> CHAPTER 3

CHAPTER 3

 Kamu saat ini sedang membaca  Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu  volume 3,  Chapter 3. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw


HARI ITU


Tahun pertama kuliah, musim gugur.


Aku bersama anggota klub 'Start', termasuk Toudou, mengunjungi festival kampus putri.


Di dekat kampusku, terdapat kampus putri yang cukup terkenal. 


Festival yang diadakan di kampus tersebut memiliki suasana yang benar-benar berbeda dibandingkan dengan festival di kampus campuran.


Semua staf di stan pameran maupun pengisi acara merupakan mahasiswi di kampus itu. 


Dikombinasikan dengan suasana khas kampus putti yang gemerlap, tempat itu jelas bukanlah lingkungan yang biasa dinikmati oleh mahasiswa laki-laki.


Selain itu, di kalangan mahasiswa laki-laki, festival tersebut juga terkenal sebagai ajang pertemuan.


Ke mana pun mata memandang, para mahasiswi berpenampilan menarik melayani para pengunjung dengan berbagai busana. 


Bagi mahasiswa laki-laki yang belum memiliki pasangan, tempat ini mungkin terlihat seperti taman bunga.


Orang yang mengajakku ke festival ini adalah Toudou, yang baru saja memiliki pacar. 


Ngomong-ngomong, pacarnya itu sepertinya adalah mahasiswi di kampus ini.


Karena aku tidak berniat mencari pasangan di festival ini, jadi sejak awal aku tidak begitu tertarik dengan ajakan Toudou. 


Tapi, karena didesak oleh anggota klub lainnya yang ikut mendengar ajakan itu, akhirnya aku tidak punya pilihan selain ikut.


Tapu, kalo aku benar-benar tidak mau, aku sebenarnya bisa saja menolak.


Keputusanku untuk dengan enggan mengikuti festival itu sebagian besar didorong oleh rasa penasaran terhadap pacar Toudou, yang merupakan mahasiswi di kampus ini.


Rasa ingin tahu tentang seperti apa pacar seorang teman adalah hal yang wajar bagi siapa saja.


"Pacarku terus-terusan menyuruhku datang ke festival ini. Katanya, dia merasa tidak nyaman kalo dia datang sendirian."  


Meskipun dia mencoba menunjukkan ekspresi seolah merasa bersalah, nada bicaranya dengan jelas menunjukkan kebahagiaannya.


Sambil menahan rasa tidak suka mendengar cerita tentang kemesraan mereka, aku akhirnya membuka mulut.


"Meski begitu, kalo kita datang dengan kelompok sebesar ini, pasti kita akan susah bergerak. Kita juga belum tentu bisa bertemu dengannya, kan?"


Saat aku mengalihkan pandanganku, terlihat para penjual memanggil pelanggan dengan suara ceria yang menggema.


Di belakang kami berdua, anggota grup 'Start' berbincang dengan penuh semangat. 


Suasananya sama seperti saat mengantri di taman hiburan.


Toudou, dengan nada rendah yang terdengar benar-benar merasa bersalah kali ini, berusaha menjelaskan, "Jangan bilang begitu, aku juga tidak menyangka semua orang akan ikut sejauh ini."


Anggota klub yang sedang mengantri terlihat menikmati suasana sekitar dan tidak menyadari percakapan kami.


"Setelah makan Castella, kita akan berpisah."  


Castella mengangguk. "Yah, kemungkinan besar kita hanya bersama-sama di toko pertama ini saja. Setelah memberi tahu mereka, selebihnya akan secara alami jadi aktivitas bebas."


Antrean di stan Castella ini bergerak lambat, membuatku meregangkan tubuhku sedikit karena merasa agak lelah.


Seorang penjaga yang sedang mengatur antrean panjang lewat di dekat kami. 


Aroma parfum Shioume yang pas tercium samar-samar, menggoda indra penciuman.


Toudou sepertinya juga merasakannya, lalu berkata dengan nada riang,


"Kampus putti memang luar biasa, ya. Setiap kali staf lewat, selalu tercium aroma yang wangi."


"Kalo pacarmu mendengar itu, bukankah itu bisa jadi masalah?" 


"Ya, tentu saja itu akan jadi masalah kalo aku mengatakannya di depannya. Tapi kau bukan pacarku. Jadi tidak masalah,"  


Kalo tidak ada yang mendengar, maka itu sama saja seperti tidak pernah diucapkan.


Pendapat Toudou itu adalah sesuatu yang tidak pernah terlintas di pikiranku sebelumnya. 


Tapi, aku mulai merasa kalo cara berpikirnya yang lugas mungkin adalah alasan kenapa dia bisa menjalin hubungan yang cukup lama dengan pacarnya.


Saat aku hendak menjawab, suara seoran Senpai di belakang memotong percakapan kami.


"Toudou, pacarmu kerja di stan yang mana?"


Ketika ditanya oleh Senpai, Toudou menjawab, "Aku juga tidak tahu. Harusnya mereka ada di stan baby castella, tapi sepertinya bukan di sini."


Baby castella adalah menu khas yang biasa dijual di acara festival sekolah, dan pasti ada beberapa tempat yang menjualnya. 


Tapi, sepertinya dia tidak sempat menanyakan nama standnya.


Ketika para Senpai mulai bercanda dan menggoda Toudou karena kurang telitinya, tanpa sadar jarak antara mereka dan orang di depan barisan mulai melebar. 


Mereka terligat terlalu asyik berbincang hingga lupa untuk maju.


Melihat kejadian itu dari sudut pandang yang berbeda, aku merasa ada sesuatu yang sedikit tidak menyenangkan. 


Meski tahu kali kami jadi menghambat laju antrean, aku pun bergabung ke dalam lingkaran pembicaraan Toudou dan para Senpai itu.


Ketika aku mulai bertanya-tanya untuk apa sebenarnya aku ada di sini, suara ceria tiba-tiba memanggil kami.


"Permisi, senpai!"


Ketika aku menoleh, seorang mahasiswi dengan rambut diwarnai abu-abu keperakan sedang berdiri di sana.


Hari itu, aku telah melihat banyak penjaga stan yang manis, tapi dia terlihat menonjol di antara mereka.


Orang-orang dari klub yang berdiri di belakangku juga terlihat sama, mereka menatap mahasiswi itu dengan penuh rasa ingin tahu. 


Penampilannya yang memukau seolah-olah mewakili reputasi tinggi yang dimiliki kampus ini, membuat semua orang di sana merasa berdebar-debar.


"Sepertinya antreannya terhenti, jadi aku hanya ingin..."


Sebelum mahasiswi itu selesai berbicara, para Senpai buru-buru berkata, "Maaf!" sambil mengisi ruang kosong dalam antrean dengan cepat. 


Mereka tentu tidak bermaksud buruk, jadi mengikuti permintaannya itu adalah hal yang wajar. 


Tapi, kecepatan mereka menuruti instruksi itu jelas dipengaruhi oleh penampilan mahasiswi tersebut.


Setelah para Senpai dengan patuh menuruti arahannya, mahasiswi itu mengucapkan terima kasih dan hendak pergi.


Tepat saat itu, salah satu Senpai yang terkenal suka bermain-main, seperti yang sudah diduga, memanggilnya untuk berhenti.


"Setelah festival ini selesai, apa kalian ada acara perayaan? Kalo iya, bagaimana kalo—"


Melihat ekspresi mahasiswi itu yang terlihat sedikit bimbang namun tidak sepenuhnya menolak, aku memutuskan untuk keluar dari antrean.


Mungkin menggoda perempuan sudah menjadi hal yang biasa di festival kampus, tapi aku merasa itu bukan sesuatu yang cocok untukku.


"Aku mau pergi ke tempat lain sebentar."


Setelah mengatakan itu, mahasiswi yang sedang digoda itu menatap ke arahku. 


Tatapannya aneh, seolah-olah dia tahu sesuatu yang tidak kuketahui.


Para Senpai hanya menanggapi perkataanku tanpa terlalu peduli dengan keputusanku keluar dari antrean, lalu kembali mencoba mengundangnya lagi.


Dalam satu klub, memang ada orang-orang yang jarang berhubungan satu sama lain. 


Dengan aktivitas yang hanya 2 kali seminggu dan kehadiran yang tidak selalu penuh, wajar kalo separuh anggota klub hanya sebatas saling mengenal wajah. 


Tapi, bagi orang seperti Toudou atau Ayaka yang memiliki kemampuan sosial luar biasa, hal itu tentu tidak menjadi masalah.




Akhirnya, setelah berjalan-jalan tanpa tujuan selama sekitar 15 menit, Toudou menyusulku.


"Apa kau sudah bertemu dengannya?"


Ketika aku bertanya dengan nada sedikit menyindir, Toudou menggelengkan kepalanya.


"Tidak, sepertinya dia belum punya waktu sekarang. Jadi aku harus menunggu nanti. Tapi kau, keluar sendirian dan sama sekali tidak melakukan apa-apa."


Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya berjalan-jalan, jadi komentar Toudou itu benar adanya.


"Ikut-ikutan menggoda orang itu memalukan bagiku... Bukan berarti aku bilang para Senpai itu memalukan atau semacamnya."


Untuk menjaga hubungan baik dengan mereka, aku mencoba menjelaskan dengan cara yang halus. Tapi Toudou hanya tersenyum kecil.


"Yah, aku mengerti. Aku juga merasa agak berat kalo harus dilihat oleh pacarku saat berdiri bersama para Senpai yang seperti itu."


"Kau tidak masalah. Toh, kau hanya melihat saja, kan."


"Entahlah. Dia itu sedikit mudah cemburu."


"Itu bukan urusanku."


"Hei, tadi itu komentar normal sesuai dengan alur pembicaraan, kan?"


Ketika aku tertawa, Toudou juga ikut tertawa.


Rasa kesepian yang sempat muncul tadi perlahan menghilang bersama tawa itu. 


Setelah puas tertawa, aku bertanya kepada Toudou dengan nada santai.


"Jadi, kenapa kau mengejarku? Apa sekarang sudah waktu bebas untul melakukan apa saja?"


Awalnya, aku pikir mereka akan mengadakan semacam pesta dadakan dengan mahasiswi tadi sebagai awalnya.


Oleh karena itu, jawaban Toudou berikutnya cukup mengejutkanku.


"Bukan, bukan. Gadis tadi bilang kalo dia akan senang kalo kau bisa datang lagi."


"Serius? Apa ini semacam ajakan dari pihak perempuan?"


Saat aku bertanya dengan nada terkejut, Toudou menggeleng kepapanya sambil melambaikan tangannya.


"Aku rasa tidak mungkin perempuan dengan level seperti itu akan mengajak lebih dulu. Menurutku, dia hanya ingin kau kembali karena dia sudah mulai ada waktu luang."


Mendengar jawaban Toudou yang tetap tenang, aku hanya tersenyum kecil.


"Benar juga."


Meskipun begitu, sedikit banyak, suasanaku jadi lebih baik. 


Kalo mengingat perempuan yang tadi, dia adalah sosok yang seolah mewakili brand kampus putri dengan penampilannya yang luar biasa.


Sebagai seorang pria, adalah kebohongan kalo aku tidak merasa sesuatu ketika berbicara dengan seorang perempuan seperti itu.


Meskipun membayangkan para Senpai yang masih berada di sana sedikit membuatku merasa lesu, tetapi aku akan dengan senang hati bertahan. 


Aku pun memutuskan untuk menuju ke tempat penjual baby castella yang tadi.


"Kalo begitu, aku akan bergabung dengan para Senpai."


"Oh, semoga ada sesuatu yang baik terjadi."


"Kau juga, segeralah bergabung dengan pacarmu."


"Serahkan saja padaku."


Toudou menjawab begitu, lalu dia berjalan ke arah yang berlawanan dengan tujuanku.


Setelah melihatnya pergi, aku juga melangkah menuju stan yang tadi.


Saat berjalan, aku melihat mahasiswi yang sedang lewat mengenakan berbagai macam pakaian. 


Aku pun bertanya-tanya, bagaimana ya penampilan mahasiswi yang tadi itu?


Setibanya di sana, jumlah pelanggan sudah mulai berkurang, dan antrean pun menjadi jauh lebih pendek. 


Meskipun aku baru saja meninggalkan tempat itu, mungkin tadi adalah waktu puncak terakhir.


Di tengah-tengah itu, ada satu kelompok yang berkumpul.


Itu adalah para Senpai dari 'start' yang bersama mahasiswi yang tadi. 


Masing-masing memegang cup kertas berisi baby castella, dan keduanya terlihat cukup menikmati obrolan mereka.


Salah satu Senpai yang melihatku segera melambaikan tangan.


"Yuta, giliranmu."


"Eh?"


Saat aku mengeluarkan suara bingung, para Senpai itu menepuk punggungku dengan ringan dan pergi meninggalkan tempat itu. 


Meskipun ada sedikit rasa enggan, mereka segera mulai mengantri di stan lain.


"Selamat siang."


Mahasiswi dengan rambut abu-abu keperakan itu menyapaku. 


Warna rambutnya sedikit lebih gelap dibandingkan Toudou, tapi itu tetap terasa cerah, mungkin karena suasana di kampus putti ini.


Karena dia memanggilku, suaraku terasa sedikit kaku.


"Ah, halo."


Aku menyadari kalo jawabanku terdengar kurang tepat. 


Berusaha untuk memperbaiki keadaan, aku melambaikan tangan dengan satu tangan.


"Maaf tadi aku meninggalkan kalian. Apa kau akan bermain bersama mereka setelah ini?"


Aku penasaran apakah godaan dari para Senpai itu berhasil, jadi aku mencoba bertanya. 


Tapi, mahasiswi itu justru tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya.


"Aku tidak begitu pandai dalam menghadapi godaan."


"Benarkah? Itu mengejutkan."


"Jadi, apa aku terlihat seperti itu? Aku sedikit terkejut juga sih."


Tanpa sengaja, aku mengungkapkan pemikiranku, dan mahasiswi itu tersenyum sambil mengerutkan alisnya. 


Aku kemudian segera memperbaiki kata-kataku.


"Maaf, itu bukan maksudku. Tapi memang kau terlihat tidak terlalu menolaknya."


"Haha, tapi itu malah sama saja kan dengan apa yang kau katakan sebelumnya? Itu bukan pembelaan."


Mendengar kata-katanya, aku langsung menahan mulutku, tapi aku segera menyadari kalo mahasiswi berambut abu-abu itu sedang tertawa.


Mahasiswi itu mengusap pipinya, seolah-olah itu hanya lelucon.


"Bagaimana kalo kita saling memperkenalkan diri? Namaku Reina."


"Reina, ya. Aku Yuta."


Karena dia menyebutkan nama depannya, aku pun mengikuti hal yang sama.


Di klub, kebanyakan orang saling memanggil dengan nama depan, jadi aku tidak merasa keberatan dengan hal itu.


Sejak memasuki kampus, hampir tidak ada yang memanggilku dengan nama belakangku lagi.


"Sepertinya Yuta-kun tahun pertama, ya? Karena kita seangkatan, aku akan berhenti pakai bahasa formal."


Aku terkejut mendengar ucapan Reina.


"Kenapa, aku bisa saja tahun ke-2."


"Tidak, kau tahun pertama. Aku bisa tahu dari pakaianmu. Selain itu, dari suasana yang kau tampilkan."


Reina tertawa kecil dengan keyakinan yang terlihat jelas.


Aku hampir ingin membalas kalo siapa yang sebenarnya lebih tidak sopan, tapi rasa ingin tahuku lebih besar dan aku pun bertanya.


"....Apa aku terlihat seperti itu?"


"Ya, jelas. Sejak pertama kali aku melihatmu, aku sudah merasa tertarik padamu. Sepertinya kau belum terbiasa dengan tempat seperti ini."


"Bagaimana bisa kau begitu lihai menggoda di tengah-tengah perkataanmu seperti itu?"


"Haha, itu rasanya tidak seperti pujian."


"Aku tidak sedang memujimu."


Memang, pakaian Reina terlihat sangat bergaya, bahkan bagi seseorang sepertiku yang hampir tidak peduli dengan mode.


Meskipun dia mengenakan pakaian yang sedikit mencolok untuk festival kampus, tapi ada kesan elegan yang terasa. Itu benar-benar mengesankan.


Biasanya, seorang mahasiswa biasa pasti akan memberikan kesan yang terkesan ringan dan tidak terlalu serius.


Itulah kenapa, aku penasaran kenapa dia mengajakku bicara.


Seperti yang dikatakan Toudou, sayangnya kemungkinan dia mengajakku karena tertarik padaku sepertinya sangat kecil.


"Kau ada keperluan apa dengan ku?"


Ketika aku mengajukan pertanyaan, Reina memiringkan kepalanya, terlihat sedikit bingung.


Kalo aku memiliki wajah yang setara dengan seorang selebriti, mungkin itu bisa dimengerti, tapi sayangnya aku tidak berada di level itu. Karena itu, aku merasa cukup penasaran.


Memanggil seorang pria yang baru pertama kali ditemui jelas merupakan hal yang cukup aneh.


"Ya, waktu kau keluar dari antrean tadi, aku pikir kau orang yang serius."


"Eh?"


Tanpa sengaja, suara aneh keluar dari mulutku.


Mungkin, yah ini hanya kemungkinan, dia benar-benar tertarik padaku.


"Karena kau terlihat serius, aku pikir aku bisa memanfaatkanmu sebagai tameng dari godaan."


"Eh?! Itu jauh di luar dugaan!"


Aku menyahut dengan suara keras, dan Reina tertawa terbahak-bahak, jelas terhibur.


"Karena, aku rasa kau tidak akan melakukan hal yang sembrono. Ayo, kita bicara sebentar saja, lalu berpisah."


Mendengar usulan Reina, aku langsung menggelengkan kepala.


"Kita tidak perlu bicara lagi, kau tidak akan digoda lagi, kau tidak perlu khawatir. Para senpai tadi sudah tidak terlihat."


Meskipun ini adalah festival kampus, jumlah peserta dan luas area acara jauh lebih besar dibandingkan dengan festival SMA. 


Jadi, sepertinya dia tidak akan bertemu lagi dengan mereka dalam waktu dekat.


Tapi, Reina ternyata tetap bersikeras.


"Kalo begitu, aku sedang tidak ada kegiatan. Apa kau menemani aku sebentar?"


Mendengar kata-kata Reina, aku tidak bisa menghala napas panjang.


Ternyata, prediksi Tōdō tentang 'waktu luang' memang terbukti benar.


"Enggak mau."


Aku menolak, dan Rena tampak terkejut dan bertanya.


"Eh? Kenapa?"


"Karena itu alasan yang menyebalkan."


Dari kata-kataku, Reina terlihat berpikir sejenak "Yah."


Kemudian dia meletakkan jari telunjuknya di dagu, lalu tersenyum tipis.


"Bagaimana kalo ini? Selama kita berbicara, Yuta-kun bisa makan Baby Castella sepuasnya. Itu sebagai imbalannya."


"...Setuju!"


Tawaran untuk mendapatkan baby Castella dari penjual cukup menarik. 


Tapi, yah aku juga tidak bisa menyangkal kalo aku juga ada keinginan untuk berbicara lebih banyak dengan Reina.


Yang diberikan padaku adalah cup kertas berisi Baby Castella yang sudah dibawa oleh Rena sebelumnya, dengan sisanya yang tinggal sedikit dan tusuk gigi yang tertancap di dalamnya.


Hanya ada satu tusuk gigi, tapi kalo itu dari Reina, aku tidak masalah. Bahkan, aku merasa senang. 


