Kamu saat ini sedang membaca Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu volume 3, Chapter 4. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw
KEHIDUPAN KULIAH SETELAH LIBURAN MUSIM SEMI
".....Aku terlambat bangun."
Saat melihat Hp-ku yang terletak di samping bantal, waktu menunjukkan pukul 10 pagi.
Kuliah pertama dimulai pukul 9, jadi aku pasti sudah terlambat.
Aku merasa seperti sedang bermimpi panjang, dan mungkin itulah yang membuat ku tidak terbangun meskipun alarm berbunyi.
Sebenarnya, mungkin aku secara tidak sengaja mematikan alarm pada suatu titik.
Meskipun begitu, aku tidak menyangka aku akan terlambat pada hari pertama semester ini.
"Yah, tidak apa-apa..."
Aku melemparkan Hp-ku ke lantai dan berbalik berguling.
Seharusnya tidak ada kuliah yang akan mengurangi nilai kehadiran hari ini.
Biasanya, kuliah pertama adalah waktu bagi mahasiswa untuk menentukan apakah mereka akan melanjutkan atau tidak mengikuti mata kuliah tersebut.
Karena aku sudah membaca persyaratan mata kuliah dan memutuskan mata kuliah mana yang akan aku ambil, seharusnya tidak ada masalah kalo terus tidur.
Aku hanya ingin memastikan apakah kuliah dari profesor tersebut sesuai dengan keinginan ku, tapi dengan kepalaku yang masih mengantuk, rasanya aku tidak akan bisa berpikir soal itu.
Saat aku hampir saja menyerah pada rasa kantuk, bel pintu berbunyi.
".....Hah?"
Apa ttu kang paket?
Menjelang akhir liburan musim semi, aku jarang keluar rumah, dan aku sering meminta pengiriman buku dan barang-barang kecil.
Untungnya, sepertinya kotak surat ku kosong, dan meskipun aki menggunakan alasan untuk tidak membuka pintu, mereka akan tetap menyisipkan paket ke dalam kotak surat.
Ding-dong.
──Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Ding-dong-ding-dong.
"Cukup sudah!!!"
Aku melangkah maju ke pintu depan dan membuka pintu dengan tergesa-gesa.
Di depan ku, seperti yang sudah aku duga, berdiri Shinohara.
Ini seperti deja vu.
"Selamat pagi, Senpai! Hari ini mulai kuliah, kan? Aku pikir kau pasti telat bangun, jadi aku datang!"
"Betapa beraninya kau mengganggu tidur ku..."
"Ya sudah, tolong minggir~"
Shinohara dengan gesit melewati bawah lengan pemilik rumah dan masuk ke dalam ruangan.
Dengan terpaksa, aku mengikuti dia dari belakangnya, dan perlahan kesadaran ku mulai bangkit.
Sepertinya aku tidak bisa tidur lagi.
"Kenapa sih kau marah hanya karena tidak bisa tidur lagi? Di sini seharusnya kau berterima kasih karena aku membangunkanmu."
"Ah, ya... terima kasih."
"Kau benar-benar terpaksa ya... rasanya seperti itu."
Shinohara menghela napas seakan-akan kecewa.
Meskipun apa yang dikatakan Shinohara benar, dan keinginan ku untuk tidur lagi mulai berkurang, kali ini aku memutuskan untuk mengucapkan terima kasih dengan tulus.
"Ya, ya, terima kasih."
"Tapi cara ucapannya masih sama saja!!"
Shinohara cemberut dan mengeluh.
Meskipun aku tahu seharusnya aku mengucapkan terima kasih, rasanya naluri ku menolaknya.
"Sigh, baiklah. Kalo begitu, cepat sana ganti pakaianmu. Aku akan membaca manga dulu."
Setelah mengatakan itu, Shinohara duduk di atas tempat tidurku dan meregangkan tubuhnya.
Itu adalah tempat yang tadi aku gunakan untuk berbaring.
Sejak Shinohara mulai sering datang ke apartemenku, sepertinya dia benar-benar tertarik dengan pesona majalah anak laki-laki.
"Baiklah."
Aku rasa dia tidak datang dengan tujuan tertentu.
Aku lalu mengambil pakaian dari lemari, pergi ke ruang ganti, dan dengan santai mengganti pakaian.
Setelah mencuci wajah, merapikan rambut dengan wax, dan mengenakan jaket sederhana, akhirnya aku merasa ingin keluar.
Kalo aku tetap berpakaian santai di dalam rumah, aku tidak pernah merasa ingin keluar, tapi hanya dengan mengganti pakaian luar, pikiran ku langsung beralih, entah kenapa.
"Alu sudah siap."
Ketika aku kembali ke ruangan dan menyapa, Shinohara merespons, "Ohh."
"Senpai, ternyata kau cukup keren dengan pilihan pakaian santaimu. Pakaian musim semi mu juga terlihat bagus."
"Benarkah? Terima kasih."
Setelan jaket dengan celana skinny memang membuat siapa saja terlihat keren, tapi dipuji tetap terasa menyenangkan.
Sejak pesta Valentine di mana Ayaka mengkritik pakaian santai ku, aku berusaha untuk lebih memperhatikan penampilanku saat keluar rumah.
Kapan terakhir kali aku mengenakan jaket ini ya?
Sedangkan penampilan Shinohara, dia mengenakan sweater hitam dengan rok merah cerah.
Di samping tempat tidur, ada tas kecil yang tergeletak, dan dia tetap mengikuti tren mode mahasiswa wanita.
Yang paling mencolok adalah bagaimana pakaian itu sangat cocok dengan penampilannya yang memukau.
"Aku juga jarang mengenakan sweater hitam, bagaimana menurutmu? Apa itu cocok untukku?"
Sweater hitam selalu megigatkanku dengan Ayaka, tapi ketika Shinohara memakainya, kesannya berbeda.
Mungkin karena kontras dengan penampilan imut yang biasanya dia pakai.
Katanya, perempuan mudah terpesona dengan perbedaan itu, dan itu juga berlaku bagi laki-laki.
"Ya, itu cocok sekali untukmu."
"Ahaha, aku malu."
"Jangam malu."
Aku menanggapi dengan ringan dan kemudian membuka lemari es.
Ini saatnya untuk sarapan sebelum berangkat ke kampus.
"Aku akan sarapan dulu, jadi silakan lanjut membaca manga."
"Begitu, Senpai belum sarapan ya? Kalo begitu, aku akan membuatkan makanan untulmu bagaimana?"
"Aku hanya alan menerima niat baikmu saja. Kau harus segera pergi ke kampus, kan?"
"Kalo sudah sadar begitu, seharusnya kau bangun lebih pagi."
Hal itu seharusnya bisa aku katakan pada diri ku sendiri yang begadang tadi malam, tapi karena aku yang terlambat bangun, aku hanya bisa diam.
"Eh?"
"Ada apa?"
"Tidak ada isinya... Mari kita pergi."
"Senpai, kalo aku tidak datang, kau benar-benar tidak akan membeli bahan makanan, ya..."
"Itu sebabnya aku selalu berterima kasih padamu."
Aku berkata begitu kepada Shinohara yang terlihat terkejut, sambil mengambil tasku.
"Ayo pergi."
"Ugh, kau mengatakannya dengan begitu santai sampai aku hampir melewatkanya, tapi aku cukup senang mendengarnya."
Shinohara sedikit tersipu dan berdiri dari tempat tidur.
Aku sendiri terkejut karena kata-kata tulus itu keluar begitu saja, tapi mungkin aku memang benar-benar berterima kasih, sampai-sampai aku mengungkapkannya tanpa ku sadari.
Perasaan itu tidaklah bohong.
Shinohara sepertinya tidak merasa canggung melakukan pekerjaan rumah di apartemenku, meskipun hubungan kami ini pasti terlihat aneh kalo dilihat dari luar.
Tapi walaupun begitu, aku menikmati waktu yang aku habiskan bersama Shinohara.
Seperti yang pernah Shinohara katakan sebelumnya, tidak perlu memikirkan pandangan orang lain, yang penting adalah jika keduanya merasa puas.
Saat kami ber-2 keluar dari pintu depan, kelopak bunga sakura yang beterbangan di udara, masuk ke dalam pandangan ku.
"Anginnya kencang!"
──Kehidupan sehari-hari ini, rasanya tidak buruk.
Sambil melihat Shinohara yang terlihat senang menyisir rambutnya, aku merasakan kedatangan musim semi.
★★★
Jarak ke kampus tinggal 5 menit berjalan kaki.
Seiring semakin mendekat, semangat Shinohara semakin tinggi, dan akhirnya langkahnya berubah menjadi seperti melompat-lompat kecil di samping ku.
"Mulai hari ini akh menjadi mahasiswa tahun kedua!"
"Selamat atas kenaikan tingkat."
"Senpai menjadi mahasiswa tahun ketiga!"
"Selamat atas kenaikan tingkat juga."
Setelah aku berkata begitu, Shinohara menoleh ke arah ku dan membuka mulutnya.
"Jawaban mu terlalu asal, ya!"
"Sebaliknya, kenapa kau begitu bersemangat..."
Mungkin ada sesuatu yang sangat menyenangkan yang menantinya di kampus.
Aku juga merasa sedikit bersemangat karena kuliah akan dimulai.
Tapi kalo ditanya apa aku merasa seantusias itu hingga ingin melompat-lompat, aku harus menjawab tidak.
"Apa kuliahnya tidak membosankan?"
"Ah, tidak kok, kuliahnya sangat menyenankan! Bukankah menyenangkan kalo kita bisa mengerti hal-hal yang sebelumnya tidak kita pahami?"
"Ah, kau terlalu cerah!"
Tanpa sengaja, aku menutup wajah dengan ke-2 tangan ku, menghalangi pandangan ku terhadap Shinohara.
Aku memang tidak membenci belajar, dan aku sangat memahami kalo hal itu penting bagi mahasiswa.
Tapi, seandainya Tuhan memberikan jaminan kalo aku bisa menjadi pribadi yang sukses dan mencapai pendapatan tinggi tanpa perlu belajar, aku pasti tidak akan belajar.
Shinohara, meskipun berada dalam situasi seperti itu, akan tetapi dia dengan senang hati mengikuti kuliah.
Karena itulah, aku merasa semakin jelas kalo Shinohara adalah sosok yang benar secara moral, yang membuat ku ingin mengalihkan pandangan darinya.
"Apa kau merasa kuliah itu membosankan karena tidak ada teman yang ikut kuliah denganmu?"
"Kau baru saja mengatakan sesuatu yang sangat tidak sopan..."
"Ah, maaf, aku tidak sengaja."
"Harusnya kau membela ku! Tentu saja aku punya teman yang ikut kuliah denganku!"
Ada teman-teman dari klub, seperti Toudo, dan teman-teman sejurusan ku. Bahkan Saika juga ada.
Kalo tidak, jumlah SKS yang aku peroleh sejauh ini mungkin sudah sangat buruk.
"Hm. Benar juga, Senpai ternyata cukup populer ya."
"Kenapa 'ternyata'? Aku tidak populer kok."
"Ah, jadi tidak ya..."
"Jangan lihat aku seperti itu!"
Aku langsung menanggapi Shinohara yang menatap ku dengan tatapan sedih.
Biasanya, aku lebih suka kalo dia bercanda seperti ini.
"Tapi, kan ada Toudo-san dan yang lainnya."
"Itu bukan soal popularitas, hanya saja aku punya teman-teman."
"Hmm. Mungkin pandangan orang tentang popularitas itu berbeda-beda."
Begitu kata Shinohara, lalu dia melangkah satu langkah di depan ku dan menoleh.
"Aku sebenarnya cukup mengagumi Senpai, lho."
"...Oh, begitu ya."
Kalimat seperti ini bisa membuat banyak orang terpesona.
Kalo itu bukan aku, mereka mungkin sudah langsung jatuh hati.
Aku berterima kasih pada Ayaka yang telah melatih ku.
Berkat dia, akh bisa menghindari menjadi seperti mayat hidup.
"Ya, begitu deh. Jadi, Senpai..."
Shinohara mendekat dan menatap ku.
"Aku rasa ada beberapa mata kuliah yang bersifat umum di tahun ini. Bagaimana kalo kita ambil bersama?"
"Ah, tidak mau."
"Eh, kenapa!?"
Shinohara terkejut dengan mata terbuka lebar, seolah tidak menyangka kalo dia akan ditolak.
"Kalo aku denganmu, kita akan terlalu mencolok."
Pada akhir ujian semester 2 tahun kedua, hanya dengan Shinohara berlari kearahku, banyak pandangan dari para laki-laki tertuju pada kami.
Berbeda dengan Ayaka, Shinohara tidak peduli dengan orang-orang di sekelilingnya dan tetap berinteraksi dengan cara yang sama, yang membuat pandangan dari para laki-laki terasa agak meyakitkan.
Kalo dilihat dari sisi positif, dia memang memiliki kepribadian yang jujur dan terbuka, tapi dalam kehidupan perkuliahan ku, itu tidak akan terlalu menguntungkan.
Situasinya jelas berbeda antara saat aku kelas 2 SMA dan sekarang, dan aku tidak merasa keberatan untuk memprioritaskan kehidupan kampusku.
"...Senpai."
"Ada apa?"
"Kalo kau kesulitan, aku bisa tunjukkan materi kuliahnya."
"Ya sudah, kalo begitu ayo kita ambil matkul yang sama!"
"Ah, tidak bisa, Senpai kau ini cepat sekali berubahnya..."
Shinohara memegangi kepalanya dan mengeluh.
Kalo ada yang bisa mengubah sifat ku yang tidak konsisten ini, aku ingin sekali agar itu bisa terjadi.
Sekarang, aku hanya bisa melihat Shinohara yang tertawa, sambil berpikir seperti itu.
★★★
Setelah berpisah dengan Shinohara, aku berdiri di depan ruang kuliah besar.
Aku berpikir, Ini saatnya untuk mengungkapkan keluhan soal keterlambatan.
Ruang kuliah besar dengan banyak mahasiswa.
Masih ada 20 menit sampai kuliah ke-2 berakhir.
Dalam situasi seperti ini, seorang mahasiswa jurusan sosial pasti berpikir:
── Mungkin lebih baik kalo aku memesan tempat makan siang untuk teman-teman sekarang?
Tanpa terkecuali, aku juga berpikir begitu. Saat akh berbalik untuk pergi, Hp-ku bergetar.
Itu pesan dari Ayaka.
『Cepat datang kesini.』
"Menakutkan..."
Aku tanpa sadar menjauhkan wajah dari Hp-ku.
Padahal, kami tidak ada janji untuk ikut kuliah bersama, tapi karena aku sering meminjam materi kuliahnya, aku tidak bisa menolak.
Meskipun sebenarnya, rasanya aneh juga kalo aku menolak.
Aku berusaha masuk ke ruang kuliah tanpa menimbulkan suara, dan beberapa orang di bangku belakang memandang ku.
Pandangan mata mereka seolah beroata "Serius, dia datang pada jam segini?"
Aku mengerti perasaan mereka, karena kalo aku berada di posisi mereka, aku pun akan berpikir begitu.
Karena itulah, aku selalu merasa enggan masuk ke ruang kuliah kalo aku sudah terlambat sekali.
Ayaka biasanya duduk di tempat yang biasanya jadi tempat duduknya, yah itu sedikit di depan tengah ruangan.
Aku lalu meletakkan tasku di samping kursi ku, mungkin Ayaka telah mengamankan tempat untuk ku.
Dengan rasa malu karena hanya bisa menggunakan tempat duduk itu selama 20 menit, aku membungkukkan tubuh dan naik tangga.
Begitu aku sampai, Ayaka segera menyadari keberadaan ku.
Dia menoleh sekilas ke arah ku, lalu dengan diam-diam meletakkan tasnya di lantai.
Meskipun agak jauh, aku memutuskan untuk mendekat karena dia sudah mengamankan tempat untuk ku, tapi di tengah jalan, aku merasakan tangan ku ditarik.
"──Hm?"
"Hei, duduklah."
Itu adalah Tsukimisato Natsuki.
Kami terakhir bertemu di pesta Valentine.
Setelah mengetahui kalo dia cukup akrab dengan mantan pacar ku, Reina, aku tidak bisa menahan diri untuk merasa sedikit canggung.
"Tidak, aku..."
Aou menoleh ke arah Ayaka, yang sedang mengibas-ngibaskan tangannya sambil melihat PowerPoint yang ditampilkan di depan.
Sepertinya dia sudah menyadari kalo aku sedang diajak berbicara oleh seseorang.
Terpaksa aku duduk di samping Natsuki, yang kemudian tersenyum tipis.
"Eh, apa kau tidak mau pergi ke tempatnya Ayaka duduk?"
"Kau yang memanggilku, kan?"
"Canda, canda."
"Apa itu?"
Kami saling bercanda dengan suara pelan, sementara aku mencari-cari di dalam tas.
Di dalamnya hanya ada catatan kuliah.
"Ah, sial."
Tanpa sengaja kata-kata itu keluar dari mulut ku.
Natsuki melirik ke arah ku, lalu bertanya, "Ada apa?"
"Eh, ini agak sulit diucapkan sih..."
"Ya?"
"Aku lupa bawa kotak pensil."
"Ah, begitu."
Natsuki tersenyum kecil sambil terus menatap ke depan.
"Terus?"
"Hah?"
Aku sedikit bingung, tidak tahu apa yang sebenarnya dia maksud.
Aku menggaruk kepalaku dan menatap ke depan, saat itu layar PowerPoint sedang berganti.
Meskipun Ayaka ada di sini, jadi akh merasa tenang.
Tapu, aku merasa tidak enak untuk terus bergantung pada orang lain, jadi aku memutuskan untuk lebih fokus mencatat kali ini.
Aku mendengarkan kuliah dalam diam, dan waktu berlalu begitu cepat.
Setiap kali slide berganti, terdengar suara klik dari kamera, sepertinya profesor ini cukup santai.
"Profesor ini kelihatannya santai ya."
Begitu aku mengatakannya, Natsuki mengangguk sambil tersenyum.
"Memang dia kelihatannya santai. Sepertinya aku akan mengambil matkul ini."
"Aku juga akan mengambil matkul."
"Berapa banyak lagi kredit yang perlu kau ambil untuk lulus?"
"Sekitar 40."
Begitu aku menjawab, bel berbunyi.
Setelah menyimpan catatan kosong ke dalam tas, Natsuki membuka mulutnya.
"Hei, Yuta..."
"Hmm?"
"Kau dikelilingi oleh orang-orang yang baik ya."
"Ya, aku rasa begitu. Aku sendiri juga merasa begitu."
Shinohara, Ayaka, dan Toudou—hanya dengan menyebutkan mereka, sudah jelas betapa hebatnya orang-orang di sekitar ku.
"Tapi kenapa tiba-tiba?"
Saat aku bertanya, Natsuki memiringkan kepalanya.
Ujung rambutnya yang bergelombang ringan bergerak perlahan.
Meskipun aku tidak menghabiskan banyak waktu bersama Natsuki, suasana yang dia tunjukkan kali ini terasa berbeda dari sebelumnya.
Setidaknya, berbeda dengan suasana saat kami berkumpul untuk minum setelah ujian yang lalu.
"...Ada apa?"
"Aku juga tidak tahu."
"Apa maksudnya?"
Aku tertawa ringan dan memanggul tas saya, lalu Natsuki tiba-tiba mulai berbicara.
"Kan, kau pasti tidak mengerti kalo tidak dibilang."
"Ah, benar, aku memang tidak paham."
"Apa yang kau pikirkan saat kau lupa kotak pensilmu tadi?"
Dengan pertanyaan itu, aku kira aku mulai memahami arah pembicaraan ini.
Meskipun aku tidak tahu apa tujuannya, aku bisa menebak apa yang ingin dia sampaikan.
"Aku merasa kesulitan."
"Apa kau tidak ingin meminjam pena?"
"...Sebenarnya aku sedikit kepikiran tentang itu."
Natsuki menghela napas dan menunjukkan pena padaku.
"Aku, kalo kau bilang, pasti akan aku pinjamkan. Tapi kalo kau tidak bilang, aku tidak akan menawarkan."
Natsuki berkata begitu sambil memasukkan penanya ke dalam kotak pensilnya dan menyimpannya di dalam tas.
Dia berdiri dari kursinya dan melangkah menuju jalur yang berlawanan dengan tempat duduk ku.
"Jangan kira semua orang itu sempurna seperti Ayaka-chan."
Suara kecil itu terdengar jelas.
──Kenapa Ayaka tiba-tiba disebutkan di sini?
Aku menyadari kalo Natsuki sudah berada di tengah kerumunan di pintu masuk.
Kata-kata yang dia ucapkan sebelumnya terus bergema dalam pikiran ku.
"Ada apa?"
Ketika mendengar suara dari belakang, aku berbalik dan melihat Ayaka yang menatap ku dengan ekspresi bingung.
"Apa yang dia katakan padamu?"
"Eh?"
"Kau cuma berdiri bengong saja. Itu jelas kelihatan."
Ayaka berkata begitu, kemudian duduk di belakang tempat ku duduk tadi.
"Apa kau ingin membicarakan itu atau makan siang terlebih dahulu? Pilih yang mana?"
"...Makan siang."
"Baiklah, ayo."
Ayaka lalu berdiri dan mengangkat ujung bibirnya sedikit.
Dia dapat dengan cepat merasakan ada yang tidak beres dan memperhatikan perasaan ku.
──Memang, dia terlihat sempurna.
Dengan reaksinya, aku bisa menyimpulkan apa yang Natsuki coba sampaikan.
"Nah, kenapa kau bisa begitu memahami aku?"
"Ada apa tiba-tiba? Kau juga kan mengerti aku. Itu sama saja."
...Aku rasa aku tidak bisa sepandai Ayaka dalam hal perhatian terhadap orang lain.
Mungkin waktu yang telah kami habiskan bersama dan kedekatan yang terjalin selama bertahun-tahun yang membuat kami menjadi seperti ini.
Dari sudut pandang orang lain, mungkin aku terlihat seperti orang yang peka terhadap Ayaka juga.
"Kita ini pasangan yang sempurna, ya?"
"Sempurna, tentu saja. Mulai sekarang aku akan ditraktir."
"Eh?"
"Karena kau memintaku untuk mencatatkan 2 matkul, jadi traktir aku makan siang besok. Hubungan yang luar biasa, kan?"
"Ah, mungkin dalam beberapa hal itu sempurna..."
Aku mengeluarkan dompetku dan melangkah keluar dari lorong.
Ayaka tersenyum tipis dan bertanya, "Hari ini kau mau makan apa?"
Ini adalah bagian dari kehidupan sehari-hari kami, kehidupan yang penuh kebahagiaan.
Memang benar, bisa dibilang kehidupan kampus ku sangat menyenangkan, dan itu semua berkat orang-orang di sekitar ku.
Meskipun kalo kehidupan sehari-hari itu malah membuat ku menjadi lebih buruk, aku tetap merasa bersyukur.
Aku berpikir seperti itu setelah mendengar saran dari Natsuki.
★★★
"Hmm, memang enak dan terjangkau, ya?"
Ayaka mengatakan itu sambil menyantap kari di kantin.
Area teras dan tempat-tempat bergaya lainnya biasanya cepat penuh oleh orang-orang.
Karena itu, setelah terlambat sekitar 5 menit setelah kuliah selesai, kami ber-2 datang ke kantin yang murah dan enak ini.
Kantin ini adalah yang paling terjangkau dan luas.
Tapu, kalo kami terlambat 2 atau 3 menit lagi, kami mungkin akan kesulitan mencari tempat duduk untuk kami ber-2.
Ini menunjukkan betapa banyak orang yang ada di sini.
Aku semakin merasakan perbedaan ukuran antara kampus dan SMA.
"Ramen-nya enak."
"....Mie-nya sudah melar, apa tidak apa-apa?"
"Hmm."
Aku menarik mie sambil memainkan gacha di game mobile.
"Ah, sial, gagal."
"Apa kau mendengarkanku?"
"Aku mendengarkan kok. Ternyata enak, mau coba?"
"Terima kasih, aku tidak mau. Di sini terlalu ramai."
Mungkin kalo ini bukan di kantin, dia akan mencobanya.
Aku memasukkan irisan daging babi ke dalam mulutku dan menyesap kuahnya.
"Oh iya, kapan seminar dimulai?"
Mendengar pertanyaan Ayaka, aku berhenti sejenak dan meletakkan sumpit.
"Sepertinya mulai minggu depan. Kuliah pertama seharusnya dibatalkan."
Di jurusan ku, mengikuti seminar setiap tahun memang sangat dianjurkan.
Setelah berhasil melewati wawancara yang diadakan tahun lalu, aku dan Ayaka akhirnya diputuskan untuk bergabung dalam seminar yang sama.
Jumlah kredit yang bisa diperoleh dalam setahun sudah ditentukan, dan seminar merupakan pengecualian dari batasan tersebut.
Karena itu, bagi mereka yang ingin segera memenuhi jumlah kredit untuk kelulusan, bergabung dengan seminar menjadi pilihan yang umum.
Seminar juga merupakan tempat untuk membangun hubungan dengan orang lain selain melalui kegiatan di klub, jadi ada juga yang bergabung dengan tujuan memperluas jaringan pertemanan.
Meskipun ada pro dan kontra seperti halnya di kelas SMA, aku pribadi tidak benci dengan komunitas itu.
"Ah, itu sangat membantu. Mulai minggu ini aku akan sibuk, jadi kalo ada matkul dengan tugas, aku tidak suka."
"Ada apa?"
Ketika aku bertanya, Ayaka tersenyum pahit.
"Ya, kau juga pasti ada kan? Pengenalan anggota baru klub."
"Oh... iya."
Aku tidak bisa bilang apa-apa. Biasanya aku hanya ikut berpartisipasi dalam kegiatan, tapi aku tidak pernah terlibat dalam pengelolaan acara.
Pengenalan anggota baru klub itu mirip seperti masa percakapan di SMA.
Jumlah klub di kampus jauh lebih banyak dibandingkan dengan klub di SMA.
Tapi, hampir semua klub memiliki kegiatan yang sama untuk pengenalan anggota baru, yaitu acara minum yang disebut 'after party' setelah kegiatan klub.
Tujuan dari acara tersebut adalah untuk mempererat hubungan antar anggota.
Beberapa klub bahkan tidak meminta biaya untuk 'after party' dari anggota tahun pertama.
Sebagai gantinya, anggota tahun atas akan membayar lebih banyak, dan keadaan keuangan ku tidak cukup untuk itu.
"Aku yakin kau dulu waktu tahun pertama banyak di traktir. Jadi kembalikanlah budi yang sudah kau terima kepada generasi berikutnya."
"A...aku tahu kok."
"Ragu."
"Ugh..."
Sebenarnya, kalo orang yang aku traktir adalah temanku, aku tidak masalah.
Hanya saja, aku merasa keberatan untuk mentraktir orang yang wajahnya saja belum aku kenal.
Kalo kami sudah jadi teman dekat, tentu saja aku tidak keberatan.
Saat musim Natal, aku bahkan mentraktir Shinohara, dan aku juga sudah beberapa kali mentraktir Ayaka.
"Aku biasanya di traktir karena kau yang salah."
"Kenapa kau bisa tahu apa yang ada di pikiranku sejak tadi?!"
"Itu hanya firasat."
Setelah mengatakan itu, Ayaka berdiri dari tempat duduknya.
Dibaca pikirannya hanya berdasarkan firasat memang menyebalkan, tapi sebenarnya itu bukan hal yang baru bagiku.
Kami sudah melalui banyak hal bersama sejak masa SMA, jadi aku rasa itu tidak terlalu mengejutkan.
Kami telah melewati berbagai peristiwa, dan sampai sejauh ini, kami tetap ada untuk satu sama lain.
Itulah sebabnya aku bisa memahami betapa pentingnya hubungan yang kami miliki saat ini.
Tapi, setiap kali aku merasakan hubungan kami, aku tidak bisa tidak mengingat hal ini.
──Jangan berpikir kalo semua orang itu seperti Ayaka-chan yang sempurna.
Perkataan dari Tsukimiori Natsuki.
Apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan itu?
Apa yang ingin dia sampaikan, dan apa artinya?
"Apa kau juga akan datang? Ke acara penyambutan anggota baru di klub kami."
Itu adalah ajakan dari Ayaka.
Tapi, perkataan dari Natsuki tidak cukup menjadi alasan untuk mengurangi waktu ku bersama Ayaka.
Itu adalah masalah yang terpisah.
"Aku ini pertama kalinya jadi wakil ketua, jadi aku agak merasa cemas. Kami kekurangan orang, kalo kau ikut, nanti aku traktir deh."
"Baiklah, aku tidak masalah!"
"Hah, dapat."
Ayaka tersenyum tipis, kemudian dia mengambil nampannya dan mulai berjalan ke tempat pengembalian.
Dengan setiap langkah yang dia ambil, dia terlihat begitu anggun, dan beberapa orang yang duduk di meja lain memperhatikannya dengan pandangan mata.
Sosok seperti itu adalah orang yang paling mengerti aku.
Aku berjalan mengikuti Ayama, dan aku berpikir.
──Tentu saja, kalo kami selalu bersama, pasti kau akan terbiasa.