Kamu saat ini sedang membaca Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu volume 1 chapter 4. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw
……AKHIR TAHUN……
Keesokan harinya, aku berjalan-jalan di dalam departemen store bersama Ayaka.
Interior department store telah berubah dari dekorasi Natal menjadi dekorasi Tahun Baru.
Spanduk berwarna merah putih memberi akhir tahun sangat terasa.
Departemen store ini tengah mengadakan obral akhir tahun, sehingga lebih ramai dari biasanya.
"Hari ini seharusnya kita tidak usah datang."
"Kau kan yang mengajakku ke sini..."
Aku menjawab dengan lelah, dan Ayaka menghela napas.
"Soalnya, hanya kau yang bisa kuandalkan untuk membawa barangku."
"Bukannya masih banyak orang lain yang bisa selain aku? Dasar, memanggil orang hanya untuk membawa barang."
"Aku malas, harus repot-repot perhatian sama mereka."
Sambil berkata begitu, Ayaka melangkah ke arah toko kosmetik.
Meskipun Ayaka memiliki hubungan pertemanan yang luas, aku tahu kalo tidak banyak orang yang bisa membuatnya nyaman tanpa harus banyak basa-basi.
Sebagai sosok populer di fakultas-nya, bagaimana perasaan pria biasa yang dimintai tolong sebagai pembawa barang oleh Ayaka? Setidaknya, saat ini aku ingin pulang.
"Hari ini aku datang untuk mencari kosmetik baru di departemen store. Kalo sampe makan waktu lama, kan tidak enak sama orang yang menemaniku."
"Aku bertanya-tanya kenapa perasaan tidak enak itu tidak berlaku untukku..."
"Karena kita saling percaya, kan? Kita punya hubungan yang baik, kan? Iya, begitu saja."
"Tidak begitu, dasar bodoh!"
Aku menabrakkan kantong kertas yang berisi baju musim dingin yang baru saja dibeli Ayaka ke bokongnya.
Terdengar suara tumpul yang cukup keras.
"Aduh! Bodoh, kau mengincar ke mana sih!"
"Diam, sadar diri kalo ucapanmu memang pantas untuk diperlakukan begitu!"
Ayaka berkata, "Itu jelas cuma bercanda," sambil mengusap bagian yang terkena tabrakan tadi.
"Pada dasarnya, di zaman sekarang, membeli kosmetik merek terkenal di internet lebih praktis, kan? Ada ulasan juga, kan?"
Kalo saja dia mau membelinya secara online, aku tidak perlu dibebani dengan banyak kantong belanjaan.
Selain itu, saat membeli sesuatu dengan uang, orang zaman sekarang cenderung memperhatikan ulasan.
Meski aku jarang melihat ulasan, aku sadar kalo itu hal yang jarang.
Tapi, secara tak terduga, Ayaka menggelengkan kepalanya.
"Kosmetik juga punya situs ulasan, dan dulu aku juga sempat mengandalkan itu. Tapi, ternyata ada promosi yang mensyaratkan ulasan bagus agar dapat hadiah,"
Kata Ayaka sambil menyisir rambutnya dengan jari.
Aku hampir terpesona oleh rambutnya yang berkilau, tapi aku berusaha untuk tetap fokus.
"Aku pernah membeli perawatan rambut dengan rating yang sangat tinggi, tapi rambutku jadi kaku sekali. Aku pikir ini aneh, jadi setelah aku cek ulasan dengan rating rendah, banyak yang bilang 'jangan tertipu' karena ada banyak ulasan palsu dan kita harus berhati-hati."
Inilah salah satu kelemahan mengandalkan ulasan.
Meski praktis, mempercayainya begitu saja juga bisa berbahaya.
"Nah, itu musibah untukmu."
"Yah, bukan cuma kosmetik saja. Kalo aku tidak mau menyesal, aku lebih suka melihat dengan mata kepalaku sendiri sebelum mengambil keputusan."
Setelah mengatakan itu dengan santai, Ayaka membungkuk dan mulai memilih eyeliner.
Sikap tegas seperti itu adalah salah satu daya tarik Ayaka.
Berapa banyak orang di sekitarnya yang tahu sisi seperti ini dari dirinya?
"Sayang sekali."
"Eh, kau pikir begitu? Harganya masih wajar, menurutku. Tapi bagaimana ya, mungkin ini agak mahal juga. Apa yang harus aku lakukan?"
...Sepertinya sikap tegasnya tidak berlaku dalam urusan belanja.
Aku asal menjawab, "Aku rasa itu bagus, ambil saja," sambil menggenggam kembali kantong kertas yang kupikul.
Aku merasakan beban berat di pundakku.
"Mau aku bantu membawanya?"
Ayaka tiba-tiba mengulurkan tangannya.
Untuk sesaat aku ragu, tapi aou kemudian menggelengkan kepalaku.
Membawa barang memang merepotkan, tapi membuat Ayaka membawa barang dan berjalan di sampingku juga terasa memalukan.
Kalo memikirkan apa yang akan dilihat orang lain, bisa dikatakan bahwa lebih baik aku tetap membawa barang ini sendiri.
"Iya, kan?"
Ayaka tersenyum seolah sudah tahu bahwa jawaban itu akan datang.
"Bukan cuma 'iya'. Aku akan meminta imbalan darimu sebagai gantinya."
Dengan nada sedikit menggerutu, Ayaka mengangguk dengan tulus.
"Aku akan mentraktirmu makan, mau?"
"Eh, serius?"
"Tentu saja. Kau kan sudah mengorbankan waktumu dan tenaga juga."
Kalo begitu, ceritanya benar-benar beda.
Perasaanku yang sempat kesal langsung berubah, dan mendadak berbelanja jadi terasa menyenangkan.
Perubahan ini rupanya tertangkap oleh Ayaka, yang kemudian tertawa kecil.
Mau bagaimana lagi, bagi seorang mahasiswa yang hidup sendirian, kata 'mentraktirmu makan' saja sudah bisa membuat semangat langsung naik.
Apalagi kalau yang menawarkannya adalah teman seumuran, tak ada alasan untuk menolak.
"Aku mau ke lantai belakang sekarang. Kau pilih dulu toko yang mau kau kunjungi di sini."
Ayaka meregangkan tubuhnya dan melambaikan lengan yang ramping ke kiri dan kanan.
Lalu, dengan langkah yang menggema karena hak sepatunya, dia menghilang ke arah lantai belakang.
Setelah memastikan dia sudah pergi, aku dengan penuh antusias mulai mengetik di Hp-ku.
Pencarian... ketemu.
Sebuah restoran di depan stasiun yang sudah lama ingin kukunjungi.
Aku pun membuat reservasi atas nama Mino Ayaka.
★★★
"Aku bilang akan mentraktir apa saja, tapi kenapa kita ke restoran biasa...?"
Ayaka berkata dengan nada tidak percaya.
Tempat yang kami kunjungi adalah sebuah kedai sederhana yang ramai dengan pegawai kantor dan mahasiswa.
Bagiku, ini adalah tempat yang ku suka, tapi sepertinya Ayaka kurang puas.
"Aku sih berpikir akan pergi ke restoran yang lebih keren."
"Ya sudah, lihatlah, ini terlihat enak kan, oden-nya?"
Sambil berkata begitu, aku menekan tombol untuk memesan.
Suara 'ping pong' yang ceria berbunyi, tapi suara itu tenggelam dalam keramaian di dalam kedai.
"Sungguh, aku berpikir untuk membuatmu makan sesuatu yang enak agar bisa menyenangkanmu, karena biasanya kau tidak makan sesuatu yang mewah."
"Alasanmu mengerikan!"
"Faktanya memang benar kan kalo kau tidak makan sesuatu yang mewah?"
Setelah mengatakan itu, Ayaka menerima menu dariku dengan tampang putus asa dan mulai membolak-balik halaman.
Wajah cemberut Ayaka perlahan-lahan bersinar.
Ketika pelayan datang dengan panci berisi oden, Ayaka mengeluarkan suara ceria.
"Wow, ini banyak sekali!"
"Ini dia, yang sudah sejak lama ingin aku coba! Dengan 2000 yen, ini terlalu murah untuk jumlah segini!"
Setelah cukup banyak porsi oden yang cukup untuk dibagi diletakkan di meja, dan Ayaka mulai menyendoknya ke piring kecil.
"Ini, untukmu."
"Terima kasih."
Aku segera mulai makan dari lobak kesukaanku, dan rasa kuah oden meledak di mulutku.
Ayaka juga memperlihatkan ekspresi senang maksimal dan menggigit bola berisi mochi dengan riang.
Kapan tepatnya kita bisa makan bersama tanpa merasa canggung seperti ini, ya?
Setidaknya, selama masa SMA, meskipun kami kadang makan siang ber-2, tapi itu perlu keberanian tertentu untuk melakukannya.
Keberanian untuk terjun ke ruang ber-2. Keberanian untuk menghadapi ejekan dari teman-teman. Keberanian untuk menghadapi rasa iri.
Hanya untuk makan bersama, tapi banyak keberanian yang dibutuhkan, dan frekuensinya jauh lebih sedikit dibandingkan sekarang.
Keberanian itu tidak lagi diperlukan karena hubungan kami telah berubah sejak SMA...mungkin itu salah satu alasannya.
Tapi lebih dari itu, lingkungan kami telah berubah.
Setelah masuk kuliah, semua orang menjadi lebih toleran, atau bisa dibilang, acuh tak acuh.
Kami semakin mendekati kedewasaan.
Aku tidak bisa tidak merasakannya, bahkan dari momen makan yang sepele ini.
Kami kini sudah menjadi mahasiswa tahun ke-2.
Kalo memikirkan tentang pencarian kerja, kehidupan mahasiswa yang tenang ini tidak akan bertahan lebih dari setahun lagi.
Itu sangat menakutkan bagiku.
Gelar bebas sebagai pelajar.
Waktu kehilangan gelar itu sudah semakin dekat, dan itu membuatku merasa cemas.
"Nah, kenapa kau memasang ekspresi aneh seperti itu?"
Suara Ayaka membawaku kembali ke kenyataan.
Di piring kecilku, entah kapan ada chikuwa yang ditambahkan.
Ayaka meletakkan sumpitnya dan memiringkan kepalanya arahku.
"Apa oden-nya tidak enak?"
Padahal ini adalah tempat yang aku rekomendasikan, tapi Ayaka mengucapkan hal semacam itu.
Artinya, ekspresiku mungkin sangat berbeda dari biasanya.
"Tidak kok, hanya saja...aku merasa kita sudah semakin dewasa, ya."
Setelah aku mengatakan iti, Ayaka tertawa sambil berkata, "Hah?"
"Ya, kita sudah lebih dari 20 tahun."
"Benar."
Setelah berusia 20 tahun, kita dianggap dewasa.
Itu adalah hal yang wajar.
Tapi meskipun menyadari hal yang wajar itu, aku sama sekali tidak merasa seperti orang dewasa sekarang.
"Dewasa dan orang dewasa itu berbeda, kan?"
Mendengar kata-kataku, Ayaka terlihat sedikit serius.
"Ya, mungkin berbeda. Banyak orang yang tetap kekanak-kanakan meskipun usianya bertambah."
"Dulu aku berpikir, begitu melewati usia 20 tahun, hati ini akan menjadi dewasa. Tapi kenyataannya tidak terlalu berbeda, kan?"
Hari ulang tahun ke-20 selalu dipenuhi dengan harapan akan bertambahnya usia.
Meskipun saat itu aku sudah tidak berpikir bahwa aku akan menjadi dewasa secara instan, tapi tetap saja, ada perbedaan dalam sikapku dibandingkan dengan ulang tahun biasanya.
Beberapa hari setelah usiaku menjadi 20 tahun terasa sangat memuaskan.
Minuman di izakaya terasa lebih enak dari biasanya, dan obrolan santai dengan teman-teman semakin sering menyentuh topik ekonomi dan politik.
Tapi, itu saja.
Setelah itu, kehidupan sehari-hari di oampus berlanjut seperti biasa.
Tidak lagi anak-anak, tetapi juga belum sepenuhnya dewasa.
Mahasiswa berusia di atas 20 tahun berada dalam keadaan menggantung, antara dua fase kehidupan.
"Aku ingin kembali ke masa SMP dan SMA. Tanpa memikirkan apa-apa, ingin merasakan masa-masa muda di klub lagi."
"...Ya, kalo bisa kembali, aku juga ingin."
[TL\n: jujur gua juga pengen kembali kemasa masa itu, pas masa itu gua gak terlalu menikmatinya, dan yang paling parahnya pas pandemi covit gua gak serasa lagi sekolah, asli, pas masuk sekolah eh taunya udah ujian ke lulusan.]
Ayaka menunjukkan ekspresi melankolis.
Bertolak belakang dengan perasaan hatinya, roda waktu terus berputar tanpa henti.
Akankah ada hari di mana aku bisa dengan bangga mengatakan bahwa aku adalah orang dewasa?
"...Eh, ada apa?"
Seolah khawatir dengan nada lembutku yang tiba-tiba, Ayaka menatap wajahku.
Merasa tidak ada yang benar-benar terjadi justru membuatku merasa bersalah.
"Ah, maaf, tidak ada apa-apa. Serius, tidak ada."
"Begitu? Kau tiba-tiba saja terkesan sentimental."
Suasana tahun baru yang khas mungkin membuatku merenung seperti ini.
Tapi, ada satu hal lagi yang terlintas di pikiranku.
Shinohara.
Meskipun kami hanya berbeda 1 tahun, aku merasa jarak kami seperti jauh sekali.
Bukan karena dia terlihat kekanak-kanakan untuk usianya, atau karena aku terlihat lebih tua, tapi entah kenapa ada perbedaan energi sebagai manusia yang terasa sangat mencolok.
Melihat Shinohara, aku merasa seolah-olah aku telah tumbuh menjadi seseorang yang lebih berpengalaman dan mungkin sedikit kelelahan.
Perasaan samar ini telah menumpuk tanpa kusadari dan mungkin tiba-tiba membuatku merasa murung.
Tapi, perasaan itu tidak akan kukatakan.
Tidak ada gunanya mengatakannya, dan itu hanya akan membuat Ayaka merasa terbebani.
Karena Ayaka sudah mentraktirku, aku harus menikmatinya.
Setelah aku berpikir seperti itu, aku mengangkat sumpitku.
Baiklah, aku akan makan!
"Sudah tidak ada sisa lagi."
Dengan nada terkejut, Ayaka menghela napas dan menyerahkan piring kecilnya padaku.
Di situ terletak potongan lobak terakhir.
"Aku akan memeberimu setengah."
"Serius? Terima kasih!"
Setelah membelah lobak itu, aku memasukkannya ke mulutku.
Meskipun sedikit dingin, tapi rasanya tetap enak.
Ayaka memperhatikan ku mengunyah sambil bersandar pada tangannya untuk beberapa saat, lalu dia berkata,
"Walaupun kita sudah dewasa, kita tetaplah harus bertemenan oke."
Apa itu berarti dia ingin kita tetap berteman seperti sekarang?
Tanpa ragu, aku mengangguk, dan Ayaka tersenyum.
Aku sangat suka melihat senyum Ayaka seperti itu.
Meskipun tidak terucap, perasaan itu muncul dalam pikiranku.
★★★
Pagi hari setelah perjalanan belanja dengan Ayaka, Suara interkom berbunyi.
Ketika aku membuka tirai, matahari masih bersinar cerah di timur.
Bagi seseorang sepertiku, yang menjalani hidup malas selama liburan panjang tanpa rencana, bangun di pagi hari adalah hal yang paling menyiksa.
Aku merasa terbangun oleh suara interkom, tapi aku merasa malas untuk bangkit dari tempat tidur hanya untuk memeriksa.
Jadi, aku memutuskan untuk mengabaikannya dan kembali menyelimutkan diriku.
Ping, pong. Ping, pong. Ping, pong. Ping, pong.
"Berisik sekali!!"
Aku melompat dari tempat tidur dengan cepat.
Jika itu adalah penjual, aku tidak punya keberanian untuk mengajukan keluhan secara langsung, tapi aku setidaknya ingin melihat wajahnya melalui kamera interkom.
Tapi, ketika aku melihat layar, sosok yang sudah familiar muncul, itu Shinohara.
Aku menekan tombol bicara dan berkata,
"Pergi sana."
Tanpa menunggu jawabannya, aku memutuskan sambungan.
Dia memang bilang akan datang, tapi pelaksanaannya terlalu cepat.
Aku membayangkan ini akan terjadi lebih lama lagi.
Saat memeriksa jam, ini sudah lewat pukul 10 pagi.
Meski jelas ini bukan waktu yang dianggap tidak sopan, bagiku ini adalah pelanggaran etika.
Hp-ku yang sedang diisi ulang bergetar, dan ketika aku memeriksanya, itu adalah Shinohara.
"Mau bagaimana lagi..."
Dengan langkah berat, aku melangkah ke pintu depan dan membuka kunci.
Ketika pintu dibuka, Shinohara dengan ransel di punggungnya berdiri di sana.
"Senpai, ada yang ingin kau katakan?"
"...Kenapa kau datang ke sini?"
"Bukan itu, seharusnya ‘maaf telah membuatmu menunggu’!"
"Ah..."
Jawaban yang sulit untuk dipahami, dan aku hanya bisa memberikan respon samar.
Shinohara menghela napas.
"Baiklah. Ini, Senpai, aku membawakan ini untukmu."
Shinohara berkata begitu sambil memberiku kantong kertas.
Dengan bingung, aku menerimanya, dan di dalamnya terdapat makanan manis terkenal yang berkualitas tinggi.
"Wah...!"
"Aku masuk ya!"
Aku tidak merasa perlu untuk menghentikan Shinohara yang masuk ke dalam kamarku dengan ceria.
Setelah memastikan dia masuk ke dalam ruangan satu kamar, aku masuk ke area ganti pakaian untuk mengganti pakaian tidurku.
Saat aku mengambil pakaian yang sedang dijemur di bawah pengering, tiba-tiba pintu terbuka.
"Senpai, kau di mana...?"
Shinohara masuk.
Begitu mata kami bertemu, suasana hening sejenak menyelimuti kami.
"—Maaf..."
Siapa pun pasti terkejut jika pemilik rumah tiba-tiba muncul dalam keadaan hanya mengenakan pakaian dalam.
Aku merasa lega karena masih mengenakan pakaian dalam.
"Oh, tidak apa-apa."
Ketika aku mengatakan ini dengan singkat dan mulai mengenakan pakaianku, Shinohara mengeluarkan suara terkejut.
"Eh, itu saja!? Bukankah seharusnya ada rasa panik atau semacamnya? Dlihat oleh junior mu dalam keadaan seperti ini!"
"Hmm..."
Bukannya aku tidak mengerti perasaannya, tapi itu tidak mengurangi masalahnya.
Seandainya posisi kami terbalik, respons kami mungkin akan berbeda, jadi aku merasa lebih baik jika aku yang terlihat.
Kondisi bangun tidurku yang belum sepenuhnya sadar juga berperan besar.
"Aku lapar,"
"Oh, kalau begitu...kalo itu hanya makanan sederhana, aku bisa membuatnya."
Shinohara menawarkan dengan nada penuh rasa terima kasih.
"Benarkah? Itu sangat membantu! Kemarin aku baru saja mengisi ulang isi kulkas, jadi seharusnya ada banyak bahan makanan hari ini!"
"Baiklah, baiklah, tapi, Senpai,"
Shinohara perlahan-lahan mengalihkan pandangannya ke samping.
"Tolong pakai celanamu!!"
...Ternyata bangun tidur memang berbahaya dalam banyak hal.
Aku merasa sedikit salah paham dengan Shinohara yang memerah, berpikir bahwa dia cukup polos.
★★★
"Bukankah biasanya, kau tidak memakannya dari bawah? Aku pikir itu dari bawah, deh."
Sambil sarapan agak terlambat di meja bundar, Shinohara menceritakan apa yang terjadi sebelumnya.
"Aku tidak terlalu ingat, pikiranku masih belum sepenuhnya sadar."
"Yah, itu belum sampai 1 jam juga, jadi sepertinya ini bukan masalah pelupa yang parah, Senpai."
Shinohara menjawab dengan nada seolah dia tidak percaya.
Dia menggantungkan mantel yang dikenakannya dan kini hanya mengenakan sweater.
"Mungkin ini memang sifatku."
Kemudian, aku menyeruput sisa sup konsomé yang semakin sedikit.
Rasa pedas yang pas menyebar di seluruh tubuhku, memberi rasa hangat.
"Enak sekali!"
Rasa ini sangat memuaskan.
Mungkin aku merasa sup konsomé ini lebih enak daripada yang biasa ku makan di restoran karena itu adalah masakan tangan perempuan, tapi aku yakin ini juga karena Shinohara memang pandai memasak.
"Senpai biasanya kau makan apa sih?"
"Bento dari konbini, gyudon."
"Ugh, ya ampun. Itu buruk untuk kesehatanmu, lho."
"Aku sadar, tapi ya mau bagaimana lagi."
Memang aku punya banyak waktu untuk memasak.
Tapi, memiliki waktu dan memiliki semangat untuk melakukannya adalah 2 hal yang berbeda.
Perbedaan energi yang aku rasakan dengan Shinohara kemarin mungkin disebabkan oleh cara berpikir seperti ini.
"...Mungkin aku harus mencoba masak sendiri."
Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk mencoba hal baru tanpa rasa canggung, selama masih menjadi mahasiswa.
Shinohara mulai menumpuk piring kotor dan berkata.
"Oh, itu ide bagus. Aku bisa mengajarimu."
"Oh, kalo begitu, aku ingin mulai hari ini. Lebih cepat lebih baik, kan?"
Aku meneguk sisa sup consommé.
"Gochisousama! Masakanmu enak sekali!”
"Tidak, tidak. Hari ini juga menyenangkan untuk dibuat. Senpai, kau benar-benar terlihat menikmati makanan ini."
"Ya, karena ini enak."
Setelah mengatakan itu, aku berdiri dan menuju ke dapur.
Kilauan wastafel yang baru saja dibersihkan belum pudar, dan hari ini, anehnya, mencuci piring tidak terasa merepotkan.
"Aku akan mencucinya."
"Kenapa? Kan hanya aku yang makan. Silakan santai di dekat bantalan duduk, banyak manga yang bisa dibaca."
"Kalau hanya sebentar, berti aku hanya bisa membaca beberapa halaman saja."
Meskipun dia mengatakan begitu, Shinohara tetap menuju ke arah rak buku.
Sepertinya ada beberapa judul yang menarik perhatiannya, sesekali terdengar suara "Ah, aku ingin membaca ini."
"Ngomong-ngomong, kenapa kamu datang kesini? Sampai-sampai aku lupa hal ini."
Setelah mencuci satu set piring, aku bertanya pada Shinohara.
Dia menutup manga yang hampir dibuka dan tersenyum, "Ini memang pertanyaan yang terlambat, ya."
Akhirnya, pertanyaanku mengurangi waktu membaca manga-nya, jadi aku hanya bisa tersenyum kecut dalam hati.
"Aku ingin sedikit menunjukkan wajahku padamu sebelum aku pulang ke rumah orang tua ku. Lagipula, ini adalah kesempatan terakhir kita bertemu tahun ini."
"Oh, begitu ya."
Mahasiswa yang tinggal sendiri biasanya pulang ke rumah saat-saat seperti ini.
Aku tidak tahu di mana rumah Shinohara, tapi sepertinya dia akan pergi dari sini untuk sementara waktu.
"Senpai apa kau tidak pulang? Besok sudah tahun baru, kan?"
"Aku sih tidak. Cukup saat tahun baru saja. Rumahku dekat, jadi kami cukup sering bertemu."
"Oh, begitu ya. Agak mengejutkan."
"Mengejutkan?"
Shinohara tidak menjawab pertanyaanku dan mulai mengeluarkan panci besar dan mangkuk dari rak, sambil mencari sesuatu di kulkas.
Aku juga tidak terlalu tertarik pada jawabannya, jadi aku hanya mengamati pemandangan itu.
"Eh, ada saus hollandaise, ya? Kenapa senpai punya ini padahal kau tidak masak?"
Ketika mendengar saus hollandaise, aku tidak bisa membayangkan saus seperti apa itu.
Melihat wadah yang disodorkan, aku teringat hari ketika aku membelinya dengan impulsif.
"Aah, ini adalah sesuatu yang aku beli lama sekali karena ingin mencoba resep yang rumit. Tapi aku belum membukanya, sih."
"Ini untuk penggunaan komersial; kau membelinya di mana?"
"Online."
"Pantas saja. Ini sayang kalo dibuang, jadi ayo kita gunakan ini hari ini. Senpai bisa tolong pecahkan 4 telur untukku?"
"Woke."
Aku mengambil 4 telur dari lemari es.
Aku kemudian mencoba memecahkan satu telur dengan satu tangan, tapi aku gagal dengan memalukan.
"Kenapa kau mencoba memecahkannya dengan satu tangan? Lakukan saja dengan cara biasa."

"Aku hanya gagal sekali. Dari sini, komback hebatku dimulai."
"Permisi."
Shinohara merebut telur-telur itu dariku dan mulai memecahkannya dengan cekatan.
Dengan ke-2 tangannya. Dia memasukkan mentega ke dalam microwave dan menuangkan saus hollandaise yang sudah dibuat sebelumnya ke dalam panci besar.
Beberapa menit kemudian, pemandangan di dapur sudah berada di luar pemahamanku.
Aku mengikuti instruksi Shinohara, merasa agak seperti asisten.
"Kau terlihat seperti koki."
Shinohara, yang bergerak cepat menyiapkan makanan, tampak lebih dewasa dari biasanya.
Orang yang unggul dalam bidang yang kurang mereka kuasai memang memiliki daya tarik tersendiri.
"Aku benar-benar suka memasak. Oh, bisa ambilkan bacon yang di sana—"
Tiba-tiba, Shinohara menghentikan gerakannya.
“Ada apa?”
"Eh, senpai. Kau tidak tahu apa yang aku buat, kan?"
"Itu tamagoyaki, kan?"
"Tidak mungkin orang yang menghabiskan waktu selama ini untuk membuat tamagoyaki bisa mengajarkan memasak... Maksudku, ini terlalu rumit untuk sekadar tamagoyaki."
Setelah mengatakan itu, Shinohara mengerang, "Hmm."
"Aku terlalu asyik bersenang-senang sampai aku lupa kalo seharusnya aku mengajarkanmu memasak. Senpai, kau bisa santai dulu; aku akan mengajarimu memasak lain kali."
"Eh, kenapa?"
"Aku ingin menunjukkan hidangan yang sudah jadi padamu setelah aku menaruhnya di piring."
Dengan itu, Shinohara mulai mendendangkan lagu. Dia benar-benar suka memasak.
Aku memutuskan untuk menantikan hidangan yang telah selesai dan berbaring di tempat tidur.
Rasa bersalah karena membiarkan Shinohara memasak seorang diri tidak sebesar rasa antusiasme yang aku rasakan.
Selain itu, aku merasa jika aku ikut membantu, rasa masakan itu bisa saja berkurang, sehingga terasa sayang jika hidangan yang enak harus sia-sia.
Setelah beberapa saat membaca manga secara acak, Shinohara muncul dengan wajah sedikit bangga sambil membawa piring besar.
"Jeng-jeng!"
Di atas muffin, ada kuning telur yang mengalir, dan di dalamnya terdapat daging ham.
Melihat makanan yang tampak sangat Instagramable ini, aku tak bisa menahan diri untuk tidak menganga.
"Wow, aku tidak percaya ini bisa dibuat di rumahku."
"Itu Egg Benedict. Keren dan enak, ini salah satu resep favoritku."
Bukan hanya tampilannya, bahkan namanya pun terdengar keren, entah apa maksudnya.
"Apa kau ingin mencoba satu? Meskipun tadi kau sudah sarapan."
Karena sarapan ku kurang dari 80% kenyang, aku masih merasa lapar.
Saat aku mengambil satu dan menggigitnya, kuning telur yang mengalir menyelimuti lidahku.
"Enak! Apa ini? Enak sekali!"
"Mm, memang enak sekali! Aku berhasil membuatnya dengan baik!"
Egg Benedict yang baru saja disebutkan Shinohara memang sangat berhasil.
Dari cara dia dengan cepat menyebutkan saus hollandaise yang tidak familiar untuk ku, jelas bahwa Shinohara sering memasak.
"Kalo begitu, aku harus pergi sekarang karena aku harus naik kereta shinkansen."
"Oh, jadi kau hanya datang untuk menunjukkan wajahmu sedikit?"
Karena sebelumnya aku mengira apa yang dia katakan hanyalah alasan, aku sedikit terkejut.
Shinohara mengangguk seolah itu hal yang wajar.
"Ya, seperti yang aku katakan tadi. Aku sangat berterima kasih atas waktu singkat yang aku habiskan bersamamu, Senpai."
"Rumahmu tidak dekat, kan? Seharusnya kau tidak perlu datang jauh-jauh kesini."
Walaupun aku sangat berterima kasih padanya, rasanya agak merepotkan karena dia datang di tengah kesibukan akhir tahun.
Tapi, Shinohara menghela napas panjang dan membantah.
"Hei, Senpai. Apa aku terlihat seperti orang yang baik hati sehingga aku mau pergi ke rumahmu hanya karena alasan itu?"
"Mm..."
Dengan kata lain, sama sekali tidak terlihat.
Sejak kejadian dengan Motosaka, sikapnya yang kurang tertarik pada orang-orang terlihat jelas.
"Aku juga sudah keluar dari klub, putus dengan Yudo Senpai, dan sekarang aku punya banyak waktu luang. Dalam keadaan seperti ini, yang dekat denganku ya hanya Senpai. Tentu saja aku harus datang!"
"Jadi, intinya hanya untuk mengisi waktu kosongmu, ya? Kau jahat sekali."
"Hehe, mendengar itu membuatku terdengar seperti orang yang punya sifat buruk, ya?"
Padahal dia hampir mengakuinya, tapi entah kenapa dia bisa tersenyum secantik itu.
Kebebasan Shinohara yang tidak terikat pada norma terlihat menyegarkan.
Yah, dengan wajah semanis Shinohara, pasti ada banyak pria yang senang hanya dengan diacuhkan untuk menghabiskan waktu.
"Makan sendirian itu terasa sepi, jadi kita harus sesekali makan bersama, oke? Aku bisa membantu pekerjaan rumah tangga."
Shinohara mencondongkan tubuhnya ke depan dan menatapku dengan tatapan memohon.
"Hanya hari ini saja, tidak masalah."
"Minggu depan aku akan datang 5 kali!"
"Apa kau mendengarkan apa yang kukatakan?"
Shinohara menutup mulutnya dengan tangan dan tertawa geli, tubuhnya bergetar.
Tentu saja, dia tampak senang.
"Kalo begitu, mungkin 2 kali seminggu. Saat aku mau datang, aku akan memberi tahu mu sebelumnya, jadi itu bisa diterima, kan?"
"Apa maksudnya 'bisa diterima'? Seolah-olah aku akan setuju!"
Tapi kalo dibandingkan dengan permintaannya yang pertama, 2 kali seminggu dengan pemberitahuan sebelumnya terasa lebih baik.
Aku juga tidak terlalu sibuk, dan kalo dia mau membantu pekerjaan rumahku, meski aku akan sedikit terganggu dengan hilangnya waktu pribadiku, aku merasa tidak ada alasan untuk menolaknya.
Dan waktu yang ku habiskan bersamanya terasa... entah bagaimana, sangat memuaskan.
Dengan kesimpulan tersebut yang ku ambil dengan mudah, aku berkata.
"Kalo begitu, baiklah..."
Aku tidak bisa menahan diri untuk menjawab seperti itu.
"Hehehe. Door-in-the-face, berhasil besar!"
[TL\n: btw tu emang dari raw Jepang-nya di tulis pake bahasa Inggris.]
"Apa itu?"
Aku mengernyit mendengar istilah asing yang tiba-tiba muncul.
"Kalo kau mengajukan permintaan besar terlebih dahulu, permintaan berikutnya akan lebih mudah diterima. Ini adalah teknik negosiasi. Itu sering dibahas di TV juga, loh."
"Oh, aku rasa aku juga pernah mendengar tentang itu. Ternyata ketika digunakan dalam kehidupan sehari-hari, bisa juga membuat tertipu, ya."
[TL\n: FYI door-in-the-face technique diperkenalkan oleh Robert Cialdini, seorang psikolog sosial. Teknik ini adalah salah satu prinsip persuasi yang ditemukan oleh Cialdini dalam penelitiannya tentang pengaruh sosial. Strategi ini digunakan untuk membangun kepercayaan dan memberikan kesan bahwa permintaan kecil berikutnya adalah sesuatu yang wajar.]
Meskipun, sebenarnya, aku sangat meragukan apakah percakapan dengan Shinohara saat ini bisa dianggap sebagai kehidupan sehari-hari.
"Benar kan? Aku senang mendengarnya di kuliah."
Shinohara terlihat puas dengan reaksiku dan bangkit dari tempat duduknya.
Ketika aku juga berdiri untuk mengantarnya hingga pintu, Shinohara menghentikanku dengan tangan.
"Oh, tidak perlu mengantarku. Aku sendiri kan yang datang tiba-tiba."
"Baiklah. Sampai jumpa di sini lagi. Selamat tahun baru!"
"Ya! Selamat tahun baru!"
Setelah memberikan isyarat salaman, Shinohara tersenyum ceria.
"Okay. Terima kasih untuk tahun ini."
Shinohara membungkukkan badannya sebagai jawaban, sebelum akhirnya dia berjalan menuju pintu.
Pintu terbuka, suara angin yang berhembus terdengar, dan akhirnya kembali menjadi sunyi.
Seharusnya, rumah Shinohara dan rumahku tidak terletak di jalur yang sama.
Dia bilang dia akan pulang menggunakan Shinkansen, jadi dia datang jauh-jauh dari stasiun untuk menunjukkan wajahnya padaku.
Tahun ini, meskipun aku tidak bisa dibilang beruntung, terutama setelah pacarku yang sudah hampir satu tahun selingkuh,
tapi setidaknya, aku merasa bisa menutup tahun ini dengan cukup baik.
★★★
Aku terbaring tak bergerak di atas tempat tidur.
Hari ini adalah hari Gōkon yang diatur oleh teman-temanku.
Aku diundang hanya untuk melengkapi jumlah peserta dan awalnya aku setuju dengan ringan, tetapi sekarang, di hari H, rasanya aku sangat malas untuk pergi, jadi aku bertanya-tanya apa aku harus pergi atau tidak.
Tapi, memikirkan posisi temanku, pasti akan sangat merepotkan jika jumlah peserta menjadi tidak seimbang pada hari itu.
Tidak peduli apa yang dipikirkan oleh pria yang tidak aku kenal, aku tidak ingin menyusahkan temanku.
"Hmm... aku harus pergi, ya..."
Dengan tubuh yang terasa berat dan enggan, aku bergerak menuju cermin.
Beberapa hari telah berlalu sejak tahun baru.
Hari ini sama seperti pagi biasanya, tapi kata 'tahun baru' masih terngiang di kepalaku, dan aku merasa semua orang tampak lebih bersemangat.
Program TV juga masih menampilkan daftar acara yang semarak.
Saat aku melihat Hp-ku, beberapa pesan muncul secara bersamaan.
Karena dalam mode senyap, suara notifikasi tidak terdengar, tapi kadang hal seperti ini terjadi.
"Selamat tahun baru! Aku sangat menantikan film yang akan dirilis. Bagaimana denganmu, Mayu-chan?"
Melihat pengirimnya, pesan itu tidak layak untuk segera dibalas.
Untuk pesan-pesan yang merepotkan seperti ini, aku biasanya membalasnya sekaligus ketika mood-ku sudah bagus.
Bagi kesehatan mentalku, itu adalah cara yang paling sesuai.
Setelah mencuci wajahku, rasa malasku mulai berkurang.
Aku mengambil alas makeup dari laci meja rias.
Saat aku menempelkan alas makeup sebesar koin 10 yen di kulitku, rasa enggan untuk keluar semakin memudar.
Jika aku bisa melewati hari ini, aku bisa bersantai karena aku tidak memiliki jadwal lain untuk sementara waktu.
Aku memutuskan untuk berpikir positif, lalu mulai menempelkan foundation di atas alas makeup yang sudah ku oleskan.
Kapan aku mulai menganggap makeup sebagai salah satu bagian dari penampilanku?
Setidaknya saat di SMA, aku rasa tidak masalah apakah aku menggunakan makeup atau tidak.
Mereka yang memakai makeup terlihat sedikit lebih dewasa, dan yang tidak pun dianggap biasa saja.
Andai saja cara berpikir itu tetap berlanjut, pasti akan lebih mudah.
Setelah masuk kuliah, aku melihat semua orang di sekelilingku menggunakan makeup, jadi aku pun mulai melakukannya setiap hari.
Perasaan saat memakai makeup berbeda-beda setiap harinya, tapi hari ini aku merasa sangat sensitif.
"Ah, menyebalkan sekali..."
Aku mengucapkan itu untuk melepaskan sedikit beban.
Meski begitu, aku tidak mengabaikan makeupku.
Tanpa makeup, aku sudah cantik, tapi makeup bisa membuatku semakin cantik.
Harga diri ku sebagai seorang wanita membuatku tidak ingin memperlihatkan makeup yang sembarangan di depan pria.
Setelah mengoleskan lipstik merah muda yang tipis di bibirku, aku mulai berganti pakaian.
Rasanya tidak ada semangat yang membara, tapi setelah sedikit bimbang, aku memutuskan pakaian yang akan kupakai.
Seolah-olah aku memilih pakaian untuk pergi berperang, bukan untuk berkencan.
Karena aku khawatir terlambat, aku terburu-buru keluar rumah dan berjalan cepat menuju stasiun.
Di tengah perjalanan, aku baru sadar bahwa sepatu yang kupakai hanyalah sneakers biasa.
Setelah berupaya tampil modis, aku seharusnya mengenakan heels.
Tapi, aku menggelengkan kepalaki dalam hati.
Jika aku tidak memperhatikan hal-hal sekecil itu, berarti pertemuan hari ini tidak cukup berharga.
Jika ini adalah kencan dengan orang yang aku suka, aku pasti akan mempertimbangkan perbedaan tinggi sepatu dengan serius.
"Orang yang aku suka, ya..."
Dalam hidupku, aku baru benar-benar merasakan perasaan 'aku suka dia!' jauh di masa lalu, saat aku masih di SD.
Momen itu hanya tersisa dalam ingatan, dan aku tidak bisa mengingatnya dengan jelas.
Tapi belakangan ini, ada seseorang di sekitarku yang membuatku merasakan perasaan yang berbeda dibandingkan dengan orang lain.
"Senpai, apa kau bebas hari ini?"
Kalo Gōkon ini membosankan, aku akan pergi begitu saja.
Aku membuka aplikasi dan mengirim pesan pada senpai.
"Selamat tahun baru! Hari ini aku ingin masuk ke rumahmu, bisa tolong letakkan kunci rumahmu di kotak suratmu?"
Pesan yang sangat lancang. Jika orang lain melihatnya, mungkin mereka akan terkejut.
Tak lama kemudian, balasan muncul:
"Selamat tahun baru. Baik."
Balasan yang singkat dan tanpa emoji.
Tapi, entah kenapa, ada kehangatan yang pasti terasa dari balasan itu.
Setelah beberapa detik berpikir, aku mengirimkan stiker lucu yang baru saja kubeli kepada senpai.
Langkahku yang awalnya berat, kini terasa sedikit lebih ringan.