Kamu saat ini sedang membaca Tensai Hiyodoribana Sensei no Oshigoto volume 1 chapter 3. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw.
Pada awalnya, para siswa tidak terlalu memahami hubungan antara Utsugi dan Hiyodoribana, sehingga mereka merasa segan dan tidak berani bertanya.
Rumor kalo Utsugi telah menolak Hiyodoribana ternyata hanya desas-desus belaka. Sebenarnya, mereka justru tampak seperti sedang menjalin hubungan. Sejak pertengahan Mei, ketika rumor itu menyebar di seluruh sekolah, makin banyak yang bertanya secara langsung.
"Gadis seperti apa Hiyodoribana-san sebenarnya?"
Salah satu yang bertanya adalah seorang siswa laki-laki bernama Odamaki.
Dia adalah teman sekelas Utsugi di kelas 2-S, satu-satunya kelas khusus di angkatan mereka.
Utsugi sudah sekelas dengannya sejak kelas satu SMP selama lebih dari 4 tahun. Meski mereka tidak terlalu dekat, Utsugi cukup mengenalnya. Prestasi akademis Odamaki, kecuali dalam mata pelajaran bahasa Jepang, jauh lebih baik daripada Utsugi. Dia termasuk dalam kelompok siswa dengan nilai tertinggi. Meski dia tidak terlihat giat belajar, nilai standarnya cukup tinggi untuk bisa masuk dengan mudah ke fakultas bergengsi di universitas impiannya. Singkatnya, dia sangat cerdas.
Tapi, di saat yang sama, dia juga cukup bodoh.
"Apa makanan favorit Hiyodoribana-chan? Musik apa yang dia suka? Warna favoritnya? Atau... desain pakaian dalam dan ukuran bra favoritnya? Dan posisi bercinta yang dia sukai juga?"
Bahkan bagi Utsugi yang cenderung menyukai orang-orang unik, mau tak mau tidak bisa menyembunyikan rasa jijiknya padanya, seperti melihat rambut rontok dan jamur yang menumpuk di saluran pembuangan.
"Kau ini..."
"Tunggu, Utsugi. Kau salah paham kalo aku berniat merebut Hiyodoribana-chan darimu? Atau kau pikir aku hanya tertarik padanya secara seksual? Itu dugaan yang terlalu picik. Aku hanya sedang mempersiapkan diri secara rasional."
"Aku tidak mengerti apa yang kau maksud. Jelaskan dalam bahasa yang lebih sederhana."
"Utsugi, kau sadar kan kalo kau itu aneh? Misalnya, seperti orang yang bisa tiba-tiba duduk selama berjam-jam memperhatikan bunga semanggi putih di pinggir jalan. Ada kemungkinan besar Hiyodoribana-chan akan kehilangan kesabaran...Aku hanya bersiap-siap untuk saat itu."
Utsugi hanya bisa tersenyum sinis.
"Apa kau lupa insiden di liburan musim panas tahun lalu, kita bertengkar memperebutkan Yamabuki dari Kelas B? Meskipun pada akhirnya aku yang memutuskan, dan itu bukan sepenuhnya salahmu."
"Aku ingat. Memang itu hasil akhirnya...aku sungguh menyesal dengan kejadian yang melibatkan neneknya. Tapi ini situasi yang berbeda. Bagaimanapun juga, dengan wajah dan payudaranya yang besar seperti itu... Selama aku tidak mengganggunya, ini cinta yang murni. Jika mengganggu, barulah disebut penguntit, aku paham perbedaannya. Jadi, bagaimana? Jawab pertanyaanku. Ayo!"
"Aku tidak akan menjawab semuanya. Tapi, aku akan memberi tahumu satu hal... Hiyodoribana jauh lebih manis dari yang bisa kau bayangkan."
"...Sialan!"
Padahal dia sudah menjawab sejauh itu.
Setiap kali orang bertanya tentang seperti apa Hiyodori Hana, Utsugi hanya bisa menahan senyum. Karena dengan penampilan, suasana, dan latar belakangnya yang tampak begitu sempurna, orang-orang membicarakannya seolah-olah dia adalah sosok yang sangat jauh dan sulit dijangkau.
Tapi, menurut kesan Utsugi──
Ruang Klub Sastra Super Setelah Pulang Sekolah
Utsugi berpikir kalo dia yang pertama datang, tapi ternyata Hiyodori Hana sudah lebih dulu tiba dan membuka pintu.
Biasanya meja dan kursi berada di tengah ruangan, tapi entah kenapa kali ini dia memindahkannya ke samping. Dia berdiri tepat di tengah ruang klub, memandang ke arah pintu dengan tatapan tajam.
Saat pintu geser dibuka dan mata mereka bertemu, Hiyodoribana tersenyum lebar dengan cara yang berbeda dari biasanya, senyum yang terlihat agak menggoda. Tapi, sebelum itu, wajahnya sempat menunjukkan kegembiraan seolah berpikir, "Oh, ternyata Utsugi yang datang duluan, senang sekali," yang membuat suasana misterius itu hancur seketika.
Tapi, tampaknya Hiyodoribana tidak menyadari hal itu dan bertanya dengan nada yang menggoda.
"──Bagaimana revisi 'Ryuu no Kago-tsuri'?"
"Aku sudah hampir setiap saat memberitahumu tentang progresnya, kan?"
"Benar juga. Jujur saja, aku cukup terkesan karena kau bisa mengerjakan revisi dengan cukup lihai. Mungkin karena kau bisa memahami konteksnya, jadi selama kau puas dengan arah perubahannya, semuanya berjalan lancar. Tapi, ini pertama kalinya kau benar-benar menulis cerita fantasi, kan? Meskipun kau sudah terbiasa dengan game dan manga, jumlah novel yang kau baca juga tidak banyak. ...Jadi."
Hiyodoribana memegang ujung roknya dan mengibaskannya.
Beberapa buku kantong jatuh berserakan ke lantai.
"Agar gaya menulismu mendapat pengaruh yang baik, bacalah ini. Ini adalah rekomendasi spesial dari Hiyodoribana-sensei, kumpulan novel fantasi yang luar biasa, mahakarya, dan juga hiburan yang tidak ada duanya. Semuanya sangat seru... Eh, kenapa kau tertawa, Utsugi? Aku melakukan ini supaya kau lebih tertarik untuk membacanya daripada sekadar menyerahkannya begitu saja."
──Dia adalah gadis yang sayangnya sering melakukan hal yang tidak terduga.
Dan hal itu membuatnya tampak semakin menggemaskan. Rasanya seperti melihat hewan kecil yang bergerak dengan penuh semangat.
Utsugi selalu penasaran apa lagi yang akan dia lakukan selanjutnya.
Bagi Utsugi, tingkah laku Hiyodori adalah hiburan terbaik, dan perubahan emosinya terasa seperti literatur yang mendalam. Bersamanya sangat menyenangkan, dan mengamatinya selalu menarik, meskipun tidak selalu, terkadang──
Utsugi merasa hampir menangis hanya dengan menyadari kali Hiyodoribana ada di dunia ini.
Utsugi berjongkok di depan Hiyodoribana, mengambil salah satu buku kantong yang sampulnya sudah hampir terbuka.
"Bukankah seharusnya seorang pecinta buku lebih menghargai buku?"
Wajah Hiyodoribana tampak menyesal.
"Ya... Maaf. Kamu benar. Aku hanya ingin mencobanya sekali. Membuat kesan seperti seorang wanita bangsawan yang mengeluarkan senjata dari balik roknya..."
Sambil memungut buku bersama Hiyodori, Utsugi melanjutkan.
"Juga kau terlalu mengibaskannya, sampai aku bisa sedikit melihat celana dalammu."
"....Hah!? Apa!?"
Saat Hiyodori berhenti bergerak dan wajahnya memerah, terdengar suara getaran, "Vuuu, Vuuu."
Apakah itu dari saku seragam Hiyodoribana?
Di Akademi AIA, sebenarnya penggunaan Hp dilarang. Ini adalah aturan yang wajar. Tapi, Utsugi mendapat izin menggunakan tablet PC setelah jam sekolah untuk kegiatan klub, dan Hiyodoribana juga mendapat izin serupa untuk mengaktifkan Hp-nya dengan alasan kegiatan klub. Tapi nyatanya, akhir-akhir ini Utsugi seringkali mendapati Hiyodoribana dengan senang hati mengambil foto-nya selama kegiatan klub.
Tapi, kali ini, meskipun Hp-nya bergetar, Hiyodoribana membeku tapi entah mengapa dia tidak berusaha mengangkatnya.
"Hiyo-chan, bukankah Hp-mu berdering?"
Suara itu berasal dari Fujihakama yang baru saja masuk ke ruang klub. Dia hanya memakai lensa kontak selama satu hari, dan sekarang dia kembali menggunakan kacamata. Fujihakama melirik ke arah papan tulis yang dipenuhi catatan untuk revisi 'Ryuu no Kago-tsuri' dan berjalan mendekat. Saat dia duduk di kursi, suara getaran Hp yang sempat berhenti kini kembali terdengar, membuatnya tampak terganggu.
Suara Fujihakama yang biasanya tidak pernah kudengar jadi terdengar sedikit kasar.
"Hiyo-chan, setidaknya lihat siapa yang menelepon?"
Akhirnya, Hiyodoribana mengeluarkan Hp-nya dari saku.
Dia melihat siapa yang menelepon dan menghela napas. Lalu dia menolak panggilan itu.
"Apa itu tidak apa-apa? Tachibana-sensei tidak akan marah kalo kau menjawabnya telpon itu."
Menanggapi pertanyaan Utsugi, Hiyodoribana mengangguk sambil berdiri.
"Tidak apa-apa. Aku tidak mau menjawab telepon di depan Utsugi dan membuat suasana jadi tidak nyaman."
Dan dengan itu, pembicaraan tentang telepon tersebut pun berakhir.
Tak lama kemudian, Tachibana masuk bersama Ayame sambil mengatakan, Wakil kepala sekolah sangat senang. Aku juga dipuji dan sangat senang!
Itu karena Hiyodoribana baru saja menerima permintaan dari sekolah untuk menulis kolom yang akan dipublikasikan di situs resmi sekolah. Hiyodoribana dengan senang hati menerimanya dan menyerahkan naskahnya kemarin. Tentu saja, identitasnya tetap dirahasiakan. Utsugi juga pernah diminta menulis beberapa kolom, tapi jika yang menulis adalah Hiyodoribana, hasilnya pasti jauh lebih baik.
Bagaimanapun, wakil kepala sekolah adalah penggemar berat Hiyodoribana Setsuko.
Utsugi memang melihatnya.
Saat Hiyodoribana menolak panggilan telepon tadi, nama yang tertera di layar ponselnya adalah 'Hiyodoribana Setsuko'.
Kalo di pikir-pikir Utsugi hampir tidak pernah mendengar Hiyodoribana bercerita tentang ibunya. Dia tidak tahu apa musik favorit Hiyodoribana, warna favoritnya, atau bahkan desain pakaian dalam yang disukainya, apalagi bagaimana perasaannya tentang ibunya yang merupakan penulis ternama.
...Yah, soal pakaian dalam, sepertinya Utsugi baru saja mengetahui sedikit tadi.
Sekarang, sudah jelas kalo Utsugi ingin tahu lebih banyak tentang Hiyodoribana. Utsugi memasukkan buku-buku bersampul tipis yang telah dia kumpulkan ke dalam tasnya, lalu mengeluarkan tablet PC. Seperti biasa, dia berniat memperbaiki 'Ryuu no Kago-tsuri' hingga waktu pulang tiba.
Setelah perdebatan sengit dengan Hiyodoribana, Utsugi memutuskan untuk mengubah latar cerita dari fantasi rendah berlatar Jepang modern menjadi fantasi tinggi dengan dunia yang sepenuhnya fiktif.
Saat ini, dia berada di chapter 6 dengan sekitar 3 hingga 4000 kata per chapter. Jika dibagi menjadi tiga bagian, mereka baru saja mendekati titik balik pertama.
—Memang benar bagi Johan Ackermann, naga adalah musuhnya, sumber penghidupannya, dan lebih dari itu, tujuan hidupnya.
Seperti halnya banyak pemburu naga lainnya.
"Di ibu kota, ada banyak orang yang mencoba menangkap naga besar yang panjangnya lebih dari 50 meter, tapi biasanya mereka semua mati dengan cepat."
Sebuah suara tenang terdengar dari belakang, seperti disiram air dingin, membuat Johan merasa terganggu. Dia berpikir, "Kenapa orang ini tidak kembali ke ibu kota bersama gurunya?"
Sekilas dia melirik, di bawah cahaya matahari senja, rambut hitam pekat yang jarang terlihat di daerah ini bersinar. Rambut itu terlihat seperti sisik naga hitam. Gadis yang sedang diasuh oleh pemburu naga veteran yang datang merekrut Johan.
Siapa namanya?
Johan kembali memandang ke langit yang memerah, yang terlihat begitu tenang sehingga awan-awan seakan tidak bergerak, dan dia teringat.
Oh ya.
Namanya Nagi. Shinjo Nagi. Katanya usianya sama dengan Johan.
"Pamanku juga begitu, bukan? Aku juga tahu tentang legenda pamanku. Dia menangkap naga sepanjang 70,2 meter, rekor terbesar dalam sejarah Kekaisaran. Tapi, 10 tahun kemudian, dia dibunuh oleh naga betina yang diduga juga berukuran sekitar 70 meter. Naga betina itu berhasil melarikan diri."
"...Tidak perlu menyebut naga sebesar itu dengan istilah naga betina. Tidak ada pemburu naga yang berbicara seperti itu."
"Eh? Ah... benar. Naga memang berganti kelamin, ya."
Tidak jarang bagi makhluk mistis untuk mengalami pergantian kelamin seiring pertumbuhannya. Tapi, spesies yang umumnya mengalami perubahan jenis kelamin ke betina terlebih dahulu biasanya tidak sebanyak makhluk seperti naga yang semuanya terlahir sebagai jantan.
Sekitar 50 tahun setelah naga di lahirkan dan ketika panjangnya melebihi 30 meter, beberapa naga mulai berubah menjadi betina. Naga yang hidup begitu lama, yang disebut dengan penuh hormat sebagai 'Toshi Nashi' (Tanpa Umur), dengan kata lain, mereka adalah individu berukuran raksaksa, kebanyakan dari mereka berjenis kelamin betina. Diperkirakan, hampir 100% dari naga yang panjangnya lebih dari 60 meter adalah betina.
"Maaf. Bukan berarti aku tidak tahu hal yang begitu mendasar. Saat pertama kali aku melihat naga Toshi Nashi dari dekat, aku merasa wajahnya sangat berbeda dari naga jantan. Itu sebabnya aku tanpa sadar menyebutnya naga betina. Sensei-ku hanya menggelengkan kepala dan berkata, ‘Aku tidak mengerti.’ Tapi—"
"Aku mengerti. Mata naga betina dipenuhi kasih sayang. Memang berbeda dari naga jantan. Naga yang membunuh pamanku juga begitu. Dengan mata penuh kasih, naga betina itu menatap manusia lalu membunuh mereka hingga tak berbentuk lagi."
Johan bergumam sambil mengisi umpan ke dalam keranjang khusus untuk menangkap naga. Umpan untuk naga adalah permata yang mengandung sihir. Baik umpan tusuk maupun umpan sebar menggunakan permata yang sama. Ada yang menghancurkan permata untuk umpan sebar, dan ada yang mencampurkan bahan-bahan lain. Tapi, paman Johan lebih suka menggunakan permata secara utuh tanpa modifikasi.
Karena itu, Johan juga menggunakan cara yang sama.
"Johan, apa kau ingin membalas dendam pada naga yang membunuh pamanmu? Sensei-ku bilang kau berbakat. Tidak ada orang di usia muda yang berhasil menangkap 5 naga lebih dari 40 meter. Tapi dia juga berkata, selama kau terjebak dalam lingkaran balas dendam, kau pasti akan mati. Dendam membuat pandanganmu kabur, dan melalui joran, tali, dan kail, itu akan sampai pada naga."
"Hey, kenapa kau duduk di sana dan bicara denganku? Apa kau bosan? Cepatlah kejar sensei-mu dan kembali ke ibu kota."
"Aku senang berbicara denganmu, Johan. Itulah sebabnya aku di sini."
"Ha. Kau tidak mengerti. Ada hal yang jauh lebih menyenangkan dari ini."
Yang tidak mengerti bukan hanya Nagi, tapi juga gurunya.
Johan tentu mempunyai dendam terhadap naga itu. Dia tentu saja ingin membunuh naga yang membunuh pamannya. Tapi, alasan Johan memilih pekerjaan berbahaya sebagai pemburu naga bukanlah karena dendam.
Pamannya pernah berkata:
—Dendam tidak akan bertahan selamanya.
—Yang bertahan seumur hidup hanyalah kesenangan.
Hanya dengan memegang joran naga warisan pamannya, semangat Johan langsung membara. Memikirkan kombinasi tali sihir, pelampung, dan umpan yang tepat juga memberi kesenangan intelektual. Saat menemukan taktik baru, dia tak sabar ingin segera mencobanya. Menangkap makhluk mistis selain naga juga menyenangkan karena tarikan mereka sangat bervariasi, dan tarikan naga, yang seolah menyerap seluruh sihir dalam tubuhnya, memberikan sensasi yang luar biasa.
Dia merasa hidup. Dunia terlihat berkilauan.
Singkatnya, ya—.
Johan melempar keranjang umpannya ke arah langit senja. Nagi menatap Johan seolah sedang melihat sesuatu yang sangat bersinar. Johan merasakan kegembiraan memenuhi seluruh tubuhnya.
—Alasan Johan mendedikasikan hidupnya untuk menangkap naga adalah karena itu menyenangkan.
Dia tertawa saat angin mulai bertiup dan suara guntur dari awan terdengar.
Semua ini sangat menyenangkan. Hanya itu.
[TL\n: kayaknya seru ni cerita, tapi sayang ini cuman subplot yg pernag disinggung di chapter sebelumnya.]
Utsugi memulai pembicaraan sambil merasakan suara ombak dan angin.
"...Aku jadi bertanya-tanya. Sejauh mana aku sebenarnya mengenal Hiyodoribana?"
Itu adalah Sabtu di awal Juni. Cuacanya cerah, tapi ramalan cuaca mengatakan hujan akan turun di pertengahan minggu depan, menandai dimulainya musim hujan.
"Sebagai pacarnya, aku hanya tahu beberapa hal tentang Hiyodoribana, seperti riwayat hidupnya, kalo dia mungkin suka pancake, warna celana dalam yang sekilas terlihat ternyata merah, mata pelajaran favoritnya selain bahasa Jepang adalah sejarah Jepang dan olahraga, dia yang mengidap trypophobia, dan golongan darahnya AB..."
[TL\n: Trypophobia adalah ketakutan atau rasa jijik yang intens terhadap pola lubang-lubang kecil yang berkelompok atau tidak beraturan. Orang yang mengalami trypophobia mungkin merasa tidak nyaman, mual, cemas, atau merinding ketika melihat objek-objek dengan pola seperti itu, seperti sarang lebah, biji teratai, atau spons.]
Hiyodoribana buru-buru melihat Utsugi dan lautan bergantian.
"Kau tahu banyak, bukan!?"
"Karena aku penasaran, aku mulai mengumpulkan informasi. Oh iya, aku belum sempat bilang, tapi aku pernah membeli dan membaca bukumu dalam bentuk e-book. Itu sangat menarik."
"Eh!? Benarkah? Terima kasih...Tapi, kenapa...?"
"Tapi itu masih belum cukup. Aku belum sepenuhnya memahami siapa Hiyodoribana itu sebenarnya. Aku ingin tahu segalanya tentangmu, Hiyodoribana. Aku ingin melihat lebih banyak ekspresi wajahmu—yang berubah-ubah saat kau terkejut, senang, atau malu."
"Yah... rasanya tidak buruk mendengar itu... Tapi, kenapa... Kenapa kau membicarakan hal ini sekarang!? Ini bukan saatnya untuk mengobrol santai, kan!? Jaring! Ayame, maaf, tolong ambilkan jaring ikan untukku!"
Bam! Bam! Bam! Sebuah tarikan yang kuat terasa.
Joran tua milik ayah Utsugi menekuk membentuk lengkungan yang sempurna, tertarik dengan kuat. Pelampung yang mengambang di atas arus tiba-tiba tenggelam, dan Utsugi menarik tali pancingnya. Lalu, dengan berat yang belum pernah dia rasakan sebelumnya di joran, Utsugi mulai berbicara.
Melihat joran yang menekuk tajam, Hiyodoribana merasa panik karena Utsugi belum mulai memutar reel. Ayame, yang juga panik, segera mengambil jaring ikan dan Hiyodoribana merampasnya. Dengan penuh semangat, dia lalu berkata.
"Utsugi, cepat putar reel-nya! Nanti ikannya lepas!"
"Jadi, aku ingin sekali berkunjung ke rumah Hiyodori suatu kali."
"Hah!? A-apa? Kenapa tiba-tiba...!"
"Ini hanya firasatku. Aku merasa, kalo aku bisa lebih dekat dengan Hiyodoribana, hal-hal akan menjadi lebih menarik. Tentu saja, itu juga bisa menjadi ide untuk ‘Tensai Hiyodoribana Sensei no Oshigoto!!’ Kau pernah datang ke rumahku, jadi aku pikir kenapa tidak sebaliknya? Kau tinggal dengan kakakmu, kan?"
"Dengan Onee-chan dan nenekku, tapi...rasanya agak memalukan...Atau tunggu, bukan itu! Cepat putar reel-nya! Senarnya terus keluar dan berhenti—!"
"Tidak boleh? Apa itu mengganggu?"
"Bu-bukan mengganggu, tapi... Aaaah! Sudahlah, aku mengerti, angkat saja, cepat!”
"Baiklah, kita sudah sepakat. Deal!"
"...Eh? Utsugi, kau sengaja menunggu sampai ada ikan besar yang terpancing ya!?"
Utsugi menyeringai dan mulai memutar reel dengan mengencangkan drag sedikit.
Bahkan Ayame, yang selama ini sibuk dengan pancingannya sendiri, dan Tachibana, yang meninggalkan aktivitas mancing santainya, datang untuk melihat ikan besar apa yang berhasil ditangkap.
Utsugi hampir yakin dari tarikan dan lokasinya.
Sambil terus memutar reel, dia menatap Hiyodoribana.
"Aku rasa ini hampir pasti ikan madai. Tapi kalo kita berhasil menangkapnya, rasanya sayang kalo cuma kita makan begitu saja. Kita sudah pernah makan enak biasa-biasa saja minggu lalu, kan? Bagaimana kalau besok kita adakan day camp, tusukkan ikan di ranting kayu, lalu memanggangnya di atas api unggun?"
"Itu ide yang sangat menarik, tapi setidaknya fokuslah sampai ikan itu tertangkap! Johan di cerita ‘Joran Naga’ yang kau tulis juga fokus sepenuhnya begitu dia mendapat tarikan di jorannya! Fujihakama, tolong katakan sesuatu pada Utsugi!"
Menanggapi teriakan Hiyodoribana, Fujihakama yang sedang duduk di kursi lipat outdoor, menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.
"Aku sedang membaca manga sekarang."
"Eh, Fujihakama..."
"Aku tidak punya waktu untuk merespon perkataan dan tindakan Utsugi. Aku tidak seperti Hiyo-chan yang tergila-gila pada Utsugi."
"Akhir-akhir ini aku merasa kalo kau bersikap dingin padaku, ya!?"
Memang benar, Fujihakama memang bersikap dingin—atau lebih tepatnya, agak tajam.
Dan bukan hanya kepada Hiyodoribana. Sikapnya terhadap Utsugi pun sama.
★ ★ ★
Api unggun. Berkemah di siang hari.
Tempat berkemah ini berjarak sekitar dua puluh menit dari pusat kota.
Semua peralatan berkemah adalah milik pribadi Tachibana, dan setelah memenangkan besar di balapan GⅢ kemarin usai memancing, Tachibana tak hanya menyiapkan semuanya, tapi juga membawakan mie instan dan marshmallow sebagai traktiran besar. Setelah menikmati semuanya, Utsugi tiba-tiba berbicara pada Fujibakama.
"Mandai merahnya enak sekali. Bagaimana menurutmu, Fujibakama?"
"Hah, kenapa tidak tanya saja pada Hiyo-chan tercintamu?"
"...Hah?"
Utsugi terkejut, sementara Ayame menunduk tidak sanggup melihatnya, seperti merasakan rasa malu yang mendalam. Hiyodoribana, yang memegang tusuk marshmallow yang sedikit terbakar, hanya bisa berkedip dengan bingung.
Tanpa memperhatikan suasana, dan dengan raut wajahnya yang seolah mengatakan kalo dia punya ide bagus Tachibana mengusulkan dengan semangat, "Hei, karena kita semua kena asap, bagaimana kalau kita mampir ke pemandian air panas sehari sebelum pulang?"
Menurut cerita dari Hiyodoribana kemudian, Fujibakama tetap merasa kesal bahkan di tempat itu.
Pagi harinya, Utsugi menerima panggilan di Hp-nya. Setelah itu, Utsugi singgah di depan rumah Fujibakama yang merupakan tetangganya, sebelum berangkat ke Akademi AIA seorang diri. Utsugi berjalan ke ruang kelas 3-C—kelas Fujibakama—untuk mengantarkan bungkusan yang diminta oleh ibu Fujibakama.
"Ini."
"......"
"Ibu mu menghubungi ku. Katanya sayang sekali, Kiriko lupa membawa kotak bekalnya padahal sudah dibuatkan. Jadi dia memintaku untuk membawakannya. Jadi, ini dia."
"......"
"Mana terima kasihnya?"
Meskipun menerima bungkusan itu, Fujibakama tampak berkeringat dingin, mengalihkan pandangannya, dan terlihat sangat enggan untuk mengucapkan sesuatu, sambil menggigit bibirnya.
Utsugi hanya tersenyum sambil memiringkan kepalanya.
"Fujibakama-chan?"
"...Ya..."
"Apa?"
Fujibakama, yang terjebak dalam konflik batin dimana dia harus mengucapkan terima kasih tetapi dia tidak ingin mengatakannya, akhirnya mengatakannya dengan susah payah seperti mengeluarkan darah.
"Dankuwel..." (Terima kasih)
"Itu bahasa apa?"
"...Bahasa Belanda."
"Zaman Edo kah?"
Ketika masuk ke ruang klub, Ayame yang sudah tiba lebih dulu bertanya. Fujibakama juga ada di sana.
"Utsugi, apa ada sesuatu yang membuatmu kesal?"
Mungkin dia menilai dari ekspresi Utsugi.
Tanpa maksud apa-apa, Utsugi menjawab dengan jujur.
"Ayame kau benar-benar sangat menyukaiku, ya. Bukan aku kesal, hanya saja aku merasa sedikit kerepotan. Odamaki yang bodoh itu terus mengganggu. Dia bilang, 'Utsugi pasti yang paling tahu tentang Hiyodoribana-chan di sekolah ini, tolong beritahu aku informasi spesial dari sudut pandang pacarnya,' terus-menerus."
"Narsis? Mati saja."
""......""
Dengan dingin Fujibakama berkomentar, sementara Utsugi dan Ayame melihat ke arahnya. Fujibakama tidak mengangkat pandangannya dari manga yang sedang dia bacanya. Hiyodoribana belum datang. Tidak masalah sama sekali kalo Tachibana tidak datang.
★ ★ ★
Sungguh curang jika seseorang bisa begitu sempurna. Rasanya agak berlebihan.
Ingin rasanya memperingatkan Tuhan, Jangan pilih kasih seperti itu.
Pada hari kami pergi berkemah dengan api unggun, Fujibakama sempat singgah di pemandian air panas dan mandi bersama Hiyodoribana.
Dengan wajah seperti itu, ditambah payudaranya yang lebih besar bandingan Fujibakama, dan lekukan pinggang yang begitu indah hingga membuatnya terpesona, ini sungguh menggelikan. Dunia ini benar-benar tidak adil. Rasanya sulit untuk tidak berubah menjadi lukisan 'Flame' karya Uemura Shoen, yang pernah dia lihat di sebuah buku lama.
[TL\n: yang penasaran ama lukisan 'Flame' karya Uemura Shoen bisa langsung klik ini]
Ikan Madai hasil tangkapan Utsugi, yang dibakar di api unggun pada hari berikutnya, juga merupakan kejadian yang ingin sekali dijadikan bahan untuk esai manga oleh Fujibakama.
Kalo perlu, mungkin bisa dimasukkan ke dalam manga empat panel untuk diterbitkan di majalah tahunan klub sastra super. Meskipun Fujibakama tidak seantusias Utsugi dalam menciptakan karya, tapi dia masih memiliki banyak hal yang ingin dia jadikan bahan.
Selain bahan cerita, Fujibakama juga memiliki beberapa ilustrasi yang digambar hanya karena dia menyukainya, meski belum ada yang selesai. Tapi, dia merasa tidak ingin melakukan apa pun.
Di ruang klub sastra super, berkali-kali Fujibakama merasa terjebak dalam keadaan yang menyedihkan.
Tapi, di ruang klub manga pun, dia tidak lagi merasa nyaman.
Fujibakama tidak melaporkan apa pun pada anggota klub manga. Lagipula, tidak ada yang perlu dilaporkan.
Sehari, setelah Fujibakama mengetahui kalo Utsugi dan Hiyodoribana berpacaran, Fujibakama dalam keadaan linglung pergi ke ruang klub manga, bukan ke ruang klub sastra super. Tidak ada seorang pun yang tahu tentang hal ini, seharusnya.
Tapi, saat melihat ekspresi Fujibakama, semua orang langsung menyadari, Ah, ini tidak berjalan baik, dan mereka segera mengalihkan pandangan.
Tak satu pun dari mereka berbicara satu sama lain, semua orang secara alami bertindak seakan-akan tidak pernah ada momen pertemanan hangat di antara mereka.
"──Ehm, teman-teman? Ruripyon?"
Saat Fujibakama memanggil dengan ragu-ragu, Ruripyon tersenyum sambil menahan keringat dingin, seolah menghapus ingatan hari sebelumnya dengan tekad besi.
"Oh, Kiriko-chan, kebetulan sekali. Bisakah kau memberi pendapat tentang draf namaku?"
"...Baiklah, tapi aku tidak bisa mengatakan apa pun selain kritik dan keluhan saat ini."
Fujibakama sadar betul kalo itu bukanlah hal yang baik.
Semua ini hanyalah pelampiasan emosi. Sebenarnya, Fujibakama sama sekali tidak berhak untuk marah pada siapa pun, bahkan pada Utsugi atau Hiyodoribana.
Dia sangat menyadari itu.
Fujibakama bahkan belum pernah menyatakan perasaannya pada Utsugi.
Selama 17 tahun, dia selalu punya kesempatan.
Bahkan sebelum Hiyodoribana muncul, saat-saat terbaik untuk menyatakan perasaanya, telah dibuang oleh Fujibakama sendiri. Dia tahu itu lebih baik daripada siapa pun. Utsugi tidak salah, begitu pula Hiyodoribana. Tentu saja, Ayame dan teman-teman dari klub manga juga tidak bersalah, dan kalau bisa, dia ingin menghindari melihat Tachibana sejauh mungkin.
Tapi, tetap saja──.
Hari ini, di ruang klub, Utsugi dan Hiyodoribana sedang berdiskusi tentang 'Ryuu no Kago Tsuri'.
"──Pada titik tengah cerita, sepertinya tidak apa-apa membawa cerita ini ke puncaknya dulu, kan? Ketegangan cerita ini selaras dengan kesenangan Johan──"
"──Dengan gaya penulisan Utsugi, kesenangan Johan pasti tercermin dalam penggambaran menangkap naga besar, jadi kau tidak perlu memikirkannya terlalu rumit. Arah yang sedang kau tulis ulang sudah tepat. Johan mengalahkan naga kuat, meskipun sempat dikalahkan oleh pesaingnya, dan dia harus berjuang keras untuk menang. Tapi karena dia terlalu memaksakan diri, darah naga yang beracun mengalir ke Nagi──"
Fujibakama tidak bisa menahannya.
Ini terlalu berat.
Kenapa? Pikiran itu memenuhi kepalanya.
Fujibakama selalu bangga karena dia lebih mengenal Utsugi daripada gadis-gadis lainnya. Saat pertama kali ada yang menganggap Utsugi keren, mereka biasanya akan mundur setelah melihat tingkah lakunya yang aneh, dan itu membuat Fujibakama senang.
Dia merasa hanya dialah yang bisa benar-benar memahami sisi terbaik dari Utsugi.
Tapi kenapa saat Utsugi berbicara dengan Hiyodoribana, dia terlihat begitu bahagia?
Padahal ketika Fujibakama memberikan pendapat, dia hampir tidak pernah didengarkan, tapi kenapa sekarang Utsugi malah mengubah seluruh naskah 'Ryuu no Kago Tsuri' yang sudah ditulisnya sekali?
Itu tidak masuk akal. Utsugi seharusnya melakukan apa yang dia inginkan, menulis apa yang dia mau, bukankah itu gaya Utsugi? Kenapa, kenapa, kenapa? Itu bukan Utsugi yang sebenarnya, karena──.
"──Utsugi, apa kau benar-benar tega mengubah novel murni yang kau tulis untuk nenekmu dengan hal-hal seperti struktur tiga babak, menghancurkannya dengan hiasan-hiasan permukaan?"
Kata-kata itu keluar tanpa Fujibakama sadari.
Seperti peluru, setelah ditembakkan, tidak ada yang bisa dilakukan untuk menariknya kembali. Fujibakama tersadar, melihat wajah Utsugi yang bingung, seakan tidak mengerti kalo dia baru saja tertembak.
Wajah Fujibakama memucat.
Dia tidak berani melihat reaksi Ayame, Tachibana, atau bahkan Hiyodoribana. Tubuhnya gemetar. Dia menyadari kalo dia baru saja mengucapkan kata-kata yang tidak seharusnya diucapkan.
Emosi yang kacau bukanlah alasan. Itu bukan alasan pembenaran. Sambil berdiri tergesa-gesa, Fujibakama buru-buru meminta maaf.
"Utsugi, maaf──"
Apa permintaan maaf Fujibakama yang menjadi pemicunya, atau mungkin hanya waktu yang membuat makna kata-kata tersebut meresap?
Utsugi tersenyum kecil pada Fujibakama. Tapi, lemahnya senyuman itu justru menegaskan kalo luka Utsugi belum sepenuhnya sembuh. Kali ini, dia tidak bisa lagi menahan. Fujibakama meraih tasnya, sekali lagi meminta maaf, lalu berlari pergi.
"Maafkan aku!"
"──Fujibakama!"
Suara Hiyodoribana terdengar dari belakang ketika Fujibakama baru saja keluar dari ruang klub.
Fujibakama terlalu tenggelam dalam kebencian pada dirinya sendiri, sehingga tidak bisa berhenti atau menoleh ke belakang.
★ ★ ★
Setelah memasuki musim hujan, sore hari selalu diguyur hujan.
Utsugi duduk berjongkok di pojok halaman tengah Akademi AIA sambil memayungi dirinya, ketika tiba-tiba terdengar suara dari belakang. Karena suara hujan, dia tidak menyadari ada seseorang yang mendekat.
"Apa yang sedang kau lakukan?"
Utsugi tidak menoleh.
Begitu mendengar suara itu, dia tidak perlu memeriksa siapa orang tersebut. Sambil tetap menatap bunga hydrangea berwarna ungu yang sedikit memiliki gradasi, dia menjawab Hiyodoribana.
"Kadang-kadang, daun-daun ini bergoyang karena terkena air hujan, kan? Aku pikir akan menarik kalo aku mengamati siput di atas daun yang bergoyang itu. Tapi ternyata, itu tidak terlalu menarik."
Hiyodoribana tampak menahan tawa kecil.
"Walaupun kau menggunakan payung, kalo kau terus-terusan mengamati seperti itu, kau akan basah kuyup. Seperti biasa, kau selalu melakukan hal-hal yang tidak masuk akal. Aku kira kau sudah pulang karena tidak ada di ruang klub ataupun di kelas, dan Ayame juga tidak tahu keberadaanmu. ...Baiklah."
Hiyodoribana pun berjongkok di sebelah Utsugi, sambil berhati-hati agar rok seragamnya tidak menyentuh tanah. Payung mereka saling bersentuhan, menciptakan ruang kecil yang hanya milik mereka berdua. Rasanya seolah-olah mereka berdua terputus dari dunia luar oleh suara hujan.
Hiyodoribana ikut menatap bunga hydrangea dan siput.
"Benar juga...Kupikir ini akan menarik, tapi ternyata tidak begitu..."
"...Ketika aku masih di sekolah dasar, saya mengetahui bahwa siput adalah kerang, bukan serangga,. Lalu aku berpikir, kalau begitu mungkin rasanya enak, dan aku ingin mencobanya."
"Apa? Apa kau bercanda?"
"Tidak, ini serius. Tapi, entah bagaimana naluriku memperingatkan kalo ini mungkin tidak aman. Kalau sekarang, aku mungkin akan mencari tahu sendiri, tapi waktu itu, ensiklopedia bagiku adalah nenekku. Aku menangkap beberapa siput, membawanya pulang, dan bertanya pada nenek-ku. Kemudian nenek menasihatiku kalo siput dan bekicot mungkin membawa parasit yang disebut Schistosoma cantonum. Aku yang biasanya pemberani, kali ini langsung ketakutan, dan segera melepaskan siput itu lalu mencuci tanganku. Jadi, aku belum pernah makan siput."
[TL\n: Schistosoma mansoni adalah parasit yang ditularkan melalui air pada manusia , dan termasuk dalam kelompok cacing darah (Schistosoma). Cacing dewasa hidup di pembuluh darah (vena mesenterika) di dekat usus manusia. Cacing ini menyebabkan skistosomiasis usus (mirip dengan S. japonicum , S. mekongi , S. guineensis , dan S. intercalatum ). Gejala klinis disebabkan oleh telur cacing. Sebagai penyebab utama skistosomiasis di dunia, cacing ini merupakan parasit yang paling umum pada manusia.]
"Aku pernah makan siput."
Utsugi melirik Hiyodoribana dari sudut matanya.
"Padahal kau bilang 'apa kau bercanda?'"
"Aku tidak memungut dari sembarang tempat, tentu saja. Maksudku, escargot, masakan Prancis itu. Kebanyakan sudah diolah dengan higienis. Yah, sekalipun ada parasit, kalau dimasak sampai matang, mungkin tidak masalah."
Siput di depan mereka perlahan mulai bergerak. Tentu saja itu hanya kebetulan. Tapi, waktunya sangat tepat sehingga Utsugi merasa sedikit geli.
"Ibuku itu sangat pilih-pilih makanan dengan cara yang menyebalkan. Bahkan ketika pergi ke restoran sushi mahal, dia tidak akan memesan ‘omakase’ (menu pilihan koki), dan hanya memesan otoro dan akagai berulang kali sambil bersikap seperti 'aku seorang penulis terkenal'. Itu memalukan sekali. Tapi ayahku adalah pecinta kuliner."
"Hey, Hiyodoribana. Siputnya mulai kabur, takut pada pemakan siput sepertimu."
"Diamlah. Waktu ayahku masih tinggal dengan ibuku—wanita itu, dia biasa membawa ku dan onee-chan-ku ke izakaya atau bistro yang mewah sekali atau dua kali sebulan. Escargot itu enak sekali. ...Hei, Utsugi, apa maksud dari novel yang kau tulis untuk nenekmu?"
Yang Fujibakama katakan──.
Utsugi menggelengkan kepalanya.
"Tidak ada makna yang mendalam di dalamnya. Fujibakama seharusnya tidak perlu terlalu khawatir seperti itu. Lain kali, ketika dia datang ke klub lagi, aku akan mengatakan padanya untuk tidak terlalu memikirkan hal itu. Aku memang cucu yang dekat dengan nenek, dan nenekku suka membaca novel. Aku berjanji padanya kalo aku akan menulis cerita yang menyenangkan dan memberikannya untuk dia baca. Itulah awal mula aku menulis novel...Oh ya, dalam bahasa Inggris apa istilah untuk struktur tiga babak? Ah, ‘Inciting Incident.’ Hanya itu saja."
"...Bagaimana dengan nenekmu sekarang?"
"Dia meninggal. Musim panas tahun lalu. Ini mungkin hal yang sangat biasa bagi kebanyakan orang. Dia jatuh dan patah tulang, dirawat di rumah sakit, lalu dipindahkan ke panti jompo untuk rehabilitasi, dan mengalami stroke saat tidak ada yang melihat."
"Maaf."
"Kenapa kau minta maaf?"
"Aku pernah ke rumahmu, tapi tidak sempat memberikan penghormatan di depan altar Buddha."
Utsugi memiringkan kepalanya, dan tersenyum pada Hiyodoribana.
"Tentu saja, kau tidak tahu. Lagipula, kau datang ke rumahku dengan membawa ikan mandai yang besar, lalu tiba-tiba masuk ke ruang tatami, dan langsung memberikan persembahan pada altar Buddha, itu akan jadi hal yang sangat aneh. Terlalu berlebihan."
"Kemarin, Ayame sempat menyebut sedikit tentang Utsugi tahun lalu, dan juga di ruang klub dia bilang kau akhir-akhir ini sedang mengalami kebuntuan. Apakah itu karena nenekmu meninggal...?"
"Ya, kurang lebih begitu."
Melakukan hal yang dia inginkan dan mengubah 'kesenangan' yang dia rasakan menjadi sebuah novel, bagi Utsugi, telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-harinya.
Bukan berarti dia selalu memikirkan neneknya setiap kali dia menulis.
Bahkan setelah neneknya meninggal, dia masih bisa menulis beberapa novel, bukan hanya hal-hal seperti 'Ramen Hell'.
Tapi, keraguan yang muncul di benaknya setelah kepergian neneknya menusuk seperti duri kecil yang tak bisa dicabut.
── Nenek sudah tidak ada, jadi siapa yang akan membaca ini?
"Tapi, kalau dibilang cuma itu, ya, itu cuma sebatas itu. Kenyataan kalo tidak seasyik dulu hanyalah sesuatu yang relatif, bukan sesuatu yang mutlak. Bahkan sebelum Hiyodoribana bergabung dengan klub kami, makan ramen sampai mati bersama Ayame dan Fujibakama, atau mengumpulkan salju dari seluruh halaman sekolah dan menumpuknya setinggi jendela lantai dua juga lumayan seru."
Utsugi mengulurkan tangannya melewati pinggir payung.
"Memukul tumpukan salju itu dengan tongkat baseball yang kami pinjam dari klub baseball hingga runtuh, atau mengejar burung wagtail yang menjatuhkan kotoran di kepala Ayame hingga menemukan sarangnya, semuanya cukup menyenangkan. Bahkan ketika kami mengumpulkan beberapa edisi buletin klub dan menjualnya di pameran doujinshi, hanya tiga buku yang mungkin terjual karena rasa kasihan, tapi kami tetap bisa tertawa. Dan, tentu saja, setelah Hiyodoribana datang, itu lebih dari jelas."
Utsugi dengan ringan menepuk daun hydrangea yang di atasnya ada seekor siput.
Daun yang menahan siput itu berayun-ayun, tapi siputnya tidak jatuh. Mungkin siput itu merasa seolah-olah seluruh dunianya terguncang.
"Justru setelah aku mulai berpacaran dengan Hiyodoribana dan memutuskan untuk menulis tentang mu, mungkin aku malah lebih menikmati dibandingkan musim panas tahun lalu. Jadi, Hiyodoribana tidak perlu khawatir soal itu, begitu juga dengan Fujibakama. Tidak ada masalah sama sekali."
Hiyodoribana berdiri dan dengan lembut menepuk rok yang basah oleh tetesan hujan.
"...Hei Utsugi, hari ini hujannya deras, kan?"
"Ya, cuaca akan begini untuk sementara waktu, menurut ramalan cuaca."
"Aku biasanya naik bus ke sekolah, tapi hari ini Onee-chan-ku bilang kalo dia sedang tidak sibuk, jadi dia akan menjemputku agar aku tidak basah. Tempat aku naik bus itu di sepanjang jalan raya utama, dan dengan hujan deras seperti ini, aku khawatir terkena cipratan air dari mobil yang lewat. Jadi aku balas pesan, 'Tolong jemput aku'. Sekarang, aku sedang menunggu jemputan."
"Oh, syukurlah. Jadi Hiyodoribana akan langsung pulang sekarang. Sampai besok──"
"──Utsugi sudah menceritakan tentang dirinya."
Utsugi menoleh ke arah Hiyodoribana dengan tatapan bertanya, "Hm?"
Di bawah payung merah, wajah Hiyodoribana menampilkan campuran keberanian dan rasa malu.
"Kau telah bercerita tentang bagian penting dari hatimu. ...Sejujurnya, janji adalah janji, dan karena lebih mudah dengan mobil Onee-chan-ku, aku memutuskan untuk mencarimu dari awal. Tapi, setelah mendengar ceritamu, aku semakin yakin. Bagaimana kalo sekarang kau datang ke rumahku? Kali ini, aku yang akan menceritakan tentang hatiku. Aku akan memberitahumu rahasiaku. Tapi kau harus berjanji dulu."
Tatapan Hiyodoribana sangat serius.
"Jangan takut."
Utsugi sedikit terkejut dengan tatapanya itu.
"...Eh, kau punya semacam fetish aneh yang lebih parah dari Schistosoma cantonum yang kau koleksi di kamarmu...?"
"Bukan."
"Atau mungkin fetish bola mata...?"
"Menurutmu aku ini apa?"
Rumah Hiyodori Hana berjarak sekitar 20 menit berkendara dari AIA Academy, bahkan di tengah hujan.
Letaknya di pinggiran kota yang cukup tenang, meskipun masih dalam jarak berjalan kaki dari pusat kota. Wilayah ini mungkin tidak bisa disebut sebagai kawasan elit, tetapi setidaknya orang perlu memiliki keadaan yang cukup mapan untuk bisa tinggal di sana.
Sesaat sebelum tiba, Nanoka Hiyodoribana──kakak perempuan Hiyodoribana Chinatsu──menjelaskan.
"Kakek dan nenek dari pihak ibu dulunya tinggal di sini, yang juga berarti ini adalah kampung halaman ibu kami. Tapi sejak kuliah, ibu tinggal di Tokyo, jadi sejak saat itu, kakek dan nenek tinggal berdua. Lalu, sekitar 5 atau 6 tahun yang lalu, kakek meninggal."
Sambil memegang setir dengan satu tangan, dia mengemudikan mobil van ringan.
"Aku sekarang mahasiswa tahun ke-4. Karena aku mulai tidak betah tinggal di rumah, aku memutuskan untuk mendaftar di universitas negeri di sini, sambil merawat nenek. Sekarang, pilihan itu juga ternyata baik untuk Chinatsu. Aku juga berencana untuk bekerja di sini setelah lulus. Aku selalu mengatakan ini kepada Chinatsu dari waktu ke waktu."
Kesan Utsugi tentang kakak Hiyodoribana adalah kalo dia tidak terlalu mirip dengan adiknya.
"Takdir dan kebetulan itu memang luar biasa."
Wajahnya, suaranya, dan auranya semuanya berbeda dari Hiyodoribana, tapi entah kenapa, Utsugi bisa dengan mudah menerima kalo mereka adalah saudara. Mungkin karena ada sesuatu yang mendasar yang mereka miliki bersama.
Mungkin itulah sebabnya Utsugi merasa kalo dia pernah bertemu dengan Nanoka sebelumnya.
Entah bagaimana, Utsugi rasanya seperti pernah melihatnya di suatu tempat.
"Fakta kalo Utsugi tinggal di kota ini adalah satu-satunya keajaiban bagi Chinatsu. Dua tahun lalu, aku berkeliling Hokkaido sendirian dengan mobil ini. Hari kedua, aku kebetulan bertemu lagi dengan orang yang sekamar denganku di penginapan di pemandian air panas di pegunungan. Kami memutuskan untuk masuk pemandian bersama, dan itu adalah momen dengan probabilitas terendah dalam hidupku. Tapi, bagiku, keajaiban Chinatsu lebih besar dari itu."
"Apa maksudnya dengan keajaiban?"
Utsugi bertanya, dan Nanoka tertawa lepas.
"Dengar saja dari dia sendiri. Toh, adikku mengajakmu ke rumah untuk menceritakan itu, kan?"
Selama perjalanan di dalam mobil, hampir semuanya diisi oleh obrolan Nanoka. Sementara itu, Hiyodoribana hanya diam, terlihat agak gugup, sambil memandang keluar jendela dari kursi belakang.
Sesekali, seperti sebelumnya, Hp Hiyodoribana bergetar, berbunyi "Vuu, Vuu," Tapi di tetap tidak mengeceknya.
Dan meski Nanoka pasti juga mendengarnya, dia tidak menyinggungnya sama sekali.
★ ★ ★
Jangan merasa jijik setelah kau melihat semuanya , Hiyodoribana menegaskan.
Rahasia yang disimpannya dengan sangat hati-hati...
Setelah menyeka seragamnya yang basah dengan handuk yang dibawa oleh kakak Hiyodoribana, lalu menyapa nenek Hiyodoribana yang sedang menonton TV di ruang tamu, mereka segera menuju kamar Hiyodoribana.
"—Utsugi. Ambil ini.”
Di kamar berukuran sekitar tujuh tatami yang lebih dipenuhi rak buku daripada terlihat feminin, Hiyodoribana memberikan sebuah berkas kepada Utsugi.
[TL\n: Tatami adalah tikar tradisional Jepang yang terbuat dari jerami atau bahan lain seperti busa dan serat sintetis. 1 tatami: 0,9 meter x 1,8 meter (atau sekitar 3 kaki x 6 kaki).]
Bukan sembarang berkas, ini adalah buku yang dijilid dengan sangat rapi.
"Apa ini...? Oh, aku salah pegang, ini bagian belakangnya."
"Jangan!"
Saat Utsugi hendak membaliknya, Hiyodoribana menghentikannya. Utsugi menatap Hiyodoribana dengan tatapan bingung, tapi Hiyodoribana menunduk, menghindari tatapan Utsugi, sambil menunjuk ke arah meja yang ada laptop...Di samping laptop itu, ada bingkai foto.
"Sebelum kau membuka berkas itu, lihat foto di sana dulu!"
Di foto itu, ada wajah yang sangat dikenalnya.
"Itu... fotoku... Kau benar-benar mencintaiku ya, Hiyodoribana?"
"Bukan begitu! Eh, maksudku, memang begitu, tapi bukan itu yang mau aku bicarakan! Lihat baik-baik fotonya. Lihat pakaian yang kau pakai, Utsugi!"
Setelah diperhatikan, Utsugi baru sadar ada yang aneh.
"Ini kapan difoto?"
Di foto itu, Utsugi mengenakan kostum ala bajak laut. Utsugi hanya pernah memakai kostum itu sekali.
Saat festival budaya AIA tahun lalu.
Ketika mereka membagikan buku karya klub sastra, Utsugi berpikir akan lebih seru kalau mereka memakai kostum. Setelah kematian neneknya, Utsugi merasa lebih baik bercanda daripada terus murung.
Walaupun fotonya tidak terlihat, Ayame mengenakan kostum badut dengan wajah serius, sementara Fujihakama memakai kostum berang-berang yang disewa Utsugi.
Dan, jelas sekali, ini sebelum Hiyodori masuk ke AIA.
"Hiyodoribana, dari mana kau mendapat foto dari festival budaya ini?"
"... Oke, kalo kau sudah mengerti, kau boleh buka berkas itu sekarang! Silakan buka dan lihat isinya!"
Dengan perlahan, Utsugi membuka berkas itu. Di dalamnya, ada kumpulan cerita pendek yang ditulis rapi. Utsugi langsung mengenali isinya. Dia membalik-balik halaman, dan menemukan sebuah judul yang dicetak besar di salah satu halaman.
'Umi wa afuremasen'(Laut Tak Meluap)
"Ini cerita yang kutulis waktu SMP, kelas 1 atau 2, ya?"
Cerita pendek tentang seorang anak laki-laki yang merasa terasing dari teman-teman sekelasnya, yang kelelahan secara mental, dan pergi tinggal bersama neneknya di sebuah kota kecil di tepi muara sungai. Di sana, dia belajar banyak hal, merasakan keindahan kehidupan, dan menemukan kembali semangat hidupnya.
Ini adalah salah satu cerita yang sangat disukai Utsugi.
Setelah membalik-balik sampai halaman terakhir, Utsugi menutup berkas itu, dan melihat sampul depannya. Di sampul hitam itu tertulis dengan spidol putih, 'Utsugi Itsuki ①'. Dari ketebalannya, jelas bahwa berkas ini berisi lebih dari satu cerita. Beberapa ceritanya ada di dalam berkas itu.
Selain itu, ada tiga foto Utsugi yang ditempel di sampulnya. Foto-foto ini jelas diambil setelah Hiyodoribana bergabung dengan klub sastra super. Utsugi bisa mengenali waktu diambilnya foto-foto tersebut.
Bahkan ada foto saat mereka berkencan.
"... Aku sudah bilang, aku penggemar beratmu,"
Suara Hiyodoribana terdengar sangat pelan, dan wajahnya memerah, Utsugi bisa mengetahuinya saat dia sedang melihat ke bawah..
Utsugi memalingkan pandangannya dan melihat ke arah rak buku tempat Hiyodoribana mengambil berkas tadi.
Di rak itu, di baris teratas dan kedua, ada banyak berkas serupa yang tertata rapi. Setiap berkas memiliki nama Utsugi yang ditulis dengan spidol dan foto yang ditempel di sampulnya.
Utsugi berjalan mendekati rak tersebut.
Di antara semua berkas yang berjilid rapi, ada satu berkas dengan cincin berwarna merah, tidak seperti yang lainnya. Utsugi mengambilnya. Di sampulnya tertulis dengan spidol hitam 'Terbaru'.
Di dalamnya, terselip naskah 'Ryuu no Kago Tsuri', cerita yang baru setengahnya selesai ditulis oleh Utsugi. Utsugi juga menyadari, di beberapa bagian rak itu, foto-foto Utsugi dan catatan berisi kutipan dari novelnya ditempel di sana-sini. Juga, ada salinan dari buku klub yang hanya terjual tiga eksemplar di sebuah acara penjualan buku.
... Hiyodoribana memang pernah mengatakan kalo dia adalah penggemar berat karya-karya Utsugi, dan Utsugi tidak pernah meragukan itu, tapi ini jelas melampaui apa yang pernah dia bayangkan...
"U-Utsugi, kau, t-tidak merasa aneh kan? A-aku... Aku sudah mengagumimu sejak lama... bertahun-tahun lamanya... Aku... penggemar beratmu..."
Hiyodoribana menggeliat malu-malu sambil bergumam.
"Dari lubuk hatiku umm... tidak aku tahu kalo ini agak menyeramkan, terlihat seperti penguntit... Aku sadar itu. Aku tahu, makanya mengajakmu ke sini butuh banyak keberanian... Eh? Kenapa kau malah tertawa?"
"Ya jelas lah aku tertawa. Ini lebih parah dari oculophilia tadi, hahaha."
[TL\n: Oculophilia adalah ketertarikan atau fetish yang berhubungan dengan mata. Orang yang memiliki oculophilia mungkin merasa tertarik secara khusus pada penampilan, bentuk, warna, atau gerakan mata seseorang. Ini termasuk daya tarik pada aspek-aspek estetis mata, seperti cara seseorang menatap, warna mata, atau bahkan kacamata.]
"Kenapa!? Ini tidak separah itu, kan? Eh? Serius? Apa ini memang separah itu? Eh... maaf..."
Melihat ekspresi setengah menangis Hiyodoribana membuat Utsugi semakin tidak bisa menahan tawa.
"Tidak sampai segitunya, kok. Mungkin ada yang akan merasa terkejut dan berpikir 'Ugh, menjijikan sekali,' tapi mungkin ada juga yang senang karena seseorang begitu menyukai karyanya. Bagiku, reaksi Hiyodoribana sendiri membuatku tertawa. Kenapa bisa sampai sejauh ini? Semua orang juga pasti berpikir begitu, novelmu jelas jauh lebih baik daripada novelku."
Utsugi memiringkan kepalanya.
Saat mendengarnya sebelumnya, hal itu tidak menimbulkan perasaan apa-apa, tapi kali ini ada sedikit yang membuatnya penasaran.
"Awalnya, bagaimana kau bisa menemukan novelku? Kau bilang kalo kau menemukannya secara tidak sengaja di internet, benarkah itu?"
"Itu benar... Aku mulai mencoba menulis novel sejak kelas satu SMP. Tapi awalnya tidak berjalan seperti yang kuinginkan, aku merasa frustrasi, lalu mulai mencari-cari di internet secara acak. Aku membaca banyak novel amatir yang sangat tidak terkenal dan hampir tidak mendapat penilaian, memilih yang kelihatannya tidak menjanjikan, lalu membacanya untuk menyadarkan diriku kalo aku lebih baik dari mereka, untuk menenangkan hatiku."
"Kau seperti monster."
"Saat aku melakukan itu, aku menemukan novelmu yang berjudul Umi wa Afurenai. Meski judulnya tidak terlalu buruk, tentu saja aku berpikir, 'Seberapa jelek karya ini?' dan membuka novel itu dengan perasaan bersemangat."
"Kau menakutkan sekali, Hiyodoribana-sensei..."
"Tapi entah bagaimana, novel itu menjadi sesuatu yang istimewa bagiku."
Hiyodoribana tersenyum kecil, seakan mengenang saat itu. Dengan nada penuh kasih sayang, seperti seseorang yang memeluk harta karun yang sangat berharga, yang begitu langka ditemui dalam hidup hingga dunia terasa berbeda setelah memilikinya, ia bercerita.
"Begitu aki mulai membacanya, aku langsung terpikat. Seperti yang selalu aku katakan, meski jelas novel itu berfokus pada hiburan, dari segi pembuatan cerita sebagai hiburan, novel itu benar-benar buruk. Ada begitu banyak hal yang perlu diperbaiki, itu fakta objektif. Aku yakin orang yang merasa novel ini menarik pasti sangat sedikit. Tapi, bagiku... di dalam hatiku, emosi yang Utsugi coba sampaikan, perasaan yang kau coba tulis, pas sekali dengan diriku. Seperti potongan puzzle yang hilang."
Utsugi meletakkan kembali file ke rak, sambil mendengarkan cerita Hiyodoribana.
Dia menarik senyumnya, dan untuk pertama kalinya terlihat agak serius.
"Aku membaca semua novel yang Utsugi publikasikan saat itu dalam sekali duduk, dan aku masih ingin membaca lebih banyak. Hari itu tidak ada yang terjadi lagi, tapi setelah itu, novel Utsugi terus melekat di pikiranku. Itu tidak ada hubungannya dengan kehidupan sehari-hariku, tapi secara tiba-tiba, aku akan mengingatnya dan penasaran. Aku sempat dalam kondisi seperti itu untuk beberapa waktu."
"Kenapa hal itu tidak berhenti di situ saja?"
"Utsugi, kau kan menggunakan nama aslimu saat mempublikasikan novel, mu kan? Suatu hari aku mencoba mencari namamu. Sebagian besar hasilnya tidak relevan, tapi ada satu yang terlihat sesuai. Kolom pengenalan kehidupan sekolah di situs resmi sekolahmu."
Utsugi berkata, "Oh, itu masuk akal."
"Itu yang waktu itu juga kau tulis, Hiyodoribana."
"Iya. Biasanya nama asli siswa yang menulis kolom itu tidak ditampilkan, kan? Tapi kau dengan sengaja mencantumkan nama aslimu. Itu membuatku penasaran. Ketika aku membaca novelmu, aku merasa penulisnya mungkin seumuran denganku. Lalu aku berpikir, 'Mungkinkah ini dia?' dan tiba-tiba, semuanya masuk akal. Itu adalah salah satu adegan di Umi wa Afurenai."
"Adegan?"
Hiyodoribana tersenyum kecil.
"Waktu itu aku menyadari, 'Koko wa watashi ga sunde iru machidesu'(Ini kota tempatku tinggal). Kau menggambarkan pemandangan nyata dalam novelnya, kan? Kakekku punya teman yang tinggal di sekitar tempat yang kau jadikan latar. Aku pernah beberapa kali pergi ke taman di sana saat datang berkunjung bersama kakekku."
"Bagaimana kau bisa tahu dengan begitu jelas?"
"Utsugi sangat pandai menangkap gambaran pemandangan dalam deskripsinya, dan karena kesukaan kita serupa, aku merasa itulah yang membuat deskripsimu terasa begitu sesuai denganku. Gambaran pemandangan dari seberang sungai, suara batu yang dilemparkan anak-anak sepulang sekolah dari jungkat-jungkit di taman, batu itu tidak sampai ke permukaan air dan hanya menghantam batu-batu lain di tepi sungai—semuanya cocok dengan ingatanku... Itu yang membuatku yakin."
Aku mulai memahami mengapa Hiyodoribana menyebutnya sebagai sebuah keajaiban.
Utsugi menyela.
"Kakakmu, Hiyodoribana, sekarang sudah di tahun keempat kuliah...berarti dia sudah tinggal di sini selama lebih dari tiga tahun. Tahun lalu, saat festival budaya, kakakmu menyamar untuk mengintai, kan? Cerpen di majalah klub yang dikumpulkan bukan setelah kau masuk sekolah, tapi kakakmu yang kau minta untuk mengumpulkannya? Kami juga membagikan edisi-edisi sebelumnya di festival budaya."
"...Ya, benar. Aku ingin segera keluar dari rumah itu, dan sejak pertengahan tahun lalu, aku sudah sangat bertekad untuk pindah ke sini. Tentu saja, aku punya teman di sana, dan ada seorang pesaing sesama penulis yang mengklaim dirinya sebagai rivalku, yang marah dan mengatakan aku pengecut karena melarikan diri. Salah satu dari penerima penghargaan bersamaan, kau tahu. Mengenai foto-foto itu, pada festival budaya hanya fotografer profesional yang diperbolehkan mengambil gambar, jadi...itu foto diam-diam. Maaf. Dan..."
Hiyodoribana merunduk dan kembali berbicara dengan suara pelan.
"Dari sini, cerita ini...agak memalukan. Onee-chan mengirim foto-foto yang dia ambil dengan tanda hati. Dia tahu betul, aku...melihat foto Utsugi di Hp-kuHp-ku...coba kau lihat foto yang sekarang ada di bingkai itu..."
Ada jeda beberapa detik, seolah-olah dia sedang mengumpulkan keberanian.
“...Aku pikir kau terlihat sangat keren...M-meski tentu saja, menilai seseorang dari penampilannya adalah hal yang bodoh, dan itu jelas bukan yang paling penting...tapi sejujurnya, aku merasa penampilanmu sangat cocok dengan orang yang menulis novel itu, dan itu membuatku semakin ingin tahu tentangmu...Aku tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak berbicara langsung denganmu...Setengah dari alasan kepindahanku ke sini adalah...untuk bertemu denganmu, Utsugi... Tolong jangan merasa jijik...Kau sudah janji, kan, tidak boleh merasa jijik!"
"Tidak, aku sama sekali tidak merasa jijik. Lalu, setengah alasan yang lain?"
"....Orang itu."
Hiyodoribana menjawab singkat, dengan satu kata, dan dari tatapan kebenciannya, Utsugi bisa memastikan dugaannya benar.
Memang, dia sudah merasakannya.
"Hiyodoribana, kau membenci ibumu, ya?"
Nada percakapan Hiyodoribana selalu menyiratkan rasa frustrasi.
Panggilan yang diabaikan.
Yang paling mencolok adalah perasaan tidak nyaman yang Utsugi rasakan saat membaca The Funeral Story.
Di akhir cerita itu, ayah sang protagonis, yang ternyata pelaku utama, menceritakan kebrutalan yang dilakukan ibunya sebelum dia meninggal. Dia menjelaskan motif di balik pembunuhan istrinya yang dicintai dan membuktikan kebenarannya.
Sang protagonis, setelah banyak berpikir, akhirnya memaafkan ayahnya dan memutuskan untuk tidak melaporkannya.
Utsugi tidak merasa terganggu dengan alur cerita itu. Alur dalam sebuah novel tidak selalu mencerminkan nilai-nilai penulisnya. Tapi, yang Utsugi tangkap dari cara adegan itu digambarkan adalah rasa kebencian yang tersembunyi di baliknya.
Perasaan yang sama yang baru saja dia lihat di mata Hiyodoribana ketika dia menyebut 'orang itu.'
Gaya penulisan cerita tersebut, yang biasanya sederhana dan mudah dibaca, tiba-tiba terasa berat dan penuh emosi pada bagian itu. Tentu saja, itu mungkin hanya perasaannya saja.
Tapi, Utsugi tetap merasa terganggu olehnya, dan Hiyodoribana sendiri mengatakan kalo perasaan mereka mirip.
"Benar. Aku membencinya. Aku sangat membencinya sampai ingin muntah."
Nada suara Hiyodoribana yang penuh keyakinan itu bahkan terdengar menyegarkan.
"Aku benar-benar membencinya. Haha, aku sebenarnya lumayan suka ayahku. Ketika dia meninggalkan rumah, aku merasa sedih, tapi di saat yang sama, aku senang melihat 'orang itu' menjadi kacau. ...Kau tahu, Utsugi, yang ingin aku bicarakan adalah soal koleksi Utsugi dan soal 'orang itu'. Tapi jangan salah paham, ya?"
Hiyodoribana menunjuk ke arah Utsugi seperti sedang menembaknya.
"Ini bukan keluhan. Bukan kisah masa lalu yang menyedihkan bagiku. Ini adalah kisah dongeng tentang bagaimana Hiyodoribana, seorang gadis biasa yang terlahir tanpa sesuatu yang paling diinginkannya, diselamatkan oleh novel Utsugi."
Hiyodoribana mulai bercerita───
─── Dahulu kala, ada seorang putri yang sangat menyukai cerita. ...Eh? Jangan pasang wajah seperti itu, Utsugi. Bercerita tentang diriku sendiri itu agak memalukan, dan karena aku menyebutnya sebagai dongeng, aku pikir akan cocok jika digambarkan seperti ini.
Sekali lagi.
Di suatu tempat, ada seorang putri. Sang putri adalah anak kedua, dan dia sangat menyukai cerita. Dia selalu bangga kalo ibunya, sang ratu, adalah seseorang yang luar biasa. Sang ratu memiliki bakat yang luar biasa dalam menciptakan cerita.
Dia adalah seorang jenius.
Banyak orang memuji cerita-cerita yang diciptakan sang ratu.
Sang ratu sendiri percaya kalo cerita-ceritanya istimewa. Meskipun dia bersikap rendah hati di depan orang lain, dalam hati dia yakin kalo tidak ada orang yang lebih hebat darinya. Dia sering mengatakannya secara terbuka di depan keluarganya.
Dan saat sang putri berusia 5 tahun, dia benar-benar menyadari betapa hebatnya ibunya.
Sang ratu biasanya melarang anak-anaknya masuk ke kamar tidurnya karena itu akan mengganggunya, tapi malam itu, dia membawa sang putri masuk dan mengajaknya tidur bersama.
Sang putri yang bersemangat karena hal yang belum pernah terjadi sebelumnya, disuguhi cerita improvisasi oleh sang ratu.
Ceritanya tentang hantu putih di kota yang tertutup kabut.
Kisahnya seperti ini:
Ada sebuah kota yang selalu tertutup kabut sepanjang tahun, dan di sana tinggal hantu.
Hantu itu berwarna putih seperti seprai yang baru dicuci, tanpa hidung dan mulut, hanya memiliki sepasang mata, dan ukurannya sebesar anak berusia 5 tahun. Hantu itu hidup melayang bebas di udara.
Sejak dilahirkan, hantu itu tidak pernah memiliki keluarga atau teman. Tapi dia tidak pernah merasa kesepian...
Hantu itu memiliki kesenangan utama. Hantu merasa hidupnya berharga dengan menakut-nakuti dan mengejutkan penduduk kota melalui kabut. Melihat mereka terkejut, bingung, menangis, dan melarikan diri membuatnya sangat senang.
Tapu, kebahagiaan hantu tidak bertahan lama. Hantu membuat kesalahan besar.
Dia mengejutkan seorang gadis berambut merah yang datang ke kota.
Gadis itu adalah seorang penyihir pengembara yang kebetulan mampir ke kota kabut itu. Dan kebetulan, keahliannya adalah sihir kabut. Terkejut, dia tanpa sengaja menggunakan sihirnya. Kabut di kota pun menjadi semakin putih.
Penduduk kota, yang sudah terbiasa dengan kabut, tidak merasa terganggu. Yang bermasalah adalah hantu. Kabut yang terlalu tebal membuat penduduk kota tidak lagi bisa melihatnya. Hantu tidak lagi bisa melihat pembantu toko roti Ashley berteriak, Tim si pembersih cerobong asap yang marah mengayunkan sikatnya, atau air mata cantik Charlotte. Setelah itu, bertahun-tahun berlalu.
...Putri merasa cerita ratu itu lebih menarik daripada buku cerita mana pun yang pernah dia baca. Dia tidak percaya kalo seorang ratu bisa bercerita dengan cara yang begitu luar biasa. Putri merasa itu seperti sihir.
Putri merasa kasihan pada hantu dan khawatir. Dia bertanya-tanya bagaimana nasib hantu itu.
Ratu berkata, "Bagaimana kalau gadis berambut merah itu datang lagi ke kota kabut?"
Tapi gadis itu berbeda dari yang sebelumnya. Gadis itu adalah cucu dari penyihir kabut, dan dia bisa membatalkan sihir kabut yang dilakukan neneknya. Cucu penyihir itu datang ke kota kabut dengan tongkat sihirnya dan berteriak, Hantu putih, apa kau ada di sini, keluarlah!
Hei, bisakah kau memikirkan kelanjutan cerita ini? tanya ratu kepada sang putri.
Putri merasa bingung. Tapi, karena dia sering dipuji oleh kakaknya karena kemampuannya dalam membuat cerita, dia berusaha keras untuk menyenangkan ratu dengan berpikir keras.
Malam itu, putri tidur di samping ratu dan memikirkan cerita sepanjang hari. Keesokan harinya, dia pergi ke kamar tidur ratu dan membacakan ceritanya.
Ceritanya kira-kira seperti ini: Cucu penyihir menjadi teman hantu. Cucu penyihir merasa kasihan setelah mendengar cerita dari neneknya, dan datang ke kota kabut untuk membantu sang hantu. Cucu penyihir membatalkan sihir kabut dan bermain dengan hantu di kota. Penduduk kota melihat dan ikut bermain, dan hantu akhirnya mendapatkan banyak teman, berhenti mengganggu, dan mereka hidup bahagia selamanya.
....Jadi, apa pendapatmu tentang cerita ini, Utsugi?
......Kan? Benar, kan? Aku juga merasa begitu. Untuk anak berusia 5 tahun, cerita ini cukup baik.
Saat itu, sang putri merasa sangat percaya diri dengan cerita yang dia buat.
Tapi, sang ratu... ibu dari putri itu melihat wajah putri dengan tatapan yang sangat kecewa, dan dengan ekspresi penuh kebencian diwajahnya dia berkata.
Ini membosankan sekali!
"Hah?"
Utsugi sempat terdiam sejenak, tidak mengerti.
...Ibunya, kepada putrinya yang masih balita dan berusaha keras membuat cerita?
Hiyodoribana, yang duduk di tempat tidur, tersenyum melihat reaksi Utsugi. Di tangannya ada cangkir teh kamomil yang dibawa oleh kakaknya Hiyodoribana baru-baru ini. Utsugi juga disajikan teh rosehip.
Di ruangan yang hanya ada mereka berdua lagi,Hiyodoribana menyeduh teh dan berkata dengan ringan.
"Sungguh mengerikan, kan? Meskipun mungkin detailnya berbeda, tapi lebih baik dari kakakku. Tapi dia masih bilang, 'tapi aku kecewa dengan ekspektasiku, setelah semua prolog yang panjang, hanya ini?' dengan nada tidak senang. Dia benar-benar meragukan bakatku, bahkan bertanya apakah aku benar-benar anaknya? ...Lihat, dibandingkan dengan ini, aku jauh lebih baik saat kencan terakhir, kan?"
Utsugi tidak bisa menahan senyum.
"Kalau dibandingkan, kau seperti dewi."
"Kan? Ahaha. Orang itu menginginkan teman karena cucunya, sang penyihir, tidak punya teman, dan jika dia bisa mengejutkannya, dia akan menantang hantu untuk memecahkan mantra kabut, dan orang-orang di dalamnya kota akan memberitahunya bagaimana waktu berlalu. Dia juga mengatakan kalo ada banyak hal yang dapat ku lakukan untuk menggali lebih dalam subjek ini. Yah, aku mengerti, bakat adalah sesuatu yang kau miliki sejak lahir, jadi tidak ada yang dapat kau lakukan untuk mengatasinya. Tentu saja, kalo kau mencampurkan gen ekstra dengan bakat mu, itu akan memburuk."
"Bisa dibilang, orang itu cukup keras kepala."
"Ya. Dia benar-benar membuktikan kalo penulis profesional adalah sekumpulan orang dengan ego yang besar dan narsisme yang terdistorsi tanpa kemampuan sosial yang baik."
"Jangan terlalu keras, nanti kau bisa kena marah."
"Apapun itu, aku masih sangat terkejut dan banyak menangis karena kesal ketika aku masih kecil. ...Awalnya, aku dan kakakku juga mencoba untuk menghindar dari orang itu. Keberadaan orang itu begitu besar sehingga seolah-olah bisa menghancurkan dunia kami."
Utsugi juga mencoba minum teh rosehip.
Rasanya aneh, tapi tidak buruk.
"Kaiamu terlihat lebih santai dibandingkan denganmu Hiyodoribana. Katanya dia muak dengan rumah orang tuanya, jadi menurutku meskipun dia bilang tidak suka, mungkin memang tidak begitu menyenangkannya."
"Ya. Paling sering dalam percakapan kami berdua adalah membicarakan keburukan orang itu, tapi Onee-chan tidak membencinya seperti aku. Orang itu sering mengirim pesan pada Onee-chan ketika aku mengabaikan pangilanya."
Utsugi bisa mendengar suara detik jam berbentuk siluet kucing hitam yang digantung di dinding.
"Onee-chan lebih bisa mengatasi orang itu dengan baik daripada aku. Dia menemukan cara untuk tidak terlalu serius menghadapi keberadaan orang itu. Sedangkan aku kurang bisa. Salah satu alasan aku mencoba menjadi aktris cilik adalah karena itu adalah dunia ayahku, bukan orang itu."
Hiyodoribana menepuk pipinya sendiri dengan ujung jari.
"Walaupun aku sendiri yang bilang, aku cukup imut, kan? Wajahku."
"Tidak ada keberatan tentang itu."
"Itu adalah kelebihan yang tidak dimiliki orang itu. Aktivitas hiburan yang mungkin tidak bisa dilakukan orang itu bahkan jika dia mencoba. ...Meskipun aku akhirnya tampil dalam film yang diadaptasi dari karya orang itu, pada akhirnya aku tidak bisa melarikan diri dari keberadaan orang itu. Orang itu memiliki hubungan dengan orang-orang di industri, dan aku sering dipaksa tampil di TV bersamanya. Tapi yang lebih besar adalah sifat bawaan yang aku miliki."
Sifat Hiyodoribana.
Utsugi mencoba mengucapkannya.
"Apakah itu kecintaan pada cerita—buku?"
"Benar. Cerita, lebih dari apapun, menyentuh hatiku. Membaca buku dan berimajinasi adalah hal yang menyenangkan."
Tentu saja itu bisa dimengerti. Neneknya juga pernah mengatakan hal serupa.
"Pada waktu itu, aku sering dipanggil 'mrs Hiyodoribana' dengan nada bercanda oleh editor orang itu. Di depan orang-orang penting di penerbit, aku pernah dipuji dengan mengatakan bahwa buku XX akan laku jika dipromosikan, dan itu membuat mereka tertawa. Meskipun ada kesenangan dalam aktivitas sebagai aktris cilik, kenyataannya adalah bahwa cerita lebih menyenangkan bagi aku."
Hika meletakkan cangkir teh di meja samping tempat tidur dengan lembut.
"Dan semakin banyak aku membaca buku, semakin jelas kalo orang itu memang hebat. Aku merasakannya dengan selera Hiyodoribana. Orang itu memiliki kemampuan nyata dan terus menjadi salah satu pelari terdepan bukan karena bakat biasa, tetapi karena kemampuan yang luar biasa dalam menghibur, membuat orang menangis, dan memberi sedikit dampak dalam kehidupan mereka adalah tindakan yang besar. Tidak peduli seberapa banyak aku ingin menolaknya, itu adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari."
Hiyodoribana telentang di tempat tidur.
"Suatu waktu, seseorang dari penerbit memuji ku sebagai seorang anak ajaib di depan orang itu. Mereka mengatakan kalo aku bisa membaca buku sebanyak itu sejak kecil, dan bertanya apakah aku juga akan menjadi penulis di masa depan."
Biasanya, orang tua akan sangat bangga.
"Orang itu menjawab dengan wajah bingung, 'Hmm, itu mungkin sulit.' Aku ingin menunjukkan padanya. —Benar, kau memang hebat. Tapi meskipun kau sangat mengutamakan hiburan, penjualanmu kalah jauh dari novel hit yang diadaptasi dari manga atau internet. Di tidak sehebat yang kau kira."
★ ★ ★
Aku memutuskan untuk menulis novel sendiri.
Ketika usia bertambah dan pekerjaan sebagai aktris cilik mulai berkurang, aku merasa kalo aku tidak begitu yakin bisa bertahan dalam industri hiburan, meskipun aku sudah memutuskan untuk terus berjuang.
Orang itu tampaknya lebih suka dengan fakta kalo dia adalah putri dari seorang aktris cilik, dan ketika aku mengatakan akan berhenti, dia sempat memberikan sindiran, tetapi malah membuat ku merasa terdorong untuk terus maju.
Aku tidak terlalu terbiasa dengan sastra murni, tetapi aku tidak keberatan dengan genre apa pun dalam hiburan.
Itu bukan berarti aku tidak peduli. Aku suka hampir semua genre novel yang memiliki cerita yang kaya.
Aku memutuskan untuk mengejar penghargaan penulis baru dalam genre misteri karena orang itu tidak bisa meraihnya sebelum debutnya.
Orang itu pernah mengajukan beberapa kali untuk penghargaan penulis baru dalam genre misteri, tetapi gagal, dan akhirnya debut melalui jalur lain, kemudian mulai menulis misteri. Jadi, ku pikir jika aku memenangkan penghargaan penulis baru dalam genre misteri, dia pasti akan merasa iri.
...Aku sadar bahwa motivasi saya agak negatif dan tidak terlalu penting. Tapi, fakta kalo aku juga menyukai novel misteri adalah benar, jadi tidak masalah, kan?
Menulis novel dengan baik memang sulit, tetapi juga menyenangkan. Aku sering berpikir betapa mengagumkannya bisa menyelesaikan sebuah karya, baik oleh profesional maupun amatir.
Aku merujuk banyak buku tentang teknik penulisan skenario, menganalisis novel misteri yang ku baca, dan akhirnya menulis dengan susah payah. Suatu hari, ketika pulang dari sekolah menengah, aku mendapati orang itu sembarangan memeriksa laptop ku dan membaca draft 'The Funeral Story' tanpa izin.
Aku marah, tapi orang itu sama sekali tidak merasa bersalah. Dia mengatakan dengan santai kalo hasilnya cukup baik.
Ketika aku terkejut, dia bertanya apakah aku menulisnya dengan niat mengajukan ke sebuah penghargaan atau sekadar hobi.
Aku menjawab kalo aku ingin mengajukannya, dan dia segera melanjutkan.
Berkat bonus usia mu, kemungkinan besar kau akan sampai ke seleksi akhir atau hampir di situ, tetapi ini tidak akan memenangkan penghargaan penulis baru. Karakter dan elemen misterinya masih biasa saja. Meskipun tidak ada banyak cacat, itu saja. Kau memerlukan dampak yang cukup agar juri bisa memaafkan kekuranganmu, katanya.
Kemudian, dia memberikan berbagai saran tanpa diminta. ...Aku tidak bisa menulis trik yang benar-benar inovatif, dan meskipun aku bisa mengubah plot dengan radikal, aku tidak memiliki teknik untuk membuat trik yang tidak inovatif tampak inovatif. Jadi, mencoba menjualnya sebagai kelebihan tidak akan berhasil.
Tapi, tema pengambilan jenazah di zona kematian ini adalah ide yang bagus.
Elemen misterinya masih perlu sedikit diputar, tetapi yang perlu difokuskan adalah cerita tentang pengambilan jenazah ini. Aku akan mengumpulkan bahan-bahan untukmu, bacalah dengan teliti, teliti, dan perluas kelebihan dari tema ini. Aku merasa ada potensi dalam tema ini. Jika bingung, tanyakan pada ku, dan aku akan memberikan jawaban yang sesuai dengan konteks. Bagaimana kamu mengolahnya adalah keputusanmu sendiri──.
Aku sangat terkejut dengan keseriusan saran dari orang itu.
Meskipun aku merasa kesal, aku merasa kalo hampir semua pendapatnya, terutama yang pertama, sangat tepat.
Ketika bukuku terbit, banyak orang bertanya-tanya apakah orang itu telah menyentuh atau bahkan menulisnya, tetapi tidak, itu adalah ide dan tulisan ku sendiri. Aku sangat bangga dengan itu. Aku tidak berpikir orang itu mengeditnya. Tapi, aku memang mempertimbangkan arah perbaikan berdasarkan pendapatnya.
Jika aku tidak mendengarkan saran orang itu, aku tidak akan memenangkan penghargaan.
Itu pasti.
Bukan hanya keyakinan.
Itu hanya fakta.
Jadi, sebelum pesta penghargaan dimulai, aku mengucapkan terima kasih pada orang itu. Meskipun sulit, aku merasa mungkin itu adalah kesempatan pertama dan terakhir untuk berdamai. Orang itu tertawa dan menjawab seperti ini.
Beruntung kau mendapatkan penghargaan meskipun bakatmu kurang, berkat prediksi masa depan dan juri yang lebih pengertian tahun ini. Tidak perlu berterima kasih. Buku ku juga akan laris bersama dengan buku kamu, dan jika orang-orang membandingkan buku kita, mereka akan melihat betapa berbeda kualitasnya──.
...Kan? Dia adalah wanita yang menyebalkan, kan?
Aku sudah tahu itu bahkan tanpa diberitahu. Pada akhirnya aku memang mendapatkan penghargaan, dan itu adalah keberuntungan, tetapi kalau orang itu menulis novel dengan tema yang sama, pasti dia bisa menulisnya sepuluh kali lebih baik daripada karya terbaik yang kutulis.
Aku yang paling mengerti itu. Ini adalah deskripsi yang sangat khas Hiyodoribana Setsuko, dengan karakter, cerita, gaya penulisan, perkembangan cerita, konflik, dan plot twist yang seolah-olah memang akan dia tulis...tapi semuanya, setiap bagian, tidak ada yang mampu menandingi Hiyodoribana Setsuko.
Cara cerita 'The Funeral Story' dirangkai hampir sama dengan cara Hiyodoribana Setsuko sebagai seorang penulis.
Aku berlari ke kamar mandi wanita di tempat acara, berteriak sekuat tenaga, dan melihat wajahku yang menangis di cermin begitu menyedihkan hingga aku malah tertawa.
Sebelumnya, bahkan Utsugi pernah bilang bahwa menghabiskan waktu di klub sastra SMA adalah pemborosan sumber daya, atau semacamnya, tapi bukan itu masalahnya.
Bahkan tanpa Utsugi, aku tidak bisa menulis karya berikutnya. Aku merasa bersalah pada para pembaca dan editor yang menantikannya, tapi meskipun aku ingin menulis, aku sama sekali tidak punya motivasi. Karena aku tahu, apa pun yang kutulis lagi hanya akan menjadi versi yang lebih buruk dari novel orang itu. Tidak, lebih tepatnya, karena aku tidak akan pernah mau mendengar pendapatnya lagi, karya berikutnya hanya akan menjadi versi yang lebih buruk dari 'The Funeral Story', yang sendiri adalah tiruan buruk dari karya orang itu.
Aku sadar, saat melihat wajahku yang menangis di cermin pada waktu itu.
Bahkan sebelum menerima penghargaan, sebelum mendengar nasihat orang itu, lebih tepatnya bahkan sebelum aku mulai menulis 'The Funeral Story', hatiku sudah hancur.
Sebagai seorang penulis, aku sudah mati bahkan sebelum aku dilahirkan.
Aku tidak punya bakat yang cukup.
Aku tidak akan pernah bisa mencapai hal-hal yang ingin kucapai seumur hidupku.
'The Funeral Story' itu hanyalah kebetulan, karya terbaikku yang kutulis karena aku menemukan ide bagus, tapi bahkan itu masih kalah dari debut orang itu. Itu adalah sebuah pemakaman untuk diriku sebagai seorang penulis, Hiyodoribana Chinatsu.
Kata-kata 'membosankan' terus terngiang-ngiang di kepalaku.
Sejak aku berusia 5 tahun. Tidak peduli apa yang kulakukan, kata-kata itu selalu muncul di pikiranku, dan terlebih lagi saat aku menulis novel.
Menulis sambil merasa seperti tenggelam di laut bakat orang itu, bukan hanya sekali atau dua kali aku menitikkan air mata. Apakah mungkin karena itu, perasaanku semakin berat?
Saat aku menemukan novel Utsugi.
Aku suka gaya penulisan Kusaki, cara dia mendeskripsikan karakternya, gambaran ceritanya bagus, dan ada kemiripan dalam selera kami. Ada banyak alasan yang bisa disebut, tapi kurasa bukan itu masalahnya. Dengan alasan-alasan itu, aku tidak akan jatuh cinta pada novel yang begitu buruk seperti itu.
Novel Utsugi, tidak dapat dipercaya... tapi jelas lebih menyenangkan daripada novel profesional mana pun yang pernah kubaca.
Novel itu terasa sangat menyenangkan.
Aku sangat berbeda darinya.
Baik cara menulis novel maupun tindakan si tokoh utama dalam cerita, semuanya terasa berbeda. Bahkan dari tulisan dan ruang kosong di antara baris-barisnya, terasa bahwa sang penulis benar-benar menikmati dunia ini. Rasanya seperti warna-warna emosi dari jiwa mereka meluap dengan bebas!
Aku belum pernah merasakan hal seperti itu sebelumnya. Bahkan aku tidak pernah membayangkan bisa menikmati hidup dengan begitu kuat dan intens seperti itu.
Tadi aku mengatakan hal yang masih terasa sedikit malu-malu, jadi kurang jelas. Sebenarnya, ketika aku membaca Umi wa Afurenai karya Utsugi, aku merasakan kalo ada seseorang di luar sana yang menulis cerita dan menikmati hidup sepenuh hati, dan tanpa kusadari, aku menangis.
Aku merasa seperti sedang menikmati hidup bersama dengan tokoh utama atau mungkin bersama sang penulis. Seolah-olah kami mengalami, terkejut, dan tertawa bersama.
Utsugi menyelamatkanku melalui novelnya.
Meskipun aku telah mengalami patah hati sekali saat berusia lima tahun, tanpa novel Utsugi, mungkin aku akan hancur lagi berkali-kali. Di suatu titik, aku bisa saja benar-benar hancur total dan tidak akan merasa seperti yang kurasakan sekarang.
Selain itu, saat aku menangis, ada perasaan kepuasan dalam hatiku, seolah aku berhasil membalas dendam pada orang itu.
Karena aku tidak pernah menangis saat membaca novel orang itu.
Beberapa novel mereka terkenal bisa membuat pembaca menangis, tapi saat aku membacanya, yang kurasakan hanyalah bahwa mereka sengaja menulis agar pembaca menangis, dan aku tidak pernah benar-benar tersentuh.
Orang itu sebagai penulis memang sangat rasional, dan sudut pandang objektifnya adalah kekuatan utamanya. Bahkan ketika tampak ada adegan penuh emosi, kenyataannya adegan itu ditulis dengan perhitungan.
Keterampilannya memang luar biasa, jadi tak ada yang salah dengan novelnya. Tapi, aku merasa tulisannya kurang memiliki emosi yang benar-benar nyata, dan bagi mata seorang Hiyodoribana sensei, itu terlihat seperti kekurangan daya tarik.
Orang itu menganggap novelnya sebagai karya yang luar biasa, dan memang ada beberapa yang bisa disebut sebagai mahakarya. Tapi aku sama sekali tidak berpikir kalo karya orang itu adalah yang terbaik.
Entah sejak kapan, aku mulai memikirkan hal itu.
Perjalanannya sangat panjang dan tidak mudah. Penuh dengan penderitaan dan kegagalan. Karena Hiyodoribana Setsuko adalah monster dalam dunia sastra, ada jurang tak terjembatani antara seseorang yang lahir berbakat dengan yang tidak, dan kerja keras biasa saja tidak akan cukup.
Tapi jika aku benar-benar mengarahkan dan membantu sepenuhnya, mungkin...dia bisa melakukannya.
Setelah aku bertemu dengan Utsugi, berbicara dengannya, dan mengenalnya lebih dalam, aku semakin yakin. Energi yang begitu berkilau dalam diri Kusaki adalah sesuatu yang tidak pernah ada dalam karya orang itu. Bersama Kusaki, aku bisa mencapai tempat-tempat yang tak bisa kucapai sendirian.
...Aku.
Aku ingin membuat Utsugi menulis novel yang lebih baik daripada si wanita sialan itu.
Kusaki bisa melakukannya. 'Ryu no Kago Zuri' yang sedang ditulisnya sekarang, juga 'Tensai Hiyodoribana Sensei no Oshigoto!’ yang akan datang, semuanya adalah langkah menuju tujuan itu.
Bersama-sama, suatu hari nanti, kami pasti bisa menulis cerita yang jauh lebih mengguncang dunia daripada novel si wanita sialan itu.
Pada akhirnya, kami di suguhi makan malam, dan setelah itu kami bermain board game bersama Kakak Hiyodoribana. Dia menawarkan untuk mengantarku pulang, tapi aku menolak dan memilih pulang dengan bus.
Begitu sampai di rumah, ibuku langsung memanggil dari ruang tamu. Karena aku sudah memberi tahu aku akan pulang larut, suasananya santai.
"Selamat datang! Bagaimana di rumah Hiyodoribana-chan? ...Itsuki?"
"Aku pulang. Aku mau mandi dulu."
Di bawah pancuran air panas, Kusaki mulai berpikir.
...umah Hiyodoribana menyenangkan.
Hiyodoribana yang ceria berkata sambil tertawa bahwa kakaknya jauh lebih buruk dalam memasak, tapi pasta krim yang dibuat Kakak Hiyodoribana sudah cukup enak.
Bisa berbincang dengan nenek Hiyodoribana juga menyenangkan, dan mendengar kisah-kisah dari masa kecil Hiyodoribana, termasuk masa dia menjadi artis cilik dan ceritanya dari masa SMP, sangat menarik. Kisah tentang Hiyodori yang berusia empat tahun Hiyodoribana bermain dengan kencing di kamar mandi bersama kakaknya membuat Hiyodori berteriak Gyaa! dan wajahnya memerah, itu sungguh lucu.
Melihat ruang tempat Hiyodoribana merekam video dan foto-fotonya saat menjadi artis cilik bersama pemeran lain juga menarik.
Secara keseluruhan, itu adalah waktu yang penuh dengan pengalaman luar biasa.
Tapi, di tengah suara air mengalir dari pancuran, ada kata-kata yang terus terngiang di kepalanya.
────Utsugi, apa kau benar-benar tega mengubah novel murni yang kau tulis untuk nenekmu dengan hal-hal seperti struktur tiga babak, menghancurkannya dengan hiasan-hiasan permukaan?
──Aku ingin Utsugi menulis novel yang lebih baik daripada si wanita sialan itu.
Setelah selesai mandi, Utsugi berdoa di altar Buddha di ruang tamu bergaya Jepang, lalu berbincang sebentar dengan kedua orang tuanya sebelum menuju ke kamar tidurnya di lantai dua. Di smartphone yang telah ia sambungkan dengan kabel pengisi daya sebelum mandi, sebuah pesan masuk.
Bukan dari Hiyodoribana, melainkan dari Ayame. Sambil mengeringkan rambut dengan handuk, Utsugi memeriksa isi pesan tersebut, lalu segera menelepon Ayame.
"Ya, halo."
Ayame langsung menjawab.
Utsugi langsung bertanya tanpa basa-basi.
"Apa ada kabar dari Fujibakama? Apa katanya?"
"...Dia bilang mungkin dia tidak bisa datang ke klub sastra super untuk sementara, atau mungkin akan berhenti. Utsugi, ini bukan salahmu, bukan juga salah Hiyodoribana. Sebenarnya, Fujibakama juga pasti tahu itu. Ini hanya soal nasib yang tak bisa dihindari, dan siapa pun butuh waktu untuk bisa menerimanya."
Johan menyadari kembali siapa dirinya sebenarnya dan seperti apa dirinya sebagai seorang manusia.
"Benar, johan. Itulah esensimu yang sebenarnya. Bukan sebagai jenius yang menangkap naga sepanjang 50 meter pada usia termuda dalam sejarah. Bukan sebagai pembalas dendam yang ingin membalas dendam pamannya. Bukan seseorang yang mendambakan ketenaran dan kekayaan sebagai penangkap naga terbaik di Kekaisaran. Bukan kekasih yang menemani aku, yang terkena racun naga. Kau adalah...”
Sambil berbicara, Nagi menyerahkan tongkat pancing naga yang begitu rusak hingga membuat Yohan hampir tertawa. Itu adalah tongkat yang digunakan Nagi saat berlatih. Tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan tongkat pamannya yang patah di tengah pertarungan mematikan di Hutan Jabberwock.
Tapu, tatapan Nagi saat melihat Yohan sudah mengatakan segalanya.
Apa itu penting?
Tepat. Tidak penting.
Seluruh tubuhnya masih terasa sakit. Luka-lukanya hampir belum sembuh. Tapi Johan tidak bisa menahan senyum yang mengembang. Dia begitu bersemangat. Karena Nagi baru saja menyerahkan tongkat pancing naga yang baru. Mendorongnya untuk maju lagi. Apa artinya ini?
Artinya, dia bisa kembali pergi memancing naga lagi.
Kegiatan yang paling menyenangkan bagi Johan, sesuatu yang menjadi alasan hidupnya.
"...Aku salah. Benar. Sulit dan menyakitkan. Aku khawatir tentangmu, Nagi. Aku takut melanggar janji pada paman. Aku takut dikeluarkan dari Anglers' Guild. Tapi jika semua itu cukup untuk membuatku berhenti, aku tidak akan mengabdikan hidupku pada permainan berbahaya seperti ini. Aku menjadi penangkap naga karena aku menikmatinya. Perasaan bergejolak di dadaku, panas yang membara dalam diriku, itulah jawabannya. ...Terima kasih, Nagi."
“Ya.”
Nagi tersenyum.
"Selamat jalan. Sesuai permintaanmu, aku akan mengenakan pakaian dalam seksi dan menunggumu."
──Aku merasakan kebahagiaan karena aku yang memutuskannya.
──Bukan karena pendapat orang lain, tapi aku sendiri yang memutuskan.
Tidak perlu dipengaruhi oleh pendapat orang lain. Tekanan sosial yang tidak masuk akal tidak ada artinya. Yohan hanya memiliki satu kehidupan yang tidak bisa diulang, hari-hari yang tidak bisa diulang, dan hidup yang terbatas. Tidak ada waktu untuk hal-hal yang tidak penting.
Kali ini, aku akan menangkap naga itu.
Sungguh menyenangkan.
★ ★ ★
Fujibakama sedang di kamarnya, meringkuk di atas futon, sambil mengunyah keripik kentang dengan keras. Sambil juga merasakan rasa bersalah, kebencian pada dirinya sendiri, dan kenyataan yang pahit.
★ ★ ★
Dua minggu setelah kunjungannya ke rumah Hiyodoribana.
Kusaki telah menyelesaikan revisi 'Ryu no Kago Tsuri' hingga bagian yang baru ditulis. Dia menulis hingga kata terakhir tanpa memperlambat temponya, karena menulis cerita itu sangat menyenangkan baginya.
Tapi, ada satu alasan kenapa dia tidak bisa benar-benar bersemangat seperti seharusnya.
Salah satunya adalah masalah klub sastra.
...Fujibakama, sejak hari dia meninggalkan ruang klub, belum pernah datang ke klub lagi.
Tentu saja, dia masih datang ke sekolah. Tapi setiap kali Utsugi berusaha menemui, dia selalu menghindar. Pada awalnya, Ayame menasihatinya agar tidak memaksakan diri untuk mendekati Fujibakama, dan Utsugi pun tidak berusaha memaksa.
Tapu, ini sudah terlalu lama. Hiyodoribana juga mulai khawatir, bahkan sempat mengungkapkan hal itu dengan jelas.
"Apa ini karena aku berpacaran dengan Utsugi...? Aku harus melakukan sesuatu..."
Bagi Utsugi, Fujibakama adalah saahabat, seperti kakak baginya, dan mereka tidak pernah memandang satu sama lain sebagai pasangan. Tapi, kini Utsugi mulai merasa, mungkin memang ada sesuatu yang salah.
Hal lain yang mengganggu pikiran Kusaki selama dua minggu ini adalah keraguannya.
Tentang Ryu no Kago Tsuri yang sudah selesai, dan juga tentang Tensai Hiyodori Bana-sensei no Oshigoto! yang akan segera dia kerjakan secara serius. Tapi, ini bukan hanya tentang dua cerita tersebut.
Ini adalah masalah mendasar yang membentang antara Utsugi dan Hiyodoribana.
Hiyodoribana, yang memanfaatkannya untuk mengalahkan ibunya yang sangat dibencinya, mengarahkan Utsugi untuk menulis novel-novel tersebut.
Tapi, apakah ini adalah novel-novel kebebasan Utsugi, atau hanya menjadi bagian dari pembalasan dendam Hiyodoribana? Apakah cerita yang baru saja ia selesaikan, dan Tensai Hiyodori Bana-sensei no Oshigoto! yang dia antusias untuk tulis, benar-benar seperti janji yang pernah ia buat kepada neneknya saat masih kecil—novel yang benar-benar dia inginkan?