Tapi, aku tidak ingin menunjukkan perasaan itu agar tidak membuatnya curiga. Maka, aku berusaha menunjukkan ekspresi biasa saja sambil memasukkan Bebek Castella ke mulut.


"Oh, enak juga."


"Kan? Untuk harga segitu, rasanya cukup memuaskan, banyak yang mengatakan begitu."


"Sepertinya jumlahnya tidak cukup, mungkin aku akan membeli satu lagi. Oh, iya, tadi kau bioang kalo aku bisa makan sepuasnya, kan?"


Ketika aku bertanya dengan sengaja, Rena tersenyum tipis.


"Kalo begitu, khusus untukmu, aku akan ambilkan dengan setengah harga."


"Tadi kan kau bioang kalo aku bisa makan sepuasnya...?"


"Kalo ada biaya, Yuta-kum baru bisa makan sepuasnya. Jadi, setiap kali kau membayar, kau bisa makan lagi."


"Itu bukan makan sepuasnya yang kupikirkan!"


Reina menerima uang yang ku berikan dengan sedikit enggan, lalu masuk ke dalam tempat penjualannya, dan beberapa detik kemudian dia kembali.


Di tangannya, ada cup kertas baru.


"Silakan."


"Ah, terima kasih..."


Dengan perasaan yang masih belum sepenuhnya puas, aku mengucapkan terima kasih, dan Reina mengembalikan uang yang ku berikan padanya.


"Itu tadi cuma bercanda. Aku ingin berbicara lebih lama denganmu, jadi mari kita ngobrol sebentar lagi."


Telapak tangannya yang sebentar menyentuh tangan ku terasa hangat.


Sambil meyakinkan diri sendiri kalo itu hanya perasaan ku saja, aku bertanya dengan suara datar.


"Apa benar ada banyak hal yang perlu dibicarakan?"


"Tentu ada. Kita seumuran, kan?"


Kalo hanya dengan status yang sama dalam hal usia bisa langsung ada topik pembicaraan, tentu itu tidak akan menjadi masalah. 


Tapi, sepertinya Reina adalah salah satu tipe orang yang bisa bergaul dengan siapa saja, seperti Ayaka atau Toudou, yang bisa berbicara dengan orang baru tanpa ada batasan.


Aku sendiri, meskipun kadang berbicara dengan orang baru, aku tidak pernah merasa memiliki rasa percaya diri untuk membuat kesan yang baik seperti mereka.

 

Aku kemudian memandang sekeliling sambil memikirkan itu.


Setiap penjual tampak sedang mengajak pembeli untuk berbicara.


Aku tiba-tiba tersadar dan tersenyum.


"Semua penjual di sini sepertinya sedang mengajak pembeli berbicara."


Mendengar kata-kata ku, Reina hanya tersenyum canggung, seakan merasa sedikit malu.


"Ah, ketahuan ya. Ya, saat kami ada waktu luang, kami di perintahkan oleh para Senpai untuk mengajak pembeli datang. Tapi, aku merasa agak takut."


Kalo itu hanya seperti tadi, masih bisa diterima, tapi tidak bisa dipastikan tidak ada orang yang aneh yang ikut campur. 


kemungkinan seperti itu sangat kecil karena ini merupakan festival kampus dengan banyak orang, tapi dengan penampilan Rena, mungkin dia pernah mengalami pengalaman buruk di masa lalu.


Aku tidak ingin menyelidikinya lebih jauh, tapi aku merasakannya dan memutuskan untuk mengikuti saran Reina.


"Jadi, kau pikir kalo dengan penampilan ku yang seperti mahasiswa baru ini, kau bisa lebih nyaman menghabiskan waktu?"


"Itu agak salah tafsir, sih. Sebenarnya, aku hanya ingin berbicara dengan orang yang terlihat serius."


"Eh."


"Dan, lebih tepatnya, kau terlihat seperti siswa SMA, bukan mahasiswa tahun pertama. Sepertinya kau perlu membeli pakaian baru."


"Berisik!"


Dia terlihat anggun, tapu ternyata dia cukup blak-blakan dalam berbicara.


Tapi, karena dia adalah tipe orang yang belum pernah aku ajak bicara sebelumnya, aku memutuskan untuk sedikit melanjutkan percakapan.


Percakapan kami pun semakin seru. Banyak kesamaan yang kami temui, mulai dari artis favorit yang sama hingga manga yang kami sukai.


Tanpa terasa, jumlah kata-kataku semakin banyak. Biasanya aku lebih sering menjadi pendengar, jadi ini terasa baru bagiku.


Respons dari Reina, serta timing saat dia memberikan umpan balik, sangat efektif dalam membuat suasana menjadi lebih menyenangkan. 


Dia sangat pandai mendengarkan.


Begitu rasa canggung karena pertemuan pertama itu hilang, waktu berlalu dengan sangat menyenangkan. 


Aku mulai merasa kalo inilah yang disebut dengan saling cocok.


Ketika aku mulai merasa ingin lebih banyak berbicara dengannya, situasi di sekitar kami berubah. Stan mulai kembali ramai.


Reina menoleh dan menunjukkan ekspresi terkejut.


"Wow, pengunjungnya tiba-tiba jadi semakin banyak. Aku harus merapikan antrean sebentar."


Meskipun percakapan kami terhenti, Reina dengan sedikit menyesal berkata, "Aku akan pergi sebentar, ya."


Aku merasa kalo percakapan kami belum cukup. Begitu pikirku.


"Setelah festival selesai, bagaimana kalo kita makan bersama?"


Kata-kata itu keluar begitu saja, mungkin karena suasana festival yang membuatku merasa lebih berani.


Reina membuka mulutnya, matanya berkelip sejenak.


"Aku kira aku sudah bilang kalo aku tidak pandai dengan hal seperti itu."


"Apa itu tidak masalah?"


Aku sudah bisa menebak jawabannya, tapi aku tetap bertanya.


"Ya, boleh. Sekalian ayo kita beli pakaian baru."


──────Itulah awal pertemuanku dengan Aisaka Reina.




Karena pertama kali kami bertemu hanya ber-2, jadi setelah itu setiap kali kami bertemu, kami hanya selalu ber-2.


Memanfaatkan banyaknya waktu luang yang kami miliki sebagai mahasiswa, kami berkencan 3 kali dalam seminggu. 


Mungkin karena kami saling cocok, Reina selalu merespons setiap ajakan yang aku berikan.


Kami tidak membutuhkan waktu lama untuk menjalin hubungan.


★★★


Reina adalah pacar yang sangat baik.


Saat aku mengungkapkan perasaan, kata-kata "Aku akan membuatmu bahagia" yang dia ucapkan terbukti benar. 


Aku sering merasa kalk saat-saat paling bahagia dalam hidupku adalah saat itu.


Perasaan ingin bahagia itu perlahan berubah menjadi keinginan untuk meraih kebahagiaan bersama.


Sudah hampir 6 bulan sejak kami mulai pacaran, dan perasaanku semakin kuat. 


Kencan 2 atau 3 kali seminggu menjadi salah satu kesenangan terbesar dalam kehidupanku sebagai mahasiswa.


"Nah, kira-kira hadiah apa yang akan membuat seorang mahasiswi senang?"


Pada musim hujan tahun ke-2 di kampus, seminggu sebelum hari jadi kami yang ke-6.


Saat aku bertanya pada Ayaka tentang hadiah untuk Reina, dia memberikan ekspresi yang jarang kulihat.


"Jangan bilang kau ingin aku yang memilih lagi? Aku sudah memilihkan tempat makan, itu harusnya cukup, kan?"


Ayaka berkata seperti itu sambil menatap rokok yang ada di jariku.


"Heh, akhir-akhir ini sepertinya jumlah rokokmu semakin banyak, ya?"


"Benarkah? Aku tidak terlalu memperhatikannya."


"Begitu ya. Ya sudah, pokoknya pilih saja hadiahmu sendiri. Pacarmu pasti akan senang dengan apa pun yang kau pilih."


"Aku cuma tanya sebagai referensi saja. Dulu kan kau bilang, kalo hadiah yang praktis lebih penting daripada hadiah yang tidak pas."


"Memang aku begitu, tapi pacarmu belum tentu berpikir seperti aku, kan?"


Ayaka berkata begitu tanpa memberikan kesempatan untuk diskusi, lalu keluar dari ruang merokok.


Aku menatap punggungnya sambil menekan ujung rokok ke asbak.


Mungkin jumlah rokok yang ku hisap semakin banyak karena Reina memuji, "Kau terlihat lebih dewasa, itu bagus", saat dia melihatku merokok.


Aku sadar diriku mudah terpengaruh, tapi itu memang tidak bisa dipungkiri.


Ketika pacarmu memujimu, semakin ingin kau mendapatkan lebih banyak pujian darinnya.


Setelah selesai merokok, aku juga keluar dari ruang merokok.


Hari ini, aku berencana untuk memeriksa tempat yang akan kami kunjungi untuk merayakan 6 bulan hubungan kami.


Dalam perjalanan menuju tempat pertemuan, aku sempat khawatir apakah jaket baruku bau, tapi aku memutuskan untuk menunda dan menghilangkan bau itu setelah pulang.


Akhir-akhir ini, karena pengaruh Reina, aku mulai lebih memperhatikan penampilanku. 


Jaket ini adalah barang pertama yang kubeli dengan uangku sendiri.


Saat aku teringat kembali saat festival kuloah, ketika dia mengatakan kalo penampilanku terlihat seperti anak SMA, suara Reina terdengar dari kejauhan.


Ternyata dia sudah sampai di tempat pertemuan.


"Yuta-kun!"


"Ah, apa oau sudah lama menunggu?"


"Tidak kok, sama sekali tidak. Yuta-kun, jaketmu keren."


Reina dengan senang hati menyentuh jaketku.


"Sederhana dan sangat cocok denganmu."


"Terima kasih. Aku membeli yang sederhana, yang pasti cocok untuk siapa saja."


"Tidak, ini cocok karena kau yang memakainya, Yuta-kun. Itu menurutku."


Reina berkata begitu sambil dengan lembut menyentuh jaketku, kemudian dia tersenyum.


"Bagaimana, kita pergi?"


"Ya."


Setelah aku menjawab, Reina meraih tanganku. Sensasi lembut dan kehangatan tubuhnya terasa di telapak tanganku.


"Hehe."


"Ini jarang sekali, Reina yang memegang tanganku duluan."


"Karena hari ini adalah hari yang spesial."


"Ini kan hanya untuk melihat tempat yang akan kita kunjungi pada hari spesial itu?"


Saat aku menyadari hal itu, Reina tertawa dan berkata, "Ya, bisa dibilang begitu."


Untuk banyak pasangan, memesan tempat untuk merayakan hari penting adalah hal yang biasa dilakukan, tapi cara memesan bisa berbeda-beda.


Ada yang memilih tempat secara diam-diam dan mencari tempat yang dirasa cocok, ada juga yang hanya mengandalkan pencarian di internet.


Sedangkan aku, memilih untuk memutuskan tempat bersama Reina.


Awalnya, aku berniat untuk memilih tempat sendiri, tapi karena kata-kata Reina, "Karena ini kesempatan langka, aku ingin kita ber-2 memilih tempat yang kita berdua sukai", akhirnya aku mengikuti sarannya.


Kami mengunjungi beberapa restoran yang telah kami pilih sebelumnya melalui pencarian di internet dan langsung merasakan suasananya. 


Reina tertawa dan mengatakan kalo kami gagal memilih, itu akan menjadi cerita lucu di masa depan.


"Bagaimana kalo yang ini?"


Aku menunjuk pada sebuah tangga yang mengarah ke bawah.


Di samping tangga, ada papan tanda yang elegan, yang memberikan kesan baik tentang suasana restoran tersebut.


Tapi, Reina menggelengkan kepalanya.


"Toko ini tidak termasuk dalam daftar yang kita pilih. Sebaiknya kita pergi ke restoran yang ada di sekitar sini terlebih dahulu."


"Karena ini restoran yang tidak ada dalam daftar, mungkin justru ini kesempatan yang baik. Apa kau tidak merasa kalo ada takdir di sini?"


"Kan sebelumnya kau juga bilang begitu, dan akhirnya kita gagal. Bukankah kita sudah berjanji untuk pergi ke tempat yang ada dalam daftar kali ini?"


"Ah..."


"Jangan cemberut begitu."


Reina tertawa dengan sedikit cemas, lalu merentangkan tangannya dan meletakkan tangan di kepalaku.


"Nanti kita coba lagi di lain waktu, oke?"


Dengan hal-hal seperti itu aku merasa senang, rasanya aku memang orang yang sederhana. 


Di gang yang sepi, kami kadang-kadang saling menunjukkan kedekatan seperti ini.


Frekuensinya memang berkurang sejak awal kami pacaran, tapi bisa dibilang kami adalah pasangan yang sangat dekat.


Akhir-akhir ini, tidak hanya bertemu dengan Reina, tapi kesempatanku untuk bertemu dengan teman-temannya juga semakin sering. 


Memang, setelah pacaran, lingkaran pertemananku semakin luas.


Aku juga berpikir untuk mengenalkan Reina pada Ayaka suatu saat nanti.


Ayaka sendiri pernah mengatakan, "Bagaimana ekspresinya kalk aku bertemu dengan Reina?" sambil melihat foto Reina. 


Setiap kali melihat foto itu, Ayaka selalu memuji Reina. Aku belum memberitahu Reina tentang hal ini, tapi aku berencana untuk memberitahunya pada waktu yang tepat.


"Apa itu tempatnya?"


Aku menunjuk pada sebuah bangunan yang tampaknya adalah tempat yang kami tuju. 


Tempat itu adalah rekomendasi dari Ayaka, dan aku cukup berharap banyak.


Penerangan yang lembut menyinari pintu masuknya, dan suasananya sangat berbeda dengan toko-toko yang ada di sekitarnya. 


Tempat ini sepertinya tidak cocok untuk mahasiswa yang datang begitu saja.


Sambil berpikir kalo aku merasa beruntung sudah membeli jaket ini, aku membuka pintu dan masuk ke dalam toko. 


Seorang wanita di dalam toko menyambut kami dengan ekspresi tenang dan membungkuk.


"Selamat datang."


"Ah, maaf, kami hanya datang untuk melihat-lihat. Bolehkah kami hanya melihat suasana toko sebentar?"


"Tentu, silakan. Jika Anda ingin, saya bisa menunjukkan sekitar."


Wanita itu melayani kami dengan sikap yang sudah sangat terlatih. Ketika aku menoleh ke belakang, Reina menggelengkan kepalanya.


"Untuk suasananya saja sudah cukup. Menunya sudah ada di situs."


"Benar juga. Mari simpan sisanya untuk nanti."


Kami berbicara pelan, kemudian aku menoleh kembali kepada wanita tersebut.


"Tidak, terima kasih. Kami akan datang lagi nanti."


"Terima kasih atas kunjungannya. Kami menunggu kedatangan Anda kembali."


Kami hanya beberapa puluh detik berada di dalam toko, tapi ada beberapa hal yang kami dapatkan.


Kami bisa merasakan suasananya secara langsung, memeriksa demografis pengunjung, serta merasakan bagaimana pelayanan dari staf toko.


Reina terlihat puas dan berkata, "Sepertinya ini bagus", sambil tersenyum. 


Biasanya, melihat-lihat toko seperti ini seringkali hanya menjadi kepuasan pribadi, tapi kali ini, itu terasa berarti. 


Dan Ayaka yang merekomendasikan tempat ini, seperti biasa, memang luar biasa.


Saat kami berjalan kembali, aku membuka pembicaraan.


"Aku pernah bilang kan, aku punya teman dekat di kampus?"


"Ya, kau bilang, kalo dia Ayaka kan? Teman sekelas dari SMA. Dia sering mengunggah foto di SNS, kan?"


"Betul, kami sudah lama berteman. Dia memang luar biasa, bisa melakukan apa saja. Bahkan, toko yang kami kunjungi ini juga dia yang merekomendasikan."


Mendengar itu, Reina terkejut.


"Begitu ya. Dia benar-benar tahu tempat yang bagus."


"Kalo aku yang mencarinya, aku tidak akan menemukan tempat seperti ini. Aku harus banyak belajar dari Ayaka."


Reina terdiam sejenak sebelum meraih tanganku.


Dia menyelipkan jarinya dan kami saling bergandengan tangan.


"──Kalo begitu, suatu saat aku harus bertemu untuk mengucapkan terima kasih padanya."


"Dia sudah banyak membantuku. Kalo waktunya tepat, aku akan membawanya padamu."


"Ya, aku tunggu."


Reina menggenggam tanganku erat dan meletakkan kepalanya di lenganku.


Setiap gerakannya terasa penuh kasih, dan aku mengelus kepalanya dengan tanganku yang bebas, ini sedikit lebih lama karena dia juga sempat mengelus kepalaku tadi.

Dulu, saat di SMA, aku tidak pernah memiliki hubungan yang serius, dan Reina adalah pacar pertama yang aku miliki setelah aku mulai saling mencintai.


Sebagaimana Reina mengatakan bahwa dia menyukaiku, aku juga merasakan hal yang sama, bahkan mungkin lebih dari itu.


Sambil mengelus kepalanya, aku merasa kebahagiaan itu memenuhi hatiku.


"Aku menyukaimu."


Reina mengucapkan kata-kata itu tanpa menatapku.


"Aku juga."


Kadang-kadang kami saling mengonfirmasi dengan mengungkapkan kalo kami saling menyukai.


Setiap pasangan memiliki cara mereka sendiri dalam menjalani hubungan, tapi aku merasa kalo cara kami saat ini sangat cocok dengan Reina.


"Yuta-kun."


"Ya?"


"Aku meminta izin untuk tidak ikut perjalanan klub besok."


"Klub kyudo, ya? Apa kau akan melakukan perjalanan?"


Di kampus putri, jumlah klub memang lebih sedikit, sehingga sering kali mereka mengunjungi kampus lain untuk bersenang-senang. 


Reina juga termasuk dalam kategori tersebut, dia bergabung dengan klub kyudo di kampusku.


Saat pertama kali kami bertemu di festival kampus, aku sempat membayangkan kalo dia bergabung dengan klub yang lebih glamor, jadi ketika aku mendengar tentang kyudo, aku merasa sedikit lega. 


Meskipun ada perjalanan, itu lebih mirip dengan latihan bersama daripada perjalanan wisata.


Karena itu, meskipun ada pria yang ikut dalam perjalanan, aku sama sekali tidak berniat untuk mengontrolnya.


"Begitu. Itu perjalanan 1 malam 2 hari yang diikuti semua orang."


"Kau bilang waktu itu sangat menyenangkan. Jadi kau memutuskan untuk izin ya?"


Kalo begitu, mungkin dia tidak perlu memaksakan diri untuk memesan tempat dan merayakan hari jadi setengah tahun kami dengan berkencan. 


Tentu saja, ada banyak kesempatan untuk merayakan hari jadi kami di masa depan, tapi perjalanan klub seperti ini jarang ada.


Tapi, meskipun begitu, aku merasa senang karena Reina rela melewatkan acara penting tersebut demi menghabiskan waktunya bersamaku besok.


Saat aku hendak mengucapkan terima kasih, Reina lebih dulu membuka suara.


"Ya, aku izin. Aku hanya bertanya-tanya, apa kau benar-benar mengerti maksudnya."


"Benarkah?"


Reina memilih untuk memprioritaskan aku daripada klub.


Jawaban yang bisa ditarik dari situ cukup jelas, tapi aku merasa malu dan membutuhkan waktu untuk mengatakannya. 


Aku khawatir kalo aku dianggap terlalu memperhatikan diri sendiri.


"...Apa itu berarti kau menyukaiku sebanyak itu?"


Akhirnya, dengan susah payah aku mengungkapkannya, dan Reina dengan mudah mengangguk.


"Benar, itu berarti aku sangat menyukaimu. ...Kau benar-benar mengerti kan?"


"Aku mengerti kok."


Merasa canggung, aku menundukkan wajahku. Di seberang jalan, sebuah pasangan yang sedang berjalan berdekatan seperti kami juga melintas di hadapan kami.


Pasangan yang ada di seberang jalan itu terlihat lebih mesra daripada kami, dan kalo tidak ada orang lain di sekitar, sepertinya mereka akan segera berciuman.


Sebelum aku menjalin hubungan dengan Reina, aku selalu merasa kesal setiap kali melihat pasangan seperti itu, tapi kini, aku malah merasa tersenyum melihatnya.


"....Kalo begitu, tidak masalah."


Reina sepertinya tidak tertarik dengan pasangan tersebut.




Pada perayaan hari jadi 6 bulan kami pada hari berikutnya, kami menikmati makan malam yang sedikit lebih mewah.


──────Hingga saat itu, aku merasa hubungan kami berjalan dengan baik.


Tapi, semuanya mulai berubah beberapa bulan setelah perayaan setengah tahun kami.


Aku mulai ditolak untuk berkencan, frekuensi komunikasi kami berkurang, dan kami sampai pada titik itu.


Apa yang salah, dan apa yang menjadi pemicunya?


Saat itu, aku sama sekali tidak pernah membayangkan kalk pada malam sebelum perayaan 1 tahun pertama kami, aku akan diselingkuhi.


★★★


──────Pada saat itu, aku rasa jantungku benar-benar berhenti sejenak.


Aku berusaha menahan agar kotak kayu berisi sampanye yang kuangkat dengan bangga tidak jatuh.


Dari kesadaranku yang berusaha meyakinkan diriku kalo ini tidak mungkin, ada suara lain yang dingin berkata, "Seperti yang aku duga." Meskipun begitu, rasa terkejut akhirnya lebih kuat, dan aku hanya bisa berdiri diam di tempat.


Hari sebelum perayaan hari jadi 1 tahun ku dengan Reina.


Aku sudah menyelesaikan survei terakhir ke restoran yang telah kutentukan, dan sedang dalam perjalanan pulang. 


Alasan aku melakukan survei ke restoran itu sehari sebelumnya adalah agar tidak terlihat canggung kalo aku tersesat, mengingat aku sudah memesan restoran dengan kursus mahal untuk membuat kesan yang baik.


Sambil lewat, aku juga singgah di pusat perbelanjaan untuk membeli sampanye yang akan kami nikmati pada hari spesial itu. 


Semua itu sudah menjadi bagian dari rencanaku.


Aku bukan orang yang terlalu tidak peka, jadi aku sadar kalk frekuensi komunikasi Reina belakangan ini mulai menurun.


Karena itu, besok adalah hari yang sangat penting bagiku.


Melihat Reina yang sedikit ragu, aku berhasil memaksakan diri untuk memastikan kalo dia tetap akan datang, meskipun dengan sedikit paksaan. 


Meskipun begitu, karena itu adalah hari perayaan hari jadi 1 tahun kami, Reina tidak terlihat terlalu menolak.


Setelah aku menyebutkan waktu pertemuan, dia tersenyum dan menjawab, "Baiklah, aku menantikannya."


──────Tapi, lihatlah apa yang terjadi.


Meskipun kami tidak merencanakan untuk bertemu pada hari sebelum perayaan, saat aku melihat punggung Reina di depan rumahnya, hatiku berdebar. 


Tapi, begitu aku melihat ada seorang pria di sampingnya, perasaan buruk muncul dalam pikiranku.


Perasaan buruk itu, tidak butuh waktu lama untuk terbukti.


Pria itu menggenggam tangan Reina.


Reina pun terlihat tidak menolaknya, dan mereka berjalan bersama di lorong.


Pasangan yang berjalan bergandengan tangan itu jelas terlihat seperti pasangan sejati dari luar. 


Aku hampir ingin memanggilnya, tapi aku berhenti tepat sebelum melakukannya.


Aku tidak perlu memanggilnya, besok juga kami pasti akan bertemu.


Dengan langkah kaki yang terasa sangat berat, seolah menarik beban yang sangat berat, aku pulang ke apartemenku.


"...Ini tidak masuk akal."


Suara serakku terasa asing, itu seolah bukan milikku, dan aku mengeluarkan tawa pendek yang kering.


Lucu. Ini seperti sebuah lelucon.


Saat aku sibuk mempersiapkan kejutan untuk pacarku, Reina malah pergi berkencan dengan pria lain dan memilih jalur yang membawa mereka ke depan apartemenku. 


Melihatnya sendiri membuatku merasa seolah-olah segala sesuatunya telah diatur dengan sangat rapi oleh seseorang, dan itu benar-benar lucu.


Aku kembali mengeluarkan tawa kering.


Frekuensi komunikasi kami menurun dalam 2 bulan terakhir.


Aku sudah sangat merasakan kalk perasaan Reina mulai menjauh sejak kami mulai berpacaran.


Tapi, meskipun begitu, aku tetap harus memprioritaskan acara 'start' daripada berkencan dengan Reina. 


Beberapa kejadian dalam acara tersebut menyebabkan sedikit ketegangan dengan Senpai-senpaiku.


Awalnya, aku tidak begitu cocok dengan mereka, dan ketika terjadi ketegangan, aku jadi merasa bingung seperti orang bodoh.


Pada akhirnya, berkat bantuan dari Toudou dan juga Ayaka, masalah tersebut bisa diselesaikan dengan baik. 


Tapi, tanpa ku disadari, sudah sekitar 2 minggu aku tidak bertemu dengan Reina.


Meskipun dalam hubungan LDR atau hubungan antar pekerja hal seperti ini mungkin biasa, tapi bagi hubungan antara mahasiswa yang rumahnya cukup dekat, ini sudah cukup lama.


Tapi, meskipun itu sedikit aneh, aku rasa itu bukan masalah besar dan aku tidak terlalu memikirkannya.


Jadi, meskipun sudah 2 minggu kami tidak bertemu, ketika akhirnya kami bertemu, aku tetap bersikap seperti biasa terhadap Reina.


Tapi, Reina berbeda.


Dulu, dia selalu tertawa meskipun aku hanya mengucapkan hal-hal sepele, atau tersenyum dengan lembut sambil mengatakan "Sudahlah, tidak apa-apa".


Tapi kali ini, Reina tidak tersenyum.


"Ini membosankan."


Ketika dia mengatakan itu langsung padaku, aku merasa marah.


Memang, aku merasakan kegelisahan melihat Reina yang tidak tersenyum, dan aku pun mengucapkan kata-kata yang lebih tidak menarik dari biasanya.


Meskipun begitu, ketika dia langsung mengatakan kali itu membosankan, aku tidak bisa menahan rasa sakit pada harga diriku.


"Kalo membosankan, ya sudah. Kita akhiri saja hari ini. Lagipula, besok kita berdua ada kegiatan pagi-pagi."


Memang benar kalo kami ber-2 ada kegiatan di kampus keesokan harinya. 


Tapi, meskipun begitu, masih ada cahaya matahari yang tersisa, dan meskipun ada kegiatan, rasanya terlalu cepat untuk berpisah.


Biasanya, kami makan malam bersama setelah berkencan.


Karena itu, aku berharap Reina akan melakukan sesuatu untuk memperbaiki keadaan ini.


Aku tidak ingin dia mengatakan "Aku minta maaf" atau "Aku terlalu banyak bicara."


Aku hanya berharap kali dia menunjukkan sedikit penyesalan atas apa yang dia katakan, maka aku akan memaafkannya.


Tapi, Reina tidak menunjukkan perubahan ekspresi sama sekali. Dia hanya mengatakan "Aku akan pulang", dan pergi begitu saja.


Pada saat itu, aku bisa merasakan hati Reina sudah menjauh dariku.


Ketika aku mengirim pesan permintaan maaf lewat Line, Reina membalas dengan jujur, 『Maafkan aku untuk hari ini』, tapi perasaanku tetap tidak membaik.


Aku bukan menginginkan permintaan maaf darinya. Aku hanya ingin tahu alasan di balik sikapnya itu.


Karena aku masih menyukai Reina. Bahkan, perasaanku mungkin lebih kuat daripada saat kami baru mulai berpacaran.


Mungkin perasaan itu semakin kuat karena aku merasa hampir kehilangan Reina, yang dulu sangat aku sukai.


Meskipun terkesan klise, tapi perasaan semacam itu benar-benar bisa mengguncangku.


Sejak hari itu, Reina mulai menolak ajakan kencanku hampir setiap hari.


『Aku ada urusan』,『Kegiatan di klubku lagi sibuk』,『Aku ada janji bertemu dengan seseorang.』


Aku hanya bisa diam tanpa bisa mengatakan apa-apa, dan akhirnya aku menyerah.


Hari peringatan 1 tahun kami jadian ini adalah kesempatan terakhir kami untuk memperbaiki hubungan kami, dan bahkan Reina berkata "Aku menantikannya."


──────Tapi, inilah yang terjadi.


Aku tertawa melihat pola yang ada di langit-langit apartemenku.


Tidak ada air mata yang keluar.




Keesokan harinya, aku tidak melakukan persiapan apapun, aku hanya berbaring dan membiarkan tubuhku beristirahat.


Di dekat telingaku, Hp-ku bergetar.


Ketika aku melihat ke layar, ada pesan dari Reina yang memberi tahu kalo dia sudah sampai di depan apartemenku.


Hal pertama yang kurasakan adalah kemarahan yang mendidih di otakku. 


Aku memparkan Hp-ku ke tempat tidur dan dan berjalan menuju pintu depan.


Tapi, merasa seolah-olah aku di selingkuhi itu rasanya cukup memalukan, dan setiap langkah yang kuambil membuat kemarahan itu perlahan menghilang.


Yang tersisa hanya rasa hampa tentang bagaimana aku harus menangani semuanya.


Dengan ekspresi datar, aku membuka pintu depan, dan di bawah tangga aku melihat Reina. 


Setelah melihatku, Reina mulai menaiki tangga dengan langkah yang sama seperti biasanya.


Aku tiba-tiba merasa terdorong untuk menanyainya dengan paksa, tapi perasaan itu cepat memudar.


Pada saat seperti ini, dia masih terlihat cantik.


Aku merasa malu karena bisa berpikir seperti itu, hingga akhirnya perasaan itu berubah menjadi sesuatu yang lucu, dan aku pun tersenyum sedikit.


"Bolehkah aku masuk?"  


Sudah beberapa bulan sejak terakhir kali dia berusaha masuk ke kamarku.


Aku hanya menggelengkan kepalaku tanpa berkata apa-apa, tapi sepertinya dia tidak mengerti. Dia kembali bertanya, "Bolehkah aku masuk?"


Kali ini aku menjawab dengan jelas.


"Tidak, itu tidak boleh."


Mata Reina terlihat kebingungan.


"Kenapa?"


Pertanyaan yang sederhana. Dia hanya berusaha meminta izin untuk masuk ke kamar, tapi aku menolaknya. Itu hanya kata-kata untuk menanyakan alasan.


Tapi, kata-kata sederhana seperti itu terdengar tidak menyenangkan bagiku sekarang.


Di dalam kepalaku, hujan deras seolah sedang turun.


"Ayo kita putus."


Suara yang keluar dari mulutku terdengar sangat dingin, bahkan aku sendiri merasa suara itu sangat tajam. 


Seperti suara serak kemarin, aku merasa seperti seseorang bisa kehilangan suaranya ketika sesuatu yang tak terduga terjadi.


Reina mendengar kata-kataku, melihat ekspresiku, dan membuka mulutnya sedikit. 


Tapi, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun dan menunduk.


Kalo aku mengucapkan perpisahan secara tiba-tiba, biasanya dia akan mengatakan sesuatu.


Tapi, alasan dia hanya bisa menunduk tanpa berkata apa-apa adalah karena Reina sudah mengerti.


Diam dan menunduk sama saja dengan mengakui perselingkuhan.


"Baiklah."


Begitu aku mengatakannya, Reina perlahan mengangguk.


Dia menutup pintu dengan keras.


Pintu yang memisahkan kami ber-2 seolah menjadi simbol dari hati kami yang sekarang. 


Kami tidak akan bertemu lagi.


Aku berdiri di sana sejenak.


Reina pun, dari balik pintu, aku bisa merasakan kalk dia tidak segera pergi.


Berapa lama kami hanya berdiri di sana, terpisah oleh pintu?


Waktu itu terasa seperti 10 detik, tapi juga bisa terasa seperti beberapa menit.


Tapi, akhirnya waktu itu pun berakhir.


Tiba-tiba terdengar suara logam dari kotak surat.


Langkah kaki mulai menjauh.


Setelah langkah itu benar-benar menghilang, aku membuka penutup kotak surat.


Di dalamnya terdapat kunci cadangan.


Kunci yang pernah kuberikan pada Reina.


Saat itu, untuk pertama kalinya aku merasakan mataku mulai panas.



Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال