> CHAPTER 6

CHAPTER 6

 Kamu saat ini sedang membaca  Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu  volume 1  chapter 6. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw





  ......UJIAN......



Keesokan harinya, di ruang merokok kampus, aku dan Ayaka menghabiskan waktu bersama di jam kosong. 


Karena sudah memasuki semester ke-2 tahun ke-2, jadwal kuliah ku mulai memiliki waktu kosong yang biasa disebut sebagai jam kosong. 


Memiliki waktu kosong adalah salah satu hak istimewa sebagai mahasiswa.


Aku sedang menikmati waktu kosong yang menyenangkan ini, tqpi kini aku merasa ada yang berbeda dari Ayaka yang duduk di sebelahku. 


Ayaka sedang menyilangkan tangannya dan bersandar pada dinding, memberikan kesan yang sulit untuk didekati. 


Karena kecantikannya, aku merasa agak ragu untuk mengajaknya bicara. 


Kalo aku tidak mengenalnya, mungkin aku sudah pergi begitu saja.


"Heh, Suasana hatimu sedang buruk hari ini, kan?"


"Hmm, biasa saja."


"Tidak biasa, setidaknya menurutku. Coba lihat, cukup meyakinkan kan? Berdasarkan hubungan kita yang sudah lama—"


"Menjengkelkan."


"Maaf."


Aku berusaha mencairkan suasana dengan bercanda, tapi akhirnya kata-kata itu berubah menjadi permintaan maaf.


"Yah, kau harus memperbaiki suasana hatimu sebelum kuliah berikutnya. Kau kan terkenal dengan karakter yang bisa berteman dengan siapa saja."


"....Bukan karena itu sih. Tapi iya, aku akan hati-hati. Terima kasih."


Ayaka mengucapkan terima kasih dengan tulus, lalu mulai mengutak-atik Hp-nya. 


Dari gerakan jarinya, sepertinya dia sedang memainkan mini game, tapi jarinya terlihat tidak fokus sama sekali. 


Permainan itu segera berakhir dengan kekalahan, dan dia langsung mencoba lagi. 


Aku pun tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya sekali lagi.


"Kau kenapa?"


Ayaka menoleh padaku sejenak, lalu segera mengalihkan lagi pandangannya. 


Ayaka kali ini tidak menyangkal telah terjadi sesuatu.

 

Pasti terjadi sesuatu yang merusak suasana hati Ayaka. 


Entah itu karena kejadian semalam atau hal lain, aku tidak tahu. 


Kalo dia hanyalah teman biasaki, mungkin aku akan berhenti bertanya, tapi ini Ayaka. 


Aku memutuskan untuk bertanya lebih lanjut.


"Katakan saja."


"Sisi lembut yang seharusnya ada padamu itu tidak ada, kan?"


"Itu semua aku tinggalkan di perut ibu-ku."


"Kalau begitu, mulai lagi dari sel telur yang terbuahi."


Ayaka berkata dengan tegas dan keluar dari ruang merokok.


Aku terpaksa menekan rokok yang masih tersisa lebih dari setengahnya ke asbak, lalu mengikuti langkah Ayaka.


"Maaf."


"Aku tidak marah. Lagian, dalam 20 menit juga kuliah akan segera di mulai."


"Kau bukan tipe orang yang masuk ke ruang kuliah dan duduk lebih awal untuk mengambil tempat, kan?"


"Sebelum ujian, berbeda. Yang ini memang benar."


Tanpa berhenti, Ayaka masuk ke gedung dan menekan tombol lift.


Begitu masuk lift, hanya ada aku dan Ayaka di ruang itu.


Lift di kampus cukup luas, dan kecepatan naik-turunnya juga cepat.


Tapi, beberapa detik kita terkurung dalam ruang yang tertutup, dan bau rokok yang tadi aku hisap masih samar tercium.


"Kau harus berhenti merokok sekarang."


Ayaka berkata dengan nada tegas, seolah-olah dia ingin mengatakan itu.


"Kenapa? Tidak masalah kan? Itu urusan ku."


Aku tiba-tiba merasa kesal, meski aku tidak tahu alasan pastinya.


"Itu tidak ada manfaatnya untukmu."


"Ada. Aku bisa melakukan percakapan yang cukup intim dengan senpaiku saat kita jalan-jalan untuk merokok."


Memang benar kalo rokok menambah pengeluaran yang tidak perlu, jadi kalo aku memikirkan tentang isi dompet ku, yang tidak bisa digambarkan sebagai orang kaya, mungkin yang terbaik adalah aku berhenti merokok.


Alu juga memahami kalo banyak sekali kerugiannya, mengingat hal itu dapat membahayakan tubuh.


Tapi, saat aku putus dengan Rena Aisaka, rokok sedikit menenangkan hatiku, dan seperti yang tadi aku katakan, rokok juga bisa mempererat hubunganku dengan para senpai.


Ada juga beberapa manfaat yang cukup banyak, kok.


Begitu pintu lift terbuka, kami sampai di lantai 4, tempat ruang kuliah berada.


Saat kami ber-2 hanya menatap tampilan lift yang turun ke lantai satu, Ayaka tiba-tiba membuka mulut.


"Yah, aku hanya mau bilang, itu tidak cocok untuk mu."


"....Serius?"


"Rokok tidak cocok denganmu, Hasegawa Yuta."


"Jangan katakan itu 2 kali!"


Kalo dia bilang itu tidak baik untuk kesehatanku, aku pasti akan menolaknya, tapi jika dia bilang kalo itu tidak cocok untuk ku, itu berbeda.


Aku tidak terlalu tertarik membeli barang bermerek, tapi aku tetap memiliki sedikit ketertarikan pada fashion, setidaknya sesuai dengan standar mahasiswa biasa.


Dikatakan tidak cocok itu, rasanya lebih menyakitkan dibandingkan alasan kesehatan.


Sepertinya ini saatnya aku benar-benar mempertimbangkan untuk berhenti merokok.


"Aku yakin Shinohara-san tidak menyukai rokok juga. Banyak gadis yang tidak suka bau rokok, lho."


"Tidak, aku tidak merokok di rumah. Sepertinya aku tidak pernah merokok di depan Shinohara."


"Kau bicara seolah-olah dia selalu ada di rumahmu."


Mendengar nada heran dari Ayaka, aku berbisik dalam hatiku, "Dia memang sering ada di sini belakangan ini."


"Jadi, kenapa suasana hatimu sedang buruk?" 


Aku bertanya lagi, dan Ayaka mengerutkan kening, "Lagi?" 


"Kau tidak mau menyerah juga ya. Jarang ada orang yang seberani kau, yang tidak takut dianggap menyebalkan olehku."


"Kalo kau mengatakannya sendiri, kau tidak perlu susah-susah mengatakan itu. Mau bagaimana lagi aku khawatir padamu, dan itu wajar kan, apalagi kita ini teman cn."


Sudah hampir 5 atau 5 tahun kami berteman. Walau bukan kekasih, hubungan kami tetap terasa istimewa.


Ayaka tidak membantah pernyataanku itu, dan dia akhirnya menghela napas menyerah.


"Ini karena sebentar lagi ujian. Aku jadi agak sensitif."


"Lho, jangan-jangan kau kesulitan kali ini?"


"Jangan bodoh, aku seperti biasa saja. Jangan samakan aku dengan mu."


"Kalimatmu selalu panjang dan penuh sindiran!"


Saat aku melakukan tsukko, Ayaka mengendurkan pipinya untuk pertama kalinya.


[TL\n:"Tsukko" adalah sebuah istilah yang sering digunakan dalam bahasa Jepang. Tergantung pada konteksnya, "tsukko" dapat merujuk ke beberapa hal. Secara umum, kata ini mungkin mengacu pada "peran atau karakter seorang teman yang ceria" dalam percakapan, terutama dalam anime atau manga. Kadang-kadang juga bisa berarti "mengganggu atau mengoreksi seseorang secara ringan."]


"Boleh saja aku memberitahumu alasannya, tapi aku mau kafe au lait dari vending machine itu dulu."


"Oke, terus kenapa memangnya?"


Ayaka tidak menjawab, hanya mengarahkan pandangannya ke vending machine.


"...Baiklah." 


Dengan enggan, aku mengeluarkan dompetku dan membeli kafe au lait hangat.


Saat kafe au lait itu jatuh ke laci vending machine dengan suara gedebuk, aku melemparkannya ke arah Ayaka, buru-buru menangkapnya.


"Aduh, jangan dilempar begitu!"


"Kan sudah kau tangkap, jadi tak masalah."


"Hmph, terima kasih." 


Ayaka mendengus dan membuka kalengnya, meneguknya dalam-dalam. 


Melihat seorang mahasiswi minum kafe au lait hangat seperti itu, ada hal lucu yang membuatku tertawa dalam hati.


"Padahal aku jarang masuk kuliah tapi banyak teman sekelas yang tetap meminta melihat catatanku. Mereka bahkan tidak menawarkan imbalan apa pun padaku." 


Ayaka akhirnya memberitahunya alasan suasana hatinya yang buruk sambil membuang kaleng kafe au lait yang kosong ke tempat sampah.


"Uang mungkin bisa jadi imbalan?" 


Saat aku mengatakan ini, kupikir Ayaka bukan tipe yang mengharapkan imbalan materi.


Benar saja, dia memandangku dengan tatapan tajam.


"Aku tidak membutuhkannya. Memang ada yang menawarkan, tapi kebanyakan hanya sekitar 5.000 yen. Kalo dihitung per jam, itu cuma setara dengan upah yang sangat kecil."


Begitu dia mulai berbicara, Ayaka sepertinya ingin mengatakan semuanya dan di tidak berniat untuk berhenti.


"Intinya, kalo mau meminta tolong, lakukan pertukaran yang setara. Misalnya, mencatat di kelas saat aku tidak hadir. Karena sikap seperti itulah mereka tidak dianggap, orang-orang bodoh itu." 


Dari perkataannya, dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang ditunjuk Ayaka itu adalah laki-laki. 


Menolak pun sulit, karena dia berusaha untuk tetap terlihat ramah pada semua orang. 


Aku tidak terlalu ingat Ayaka bersikap seperti itu saat di SMA, jadi mungkin ini beban baru baginya sejak masuk kuliah.


Tapu, ada satu masalah.


"Kenapa aku harus memberikan catatanku kepada orang yang tidak memberiku keuntungan apa pun, padahal aku juga menghabiskan waktu yang sama untuk mengikuti kuliah?"


...Padahal aku juga sering meminjam catatan Ayaka. 


Kalo dibilang sulit bangun pagi, kedengarannya cukup baik, tapi sebenarnya, aku sering bolos kuliah hanya karena gaya hidup yang malas. 


Setiap kali itu terjadi, aku meminjam catatan Ayaka, dan bahkan saat menghadiri kuliah pun, aku lebih bisa memahami catatan Ayaka, sehingga aku terus meminjamnya.


Nyaris tidak pernah terlintas dalam pikiranku untuk melakukan pertukaran setara yang dia bicarakan. 


Seketika rasa bersalah menyergapku.


"...Yah, sejujurnya aku tahu ini di dalam hatiku, tapi begitu mendengar langsung begini, aku merasa harus menyesalinya. Maaf, sungguh, aku benar-benar minta maaf.”


Saat aku meminta maaf dengan cemas, Ayaka tampak terkejut dan mengedipkan mata.


"Itu tidak masalah ko. Kalo kau tidak apa-apa."


"Apa?"


"Jangan tiba-tiba minta maaf begitu."


Ayaka tertawa.


"Kenapa aku dikecualikan?"


"Entahlah. Mungkin memberikan catatan padamu itu sudah menjadi keuntunganku."


Aku batuk tanpa sadar karena mencoba memahami maksudnya secara tepat.


"Ap–apa maksudmu itu?!"


"Maksudku, dengan membuatmu berhutang budi, aku bisa memanfaatkanmu."


Ayaka tersenyum licik dan masuk lebih dulu ke ruang kuliah.


Mendengar leluconnya yang buruk itu, aku bersumpah untuk tidak akan pernah mentraktirnya lagi.


★★★


Kampus tempat ku berkuliah ini untuk jurusan seni liberal cukup mudah untuk mendapatkan nilai kecuali untuk fakultas hukum. 


Tidak ada mata kuliah dengan tingkat ketidaklulusan yang melebihi 80%, dan lebih dari setengah mahasiswa biasanya bisa lulus. 


Pemahamanku adalah selama aku terus hadir di kelas dan asalkan aku belajar dengan baik, aki seharusnya bisa lulus. 


Hari ini adalah ujian terakhir di semester ini. 


Aku meminjam catatan yang sudah dirangkum dengan rapi oleh Ayaka dan menghabiskan waktu semalaman untuk mempelajari semua materi yang cukup luas. 


Meski mata kuliah ini tidak memperbolehkan membawa catatan, berkat belajar semalaman, aku merasa tidak terlalu khawatir akan gagal. 


Ujian akan dimulai dalam 20 menit, dan sepertinya aku tidak perlu belajar lagi sampai menit terakhir.


Aku merapikan mejaku, meninggalkan hanya alat tulis di atasnya. 


Lalu, aku merasa ada seseorang yang memperhatikanku. 


Ketika aku mengangkat wajah, seseorang bertanya padaku.


"Boleh aku duduk di sebelah sini?"


Seorang mahasiswa yang tampaknya seumuran denganku bertanya.


"Silakan."


Mahasiswa laki-laki yang tidak kukenal itu sedikit menundukkan kepalanya dan mulai bersiap-siap untuk ujian. 


Saat di SMA, meskipun berhadapan dengan seseorang yang tidak ku kenal, aku tidak pernah menggunakan bahasa formal kalo kami seumuran. 


Ini adalah salah satu perubahan yang terjadi sejak aku kuliah.


Karena sudah tidak ada lagi yang perlu dilakukan, aku melihat sekeliling. 


Ayaka duduk di kursi di sisi lain ruangan, dia sedang mendiskusikan soal bersama teman-temannya. 


Karena berada di sisi yang berlawanan, aku tidak bisa melihat ekspresinya dengan jelas. 


Tapi, dari gerak-geriknya, aku bisa mengenalinya sebagai Ayaka, itu adalah sebuah tanda hubungan yang sudah cukup lama.


Di kampus ini, ruang kelas memiliki berbagai jenis, tapi, ruang kelas tempat aku berada saat ini termasuk kategori yang cukup besar. 


Ada sekitar 15 baris meja panjang dari depan ke belakang, dan sekitar 20 baris dari kiri ke kanan, dengan 3 mahasiswa duduk di setiap meja. 


Saat ujian, untuk mencegah kecurangan, hanya 2 orang yang boleh duduk di setiap meja. 


Tapi, meski ada pengurangan tempat duduk, tapi itu tetap cukup untuk semua mahasiswa yang hadir.


Ketika dosen masuk, keributan di ruang kuliah perlahan mereda, dan lembar ujian dibagikan.


Aku memperhatikan dengan seksama, khawatir soal-soalnya akan terlihat dari belakang, tapai sepertinya tidak ada soal pilihan ganda.


Hal ini dapat diketahui karena deretan huruf yang terlihat hanya terbagi menjadi 2 bagian.


"Wow..."


Aku bisa mendengar gumaman yang datang dari tempat duduk di sebelahku dan yah, aku memahami gumama itu. 


Kalo hanya ada 2 soal, pasti soal tersebut mengharuskan penulisan yang sangat mendetail. 


Para mahasiswa yang hanya belajar secara umum pasti akan kesulitan.


Suara lonceng berbunyi, dan aku menggenggam pena.


Ujian pun dimulai.


★★★


"Selesai."


Aku berhasil menulis jawaban untuk soal pertama, meskipun dengan susah payah. 


Tapi soal ke-2 tentang sesuatu yang telah menghilang dari ingatanku, dan penaku hanya berhasil menulis 4 baris sebelum mencapai batas.


Setidaknya, seharusnya aku membutuhkan sekitar 20 baris untuk menjawab soal tersebut, tapi aku hanya menulis 4.


Misalnya, soal yang diberikan adalah, "Apa yang kau lakukan selama liburan musim dingin? Tuliskan dengan detail tentang hal yang paling menyenankan dan makanan yang paling enak menurutmu."


Jawabanku kemungkinan besar adalah, "Hari ini aku berencana pergi ke kafe."


Begitu buruknya sampai aku tidak bisa memahami maksud soal tersebut.


Aku rasa aku bahkan tidak bisa berharap mendapatkan nilai dari soal ini.


Meskipun ujian sudah selesai, aku masih merasa tertekan dan dikelilingi suasana hati yang buruk. 


Melihatku seperti itu, Ayaka mengeluarkan suara terkejut.


"Hah, kau tidak bisa jawab itu? Bukankah kau sudah menandai beberapa bagian di catatanmu tentang kemungkinan soal seperti itu?"


"Hahaha."


"...Apa...kau tidak baik-baik saja?"


Ayaka bertanya dengan nada khawatir, sedikit terkejut, lalu terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya menepuk tangannya.


"Ah, benar, besok kita ada acara kumpul setelah ujian. Apa kau mau ikut? Ini pesta minuman besar, sudah lama kan kau tidak ikut acara yang seperti itu?"


"...Pesta minuman? Ah, iya, memang sejak di klub aku tidak pernah ikut yang sebesar itu."


Setelah mendengar jawabanku, Ayaka langsung mengeluarkan Hp-nya dan mulai mengetik.


"Sudah, aku sudah mengirim undangannya. Klub kita cukup terbuka, kok, dan jika sudah ada alkohol, aku rasa kau juga akan menikmatinya."


Padahal aku belum memberi jawabanku, tapi Ayaka sudah bertindak begitu cepat.


Tapi kali ini, aku merasa sedikit tertarik, jadi aku memutuskan untuk mengucapkan terima kasih dengan tulus.


"Terima kasih."


"Mm."


Ayaka menjawab singkat, lalu meregangkan tubuhnya.


"Tapi, dengan ini kita berdua akhirnya bebas untuk sementara waktu. Mari kita nikmati liburan musim semi yang panjang ini."


"Benar, kita punya 2 bulan, kan?"


"Yap, betul. Klub kami akan pergi berlibur, aku cukup menantikannya."


"Kau ikut beberapa klub, kan? Klub yang mana itu?"


"Klub luar ruangan."


"Oh, jadi kalian akan mendaki gunung?"


"Ah, tidak, kami akan pergi ke pemandian air panas dan makan kepiting."


"Aku rasa begitu!"


Mendengar 'klub luar ruangan', banyak orang mungkin langsung berpikir tentang kegiatan seperti mendaki gunung, tapi kenyataannya itu tidak selalu seperti itu.


Sebagian besar klub lebih sering mengadakan pertemuan besar, seperti pesta minuman atau perjalanan wisata biasa.


Tergantung kampusnya juga sih, tapi setidaknya di kampusku, hampir semua klub luar ruangan seperti itu.


Beberapa klub bahkan melakukan seleksi dengan formulir pendaftaran untuk bergabung, dan aku masih ingat betapa terkejutnya aku ketika mengetahui hal itu saat tahun pertama.


"Kau, belakangan ini masih ikut klub?"


"Tidak, sama sekali tidak."


Padahal, aku juga bergabung dengan klub bola basket.


Untuk memperluas pergaulan di kampus, klub adalah cara yang paling cepat. 


Sebaliknya, jika tidak bergabung dengan klub, sangat sulit untuk memperluas jaringan pertemanan.


"Kenapa kau tidak pergi saja? Kau kan cukup suka dengan klub itu."


"Yah, aku memang suka, sih."


Biasanya, klub itu lebih banyak mengadakan pertandingan, dan kadang juga latihan yang serius.


Bagi ku, keseimbangan seperti itu terasa nyaman, karena aku bisa melepaskan stres dengan cara yang pas.


Tapi, aku berhenti pergi kesana setelah putus dengan Rena Aisaka. 


Sudah sekitar 2 bulan sejak terakhir kali aku pergi ke sana.


Alasannya adalah karena Rena pernah berhubungan dengan beberapa orang yang aku kenal di sana.


Setelah dikhianati, aku benar-benar tidak ingin dipertanyakan tentang alasan perpisahan itu oleh orang-orang tersebut.


Tapi, kondisiku sekarang berbeda dengan waktu itu.


Sudah saatnya aku kembali ke kehidupan sehari-hari.


"....Benar. Aku harus mulai pergi lagi."


"Ya, itu bisa jadi cara yang baik untuk mengalihkan pikiran."


Ayaka sedikit tersenyum.


"Kalo begitu, aku pergi dulu ya. Aku ada janji makan dengan teman-teman di jurusan."


"Baiklah, hati-hati."


Ayaka melambaikan tangannya dengan ceria saat kembali ke ruang kuliah. 


Teman-teman jurusannya pasti sudah menunggunya di sana.


".....Aku juga ikut pergi, sepertinya."


Jika aku melewatkan kesempatan untuk pergi ke klub setelah ujian ini, mungkin akan butuh waktu lebih lama lagi sampai akhirnya aku kembali ke sana.


Aku menghubungi teman-temanku dan memberitahukan, "Aku akan pergi ke klub setelah sekian lama!"


Meskipun aku mengenal teman-teman Ayaka, aku belum pernah makan bersama mereka. 


Kami saling berbicara sedikit jika bertemu, jadi rasanya bisa saja pergi kapan saja, tapi kenyataannya, aku tidak pernah punya alasan untuk melakukannya.


Kemungkinan besar, Ayaka sendiri tidak terlalu bersemangat untuk mengajak aku bergabung dalam kelompoknya. 


Jika dia ingin begitu, dia pasti sudah mengundangku lebih dulu. 


Dia selalu cepat mengajakku ikut dalam acara seperti pertemuan klub atau pesta minuman.


Mungkin di kelompok itu, ada sisi lain dari Ayaka yang aku belum tahu.


Entahlah, apakah memang ada sisi lain itu atau tidak.


Yang jelas, aku belum pernah mendengar cerita tentang Ayaka sebelum kami bertemu di SMA.


Aku memang tertarik, tapi rasanya akan sulit mengetahui hal itu tanpa adanya alasan yang jelas untuk bertanya.


Bahkan jika aku coba menanyakannya dengan halus, dia sering kali menghindar dengan alasan yang tidak jelas.


Sambil berpikir seperti itu, Hp-ku yang ada di saku bergetar.


Itu pesan dari Shinohara.


"Terima kasih atas kerja kerasmu dalam ujian ini! Kamu ada di mana sekarang?"


Timing-nya kurang pas.


Karena aku baru saja memutuskan untuk pergi ke klub setelah sekian lama, kalo itu ajakan untuk bersenang-senang, aku pasti menolaknya.


Panggilan masuk dari Shinohara muncul di layar.


Setelah sedikit ragu, aku memutuskan untuk menjawabnya.


"Hai, senpai, terima kasih atas kerja kerasmu!"


"Ah, ya, terima kasih. Maaf, tapi aku tidak bisa bertemu dengan mu hari ini."


"Eh, kenapa?"


"Hari ini aku ingin pergi ke klub-ku setelah sekian lama, jadi aku harus melewatkan yang lain."


"Ehh, kalo begitu, kalo cuma makan siang bersama ku juga tidak apa-apa, kok? Tadi aku baru saja menolak ajakan makan siang, jadi aku bebas sampai sore."


Dia baru saja menolak ajakan makan siang teman-temanya, jadi mungkin dia memang berniat makan siang bersamaku. 


Aku merasa agak bersalah, tapi aku harus menahan diri.


"Ya, itu kan masalah mu."


"Iya, itu memang masalah ku. Dan kau kan baik, jadi kau pasti mau menemani ku di saat-saat seperti ini, kan?"


"Ha? Apa maksudnya itu?"


"Apa kau tau? Ketika seseorang mengatakan kalo kita manusia yang hati, kita bisa jadi benar-benar menjadi lebih baik hati, lho."


"Begitu ya, kalau begitu sepertinya aku bukan manusia. Sampai jumpa."


"Eh, tunggu sebentar! Aku yang traktir kok!"


Dengan rayuan Shinohara yang panik, aku pun sedikit tergoda.


Sekali lagi, sebagai mahasiswa yang tinggal sendiri, kalo aku pulang, makan malam tidak akan muncul dengan sendirinya.


Aku harus memasak sendiri, makan di luar, atau membeli makanan siap saji.


Dan karena aku tidak bisa memasak, pilihan yang tersisa adalah opsi yang lebih mahal.


Dengan kata lain, menghemat uang untuk makan cukup menarik.


Meskipun itu berarti aku harus membiarkan gadis yang lebih muda mentraktirku.


"Baiklah, mau bagaimana lagi, kalo begitu, aku ikut. Kita akan bertemu di depan kafetaria kampus."


"Fufu, kau gampang sekali."


Setelah kata-kata itu, panggilan pun terputus.


Sekilas, aku sempat berpikir untuk membatalkan janji itu dan pulang begitu saja.


★★★


"Senpai, di sini!"


Saat aku memandang sekeliling, aku melihat Shinohara yang melambaikan tangannya. 


Melihat dia, aku bisa langsung tahu kalau dia benar-benar menarik perhatian.


Ketika kelompok pria melihat ke arahnya, mereka segera mulai berbicara dengan sibuk, dan aku tidak bisa menahan diri untuk menghela napas pelan.


Hanya dengan wajah yang imutnya saja, dia sudah cukup mencolok, jadi tolong jangan meninggikan suaramu di tengah kerumunan orang secara acak.


Aku juga yang akan bergabung dengannya, jadi bisa sedikit merasa canggung.


"Oh."


Saat aku menyapa Shinohara, kelompok pria itu terlihat kecewa dan berbisik, "Ternyata ada orang yang lebih dulu ya..." lalu pergi.


Seperti yang kuduga, mereka tampaknya sedang berdiskusi untuk mengajak Shinohara makan siang.


Entah dia tidak menyadari hal itu atau dia memang sengaja mengabaikannya.


"Terima kasih atas kerja kerasmu dalam ujian ini!!"


"Semangatmu tinggi sekali ya."


"Kenapa senpai malah kelihatan lesu? Kan ujian sudah selesai?"


Aku merasa ingin mengeluh pada Shinohara yang tetap ceria, tanpa menyadari suasana hatiku.


"Aku lelah karena baru selesai ujian."


Mendengar jawabanku, Shinohara menggembung pipinya dengan cemberut.


"Senpai... Kau kelihatan seperti tidak tertarik sama sekali diajak makan sama gadis, dan itu malah membuatku terlihat seperti pengganggu."


Shinohara memperhatikan reaksiku, menambahkan kata-kata yang tidak perlu, "Terlebih lagi, ini aku?"


Ekspresi menggoda yang dia tunjukkan mirip dengan Ayaka, meskipun hubungan mereka ber-2 tampaknya tidak terlalu akrab.


Aku tidak akan mengatakannya, tapi itu jelas terlihat.


"Kalo merasa lelah, meskipun aku laki-laki, aku tidak bisa langsung semangat."


"Begitu kah..."


Shinohara masih terlihat tidak puas, dia berjalan sedikit di depanku sambil cemberut.


Aku sudah memikirkannya sejak lama, aku memang merasa setiap ekspresi Shinohara bisa dengan mudah membuat hati pria terbuai.


Apakah Shinohara sadar atau tidak, dia tampaknya memiliki daya tarik yang sama dengan Ayaka, yang berhasil memikat banyak orang dengan sikap yang agak menggoda. 


Sebelum memiliki pacar percobaan seperti Motosaka, Shinohara sudah sering menerima pengakuan dari pria, seperti yang pernah dia ceritakan padaku saat Natal. 


Banyak pria yang terjebak dalam pesonanya dan akhirnya kecewa. 


Memikirkan mereka yang 'gugur' seperti itu membuatku terkadang ingin menjaga jarak dengan Shinohara dan bersikap lebih hati-hati. 


Tapi, Shinohara sangat aktif, sehingga perasaan tersebut tidak pernah muncul di permukaan.


Saat ini, Shinohara sedang mencari tempat makan menggunakan Hp-nya, mencoba menemukan restoran yang dekat dengan kampus. 


Meskipun ada kantin dan kafe di kampus, tempat itu sering kali ramai karena harganya yang murah. 


Seperti yang pernah dia katakan, jika ingin makan dengan tenang, lebih baik pergi ke restoran biasa.


Tapi, sebelum makan, ada satu hal yang harus ku atasi terlebih dahulu.


"Shinohara, aku belum lapar." 


Karena hampir tidak tidur saat belajar untuk ujian, aku punya banyak waktu di pagi hari, sehingga aku bisa makan sarapan lebih banyak dari biasanya. Tapi, perutku belum siap untuk makan siang.


"Kalo begitu, apa yang harus kita lakukan? Mungkin kita bisa cari tempat dulu dan jalan-jalan di sekitar sana?" 


"Aku malah ingin segera pergi ke klub." 


"Tidak bisa begitu. Lalu bagaimana dengan waktu luang ku?"


Begitu aku berkata begitu, wajah Shinohara langsung cerah.


Aku punya firasat buruk.


"Aku bisa ikut ke klub bersama mu senpai!" 


"Dasar bodoh, berhenti!"  


Salah satu keuntungan dari ikut klub adalah tidak ada perasaan terikat seperti di kegiatan formal. 


Tentu saja, semakin lama tidak datang, semakin sulit untuk kembali, tapi kalo sudah punya hubungan baik dengan anggota lainnya, biasanya tidak masalah. 


Itu berarti, meskipun aku membawa Shinohara ke klub, mereka justru akan senang.


Tapi, aku baru saja putus dengan Aisaka Rena, dan sudah lama tidak ikut kegiatan klub basket 'Start'. 


Kalo kali ini aku kembali dengan membawa seorang gadis, pasti akan terasa canggung. 


Aku sendiri tentu merasa tidak nyaman, dan aku juga tidak ingin membuat teman-temanku merasa canggung. 


Tapi, sepertinya Shinohara tidak memahami perasaanku.


"Senpai, aku tidak sabar melihatmu bermain basket, kira-kira aksi seperti apa yang akan kau tunjukkan?"


"Jangan berharap terlalu banyak dari permainan ku. Aku bukan pemain super yang bisa menunjukkan aksi spektakuler." 


Setelah mengatakannya, aku pun memutuskan untuk menerima keadaan ini.


Daripada menolak, lebih baik membiarkan dia menonton saja, supaya tidak ada masalah yang muncul.


Aku berdoa dalam hati agar tidak terjadi kesalahpahaman yang aneh


★★★


"Maaf, boleh aku pinjam sepatu latihanmu." 


Sambil dibungkus oleh bau yang tidak biasa, aku menyapa temanku yang sedang mengikat tali sepatu basket di sampingku. 


Masato Toudou, yang rambutnya diwarnai abu-abu, menjawab, "Tidak masalah." 


Toudou adalah teman yang kukenal di acara sambutan untuk anggota baru di klub lain. 


Kami berteman sejak awal masuk kampus, dan aku mulai merokok karena pengaruh Toudou


Dia adalah orang yang tenang, dan aku merasa nyaman berada di dekatnya. 


"Sudah lama juga ya, kau tidak datang ke gimnasium. Sejak pacarmu mencampakkanmu, kan?" 


"Aku tidak campakan kok, setidaknya itu bukan alasan utamanya." 


Ketika aku membela diri, Toudou tertawa kecil. 


"Apa sih harga diri itu? Meskipun aku mengerti perasaanmu." 


"Kan aku bilang, pacarku selingkuh. Itu saja sudah cukup memalukan, jadi biarkan saja aku yang bilang kalau aku yang mencampakkannya." 


Aku tidak berpikir kalo di campakan itu memalukan, tapi kalo seorang pria campakan karena selingkuh, itu berbeda ceritanya. 


Meskipun itu tergantung orangnya, setidaknya harga diriku akan sangat tergores. 


Tapi, Toudou yang sedang meregangkan tubuhnya berkata, 


"Selingkuh itu yang memalukan. Untunglah kau bisa putus dengan orang yang seperti itu sekarang." 


"Ya, memang lebih menyedihkan kalo aku tetap bertahan tanpa tahu apa-apa." 


"Kan." 


Toudou tersenyum lebar dan mengambil bola basket. 


Dengan wajah tampannya, Toudou jelas sangat populer. 


Tapi, dia tetap setia pada pacarnya yang sudah 2 tahun bersama, dan dia tidak bermain-main dengan perempuan lain. 


Waktu yang kuhabiskan bersama Toudou adalah waktu yang sangat kusukai. 


"Apa sepatu basket mu ukurannya pas?" 


Toudou melemparkan pandangannya ke sepatu yang sedang kupakai. 


Sepatu itu adalah yang dipinjamkan oleh klub, dan ukurannya sedikit besar. 


Tapi, jika tali sepatu dikencangkan dengan baik, seharusnya tidak ada masalah saat bermain. 


"Pas kok. Meskipun agak jelek." 


"Hei, apa yang kamu bicarakan ketika kamu menunggak biaya klubmu? Bersyukurlah kamu bisa menggunakannya." 


"Ah, jadi sepatu ini dari iuran klub, ya?"


"Benar, itu uang pajak yang diambil dari kami. Gunakanlah dengan bijak."


"Tentu, aku mengerti."


Jawaban ku membuat Toudou tertawa lebar sambil memutar bola di ujung jarinya.


"Ngomong-ngomong, siapa gadis yang berdiri di pintu itu? Sepertinya dia sering sekali memandangi kita."


Saat aku mengikuti arah pandang Todo, aku melihat Shinohara yang sedang mengintip ke dalam gimnasium.


Anggota lainnya juga terlihat mencuri pandang ke arahnya, jelas dia menarik perhatian.


Ketika mata kami bertemu, Shinohara melompat-lompat kecil dan melambaikan tangan ke arah kami.


Begitu anggota lainnya menyadari bahwa aku ada di arah yang sama dengan lambaian tangan itu, ekspresi terkejut pun muncul di wajah mereka.


"Ah, iya, aku lupa kalo aku yang membawanya."


"Pacar barumu?"


"Tentu saja bukan."


"Aku rasa kau tidak akan memiliki pacar dalam waktu dekat."


Toudou menyipitkan matanya seolah mengatakan kalo dia tahu apa yang sedang terjadi.


aku hanya hanya terdiam, tidak dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab. 


Bukannya aku tidak punya niat mencari pacar pagi.


Tapi tak bisa dipungkiri kalo aku ragu dengan cinta.


Kalo aku kembali diselingkuhi,

perasaan kalo semua waktu yang kami habiskan bersama menjadi sia-sia itu sudah cukup untuk membuat ku enggan mengambil langkah lebih jauh.


Dalam hal ini, perkataan Toudou ada benarnya.

"Bagaimana dengan Ayaka-san?"


"Ah, dia bukan tipe yang seperti itu. Kami hanya teman biasa."


Saat aku mengatakan itu, Toudou menggulingkan bola yang dia putar ke sudut gimnasium.


"Kau selalu mengatakan hal itu, tapi aku tidak paham alasanmu. Bagaimana bisa kau tidak tertarik pada seseorang yang secantik itu?"


"Kalo kau memiliki teman perempuan yang cantik, apa kau akan langsung jatuh cinta padanya?"


"Aku sudah punya pacar, jadi itu tidak menjadi masalah. Tapi kau kan masih belum memiliki siapa-siapa."


Toudou meletakkan tangannya di pundak ku dan kembali menatap ke arah Shinohara.


"Tapi serius, dia sangat cantik. Kau tidak punya teman secantik dia kan di tempat kerja paruh waktu mu, kan? Bagaimana bisa kau kenal dia? Apa lewat acara kencan buta?"


Aku berpikir sejenak sebelum memberikan jawaban.


"...Aku menabrak dia ketika dia menjadi Santa."


"Hah?"


Toudou terlihat bingung, sementara aku berlari menuju mantan Santa yang sedang menunggu di sana.


Meski aku begadang semalam, tubuh ku terasa sangat ringan.




Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال