di bagian bahu terdapat frill, dan bagian dada juga terbuka lebar. Desainnya seperti campuran antara imut dan seksi.


Hmm, kalau dari kedua ini...


"Aku pilih yang hitam."


"Boleh aku tahu alasannya?"


"Murni karena menurutku yang hitam lebih cocok untukmu. Selain itu, aku tidak bisa membayangkan kau memakai frill. Terakhir, bagian pay──ah..."


"...? Apa?"


Ah, ah...ini...umm...


"Ti-tidak ada."


"Hmph. Katakan saja. Aku tidak akan marah, kok."


"Itu kan kata-kata orang yang akan marah."


"Cepat katakan!"


Ugh...guh...


"Pa...payudar...bagian payudaranya terlalu terbuka...!"


Anjing pah, apa yang aku katakan ini! Bukankah ini hampir seperti pelecehan seksual?


Apa Kuonji akan marah kalo dia mendengar ini...?


Dengan pikiran itu, aku perlahan melihat wajah Kuonji.


"Ah...ugh...i-i-itu benar...!"


Entah karena marah atau malu, wajahnya memerah dan tubuhnya gemetar.


Hah, dia tidak marah? 


Yah, kalo aku tidak dimarahi, itu sudah cukup baik.


Kuonji mengembalikan pakaian itu ke rak, lalu kembali melihat-lihat pakaian sambil meminta pendapatku tentang berbagai hal.


"Hmm, begitu ya. Kalo begitu, ayo kita pergi ke toko lain."


"Woke."


"....Kau terlihat cukup berpengalaman, ya."


"Yah, ini bukan pertama kalinya aku berbelanja dengan perempuan."


Kotono dan Tsuchimikado, mereka akan marah kalo aku tidak memuji pakaian mereka, marah kalo aku tidak menemani dengan baik, marah kalo aku mengatakan sesuatu yang sembarangan... Yah, berkat itu, aku jadi terlatih dalam berbagai hal.


Belum lagi Kouhai SMP yang merepotkan. 


Dialah yang paling cerewet tentang hal-hal seperti ini.


Sambil memikirkan hal itu.


"Huuuuuuuuun───..."


Aku langsung di pelototi dengan tatapan tajam.


"....Ada apa?"


"Ngomong-ngomong, sejak SMP, di sekitarmu selalu ada perempuan, ya?"


"Guh."


"Kotono-chan, Rion, Jubunji-san, dan baru-baru ini Tsuchimikado-san. Lalu──"


"Tunggu, tunggu, tunggu. Hubunganku dengan mereka tidak seperti itu. Lagipula, Kotono adalah adikku."


"Tapi faktanya kalian sering jalan-jalan bersama, kan?"


"Ugh...!"


Tidak, itu sungguh berbeda. 


Mereka hanya teman-teman biasa. Kotono adalah adikku. Ini benar, percayalah.


... Kenapa aku harus membuat alasan seperti pria brengsek yang selingkuh?


"Playboy. Hmph."


"Aku bilang, itu tidak benar... Aku hanya diminta membawa barang karena aku kuat. Hei, apa kau mendengar ku?"



◆RIRAN◆


Kesal, kesal, kesal, kesal sekali! Aku sangat kesal!


Apa ini! Apa ini, apa ini, apa ini!


Memang, Sanada punya hubungan sosialnya sendiri, dan sejak SMP dia sudah terlihat lebih dewasa, jadi diam-diam dia populer di antara perempuan lain! 


Bahkan beberapa temanku juga ada yang tertarik pada Sanada!


Lagipula, dia baik, dan dia tipe orang yang tidak bisa menolak permintaan, dan kalo dilihat lebih dekat, dia tampan!


Jadi wajar saja kalo dia populer. 


Itu wajar saja, tapi...tetap saja, perasaanku menjadi rumit saat mengetahui fakta kalo dia pernah bersama perempuan lain!


Ah, kenapa aku tidak bisa jujur saat SMP dulu... 


Tidak, bahkan sekarang pun aku untuk berkata jujur. 


Sebenarnya, sekarang pun aku hampir tidak jujur.


...Tunggu dulu? 


Dulu, hubungan yang menghubungkan aku dan Sanada hanyalah hubungan saling berdebat.


Tapi sekarang...ada benang merah takdir!


Ya, benar! Bukan orang lain, 'benang merah takdir' yang menghubungkan aku dan Sanada!


"Hei, Kuonji? Dari tadi kau terlihat kesal, lalu murung, lalu matamu bersinar, ada apa?"


"Diam, jangan banyak bicara."


"Kasarnya."


Fufufu... Sanada, bersikap santai saja sekarang!


★★★


"Hei, Sanada. Bagaimana dengan baju ini?"


"....Apa ini yang akan kau pakai, Kuonji?"


"Yap. Betul."


Tidak, ini...


Yang sedang dia lihat adalah atasan satu bahu yang disebut one-shoulder top, di mana hanya satu bahu yang terbuka.


Warnanya didominasi putih, tapi secara desain, pakaian ini memang cukup terbuka.


Tidak hanya bahu, bagian payudaranya juga terlihat cukup menggoda.


Jujur saja, menurutku pakaian ini akan sangat cocok dengan proporsi tubuh Kuonji.


Tapu, seperti halnya dengan one-piece tadi, aku tetap merasa khawatir dengan bagian yang terbuka.


Aku sudah mengatakan itu... tapi sepertinya Kuonji sedang dalam usia di mana dia ingin mencoba pakaian yang sedikit lebih dewasa. 


Aku tidak bisa mengatakan kalk aku tidak ingin dia memakainya hanya karena keinginanku sendiri.


Selain itu, secara naluri pria, pakaian yang terbuka pada gadis cantik memang menarik.


Saat aku bingung bagaimana menyampaikan hal ini dengan halus...


"...Aku akan mencobanya dulu. Kemarilah."


"Eh? Hei!"


Karena dia tiba-tiba bergerak, aku tanpa sadar mengikutinya. 


Tujuannya adalah area ruang ganti di dalam toko. 


Ada 4 ruang ganti, dan semuanya sedang digunakan.


Ah...ini buruk, kan?


Tirai ruang ganti di depanku tertutup, dan di dalamnya, Kuonji sedang berganti pakaian, suara gesekan kain yang jelas terdengar.


Suara gesekan kain yang samar-samar terdengar...


Suara gesekan kain terdengar samar-samar... tidak, tidak bisa! Ini benar-benar memicu berbagai macam imajinasi! Di depan seorang remaja pria SMA, seorang gadis cantik berganti pakaian di balik tirai, ini sangat berbahaya!


Ugh, aku ingin menghilang... ...! Pandangan...!


Tanpa sengaja aku menoleh. 


Lalu, seorang staf toko wanita menatapku dengan tatapan curiga seperti melihat orang mencurigakan.


Ya, tentu saja! 


Biasanya, ruang ganti di toko pakaian wanita memang tidak diperbolehkan untuk pria!


"Sanada—, apa kau masih di sana—?"


"Eh!? O-ou, aku di sini! Tapi bolehkah aku keluar!?"


"Tunggu sebentar lagi. Kau terlalu terburu-buru."


Tentu saja aku terburu-buru!


Tapi, mungkin karena staf itu menyadari kalk aku adalah teman orang yang sedang mencoba pakaian di ruang ganti, dia tersenyum dan pergi ke suatu tempat.


Apa ini...berarti aku selamat? 


Haah...ini tidak baik untuk jantungku.


"Oke. Aku akan membukanya sekarang."


"O-ou."


"Ta-daa!"


──────Imut...


Dengan desain one-shoulder, pakaian ini menunjukkan lebih banyak kulit daripada yang bisa dibayangkan dari seragam atau pakaian yang dia kenakan hari ini.


Bagian payudaranya juga cukup terbuka, dan lekukannya terlihat jelas. 


Tapi, tidak terasa terlalu erotis atau seksi seperti yang aku bayangkan.


Aku tidak tahu apakah ini karena Kuonji yang memakainya, tapi ini terasa seperti sebuah 'keindahan' yang utuh.


Kuonji berputar sekali sambil tersenyum, seolah ingin memamerkannya.


"Ehehe...bagaimana? Apa ini cocok untuk ku ?"


"......"


"...Sanada?"


"...Eh, ah... ah, cocok, itu benar-benar cocok untuk mu."


Tanpa sengaja aku memalingkan wajahku. 


Karena aku tidak bisa menatapnya secara langsung. 


Ini curang.


"Hmph. Jadi, kau tidak suka pakaian yang terlalu terbuka? Apa aku terlihat seperti perempuan yang tidak sopan...?"


"Ti-tidak sama sekali. Kau benar-benar cocok memakainya, dan terlihat cantik. Tapi..."


"Tapi?"


"...Aku tidak bisa menatapmu secara langsung."


Sekarang, yang bisa kulakukan hanyalah memalingkan wajahku.


Kau terlihat sangat cantik dan kau benar-benar cocok memakainya, tapi di saat yang sama, ini juga seperti racun bagi mataku.


Itu yang ingin kukatakan.


“S-So. ... Fufu."


Kuonji terlihat senang.


Bahkan Neka, yang biasanya terlihat tidak bersemangat, pasti akan senang kalk dipuji, tidak salah lagi.


Tapi...tetap saja, dia yang paling menonjol di antara semua perempuan yang pernah aku lihat... 


Apa ini efek dari benang merah takdir?


"Kalau begitu, aku akan membeli ini."


"O-ou... Tunggu! Hei, Kuonji."


"Ada apa?"


"Kau... Bagaimana dengan itu...!?"


"Itu?"


Kuonji memiringkan kepalanya dengan bingung.


Tidak, itu... Apa aku boleh mengatakannya?


"Pa-Pakaian dalam..."


"Pakaian dalam? ... Ah, bra? Tentu saja aku sudah melepasnya."


"Hah!?"


"Soalnya, kalo branya ku pakai, nanti tali bra-nya akan terlihat."


Jangan bilang itu dengan santai seperti itu!?


Jadi, maksudnya?


Orang yang ada di depanku sekarang ini tidak mengenakan bra!?


Tanpa sengaja aku mundur. 


Tentu saja aku akan mundur. 


Kenapa dia tidak mengenakan bra?


Tapi, sepertinya Kuonji menyadari perasaanku dan tersenyum nakal, lalu perlahan mendekat.


"Ada apa, Sanada? Wajahmu sangat merah."


"H-Hey. Jangan terlalu dekat...!"


"Kenapa? Apa ada yang salah?"


D-Dia sengaja mendekat sambil menonjolkan payudaranya...!


Aku mundur selangkah. Kuonji maju selangkah.


Dan... Ugh, sial, di belakangku ada tembok...!


Melihat ini sebagai sebuah kesempatan, Kuonji bergerak semakin dekat───begitu dekat hingga dia hampir menyentuhku.


"Hei, masih ada pelanggan lain di sini...!"


"Kalo begitu, jangan bersuara keras, ya."


Dia mendekat begitu dekat hingga aku bisa merasakan napasnya di kulitku. 


Bulu matanya yang panjang, hidungnya yang mancung, dan pipinya yang memerah karena mungkin sedang bersemangat, semuanya terlihat lebih jelas dari biasanya.


A-Apa dia memang seperti ini...!?


Biasanya, dalam situasi seperti ini, Kuonji adalah yang pertama kali menjauh!


Tubuhku menjadi kaku karena situasi yang tidak biasa, dan aku hanya bisa menutup mataku.


Ah, sudah... tidak bisa...!


"....Pfft. Haha... Haha. Dasar, aku hanya bercanda tahu."


"──Hah?"


Dia tiba-tiba tertawa seperti anak kecil yang berhasil mengerjai orang.


Bercanda...bercanda? Eh, hanya bercanda?


"Tentu saja aku tidak akan mencoba pakaian tanpa bra. Aku memakai bra tanpa tali karena mempertimbangkan kemungkinan akan memakai pakaian seperti ini."


"......."


Apa itu... Rasanya agak mengecewakan, tapi juga aku merasa lega. 


Entah kenapa, aku merasa sangat lelah...


Kuonji kembali ke ruang ganti, sambil memegang tirai dan menoleh ke arahku.


"Fufu. Baka."


Dia mengatakannya dengan manis, sambil membuat wajah nakal.


... Jantungku tidak kuat...




Setelah berganti pakaian, Kuonji membawa baju one-shoulder putih tadi dan versi warna kuning. 


Selain itu, dia juga membeli beberapa pakaian dalam, rok, dan celana, sehingga kedua tanganku penuh dengan tas belanjaan.


"Ayo, Sanada. Kita lanjut!"


"O-ou."


Dia masih mau belanja lagi setelah membeli sebanyak ini... 


Gadis SMA sungguh menakjubkan.


Aku pergi sering berbelanja dengan Kotono dan Neka, tapi mereka jarang sekali membeli barang sebanyak ini. 


Ternyata, memperhatikan penampilan itu cukup melelahkan.


Mengikuti Kuonji yang berjalan sambil bersenandung, kami menuju bangunan yang terpisah dari menara utama.


"Hum hum huum♪ ... Oh?"


"Hm?"


Kuonji tiba-tiba berhenti. 


Ada apa? Apa, apa terjadi sesuatu?


Aku melihat ke arah yang dituju pandangannya melewati bahu Kuonji. Di sana, ada...


"Wah, toko hewan peliharaan."


"Ada toko hewan peliharaan di tempat seperti ini. Aku tidak tahu."


"Aku juga."


"Mau masuk? Sanada, kau kan suka anjing?"


"Kuonji juga suka anjing, kan?"


"Hehe. Ternyata ketahuan juga. Mungkin karena kita terikat oleh benang merah, kita mirip satu sama lain...mungkin."


Kuonji tersenyum malu-malu, dan sepertinya dia yang merasa malu, dia cepat-cepat masuk ke toko hewan peliharaan.


Tidak, tadi itu curang...


Aku menyadari kalo wajah ku memerah dan mengikutinya masuk ke toko hewan peliharaan.


Di dalam, toko itu lebih kecil dari yang aku bayangkan, tapi di balik kaca bening, ada banyak anak anjing dan anak kucing.


Sungguh, mereka lucu seperti boneka. 


Bisa dibilang mereka sangat menggemaskan. 


Aku sampai curiga apakah mereka tahu kalo mereka itu imut dan sengaja berusaha menarik perhatian. 


Sangat manis. Imut sekali.


Nah, di mana Kuonji... oh, itu dia. 


Dia menempel di salah satu kaca bening dan terlihat sangat terpikat oleh seekor anak anjing.


"I... Imut sekali..."


Wow. Wajah Kuonji terlihat lebih lembut dari yang pernah aku lihat sebelumnya.


Kuonji sedang melihat seekor anak anjing dachshund mini berwarna hitam. 


Anak anjing itu menggerakkan kaki pendeknya dengan bersemangat, berusaha menarik perhatian Kuonji.


"Lihat, lihat, Sanada! Anak anjing ini, kakinya pendek, dia imut sekali...!"


"Miniatur dachshund memang memiliki kaki yang pendek. Keimutannya itu yang membuatnya..."


Anak anjing itu menggerakkan kaki depannya dengan bersemangat, sampai-sampai dia terguling. 


Apa dia ini tidak terlalu imut?


Kuonji juga terpikat oleh anak anjing ini, dia menatapnya dengan kagum tanpa bergerak. 


Aku tahu anak ajing itu sangat imut, tapi Kuonji terus menatap anjing itu dengan penuh perhatian... Sepertinya dia sangat menyukai anjing.


Sambil melihat profilnya, aku berpikir... Ini pertama kalinya aku melihat Kuonji begitu polos dan terpesona seperti ini.


Aku tahu selama ini dia sangat serius dalam belajar dan merawat diri.


Aku tidak tahu apa tujuannya, tapi aku benar-benar menghormati Kuonji yang selalu berusaha keras tanpa menetapkan batasan untuk dirinya sendiri dan terus berusaha mencapai yang terbaik.


Tapi itu terasa seperti suasana yang sangat tegang... Aku baru pertama kali melihat Kuonji begitu imut dan terpesona sejak SMP dan SMA.


Hari ini adalah hari di mana aku mengenal berbagai sisi baru dari Kuonji.


Ternyata dia lebih ceria dari yang kukira, dia suka bercanda, dia sangat terpesona oleh anjing, dan dia bisa menunjukkan senyum yang manis. 


Selama ini aku hanya tahu Kuonji yang marah... Tapi sisi ini juga bagus.


Sementara itu, ekspresi Kuonji perlahan berubah menjadi cemberut... 


Eh, tiba-tiba kenapa?


"Sanada, aku baru berpikir... Anak anjing ini bukankah dia mirip denganmu, Sanada?"


"Hah?"


Mirip? Aku dan anak anjing ini?


Aku melihat miniatur dachshund itu. Lalu melihat ke cermin di toko... Di mana miripnya?


"Lihat, bulunya yang hitam, dan matanya yang agak tajam."


"Kalo hanya karena bulu hitam dan mata tajam, berapa banyak orang di dunia ini yang mirip denganku?"


"Selain itu... Aura-nya?"


Ah, dia malah bertanya dengan nada ragu.


Anak anjing itu masih mengibaskan ekornya dengan gembira, mencoba menarik perhatian.


... Apa kami mirip?


"Lihat, lihat, Sanada~"


"Jangan sembarangan memberi nama anjing dengan nama orang."


"Tidak apa-apa, kok. Lihat, Sanada, anak yang baik ya~"


Ugh... Aku merasa malu karena seolah-olah Kuonji sedang mengoceh padaku seperti pada bayi.


Kuonji memiliki senyum licik, dan dia masih terpikat oleh miniatur dachshund yang katanya mirip denganku (?)... Aku merasa agak tidak nyaman.


Saat aku sedang merenungkan perasaan tidak nyaman ini...


Di sebelah miniatur dachshund hitam itu, ada seekor anak chihuahua dengan bulu berwarna keemasan.


...Sepertinya dia menatapku?


Aku menjauh dari Kuonji dan mendekati anak chihuahua itu. 


Lalu, wah! 


Tiba-tiba dia menjadi sangat bersemangat!


Dia berlarian di dalam kandang dan mengangkat kaki depannya seolah meminta untuk diangkat.


Oh, dia ini imut sekali.


...Kalau dilihat lebih dekat, matanya agak kemerahan...? 


Bulu emas dengan mata merah. 


Baiklah, mulai hari ini kau akan dipanggil Kuonji.


"Eh, Sanada? ... Oh, anak chihuahua?"


"Iya. Ini Kuonji. Warna bulu dan matanya mirip denganmu, jadi aku memutuskan untuk memanggilnya begitu."


"Eh, jangan begitu dong."


"Coba ingat lagi apa yang kau lakukan beberapa menit yang lalu."


Aku menggerakkan jari di sepanjang kaca bening, dan Kuonji dengan gembira mengikuti gerakanku sambil berguling-guling. 


Wah, dia terlalu imut.


"Bagus, bagus, Kuonji kau memang imut ya."


"Hah!? Hei, kau... Apa yang kau katakan...!"


"Hah? ... Oh, bu-bukan! Aku... aku bicara tentang Kuonji yang ini...!"


"Eh, ah... Iya, ya. Benar..."


...Suasana menjadi agak canggung. 


Ternyata bermain-main dengan nama orang tidak baik. 


Aku menyesal.


Setelah berdiri dari depan chihuahua, kali ini Kuonji yang duduk di depannya.


"Hei, kau. Jangan merasa sombong hanya karena dia bilang kalo kau mirip denganku. ... Dan dia bahkan menyebutmu imut... ugh... iri...!"


"Grrrrrr!"


Entah kenapa, Kuonji dan anjing miniatur dachshund itu terlihat saling menatap dengan tatapan seperti tidak menyukai satu sama lain. 

...Kenapa bisa begitu?

Sambil mengamati keduanya yang seolah sedang berseteru dalam diam, aku mendekati kandang tempat anjing miniatur dachshund itu berada.

"....Sepertinya kalian memang sama sekali tidak mirip."

Saat aku mendekatkan jariku ke kaca, anjing kecil itu menoleh, menatapku sambil memiringkan kepalanya.

Tubuh mungilnya seperti boneka, ditambah dengan matanya yang bulat membuatnya terlihat sangat menggemaskan. 


Terlepas dari apakah dia mirip atau tidak, anjing memang memiliki daya tarik tersendiri.

Ketika aku menikmati tingkah imut si miniatur dachshund yang mengikuti gerakan jariku, aku menyadari dari sudut mataku bahwa Kuonji sedang memperhatikanku.

Dia terlihat sedikit linglung, atau mungkin hanya kesan itu yang tertangkap olehku.

"Kuonji, ada apa?"  

"Eh? A-ada apa memangnya?" 

"Tadi kau kelihatan sedang melihat ke arahku."

"Ti-tidak ada maksud apa-apa! Aku hanya berpikir, kalo kami memang mirip!"

Apa mereka semirip itu?

Aku kembali menatap miniatur dachshund tersebut. 

Ketika pandangan kami bertemu, tanpa disadari, kami berdua memiringkan kepala pada saat yang bersamaan.


★★★


Setelah keluar dari toko hewan, kami melangkah cepat menuju gedung lain.


Meski sedikit lelah, bermain dengan anjing tadi membuat mental ku terasa segar kembali. 


Anjing memang luar biasa imut. 


[TL\n: tapi kalo org kek anjing cocoknya di sisksa ampe mat*, kek temen SMA gua dulu, dia datangnya pas butuh doang jir, pas keperluannya udah selesai di ngilang.]


Terapi dengan hewan benar-benar efektif.


"Hei, Sanada. Kau sendiri, apa pernah berpikir untuk memelihara anjing di masa depan?"


"Tentu saja. Meski anjing kecil juga menarik, aku lebih suka anjing besar seperti Siberian Husky atau Golden Retriever. Rasanya keren punya anjing seperti itu."


"Ah, aku paham. Membayangkan bisa memeluk tubuh besar mereka itu pasti menyenangkan."


Dia terlihat tengelam dalam imajinasinya, tangannya bergerak seolah sedang memeluk sesuatu.


"Keluarga mu sendiri tidak memelihara hewan peliharaan, ya?"


"Tidak. Semua orang di rumahku sebenarnya pecinta anjing, tapi sayangnya selain aku, semuanya alergi bulu anjing."


"Itu pasti sulit, ya."


"Betul. Bahkan kalau ke kafe anjing atau kafe khusus anjing Shiba, bulu mereka pasti menempel di baju. Kalo memikirkan keluarga, aku selalu ragu untuk memelihara anjing."


Dia benar-benar orang yang peduli pada keluarganya, ya. 


Rasanya, citra tentang Kuonji di mataku meningkat drastis hari ini.


Selama ini, aku merasa tidak nyaman setiap dia bersikap agresif. 


Tapi semakin sku mengenalnya, semakin aku merasa kalo dia orang yang menyenangkan.


Kami terus berjalan melewati gedung lain. 


Ketika aku melirik ke arah Kuonji, aku menyadari dia terlihat sedikit lelah.


Mungkin dia kelelahan karena setelah belanja, ditambah adrenalin dari bermain dengan anjing mulai hilang. 


Langkahnya juga terlihat lebih lambat.


Aku sendiri masih cukup kuat, tapi...ya sudahlah, sepertinya aku harus melakukan sesuatu.


"Ah, maaf, Kuonji. Aku merasa sedikit lelah. Bagaimana kalo kita mampir ke kafe sebentar?"


"Eh? ...Ah, maaf. Aku tidak menyadarinya."


"Tidak apa-apa."


Kalo aku bilang aku ingin istirahat, Kuonji juga tidak punya pilihan lain selain ikut beristirahat. 


Kalo aku memaksanya terus berjalan, dia mungkin akan semakin lelah dan menjadi tidak mood. 


Aku tidak mau suasana yang menyenangkan ini berubah menjadi buruk.


Aku mengajak Kuonji masuk ke Café Arsène yang berada di lantai satu gedung lain di pusat perbelanjaan ini.


Sekarang sudah pukul 17.00. 


Masih terlalu awal untuk makan malam, tapi rasanya agak merepotkan kalo kami harus mencari tempat makan lagi nanti. 


Jadi, lebih baik kami makan di sini saja.


Setelah duduk, kami sama-sama melihat menu yang tersedia.


"Kuonji, aku akan makan di sini. Bagaimana denganmu?"


"Hmm... Aku juga lapar. Aku akan ikut makan."


"Baiklah. Kalo begitu, aku akan memesan makanan yang lumayan banyak saja. Set steak daging sapi, babi, ayam, dan hamburger. Nasi porsi besar. Oh, dan aku mau tambah es krim gelato untuk pencuci mulut."


"Seperti yang diharapkan dari anak laki-laki SMA..."


"Begitu, ya? Padahal ini sudah aku kurangi, lho. Ah, aku juga pesan minuman dari drink bar."


"Kau tidak takut gemuk?"


"Makanan sebanyak ini tidak akan membuatku gemuk."


"Yah, lagipula kau rutin berolahraga. Aku iri."


Dia memasang wajah sedikit iri, tapi aku hanya bisa merasa bingung melihatnya. 


Apa yang harus aku lakukan dengan ekspresinya itu?


Ngomong-ngomong, Kuonji memesan set hamburger dengan nasi porsi kecil.


Jujur saja, aku justru khawatir karena dia hanya makan sedikit.


Dari perkataannya tadi, sepertinya Kuonji sangat menjaga bentuk tubuhnya. 


Aku juga cukup memperhatikan berat badan, jadi aku bisa memahami betapa sulitnya hal itu. 


Meskipun, tentu saja, aku tidak sampai seketat dia.


Aku menekan tombol pemanggil pelayan dan menunggu beberapa saat.


"Terima kasih sudah menunggu. ...Eh?"


"Hm?"


"Eh? ...Ah."


...Tsuchimikado?


Tubuhnya sedikit mungil, sesuai dengan bentuk tubuhnya yang juga kecil.


Rambutnya masih berwarna merah muda lembut seperti biasanya, tapi kali ini dia tidak menggunakan riasan ala gayaru. 


Riasannya terlihat lebih natural, mungkin karena dia sedang bekerja. 


Tapi, justru karena itu, dia terlihat lebih lembut dan manis. 


Yah itu juga cocok untuknya.


Dia mengenakan seragam pelayan kafe ini—dengan pita besar yang diikat tepat di bawah payudaranya, secara tidak langsung itu menonjolkan bentuk tubuhnya (singkatnya: cukup menggoda). 


Rambutnya dikuncir kuda, dan dia menatap kami dengan ekspresi terkejut, bergantian antara aku dan Kuonji.


"Hei, Tsuchimikado. Kau bekerja paruh waktu di sini?"


"Eh? Ah, iya. Tapi... kalian berdua, sejak kapan kalian jadi dekat?"


Tsuchimikado memasang ekspresi bingung.


Yah, itu wajar saja. 


Di sekolah, kami selalu terlihat saling bertengkar, tapi tiba-tiba kami pergi berdua di akhir pekan. 


Jadi reaksinya masuk akal.


Sekarang, bagaimana aku harus menjelaskannya? 


Kalo aku mau memberi alasan, aku harus menyamakan ceritaku dengan Kuonji juga. 


Hm...


"...Tetap saja, akhirnya...terhubung..."


Tsu-Tsuchimikado? Kenapa dia menunduk dan bergumam seperti itu? Itu bukan semacam kutukan, kan?


Saat aku mulai merasa ngeri melihat Tsuchimikado yang terlihat seperti akan tenggelam dalam kegelapan, Kuonji tiba-tiba berdeham dan melirikku sekilas. 


Ah, jadi dia punya rencana. 


Baiklah, aku serahkan padamu, Kuonji.


"Tenang saja, Tsuchimikado."


"Eh? Apa maksudmu, Rira-tan?"


Kuonji pun membusungkan dadanya dengan penuh percaya diri.


"Sanada saat ini adalah budakku!"


"Negara ini tidak mengenal sistem seperti itu!"


Aku bodoh karena mempercayakan ini pada si bodoh ini!


"Sa-sa-sa-Sana-tan, maksudnya apa itu!?"


"Tsuchimikado, tenang dulu!"


Kalo dipikirkan dengan kepala dingin, jelas itu hanya lelucon!


"Astaga, aku hanya bercanda, bercanda."


"Jadi cuma bercanda... Tapi kenapa kalian bersama?"


"Secara teknis, dia hanya pembawa barangku. Ada beberapa alasan untuk ini, jadi kami kebetulan berjalan bersama."


"Pembawa barang...? Ah, benar juga, jumlah barang ini lumayan banyak. Kalian belanja banyak, ya?"


Dia menatap tumpukan kantong belanja di kaki kami dan sepertinya dia mulai memahami situasinya.


Kalo dipikir-pikir, kami memang sudah belanja cukup banyak.


"Baiklah, kalo kata 'budak' berlebihan, anggap saja dia ini pelayanku sekarang."


"Siapa yang kau sebut pelayan? Itu tidak ada bedanya dengan budak!"


"Aah, begitu rupanya~."


"Jangan ikut-ikutan setuju begitu saja!"


Yah, kalo melihat bagaimana cara kami berdua berinteraksi selama ini, aku bisa mengerti kenapa dia sampai menyimpulkan begitu.


"Jadi, kalian berdua bukan sepasang kekasih atau terhubung oleh 'benang merah takdir', kan?"


"Te-Tentu saja tidak!"


"I-Iya, mana mungkin hal seperti itu terjadi?"


Tanpa sadar, aku malah membuang muka.


Tsuchimikado ini memang punya ketajaman aneh di saat-saat tak terduga. 


Aku sama sekali tidak menyangka dia akan menyinggung soal benang merah takdir antara aku dan Kuonji.


Begitu mendengar jawaban kami, Tsuchimikado menghela napas pelan, lalu menunjukkan ekspresi lega.


"Ah, syukurlah~. Kalo begitu, tidak masalah~."


"....Tidak masalah? Tu-Tunggu, Tsuchimikado-san. Maksudmu apa dengan 'tidak masalah'? E-Eh, jangan bilang...?"


...Kuonji? 


Kenapa dia tiba-tiba terlihat panik?


Aku tidak memahami situasinya dan aku hanya bisa memiringkan kepalaku. 


Dan kemudian—


"Hmm~? Maksudku, kalo Hiyori menjalin hubungan baik dengan Sana-tan, itu tidak akan jadi masalah~."


........... 


"Hah?"


"Seperti yang kuduga...!!"


Kuonji langsung menggertakkan giginya dengan ekspresi penuh amarah.


Sementara aku masih kebingungan dengan situasi ini, dan Kuonji terlihat seperti akan meledak kapan saja, Tsuchimikado malah tetap berbicara dengan nada santai seperti biasanya.


"Hmm? Maksudku, yaaa... sebagai istri?"


................ 


Apa!?!?!?!?


Otakku langsung mengalami korsleting total.


Sebaliknya, Kuonji terlihay sangat terkejut dan buru-buru berdiri dari tempat duduknya.


"Tu-Tunggu dulu...! Kau kan sudah punya pasangan takdirmu sendiri!?"


"Ada, kok~. Tapi benang merah takdir Hiyori itu agak...tidak biasa, lho~."


"...Tidak biasa?"


"Iya~. Benang yang menghubungkan Hiyori dan pasangannya itu berwarna jingga kemerahan."


Apa...? Jingga kemerahan...!?


Setahuku, benang dengan warna itu hanya dimiliki sekitar 4,5% dari populasi—itu tergolong langka.


Warna tersebut melambangkan kecocokan dalam aspek ekonomi. 


Pasangan yang terhubung oleh benang ini akan memiliki keberuntungan finansial yang luar biasa dan tidak akan pernah mengalami kesulitan dalam hal keuangan selama hidup mereka.


Jadi, Tsuchimikado ternyata memiliki benang dengan warna itu...?


"Mungkin karena benangnya seperti ini, aku tidak terlalu merasakan perasaan cinta terhadap orang itu~. Makanya, aku ingin menikah dengan seseorang yang memang kusukai sejak awal. Lagipula, di dunia ini juga banyak kan, orang yang menikah meskipun mereka tidak terhubung oleh benang merah takdir?"


...Sejak awal? Tunggu, sejak awal!?


"Tu-Tunggu, Tsuchimikado. Sejak awal maksudmu...?"


"Hmm? Iya, Sanatan. Sejak hari ujian masuk SMA itu, saat kau menolong Hiyori...sejak saat itu, terus-menerus~."


Tsuchimikado Hiyori tersenyum lebar, lalu dengan nada ringan, dia menjatuhkan bom terbesar dalam hidupku.


"Sanada Akito-kun. Hiyori...aku menyukaimu."


................


Aku terdiam.


".....Apa maksudnya itu...?"


Kuonji juga tampak terpaku, seakan pikirannya masih berusaha memahami situasi ini.


Aku pun sama sepertinya. 


Pernyataan Tsuchimikado tadi membuat pikiranku kacau balau.


Untuk pertama kalinya dalam hidupku, seseorang menyatakan perasaannya kepadaku.


Tapi, yang lebih mengejutkan lagi, pengakuan itu datang bukan dari gadis yang terikat denganku oleh 'Benang Merah Takdir', melainkan dari orang lain.


Dan semua itu terjadi tepat di depan orang yang seharusnya menjadi takdirku.

[TL\n: yah terima aja ya wong TT nya gede gitu, hehe.]


Apa ini... Apa yang sedang terjadi? Kapan aku terjebak dalam cerita komedi romantis? Aku bukanlah karakter seperti itu. Kenapa ini bisa terjadi? Siapa yang bisa menjelaskan ini padaku, orang yang lebih bijak? ...Tunggu, orang bijak itu siapa?


Aku merasa sangat terguncang, sampai-sampai pikiranku melantur dan tidak bisa lagi mengerti apa yang sedang terjadi.


Apa yang harus kulakukan sekarang? Ini sudah terlalu membingungkan. Apa yang benar, apa yang salah, dan apa yang seharusnya dilakukan?


Kebingungan yang semakin dalam membuatku hampir menyerah dan melepaskan segala pikiranki.


Tapi, saat itu—


『Kau harusnya hanya melihatku seumur hidupmu!』


"...Eh...?"


Wajah Kuonji muncul di benakku.


Meskipun Kuonji ada di depanku sekarang... entah kenapa, pikiranku malah dipenuhi dengan bayangan tentangnya.


Kenapa sekarang, pikiranku tentang Kuonji terus muncul, padahal saat ini aku sedang kebingungan karena pengakuan dari Tsuchimikado?


Kenapa, kenapa, kenapa... semakin aku memikirkannya, semakin jelas pula pikiranku.


Pikiran tentang keberadaan Kuonji memenuhi kepalaku. Pada saat yang sama, muncul sebuah pertanyaan besar.


Apa yang sebenarnya aku inginkan untuk masa depanku dengan Kuonji Riran?


Kami yang terikat oleh benang merah takdir... Apa yang seharusnya terjadi antara aku dan dia di masa depan?


Meskipun aku sedang mendapat pengakuan dari Tsuchimikado, pikiranku malah dipenuhi hanya dengan Kuonji.


Aku tahu ini salah. Aku sadar ini tidak benar. Tapi, begitu pikiran itu muncul, sulit untuk mengubahnya.


Perasaanku...bagaimana seharusnya aku merasa?


Tsuchimikado, yang melihat kami kebingungan, melanjutkan percakapan dengan penuh semangat.


"Taoi, tentu saja, Sana-tan juga memiliki seseorang yang terikat dengan 'benang merah takdir' kan? Jadi, tidak perlu terburu-buru untuk memberikan jawaban."


Tsuchimikado kemudian seolah teringat sesuatu dan mulai memanipulasi tablet. 


Senyum cerianya berubah menjadi senyum profesional.


"Tuan, apakah Anda sudah memutuskan pesanan Anda?"


Seolah tidak terjadi apa-apa, dia kembali melanjutkan pekerjaannya.


★★★


" "........" "


Tanpa kata-kata, kami menyelesaikan makan dan meninggalkan kafe, lalu menuju taman yang sepi di dekatnya.

Jam menunjukkan pukul 18:30.

Lampu taman mulai menyala, menerangi taman yang sepi dengan cahaya redup.

Di tengah suasana itu, aku melihat Kuonji di bangku sebelah dengan sudut mataku.

Dia menunduk, rambutnya terjatuh menutupi wajahnya, sehingga ekspresinya tidak terlihat. 

Aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya, tapi... mungkin itu tentang Tsuchimikado.

Kami terdiam dalam waktu yang panjang. 

Beberapa menit mungkin, atau bahkan lebih lama.

Saat melihat jam di taman, ternyata baru sekitar tiga menit yang berlalu.

Waktu yang hening dan canggung itu benar-benar terasa lama.

Itu wajar. Aku dan Kuonji terhubung oleh 'benang merah takdir'.

Tapi, Tsuchimikado yang muncul secara tiba-tiba mengatakan hal seperti itu... Tentu saja, aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi.

Haruskah aku bersikap santai? Ramah? Serius? Formal? Atau malah bercanda?

Aku merasa apapun yang kulakukan, itu pasti akan gagal.

Selain itu...meskipun pikiranku masih terisi tentang Tsuchimikado, sebagian besar pikiranku sekarang lebih didominasi oleh Kuonji.

Hanya dengan berada di dekatnya, napasku terasa terganggu, jantungku berdebar, dan aku kesulitan untuk menatap wajahnya dengan tenang.

Ini adalah pengalaman pertama dalam hidupku yang seperti ini.

Sambil merasakan perubahan dalam tubuhku dan berpikir tentang bagaimana menyikapi Tsuchimikado...

"Hei."


"A-a, apa?"


Jangan tiba-tiba memanggilku seperti itu. 


Kalo kau ingin memanggilku, sebaiknya bilang dulu, "Aku akan memanggilmu sekarang."


...Apa yang sedang aku katakan ini?


Oke, tenang dulu. Aku harus tenang. Aku harus tetap cool.


Setelah menenangkan diri, aku menatap Kuonji, yang tampaknya sedang ragu apakah akan berbicara atau tidak, membuka mulutnya kemudian menutupnya lagi, dan begitu seterusnya.


"...Baiklah."


Kemudian, dengan tekad, dia menatap mataku langsung.


"...Apa yang akan kau lakukan dengan Tsuchimikado?"


Pertanyaan yang sudah kuperkirakan.


Apa yang akan aku lakukan... 


Tentu saja itu berhubungan dengan pengakuan dari Tsuchimikado.


Apa yang harus aku lakukan? 


Itu adalah pertanyaan yang paling ingin aku jawab. 


Aku sendiri pun tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap pengakuan itu.


Aku mengalihkan pandangan dari Kuonji dan menatap langit. 


Aku membutuhkan waktu untuk mengatur pikiranku.


...Sejujurnya, meskipun aku merasa sedikit terkejut, aku tidak merasa buruk saat mendengar pengakuan itu. 


Ini adalah pengakuan pertama dalam hidupku, dan yang mengatakannya adalah Tsuchimikado Hiyori, yang dikenal sebagai salah satu gadis tercantik di angkatanku. 


Tentu saja, aku merasa senang.


Tapi...begitu mendengar pengakuan itu, pikiranku justru dipenuhi dengan Kuonji, bukan Tsuchimikado Hiyori.


Bukan Tsuchimikado Hiyori, tapi Kuonji Riran.


Seluruh ekspresi, gerakan, keceriaan, dan kata-kata yang ditunjukkan oleh Kuonji sepanjang hari ini... semua itu terlintas dalam pikiranku, seolah-olah aku melihat kilasan hidupku. 


Bahkan sekarang, aku masih bisa mengingat dengan jelas setiap momen yang kuhabiskan bersama dirinya siang ini.


Hari ini benar-benar menyenankan. 


Aku tidak menyangka bisa bermain dengan Kuonji sepenuhnya dengan begitu menyenankan.


Sesuai dengan tujuan awal, kami berdua bisa saling mengenal lebih baik...atau setidaknya, aku bisa mengetahui banyak hal yang belum aku ketahui tentang Kuonji. 


Dia suka usil, punya semangat juang yang kuat, dan ternyata dia juga cukup ceria.


Tapi... meskipun begitu, aku tetap tidak bisa mengerti perasaannya.


Meskipun aku mengabaikan kekuatan benang merah, rasanya Kuonji masih membenciku.


...Aku rasa begitu.


Perasaanku sekarang adalah... meskipun ada sedikit perasaan tidak suka, tapi perasaan kalk dia adalah musuh sepertinya mulai memudar.


Tapi bagaimana dengan Kuonji?


Kalo dia masih membenciku, apa dia akan dipaksa untuk bersatu denganku di masa depan...dan apa dia benar-benar bisa bahagia?


Apa bersatu denganku adalah kebahagiaan bagi Kuonji... 


Aku tidak bisa memahaminya.


Seperti yang dikatakan oleh Tsuchimikado, ada orang-orang di dunia ini yang tidak terhubung oleh benang merah tetapi tetap menikah.


Alasan mereka bisa beragam, dan kami mencari, mungkin ada pasangan yang tidak menikah karena alasan yang mirip dengan kami.


Kalo itu yang membuat Kuonji bahagia...aku akan...


Terkait jawaban atas pengakuan itu, aku tidak bisa memberikan jawaban langsung...dan tanpa sadar, aku pun terdiam.


Melihat reaksiku, entah apa yang ada di pikirannya, Kuonji berdiri dan berkata.


"...Aku aka pulang."


"Eh... a, tunggu...!"


"Jangan ikuti aku."


Dengan membawa semua barangnya, Kuonji cepat-cepat meninggalkan taman.


Meskipun aku tidak bisa melihat ekspresinya...suaranya bergetar, dan aku tidak bisa bergerak dari tempatku. 




Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال