> CHAPTER 3

CHAPTER 3

 Kamu saat ini sedang membaca  Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu  volume 1  chapter 3. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw





  .......SITUASI LIBURAN MUSIM DINGIN MAHASISWA....... 




Aku punya banyak waktu dalam kehidupan kuliah ku.


Saat aku masih duduk di bangku SMP dan SMA, waktuku banyak ku habiskan untuk kegiatan klub dan belajar menghadapi ujian, sehingga hampir tidak ada waktu bebas bagiku. Tapi, kehidupan kuliah terasa luar biasa nyaman.


Kalo sekarang mengigatnya lagi, mungkin tahun pertama kuliah adalah masa yang paling memuaskan dalam hidupku.


Pengalaman pertama bergabung dengan klub, pertama kali tinggal sendiri, dan punya pacar yang manis.


Nilai akademikku pun cukup stabil, itu benar-benar terasa seperti kehidupan yang sempurna.


Tapi, yang namanya terbiasa itu memang menakutkan.


Lama-kelamaan perasaan bahagia itu memudar dan kehidupan seperti itu menjadi hal biasa.


Aku mulai jarang pergi ke klub, dan pacarku pun selingkuh.


Mungkin terdengar klise, tapi baru setelah kehilangan aku menyadari betapa besar peran hal-hal itu dalam mengisi hatiku.


Yang tersisa padaku hanya kehidupan sendiri yang bebas, tapi belakangan ini rasanya sudah tidak sepuas dulu lagi.


"Gagal..."


Aku menyentuh wastafel di dapur, dan tanpa sadar mengeluarkan suara keluhan.


Ternyata ini akibat menunda-nunda untuk membersihkannya.


Aku mengelap cairan kental yang menempel di sarung tangan karet dengan tisu dapur.


Manfaat tinggal sendiri bisa berbeda bagi setiap orang.


Tidak ada pengawasan orang tua, hidup yang bebas. Bisa dengan mudah mengundang teman atau pacar ke rumah.


Tapi, hidup sendiri yang dulu kurasa nyaman, sekarang terasa lebih banyak kerugiannya.


Aku melempar sarung tangan karet ke tempat sampah dan untuk sementara menghentikan membersihkan wastafel.


Hari ini aku harus pergi ke kampus untuk menyerahkan laporan seminar kepada dosen.


Walaupun sudah 3 hari melewati batas waktu, karena sering menjalin hubungan baik, dosen masih memberiku toleransi.


Aku juga merasa yakin kualitas laporanku kali ini lebih tinggi dari biasanya, jadi mungkin dosen juga akan puas.


Begitu membuka pintu depan beberapa sentimeter, hawa dingin langsung menerobos masuk.


"Uwah, dingin bet."


Aku bergumam, lalu melangkah keluar.


Meskipun baru saja melewati titik balik musim dingin, sinar matahari yang lembut menyambutku.


★★★



Kampus tempat ku berkuliah memiliki ukuran yang cukup ideal.


Terdapat berbagai tempat di dalamnya sehingga orang-orang tersebar dengan baik, dan kecuali saat istirahat siang, jarang terjadi kerumunan.


Di kampus yang terlalu luas, bahkan sulit untuk menemukan teman, jadi bisa dikatakan kampusku ini menyediakan lingkungan yang cukup nyaman untuk berinteraksi.


Tapi, kampus yang menyediakan lingkungan seperti itu saat ini sedang libur musim dingin.


Setelah mengumpulkan laporan, aku berjalan-jalan sebentar di dalam area kampus, tapi aku jarang melihat teman-temanku atau bahkan mahasiswa lain.


Kalo aku pulang ke rumah sekarang, aku harus melanjutkan pembersihan yang sempat terhenti, sehingga hari ini aku merasa enggan untuk pulang.


Ketika melihat mesin penjual otomatis, aku perlahan mengeluarkan dompetku.


Setidaknya, aku ingin beristirahat sejenak sambil menikmati kopi susu dan melupakan kenyataan sejenak.


Tapi, saat aku memasukkan koin ke mesin, kaleng kopi tiba-tiba jatuh dengan suara keras.


"...Kenapa?"


Aku mengambil kaleng kopi yang jatuh sambil merasa heran.


Tiba-tiba, terdengar suara yang familiar dari belakang.


"Fufufu. Terima kasih atas pembeliannya, Senpai."


Saat aku berbalik, mantan Santa, Shinohara Mayu, sudah berdiri di sana.


Kecantikannya masih sama mencolok seperti saat pertama kali kami bertemu. Lagipula, jarang ada wanita yang begitu cocok mengenakan kostum Santa.


Shinohara mengambil kaleng kopi dari tangan ku dan, dengan senyum ceria, bersiap untuk membukanya.


Dia minum dengan gembira sesuatu yang dibeli dengan uang orang lain—mungkin justru karena itu membuatnya lebih senang.


"Kenapa kau ada di sini? Sekarang kan libur musim dingin."


Tampaknya reaksi ku tidak sesuai harapannya, karena Shinohara mendengus kecil dan mengembungkan pipinya.


"Senpai, biasanya orang akan senang bisa bertemu dengan ku saat libur musim dingin, lho."


"Baiklah, ini."


Aku menunjuk ke tempat koin di mesin otomatis, meskipun ini agak kekanakan.


Shinohara tampaknya memahami maksud ku dan mengambil dompet dari tasnya. Tas bermerek yang biasanya digunakan oleh mahasiswi terlihat semakin serasi di tangan Shinohara.


"Jangan cemberut begitu, memang sejak awal niatku begitu. Kau mau beli apa tadi?"


"Cafe au lait."


"Baiklah."


Shinohara dengan patuh menekan tombol di mesin penjual otomatis dan mengambil Cafe au lait kalengan.


"Ini dingin, tapi apa ini tidak apa-apa?"


"Tidak apa-apa, aku memang suka Cafe au lait dingin."


"Nanti tubuhmu kedinginan, lho."


Shinohara berkata dengan sedikit khawatir, tapi dia sudah menyadarinya. 


Bahkan di musim dingin, minuman yang kubeli selalu dingin. Saat membuka kaleng dan meneguk Cafe au lait itu, aku merasakan manisnya menyebar di mulutku. Bagiku, itu adalah momen yang menenangkan hati, lebih dari sekadar merokok.


"Senpai, terima kasih banyak untuk waktu itu."


"Hm?"


"Jangan hanya ‘hm’ saja. Ini tentang masalah dengan Yudou-senpai."


"Oh, itu ya. Aku kan sudah menerima ucapan terima kasihmu."


"Aku tahu, aku hanya ingin mengucapkannya lagi."


Shinohara membuka kalengnya dengan perlahan, lalu langsung meneguk kopinya hingga habis.


"Ugh, pahit."


"Kenapa diminum kalo begitu..."


Meskipun labelnya bertuliskan 'sedikit manis', rupanya itu belum cocok di lidah Shinohara. Ia menghela napas sambil berkata, "Seharusnya aku tidak menekan tombol secara sembarangan," lalu membuang kaleng kosong itu ke tempat sampah. 


Tempat sampah musim liburan itu hampir kosong, sehingga kaleng itu masuk tanpa suara.


"Lalu, Senpai, mumpung kita bisa bertemu secara kebetulan seperti ini, aku ingin segera membalas kebaikanmu yang waktu itu."


"Hah?"


Aku menghentikan tanganku yang hendak meneguk Cafe au lait ku dan mengernyit.


"Tidak perlu begitu. Membalas secara pribadi juga terdengar aneh, bukan?"


Rencana awal untuk acara pertemuan seharusnya memang dilakukan oleh Ayaka, jadi seharusnya kalo ada yang harus mengganti kerugian, itu adalah Ayaka. Meskipun, menurutku Ayaka tidak akan meminta ganti rugi atas kejadian itu.


Tapi, Shinohara menggelengkan kepalanya.


"Bukan soal ganti rugi. Ini lebih kepada balas budi. Hari itu, senpai sudah membantu ku."


"Kepadaku? Aku tidak melakukan apa-apa."


"Aku yang merasa berhutang budi, jadi senpai diam saja."


"Kau benar-benar seenaknya saja ya..."


Saat itu, yang kulakukan hanya menyampaikan pendapatku lewat hp. Kalo setiap hal kecil seperti itu harus dibalas, aku akan kerepotan.


"Biasanya, kalo hanya dengan keberadaanku saja, sudah cukup untuk melunasi hutang budi ini. Tapi, senpai bukan tipe orang yang begitu, jadi... hmm."


Aku mencoba menghentikan Shinohara yang terus melanjutkan omongannya seorang diri.


"Aku, yang berperan sebagai Santa, akan mengabulkan satu permintaan senpai. Apa pun, silakan."


"Itu, aku tidak membutuhkan apa-apa─"


Saat aku hendak menolaknya, tiba-tiba aku terpikir tentang wastafel dapur yang kotor. 


Akhir-akhir ini, itu hal yang paling merepotkan bagiku.


"─Pekerjaan rumah."


Begitu aku mengatakannya, Shinohara terlihat terkejut. Tidak lama kemudian, dia tertawa terbahak-bahak.


★★★



"Hei, kau benar-benar mau datang ke rumahku?"


Begitu kami sampai di depan pintu apartemen ku, aku kembali memastikan pada Shinohara.


Meskipun ucapanku tadi keluar begitu saja, tapi tetap saja kenyataannya aku akan mengundang seorang wanita masuk ke kamarku.


Awalnya aku bermaksud menjadikannya lelucon, tapi Shinohara malah tertawa dan menyetujuinya.


"Aku akan mengelilingi rumahmu setelah kau selesai beres-beres!" katanya, sambil meninggalkan kesan yang agak menyeramkan.


Sebenarnya, hal-hal yang mungkin membuatku malu semuanya ada di dalam hp-ku, jadi kekhawatiranku tidak terlalu besar. 


Tapi, tetap saja, rasanya agak tidak tenang memikirkan seseorang yang baru kukenal beberapa hari akan memeriksa rumahku.


"Kenapa, sih? Kok, senpai yang mengundang malah terlihat kurang antusias? Aku kan sudah bilang kalo aku mau datang."


"Yah, bisakah kita batalkan saja? Bagaimana kalo kau mentraktirku di kafe terdekat saja? Setelah dipikirkan lagi, aku ternyata cukup mahir dalam pekerjaan rumah."


"Jangan berpikir begitu sekarang. Kita sudah sampai di sini, kan? Udaranya juga dingin, ayo cepat izinkan aku masuk."


Shinohara memaksaku dengan senyum yang entah kenapa membuatnya terlihat seakan sedang merencanakan sesuatu.


Lucunya, senyum seperti itu malah menambah daya tariknya.


Akhirnya aku tak mampu menolak dan membuka kunci pintu.


Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku mengundang seseorang ke rumahku.


"Lho, kamar senpai ternyata lumayan bersih, ya?"


Begitu masuk, Shinohara langsung berkomentar dengan nada sedikit kecewa.


"Kalo ini dibilang bersih, memangnya kau membayangkan kamarku seperti apa?"


Ada mantel yang kupakai kemarin tergeletak di lantai, bungkus camilan yang kumakan pagi ini masih dibiarkan di lantai, dan berbagai kertas bertebaran di sana-sini. 


Bahkan dengan segala usaha, sulit menyebut ini kamar yang rapi.


"Aku sih membayangkan semacam kamar penuh sampah, jadi ini bukan apa-apa."


"Ternyata kau datang dengan bayangan seburuk itu, ya..."


Hanya membayangkan orang lain berpikir kamarku seperti tempat pembuangan sampah saja sudah mengejutkan. 


Memang aku tidak terlalu memperhatikan penampilanku, tapi aku selalu berusaha menjaga kerapian, jadi rasanya itu semakin mengejutkan.


Sementara pikiranku melayang, Shinohara meregangkan tubuhnya.


"Yah, aku juga tidak ada kegiatan, jadi aku akan cepat-cepat menyelesaikan pembersihannya."


Setelah mengatakan itu Shinohara meletakkan mantel yang dia kenakan di atas ranjang dan berdiri di depan dapur.


Saat dia menggulung lengan bajunya, kulit putihnya terlihat.


"Ada apa?"


"Tidak, tidak ada apa-apa."


Aku mengalihkan pandanganku dan meletakkan jaketku di atas ranjang.


Di depan dapur rumahku, ada seorang wanita yang baru saja kukenal.


Hal ini pasti tidak pernah terpikirkan olehku sebulan yang lalu.


"Kalo kau membiarkan pakaian berserakan, nanti akan kusut, lho."


"Tenang saja, aku bisa melakukannya sendiri."


Aku menghentikan langkah Shinohara yang ingin mengambil pakaianku dan menggantung mantel serta jaket di gantungan.


Memang, rumah jelas merupakan tempat yang damai ketika sendirian. Tapi, kalo ada orang lain masuk, itu menjadi situasi yang berbeda.


Shinohara mengatakannya lebih bersih dari yang dia bayangkan, tapi kamarku biasanya jauh lebih rapi dari ini.


Tiba-tiba merasa malu dengan kamar yang berantakan, aku mulai membereskan barang-barang yang terlihat acak.


"Senpai, kenapa sih kau tinggal memilih sendirian?"


"Kenapa? Yah, banyak alasan."


"Ah, banyak alasan, ya."


Shinohara menjawab dengan nada santai sambil mengenakan sarung tangan karet.


Untungnya, peralatan pembersih masih terletak di atas meja dapur, sehingga Shinohara langsung mulai membersihkan dengan cekatan.


"Kenapa kau tiba-tiba bertanya tentang itu?"


Karena suara air yang mengalir dari keran cukup keras, aku sedikit meninggikan suara.


Berkat itu, Shinohara menjawab dengan timing yang sama seperti biasanya.


"Hmm. Soalnya, hidup di rumah lebih nyaman, kan? Pasti ada masakan yang siap ketika pulang. Lagipula, aku rasa senpai tidak terlalu mahir memasak, jadi hal itu penting."


Hidup di rumah lebih nyaman.


Itu adalah hal yang sudah lama aku pikirkan.


Tinggal sendirian memang memberikan kebebasan, tapi, meskipun ini hal yang wajar, aku harus merawat diriku sendiri.


Ternyata, merawat diri sendiri ini cukup merepotkan, dan aku jadi ingat betapa hebatnya ibuku yang selalu merawatku dan bahkan keluargaku.


"Baiklah, selesai!"


"Eh, sudah selesai?"


Saat aku melihat ke dalam wastafel, kondisinya jauh lebih bersih dibandingkan sebelumnya. 


Kotoran-kotoran kecil pun telah hilang, dan bahkan ada kilauan di sana.


"Hebat juga kau bisa membersihkanya secepat ini. Rasanya seolah-olah aku sudah memikirkan hal yang merepotkan itu dengan sia-sia."


"Ya, aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Lagipula, aku juga tinggal sendirian."


Shinohara mengangguk puas dan membuang sarung tangan karet ke tempat sampah.


"Kalo begitu, sekarang aku akan memasak makan siang untuk mu. Senpai, silakan bersantai saja."


"Eh, Apa kau benar-benar akan memasak untukku? Ada apa? Apa kau ingin aku membelikanmu sesuatu untuk mu? Aku tidak punya uang."


"Kan sudah ku bilang kalo aku ingin membalas budi, jadi jangan bicara aneh-aneh. Lebih baik kau nonton TV saja."


Dia mendorongku dan aku pun duduk di atas ranjang.


Shinohara tampaknya tidak ingin membiarkanku membantu, jadi dia menegaskan, "Tolong santai saja."

Mungkin dia bisa melihat masa depan di mana masakanku akan menjadi bencana jika aku mencoba membantu. 


Sebenarnya, aku tidak seburuk itu dalam memasak, tapi kalo Shinohara tidak menginginkanku untuk ikut campur, ya sudah.


Aku mengambil remote dan menyalakan TV.


Acara yang muncul membahas isu perselingkuhan selebriti, yang jelas tidak menarik bagiku yang minim minat terhadap dunia hiburan.


"Meski ini akhir tahun, tetap saja konyol."  


Setiap kali melihat program gosip selebriti, aku merasa jenuh. 


Tapi, pasti ada orang yang menemukan hal itu menarik.


Tiba-tiba, ponselku bergetar, dan aku langsung melihat layarnya.


Ada notifikasi pesan dari Ayaka.


"Ayo bermain."


Dia ini Kek siswa SD.


Aku hampir saja mengucapkannya.


Biasanya aku akan menunggu beberapa saat sebelum membalas, tapi aku tidak punya banyak waktu saat ini.


Ketika beralih ke layar percakapan, jari-jariku mulai mengetik.


"Beritahu aku waktu dan tempat, serta apa yang akan kita lakukan. Aki sih gas aja, tapi..."


"Pada besok malam tanggal 29, pergilah berbelanja di department store!!"


"Sekarang kan sudah besok!"


Dia mengajakku di saat-saat terakhir, seolah-olah mengira aku tidak punya rencana apapun. 


Kenyataan itu semakin membuatku kesal.


Dari situ, percakapan dengan Ayaka berlanjut cukup lama. Semua topiknya tidak ada artinya, tapi itu lebih baik daripada menonton acara gosip yang membosankan.


Ketika percakapan beralih ke topik kencan grup yang lalu, Shinohara memanggilku.


"Senpai, maaf membuatmu menunggu."


Ketika aku menoleh ke arah suara itu, Shinohara sedang membawa piring besar.


Aku memasukkan Hp-ku ke saku dan bangkit dari ranjang.


Di atas piring besar itu, terdapat banyak sandwich.


"Wow!"


Tanpa bisa menahan diri, aku merasa senang. Meskipun ini hanya situasi kebetulan, kupikir masakan tangan seorang gadis adalah sesuatu yang jarang aku temui sebagai orang yang lajang.


Melihat reaksiku, Shinohara mengangkat bahunya.


"Karena hanya ini yang ada, aku hanya bisa membuat ini. Senpai, lain kali tolong isi kulkasmu sedikit lebih banyak bahan makanan."


"Eh, tidak, tidak... ini terlihat sangat enak!"


Sandwich tersebut terisi tuna, telur, ham, dan kol, semua bahan standar untuk sandwich. 


Aku terkejut bisa mendapatkan makanan sebaik ini dari lemari es yang berantakan itu.


"Aku senang mendengarnya. Kalo sandwich saja bisa membuatmu senang, seharusnya aku mencoba membuat masakan yang lebih rumit." 


Meski aku sangat ingin segera meraih sandwich yang diletakkan di meja, aku ingat untuk mengucapkan salam terlebih dahulu.


"Itadakimasu. Terima kasih telah membuat ini."


"Silakan, silakan. Rasanya seperti ada hasil dari apa yang dibuat." 


Shinohara tersenyum canggung.


Melihat ekspresi yang belum pernah aku lihat sebelumnya, tanganku yang ingin mengambil sandwich terhenti.


"Eh, ada apa?" 


"Ah... tidak. Aku hanya berpikir kalo kau ternyata bisa menunjukkan ekspresi seperti itu juga."


Setelah berpikir untuk mengalihkan perhatian, aku akhirnya mengungkapkan pikiranku secara langsung.


Kupikir dia akan berkata kalo aku aneh, tapi reaksi Shinohara berbeda.


"Eh, ekspresi seperti apa yang aku tunjukkan?"


"Entahlah, kau terlihat merasa malu. Yah, memalukan bagiku untuk mengatakan hal itu padamu."


"...Begitu ya."


Setelah itu, Shinohara tampak berpikir sambil mengusap dagunya dengan jari telunjuk.


"...Anak yang aneh," 


Setelah bergumam, aku mengisi pipiku dengan sandwichku.


Mayones yang dioleskan tipis sangat cocok dengan ham dan selada.


Karena dalam beberapa waktu terakhir aku hanya makan makanan dari konbini, kenyataan bahwa seseorang mau membuatkan makanan untukku membuat rasanya jauh lebih enak.


Shinohara juga tampaknya memutuskan untuk berhenti berpikir dan mulai makan sandwichnya, mengucapkan, "Itadakimasu," dengan nada ringan.


Makan bersama seseorang di rumah terasa aneh, tapi dengan Shinohara yang telah melepas mantel, dia anehnya terasa cocok di rumah ini.


"Ngomong-ngomong, apa senpai terlibat dalam suatu organisasi?"


"Hm? Sebetulnya aku ikut organisasi basket."


Sebetulnya yang aku sebutkan itu karena meskipun kegiatan organisasi diadakan 2 kali seminggu, aku hanya hadir sebulan sekali, atau bahkan tidak sama sekali.


"Kenapa?"


"Hm, aku sebelumnya bergabung dengan klub saat masuk kuliah. Jadi, aku tertarik dengan mahasiswa biasa seperti senpai."


"Kan banyak siswa lain di sekitarmu, kau tahu?"


Dengan penampilan seperti Shinohara, orang pasti akan mendekatinya tanpa perlu berusaha.


Tapi, Shinohara dengan tegas menggeleng.


"Orang-orang di sekitarku itu, kebanyakan adalah yang disebut 'pari-pi'. Karena aku terlihat menarik, mereka pasti akan langsung mendekat."


[TL\n:Pari-pi (パリピ) adalah istilah slang dalam bahasa Jepang yang berasal dari kata party people. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang sangat aktif dalam kehidupan sosial, khususnya yang sering menghadiri pesta, acara, atau kegiatan yang melibatkan hiburan dan berkumpul dengan teman-teman.]


Yang aku tahu tentang lingkaran Shinohara hanyalah Motosaka, dan memang benar orang seperti itu akan tertarik padanya.


Tapi, karena dia sudah mengatakan dirinya 'menarik', aku memilih untuk tidak menanggapi.


"Aku tidak terbiasa menganggap orang-orang seperti itu normal. Akhir-akhir ini, aku merasa jenuh dengan hubungan semacam itu."


"Jadi, itu alasanmu berkencan dengan Motosaka?"


"Ya, begitulah. Seperti yang aku katakan sebelumnya, aku tertarik dengan pengalaman cinta yang biasa dilakukan mahasiswa. Oh, dan tolong jangan membahas ini lagi. Aku sudah merenungkan hal itu."


Shinohara cemberut dan menggigit sandwich dengan lahap.


Dia makan dengan sangat lahap. Tapi, sepertinya sandwich yang dimasukkan ke mulutnya sudah melebihi kapasitas mulutnya, dan Shinohara meneguk airnya dengan panik


"Apa kau baik-baik saja?"


Saat aku menepuk punggungnya, dia tampak semakin tenang.


Setelah beberapa saat terdiam, Shinohara akhirnya membuka mulutnya lagi.


"Senpai, apa kau punya pacar?"


"Apa ini? Kau pergi dari semak ke semak lagi? Tidak ada, jika ada, aku tidak akan membiarkan perempuan masuk ke kamarku."


[TL\n:Pepatah "Kau pergi dari semak ke semak lagi" menggambarkan situasi di mana seseorang berpindah dari satu tempat atau keadaan ke tempat atau keadaan lain tanpa mencapai tujuan yang jelas atau tanpa kemajuan yang berarti. Ungkapan ini sering digunakan untuk mengekspresikan perasaan frustrasi terhadap seseorang yang tampaknya selalu berputar-putar atau tidak dapat membuat keputusan yang tegas.]


"Oh, begitu. Kau sangat serius ya. Itu langka di zaman sekarang!"


Senyuman menggoda di wajahnya membuatku berpikir kalo dia pasti tidak ingin menjalin hubungan dengan pria yang berselingkuh, itulah sebabnya dia bertengkar dengan Motosaka.


"Apa yang kau pikirkan?"


"Kau membicarakan hal yang kau tidak suka, ya?"


"Eh, apa kau benar-benar akan mengatakan itu padaku"


Shinohara mengerutkan keningnya dan meraih sandwich lagi.


Tiba-tiba, sepertinya dia teringat sesuatu dan langsung berdiri dengan cepat.


"Astaga, pekerjaan paruh waktu!!"


"Hah, jadi kau ada kerjaan sebelum ke sini?!"


Kalo dia berhenti bekerja karena aku, setelah Santa, aku harus membayar hutang lagi. Walaupun jarang ada kerjaan yang bisa membikin orang dipecat hanya karena terlambat, tapi tetap saja lebih baik kalo dia bisa tepat waktu.


Shinohara sepertinya sangat menyadari pentingnya waktu. Begitu dia menyadari, dia mulai bersiap-siap dengan cepat. Setelah mengenakan mantel, dia bergegas ke depan pintu dan dengan terburu-buru memasukkan kakinya ke dalam sepatu boots. Dia benar-benar terburu-buru.


"Maaf, aku membuatmu terburu-buru sebelum pekerjaan paruh waktumu."


"Pada saat seperti itu, tidak apa-apa untuk mengucapkan terima kasih saja, Senpai. Aku juga akan senang jika kamu bisa berterima kasih padaku atas makanannya!!"


Setelah berkata begitu, Shinohara menatapku dengan penuh harap.


"Baiklah, terima kasih!"


Dia sangat ingin mendengar kata-kata itu meskipun sedang terburu-buru. Shinohara terus melompat-lompat di tempat sambil menunggu jawabanku.


Dari pintu yang setengah terbuka, angin dingin masuk, tapi Shinohara sama sekali tidak tampak kedinginan.


Dia memang ceria.


"Terima kasih atas makanannya, terima kasih!"


"Fufufu, sama-sama."


Shinohara mengangguk puas sebelum berbalik.


"Baiklah, aku akan datang lagi!"


Dia membuka pintu dan berlari pergi.


Suara langkah kakinya perlahan menjauh dan akhirnya menghilang.


Aku masih berdiri di depan pintu, merenungkan kata-katanya sebelumnya.


Aku akan datang lagi kah? 


Sebenarnya, aku tidak suka mengundang orang masuk ke rumahku.


Tapi, mendengar kata akan datang lagi darinya, aku tidak merasa buruk.


"Kalo ternyata ini jebakannya, aku pasti akan jadi bahan tertawaannya."


Meskipun itu jebakan, aku tetap merasa beruntung kalo aku bisa makan masakan dari gadis secantik dia!


Aku bisa membayangkan perkataan Shinohara dengan senyuman nakalnya.


★★★


Rumah senpai lebih bersih dari yang aku duga.


Karena dalam permintaan itu ada kata-kata tentang pekerjaan rumah, aku membayangkan akan menemukan ruangan yang lebih berantakan.


Begitu aku masuk, hanya ada sedikit pakaian dan cetakan yang terjatuh di lantai. Pakaian dan dokumen yang tergeletak di atas tempat tidur sepertinya ditaruh dengan terburu-buru oleh senpai, membuat ruangan itu terlihat jauh lebih rapi dan membuat kehadiranku di sini terasa lebih berarti.


Sepertinya dia juga menyapu, karena di lantai yang terlihat bersih tidak ada kotoran yang mencolok.


Aku sempat berpikir kali senpai yang tampak teratur ini mungkin adalah orang yang tidak bisa melakukan apapun di rumah, tapi sepertinya anggapanku salah.


Jujur, aku sedikit kecewa dengan hal itu, jadi aku memutuskan untuk memasak makan siang dengan perasaan yang ringan.


Di dalam kulkas hanya ada sedikit bahan makanan, dan aku tidak bisa menahan diri untuk tidak terkejut. 


Apa senpai berpikir bisa memasak dengan bahan-bahan ini?


Tidak ada pilihan lain, jadi aku memutuskan untuk membuat sandwich. Sebenarnya, dari bahan-bahan itu, satu-satunya hal yang bisa kutemukan untuk dibuat adalah sandwich.


Sandwich yang lahir dari perasaanku itu ternyata dimakan senpai dengan sangat nikmat. Melihat senpai yang biasanya (meskipun tidak bisa kukatakan selalu, karena aku tidak banyak menghabiskan waktu bersamanya) memiliki ekspresi tenang, kini tersenyum dan mengunyah, membuatku merasa senang dan secara tidak sadar aku mengatakannya.


"Baiklah, aku akan datang lagi!"


Kali ini, aku ingin menyajikan masakan yang lebih rumit, bukan sekadar sandwich sederhana.


Rasanya sedikit tidak adil jika sandwich mudah ini dianggap sebagai masakanku.


Dengan pikiran itu, aku tersenyum lebar saat menuju tempat kerja paruh waktu ku.


Pertemuan dengan senpai mungkin merupakan yang terburuk.


Menyebar brosur saat kerja paruh waktu di Santa, rasanya salah satu cara bertemu yang paling buruk.


Tapi, aku cukup menikmati waktu berbicara dengan senpai.


Tampaknya cara pertemuan tidak terlalu berpengaruh pada hubungan antarmanusia.


Melihat lampu lalu lintas yang berkedip, aku mulai berlari.





Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال