Kamu saat ini sedang membaca Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu volume 1 chapter 5. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw
........KEBETULAN........
Hari ini tampaknya menjadi suhu terendah dalam beberapa tahun terakhir.
Di akhir Januari, suasana Natal sudah sirna, bahkan suasana Tahun Baru pun lenyap dari kota, yang sekarang sepenuhnya kembali seperti biasa.
Bulan ini, tidak ada yang terlalu berbeda.
Segala sesuatu, mulai dari membeli lotre dengan teman-teman sampai menghadiri berbagai perayaan Tahun Baru, hampir sama seperti tahun lalu.
Satu-satunya hal yang berbeda dari tahun lalu adalah.
"Senpai, lagi-lagi rumah ini berantakan saat aku tidak ada, ya~"
Kehadiran Shinohara Mayu, mantan Santa, yang datang ke rumahku 3 kali seminggu.
"Diam! Seorang pria tidak perlu repot-repot bersih-bersih."
"Apa itu? Itu logika yang tidak masuk akal. Ini akan menjadi sarang debu, loh!"
Shinohara dengan suara lesu mulai melipat pakaian-ku yang berserakan di ruangan ini.
"Oi, berhenti! Nanti aku yang akan melipatnya sendiri."
"Aku terus mempercayai hal itu selama seminggu setelah senpai mengatakan hal itu pada ku, tapi kau tidak juga melipatnya."
"Aku akan melakukannya mulai besok."
"Begitukah."
Shinohara menjawab dengan nada yang sama sekali tidak percaya, tapi tangannya tetap sibuk melipat pakaian.
Bagaimana bisa begini.
Pada hari di mana Shinohara datang ke rumahku di akhir tahun, ada pembicaraan kalo dia akan datang sekitar 2 kali seminggu.
Aku pikir itu adalah hal yang menyenangkan karena aku bisa membentuk hubungan baru.
Tapi, keadaan sekarang sangat berbeda dari apa yang aku bayangkan pada awalnya.
Ini lebih tepat disebut sebagai pulang pergi daripada hanya datang ke rumah.
Meskipun aku sedikit bingung dengan keadaan ini, ada satu hal yang benar-benar aku syukuri sejak Shinohara mulai datang ke rumahku.
"Senpai, aku akan menggunakan dapur lagi hari ini, ya."
"Yup, terima kasih."
Ya, masakan.
Kehidupan seorang mahasiswa laki-laki yang tinggal sendiri itu sangat menyedihkan, dan sering kali makanan hanya diselesaikan dengan sembarangan.
Aku bangun siang dan makan roti, lalu makan di luar saat malam.
Di hari-hari ketika aku tidak bertemu teman, aku membeli makanan dari konbini.
Setelah menjalani kehidupan seperti itu, lidahku yang sudah sangat merindukan masakan rumahan sangat senang dengan makanan yang dibuat oleh Shinohara.
"Ini sangat membantu, sungguh. Aku akan berterima kasih dengan baik padamu nanti."
"Aku juga tinggal sendiri, jadi ini hanya kebetulan. Aku hanya makan bersama Senpai saat aku tidak ada kerjaan, jadi senpai tidak perlu khawatir."
"Serius? Kau memang baik, kau mengerti betul soal keuanganku."
Tanpa sengaja, aku merasa lega.
Bulan ini aku tidak bekerja paruh waktu sebanyak biasanya, jadi tabunganku cukup tidak aman.
Mengingat aku akan memulai pencarian kerja, jadi tidak banyak yang bisa diandalkan.
"Sebagai ungkapan terima kasih, tas tangan dari Vuitton juga bagus."
"Eh, kenapa kau meminta ungkapan terima kasih yang mahal seperti itu?"
"Kau yang membuatku minta ungkapan terima kasih. Tidak ada mahasiswi yang bisa menolak jika diiming-imingi tas tangan dari Vuitton."
"Kenapa ungkapan terima kasih itu harus berupa tas dari Vuitton..."
Aku merasa putus asa dan terbaring di tempat tidur.
Meskipun biaya makan dibagi 2, tapi itu tidak mengubah fakta bahwa dia yang memasakkan makanan untukku.
Mungkin setelah beberapa waktu, tidak masalah jika aku membelikannya sesuatu yang semacam itu.
Contohnya seperti di haru ulang tahunnya dan sebagainya.
"Shinohara, kapan ulang tahunmu?"
"Besok."
"Hah!?"
Ketika aku melompat dari tempat tidur, mataku bertemu dengan Shinohara yang tampak terkejut.
Shinohara berhenti dalam posisi mengenakan apron di pinggangnya, dan dia memiringkan kepalanya.
"Ada apa?"
"... tidak, aku hanya terkejut saja. Umur berapa?"
Aku membalas dengan pertanyaan yang aman dan kembali berbaring.
"Aku hanya ingin tahu, tapi hanya di kalangan pelajar kita bisa bertanya usia wanita dengan santai, kan?"
"Sebenarnya, setelah menjadi pekerja, itu sulit."
"Betul. Karena tidak ada batasan usia, itu menakutkan."
Shinohara menggigil seolah-olah menunjukkan ketakutan.
Kemudian dia berdehem dan membuka mulutnya.
"Mengenai pertanyaan tadi, aku berumur 19 tahun. 1 tahun lagi hingga aku bisa minum alkohol secara legal!"
"Ah—"
Frasa 'secara legal' membuatku penasaran, tapi aku memutuskan untuk tidak menyinggungnya.
Seperti yang pernah Shinohara katakan sebelumnya, mahasiswa memang seperti itu.
"Hmm, reaksi yang buruk. Tak lama lagi aku legal, kan! Senpai saja, sejak berumur 18 tahun—"
"Baiklah, tapi jangan sering menyebut hal-hal seperti itu di luar. Di zaman sekarang, kita tidak tahu siapa yang mendengarnya."
Aku menghentikan omongan kohai yang hampir mengucapkan hal yang tidak pantas.
Kohai itu tampak tidak senang karena tidak bisa menyelesaikan ucapannya, tapi sepertinya dia tidak ingin melanjutkan dan memalingkan wajahnya.
"Tidak apa-apa, di sini adalah kamar senpai. Hanya ada aku dan senpai yang ada di sini."
"Apa itu masalahnya?"
"Itu memang masalahnya."
Shinohara mengucapkan itu dengan datar, lalu mengeluarkan Hp-nya dari saku-nya.
Hp yang bergetar itu menandakan ada pesan yang masuk dari seseorang.
"Bagaimana kalo kita makan di luar besok?"
Aku mengusulkan itu dengan santai.
Untuk menunjukkan rasa terima kasihku, mungkin tidak ada salahnya membawa Shinohara ke suatu tempat.
Lagipula, besok aku tidak memiliki rencana.
Kalo aku ingin memberikannya hadiah, aku tidak yakin dengan seleraku sendiri.
Shinohara mengangkat wajahnya saat aku mengajaknya, tapi kemudian menggelengkan kepalanya.
"Maaf, besok aku tidak bisa."
"Oh, begitu."
"Jangan terkejut seperti itu, aku sudah merencanakan sesuatu untuk hari ulang tahun ku. Aku berencana mengajak teman-temanku merayakannya bersamaku!"
Shinohara menunjukkan tanda V dengan wajah senang.
Aku memang sudah melihat betapa luasnya jaringan pertemanannya, dan sepertinya dia dikelilingi teman-teman yang baik.
"Eh?"
"Ya, ada apa?"
"Senpai, apa mungkin kau berpikir untuk membelikan ku dompet di hari ulang tahunku?"
Aku terkejut mendengar pertanyaannya, tapi akhirnya aku mengangguk.
Shinohara segera melambaikan tangannya dengan panik.
"Yang tadi itu cuman bercanda, lho! Aku tidak mungkin minta dompet merek terkenal dari senpai yang tinggal sendiri!"
"Ya, memang dompet merek terkenal mungkin terlalu berlebihan. Tapi ku pikir setidaknya aku bisa memberikan sesuatu untuk ulang tahunmu."
Aku tidak memiliki rencana untuk memberikan hadiah kepada orang lain dalam waktu dekat.
Saat ini, kenangan tentang hari ketika aku ingin memberikan hadiah kepada mantan pacarku masih terbayang jelas di pikiranku.
Ada sedikit keinginan untuk menghapus kenangan itu dengan memberikan hadiah kepada Shinohara.
"Se-sungguh? Setelah sebulan bertemu denganmu, aku merasa dimanjakan olehmu."
"Dasar bodoh, ini sebagai ucapan terima kasih. Aku yang ingin memberikannya, jadi terima saja tanpa banyak bicara. Kalo kau tidak menyukainya, ya tinggal buang saja. Oh, tapi jangan buang di depanku. Aku akan merasa sakit hati kalo itu dibuang di hadapanku."
Saat aku mengangkat bahu, Shinohara mengeluarkan suara terkejut, "Eh, apa kau serius, senpai?"
Mungkin dia berpikir ini adalah lelucon.
Shinohara tampak berpikir sejenak, tapi sepertinya dia tidak merasa buruk dengan tawaranku.
"Kalo itu masalahnya..."
Jawaban Shinohara membuat sudut bibirku secara tidak sadar terangkat.
Memberikan hadiah juga merupakan hal yang bisa meningkatkan suasana hati bagi pihak yang memberi.
"Apa ada sesuatu yang kau inginkan?"
Ketika aku bertanya, Shinohara menyentuh dagunya dan berpikir.
"Sepertinya... Aku akan menyerahkannya pada pilihan senpai. Aku tahu 'menyerahkannya' bisa jadi hal yang paling merepotkan, tapi justru karena itu, 'menyerahkannya' menjadi pilihan yang baik."
"Oh, begitu. ... Baiklah, aku mengerti."
"Aku menantikan itu!"
"Ya."
Aku membalas dengan ringan saat Shinohara mengedipkan mata.
Sejujurnya, aku tidak tahu desain apa yang disukai Shinohara.
Tapi satu hal yang pasti, jika aku memutuskannya sendiri, kemungkinan besar itu tidak akan sesuai dengan selera Shinohara.
Memahami selera seseorang dalam sebulan, meskipun itu pacar, adalah hal yang sulit.
Meskipun begitu, jika kami adalah pasangan, mungkin lebih baik untuk memilih sendiri.
Tapi, kali ini hanya hadiah untuk kohai.
Sepertinya lebih baik berkonsultasi dengan teman yang bisa diandalkan.
Yang pertama terlintas di pikiranku adalah, tentu saja, dia.
★★★
"Tolong."
Saat aku menyatukan tanganku dan mengajukan permintaan, Ayaka, wanita yang bisa diandalkan, mengerutkan keningnya.
Aku memanggil Ayaka di depan gerbang utama kampus, tapi sepertinya itu tidak memberikan kesan yang baik.
"Apa kau ingin yang mengurus hadiah untuk Shinohara-san, sebagai ucapan terima kasih?"
"Ya, aku minta tolong padamu."
"Tidak mau."
"Tidak boleh."
"Apa maksudmu tidak boleh?"
Ayaka menghela napas seolah-olah tidak percaya, lalu melanjutkan.
"Kau bertanya apa kita bisa ketemu, jadi aku datang jauh-jauh kesini. Aku kira kau akan mentraktirku makan."
"Aku tidak akan memanggilmu dari grup penuh perempuan hanya untuk mentraktirmu. Itu butuh keberanian yang sangat besar, tahu!"
Aku memanggil Ayaka pada saat istirahat makan siang.
Masuk ke dalam kelompok makan siang Ayaka yang masih menikmati makanannya itu cukup sulit.
"Ah, itu benar. Nyatanya, aku malah dianggap sedang didekati lagi."
"Hah, serius!?"
"Itu hanya lelucon. Semua teman perempuan ku di sana tahu kita berteman sejak SMA."
"Jangan menakut-nakutiku seperti itu, itu lelucon yang buruk kau tau."
Meskipun aku dekat dengan Ayaka yang paling menonjol di fakultas, aku tidak terlalu berinteraksi dengan perempuan lain.
Saat bersama Ayaka, kadang-kadang perempuan yang tidak ku kenal datang menghampiri kami.
Tapi pada saat seperti itu, Ayaka selalu mencari alasan untuk membuatku berdua saja dengannya.
Alasannya sederhana, "Karena itu lebih nyaman," katanya.
Ayaka terlihat cukup terbuka dalam grup tadi, tapi dalam interaksi yang lebih dangkal, dia selalu berperilaku sangat memperhatikan penampilannya.
Sepertinya dia juga menikmati tingkah lakunya itu, tapi sesekali dia pasti ingin memiliki tempat untuk bersantai.
"Pertama, Shinohara-san bilang kalo dia akan menyerahkan semuanya padamu, kan? Kalo begitu, kau yang harus memilihnya. Ini soal perasaan, loh."
"Tidak, Shinohara itu perempuan yang rasional. Lihat saja, dia menggunakan kata 'Menyerahkan' pada pria yang tidak dia pacari. Bagiku, itu memberikan tekanan. Jadi, aku rasa sesuatu yang praktis akan lebih baik."
"Ha, ya sudah, terserah saja."
Ayaka sepertinya tidak tertarik sama sekali.
Meskipun dia tidak menolak dengan alasan seperti kerja paruh waktu, mungkin ada kemungkinan yang tidak nol.
Kalo begitu, aku perlu mendorongnya dengan sesuatu yang lebih kuat.
"Ayaka."
"Ada apa?"
"Ujian sudah dekat, kan? Apa kau tidak ingin tahu tentang soal-soal sebelumnya?"
"Sayangnya, aku rasa tidak ada soal ujian yang tidak ku tahu."
Itu benar. Jika aku berhadapan dengan Ayaka yang mempunyai lingkaran pertemanan yang luas, bahkan jika aku memiliki 5 orang, aku tidak akan bisa mengimbanginya.
Justru, aku lah yang selalu diperlihatkan soal ujian sebelumnya.
"Ngomong-ngomong, itu mengingatkanku. Kau sudah mengalihkan soal ujian yang aku berikan ke yang lain, kan?"
"Ge!?"
"Jadi, aku akan minta traktiran makanan dari mu sebagai gantinya."
Ayaka mendengus. Aku tidak bisa membela diri tentang itu, dan aku bersumpah untuk menebusnya di lain kesempatan.
Tapi, itu adalah hal yang terpisah dari pembicaraan kali ini.
Aku memutuskan untuk menggunakan langkah terakhir.
"...Ada buffet terbatas di hotel depan stasiun. Bagaimana?"
"Nah?"
Buffet yang diadakan di lantai atas hotel selama satu minggu mulai akhir pekan ini.
Ini bukan buffet biasa; karena mereka juga menawarkan bahan makanan mewah dan makanan langka, harganya cukup tinggi, tapi sepertinya ini cukup menarik bagi Ayaka yang sangat menyukai tempat-tempat unik.
"Baiklah, kalo begitu, tidak ada pilihan lain!"
Ayaka dengan semangat setuju, dan aku merasa lega.
Rupanya ini menjadi pengeluaran yang tidak terduga, tapi mungkin itu baik-baik saja karena orang yang ku ajak adalah Ayaka.
Bukan hanya Shinohara yang biasanya aku berterima kasih, tapi Ayaka juga.
Meskipun harus mengucapkan terima kasih kepada 2 orang dalam 1 hari, mungkin tidak ada salahnya sekali-sekali memiliki hari seperti itu.
★★★
Keesokan harinya, aku dan Ayaka mengunjungi pusat perbelanjaan terbesar di kota, seperti yang direncanakan.
Saat Natal, aula besar dipenuhi dengan dekorasi warna-warni, dan pada akhir tahun dihiasi dengan warna merah dan putih.
Tapi, sekarang aula itu telah berubah dengan spanduk-spanduk yang mengumumkan diskon besar-besaran.
Kami mengunjungi banyak toko untuk memilih dompet sebagai hadiah untuk Shinohara, tapi belum ada satu pun dompet yang membuat Ayaka mengangguk setuju.
Sudah 2 jam berlalu.
"Semua dompet terlihat sama bagiku."
Karena lelah, kata-kata itu terlontar dari mulutku tanpa sadar.
"Kau yang memintaku untuk memilih, kan? Jadi, kalo aku sudah menerima tugas ini, aku tidak akan berkompromi."
"...Jangan khawatir. Aku akan membayar biaya makan buffet sepenuhnya."
"Itu tidak ada hubungannya. Karena aku sudah menerima permintaan ini, aku harus memastikan Shinohara-san senang, atau reputasiku akan turun."
"Kau benar-benar punya kepribadian yang menarik..."
Sambil mengatakan itu, kami keluar dari toko ke-4.
Toko itu adalah salah satu yang menjual merek-merek yang populer di kalangan mahasiswi, tapi tampaknya tidak ada yang membuat Ayaka terkesan.
4 toko yang kami kunjungi sejauh ini semuanya adalah toko merek favorit untuk para mahasiswa.
Ketika menjadi mahasiswa, pengeluaran meningkat, dan seiring dengan itu, semakin banyak orang di sekitarku yang peduli pada merek.
Aku sendiri tidak begitu terpaku pada merek dan lebih suka berpakaian sederhana, tapi bagi mereka yang suka barang bermerek, mereka biasanya mengenakan barang-barang dari merek favorit mereka dari kepala hingga kaki.
Bahkan jika desainnya biasa saja, jika barang itu dari merek populer, itu akan terlihat berkelas.
Jadi, dalam pandanganku, jika aku memberikan hadiah untuk seorang gadis, asal dari salah satu merek terkenal pasti tidak akan salah.
Tapi, Ayaka menolak 4 toko bermerek tadi, sepertinya dia benar-benar memiliki standar yang tinggi.
"Ada. Selanjutnya, kita pergi ke sini."
Ayaka menunjuk ke papan petunjuk toko-toko.
Toko di lantai delapan itu terkenal dengan merek yang sangat mahal bagi para mahasiswa.
"Uang..."
Saat aku sedikit mundur, Ayaka menahan tas yang kubawa agar aku tidak pergi.
"Tenang saja. Aku adalah anggota di sini, dan kebetulan mereka sedang mengadakan penjualan rahasia khusus untuk anggota. Kalo beli 2 barang, akan ada diskon tambahan, jadi aku juga akan membelikan sesuatu untukmu."
"Eh, itu benar-benar tidak enak untukku..."
"Tidak apa-apa. Ini kesempatan bagus untuk bisa menipu diri sendiri dengan alasan membantu teman. Aku juga bisa membeli tas yang sudah lama kuinginkan."
"Apa kau yakin tidak apa-apa?"
"Ayo kita pergi sekarang!"
Dengan suara penuh semangat, kali ini Ayaka menggenggam lenganku dengan erat.
Ketika kami naik eskalator dan sampai di depan toko, aku bisa merasakan suasana yang berbeda—kesan mewah yang tidak ada di toko-toko sebelumnya.
"Aku tidak terlalu suka tempat seperti ini."
"Begitu ya, baiklah, ayo masuk."
"Eh..."
Hampir tanpa memedulikan ucapanku, Ayaka melangkah masuk, dan aku mengikutinya dari belakang.
Sekilas, aku melirik ke tas yang ada di sana—harganya mencapai 90 ribu yen.
"Tidak, aku akan pulang saja."
"Eh, cepat sekali! Masih ada yang lebih terjangkau kok!"
Setelah itu, Ayaka mulai berkeliling sendirian, dan 10 menit kemudian kami bertemu lagi di dalam toko.
Di lengannya, sudah tergantung tas yang tampaknya akan dibelinya.
"Aku menemukan dompet bagus. Ayo ikut!"
Ayaka menarikku menuju tempat dompet dipajang.
Harganya...
"21 ribu yen. Yah, masih masuk akal.”
Uang di dompetku sebenarnya tidak cukup hangat untuk menganggap 21 ribu yen itu sebagai 'masuk akal', tapi entah bagaimana, karena terlalu lama melihat barang-barang mahal, aku mulai kehilangan perasaan terhadap nilai uang.
"Hari ini adalah hari di mana dompet akan mendapat diskon paling besar, jadi kita mungkin bisa membelinya dengan harga sekitar 15 ribu yen atau lebih. Beruntung sekali, kan?"
"Wow, diskonnya sebesar itu? Menarik juga, sih."
Tapi, itu hanya berlaku kalo aku membeli barang ini untuk diriku sendiri.
Kalo aku harus membeli dompet ini untuk orang lain, diperlukan tekad yang cukup besar.
Saat sudah tenang, rasanya memberi hadiah lebih dari 10 ribu yen kepada seorang gadis yang bahkan bukan pacarku adalah hal yang gila.
Untung saja ini untuk Shinohara, tapi kalo itu untuk gadis lain mungkin aku akan dianggap aneh karena jumlahnya yang cukup besar.
"Aku akan panggil pramuniaga ya, biar mereka membuka etalasenya."
"Tunggu sebentar, aku masih ingin mempertimbangkannya."
"Tadi kan kau bilang kalo kau akan menyerahkan semuanya padaku. Harganya juga masih dalam anggaran, menurutku ini pilihan terbaik."
"Iya sih, tapi..."
Saat aku ragu-ragu, tiba-tiba mataku tertuju pada 2 mahasiswi yang lewat.
Entah kenapa, aku tak bisa berhenti memperhatikan mereka.
Meski terlihat menarik, sebetulnya penampilan seperti itu sudah biasa kulihat di kampus.
Tapi kali ini, ada sesuatu yang membuatku terpikat hingga aku mengikuti mereka dengan pandanganku.
Yang membuatku tertarik adalah seorang mahasiswi berambut abu yang sedang berdiri di depan etalase sambil memegang Hp.
Aku tidak bisa melihat wajahnya, tapi ada sesuatu yang terasa familiar dari gaya, postur, dan auranya.
Seolah menyadari tatapanku, mahasiswi itu mengangkat wajahnya perlahan.
── Di sana, ada mantan pacarku, Aisaka Reina.
★★★
"──Reina."
Suara yang kering keluar dari mulutku.
Reina terlihat terkejut seperti ku, dengan mata yang terbelalak.
"...Yuta-kun."
Nada suara itu mengingatkanku pada masa lalu.
Suara, ekspresi, dan gerak tubuhnya semuanya merangsang kenangan-kenangan dari waktu itu.
Pakaian yang dia kenakan, mantel hitam panjang dan syal merah, dengan sepatu hak tinggi, adalah hal yang pernah kulihat sebelumnya.
Meskipun warna rambutnya sedikit lebih terang dibandingkan saat kami berpacaran, dia pasti adalah orang yang pernah kuperhatikan.
Setelah beberapa detik tanpa ada yang mengucapkan sepatah kata pun, teman mahasiswi di sebelah Reina mulai berbicara.
"Reina, orang ini siapa? Teman mu?"
"Eh? Ah, ya, bisa dibilang begitu."
Reina mengaburkan kata-katanya, lalu kembali melihatku dengan senyuman yang tampak bingung.
"...Sudah lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?"
Kata-kata itu tampaknya adalah basa-basi yang mengkhawatirkan pandangan orang-orang di sekitar, membuatku menghela napas dalam hati.
Teman mahasiswi di sebelahnya sepertinya tidak mengenalku.
Meskipun aku telah berpacaran dengannya selama sekitar setahun, ada beberapa teman Reina yang sudah mengenal wajahku, tapi ini adalah pertama kalinya aku bertemu dengan gadis ini.
Faktanya, Reina kuliah di kampus yang dikenal dengan banyaknya gadis dari kalangan terhormat, sehingga tidak banyak kenalan yang kami miliki bersama.
Melihat wajah penasaran dari teman Reina, aku dapat merasakan bahwa gadis ini tidak tahu apa-apa.
"...Ya, bisa dibilang begitu."
Aku membalas dengan kata-kata yang aman.
Meskipun ini adalah pertemuan kembali setelah 2 bulan, tidak ada alasan untuk membahas peristiwa yang mungkin tidak diketahui oleh teman Reina.
Sebenarnya, tidak ada lagi yang ingin kukatakan.
Kami putus sehari setelah dia berselingkuh, dan saat itu Reina tidak memberikan penjelasan apa pun.
Ketika aku mengungkapkan keinginanku untuk berpisah, Reina hanya mengangguk tanpa berkata-kata.
Hanya 2 bulan. Mungkin jika diungkapkan dengan kata-kata, ini terdengar singkat, tetapi saat kami baru putus, satu hari terasa sangat lambat, hampir membuatku muntah.
Oleh karena itu, secara perasaan, ini terasa seperti pertemuan kembali setelah waktu yang lama.
Saat Reina masih menjadi pacarku, aku sangat menghargainya; berbagai perasaan yang tidak dapat diungkapkan hanya dengan kata 'cinta' ada di dalam hatiku.
Tapi setelah putus, kahi hanya menjadi orang asing.
"Itu, Apa kau akan membelinya?"
Kata-kata yang mungkin ingin diucapkan Reina sebagai pembicaraan ringan ditujukan padaku yang sedang memegang dompet.
Di tanganku ada dompet yang akan kuhadiahkan untuk Shinohara.
"Ya, meskipun ini agak mahal."
"Oh, begitu. Semoga dia senang menerimanya."
"Mm."
Aku menjawab singkat, lalu mengalihkan pandangan kembali ke etalase, menandakan bahwa percakapan telah berakhir.
Aku merasakan perasaanku terhadap Reina mulai tertata.
Setelah putus, hanya dengan melihat foto wajahnya saja sudah membuat hatiku tertekan.
Sekarang, meskipun saat pertama bertemu kembali perasaanku sempat terguncang, itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan perasaanku setelah putus dengannya.
Ke depannya, waktu akan menyembuhkan semuanya.
"Emm, apa kita bisa bertemu lagi?"
"──Hah?"
Jawaban itu datang bukan dari mulutku, tapi dari Ayaka, yang sejak tadi diam.
Reina pun terlihat terkejut dan menatap Ayaka.
"Apa kau sudah gila?"
Suara itu penuh dengan nada penghinaan.
Reina dan Ayaka tidak saling mengenal secara langsung.
Selama aku dan Reina berpacaran, aku pernah mencoba mempertemukan mereka beberapa kali, tapi selalu tidak ada waktu yang cocok.
Tapi, Ayaka telah melihat wajah Reina dariku berkali-kali, jadi dia mengenalnya.
Mungkin karena satu kalimat itu, Reina pun menyadari situasinya, mengalihkan pandangan dan cepat-cepat meninggalkan toko.
Saat dia pergi, dia melontarkan sepatah kata, "Sampai jumpa lagi."
"....Hei."
Setelah memastikan Reina pergi, aku mulai berbicara kepada Ayaka.
Ayaka melirik ke arah di mana Reina pergi sebelum membuka mulutnya.
"Maaf. Karena kau berusaha bersikap biasa, aku juga berusaha untuk bersabar, tapi tetap saja aku merasa kesal."
"Aku menghargai perasaanmu, tapi dia adalah mantan pacarku."
"Karena aku sudah berkali-kali melihat foto-fotonya, jadi aku segera mengenalnya. Dia memang cantik, tapi itu saja."
"Ya, mungkin. Memang begitu."
Mungkin ada banyak hal baik tentangnya selain hanya penampilan.
Tapi, setiap orang pasti memiliki sisi baiknya masing-masing.
Menyampaikan hal itu kepada Ayaka sekarang akan terasa tidak pantas.
Ayaka sudah marah demi aku.
"...Terima kasih."
Aku mengucapkan terima kasih secara spontan, dan Ayaka tersenyum pahit.
"Seharusnya kau tidak perlu berterima kasih untuk hal seperti ini. Teman mantanmu tidak ada hubungannya dengan ini, dan aku merasa buruk untuk gadis itu."
Setelah mengucapkan itu, Ayaka menghembuskan napas dalam-dalam seolah melepaskan amarahnya.
"Nah, kalo begitu, keputusan sudah dibuat untuk dompet itu. Aku akan bayar pakai kartu, jadi nanti kau kembalikan dengan uang tunai."
Setelah pertemuanku dengan Reina, pikiranku sepenuhnya menghilang dari belanja, tetapi satu kalimat Ayaka mengembalikanku pada kenyataan.
Aku melihat Ayaka berjalan cepat ke kasir dengan dompet yang ternyata sudah diambilnya dariku.
Di tangan yang lain, dia menggenggam tas yang sepertinya juga menjadi incarannya, dan sepertinya kemarahannya yang sebelumnya sudah lenyap dan digantikan dengan ekspresi ceria.
"Memang rasanya sangat menyenangkan membeli barang mahal."
"Aku bisa mengerti perasaanmu, tapi...ya sudah. Ayo kita beli dompet itu. Aku yang akan membayarnya."
Aku ingin meredakan perasaan bingung setelah bertemu Reina dengan berbelanja.
Jika itu adalah hadiah untuk orang-orang yang sering membantuku, maka itu akan menjadi dua keuntungan sekaligus.
"Tidak, aku yang akan membayar."
"Eh, kenapa?"
"Kalo aku membelinya pakai kartu, aku bisa mendapatkan poin. Jadi, berikan aku 500 poin."
"Sungguh, sangat serakah!"
Dia tidak pernah mengatakan hal seperti ini saat ada orang lain, tapi begitu hanya kami berdua, dia langsung berbicara seperti itu.
Meskipun aku tidak keberatan dengan kemudahan yang dia berikan, tapi tetap saja.
"Oke, kau tunggu di luar toko."
"Baiklah..."
Setelah aku dengan enggan setuju, Ayaka melangkah dengan ceria menuju kasir.
Setelah memastikan bahwa Ayaka sedang melakukan pembayaran, aku mengalihkan pandanganku ke arah di mana Reina pergi.
Tapi, sosok mantan pacarku itu sudah menghilang, seolah tersapu oleh keramaian yang mengelilingiku.
★★★
Setelah menunggu selama 5 menit, Ayaka keluar dari toko dan berkata.
"Nah, ini untukmu." sambil menyerahkan kantong berisi dompet.
Aku melihat kalo ada barang lain di dalam kantong itu dan tanpa sadar mengeluarkannya.
"Ini..."
Sebuah tempat kunci.
Dari kilau hitam yang sederhana, bisa terlihat bahwa harganya tidak murah.
"Aku memberinya untukmu."
"Eh, apa ini boleh? Maksudku, kenapa tiba-tiba?"
"Ini hadiah ulang tahun. Ulang tahunmu kan Juli, dan itu sudah berlalu jauh. Aku baru ingat kalo aku belum pernah memberikanmu hadiah ulang tahun."
"Eh, serius!? Ini keren sekali! Apa ini benar-benar untukku!?"
Suara tinggiku bahkan membuatku terkejut.
Memberikan hadiah memang membuat ke-2 belah pihak merasa tegang.
Pemberi merasa cemas dan berpikir 'apa dia akan menyukainya', sementara penerima merasa cemas 'Aku tidak memberikan reaksi yang membuat dia merasa tidak nyaman kan.'
Aku termasuk tipe yang sangat canggung saat menerima hadiah; bahkan ketika aku benar-benar senang, reaksi yang kutunjukkan seringkali berantakan.
Tapi sekarang, aku benar-benar mendapatkan sesuatu yang kuinginkan, dan tanpa sadar semangatku meningkat.
Sudah lama sekali rasanya sejak aku bisa memberikan reaksi positif yang tulus saat menerima hadiah.
Ayaka pun tersenyum puas melihat saat reaksiku.
"Tidak apa-apa. Tidak masalah."
"Sungguh terima kasih, aku sangat menghargainya."
"Kalo kau senang, aku juga senang. Oke, ayo kita berangkat sekarang."
"Eh, ke mana?"
"Ke buffet! Sekarang tunjukkan rasa terima kasihmu kepada ku yang pertama kali memberikan hadiah kepada seorang pria, baik dengan tindakan maupun uangmu!"
"Hei, bagian ke-2 itu merusak semuanya!"
Tanpa bisa menahan diri, aku berkomentar, dan Ayaka tertawa lepas.
Ayaka kemudian melangkah dengan ceria menuju hotel tempat buffet diadakan.
Aku mengikutinya sambil merenungkan kata-kata yang baru saja di ucapkannya.
──Ternyata ini adalah pertama kalinya Ayaka memberikan hadiah kepada seorang pria.
Meskipun kami dekat, aku tidak sepenuhnya mengetahui lingkaran pertemanannya, jadi aku menganggap kalo dia memberikan hadiah pada pria adalah hal yang biasa.
Melihat punggung Ayaka yang berjalan cepat, tidak sabar menunggu buffet, aku tidak bisa menahan senyuman.
Mungkin Ayaka menyukai hubungan kami yang sepenuhnya bersahabat dan tidak berkembang menjadi cinta.
Tapi, aku merasa senang menjadi orang yang menerima hadiah pertamanya. Rasanya tidak ada salahnya jika aku merasa begitu.
Perasaan hatiku yang terguncang setelah pertemuanku dengan Reina kini telah sepenuhnya pulih.
★★★
Setelah menikmati buffet bersama Ayaka, aku sedang dalam perjalanan pulang.
Di tengah jalan, aku mengeluarkan dompetku yang terasa semakin ringan.
Aku berpikir untuk membeli kopi di mesin penjual otomatis, tapi jumlah uang yang tersisa membuatku ragu.
Di mana uang-uangku itu, baik yang 1000 yen maupun yang 500 yen?
"Itu sangat mahal, tapi enak."
Aku tidak bisa menahan keluhan saat memasukkan dompetku kembali ke saku belakang.
Aku tidak ingin membayangkan berapa banyak pengeluaran hari ini, terutama bagi seorang mahasiswa yang hidup sendiri.
Kalo pengeluaran itu disebabkan oleh acara seperti Natal, itu bisa dimaklumi.
Tapi hari ini hanyalah hari biasa, bukan acara spesial, sehingga rasanya sangat menakutkan.
Buffet yang kami kunjungi bukanlah restoran keluarga dengan pilihan makanan murah, melainkan menyajikan hidangan-hidangan yang harganya sepertinya cukup mahal, bahkan untuk porsi satuan.
Karena aku telah makan sepuasnya, seharusnya aku bisa memahami kenapa dompetku terasa begitu ringan.
"Aku bahkan tidak bisa membeli kopi..."
Keluhanku terdengar menyedihkan, dan akhirnya aku melanjutkan perjalanan pulang.
Sepertinya aku harus menunda pembelian konsol game yang ku ingin bulan ini.
Begitu melihat apartemenku dari kejauhan, aku melihat lampu menyala di dalam kamarku.
Hari ini, Shinohara bilang kalo dia akan merayakan ulang tahunnya bersama teman-temannya, jadi mungkin perayaan itu sudah selesai.
Pagi ini, aku menerima pesan di LINE darinya, yang tertulis.
"Hari ini sepertinya acaranya akan selesai lebih awal, jadi tolong masukkan kunci apartemenmu ke dalam kotak surat.."
Karena kurangnya rasa waspada terhadap pencuri, aku tanpa pikir panjang langsung setuju dan memasukkan kunci ke dalam kotak surat.
Sekarang jam menunjukkan pukul 22:30.
Aku tidak tahu apa yang sedang dilakukannya hingga jam segini, tapi mungkin dia sedang bersantai membaca manga di rumah orang lain.
Aku menaiki tangga yang berderit dan berdiri di depan pintu.
Meski tidak bisa dibilang sebagai apartemen yang bobrok, ini adalah apartemen tua di lantai 2, dan inilah tempat tinggalku.
Setelah membuka pintu dan mengucapkan, "Aku pulang", suara Tv menyambutku.
Dari ujung lorong, wajah yang familiar muncul dengan sedikit penasaran.
Shinohara mengikat rambutnya yang terurai menjadi ponytail yang digulung dengan santai.
"Ah, Senpai. Selamat datang kembali."
"Aku pulang. Apa yang kau lakukan sampai jam segini?"
"Aku menonton TV, seperti yang kau lihat."
Sambil menjawab, Shinohara mengganti saluran yang sedang ditontonnya.
Layar yang sebelumnya menampilkan seorang wanita yang sedang diwawancarai kini beralih ke program berita.
"Oh, kamu menonton apa?"
"Rahasia. Jangan terlalu banyak tanya tentang urusan gadis, ya."
"Aku tidak terlalu banyak tanya, kan? Ayo, serahkan remotnya."
"Ah!"
Setelah merebut remot tersebut, aku mengganti saluran sembarangan sampai akhirnya kembali ke wanita yang sama.
Di sudut kiri atas layar, ada tulisan yang berbunyi, 'Kapan kau merasa ingin memiliki pacar?' yang menunjukkan bahwa ini adalah program tentang cinta.
"Oh, itu tidak terduga, ternyata kau menonton program yang cukup romantis."
"Ah! Itu kasar, bagaimana bisa kau mengatakan itu tidak terduga!"
"Kenapa kau menonton program seperti itu?"
Saat kutanya, Shinohara sepertinya ragu sejenak dan mengalihkan pandangannya.
"....Ya sudah, kalo kau tidak mau menjawabnya, tidak apa-apa. Lagipula, tentang hari ini..."
"Aku merasa mungkin aku memiliki pandangan yang berbeda."
"──Kau mau mengatakan itu? Hah, kenapa tiba-tiba?"
"Ah, dingin sekali! Padahal aku sudah berani bicara!"
Shinohara menatapku dengan tajam, tapi itu hanya membuatku tersenyum, tanpa ada efek apa pun bagiku.
"...Aku pernah pacaran dengan Motosaka-senpai, kan? Dengan kasus itu, sepertinya ada dugaan kalo aku memiliki pandangan yang berbeda dari orang-orang pada umumnya. Terutama dalam diriku sendiri."
"Oh, itu sudah terlambat untuk dibahas."
Apa pandangan seseorang berbeda dari masyarakat atau tidak bisa bervariasi tergantung pada lingkungan di mana mereka dibesarkan, jadi itu tidak bisa diputuskan dengan jelas.
Tapi, menurut pendapatku, dia memang memiliki cara berpikir yang agak berbeda dari kebanyakan orang.
Itu tidak berarti itu buruk, hanya saja itu jarang.
"Kau bilang perpisahan itu kepada teman-temanmu, ya. Sebenarnya, kita putus bulan lalu, jadi ini sudah terlambat, tapi aku tetap ingin melaporkannya secara langsung."
"Oh, lalu apa reaksi mereka?"
"Mereka bilang, 'Kau pasti mengalami masa sulit karena dikhianati, semoga di lain kali kau mendapat cinta yang lebih baik,' dan semacamnya."
"Hmm, mereka teman yang baik, ya."
"Iya, tapi..."
Shinohara menggelengkan kepalanya, seolah ingin mengatakan bahwa itu bukan yang ingin dia sampaikan.
"Aku merasa agak geli menerima kata-kata seperti itu. Aku menyesal telah merepotkan para senpai saat Natal, tapi sebenarnya aku hanya ingin melakukan hal-hal yang terkesan seperti pasangan. Itu saja alasanku berkencan..."
Shinohara mengangkat bahunya, memberi kesan kalo dia tidak merasa terluka.
"Meski begitu, aku tetap diperhatikan dan dihibur sepanjang hari. Hari ini benar-benar melelahkan."
"Itu sebabnya kau pulang lebih awal meski ini hari ulang tahunmu."
"Iya... Aku berkencan dengan Motosaka-senpai hanya karena ingin merasakan acara-acara yang terasa seperti pasangan. Aku memang kesal karena dia selingkuh, tapi aku tidak merasa terluka. Apa aku ini aneh?"
"Mungkin agak aneh."
"Begitu, ya?"
Shinohara tertawa, tanpa ada kesan terluka, dengan tawa yang lepas.
"Kurasa ada banyak pria yang mau berkencan dengan alasan yang sama—karena ingin melakukan hal-hal yang terkesan seperti pasangan. Tapi, biasanya orang baru mau berkencan kalau mereka punya sedikit rasa suka, dan jika diselingkuhi pasti akan merasa sedikit terluka."
Saat diingat kembali, bahkan setelah diselingkuhi, Shinohara hanya terlihat marah tanpa tanda-tanda terluka.
"Kenapa kau marah saat dia selingkuh?"
"Karena aku merasa kesal."
"Kenapa?"
"Karena aku merasa diremehkan."
"Mungkin ada rasa cemburu juga karena perhatian Motosaka-senpai dialihkan ke wanita lain? Atau mungkin kau merasa kalo perasaannya padamu selama ini adalah kebohongan?"
"Bukan begitu. Aku menerimanya hanya karena dia terus-terusan menyatakan perasaannya, tapi kemudian dia selingkuh. Rasanya seperti dipermainkan. Hanya itu saja, tidak lebih dan tidak kurang."
Setelah mengatakan itu, Shinohara memandangku dengan sedikit khawatir karena aku terdiam.
"Apa aku terlihat murahan?"
Sepertinya dia mulai merasa bahwa cara berpikirnya memang sedikit berbeda dari orang lain, dan sekarang dia mulai bertanya-tanya apakah dirinya dianggap dangkal.
Meski jujur aku tidak punya cukup alasan untuk segera menyangkalnya, aku sendiri sebenarnya tidak membenci cara berpikir Shinohara.
"Setiap orang mempunyai cara berpikir yang berbeda-beda, jadi saat ini, tidak ada salahnya menunggu pertemuan yang akan datang, kan?"
"Menunggu, bertemu, dan akhirnya dikhianati lagi."
"......Begitu."
"Ada apa dengan suara suara kasihan yang kau berikan itu?"
"Tidak, maaf. Itu pasti sulit."
"Sikap itu yang membuatku lelah, padahal itu baru saja kukatakan!"
Shinohara menggembungkan pipinya. Kemudian, dia melipat kakinya membentuk segitiga dan membenamkan wajahnya.
"Aku iri pada semua orang. Pasangan yang saling mencintai itu terlihat hebat kan?"
"Memang."
Sekilas, wajah Reina yang baru saja kutemui terlintas di pikiranku.
Untuk menutupi itu, aku mulai memegang tas yang diberikan Ayaka pada ku.
"Ini, aku akan memberikannya padamu. Dompet."
"Eh?"
Shinohara segera membuka posisi duduknya dan mendekat.
Aroma manis yang bukan dari sampo yang aku gunakan di rumah ini menggelitik hidungku.
"Selamat ulang tahun. Semoga kita bisa terus berteman."
"...Aku deg degan."
"Baguslah, aku senang kau senang."
"Eh, ini benar-benar sesuai dengan seleraku. Aku sudah lama ingin barang-barang dari merek ini. Bagaimana kau tahu? Apa kau ini seorang esper?"
Seperti biasa, yang pilihan Ayaka selalu tepat.
"Aku bisa tahu dari obrolan kita sehari-hari."
...Mohon maafkan aku karena bertindak seperti itu, yah mau bagaimana lagi aku yang berusaha untuk terlihat keren.

Saat itu, interkom berbunyi.
Suara yang sangat keras, tidak sesuai dengan ukuran kamar 1 ruangan.
"Siapa ya, di waktu seperti ini?"
Shinohara berdiri dengan susah payah dan berjalan menuju pintu depan.
Dengan hati-hati dia memegang dompet itu, yang menunjukkan kalo dia benar-benar menyukainya.
Meskipun itu bukan pembelian yang murah, melihat wajahnya seperti itu membuatku merasa senang karena telah memberikannya itu.
Aku bisa mendengar suara Shinohara membuka pintu.
Suara berikutnya yang masuk ke telingaku adalah suara yang familiar untuk ku, itu bukan suara Shinohara.
"Eh, Shinohara-san. Apa yang kau lakukan di sini?"
"......Ayaka-Senpai."
Dengan Shinohara di tengahnya Aku dan Ayaka saling bertatapan.
★★★
Aku secara naluriah mengalihkan pandangan dari tatapan Ayaka.
Ngomong-ngomong, aku tidak pernah memberi tahu Ayaka kalo Shinohara sering datang ke rumahku.
Meskipun aku tidak ada motif tersembunyi sama sekali untuk membiarkan Shinohara tinggal sampai larut malam seperti ini, aku bertanya-tanya bagaimana jika posisi ini terbalik—apa yang akan dia pikirkan?
Tentu saja jawabannya jelas.
"...Eh? Kalian berdua, jangan-jangan kalian sudah pacaran?"
Seperti yang kuperkirakan, Ayaka mengeluarkan suara terkejut.
Ketika aku menatap wajahnya, aku melihat ekspresi yang bukan sekadar menggoda, tapi murni terkejut.
Aku teringat, dia adalah orang pertama yang selalu ku beri tahu setiap kali aku punya pacar.
Dari sudut pandang Ayaka, tentu saja ini adalah 2 kali lipat kejutan: bukan hanya karena aku membuat pacar tanpa memberitahunya, tapi juga karena pacar itu adalah Shinohara yang dia kenal.
Melihat Ayaka yang tampak kebingungan dan tidak bisa menemukan kata-katanya, aku melangkah menuju pintu masuk dan melambai.
"Bukan begitu. Jika ada yang terjadi, aku pasti akan memberitahumu."
Meskipun begitu, Ayaka tetap terdiam selama beberapa detik sebelum menggelengkan kepalanya.
"...Memang, kau mungkin akan melakukannya. Tapi melihat situasi ini, siapa pun akan berpikir begitu."
"Ya, itu benar. Kalo bukan kau, aku bahkan aku tidak yakin kalo aku bisa meluruskan kesalahpahaman ini."
"Tidak, aku juga bingung! Jadi, jangan berharap aku bisa mengerti semuanya."
Ayaka menambahkan, "Aku benar-benar terkejut," sambil menutup pintu masuk.
Angin dingin yang masuk ke dalam ruangan terputus, dan sedikit kehangatan mulai terasa.
"Meski begitu, kau pasti akan lebih mudah mengerti dibanding orang lain, kan?"
"Yah, mungkin begitu."
Mahasiswa sering kali memiliki hubungan yang ambigu dengan pria dan wanita, dan meskipun aku tidak memiliki banyak pengalaman mengundang gadis yang tidak aku pacari ke dalam kamarku, aku tidak ingat pernah berada dalam situasi di mana kami ber-2 hanya ber-2-an saja.
Mengingat kalo aku berada disini bersama Shinohara pada pukul 23:30, bisa dibilang kalo kesalahpahaman Ayaka sangatlah wajar.
Tapi, kesalahpahaman itu mungkin sudah terpecahkan.
Pada saat aku yakin akan hal itu dan berencana untuk meminta maaf kepada Shinohara, dia tiba-tiba mengucapkan kata-kata yang tidak terduga.
"Jadi, Ayaka-senpai adalah orang yang tidak tahu waktu dan datang ke rumah orang pada jam seperti ini, ya?"
Mendengar kata-kata itu, Ayaka berhenti sejenak, memiringkan kepalanya dan kemudian melihat ke arah Shinohara.
"...Ah, aku tidak ingin dinasehati oleh seorang remaja yang menghabiskan waktu sampai malam di rumah seorang pria yang belum dijadikannya pacarnya."
— Tidak, kenapa mereka harus bertengkar begitu cepat setelah bertemu?
Tanpa sadar, aku berusaha menghentikan mereka.
"Shinohara, Ayaka itu adalah senpai-mu, ingat?"
"...Oh, benar juga. Maafkan aku."
Shinohara dengan tulus meminta maaf, tapi matanya tetap menatap Ayaka.
Dia tidak menunjukkan perilaku seperti itu saat Gōkon sebelumnya—
— Tidak.
Saat itu mereka bahkan tidak berbicara satu kata pun.
Pasti ada sesuatu di antara mereka.
Aku merasakan ketegangan di udara, dan intuisi itu muncul dalam diriku.
Sekilas aku melirik Ayaka, dan dia tetap menatap Shinohara tanpa mengubah ekspresi tenangnya.
Setelah jeda sejenak, Ayaka mulai berbicara.
"...Anak ini tidak masalah. Dia sudah menjadi kohai-ku sejak lama."
"Sejak lama?"
Aku sudah mendengar kalo Shinohara adalah kohai-nya, tapi apakah itu berarti hubungan mereka sudah ada sebelum kuliah?
Tapi, aku tidak tahu apakah itu berhubungan dengan alasan mengapa suasana antara Shinohara dan Ayaka sedikit tegang.
...Dan sekarang, aku tidak perlu tahu lebih banyak.
Ini adalah masalah mereka.
Setelah berpikir sejenak, aku memutuskan untuk memberikan satu kalimat kepada Shinohara.
"Shinohara, sebaiknya kau berhenti di sini."
Mendengar kata-kataku, Shinohara menoleh sebentar ke arahku sebelum akhirnya menundukkan kepala.
"Maaf. Sepertinya aku memang sedikit terlalu keras."
Shinohara meminta maaf, tetapi Ayaka tampak tidak peduli dan menggelengkan kepala.
"Tidak apa-apa, aku juga minta maaf. Aku juga hanya terpengaruh untuk membalas. Lagipula, sepertinya kalian benar-benar tidak sedang berpacaran, kan?"
"Yap, benar."
Hanya dalam hal itu, Shinohara mengangguk dengan jujur.
Baru saja, Shinohara mengeluh kalo dia 'belum pernah saling menyukai seseorang dengan serius.'
Sepertinya Ayaka juga puas dengan itu, dan dia meletakkan ujung jarinya yang ramping pada gagang pintu.
"Kalau begitu, aku sudah mengganggu kalian. Aku akan mengurus urusanku lain kali."
"Ya, sampai jumpa di kampus."
Ayaka membalas dengan senyuman padaku dan membalikkan tubuhnya.
Tapi, saat dia berbalik, sepertinya dia tertarik pada sesuatu yang dipegang Shinohara.
"Ini ya?"
Shinohara menyadari tatapan itu dan menunjukkan benda yang dipegangnya kepada Ayaka.
"Dompet ini baru saja ku terima dari senpai."
Hatiku berdebar mendengar kata-kata itu.
Ayaka menatap dompet yang diangkat Shinohara dan sedikit mengerutkan keningnya.
Itu bisa dimaklumi, karena dompet itu adalah pilihan Ayaka.
"...Oh, dompet yang bagus."
Ayaka menjawab singkat, lalu sebelum dia pergi, dia menepuk pundakku.
"Kau hebat, seleramu sudah meningkat."
"Tapi, apa ini baik-baik saja?"
Tatapan yang mengandung nuansa itu, Ayaka tampaknya tidak memperhatikannya dan melewatkannya begitu saja.
"Maaf telah mengganggu."
Dengan sapaan terakhir itu, Ayaka melangkah keluar dari pintu depan.
Aku hanya bisa melihat Ayaka yang perlahan menghilang dalam kegelapan.
★★★
"Shinohara, sini sebentar."
"...Eh?"
Saat aku menyilangkan kaki di sofa, Shinohara duduk tegak di lantai di depanku.
Dari luar, situasinya mungkin terlihat bermasalah, tetapi sayangnya, ini adalah rumahku.
Aku tidak perlu khawatir ada orang yang melihat ku.
"Senpai."
"Apa?"
"Lantainya dingin."
"Tidak ada pemanas lantai di apartemen orang yang tinggal sendirian, jadi tahan saja. Lagipula, kau sendiri yang memilih duduk di situ."
Aku melirik Shinohara yang berpakaian santai, lalu menyilangkan kakiku kembali.
Ada satu hal yang ingin kukatakan padanya.
"Sikapmu yang barusan. Ayaka itu tetaplah senpai-mu, kan?"
"...Ya. Maafkan aku."
Santa yang menunduk terlihat tidak bersemangat, jauh lebih lesu dibandingkan setelah dia putus dengan Motosaka.
Dari cara dia dengan tulus meminta maaf, aku bisa tahu kalo dia menyesal.
Setidaknya, dia merasa bersalah karena bersikap seperti itu di hadapanku.
Karena itu, aku memutuskan untuk sedikit mengubah pendekatan.
"...Aku ingin marah, tapi selama kau bisa bersikap biasa di depanku, itu sudah cukup."
Ketika kata-kataku sampai padanya, Shinohara langsung mengangkat wajahnya.
Dengan cepat, ekspresinya menjadi cerah.
"Ya! Aku akan bersikap seperti biasa!"
"Apa ada yang perlu diumumkan seperti itu? ...Yah, pulanglah sekarang. Ini sudah sangat larut."
Ini adalah pertama kalinya Shinohara berada di rumahku sampai waktu yang hampir tengah malam.
Biasanya, aku mengizinkannya pulang sebelum pukul 9, jadi jika hanya berdasarkan perbedaan waktu, itu tidak terlalu istimewa.
"Di zaman sekarang, langka sekali ada orang yang mengizinkan gadis pulang di waktu hampir tengah malam seperti ini. Cobalah sedikit lebih khawatir."
Shinohara mengatakan itu sambil berjalan menuju pintu masuk.
Pintu masuk yang tidak bisa dibilang luas ini semakin sempit dengan 3 atau 4 pasang sepatu bot yang tergeletak, tapi Shinohara sepertinya sudah terbiasa dan dia mengarahkan kakinya ke sepatu hak tingginya.
"Jadi, apa kau tidak penasaran? Kenapa aku bersikap kasar tadi?"
"Tidak juga. Itu tidak ada hubungannya denganku."
"Ah, jangan bilang itu tidak ada hubungannya dengan mu, itu sedikit menyakiti perasaanku, lho."
Setelah selesai mengenakan haknya, Shinohara kembali menatapku.
"Tapi, aku cukup suka sisi keringmu yang seperti itu, Senpai."
"Begitu? Cepat tutup pintunya, dingin"
"...Sungguh, kau orang yang tidak peka! Setidaknya berikan sedikit reaksi!"
Shinohara menjulurkan lidahnya padaku untuk terakhir kalinya sebelum pintu tertutup.
"...Kau mengatakan 'cukup suka' dengan terlalu ringan, tahu."
Aku tahu Shinohara tidak benar-benar merasakan hal itu, tapi kalo ini terjadi di masa SMA, aku pasti akan terbawa suasana.
Jika sampai salah paham, pria akan dianggap sebagai orang jahat.
Begitu juga dengan gadis-gadis, tapi hidup sebagai pria juga tidak mudah.