Hiyodoribana terlihat sangat panik.
"Tu-tunggu, Utsugi! Jarak wajahmu, wajahmu terlalu dekat! Meskipun aku yang tadi mendadak menciummu secara spontan, tapi tetap saja ini terlalu dekat! Aku jadi malu! Jaraknya tolong menjauh sedikit──"
"Aku juga terus merasa aneh! Apa sebenarnya perasaan yang aku miliki terhadapmu, Hiyodoribana? Sejak pertama kali kita bertemu, sejak pertama kali kau datang menemuiku, aku merasa ada yang spesial. Saat kita mulai berbicara, perasaan itu semakin kuat... dan setelah kau masuk klub, semuanya menjadi semakin jelas."
Utsugi menggenggam satu tangan Hiyodoribana dengan kedua tangannya, melanjutkan perkataannya dengan penuh semangat.
"Semuanya mulai terasa menyenangkan, bahkan hal-hal buruk bisa aku lupakan. Dan akhirnya aku mengerti kenapa aku hanya merasa seperti itu padamu. Setelah ciuman tadi, dan cara mu memandangku dengan tatapan seperti 'Aku suka kau, suka sekaliii'!"
"Aku tidak melihatmu dengan tatapan yang seperti itu!"
"Jelas-jelas kau menunjukkan tatapan itu, tapi biarlah! Aku hanya ingin bilang kalau aku suka aroma tubuhmu!"
Hiyodoribana terdiam sejenak, bingung.
"...Udang krill dan ikan tai?"
"Bukan! Aroma alami mu sendiri. Dan bukan cuma itu. Wajahmu juga."
"Eh, eh!? Apa maksudmu!?"
"Auramu. Aku juga suka suaramu dan bagaimana ekspresimu yang selalu berubah-ubah! Kau tidak pernah segan membicarakan ide-ide kreatifmu tanpa melihat situasi, aku suka semangat penuh gairah yang kau miliki itu!"
"Utsugi, aku, aku..."
"Responmu yang selalu terkejut saat aku memberikan jawaban yang tidak terduga juga menarik. Kau bilang kalo kau penggemar novelku, dan itu perasaan yang baru untukku. Karena aku tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya, aku tidak bisa langsung menyadari... ternyata apa yang ku rasakan terhadapmu adalah tanda-tanda cinta!"
Hiyodoribana tampak sangat kaget, wajahnya seperti baru dihantam oleh kata-kata Utsugi.
"Ci-...Ci-ci-cinta!? U-Utsugi, apa kau tidak merasa malu saat kau mengatakan itu?"
"Aku tidak malu! Bahkan tidak satupun!!"
"Tapi kau tadi menertawakan ku karena ciuman itu! Jangan-jangan rem otakmu juga rusak ya!?"
"Mungkin secara tidak sadar aku merasakan kalo aku bisa jatuh cinta padamu, dan perasaan yang belum pernah aku alami ini membuatku ingin menulis, membuatku merasa sangat bersemangat, itulah mengapa aku begitu tertarik pada keberadaanmu. Dan sekarang, aku benar-benar merasa seperti itu!"
"A-aku... ingin ditulis... olehmu? Sebagai karakter di novelmu? Di novel yang aku suka, yang aku kagumi... dan aku sendiri yang menjadi bagian dari cerita itu?"
"Aku menyadari kalo aku menyukaimu, Hiyodoribana. Dan sekarang, aku tahu dengan pasti bahwa ini adalah cinta. Aku ingin menulis tentang perasaan ini dalam sebuah novel. Sesuatu yang belum pernah ku tulis sebelumnya. Sesuatu yang baru! Biarkan aku menulismu dalam ceritaku... boleh?"
"Ti-tidak mungkin aku... menolak──!"
Hiyodoribana hampir menjawab langsung, tapi kemudian dia berhenti sejenak dan menutup mulutnya. Tapi, itu bukan karena ragu atau merasa tidak nyaman.
Di wajah Hiyodoribana, tampak kilauan kebahagiaan yang tiba-tiba muncul. Seolah-olah dia mendapatkan sebuah ide, Hiyodoribana menggenggam tangan Utsugi dengan erat.
Dia kemudian tersenyum licik, seperti merencanakan sesuatu.
Dan dengan nada menantang, dia berkata.
"──Utsugi, apa kau benar-benar ingin menjadikanku sebagai bahan ceritamu?"
"Aku benar-benar ingin menulismu."
"Fufu, kalau begitu aku ingin bertanya satu hal. Kalo kau ingin menjadikanku sebagai bahan ceritamu, kau sadar kan kalo ini berbeda dengan bagaimana Utsugi dapat menulis tentang apa pun yang kau inginkan? Hal-hal yang tidak ingin aku ceritakan, kau tidak boleh menulisnya. Misalnya, kalo aku pergi ke toilet dan kau ingin menuliskan tentang itu, bagaimana menurutmu?"
Pertanyaan itu membuat Utsugi agak terkejut, tapi dia tetap menjawab.
"Itu...kalo kau mau aku menulisnya, ya mungkin..."
"Bukan itu maksudku! Maksudku, kau tidak akan menuliskannya, kan? Tidak peduli seberapa besar keinginan Utsugi untuk menulisnya, kau tidak akan bisa mendeskripsikan warna dan bentuk celana dalamku? Itu logikanya sama dengan kau tidak bisa menulis hal-hal yang membuatku tidak nyaman. Kalo kau mau menulisku, ada dua syarat."
Hiyodoribana menggunakan tangan satunya untuk mendorong dada Utsugi.
"Syarat pertama, kau harus menulis novel dengan struktur hiburan yang jelas. Aku tidak mau kalo kau menulis asal-asalan dan mengatakan itu tentang diriku. Itu sama buruknya dengan menulis tentang suara dan waktu aku di toilet. Aku tahu Utsugi adalah penulis yang keras kepala, tapi aku juga keras kepala. Intinya, kau harus menulis menggunakan struktur tiga babak yang aku ajarkan, oke?"
“……Struktur tiga babak.”
“Untuk pertama kalinya, kau akhirnya mendengarkan ku dengan serius. Memang setiap penulis berbeda-beda, tapi menurutku, setidaknya untukku, struktur tiga babak adalah teknik kreatif yang paling praktis dan cara tercepat untuk menyusun cerita sebagai hiburan."
"Apa syarat yang kedua?"
Ketika Utsugi menanyakan itu, untuk sesaat, Hiyodoribana melirik sashimi ikan madai di meja tengah, seolah memiliki rencana tersembunyi. Kemudian dia kembali menatap Utsugi dan menarik napas dalam-dalam.
Dia lalu melanjutkan.
"Nah, Utsugi. Ini interpretasiku sendiri, tapi menurutku jika kita berbicara tentang apa itu cerita, pada intinya, cerita adalah rangkaian conflict. Baik itu novel, film, manga, ataupun anime, semuanya sama menurutku."
"Conflict? Apa maksudnya?"
"Dalam buku-buku panduan bahasa Jepang, istilah itu biasanya diterjemahkan sebagai 'kegelisahan' atau 'pertentangan’, dan memang itu benar, tapi terasa kurang tepat, kan? Lebih mudah dipahami sebagai benturan atau perlawanan. Dalam novelmu, banyak yang kurang dari itu. Dalam hiburan, baik konflik eksternal maupun internal, keduanya penting. Utsugi, coba pikirkan ini."
"Pikirkan apa?"
"Dari dulu hingga sekarang, apa menurutmu sumber konflik yang paling menarik bagi manusia? Sejak zaman purba hingga masa depan, dua hal yang selalu menarik perhatian manusia. Sebutkan dua: satu hal yang menakutkan, dan satu hal yang indah."
Utsugi berpikir serius, karena dari percakapan ini tergantung apakah Hiyodoribana akan membiarkannya menulis cerita tentang dirinya atau tidak.
Tanpa terlalu yakin, Utsugi menjawab.
"....Kematian dan cinta?"
"Oh? Benar. Banyak karya besar yang mengangkat dua tema itu, meskipun tidak semuanya. Aku percaya kalo kedua hal tersebut adalah yang paling menarik perhatian manusia. Karena itu, gunakan yang terakhir...maksudku...yah, ceritakan tentang...cinta."
Hiyodoribana tiba-tiba mulai gagap.
Utsugi merasa bingung.
"Hiyodoribana?"
"....Cerita cinta adalah sesuatu yang bisa dihubungkan oleh hampir semua orang. Dari saat kita lahir hingga akhir hayat kita, hampir tidak ada orang yang tidak pernah jatuh cinta. Ini juga merupakan jalan utama dalam hiburan..."
Wajah Hiyodoribana memerah, dan dia melanjutkan sambil bergumam.
"Sebenarnya, karya serupa sudah banyak ada di luar negeri, tapi perkembangannya cukup pesat di Jepang...atau lebih tepatnya...ini sangat sesuai dengan budaya kreatif Jepang...atau mungkin...rasanya juga cocok untuk kita berdua...dan ya, itu yang paling masuk akal..."
"Kau jadi terlalu berbelit-belit sekarang."
"Di-di-diam! Intinya adalah...komedi romantis! Kita berdua mulai dari sekarang menjadi pasangan, dan berdasarkan kejadian dan perasaan sehari-hari yang nyata, kita menciptakan novel yang penuh dengan elemen hiburan! Ini adalah syarat kedua, dan ini tidak bertentangan dengan cara menulismu maupun apa yang ingin aku ajarkan──!"
"──Komedi romantis."
Utsugi bergumam. Bukan karena ingin sok misterius, atau karena merasa enggan, dia hanya membayangkannya. Dia juga tidak merasa bingung. Gambaran itu muncul dengan begitu mudah.
Hiyodoribana, yang tidak segera mendapat jawaban dari Utsugi, mulai merasa gelisah. Ketika mata mereka bertemu, Hiyodoribana terlihat semakin gugup.
Utsugi tertawa pelan, "Ahaha."
Kalau Utsugi bisa menulis tentang Hiyodoribana, tentu tidak ada alasan untuk menolak.
"Aku setuju, Hiyodoribana."
... Setelah itu, Utsugi dan Hiyodoribana menenangkan diri dengan meminum teh, lalu mereka mulai makan sashimi ikan madai sebelum mengering.
Pada saat itu, ibu Utsugi yang masih mengantuk bangun. Hiyodoribana, terkejut dengan pertemuan tiba-tiba itu, Hiyodoribana sempat panik dengan kejadian tak terduga tersebut dan melakukan beberapa kesalahan langkah, seperti jari kelingkingnya terbentur sofa, tertawa saat memperkenalkan diri, dan membuat beberapa kesalahan lain, tapi itu adalah cerita untuk lain waktu.
★ ★ ★
Hiyodoribana sangat imut.
Itulah yang selalu dirasakan Fujibakama setiap hari.
Dua hari setelah liburan Golden Week berakhir.
Di kantin mahasiswa saat jam istirahat.
Fujibakama bertemu Hiyodoribana.
"Ah, Fujibakama."
"...Hiyodoribana-chan."
Hiyodoribana membawa nampan berisi soba dingin, sementara Fujibakama, di sisi lain, memesan Set C yang dikenal sebagai 'set makan besar' di antara para siswa, yang agak memalukan.
Fujibakama secara refleks memiringkan tubuhnya sedikit untuk menyembunyikan nampan itu. Tapi, Hiyodoribana tampaknya tidak memperhatikan. ...Tentu saja, pikir Fujibakama sambil mencibir diri sendiri. Gadis seimut ini pasti tidak akan memedulikan bentuk tubuh manusia biasa sepertinya.
Dengan senyum, Hiyodoribana mengajak Fujibakama.
"Karena kita sudah bertemu, jadi ayo kita makan bersama?"
"...Hiyodoribana-chan, apa kau tidak ada membuat janji dengan temanmu? Apa tida apa-apa?"
"Tidak, hari ini aku belum berjanji pada siapa pun hari in pun. Jadi ayo, kita pergi."
Karena cuaca cerah dan terlihat ada tempat kosong, mereka pindah ke teras.
Meskipun Hiyodoribana mengatakan kalo dia tidak ada janji dengan siapa pun, beberapa siswa menyapanya atau mengajaknya berbicara saat mereka berjalan. Hanya dengan berada di dekat Hiyodoribana, Fujibakama selalu merasa ada tatapan dari orang-orang. Gadis ini memang populer, pikir Fujibakama. Tentu saja, hidupnya pasti sangat berbeda dengan kehidupanku.
Kenapa gadis seperti ini bisa menjadi penggemar novel Utsugi?
Novel Utsugi hanyalah jenis novel yang, bahkan dengan pandangan bias dari seorang teman masa kecil, hanya bisa dibaca dengan susah payah.
Tapi, klub sastra tempat mereka berada menjadi jauh lebih hidup sejak Hiyodoribana bergabung.
...Klub sastra ini sebenarnya adalah klub yang dibuat oleh Utsugi untuk dirinya sendiri, jadi wajar saja kalo kegiatan klub melambat ketika Utsugi sedang merasa tidak bersemangat. Fujibakama dan Ayame juga hanya bergabung karena Utsugi ada di sana.
Meskipun Utsugi sedang murung, dia tetaplah Utsugi. Dia tetap berpikir dan melakukan berbagai kegiatan. Bagi mereka yang tidak terlalu akrab dengannya, Utsugi mungkin terlihat sama seperti sebelumnya—bebas dan egois. Tapi, Fujibakama dan Ayame sering menangkap momen ketika Utsugi tampak sedih atau bosan.
Wajar saja.
Fujibakama tahu betul Utsugi adalah cucu yang sangat dekat dengan neneknya. Ketika neneknya meninggal musim panas tahun lalu, itu pasti menjadi salah satu pukulan terbesar dalam hidup Utsugi.
...Sepertinya suasana hati Utsugi berubah setelah kemunculan Hiyodoribana. Dia tiba-tiba terlihat jadi lebih bersemangat. Dan itu jelas hal yang sangat baik. Tidak perlu diragukan lagi. Ayame juga terlihat senang, seakan terpengaruh oleh perasaan Utsugi. Ayame bukan penggemar novel Utsugi, melainkan lebih cenderung seperti pengikut Utsugi. Bahkan Fujibakama sendiri, meski berpikir itu hal yang baik, merasa...
"Hei, Fujibakama. Boleh aku menanyakan sesuatu?"
Di tengah makan, Hiyodoribana tiba-tiba mengubah topik dari manga.
"Hiyodoribana, kau sudah lama mengenal Utsugi, kan?"
"Mm... ya, mungkin bisa dibilang hubungan lama yang sulit diputus. Kami tinggal berdekatan."
Fujibakama menyembunyikan keterkejutannya dan berbicara sambil menggigit tonkatsu.
"Katanya kami bertemu di taman dekat rumah ketika aku berusia satu tahun dan Utsugi masih beberapa bulan. Tentu saja, aku tidak ingat sama sekali. Tapi Utsugi yang masih bayi sangat ekspresif dan sering tertawa, jadi ibuku secara spontan menyapanya."
"Wah, jadi kalian berteman sejak bayi, itu luar biasa. Pasti kalian selalu berteman baik. Ya, aku bisa membayangkan Utsugi sebagai bayi yang imut."
Hiyodoribana meminum air dingin dan melanjutkan pembicaraan.
"Utsugi itu, hidup sepenuhnya dengan memprioritaskan kesenangannya sendiri dan selalu bertindak impulsif, benar-benar orang yang egois. Tapi aku senang melihatnya... dia juga punya penampilan yang menarik. Mungkin ada beberapa gadis yang merasa tertarik pada kekuatannya dalam memaksakan kehendaknya."
"Eh... benar begitu? Aku dan Ayame selalu saja terombang-ambing olehnya."
"Apa di suatu titik, Fujibakama pernah berpikir kalo Utsugi itu menarik?"
Sejenak, dia hampir menghentikan gerakan dan napasnya. Tapi, dia merasa bisa mengalihkan pertanyaan itu dengan baik.
Fujibakama tertawa sambil memakan sosis.
"Aku? Menyukai Utsugi? Haha, itu tidak mungkin! Sama sekali tidak, itu benar-benar tidak mungkin."
Di dalam hatinya, dia merasa mendengar sebuah suara.
──Bohong.
Hiyodoribana lalu bertanya lagi.
"Jadi, misalnya kalo ada orang lain yang menjadi pacar Utsugi, apa Fujibakama tidak akan merasa sedih atau kesepian?"
"Tentu saja! Sama sekali tidak, malah aku mungkin akan merasa kasihan pada orang itu! Memang aku menyukai Utsugi, tapi bukan dengan cara seperti itu."
──Bohong.
"Begitu, ya."
"Tepat sekali! Utsugi kadang-kadang populer di kalangan perempuan, tapi biasanya mereka itu cuma perempuan yang tidak tahu Utsugi sebenarnya orang seperti apa, mereka hanya menilai dari penampilannya. Kebanyakan dari mereka otaknya kosong! Seharusnya Utsugi mencoba berkencan dengan salah satu dari mereka, tapi dia malah menolak perempuan-perempuan seperti itu."
Fujibakama berkata sambil meraih fillet ikan putih dengan sumpitnya, tapi dia merasakan sesuatu yang menusuk hatinya lagi.
Bukan hanya karena ucapannya penuh dengan kebohongan yang membuatnya ingin tertawa, tapi juga karena Hiyodoribana tampaknya terlihat sedikit lega.
Apa itu hanya perasaannya? Mungkin hanya kecemasannya sendiri yang membuatnya melihat seperti itu.
Dia sendiri tidak yakin, tapi dia merasa tidak nyaman, dan ingin segera mengalihkan pembicaraan.
[TL\n: buat bro-bro ku yang membaca ini, janganlah berbohong apalagi itu tentang perasaan kalin, nanti kalian akan menyesalinya di suatu hari nanti. Gua yakin 100% pasti si Fujibakama bakalan nyesel karena berbohong dengan perasaannya sendiri.]
"Tapi lebih dari itu, kurass kau yang sepertinya akan lebih sulit lagi, Hiyodoribana-chan!"
"Hmm? lebih sulit dalam hal apa maksudmu?"
"Yah, kau sudah jadi penulis profesional, dan juga sibuk sebagai Hiyodori-sensei, pembuat konten ulasan buku di video. Selain itu, di sekolah yang baru kau masuki, ada seorang penulis amatir yang kau sukai, dan kau mencoba membantunya, tapi dia tidak mendengarkan. Padahal, di luar sana, pasti banyak orang yang akan sangat senang kalau kamu mendukung mereka, kan?"
Hiyodoribana tertawa.
"Mungkin memang tidak sebanyak itu, tapi iya, ada beberapa. Aku sangat bersyukur untuk itu."
"Aku benar-benar kagum padamu, ketika aku membaca rancangan cerita yang kau siapkan, 'Ryuu no Kago Tsuri.' Dari situ aku bisa melihat Oh, jadi begini cara Hiyodoribana-chan berpikir. Tapi Utsugi malah mengatakan kalo dia tidafk bisa memahaminya... sungguh membuat kesal."
"Haha, aku juga masih tidack mengerti kenapa Utsugi begitu keras kepala untuk tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. Mungkin ego seperti itu adalah bagian dari kepribadiannya, yang juga memberi kekuatan pada emosi yang tertuang dalam setiap detail deskripsi di novelnya."
...Saat Hiyodoribana mengatakan kata 'juga', Fujibakama merasa sedikit superioritas, dan seketika dia merasakan sedikit benci pada dirinya sendiri.
Bukan 'juga'. Fujibakama tahu alasan kenapa Utsugi mulai menulis novel, dan dia memahami kenapa Utsugi tidak mau mencampurkan perasaan orang lain ke dalam karyanya.
Hiyodoribana tidak tahu hal itu.
Dan entah kenapa, itu membuat Fujibakama merasa sedikit senang...
Fujibakama tertawa kecil.
"Utsugi memang seperti itu sejak lama soal menulis. Meskipun kau sudah mencoba mengajarkannya tentang tiga babak atau struktur cerita, itu mungkin hanya akan buang-buang waktu."
Hiyodoribana menyesap mie sobanya. Bahkan caranya menyesap mie pun terlihat begitu anggun dan lucu, tanpa sedikit pun kesan jorok, membuat rasa percaya diri Fujibakama yang memang sudah kecil semakin retak. Semuanya tampak begitu sempurna. Semua hal tentang Hiyodoribana berbeda dari dirinya.
Pertanyaan pun muncul dalam benaknya.
Dengan semua daya tarik yang dimiliki Hiyodoribana, mungkinkah bahkan Utsugi akan jatuh cinta padanya?
"──Fujibakama?"
Tiba-tiba dia tersadar kembali ke kenyataan.
Hiyodoribana tampak sedikit bingung, miringkan kepalanya, membuat Fujibakama buru-buru menggelengkan kepalanya.
"T-tidak, tidak ada apa-apa. Aku hanya... aku hanya berpikir soba itu terlihat enak!"
"Soba di kantin sekolah ini bukan yang biasanya lebih banyak campuran tepung terigu, tapi soba dengan 80% tepung soba, atau disebut ni-hachi soba."
[TL\n: Ni-hachi (二八) adalah istilah yang berasal dari Jepang yang secara harfiah berarti "dua-delapan." Istilah ini paling sering digunakan dalam konteks soba, yaitu mi Jepang yang terbuat dari tepung soba (buckwheat). Dalam pembuatan soba, ni-hachi soba merujuk pada jenis soba yang dibuat dengan campuran 20% tepung gandum dan 80% tepung soba. Perbandingan ini memberikan tekstur dan rasa yang ideal, karena tepung soba murni cenderung sulit untuk dibentuk menjadi mi tanpa tambahan tepung gandum.]
"Ah, benarkah? Aku tidak tahu."
"Rasanya enak, lho. Dan ya, seperti yang kau bilang, mungkin percuma saja bicara soal teknik menulis dengan Utsugi. Sepertinya dia punya kebiasaan untuk tidak membiarkan hal-hal seperti itu masuk ke pikirannya. Bahkan kalo dia mau mencobanya, kebiasaan itu mungkin akan menghalangi dan membuatnya sulit menulis. Tapi..."
Hiyodoribana tersenyum penuh percaya diri.
"A-apa? Hiyodoribana?"
"Sebenarnya, aku punya ide bagus. Saat ini ide itu sedang ku pertimbangkan dalam pikiranku."
"Ide? Tentang apa?"
"Aku pernah memancing seekor ikan madai yang sepanjang sekitar 40 cm, dan berhasil membuat Utsugi terkejut."
"Hah?"
"Waktu itu, sepertinya aku berhasil menyampaikan konsep ‘melampaui ekspektasi tanpa mengecewakan’, bukan hanya dengan logika, tapi melalui pengalaman langsung. Aku berpikir, kalo aku bisa menghancurkan asumsi-asumsi Utsugi bukan dengan kata-kata, tapi dengan tindakan—meski mungkin ini akan seperti ‘mengorbankan daging untuk memotong tulang’. Aku dan dia..."
[TL\n: Pepatah "mengorbankan daging untuk memotong tulang" berarti seseorang rela mengorbankan sesuatu yang berharga atau penting, tetapi kurang vital, untuk mencapai tujuan yang lebih besar atau mengatasi sesuatu yang lebih kritis. Dalam konteks ini, "daging" melambangkan sesuatu yang bernilai namun bisa dikorbankan, sedangkan "tulang" mewakili sesuatu yang lebih penting atau mendasar.]
Hiyodoribana hampir menjelaskan semuanya, tapi tiba-tiba dia menghentikan kalimatnya.
Fujibakama merasa sedikit gelisah tanpa alasan yang jelas.
"Kenapa kau berhenti?"
"Bukan karena aku berpikir kalo kau akan membocorkanya, Fujibakama. Hanya saja, aku ingin Utsugi menjadi orang pertama yang memberi tahu dan mengejutkanmu, jadi itu masih rahasia."
Cara Hiyodoribana tertawa begitu ceria, sampai-sampai di mata Fujibakama terlihat begitu menggoda.
Fujibakama pun berpikir, Ah, tidak ada satu pun bagian dari diriku yang bisa menandingi anak ini, ya.
Meski begitu, tiba-tiba saja, tanpa alasan jelas, ingatan lama terlintas di pikirannya.
Saat Fujibakama kelas tiga SD, dan Utsugi kelas dua SD.
Mereka bermain di taman dekat rumah mereka—yang juga dekat dengan sekolah ini—bersama enam atau tujuh anak lainnya.
Lalu tiba-tiba, seorang anak nakal SMP yang tidak biasa mereka lihat datang sendiri dan mulai mengganggu kelompok anak SD tersebut. Tentu saja, semua anak ketakutan, dan anak nakal itu semakin senang melihat reaksi mereka. Hingga akhirnya, dia menyuruh sesuatu yang tak masuk akal. "Hei, pergi dan curi permen di supermarket sana", perintahnya. Sekarang kalau diingat lagi, hal itu terdengar konyol, tapi saat itu Fujibakama sangat ketakutan, begitu pula kebanyakan teman-temannya. Bahkan ada yang sampai menangis.
Di tengah situasi itu, hanya Utsugi yang tetap tenang, lalu berkata langsung di depan anak nakal itu,
"Kau gila, ya?"
Anak nakal itu terkejut dan terdiam beberapa detik. Dia ragu apa harus berteriak atau tidak, tapi akhirnya dengan wajah canggung, dia pergi menjauh. Setelah itu, mereka tak pernah melihat anak itu lagi.
Tentu saja, Hiyodoribana tidak tahu cerita ini. Bahkan Utsugi pun mungkin sudah lupa karena baginya, itu adalah kejadian biasa. Jadi, mungkin ini adalah kenangan Utsugi yang hanya diketahui oleh Fujibakama di dunia ini.
Di bulan Februari tahun ini, di pagi bersalju, Fujibakama pernah mengatakan pada Utsugi kalo dia aneh. Tapi sebenarnya tidak. Itu hanya karena Fujibakama merasa canggung dan tidak bisa berkata lebih baik saat itu.
Fujibakama sebenarnya ingin berkata,
"Utsugi, kau itu sungguh keren, ya."
Dengan kemunculan gadis yang bernama Hiyodoribana sebagai rival yang terlalu kuat akhirnya membuat Fujibakama menyadari sesuatu.
Fujibakama menyukai Utsugi, dan itu bukan sebagai adik atau teman.
Ini adalah perasaan ingin berkencan denganya, menikahinya, atau bahkan berhubungan segss denganya. Sejak mereka bertemu 17 tahun lalu, mungkin dari awal perasaan itu sudah ada didan mungkin selalu seperti itu.
Fujibakama tahu ini sudah terlambat. Tapi perasaannya tidak sesederhana hanya bisa menonton Utsugi dan Hiyodoribana yang setiap hari terlihat bersenang-senang.
★★★
Judul novel tersebut adalah The Funeral Story.
Funeral berarti upacara pemakaman, penguburan, atau kebaktian pemakaman. Bisa diterjemahkan sebagai Kisah Pemakaman. Penulisnya adalah Hiyodoribana Chinatsu. Kabarnya, judul ini tidak berubah sejak dia mengirimkannya untuk mengikuti sebuah kompetisi. Ini adalah karya debut Hiyodoribana, dan juga satu-satunya karya yang telah diterbitkan hingga saat ini.
Ceritanya berkisah tentang pengambilan jenazah di Gunung Everest.
Tokoh utamanya adalah seorang mahasiswi yang lahir dari seorang ibu yang merupakan pendaki gunung terkenal. Dia sendiri juga tergabung dalam klub pendakian di universitas-nya, tapi hatinya terasa kosong. Beberapa tahun yang lalu, ibunya menghilang di death zone Everest.
[TL\n: Fyi death zone Everest adalah area di atas ketinggian 8.000 meter di mana kadar oksigen sangat tipis dan tidak cukup untuk mempertahankan kehidupan manusia dalam jangka waktu yang lama. Zona kematian ini juga dikenal sebagai Rainbow Valley karena banyaknya jasad pendaki yang ditemukan di area ini ditutupi pakaian berwarna cerah.]
Suatu hari, sebuah tim pendaki asal Prancis menemukan jenazah yang diduga merupakan ibunya. Bersama ayahnya, sang tokoh utama memulai proyek untuk mengambil jenazah ibunya. Proyek ini menghadapi banyak kesulitan, karena jenazah berada di death zone yang membekukan dan tidak membusuk. Proyek ini juga memerlukan biaya besar. Sang tokoh utama mendekati berbagai perusahaan untuk mendapatkan dana sponsor, dan proyek ini mendapat perhatian media. Di tengah perhatian publik, dia berselisih dengan kekasihnya dan hidup sehari-harinya terganggu, tetapi ia tetap gigih mengejar tujuannya.
Bagian pertama cerita menggambarkan perjuangan tersebut, dan pada pertengahan cerita, dia berhasil mengambil jenazah ibunya.
Tapi, saat pengambilan jenazah, muncul kecurigaan kalo ibunya tidak hanya sekadar tersesat, tetapi mungkin dibunuh oleh seseorang.
Sang tokoh utama mulai menyelidiki anggota tim ibunya pada saat itu dan akhirnya menemukan pelaku. Tapi, ada sebuah kejutan. Sang tokoh utama mencari pelaku bukan untuk menghukumnya, tetapi untuk mendapatkan kesaksian yang akan mengungkap dalang sebenarnya. Dia telah menduga sejak awal kalo dalang di balik kematian ibunya adalah ayahnya sendiri, dan proyek pengambilan jenazah ini dibuat untuk menemukan kebenaran tersebut. Dalam konfrontasinya dengan sang ayah, sang tokoh utama menemukan siapa sebenarnya ibunya, bagaimana ibunya mengkhianati suami dan anaknya, yang kemudian menyebabkan tragedi ini terjadi—itulah inti dari cerita ini.
Setelah selesai membaca, Utsugi meletakkan Hp-nya di atas meja dan menyesap kopi yang tersisa, yang sudah benar-benar dingin.
Ini adalah Sabtu sore. Ibunya, yang hari ini sedang libur, sedang menyiapkan makan malam di dapur. Setelah menarik napas, Utsugi bergumam pelan.
"....Seriusan, Hiyodoribana."
Sehari setelah hari terakhir liburan Golden Week, Utsugi membeli The Funeral Story dalam bentuk e-book, dan selama beberapa hari terakhir, dia membacanya di sela-sela waktu belajar dan kegiatan klub.
...Kau benar-benar menulis ini saat masih di akhir tahun kedua SMP?
Walaupun telah melalui banyak revisi sebelum diterbitkan.
Utsugi merasa sangat terkesan tanpa ragu sedikit pun.
Fakta kalo ada manusia yang bisa menulis cerita seperti ini sangat mengejutkan.
Dengan hasil seperti ini, tidak mengherankan jika beberapa orang menduga bahwa sebagian besar cerita ini sebenarnya ditulis oleh ibunya, yang merupakan penulis terkenal. Beberapa ulasan bahkan mengkritik banyaknya kesalahan dalam cerita ini, seperti kesalahan informasi yang seharusnya tidak mungkin terjadi jika ibunya benar-benar menulis atau mengawasi penulisan tersebut. Mungkin ada kesalahan yang akan terlihat jelas bagi mereka yang memahami dunia pendakian, tetapi bagi Utsugi, yang hanya seorang siswa SMA biasa, tidak ada hal yang mencurigakan.
Terkait gaya penulisan, meskipun Utsugi tidak merasa pantas untuk berkomentar, gaya narasinya datar dan mudah dibaca, meskipun tidak ada yang benar-benar menonjol. Tapi, kualitas ini membuat Utsugi merasa yakin kalo dia tidak akan bisa menulis sesuatu seperti ini, bahkan jika dia menginginkannya. Mendengar cerita dan membacanya langsung jelas berbeda; setelah membacanya, Utsugi merasa Hiyodoribana adalah sosok dari dunia yang berbeda.
Oleh karena itu...
"....Bagaimana seseorang bisa menulis sesuatu seperti ini?"
Sebuah pertanyaan besar melintas di kepalaku.
"Kenapa kau bilang kalo kau adalah penggemar novelku? Ada banyak orang yang jauh lebih berbakat dariku, termasuk Hiyodoribana sendiri. Aku benar-benar tidak mengerti.」
Kenapa dia begitu terikat dengan Utsugi?
Sambil kesulitan. Sambil bingung. Sambil marah.
Sambil menangis dengan mata berkaca-kaca, setelah kepalanya tertutupi udang krill.
Apa dia benar-benar orang aneh? Apa di punya minat yang aneh? Atau mungkin dia suka menjalani penderitaan? Saat Utsugi memiringkan kepalanya, Hp di sudut penglihatannya menarik perhatiannya. Aplikasi e-book masih terbuka, jadi dia mengulurkan tangan untuk menutupnya.
Tapi tiba-tiba, Hp-nya berdering.
"Oh."
Ibu-nya yang ada di dapur tidak melewatkan reaksi Utsugi dan nada dering di Hp-nya.
"Itsuki, dari siapa itu?"
"...Ibu, aku tahu dari nada suaramu yang berbinar itu, kau pikir itu dari Hiyodoribana, kan?"
"Memang, kan? Yah, soalnya dia anak yang sangat imut, kan? Bahkan kau yang biasanya tidak tertarik dengan hal-hal percintaan remaja, pasti luluh dengan gadis secantik itu──"
"──Ya."
Tanpa mendengarkan ibunya sampai selesai, Utsugi menjawab panggilan sambil berjalan keluar dari ruang tamu. Tebakan ibunya benar. Itu Hiyodoribana. Sebelum Utsugi sempat memberitahunya kalo dia baru saja selesai membaca 'The Funeral Story', dia langsung berbicara soal urusan lain.
"Utsugu besok kau tidak punya rencana untuk kegiatan klub besok kan?"
"Eh, oh, ya. Taksi gratis──maksudku, Tachibana-sensei mengatakan kalo dia ada kencan."
"Ugh... yah, sudahlah. Sementara Tachibana-sensei bersenang-senang dengan yang berbayar, bagaimana kalo kita bersenang-senang dengan yang gratisan? Besok, kalo Utsugi punya waktu, kita akan berkencan dengan struktur tiga babak."
"Eh, kok rasanya ada yang tidak beres, ya."
Saat Utsugi menjawab tanpa berpikir, terdengar suara hentakan kaki dari seberang telepon.
"...Lagi-lagi Orang ini... lagi. ...Memang benar aku salah mengatakannya. Aku tahu kau tidak suka belajar teknik seperti itu, tapi aku malah terlalu semangat dan aku terlalu banyak mengungkitnya... Tapi, Utsugi kau tidak melupakannya, kan?"
"Lupa apa?"
"Syarat supaya aku menjadi subjek novel Utsugi. Sudahlah, lakukan saja! Aku sudah berpikir keras supaya ini bisa menarik untuk Utsugi juga...biar kau tidak merasa aneh. Mengingat struktur tiga babak adalah langkah pertama Utsugi untuk bisa menulis tentangku! Ini juga meniadi kencan pertama untukmu, kan Utsugi? Jadi, nikmatilah usaha pacar imutmu ini tanpa banyak alasan!"
"...Ya, maaf."
Meski tanpa sadar minta maaf karena ketusnya nada suara Hiyodoribana, di dalam kepalanya percikan-percikan kecil terus bertabrakan.
Kencan dengan Hiyodoribana. Saat dia membayangkannya, meskipun ada frasa 'struktur tiga babak' yang sama sekali tidak menarik baginya, kesan itu tidak terlalu buruk.
Utsugi sendiri mengakui kalo ini adalah pertama kalinya dia kencan dengan seseorang yang dia cintai. Jantungnya berdegup kencang hanya dengan membayangkannya. Selain itu, ada rasa semangat dalam arti yang berbeda. Ini juga kencan pertama Hiyodoribana dengan pacarnya, Utsugi.
Sulit untuk tidak berharap lebih.
Karena pasti akan ada sisi baru dari Hiyodoribana yang belum pernah dia lihat.
Sesuatu yang bisa membuatnya ingin dijadikan cerita──dengan kata lain, sesuatu yang akan menarik hati Utsugi.
Hari Minggu, pukul 10.30 pagi. Tempat pertemuan berada tepat di pusat kota.
Waktu diputuskan oleh Hiyodoribana, sedangkan lokasi ditentukan oleh Utsugi.
Saat mereka sedang menuju toko yang menjadi tujuan, Utsugi bertanya tanya, Hiyodoribana mengenakan pakaian kasual yang sangat modis—jenis pakaian yang tampaknya memiliki harga di atas 1.000.000 yen per potong jika ditanyakan.
Sambil berjalan, Utsugi membaca sesuatu yang menyerupai sinopsis, yang ditulis dan dicetak oleh Hiyodoribana seorang diri, seperti yang dilakukan bulan lalu di klub. Meskipun bentuknya mirip dengan sebelumnya, tapi terdapat beberapa perbedaan.
Utsugi mengerutkan keningnya, lalu menatap Hiyodoribana. Tepat pada saat itu, Hiyodoribana sedang mengarahkan Hp-nya ke arah Utsugi.
"Hiyodoribana, karena di sini karakter utamanya adalah Utsugi dan Hiyodoribana. Apa ini semacam naskah untuk kencan hari ini? Oh, apa kau baru saja mengambil fotoku?"
"....Aku tidak mengambilnya kok. Aku hanya melihat Hp-ku saja. Dan itu bukan naskah, tolong sebut itu plot."
"Plot...?"
Ekspresi Hiyodoribana terlihat seolah baru saja tertembak.
"Hah!? Serius? Kau yang telah menulis novel sejak kecil, bagaimana mungkin kau tidak tahu itu...?"
"Meskipun kau berkata begitu..."
"Plot tidak hanya digunakan untuk novel, tapi juga untuk karya kreatif lainnya. Sebelum benar-benar menulis, biasanya dibuat rangkuman cerita dan karakternya secara singkat. Cara penulisannya tergantung orang, tetapi dasarnya adalah struktur cerita dengan pengenalan, pengembangan, klimaks, dan kesimpulan...Kau setidaknya tahu itu, kan? Nah, plot adalah rangkuman dari bagian-bagian tersebut. ...Jangan-jangan, selama ini kau selalu menulis novel langsung dari isi cerita?"
"Ah... ya itu benar.”
"Itu benar-benar luar biasa...Walaupun ada beberapa penulis profesional yang menulis tanpa plot, mereka setidaknya sudah memikirkan kerangka cerita di kepala mereka. Tapi kau sepertinya tidak memikirkan hal itu, bukan? Hmm... Jadi itulah kenapa ceritamu kadang terasa dipaksakan di tengah-tengah, tapi tetap dapat diselesaikan karena kemampuan menulismu cukup kuat..."
"Apa kau biasanya menulis plotnya terlebih dahulu?"
"Setidaknya, aku tidak bisa menulis dengan baik tanpa plot, bahkan untuk cerita pendek. Jadi, jika kau ingin menulis komedi romantis tentang ku, kau harus membuat plot terlebih dahulu. Aku akan memeriksanya dengan saksama mulai dari tahap plot."
"Baiklah, baiklah. Jadi, ini yang disebut ‘kencan tiga babak’ yang kau maksud kemarin. Apa kau berencana menjalankan kencan ini sesuai dengan struktur tiga babak tersebut?"
"Tepat sekali. Jika dilakukan sambil dipraktikkan, bahkan kau pasti akan memahaminya, kan? Selain itu, aku juga telah menyiapkan sedikit permainan. Supaya kau bisa menikmatinya, dan lebih mudah bagiku untuk menyusunnya sesuai struktur tiga babak. Betapa perhatian dan hebatnya aku sebagai pasangan..."
Utsugi tidak bisa menahan tawa.
"Benar, menurutku kau memang perhatian dan hebat."
"...Jangan katakan itu dengan begitu jujur, itu membuatku malu. Biasanya kau akan mengejekku. Bagaimanapun, Lagi pula, kenapa kamu tidak membaca bagian atasnya? Itu judulnya."
Utsugi membacanya dengan suara keras.
"....‘Angel Pen Date’?"
"Benar. Ini adalah pena malaikat yang dipenuhi kekuatan sihir."
Hiyodoribana mengeluarkan bolpoin dari tasnya dan menyerahkannya.
Utsugi yang menerimanya merasa familiar dengan pena tersebut. Karena ayahnya pernah menggunakan yang sama.
"Pena yang diberikan saat membuka rekening di bank..."
"Bukan, ini adalah pena malaikat. Pena ini menyimpan kekuatan spiritual yang luar biasa."
Hiyodoribana berkata dengan tegas.
Pada Utsugi yang terkejut dan berkedip, Hiyodoribana yang melihat itu menunjukkan ekspresi puas.
"Utsugi, tidak peduli apa yang kau inginkan, bisakah kau berpura-pura menulis di udara sambil menggumamkan apa yang kau ingin aku lakukan sekarang?"
"Tapi kita di tengah pusat perbelanjaan hari Minggu."
"Apa kau peduli soal itu?"
"...Aku sih tidak. Apa saja boleh?"
"Silakan."
Utsugi menggerakkan bolpoin itu di udara tanpa mengeluarkan tintanya.
"Baiklah, kalau begitu... Hiyodoribana, lakukan pose kucing sambil berteriak 'Nya'."
Kemudian, Hiyodoribana menaruh kedua tangannya di samping kepalanya seperti telinga kucing, menekuk lututnya, dan mengangkat satu kaki ke belakang.
"Nya!"
Seperti yang baru saja dikatakan Utsugi, ini adalah hari Minggu di pusat perbelanjaan.
Ini adalah jalan yang ramai di kota terbesar di daerah ini. Tentu saja, banyak orang dari berbagai usia berjalan di sekitar Utsugi dan Hiyodoribana. Beberapa orang melihat mereka dengan penasaran, bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Seorang wanita muda yang berjalan paling dekat bahkan dengan sengaja mengalihkan pandangannya dan mempercepat langkahnya, seolah-olah ingin cepat-cepat pergi.
Utsugi melanjutkan aksinya, berpura-pura menulis di udara.
"Tahan pose itu dengan senyuman selama 10, dan lambaikan tangan kalo kay bertemu pandang dengan seseorang."
Hiyodoribana tampak tertekan, matanya bergetar karena rasa malu yang tak bisa dia sembunyikan. Tapi, tanpa ragu, dia segera memasang senyum lebar. Sambil bergetar, dia tetap mempertahankan pose seperti kucing dan melambaikan tangan dua kali kepada orang yang lewat. Utsugi pun terkesima.
Utsugi pikir kalo dia sudah memahami dedikasi Hiyodoribana.
Hingga sejauh ini, demi novel Utsugi...
Ada sesuatu yang membuatnya sedikit tersentuh. Hiyodoribana, yang bisa menulis novel yang luar biasa, tidak ragu untuk menanggung malu seperti ini karena yakin kalo Utsugi akan bisa menulis dengan baik jika dia memahami struktur tiga babak dan elemen hiburan.
Selain itu, Utsugi tidak bisa menyangkal kalo dia sedikit tertarik. Hiyodoribana yang berusaha menahan rasa malunya terlihat sangat manis.
Mungkin dia benar-benar menghitung dalam pikirannya, karena tepat 10 detik kemudian, Hiyodoribana langsung berhenti dari pose itu, menghapus keringat dingin dari dahinya, dan berkata,
"Oke, efek Pena Malaikatnya sudah habis! Jadi, sekarang bacalah halaman pertama dari plot itu! Anggap saja ini cerita yang ku buat, bukan untuk belajar teknik, jadi kau pasti tidak akan terlalu menolaknya, kan? —Hei Utsugi, jangan tersenyum terlalu lebar setelah membuatku melakukan hal memalulam seperti itu!"
"Aku tidak tersenyum kok."
"Bohong...! Meskipun kau menutupi wajahmu dengan tangan, itu tetap terlihat jelas!"
■Angel Pen Date
□Karakter
Utsugi... Protagonis. Siswa SMA tahun ke-2. Wajahnya tidak buruk, tetapi dia tidak mengenal cinta sejati.
Hiyodoribana... Heroine. Siswa SMA tahun pertama. Cantik, pintar, dan berani, tetapi tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaannya.
■Pengaturan
Di sekolah, ada seorang gadis bernama Hiyodoribana yang seperti madonna: cerdas seperti keajaiban, lembut seperti malaikat, dan dicintai hampir oleh semua orang. Gadis ini diam-diam menyukai Utsugi, seorang anak laki-laki yang malas, egois, dan bermental seperti anak SD.
Tapi, Hiyodoribana tidak memiliki keberanian untuk menyatakan perasaannya.
Tapi, suatu hari yang penuh dengan ketidakpastian berubah ketika gerbang dunia lain terbuka akibat gerhana matahari atau ledakan supernova. Dari sana, Hiyodoribana mendapatkan Pena Malaikat dari makhluk maskot bernama Shikujū Kirobonge.
Pena itu terhubung dengan jiwa Hiyodoribana, dan setiap kata yang dia tulis dengan pena tersebut memiliki kekuatan paksaan yang kuat dan menggerakkan tubuhnya secara otomatis.
Di sisi lain, Utsugi, yang lahir di dekat Sungai Jack the Ripper di Hades, kota sisa-sisa di mana segala limbah dunia ini mengalir, tidak pernah mengetahui apa itu cinta. Dia tumbuh dengan memakan daging binatang buas yang mati terbunuh, tapi dia tetap ingin merasakan cinta yang sejati. Sayangnya, kesempatan itu tak kunjung datang, bahkan setelah dia masuk SMA di Jepang.
■Pemicu
Tertunduk karena tidak mampu mengungkapkan perasaannya pada Utsugi, Hiyodoribana memutuskan untuk menggunakan pena malaikat dengan tekad seolah melompat dari panggung Shimizu.
[TL\n: Panggung Shimizu adalah bagian terkenal dari Kuil Kiyomizu-dera di Kyoto, Jepang. Panggung ini merupakan sebuah platform kayu besar yang menjorok dari aula utama kuil, sekitar 13 meter di atas tanah. Panggung ini didukung oleh struktur kayu tanpa paku, yang menjadi salah satu keajaiban arsitektur tradisional Jepang. Pemandangan dari Panggung Shimizu sangat indah, terutama selama musim semi ketika bunga sakura mekar atau musim gugur ketika daun-daun berubah warna. Panggung ini juga dikenal dalam pepatah Jepang "melompat dari panggung Kiyomizu," yang artinya membuat keputusan berani atau mengambil risiko besar, mirip dengan pepatah "melompat dari tebing" dalam bahasa lain.]
Di teras kantin universiras, Utsugi menerima pena malaikat yang diserahkan oleh Hiyodoribana, lalu mendengar pengakuannya. "Aku ingin mengajarkan cinta padamu. Gunakan pena malaikat ini untuk berkencan denganku, dan coba rasakan apakah kau bisa menikmatiku?"
■Pertanyaan Sentral
(Q. Bagian 1)
Tempat makan yang mereka dipilih untuk sarapan sekaligus makan siang adalah kafe di lantai dua sebuah gedung di pusat perbelanjaan. Menu andalan mereka adalah kopi murni pilihan dan pancake yang penuh dengan krim kocok dan buah.
Utsugi-lah yang memilih tempat ini. Dia sudah meneliti sebelumnya pada malam hari. Hiyodoribana menutup buku menu dan bertanya.
"Bagaimana menurutmu setelah membaca halaman pertama plot itu?"
Utsugi menekan bel nirkabel dan dengan jujur menjawab.
"Setting dari Shikujū Kirobonge dan kota yang hancur itu terlalu intens, sampai yang lainnya tidak bisa masuk ke pikiranku."
"Maaf, aku terlalu bersemangat saat menulis bagian itu... Lupakan saja bagian itu. Coba ganti saja dengan sesuatu seperti peri dan masa lalu sedih dari cerita gadis penyihir. Selain itu, aku juga keliru memulai pengaturan dari sudut pandang pahlawan wanita. Sebenarnya, protagonisnya adalah Utsugi, dan sudut pandangnya pun harus Utsugi, kan?"
Hiyodoribana berbicara dengan nada menyesal.
"Bagaimanapun juga, ini adalah setting kita untuk kencan hari ini. Urutan penjelasan situasi seperti ini disebut pengaturan, dan ini adalah hal pertama yang harus dilakukan dalam struktur tiga babak. Ini menunjukkan karakter protagonis, masalah yang dihadapinya, dan pengaturan dunia... Singkatnya, ini menunjukkan kisah apa yang akan diceritakan."
Hiyodoribana berhenti sejenak untuk berpikir, kemudian melanjutkan.
"Misalnya, bisa dibilang seperti ini: ini adalah cerita tentang dua gadis dengan nama yang sama yang sedang membuat film, atau tentang seorang gadis jenius dengan rahasia kelahiran dan kegelapan yang menyelimutinya. Informasi dan tema yang diperlukan untuk perkembangan cerita harus ditunjukkan di sini, dan di saat yang sama harus ada sesuatu yang menarik pembaca atau penonton. Jika mereka kehilangan minat di pengaturan, sulit untuk mendapatkan kembali perhatian mereka."
Utsugi tiba-tiba menggerakkan pena bolpoinnya dan berbisik pelan.
"Hiyodoribana mulai menambahkan 'nyaan' di akhir kalimatnya."
"Bagian yang mengikuti setup disebut dengan inciting incident, yang artinya hal ini terjadi setelah penyerahan pena malaikat dari pahlawan wanita kepada protagonis, yang memicu perubahan dalam kehidupan sehari-hari seperti yang disampaikan di setup, nyaan──"
"Apakah kalian sudah siap memesan?"
Seorang pelayan datang, dan Utsugi serta Hiyodoribana pun memesan makanan mereka.
"Untukku French Toast Morning, dan minumnya kopi murni hari ini, tolong."
"Apakah pancake masih bisa dipesan di jam segini? Kalau begitu, aku pesan pancake stroberi dengan krim kocok, dan es latte, nyaan."
"....Baik. Pesanan kalian sudah dicatat."
Setelah pelayan pergi, Utsugi berkata dengan nada kesal.
"Hiyodoribana, kau terlalu banyak mengorbankan diri untuk menghancurkan tulangku, bukankah begitu?"
"Biarkan saja, nyaan."
"Setelah bagian inciting incident, apa maksud dari pertanyaan sentral ini? Oh, dan tidak apa-apa jika 'nyaan' di akhir kalimat dihapus."
Hiyodoribana menarik napas panjang, seolah mengeluarkan rasa malunya yang sudah lama tertahan di dalam hatinya.
"....Pertanyaan sentral adalah pertanyaan yang menjadi pusat dari seluruh cerita. Jika inciting incident jelas, pertanyaan sentral biasanya muncul secara alami. Contoh yang mudah dipahami adalah ketika ada pembunuhan di inciting incident... Maka pertanyaan utamanya adalah, bisakah sang protagonis menangkap pembunuhnya? Biasanya, jawaban dari pertanyaan ini adalah 'ya' di akhir cerita."
Hiyodoribana meminum air dingin
Es dalam yang diletakkan gelas berbunyi karen, menimbulkan suara berdenting.
"Protagonis terdampar di pulau tak berpenghuni—bisakah dia bertahan hidup?—Jawabannya, ya. Bertemu dengan bisbol—bisakah dia menjadi pemain bisbol yang sukses?—Jawabannya, ya. Lalu, untuk cerita kita hari ini, bagaimana? Aku ingin bertanya padamu, Utsugi, itulah kenapa ini adalah Q. yang pertama. Protagonis menerima pena malaikat yang bisa mengendalikan sang pahlawan wanita sesuka hati-nya. Jika itu adalah inciting incident, maka setelah pengatyran ini, pertanyaan sentral cerita ini akan seperti apa menurutmu?"
Sementara Utsugi berpikir, pelayan datang membawakan pesanan mereka. Untungnya bagi Hiyodoribana, pelayan kali ini berbeda dengan yang tadi. Pelayan ini tidak tahu soal 'nyaan' yang dia ucapkan sebelumnya.
Utsugi dan Hiyodoribana bersama-sama mengucap, 'Itadakimasu', sambil menyatukan tangan mereka.
Utsugi memperhatikan Hiyodoribana yang mulai melahap pancake-nya, dan berpikir kalo cara dia mengunyah mirip dengan tupai. Perasaan baru muncul padanya hanya dengan melihat seseorang makan saja bisa membuatnya merasa bersemangat. Dengan setengah yakin, Utsugi pun menjawab.
"Protagonisnya tidak tahu apa itu cinta, kan? Kalo begitu... mungkin sesuatu seperti, bisakah dia menemukan cinta sejati dalam kencan ini...?"
Hiyodoribana mengangguk senang.
"Mmofufu, bahjawahanjawhaha."
"Hiyodoribana-san silakan ulangi lagi apa yang kau katakan setelah mulutmu kosong."
"...Maaf. Kurang lebih seperti ini. Aku menulis Angel Pen Date ini dengan asumsi begitu. Untuk Utsugi, itu jawaban yang cukup baik."
Utsugi menyadari ada krim kocok di sudut bibir Hiyodoribana. Dengan rasa iseng, sebuah ide muncul di benaknya. Dia mengambil selembar tisu kertas, dia lalu mengulurkan lengannya, lalu tanpa peringatan, dia menyeka sudut bibir Hiyodoribana yang penuh dengan krim.
Hiyodoribana terdiam sejenak, lalu wajahnya memerah dan tubuhnya membeku.
Sambil tertawa, Utsugi membalik selembar kertas dari tumpukan salinan di hadapannya.
"Jadi, selanjutnya, apa itu turning point yang tertulis di sini?"
Hiyodori Hana menulis seperti ini.
■Titik balik pertama
Utsugi sedang menikmati menggerakkan Hiyodoribana dengan pena malaikat, tapi tiba-tiba, dia merasa gugup terhadap Hiyodoribana. Dia menyadari kalo mungkin dia bisa jatuh cinta pada gadis ini.
Oleh karena itu, untuk pertama kalinya, Utsugi bersungguh-sungguh dalam kencannya dengan Hiyodoribana.
Hiyodoribana menjelaskan.
"....Titik balik adalah ciri khas terbesar dari struktur tiga babak, dan ada dua di antaranya. Tiga babak ini, yaitu bagian awal, tengah, dan akhir, memiliki rasio 1:2:1, dan titik balik ini adalah peristiwa yang mengubah alur cerita secara signifikan di antara masing-masing babak."
Hiyodoribana bersikap seperti ini bukanlah hal yang besar, tapi rasa malu karena bibirnya diseka tampaknya belum sepenuhnya hilang.
"Jika dipikirkan dalam konteks film berdurasi dua jam, bagian awal berlangsung selama 30 menit, bagian tengah satu jam, dan bagian akhir 30 menit. Jadi, titik balik pertama biasanya ada di sekitar 30 menit pertama, dan titik balik kedua ada di sekitar 10 menit. Coba perhatikan itu saat kau menonton film, terutama film-film Hollywood. Ini adalah dasar yang diajarkan di sekolah film mana pun."
Sambil meminum kopi, Utsugi bertanya apa yang terlintas di benaknya.
"Berbeda dengan insiden awal tadi, apa titik balik ini sesuatu yang harus ada untuk membuat cerita bisa berjalan?"
"Novelmu biasanya tidak memiliki perubahan besar dalam alurnya, kan? Aku bisa katakan dengan pasti, titik balik itu harus ada. Ini adalah elemen penting yang membuat pembaca atau penonton tetap tertarik. Titik balik pertama adalah momen di mana tokoh utama benar-benar melangkah maju dan mengalami perubahan besar di dunianya. Cerita di mana tokoh utama tidak berkembang itu membosankan. ...Hmm, pancake ini lumayan enak juga."
Setelah beberapa gigitan, Hiyodoribana memberikan penilaian itu terhadap pancake di kafe tersebut.
Dengan wajah puas, dia melanjutkan.
"Kalo dalam cerita 'Angel Pen Date' itu, jika Utsugi hanya bermain-main dengan pena malaikat, itu cuma jadi lelucon satu kali saja, kan? Untuk memberi kedalaman pada cerita, Utsugi harus berubah dan berkembang dalam beberapa cara. Sebenarnya, bagian 'secara kebetulan' dalam plot itu terasa agak malas, dan kamu mungkin akan kesulitan saat menuliskannya."
"...Pancakenya benar-benar enak?"
"Hm? Iya. ...Apa kau mau mencobanya juga?"
Sambil berpura-pura menulis dengan bolpoin, Utsugi berkata, "Hiyodoribana memotong pancake dan menyuapkan ke Utsugi, 'aaah'."
Hiyodoribana ragu-ragu sejenak.
Tapi segera, tatapan matanya menjadi lebih serius. Dia memotong pancake, menusuknya dengan garpu, dan menyodorkannya ke arah Utsugi dan berkata "Aaaah", dengan rasa malu dan tangan yang sedikit gemetar, tetapi tanpa berhenti.
Saat Utsugi mengunyah pancake, Hiyodoribana bertanya padanya.
"Apa itu enak? ...Ah."
Dia tiba-tiba menyadari sesuatu dan menatap mulut Utsugi. Sebelum Utsugi sempat bereaksi, Hiyodoribana, dengan senyuman yang agak nakal, sedikit memajukan tubuhnya dan mengulurkan tangannya.
Dengan jari telunjuknya, Hiyodoribana mengambil krim kocok di bibir Utsugi.
Sekarang giliran Utsugi yang tertegun. Situasi ini sudah cukup membuatnya bingung, tetapi ketika Hiyodoribana memasukkan jari telunjuknya yang berlumuran krim ke dalam mulutnya, Utsugi semakin terpana. Jantungnya berdebar kencang. Setengah dengan kemenangan, setengah untuk menutupi rasa malunya, Hiyodoribana menunjuk bibir Utsugi seperti menembak dengan pistol.
"Aku menemukan 'secara kebetulan' itu."
...Begitu, pikir Utsugi sambil tersenyum. Perasaan ini pasti yang pertama kali dalam hidupnya.
Utsugi merasa seolah bisa memahami perasaan sang tokoh utama dalam plot yang ditulis oleh Hiyodoribana.
Tapi, ada perbedaan. Utsugi merasa kalo dirinya saat ini, berbeda dengan karakter dalam plot, mungkin dia tidak akan bisa menyukai Hiyodoribana. Hal ini sepertinya bertentangan dengan logika.
Memikirkan kalo mungkin dia bisa menggigit apel yang ada di atas meja setelah dia sudah menggigitnya, terasa aneh.
Utsugi telah menggigit apel itu.
Dia terpesona oleh Hiyodoribana.
[TL\n: Frasa 'setelah menggigit apel di atas meja, Anda mungkin bisa menggigit apel itu' dapat diartikan secara metaforis sebagai langkah atau keputusan yang tidak harus diambil secara terburu-buru. Ini bisa berarti bahwa setelah seseorang telah memulai atau mengambil bagian pertama dari sebuah tindakan (digambarkan sebagai menggigit apel), ada kemungkinan bagi orang lain untuk melanjutkan atau mengikuti jejak tersebut.]
★★★
Setelah selesai makan dan mengobrol sebentar, mereka keluar dari kafe.
Mereka berdua berdiskusi dan memutuskan untuk pergi ke sebuah bioskop kecil di dekat situ. Karena pendapat tentang film yang ingin ditonton berbeda, mereka memutuskan untuk menentukan pilihan lewat suit, dan tanpa ragu, Utsugi mengaktifkan pena malaikatnya.
"Hiyodoribana akan memilih gunting."
Hiyodoribana dengan terpaksa mengeluarkan gunting sambil menggertakkan giginya.
Setelah menonton film horor kelas B yang dipilih Utsugi, berjudul 'Haikyo Screamer Seven', yang mulai dari judul, sinopsis, hingga semua aspeknya jelas-jelas menunjukkan kesan murahan, mereka keluar dari bioskop.
Di bawah sinar matahari yang hangat, Hiyodoribana bertanya.
"Utsugi, kau bilang kalo kau tidak banyak membaca novel, tapi ternyata kau lumayan sering nonton film, ya. Jadi, mungkin sebenarnya kau secara alami lebih mudah memahami struktur tiga babak? Atau, jangan-jangan kau suka film murahan... eh, maksudku, film kelas B?”
[TL\n: Fyi, Film kelas B, atau B movie, adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan film dengan anggaran rendah yang biasanya tidak dibuat untuk menjadi blockbuster atau film arus utama. Pada awalnya, istilah ini digunakan untuk merujuk pada film-film yang diputar sebagai pendamping (film kedua) dalam rangkaian dua film di bioskop, dengan film utama yang memiliki anggaran dan produksi lebih besar.]
"Kalo untuk mengaku sebagai penggemar film kelas B, sepertinya aku belum nonton cukup banyak. Tapi mungkin aku memang agak suka. Ada beberapa yang terlihat seperti pembuatnya benar-benar menikmati proses pembuatannya."
"Yah, aku sih bukannya tidak mengerti. Tapi, ah, sebenarnya aku lebih ingin menonton film yang populer hari ini. Film tadi mungkin cocok untuk menonton sambil memperhatikan struktur tiga babak seperti yang kau bilang sebelumnya..."
Meski terlihat kecewa, Hiyodoribana tetap tampak menikmati situasi ini. Utsugi pun memahaminya. Dia juga menikmatinya, tanpa keluhan. Bukan soal filmnya. Bukan soal hal-hal individual tertentu.
Utsugi mengeluarkan pena dan menggerakkannya sambil berbisik.
"Hiyodoribana dengan jujur akan mengatakan tempat yang ingin dia kunjungi selanjutnya."
"Mungkin aku mau melihat-lihat barang-barang kecil dan aksesoris. Boleh? Apa kau tidak tertarik, Utsugi?"
"Boleh saja. Aku tidak tertarik dengan barang-barangnya, tapi aku ingin melihat Hiyodoribana yang sedang melihat-lihat barang-barang itu."
"....Seperti yang pernah kutanya sebelumnya, apa kau tidak merasa malu mengatakan hal-hal seperti itu? Apa ini benar-benar kencan pertamamu dengan seorang gadis cantik?"
"Aku tidak malu mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya, dan ya, ini pertama kalinya aku berkencan."
■ Titik Tengah
Utsugi dan Hiyodoribana melanjutkan kencan mereka dengan menggunakan Pena Malaikat.
Utsugi mulai merasa bahwa Hiyodoribana terlihat sangat imut ketika dia merasa malu atau kebingungan karena dipengaruhi oleh Pena Malaikat. Di sisi lain, Hiyodoribana merasa puas karena bisa lebih dekat dengan laki-laki yang dia suka tanpa harus terlalu memikirkan caranya.
Tapi, Utsugi menyadari kalo Pena Malaikat itu mulai retak. Ternyata, Pena Malaikat memiliki batasan dalam jumlah penggunaannya. Karena Pena Malaikat terhubung dengan jiwa Hiyodoribana, jika pena itu rusak, ada kemungkinan Hiyodoribana juga akan terpengaruh. Utsugi dan Hiyodoribana pun mulai mengerti kalo hubungan yang hanya mengandalkan alat ajaib seperti Pena Malaikat ini tidak akan bertahan selamanya.
...Jika terus begini, momen terbaik mereka akan segera berakhir.
Di toko perlengkapan mandi.
"Item apa yang kau tulis sebagai 'Titik Tengah' itu, apa maksudnya?"
"Itu adalah peristiwa yang hampir sama pentingnya dengan titik balik—atau bahkan sama pentingnya dalam beberapa kasus. Dalam struktur tiga babak, biasanya hingga pertengahan cerita digambarkan dengan suasana yang ‘menanjak.’ Dan di situ lah titik tengah atau Titik Tengah hadir."
Jawab Hiyodoribana sambil memandangi berbagai bath bomb berwarna-warni.
[TL\n: Bath bomb adalah produk mandi berbentuk bulat atau berbagai bentuk lainnya yang dirancang untuk dilarutkan dalam air mandi. Ketika bath bomb dimasukkan ke dalam air, ia akan berbuih dan melepaskan berbagai bahan, seperti minyak esensial, pewarna, garam, atau wewangian, yang dirancang untuk meningkatkan pengalaman mandi.]
"Sebuah cerita dimulai, lalu sang protagonis dengan penuh keberanian melangkah maju, dan segala sesuatu berjalan lancar. Tapi, cerita yang berjalan lancar terus-menerus hingga akhir, dari segi realitas dan kedalaman, akan sulit mendapatkan simpati yang luas. Cerita yang mencapai puncaknya di pertengahan, mulai mengalami penurunan drastis di Titik tengah..."
Di lantai satu sebuah gedung mode.
"Jadi, kenapa kau cuma menulis sampai Titik Tengah dan membiarkan sisanya kosong?"
Utsugi menayakaan itu sambil memandangi etalase aksesoris.
"Itu tidak kosong, kok. Di bagian akhir aku menulis ‘Q. yang kedua’ kan.?"
Meski itu di bilang aksesorisnya tapi itu tidak dari toko perhiasan mewah, melainkan hanya barang-barang mode sederhana.
Utsugi mengikuti pandangan Hiyodoribana dan mengecek produk yang dilihatnya, lalu mengerti dengan jelas.
"Sudah kuduga, kau sengaja menulisnya karena kau ingin aku memikirkannya kan?"
"Ya. Jadi, menurutmu bagaimana sebaiknya kisah ‘Angel Pen Date’ ini dilanjutkan setelah ini? Tentu saja, cerita itu bebas dan bagaimana penulisannya adalah hak istimewa pengarangnya. Tapi, aku sudah membuat konteksnya hingga Titik tengah."
Setelah melirik sebentar ke sebuah gelang sardonyx di dalam etalase, Hiyodoribana melanjutkan.
"Coba pikirkan? Anggap saja ini seperti soal bahasa. Meski nanti kau ingin membuat twist, kau harus memahami jawabannya terlebih dahulu. Mereka berdua, dalam arti tertentu, terlalu bergantung pada Pena Malaikat. Mereka belum membangun hubungan yang bisa berdiri tanpa itu, dan akhirnya, mereka bisa kembali ke titik awal sebelum cerita dimulai...Ada beberapa pola umum tentang bagaimana cerita seperti ini biasanya berjalan. Jadi, menurutmu, bagaimana seharusnya titik balik kedua antara pertengahan dan akhir cerita ditulis?"
"Itu", Utsugi menunjuk gelang sardonyx.
Hiyodoribana menoleh ke arah Utsugi.
"Hm? Apa?"
"Kau suka gelang itu, kan? Tadi kau sempat ragu, ya?"
"...Kau memang jeli. Yah, aku lumayan menyukainya sih. Harganya juga tidak terlalu mahal. Yah, jika aku harus memberitahumu tentang situasi keuanganku, aku punya banyak uang."
"Kau terlalu blak-blakan."
"Aku telah menabung uang dari bayaran saat aku menjadi artis cilik, juga ada hadiah dari penghargaan debutku dan royalti dari ‘The Funeral Story.’ Sebagian juga ku investasikan ke indeks dana. Tapi, belakangan ini aku terlalu bersemangat dan menghabiskan banyak uang untuk alat pancing, dan aku tidak mau terlalu bergantung pada ibuku untuk biaya hidupku, jadi sementara ini aku berusaha untuk tidak terlalu boros—"
"Boleh kami mencobanya?"
Utsugi menanyakan itu ke pegawai toko. Pegawai itu langsung mengiyakan dan mengeluarkan gelang tersebut. Utsugi kemudian mencoba memasangkan gelang itu di pergelangan tangan Hiyodoribana yang tampak sedikit bingung. Wajah Hiyodoribana spontan menunjukkan kalo dia suka gelang itu.
Utsugi tersenyum dalam hati dan berkata.
"Jelas saja, aku juga cukup bersemangat karena hari ini adalah kencan pertama kita."
"....Karena aku imut?"
"Hiyodoribana, kau memang percaya diri, ya. Tapi, aku ingin memastikan kalo gadis yang ku sukai bisa menikmati kencan ini. Aku memang belum punya uang sebanyak kau, tapi aku sudah menarik sebagian uang tabungan."
"Hah?"
"Meskipun aku hanyalah seorang siswa SMA biasa yang hidupnya masih bergantung sama orang tua."
"Ah, tidak, tidak apa-apa! Ini salahku! Bukan itu maksudku sama sekali tidak meminta kau—"
"Hiyodoribana akan dengan patuh menerima gelang yang dibelikan Utsugi."
Utsugi mengatakan itu sambil mengayunkan penannya ke udara.
Pegawai toko yang melihat interaksi mereka tersenyum dengan penuh keramahan. Setelah beberapa saat memandang Utsugi, Hiyodoribana akhirnya tersenyum lembut.
"....Terima kasih."
Lebih jelas dari sebelumnya, Utsugi mulai merasakan simpati terhadap karakter utama 'Angel Pen Date' yang diciptakan oleh Hiyodoribana.
Saat ini, kencan mereka dengan menggunakan Pena Malaikat terasa penuh dengan sensasi baru. Memang, ini mungkin adalah momen terbaik mereka. Tapi, masalah akan segera muncul ketika mereka tidak bisa lagi menggunakan Pena Malaikat. Momen ini adalah Titik tengah, dan setelah itu, masalah akan datang—pena ini tidak akan bisa digunakan lagi.
Setelah membeli gelang, secara alami mereka berdua bergandengan tangan tanpa perlu bicara, lalu keluar dari gedung mode bersama.
Tapi, tepat setelah itu, sebuah suara dari samping menyapa mereka, sesuatu yang tak terduga bagi Utsugi maupun Hiyodoribana.
"Utsugi... dan, Hiyodoribana...?"
Itu adalah suara yang sangat mereka kenal.
Bahkan sebelum menoleh, Utsugi sudah tahu siapa pemilik suara itu.
Itu Ayame. Dan dia tidak sendiri. Bersamanya ada seorang perempuan dengan rambut dicat dua warna yang mencolok, memakai kemeja bergaya rock dan celana jeans robek, dipenuhi aksesori mencolok, serta mengenakan bando telinga kucing. Utsugi juga mengenali orang itu—Dia adalah kakak perempuan Ayame yang tiga tahun lebih tua darinya.
Saat mata Utsugi bertemu dengan Ayame, dia merasakan sensasi kesemutan di dalam dadanya, membuatnya merasa tidak nyaman. ...Perasaan apa ini? Dia bertanya-tanya lagi pada dirinya sendiri. Di sebelahnya, Hiyodoribana terlihat terkejut, wajahnya menunjukkan kebingungan.
Apa karena bertemu dengan Ayame, atau karena gaya kakaknya yang mencolok?
Mungkin keduanya?
Utsugi tersenyum masam, lalu sedikit mengangkat tangan yang sedang menggenggam tangan Hiyodoribana.
"Yo, Ayame. Kebetulan sekali."
"...Oh."
Ayame tampak terkejut dan mengedipkan matanya beberapa kali.
Ayame bercerita karena hari ini tidak ada kegiatan klub sastra, dia sedang membaca di rumah sebelum akhirnya dia dibawa oleh kakaknya untuk membantu membawa barang belanjaan.
Meski kakak Ayame tampak ingin mengobrol lebih banyak dengan Utsugi setelah sekian lama tidak bertemu, mereka akhirnya hanya mengajak Ayame dan mereka bertiga pergi ke kafe terdekat. Sementara itu, kakak Ayame akan menunggu di toko perlengkapan mandi yang sebelumnya juga dikunjungi oleh Utsugi dan Hiyodoribana.
Utsugi menjelaskan kejadian selama liburan Golden Week tanpa menyebutkan tentang ciuman, dan menceritakan kalo dia sekarang berpacaran dengan Hiyodoribana.
"Jadi, aku dan Hiyodoribana sekarang pacaran."
Mendengar itu, Ayame tampak agak gelisah.
"Kau dan Hiyodoribana... pacaran?"
Utsugi mengangguk.
"Ya. Itu juga karena aku ingin menulis novel berdasarkan kisah cinta antara aku dan Hiyodoribana."
Ayame mengulangi kata-katanya lagi.
"karena ingin menulis novel..."
"Hiyodoribana mengatakan salah satu syaratnya adalah aku harus mempelajari struktur tiga babak, jadi hari ini kami menjalani kencan sambil merasakan langsung struktur itu."
"Kencan sambil...?"
Ayame meminum minuman beku berisi buah-buahan sambil menyilangkan tangan, ekspresinya tampak serius. Dahinya mulai berkeringat. Melihat itu, Hiyodoribana buru-buru menambahkan dengan sedikit gugup.
"Maaf. Kami tidak memberitahumu sebelumnya, jadi mungkin itu mengejutkanmu."
Ayame menggeleng.
"Tidak, tidak apa-apa. Memang tadi aku terkejut karena itu tidak terduga, tapi kalau dipikir-pikir lagi, ini tidak terlalu mengejutkan."
"Kenapa begitu?"
"Dari yang ku lihat, kalian berdua sepertinya saling menyukai."
Kini giliran Hiyodoribana yang tampak canggung.
"Eh? Aku? Dan Utsugi?"
"Ya, kalian berdua. Aku jarang melihat Utsugi bersikap seperti ini, dan dari cara Hiyodoribana memperhatikan Utsugi, itu sangat terlihat jelas. Jujur saja, sejak awal aku sudah menduga kalo Hiyodoribana menyukai Utsugi."
Wajah Hiyodoribana berubah malu, dan senyum canggung terlihat di sudut bibirnya.
Ayame melanjutkan tanpa ragu.
"Bahkan sejak pertama kali Hiyodoribana mengajakmu bicara di kantin, aku sudah berpikir kalo dia mungkin penggemar novelmu. Mengingat posisinya, Hiyodoribana bisa saja langsung menerbitkan karyanya sendiri, tapi dia malah repot-repot membantumu hingga debut profesional. Motivasinya tidak mungkin hanya sesederhana itu."
Hiyodoribana tertunduk, terdiam.
"Ini skenario yang sangat umum. Ketika seorang penggemar berat bertemu langsung dengan penulis favoritnya, penulis tersebut ternyata adalah tipe orang yang sangat dia sukai, dan keterikatannya pada karya tersebut berubah menjadi cinta terhadap penulisnya. Hal itu sangat klise."
"........"
"Bahkan terlalu klise sampai membuat ku tertawa. Kau melihatnya sendiri, kan? Kakakku adalah seorang fangirl yang jatuh cinta dengan personel band favoritnya. Kakakku sangat menyukai sebuah band hingga dia berubah menjadi penggemar yang fanatik. Nah, Hiyodoribana punya aura yang mirip dengannya..."
"......."
"Kakakku selalu mengatakan kalo dia hanya menyukai musik dan visi band itu, tapi kenyataannya dia tergila-gila pada bassisnya. Terlepas dari penampilanku, aku cukup sering membaca manga shoujo dan novel romantis. Di klub sastra, aku mungkin yang paling paham soal cinta. Aku langsung bisa mengenali tatapan Hiyodoribana pada Utsugi. Tatapan itu penuh dengan cinta, seperti mata berbentuk hati—"
Utsugi, yang tidak bisa lagi diam melihat keadaannya, akhirnya menyela.
"Hiyodoribana akan mati, jadi tolong hentikanlah.”
Hiyodoribana yang tengah menelungkup di atas meja sambil gemetaran karena malu, akhirnya bisa bernafas lega mendengar perkataan itu.
"...Ba-bagaimanapun juga! Aku sama sekali tidak berniat menyembunyikannya dari Ayame dan Fujibakama. Rasanya aneh kalo harus memberitahu soal ini secara khusus, dan terakhir kali aku sempat ragu ingin memberi tahu Fujibakama, tapi aku berencana mengatakannya setelah kencan ini selesai."
Ayame hanya mengangguk, "Ah, begitu."
"Aku tidak menyalahkanmu, Hiyodoribana. Lagipula, ini baru beberapa hari berlalu, jadi wajar kalo kau belum sempat memberi tahu kami. Tapi yang aneh justru Utsugi. Kenapa kau diam saja soal ini, terutama padaku? Saat aku punya pacar dulu, aku langsung menceritakannya padamu hari itu juga."
Utsugi menundukkan pandangannya dengan tenang.
Benar, dia sedang berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaan aneh yang dia rasakan di hadapan Ayame.
Baru beberapa menit lalu dia menyadari perasaan itu. Tapi, walaupun dia sudah bisa menemukan kata-katanya, perasaan canggung dan gelisah ini tidak serta-merta menghilang.
Ayame tampak mengernyitkan kening, kebingungan.
"Ku pikir kita cukup saling percaya satu sama lain. Karena ini tentang Utsugi, aku sempat berpikir mungkin kau ingin membuat kejutan dengan cara ini. Tapi jujur saja... aku sedikit terkejut mengetahui ini dengan cara melihat langsung—"
"...Sebenarnya, aku hanya merasa malu—"
Utsugi mengatakan itu dengan pelan. Ayame mengedipkan matanya.
"Tunggu, kenapa kau tiba-tiba membahas hal lain?"
"Ini bukan hal lain. Aku sempat berpikir kalo aku harus melaporkannya pada mu Ayame, tapi... aku menundanya karena aku malu... mungkin begitu..."
Ayame hendak tertawa menanggapi kata-kata Utsugi.
"Ah, Utsugi, ternyata kau bisa menceritakan sebuah lelucon ya, itu lucu sekali—... tunggu, apa kau serius?"
"...Aku sendiri baru menyadari tadi. Aku juga terkejut."
"Utsugi, yang meninggalkan konsep rasa malu di dalam rahim ibunya?"
Ayame tampak benar-benar kaget.
"Utsugi, yang saat mencuci tangannya di toilet, celananya basah di bagian selangkangannya dan terlihat seperti insiden memalukan, tapi kau malah sengaja berjalan dengan santai di lorong untuk membuatnya jadi lelucon... Utsugi yang itu, merasa malu karena diam-diam pacaran dengan Hiyodoribana?"
"......."
"Utsugi yang waktu mau mau membeli majalah bokep bersamaku, lalu diminta menunjukkan kartu identitas untuk verifikasi umur, tapi dia malah tersenyum santai dan berkata, ‘Maaf, aku masih di bawah umur,’ sebelum mundur dengan tenang—Utsugi yang punya keberanian sebesar itu, sekarang merasakan perasaan remaja pada umumnya?"
"........"
"Dan Utsugi yang waktu aku punya pacar dulu, dengan santainya berkata, ‘Ah, itu bukan masalah besar, tinggal bersikap biasa saja,’ sambil tertawa, sekarang malah malu karena takut ketahuan kalo dia sedang pacaran, saling menggoda dengan Hiyodoribana dan sedang menulis novel bersama?"
"Bisakah kau berhenti saja? Meski Aku secara pribadi ingin melihat Utsugi yang terdiam seperti ini karena itu jarang terjadi, tapi lama kelamaan aku malah jadi kasihan."
Kali ini, sebaliknya, Hiyodoribana mengirimkan kapal penyelamat.
"Secara pribadi, aku sangat ingin memberi kalian ucapan selamat, tapi..."
Saat keluar dari toko, Ayame mengatakan itu dengan cara yang membuat Hiyodoribana merasa ada yang mengganjal.
"Tapi apa? Oh, tentu saja aku tidak bermaksud menimbulkan masalah atau menghambat kegiatan klub, kok. Aku pikir klub Sastra Super ini jelas memberikan dampak positif untuk novelmu, Utsugi. Dan juga, ini mungkin hal yang menarik bagi Ayame dan Fujibakama, kan?"
"....Betul. Cara bicaraku tadi yang kurang tepat. Aku tidak merasa tidak puas."
Ayame segera memperbaiki kata-katanya dan kemudian memandang Utsugi.
"Utsugi."
"Ada apa? Aku sudah kembali normal. Rasa malu tadi sudah berlalu. Ini aku yang biasanya."
"Aku hanya merasakan hal yang wajar, kalo kau memang seorang siswa laki-laki. Tapi, aku tentu saja senang. Melihat Utsugi yang tahun lalu terkadang terasa menyakitkan. Tapi sekarang, melihatmu yang tampak bahagia, itu juga kebahagiaanku. Hanya saja…"
Hiyodori Hana bergumam pelan.
"Rasanya dulu Fujibakama pernah bilang, Ayame itu seperti pengikut fanatik Utsugi, dan... memang terasa begitu... Tapi Utsugi, tahun lalu itu..."
Saat itu, suara yang lebih keras dari kejauhan memotong pertanyaan Hiyodoribana.
"Ah! Utsugi-kyun! Apa kau sudah selesai bicaranya dengan adik bodohku!?"
Itu adalah kakak perempuan Ayame. Dengan senyum lebar dan membawa tas belanja di kedua tangannya, dia berlari menghampiri. Saat Ayame masih SMP, dia pernah cemas, "bagaimana kalau kakak menyukai Utsugi?" Begitu perhatiannya kakak Ayame pada Utsugi, hingga membuat Hiyodoribana tidak sengaja tertawa mendengar julukan 'Utsugi-kyun.'
Setelah berbincang sedikit dengan kakak Ayame, Utsugi akhirnya bertanya.
"Ayame, tadi kau bilang 'hanya saja', maksudnya apa?"
"....Hmm, bagaimana ya... tidak usah dipikirkan. Ini hal yang tidak bisa dihindari, dan bukan sesuatu yang seharusnya aku komentari. Mengganggu urusan cinta seseorang itu tidak baik. Hampir saja aku mengatakan sesuatu yang tidak perlu."
Setelah berpamitan kepada Ayame dengan, Sampai jumpa di sekolah besok, dan dari kakak Ayame dengan, Datanglah ke rumah lagi ya! Ajak juga pacarmu! mereka benar-benar berpisah dari Ayame bersaudara.
Kemudian, Hiyodoribana berkata kalo dia ingin ke kamar kecil, jadi mereka kembali masuk ke gedung pusat perbelanjaan. Saat Hiyodoribana pergi ke toilet di lantai bawah, Utsugi iseng melihat Hp-nya dan mendapati pesan dari Fujibakama.
Mengingat waktunya sejenak dia berpikir, Ayame yang menyampaikan sesuatu pada Fujibakama. Tapi hanya sebentar. Ayame bukan tipe orang yang melaporkan hal-hal tanpa sepengetahuannya, dan pesan itu sama sekali tidak ada hubungannya.
Lebih tepatnya, Utsugi tidak begitu paham kenapa Fujibakama mengirim pesan seperti itu.
"Hey Utsugi, barusan di TV ada acara tentang Waka. Bait favoritmu di Hyakunin Isshu yang mana sih? Aku suka nomor 40, Shinoburedo!"
"....? Apa ini. Kenapa Hyakunin Isshu?"
Ya, memang dia bilang ada acara khusus di TV.
Utsugi pun membalas pesannya.
"Kalo aku harus memilih, mungkin Watano hara, Yasoshima kakete?"
Dia berpikir kalo besok di sekolah, dia harus memberitahu Fujibakama juga.
Setelah itu, sesuai permintaan Hiyodoribana yang sudah kembali, mereka mampir ke toko buku.
Sambil memandangi buku-buku di rak, Hiyodoribana tiba-tiba berbicara.
"Oh iya, kalau dipikir-pikir, ini seperti subplot."
Utsugi tidak begitu mengerti.
"Apa yang kau bicarakan? Sebuah Subplot?"
"Tadi, Ayame dan kakaknya. Ayame punya cerita tersendiri soal pergi belanja dengan kakaknya, dan cerita itu bersinggungan dengan cerita kita. Aku tadi berniat tidak menyebutnya, karena kalo dijelaskan sekaligus pasti membingungkan."
Hiyodoribana mengambil satu novel hardcover dari rak, dia tampak ragu sejenak, lalu mengembalikannya. Tapi, pembicaraannya tetap berlanjut.
"Subplot itu cerita sampingan yang terpisah dari alur utama, tapi dalam cerita yang bagus, subplot biasanya memberikan dampak pada alur utama di suatu titik. Contohnya seperti kisah cinta sang tokoh utama dalam cerita aksi atau misteri yang tidak ada hubungannya dengan inti peristiwa."
Di toko buku itu, perhatian Utsugi teralih pada sesuatu. Buku 'The Funeral Story' karya Hiyodoribana juga ada di rak, tapi bukan itu yang menarik perhatiannya.
Yang membuat Utsugi tertarik adalah—
"Bagi pembuat cerita, tanpa banyak usaha, subplot bisa memperumit struktur cerita dan memberikan dinamika, serta menjadi penyegaran bagi pembaca atau penonton. Meski tidak seformal alur utama, banyak subplot juga dibuat dengan struktur tiga babak."
"Seriusan, ada banyak hal ya."
"Tentu saja. Coba pikir, berapa banyak orang yang sudah mencoba membuat cerita yang lebih baik. Apa yang aku sampaikan hari ini hanyalah dasar dari dasar. Hanya membahas struktur tiga babak saja, sudah banyak teori teknis yang ada—"
Misalnya, membangun kontras antara pembukaan dan penutupan.
Sebagai contoh, memasukkan urutan yang sangat menarik di paruh pertama babak kedua dianggap masuk akal berdasarkan struktur tiga babak.
Sebagai contoh, rasio 1:2:1 bukanlah sesuatu yang mutlak, dan ada pilihan untuk membuat babak ketiga lebih pendek.
Semua hal itu diucapkan begitu saja oleh Hiyodoribana, yang sekarang berada tepat di bawahnya. Di depannya, ada tumpukan buku paperback—mungkin baru saja dirilis dari edisi hardcover—sebuah novel horor. Di sampulnya, tertulis sebuah tagline.
"Untuk para pembaca yang pernah, meski hanya sekali dalam hidup, ingin membunuh seseorang."
Di akhir kalimat itu, tertulis, 'Pemenang Penghargaan Penulis Baru & YouTuber ulasan buku Hiyodoribana Chinatsu.' Tak hanya itu, ada juga papan kecil bertuliskan, 'Sangat direkomendasikan oleh Hiyodoribana-sensei!'
Utsugi sekali lagi menyadari kembali kenyataan sederhana.
Hiyodoribana adalah seseorang yang melakukan hal-hal seperti ini sebagai 'pekerjaannya'.
Dan Utsugi, hari ini, sepanjang hari, mungkin juga di masa depan, dalam berbagai arti, dapat sepenuhnya memiliki Hiyodoribana.
Kesadaran akan hal itu menimbulkan berbagai perasaan dalam dirinya, dan dia semakin merasa kalo Hiyodoribana adalah sosok yang paling ingin dia tuliskan.
Sebuah novel tentang Hiyodoribana.
Sebuah komedi romantis yang mengangkat kisah cinta antara Utsugi dan Hiyodoribana.
Memang, Utsugi tidak ingin mengecewakan Hiyodoribana dengan novel yang sangat ingin dia tulis. Mungkin justru menyenangkan untuk memastikan hal itu tidak terjadi. Sama seperti dia ingin membuat neneknya bahagia dengan apa yang sudah dia tulis sejauh ini.
Hiyodoribana mengangkat wajahnya dari buku yang ditumpuk.
"—Tapi, yah, aku sudah puas jika hari ini kau bisa memahami sedikit dasar-dasarnya. Pikirkan pertanyaan nomor dua. Jawabannya tersebar di sepanjang cerita ini, di mana sang protagonis membuat keputusan di titik balik kedua dan melaju menuju klimaks kedua. Dalam kisah Pena Malaikat ini, bagaimana menurutmu Utsugi akan menulis titik balik kedua?”
Raut wajahnya yang penuh dengan ekspresi percaya diri menjadi bukti kalo Hiyodoribana juga merasa puas dengan kencan hari ini.
"Jangan khawatirkan kesalahan logika. Ini hanya latihan, dan bahkan saat kau benar-benar menulis, kau bisa memperbaikinya nanti. Cobalah renungkan perasaanmu hari ini setelah berkencan dengan ku, lalu jadikan perasaan itu sebagai karya fiksi. Itu adalah keahlianmu, kan?"
Perasaan Utsugi tentang kencan hari ini.
Ketika dia memikirkannya dengan membayangkan dirinya sebagai karakter dalam cerita─
"──...Kekuatan Pena Malaikat tidak akan bertahan selamanya."
Saat mereka berdua meninggalkan toko buku, Hiyodori Hana mengangguk.
“Iya.”
"Di dalam cerita ini, kita—Utsugi dan Hiyodoribana—merasa gelisah memikirkan bagaimana kita bisa mempertahankan masa-masa menyenangkan yang diperoleh dari Pena Malaikat, bahkan setelah kehilangan pena itu."
"Ya."
"Dan kemudian, membuat keputusan pada titik balik kedua."
"Ya."
Utsugi menyipitkan matanya karena silau sinar matahari yang cerah dan menjawab.
"Pada akhirnya, hubungan yang memanfaatkan Pena Malaikat adalah yang tertinggi. Pena Malaikat akan disegel, tetapi pena bola yang didapat dari bank lokal akan dianggap sebagai Pena Malaikat. Utsugi akan menemukan cinta obsesif pada sosok Hiyodoribana yang dikendalikan olehnya, sementara Hiyodoribana akan tenggelam dalam kesenangan masokistik karena tubuhnya dikendalikan."
"...Kenapa!?"
Hiyodoribana menjerit.
Hiyodoribana menggoyang-goyangkan kedua tangannya dan mengajukan protes pada Utsugi yang tertawa.
"Eh, eh!? Bukankah seharusnya dalam alur ini, tanpa Pena Malaikat, kita memutuskan untuk membangun kembali waktu terbaik bersama dengan tulus!? Metode yang berbeda bisa dipilih, apakah tetap menggunakan Pena Malaikat atau menganggap Pena Malaikat itu sebenarnya hanya kebohongan dari perasaan cinta Hiyodoribana, tapi intinya adalah... Dan, Utsugi malah tertawa..."
Hiyodoribana menghela napas.
Setengahnya tampak seperti kelegaan.
"...Sengaja? Kalo hubungan yang ada hanya karena Pena Malaikat hancur, dan kemudian membangun kembali hubungan yang dapat terwujud meskipun tanpa Pena Malaikat, itu adalah konteks alami dari pertumbuhan dan perubahan. Jika ini memang sengaja dihancurkan, bisa jadi itu juga sah..."
Hiyodoribana mulai bergumam dan berpikir.
"Meskipun tampaknya sementara, sebenarnya itu adalah bentuk yang paling benar bagi mereka... Tidak peduli norma atau pandangan orang lain... Jika dirangkum seperti itu, akan terasa sangat seperti Utsugi... Ini mungkin menjauh dari komedi romantis yang wajar, tapi lebih ke arah humor... Oh, tapi"
Hiyodoribana melihat Utsugi dengan rasa penasaran.
"Bagaimana akhir ceritanya?"
Setelah berjalan beberapa saat, mereka duduk di bangku taman.
Di dekat taman bunga, seorang pria tua memberi makan burung merpati. Beberapa pria muda dengan jas yang kendor berbincang dengan ceria. Seorang wanita dengan anjing Pekingese sedang berjalan-jalan.
Di bawah pohon platane di taman, angin terasa nyaman. Utsugi meminum teh dingin yang baru dibelinya dan kemudian menyodorkannya pada Hiyodoribana.
Mereka melanjutkan percakapan yang tadi.
"Akhrinya sudah jelas. Meskipun aku bisa berpikir, ending dari cerita ini sudah pasti. Lagipula ini adalah cerita romantis, apa ending yang sudah ditentukan?"
Hiyodoribana lalu meminum teh yang diterimanya.
Dia tidak menjawab pertanyaan tersebut, melainkan memandang Utsugi dengan tatapan penuh arti. Sepertinya tanggung jawab untuk menjawab ada pada Utsugi. Utsugi memutar-mutar pena bola yang diambilnya dan berkata.
"Hiyodoribana akan memberikan ciuman pada Utsugi dengan seluruh perasaannya."
"...Hmm, jika ini adalah cerita romantis biasa, memang ciuman bisa menjadi akhir yang diharapkan. Itu masuk akal. Menurutku itu tepat sasaran..."
Hiyodoribana tersenyum tipis dan menutup matanya.
Seolah-olah menikmati sisa-sisa kencan yang telah selesai.
Dari kejauhan, terdengar suara anak-anak yang tertawa. Burung swalow terbang menuju sarangnya di gedung bertingkat di seberang taman. Di langit biru, terlihat jejak pesawat terbang dan kupu-kupu Aglai yang berputar di dekat bunga pansy. Dengan hembusan angin, ada aroma Hiyodoribana.
Aroma itu lebih menyenangkan bagi Utsugi daripada aroma siapa pun. Memberikan rasa tenang dan gairah yang bertentangan namun menyenangkan. Mungkin bukan hanya karena wewangian yang dipakai Hiyodoribana untuk penampilannya cocok dengan Utsugi. Ini adalah aroma cinta. Pasti, karena Utsugi tertarik pada Hiyodoribana...
Untuk pertama kalinya hari ini, Utsugi benar-benar ragu.
Apakah harus memberi tahu Hiyodoribana tentang niatnya yang tidak disadari olehnya?
Utsugi menatap profil wajah Hiyodoribana. Tanpa sadar, dia menatap bibirnya.
...Tidak, seperti yang dikatakan Hiyodoribana, ending memang diperlukan.
Begitu juga untuk kencan ini.
"Hiyodoribana."
"Apa...?"
Di depan Hiyodoribana yang membuka matanya, Utsugi memainkan pena dan tersenyum. Meski begitu, Hiyodoribana tampak bingung selama beberapa detik. Kemudian dia mengeluarkan suara kecil.
"...Ah!!"
Begitu Hiyodoribana memahami apa maksudnya, pipinya seketika merah merona.
Secara refleks, dia memandang sekeliling untuk mencari kepastian apakah Utsugi serius. Ketika Utsugi menggerakkan pena itu lagi, Hiyodoribana menelan nafas. Dia tidak bisa melarikan diri. Tatapan Hiyodoribana yang menyadari ketegangan dan kecemasan, serta kegembiraan yang tiba-tiba, bergetar. Utsugi mau tidak mau merasa menyukai reaksi Hiyodoribana itu. Dia kemudian mengulurkan tangan untuk menyentuh pipi Hiyodoribana.
Pipi Hiyodoribana terasa panas. Hiyodoribana meletakkan tangannya di atas tangan Utsugi yang menyentuh pipinya, dan dengan wajah penuh tekad, dia mendekatkan wajahnya ke wajah Utsugi sambil menutup matanya rapat-rapat. Dengan seluruh perasaannya yang terkumpul──.
Cium.
...Pletak.
Pada malam itu.
Utsugi, saat hendak tidur, dia memikirkan tentang poster yang dilihatnya di toko buku.
Itu terus mengganggu pikirannya di sudut kepalanya. Pekerjaan. Hiyodoribana──.
"Sangat direkomendasikan oleh Hiyodoribana-sensei!!"
"...Itu dia!"
Utsugi segera bangkit dari tempat tidurnya.
★★★
Semua orang di klub manga adalah sekutu yang dapat diandalkan bagi Fujibakama.
Ketua klub, Ruripyon, dengan gembira berkata, "Kokiko-chan, akhirnya...!" sementara wakil ketua, Yamada Basil, mengungkapkan, "Meskipun kita tidak bisa lahir pada hari yang sama dalam bulan yang sama, aku berharap kita bisa mati pada hari yang sama dalam bulan yang sama..." seperti sebuah sumpah di bawah pohon persik.
Maimai, sang Digital Master klub AIA Manga, mengatakan, "Tapi, lawan yang mungkin saja adalah Hiyodori Kachinatsu..." sambil menyilangkan tangan, sementara pendatang baru yang menjanjikan, Hanya☆Marukun, berkata, "Jika itu Kak Kokiko, pasti bisa!" sambil menggenggam tangan Fujikake.
Semua orang percaya pada kemampuannya untuk mencapai kemenangan besar. Semangat teman-teman membangkitkan hati Fujibakama sendiri. Teman-teman memberikan nasihat sebanyak mungkin dengan penuh perhatian. Fujibakama, yang menyatakan tekadnya untuk berusaha sekuat tenaga, disambut dengan sorak-sorai.
Ruripyon bahkan sampai mengeluarkan air mata di matanya.
"Fujibakama-chan yang sekarang sangat menakjubkan..."
Tentu saja, perbedaan antara Fujibakama dan Hiyodoribana Chinatsu belum teratasi.
Tapi, meski begitu takat untuk tidak takut malu sudah dibuat. Jika tidak ada tantangan, semuanya akan berakhir. Mulai hari ini, dia akan menghadapi semua hal—baik itu Utsugi, hatinya, atau rival cintanya Hiyodoribana Chinatsu—! Pada hari Senin, Fujibakama melangkah dengan penuh semangat menuju ruang klub super sastra.
Dia menarik napas dalam-dalam dan membuka pintu geser dengan semangat.
Pemandangan tak terduga terbentang di dalam ruang klub.
"Berhenti sebentar, Hiyodoribana, apakah kau benar-benar ingin mengubah inti dari apa yang ingin aku tulis?"
"Bukan itu! Jangan membuat wajah tidak puas seperti itu! Aku tahu kalo aku memaksa Utsugi untuk mengubah apa yang ingin ditulisnya adalah hal yang tidak boleh, jadi aku sudah berusaha keras."
Di depan papan tulis yang dipasang di dinding ruang klub—di Akademi AIA digunakan papan tulis putih bukan papan hitam—Utsugi dan Hiyodoribana sedang bertengkar.
Ayame terlihat bingung dengan buku non-fiksi yang terbuka di tangannya, tapu dia tetap memperhatikan Utsugi, sementara Tachibana sibuk dengan Hp-nya di sudut ruang klub, tidak memperhatikan Utsugi. Tentu saja itu untuk gadis baru, kan, brengsek.
"Yang aku katakan bukanlah mengubah inti. Inti dari cerita yang ingin ditulis Utsugi adalah semangat dan impian untuk menantang naga, serta kesenangan dan daya tarik yang memikat para penangkap naga. Apakah latar ceritanya di Jepang modern atau dunia fantasi imajinatif bukanlah inti dari cerita. Dan mayoritas ceritanya adalah monolog protagonis, apakah ada niat untuk hiburan atau tidak?"
"Cerita ini dimulai dengan imajinasi naga terbang di langit modern. Jika latar dunia bukanlah inti, maka tidak masalah jika tetap dengan imajinasi tersebut."
"Hah! Kalo begitu, buatlah latar dunia yang konsisten. Bagaimana mungkin dunia dengan naga dan makhluk mitos lainnya terbang dan menyebabkan bencana dengan menjatuhkan pesawat, tetapi tidak mempengaruhi masyarakat internasional? Orang-orang di dunia ini masih menikmati perjalanan dengan pesawat meskipun ada kemungkinan jatuh oleh naga? Sejarah perkembangan pesawat tidak terpengaruh oleh naga sama sekali?"
"Bagian-bagian kecil seperti itu sebenarnya tidak penting. Dari sudut pandangku, itu tidak masalah..."
"Justru karena bagian-bagian kecil itulah aku tidak ingin pembaca tersandung pada hal-hal yang tidak penting! Kekurangan realitas bukanlah akibat dari elemen fantasi, melainkan dari kekurangan konsistensi dalam dunia cerita itu sendiri! Aku hanya ingin menunjukkan bagian yang aku khawatirkan, dan aku pikir itu tidak salah jika memberikan solusi alternatif!"
Fujibakama tertegun dan mengeluarkan suara kecil.
"... Apa ini?"
Di papan tulis tertulis besar 'Ryuu no Kago Tsuri' dan berbagai tulisan lainnya. Pengaturan. Titik balik. Titik tengah, dan sebagainya. Nama-nama tersebut juga tertera dalam rencana struktur yang dibawa oleh Hiyodoribana sebelumnya.
Apa namanya, oh ya, struktur tiga babak──.
"Aku secara pribadi kadang merasa konsistensi menjadi masalah jika realitas dunia sangat terlibat dalam fantasi rendah, tetapi jika itu fantasi tinggi, biasanya aku bisa menerima 'dunia ini seperti itu' dan merasa cukup puas. Aku mengusulkan hal itu. Betapa pun, melakukan revisi memang biasanya merombak dan menyambung ulang, tetapi Utsugi tampaknya terlalu waspada... Fujibakama."
Saat Hiyodoribana melanjutkan, Fujibakama dengan canggung menyapa.
"U, um, Hiyo-chan. Yahoo..."
Sambil mengatakan itu, Fujibakama melangkah masuk ke ruang klub.
Hiyodoribana menatap wajah Fujibakama dan tersenyum.
"Fujibakama, di mana kacamatamu? Apa kau memakai lensa kontak hari ini?"
"Ya... um. Menurutku tidak apa-apa sesekali memakai lensa kontak..."
"Dan gaya rambutmu juga berubah! Kau terlihat imut! Itu cocok denganmu! Apa kau pergi ke salon akhir pekan lalu?"
"Y-ya! Aku tidak ada kegiatan klub apa pun, jadi... Aku hanya ingin perubahan suasana... Bagaimana menurutmu, Utsugi?"
Fujibakama bermain dengan rambut sampingnya dan bertanya pada Utsugi.
Utsugi mengangguk melihat Fujibakama, lalu berbalik ke Hiyodoribana.
"Bukankah itu bagus? Lebih baik memiliki fleksibilitas untuk tidak terikat pada satu gaya adalah hal yang baik, apa pun itu. Lebih baik daripada terus-menerus berpikir kalo pendapat sendiri adalah satu-satunya yang benar."
"Hah!? Apa itu? Kenapa sekarang itu terdengar seperti sindiran? Bagaimana bisa Utsugi yang mengatakan itu? Siapa yang sebelumnya reaksi seperti 'tiga babak itu apa? Pengaturan? Apa itu enak? Titik balik? Apakah itu juga konsisten dalam pandanganmu?"
"Itu karena Hiyodoribana menjadikannya sebagai syarat untuk 'Tensai Hiyodoribana Sensei no Oshigoto!'(Rekomendasi Sensei Jenius Hiyodoribana!)"
"Eh-heh-heh, salah besar! Aku baru saja menyadari saat berbicara dengan Utsugi. Ternyata Utsugi adalah tipe yang tidak bisa melakukan revisi atau perubahan sampai dia benar-benar puas. Tapi berarti, di lubuk hatimu, kau merasa kalo menerapkan struktur tiga babak dan revisi ini mungkin menarik, kan?"
"......"
Utsugi tampak terlihat seperti baru saja terkena pukulan yang menyakitkan.
Setidaknya Fujibakama belum pernah melihat ekspresi seperti itu dari Utsugi.
Hiyodoribana tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menambahkan.
"Aku senang Utsugi-kyun, orang yang bebas kini punya alasan yang pas. Memang benar kalo Utsugi-kyun yang dulu keras kepala, tapi kalo kau merasa malu untuk melangkah maju, kau tidak perlu khawatir! Fleksibilitas yang tidak terikat pada pendapat sendiri adalah hal yang luar biasa!"
"J-jangan! Tunggu sebentar!"
Fujibakama berusaha keras untuk mengangkat suaranya dengan panik.
Dia merasa akan sulit untuk terlibat dalam percakapan jika terus seperti ini.
"Baiklah, berhenti sebentar! Aku sama sekali tidak mengerti apa yang kalian bicarakan!"
Utsugi dan Hiyodoribana, serta Ayame, menatap ke arahnya.
Ayame tampak dengan ekspresi wajah yang anehnya lembut. Fujibakama merasa pernah melihat ekspresi serupa di tempat lain. Ah, ya, itu beberapa tahun lalu, saat menonton siaran langsung di TV pertandingan baseball SMA, ayah Fujibakama. Dia memperhatikan pemain baseball yang menangis setelah kalah dengan wajah penuh pengetahuan dewasa...
Ah, tidak masalah.
Yang penting sekarang adalah. Apa yang membuat Fujibakama merasa tidak nyaman adalah──.
"──Apa itu 'genius' yang dikatakan Utsugi?"
Fujibakama bertanya, dan Utsugi menjawab dengan santai.
"Itu adalah komedi romantis tentang aku dan Hiyodoribana. Sementara itu hanya sementara, aku memikirkan judul itu malam tadi, dan terasa pas di dalam pikiranku, jadi aku memutuskan untuk memanggilnya seperti itu setelah berdiskusi dengan Hiyodoribana. Dia bilang itu seperti permainan kata-kata, tapi tidak buruk."
L?
Utsugi tampak senang.
"Ahaha, Fujibakama, wajahmu seperti contoh dari ungkapan 'seperti burung merpati yang memakan kacang polong,'"
[TL\n: Secara kiasan, ini mungkin menggambarkan seseorang yang memiliki ekspresi wajah yang tenang, lembut, atau fokus, mirip dengan burung merpati yang sedang makan kacang polong—suatu aktivitas yang mungkin terlihat anggun atau damai. Merpati sering dihubungkan dengan kelembutan dan kedamaian, sehingga bisa jadi ini adalah pujian yang menggambarkan wajah seseorang yang tampak damai atau indah dalam keadaan yang sederhana.Namun, arti ungkapan ini juga bisa berbeda tergantung konteks penggunaannya dalam suatu karya sastra atau percakapan tertentu.]
"Heh, Utsugi, jangan tertawa. ... Maaf, Fujibakama, aku sudah memberitahukan Ayame juga, tapi sebenarnya aku tidak bermaksud menyembunyikannya. Aku berniat untuk melaporkannya dengan baik hari ini di klub."
Fujibakama memutar kepalanya dengan bingung.
"Hiyo-chan, apa maksudnya?"
"Yah, ... aku mulai berpacaran dengan Utsugi."
"P?"
"Jadi Utsugi akan menulis komedi romantis berdasarkan hubungan ku── maksudku, hubungan kami. Aku meminta Utsugi untuk memahami struktur tiga babak sebagai syarat. Aku ingin dia menyelesaikan novel yang menarik bagi banyak orang."
"Jadi aku akan menulis plot untuk 'Tensai Hiyodoribana Sensei no Oshigoto' mulai dari sekarang. Tapi, Hiyodoribana ingin, lebih tepatnya, untuk memberi prioritas pada latihan menulis novel yang tidak hanya sembarangan. Dia ingin membuat revisi untuk 'Ryuu no Kago Tsuri,' menggunakan struktur tiga babak dan pengaturan konflik dalam cerita. Menulis novel dari awal terlalu banyak usaha. Karena perencanaan proyeknya belum matang, mungkin masih kurang daya tarik fundamental untuk menjadi karya debut, tetapi sepertinya hasil akhirnya cukup baik."
"........ Oh. ... Ah. Ya, ya. Haha, mengerti."
Fujibakama membuat senyuman dan mengangguk besar.
"Hiyo-chan kau hebat ya. Kau sampai mau berkorban sebesar itu untuk novel Utsugi. Memang benar, orang yang nyata seperti Hiyo-chan memiliki semangat yang berbeda. Utsugi beruntung... Tapi Utsugi, jangan sampai salah paham hanya karena Hiyo-chan menarik. Jangan berpikir kalo permainan untuk materi cerita adalah cinta sejati──"
Ayame tampak tidak bisa menonton dan menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Utsugi dengan santai mengatakan.
"Itu bukan permainan. Kami sudah berciuman."
........................Hm?
...Hm? Hmm? Ha? Hmmmmm!?
"U, Utsugi!"
Hiyodoribana mengeluarkan suara teguran, tetapi ekspresinya bergetar karena malu, jelas kalo pernyataan Utsugi bukanlah sebuah lelucon, melainkan hanya karena dia merasa malu. Justru, Hiyodoribana yang malu tampak sangat menggemaskan bagi Fujibakama yang belum pernah jatuh cinta pada sesama jenis.
Fujibakama merasa pikirannya berputar-putar dengan cepat. Ciuman? Itu bukan suara tikus, kan? Huh? Hmm? Apa ini?
[TL\n: ciuman=chu, itu maksudnya.]
Apa ini mimpi buruk?
Fujibakama bahkan merasa terkejut bahwa dia bisa mempertahankan senyumnya.
"Ahaha, jadi begitu, selamat ya Utsugi. Tapi jangan terlalu kurang peka, itu akan membuat Hiyo-chan merasa buruk, ya? Ahaha, selamat."
Utsugi dan Hiyodoribana melanjutkan perdebatan panas tentang revisi 'Ryuu no Kago Tsuri,' dan Fujibakama merasa kadang-kadang ditanya pendapatnya, dan untuk beberapa alasan Ayame sangat baik padanya, serta Tachibana tampaknya lebih fokus pada pembelian dalam game daripada gadis-gadis baru, tapi dia tidak ingat banyak tentang hal itu secara keseluruhan.
Sebelum dia menyadarinya, dia menyelesaikan aktivitas klub dengan senyuman di wajahnya, meninggalkan sekolah bersama Utsugi dengan senyuman di wajahnya, dan pulang ke rumah dengan senyuman di wajanya.
"Oh? Kiriko, apakah sesuatu yang baik terjadi? Kebetulan, apakah Utsugi-kun dan yang lainnya memuji gaya rambut dan lensa kontakmu?"
Karena ibunya menanyakan pertanyaan itu, dia pasti memiliki senyuman yang sangat lebar di wajahnya.
Fujibakama membaca manga dengan senyuman di wajahnya, bekerja keras dalam studinya dengan senyuman di wajahnya, makan dan mandi dengan senyuman di wajahnya, menonton video Hiyodoribana-sensei dengan senyuman di wajahnya, dan masuk ke tempat tidur dengan senyuman di wajahnya.
Setelah menutup mata selama tiga menit, dia melompat bangun, berlari ke kamar mandi, dan muntah dengan keras.
Sebelum tantangan dimulai, semuanya sudah berakhir.
[TL\n: jujur gua rada kasian jir ama si Fujibakama ini, kalah sebelum bertanding, mana kalahnya ama pendatang baru lagi, yah wajar juga sih kalo dia kalah, dia pemegang titel kutukan teman masa kecil di novel romance harem.]