Kamu saat ini sedang membaca Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu volume 2 chapter 3. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw
PESTA VALENTINE
Sudah sekitar 2 minggu sejak aku memulai liburan musim semi yang panjang dari kampus.
Tanpa rencana yang berarti, aku hanya bekerja paruh waktu 2 kali seminggu, menghadiri kegiatan klub basket sekali seminggu, dan menghabiskan waktu lainnya di rumah dengan bermalas-malasan.
Selain itu, aku menghabiskan waktuku dengan bermalas-malasan di rumah, dan liburan musim semiku sudah tenggelam dalam pola hidup yang monoton dan tanpa warna.
Banyak mahasiswa yang sebelum liburan panjang dimulai mereka merasa bersemangat, tapi ketika liburan benar-benar tiba, mereka justru menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak berarti, kemudian, saat perkuliahan dimulai kembali, mereka menyesal tidak memanfaatkan waktu liburan dengan lebih baik.
Tapi, ada beberapa cara bagi mahasiswa malas sepertiku untuk keluar dari pola hidup yang membosankan ini.
Salah satunya adalah dengan mengikuti suatu acara atau kegiatan tertentu.
Hari ini, kebetulan, adalah tanggal 14 Februari, Hari Valentine.
Ini adalah salah satu dari sedikit kegiatan yang sudah kujadwalkan selama libur panjang ini.
"Senpai, hari ini aku ada acara, jadi aku tidak akan makan malam di sini."
"Ah, tidak apa-apa. Aku juga punya rencana lain jiga hari ini."
Shinohara mengatakan itu sambil membaca manga, dan aku menjawab dengan suara datar.
Mendengar jawabanku, Shinohara langsung bangkit dari posisi berbaring menjadi duduk bersila.
"Wah, itu langka sekali. Hari ini kau kan tidak ada jadwal kerja paruh waktu ataupun kegiatan klub, kan?"
"Kenapa kau tahu jadwalku? Menyeramkan sekali..."
"Eh, jangan bilang seperti itu! Aku cuma melihat kalender di meja Senpai yang penuh jadwal tertulis rapi. Dari situ saja, semuanya sudah kelihatan jelas!"
Shinohara menunjuk dengan tegas ke arah kalender.
Terpancing oleh gerakannya, aku pun melihat ke arah yang sama dan memang benar, aku biasa memberi tanda dengan pulpen berwarna pada tanggal yang ada jadwal kerja paruh waktu atau kegiatan klub.
Tapi, pada tanggal hari ini, kolomnya tetap kosong.
Mungkin merasa heran dengan hal itu, Shinohara sedikit memiringkan kepalanya.
"Apa rencanamu untuk hari ini, Senpai?"
"Pesta, mungkin."
Natsuki mengundangku ke pesta Valentine.
Bagi ku, ini adalah salah satu dari sedikit peristiwa yang menarik bagi ku.
Meskipun begitu, aku hanya akan ikut berpesta tanpa ada hal yang terlalu istimewa.
"Oh, pesta! Kedengarannya itu menyenangkan. Pesta apa, iti?"
"Sayangnya, pesta ini dilarang untuk anak di bawah umur."
"Eh?"
Shinohara langsung memerah mendengar jawabanku.
"...Jadi, dalam situasi seperti ini, apakah tersenyum dan melepas mu pergi adalah respons yang tepat?"
"Apa maksudmu?"
"M-mengatakan 'Selamat bersenang-senang' sebagai seorang gadis rasanya juga sedikit aneh..."
"...Entah dari mana kau mendapat ide aneh seperti itu, tapi ini hanya pesta yang sering diadakan untuk mahasiswa. Jangan terlalu bereaksi terhadap kata-kata 'dilarang untuk anak di bawah umur.'"
Saat aku menjawab dengan tenang, Shinohara tertegun sejenak, lalu membuka mulutnya.
"Se-Senpai, kau menikmati melihat kebodohan ku, ya! Kau ini sangat menyebalkan!"
"Sedikit banyak, kau cukup pandai membuat sajak, ya!"
"Siapa pun pasti akan salah paham kalo mereka mendengar kata-kata tadi!"
Shinohara berkata begitu sambil turun dari tempat tidur dan mengembalikan komik yang dibacanya ke rak buku.
Setelah itu, dia mengambil volume berikutnya dan kembali duduk di tempat tidurku dengan gerakan penuh semangat.
Melihat tingkah laku Shinohara, aku hanya bisa menghela napas.
Hari ini, aku berencana pergi ke pesta dan aku sudah berjanji bertemu dengan Ayaka di depan stasiun pada pukul 6 sore.
Saat ini, jarum jam menunjukkan pukul 5 sore, jadi aku harus segera bersiap, tapi, keberadaan Shinohara yang asyik membaca manga di depan mataku justru membuatku sulit untuk melakukannya.
Jujur saja, meninggalkan seseorang sendirian di rumahku untuk pergi ke luar membuatku merasa tidak nyaman
── Seseorang, ya.
Aku melirik ke arah Shinohara sekilas.
Shinohara sering mengunjungi rumahku beberapa kali dalam seminggu.
Biasanya, orang lain mungkin akan merasa terganggu dengan hal itu, tapi Shinohara memiliki sesuatu yang membuatku tidak keberatan menerimanya.
Faktanya, kehadiran Shinohara memberi warna pada rutinitasku yang monoton, dan mungkin aku tanpa sadar mulai menyukai hal itu.
"Makanannya enak juga, sih," .
".....Entah kenapa ucapanmu terdengar sangat materialistis, tapi sudahlah. Sekarang aku sedang membaca, jadi jangan ganggu aku."
Membaca manga mungkin dianggap sebagai bagian dari membaca, meskipun pendapat tentang hal ini berbeda-beda, tapi untuk saat ini, yang terpenting adalah mengusir Shinohara dari rumahku.
"Jadi, Shinohara. Sudah waktunya bagimu untuk pulang. Kan sudah kubilang kalo aku ada rencana hari ini."
Waktu janji temuku tinggal 1 jam lagi.
Perjalanan ke stasiun tempat kami akan bertemu memakan waktu lebih dari 40 menit, jadi waktu yang tersisa benar-benar sempit.
"Aku akan pulang kok. Tapi tolong tunggu sebentar, aku sedang berada di scene yang sangat bagus sekarang!"
"Memangnya ada scene bagus di bagian awal?"
"Yup ada!"
Gara-gara majalah mingguan yang kuberikan beberapa hari lalu, Shinohara jadi kecanduan manga yang ada di kamarku.
Sebelum sering datang ke rumahku, dia hampir tidak pernah membaca majalah manga.
Yang sedang dia baca sekarang adalah manga yang belakangan ini sangat populer, jadi aku bisa mengerti kenapa dia begitu tenggelam membacanya.
Akhirnya aku menyerah untuk sementara waktu dan memutuskan menyiapkan diri untuk pergi, meskipun Shinohara masih di kamarku.
Shinohara, setidaknya, berusaha tidak mengganggu. Saat aku mencari sesuatu, dia menghindar ke atas tempat tidur.
Setelah selesai bersiap, aku berkata dengan nada sedikit ketus.
"Sebetulnya, kau ini mau keluar rumah atau tidak? Bukankah kau juga punya rencana hari ini?"
Sama seperti Ayaka, aku juga sudah memastikan langsung dari mulut Shinohara kalo dia ada urusan hari ini.
Tapi dia malah datang ke rumahku untuk membaca manga sebelum pergi sepertinya dia agak terlalu santai.
Kalo dia memberitahuku, aku tentu tidak keberatan meminjamkan mangaku sebanyak yang dia mau.
"Ada kok. Setelah selesai membaca volume ini, aku juga mau pergi belanja."
Dari jawabannya itu sudah cukup untuk menyampaikan kalo dia tidak berniat keluar saat ini.
Tapi, aku tidak bisa mengusirnya dengan paksa, aku terlalu banyak menerima kebaikan dari Shinohara, sehingga rasanya tidak mungkin aku melakukannya.
Dengan enggan, aku akhirnya memutuskan dan melemparkan kunci apartemen ku ke arah Shinohara.
"Nih, kunci. Kau yang kunci pintunya nanti."
"Baiklah... eh!? Kunci!?"
Shinohara menutup manga yang sedang dibacanya, lalu mengambil kunci yang jatuh di pahanya.
Aku menahan keinginan untuk mengeluarkan komentar tidak tidak gunanya seperti, "Apa semangatmu terhadap manga hanya sampai segitu saja?"
Kalo kami memperpanjang pembicaraan, itu hanya akan membuang-buang waktu.
"Ya, kunci. Simpan itu baik-baik dan masukkan ke kotak surat nanti. Jangan sampai hilang. Membuat kunci baru itu lumayan mahal."
Soalnya aku pernah mengalaminya.
Ketika SMP, aku pernah kehilangan kunci rumah dan dipaksa membuat kunci baru menggunakan uang sakuku, hingga aku kehabisan uang selama beberapa waktu.
Sialnya, sekitar setengah tahun yang lalu, aku sudah kehilangan salah satu kunci cadangan. Jadi, aku benar-benar perlu memastikan kunci itu dikembalikan dengan aman.
Selain itu, kunci itu juga memiliki kenangan yang penting bagiku.
── Tidak, sebaiknya aku tidak menyerahkan kunci itu kepada Shinohara.
Dalam sekejap, aku berubah pikiran dan ketika aku hendak mengulurkan tanganku untuk mengambil kunci itu kembali, aku melihat ekspresi Shinohara dan membatalkan niatku.
"Ke-kembalikan itu nanti, oke. Itu bukan kunci cadangan, jadi kembalikan dengan baik. Tapi, ya... bagaimana ya. Ini seperti, semacam... langkah maju, kan?"
Shinohara memegang kunci dengan hati-hati, memperhatikan gantungan kunci yang terpasang sambil tersenyum tipis.
"Gantungan kunci ini juga, imut sekali."
"...Memang."
Hanya dengan satu kata itu, aku kembali memutuskan untuk meminjamkan kunci tersebut kepada Shinohara.
Gantungan kunci berbentuk macan tutul salju yang didesain dengan gaya lucu.
Gantungan kunci favoritnya.
Aku agak enggan meminjamkannya ke Shinohara, tapi agak tidak wajar kalo aku hanya memberikan gantungan kunci itu di sini.
Dengan membawa tas clutch baru di satu tangan, aku meninggalkan ruang tamu.
"Selamat jalan!" seru Shinohara dengan suara ceria dari belakang saat aku keluar dari pintu depan.
Mau tak mau aku menghela nafas saat berjalan keluar pintu.
Uap putih keluar dari mulutku dan perlahan naik ke udara.
Sambil memandanginya dengan kosong, pikiranku mulai melayang pada berbagai hal hingga akhirnya teringat satu hal, hari ini adalah Hari Valentine.
Ketika aku menerima pesan dari Shinohara, "Hari ini aku akan mampir ke apartemenmu", aku sempat berpikir kalo dia akan memberiku cokelat, tapi pada akhirnya, Shinohara sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda membawa cokelat, apalagi memberikannya.
Meskipun aku tidak terlalu kecewa tidak menerima cokelat, rasanya tetap ada sedikit kekecewaan yang sulit untuk dihindari.
Yah, mungkin wajar saja kalo akhirnya aku tidak mendapat apa-apa.
Tapi, aku menyadari kalo perasaan yang naik turun hanya karena jumlah cokelat yang diterima, ternyata tidak berubah meski aku sudah menjadi mahasiswa.
"Dasar, kenapa aku begini."
Aku bergumam pada diriku sendiri dan berlari menuju ke stasiun.
★★★
Saat tiba di stasiun, waktu menunjukkan pukul 18.00, sesuai dengan janji.
Di tengah keramaian orang yang sibuk berlalu lalang, aku melihat sosok punggung yang sudah sangat aku kenal.
"Ayaka."
Ketika mendengar panggilanku, Ayaka menoleh, wajahnya terlihat lebih mencolok dari biasanya dengan riasan yang lebih menonjol.
Pakaiannya yang didominasi warna hitam, dipadukan dengan aksesori perak yang berkilauan, memancarkan kesan elegan, tidak heran aku langsung menemukannya di tengah keramaian.
Setelah memastikan keberadaanku, Ayaka melangkah mendekat dengan suara ketukan tumitnya yang jelas terdengar.
"Hai, sudah lama ya. Terakhir kita bertemu di acara minum-minum, kan?"
"Iya. Meski sebenarnya rasanya itu belum terlalu lama."
Sejak memasuki liburan musim semi, meskipun aku tidak sempat bertemu langsung dengan Ayaka, kami beberapa kali berbicara melalui telepon, karena itu, rasanya tidak seperti sudah lama tak bertemu.
Tapi, penampilannya yang terlihat jauh lebih cantik dari biasanya membuatku sedikit gugup.
Meskipun hubungan kami sudah cukup lama terjalin, dia masih mampu membuatku tegang seperti ini, sepertinya dia benar-benar berusaha keras untuk malam ini.
Sementara itu, aku sendiri datang dengan pakaian biasa, seperti yang sering dipakai mahasiswa untuk acara santai.
Mungkin seharusnya aku memilih pakaian yang lebih pantas.
Saat penyesalan itu mulai muncul, Ayaka langsung menegurku dengan nada menyindir.
"Pakainmu terlalu biasa. Itu kan pakaian untuk kuliah."
"Bi-biar saja, tidak masalah. Toh kita hanya akan minum dan mengobrol, kan?"
Ayaka mengeluarkan suara jengkel selagi aku memalingkan wajahku setelah aku dipukul di area yang menyakitkan.
"Kau ini, apa kau benar-benar tidak melihat gambar yang dikirim oleh Natsuki?"
"Gambar apa?"
"Apa maksudmu 'gambar apa'? Itu acara Valentine. Konsepnya, laki-laki dan perempuan dipasangkan secara acak untuk mengobrol. Kalo laki-lakinya berhasil menarik perhatian, dia akan mendapatkan cokelat dari perempuan itu. Aku bahkan repot-repot membuat cokelat untuk acara ini."
"Apa!?"
── Acara macam apa itu, seperti neraka saja.
Dengan panik, aku membuka layar percakapan dengan Natsuki untuk memeriksa, dan benar saja, semua detail tentang acara itu tertulis di sana.
Jika harus menarik perhatian seorang perempuan yang baru pertama kali kutemui hanya untuk mendapatkan cokelat, aku rasa lebih baik tidak mendapatkannya sama sekali.
Tapi, tidak mendapatkan cokelat sama sekali tetap saja akan menjadi pukulan mental yang berat, kalo itu terjadi, aku mungkin akan berakhir mengadu pada Ayaka sambil menangis.
"Jadi, kalo aku pulang sekarang, tidak bisa ya?"
Ayaka mengangkat tas kertas di tangannya dengan ekspresi marah.
"Tentu saja tidak bisa! Aku sudah susah payah membuat cokelat untuk hari ini. Lagipula, tanpa pasangan, kau bahkan tidak akan diizinkan masuk ke tempat acara."
"Yah, mungkin aku bisa mencari laki-laki lain yang senasib,"
"Ogah, itu merepotkan. Tenang saja, aku sudah memutuskan untuk memberikan cokelatku padamu. Jadi, setidaknya kau tidak akan pulang dengan tangan kosong."
Mendengar itu, aku merasa sedikit lebih lega.
Meski hubunganku dengan Sayaka sudah cukup lama, aku belum pernah mendapatkan cokelat darinya.
Meskipun itu hanya cokelat 'formalitas', faktanya itu adalah buatan tangannya sendiri tetap memberikan arti tersendiri.
... Dengan pemikiran itu, aku hanya bisa bertahan melewati acara ini.
"Ada apa dengan wajah itu? Apa kau tidak puas dengan cokelatku?"
Ayaka bertanya sambil menatapku dengan ekspresi tidak puas.
Aku buru-buru menggelengkan kepalaku sambil melambaikan tangan.
"Tidak, bukan begitu. Kalo bukan karena itu, aku pasti sudah kabur sejak tadi."
"Tentu, kalo begitu tidak masalah. Tapi kalo bukan dalam kesempatan seperti ini, aku biasanya tidak akan memberikan cokelat pada orang lain."
"Kenapa?"
"Kenapa? Itu pelajaran dari masa lalu. Aku tidak ingin terlibat dalam perang berdarah antar perempuan. Meskipun pada akhirnya aku dibilang punya masalah dengan sifat ku."
Dia pasti sedang membicarakan kejadian waktu SMA.
Aku juga tahu betul, gadis-gadis yang punya penampilan menarik sering kali terlibat dalam konflik seperti itu.
"Ya, orang sepertimu sih, apa pun yang kau lakukan, tetap saja kau akan dikomentari. Terima saja."

"Hei, itu kan bagian di mana kau seharusnya menghiburku, kan? Kenapa kau malah menambah beban ku lagi?"
"Kau kan tidak suka aku menghiburmu tentang hal seperti itu. Aku juga tidak ingin menghibur."
"...Yah, memang kau benar. Jadi, hari ini aku bersemangat dan membuat banyak cokelat."
Ayaka mengangkat tas plastik dan berkata, "Bagaimana menurutmu?"
Tapi, sebelum aku melihat isinya, aku merasa ada kata-kata yang tidak bisa aku abaikan.
"Kenapa kau membawa banyak cokelat? Biasanya 1 saja sudah cukup kan?"
Aku bertanya, dan Ayaka menjawab dengan nada yang sedikit heran.
"Dengar, kalo kami cuma membawa satu, laki-laki malang seperti mu bisa jadi banyak, kan? Sudah tertulis dengan jelas kalo kami para perempuan harus membawa beberapa."
"Ah, jadi semua orang membawa cokelat lebih banyak, ya... Ternyata cukup berat juga jadi perempuan."
Kalo begitu, nilai cokelat Ayaka berkurang.
Meskipun begitu, aku tetap merasa senang, hanya saja aku tetap sedikit kecewa.
Pikiran itu muncul sambil menatap tas plastik yang Ayaka bawa, dan jelas terlihat ada sekitar 10 cokelat di dalamnya.
"Tapi, sepertinya itu kebanyakan. Untuk apa membuat sebanyak ini?"
"Ya, untuk mencari calon pacar. Semakin banyak, semakin baik."
"Makanya, laki-laki seperti Motosaka itu bisa mendekat padamu."
"Diam."
"Jadi kau sadar kalo usahamu kurang efektif, ya... Tapi, ya sudah, aku mengerti kalo kau sudah berusaha keras untuk hari ini. Jadi tidak masalah."
Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Ayaka, sepertinya pihak penyelenggara tidak hanya memperlakukan pria dengan buruk.
Para wanita juga tampaknya dipaksa untuk membuat cokelat yang merepotkan, jadi jika begitu, aku juga harus berusaha keras hari ini, pikirku.
Tapi, tepat pada saat aku mulai berpikir seperti itu, Ayaka menambahkan kata-kata yang tidak perlu.
"Biaya partisipasi untuk perempuan adalah 500 yen, loh."
"Hei, aku yakin harganya 4.300 yen!! Jangan main-main!"
"Semua pesta yang bentuknya seperti pesta kencan memang seperti itu. Malah ini lebih murah, loh, kau harusnya bersyukur bisa dapat cokelat."
"Aku tidak mau pergi! Setidaknya biarkan aku mengganti pakaianku dulu!"
"Jangan teriak begitu, berisik!"
Aku merasakan tamparan keras di bagian belakang kepalaku.
Suara keras itu terdengar, tapi rasa sakit itu jauh lebih ringan dibandingkan dengan rasa cemas yang aku bayangkan akan terjadi di dadaku.
★★★
"Konfirmasi sudah diterima. Silakan masuk."
Setelah menerima tiket masuk dari staf dan diarahkan ke dalam, aku melihat bahwa ruang acara tersebut cukup luas, sepertinya bisa menampung 100 orang lebih.
Tapi, karena jumlah orang yang hadir hanya sekitar 40 orang, ruangan tersebut terasa cukup luas.
Selain itu, karena acara ini diadakan di salah satu lantai gedung tinggi, pemandangan malam kota dapat terlihat dengan jelas.
Meski terkesan mewah, namun harganya relatif terjangkau sehingga tak heran jika tempat ini populer di kalangan pelajar.
"Eh, ternyata tempatnya cukup bagus juga. Aku tidak begitu mengharapkan banyak dari tempat ini."
"Biasanya, jika ingin pergi ke tempat seperti ini, biaya partisipasinya bisa mencapai sekitar 7.000 yen."
Ketika aku terkesima dengan tempat ini, Ayaka menatapku dengan ekspresi bingung.
"Apa yang kamu bicarakan? Harga segitu itu sudah biasa. Kan ada sistem pemesanan minuman."
"Eh, jadi kita masih akan dikenakan biaya tambahan dari sini!?"
"Suaramu terlalu keras!"
Ayaka menggenggam erat lengan atasku.
Saat aku mengusap lengan yang terasa nyeri, aku melihat sosok yang aku kenal di antara kerumunan.
Itu adalah Natsuki, yang mengundangku ke acara pesta ini.
Aku berniat untuk menyapanya, tapi Natsuki sedang berbincang dengan seorang pria yang duduk di sampingnya.
Dan pria itu juga terlihat familiar.
"Ayaka, pria yang duduk di samping Natsuki itu siapa?"
"Ugh..."
Ayaka langsung menunjukkan ekspresi tidak suka.
Pria yang ada di samping Natsuki itu adalah Motosaka Yudo, seorang pria yang pernah membuat pembicaraan tidak senonoh pada acara kencan Natal, dan kemudian ditolak oleh Shinohara yang tiba-tiba muncul.
Kencan yang Ayaka organisir itu berakhir dengan kegagalan, dan tentu saja, itu menjadi kenangan yang tidak menyenangkan bagi Ayaka.
"Kenapa dia ada di sini? Apa dia teman Natsuki?"
"Mana aku tahu soal itu? Semoga kita tidak terlibat masalah dengan dia."
"Kau kan biasanya hanya berbicara dengan wanita, jadi seharusnya tidak masalah, kan?"
"Kalo kau bertingkah seperti biasanya, pasti tidak ada masalah."
"Eh, apa yang kau katakan—"
Saat Ayaka baru akan berbicara, sebuah suara menggema di seluruh ruangan.
Ruangan menjadi lebih gelap, dan cahaya sorot hanya mengenai seorang pria yang muncul di depan.
"Selamat datang di acara ini, aku Tsuda, penyelenggara pesta Valentine kali ini."
Pria yang memperkenalkan diri sebagai penyelenggara acara itu masih muda, bahkan dia terlihat seperti mahasiswa.
Ayaka menatap penyelenggara dengan sedikit rasa bosan, tapi banyak orang di sekitar kami terlihat antusias.
"Aku tau ini tiba-tiba, tapi siapa di antara kalian yang sudah menerima cokelat hari ini?"
Saat penyelenggara mengangkat tangan dan mengajukan pertanyaan, beberapa orang mengangkat tangan.
Motosaka juga mengangkat tangannya dengan bangga.
Ayaka menyentuh pundakku, lalu aku mendekatkan telinga padanya.
"Apa kau sudah menerima cokelat?"
"Aku belum menerimanya, dan rasanya juga tidak akan menerimanya."
"Apa sih, cokelatku juga harus dihitung, kan?"
Meskipun begitu, rasanya jumlah cokelat yang dibawa Ayaka mungkin yang paling sedikit di seluruh ruangan ini.
Mungkin ada beberapa orang yang membawa lebih dari 1 cokelat, tapi tidak ada yang membawa sebanyak Ayaka, hingga tas kertasnya tampak penuh.
"Semoga beruntung ya, pea gun."
"Jangan sebut itu, itu meriam yang hebat."
"Meriam tidak bisa menembakkan peluru bertubi-tubi."
"Aku yang mengisi peluru lebih cepat."
Ayaka berkata dengan bangga.
Ketika aku hendak membalas ucapannya, rambut bob berwarna cokelat memyelaku dengan cepat.
"Aya-chan"
Itu adalah Natsuki.
Dia masih mengenakan kacamata besar dengan bingkai hitam, dan di belakangnya ada Motosaka.
"Aya-chan, aku senang kamu datang! Ayo bersenang-senang hari ini!"
"Natsuki~! Aku merasa sedikit cemas datang ke acara seperti ini sendirian, jadi aku senang sekali kau mengundangku. Ini kesempatan yang bagus~!"
Aku terkejut dengan cepatnya perubahan ekspresi Ayaka, yang berbicara dengan suara pelan namun penuh semangat.
Motosaka juga sepertinya memperhatikan Ayaka dalam dari tempat yang sedikit gelap, dan mulai berbicara dengan semangat.
"Ayaka-chan, sudah lama ya? aku senang kamu datang! Eh, apa kau akan memberiku cokelat juga?"
"Oh, Motosaka-kun, benar juga. Sebenarnya, Aku tidak sengaja membuat terlalu banyak cokelat, jadi aku pasti akan memberimu, aku ingin memberikannya kepada semua orang yang ada di sini!"
Aku pun menjauh dari Ayaka yang tersenyum lebar.
Mungkin aku akan dimarahi nanti, tapi lebih baik sendirian daripada tetap berada di situ.
Untungnya, ruangan ini cukup gelap kecuali di area tempat penyelenggara berdiri, jadi aku tidak begitu menonjol.
"Baiklah, teman-teman, silakan periksa tiket masuk kalian! Apakah kalian bisa melihat nomor yang tertera?"
Saat penyelenggara memberikan penjelasan, aku mengeluarkan tiket masuk dari sakuku.
Meskipun agak sulit terlihat, ada angka besar 31 yang tertulis di sana.
"Seperti yang kalian lihat, setiap peserta diberikan nomor. Nomor ini akan digunakan untuk membentuk pasangan secara acak. Setiap 10 menit, nomor pasangan akan diumumkan, jadi setelah ada pengumuman, silakan datang dan cek nomor kalian. Di ujung tiket masuk, terdapat kupon satu minuman gratis, jadi pastikan untuk memotongnya dan menukarkannya di meja kasir!"
Penataan peserta yang dilakukan berdasarkan rasio gender dan pembagian nomor cukup mengandalkan kebijakan peserta sendiri.
Pada papan besar yang ditulis tangan, ada lampu sorot yang menyinari, sehingga meskipun ruangan agak gelap, setidaknya masih bisa dilihat dengan jelas, tapi, menurutku itu masih cukup memperhatikan kenyamanan peserta.
Aku maju ke depan dan akhirnya menemukan nomor tiketku, yang tertera angka 14.
Ketika aku melihat sekeliling, semua orang mulai mencari pasangan mereka, menyebutkan nomor mereka seperti "Ada yang nomor 40?" dan berjalan keliling.
Dengan perasaan putus asa karena harus mencari pasangan di ruang yang agak gelap ini, aku pun mulai berjalan dengan enggan, mengikuti orang-orang di sekitarku.
Setelah beberapa detik mencari sambil menyebut "Nomor 14", akhirnya aku mendengar balasan.
Di antara pencarian yang panjang itu, beberapa detik ini terasa sangat berat bagiku.
"Ya, aku nomor 14~."
Suara itu terdengar familiar.
Saat aku mendekat, aku menyadari kalo yang berbicara adalah Natsuki, yang tadi sempat berbincang dengan Ayaka.
"Ah, ternyata Natsuki."
Saat aku mengeluarkan suara lega, Natsuki bereaksi dengan sedikit kebosanan.
"Eh, Yuta ya. Ternyata kita saling kenal."
"Eh, kok kasar begitu sih?"
"Kan kau yang bilang duluan."
"Ah, benar juga. Maafkan aku."
Kalimat yang terucap tanpa sengaja memang tidak bermakna, tapi aku paham kalo itu bisa dianggap kasar.
Setelah aku meminta maaf dengan tulus, Natsuki pun tersenyum dan mengatakan kalo itu tidak masalah.
Natsuki hanya berbuat sedikit berlebihan dengan merajuk sebagai lelucon.
"Ah, kau memang orang yang jujur."
Dengan senyum manis, dia berkata begitu, dan aku pun berpikir, wajar saja dia bisa bergabung dengan kelompok itu.
"Kalo begitu, ayo kita berbincang terlebih dahulu. Terima kasih sudah datang hari ini."
"Terima kasih... jadi, Natsuki, apa kau bagian dari panitia acara ini?"
Aku pernah mendengar kalo dalam acara seperti ini, terkadang ada anggota panitia yang ikut berpartisipasi sebagai peserta.
Tapi, Natsuki menggelengkan kepalanya.
"Bukan begitu. Aku hanya berteman dengan beberapa orang yang ada di panitia. Jadi, aku mendapat lebih banyak tiket masuk supaya aku bisa mengundang teman-teman ku."
"Ah, jadi itu alasanmu mengundang mu."
"Benar! Acara seperti ini akan jadi lebih menyenangkan kalo banyak teman yang datang."
"Begitu ya. Tapi kenapa aku yang kau pilih?"
Dengan jaringan pertemanannya yang luas, Natsuki seharusnya punya banyak teman lain yang bisa dia ajak.
Meskipun kami baru saja saling mengenal, dan tidak ada yang aneh dari itu, ada sesuatu yang membuat saya sedikit penasaran.
"Kenapa ya? Mungkin kau akan tahu nanti."
"Apa maksudnya itu?"
Aku tertawa kecil mendengar cara Natsuki berbicara yang penuh arti.
Tapu, aku sadar kalo aku terus bertanya, Natsuki mungkin tidak akan memberikan jawaban yang jelas.
Dengan senyum cerah di wajahnya, aku bisa merasakan kalo tidak ingin membahasnya lebih lanjut.
Karena itu, aku memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan dan bertanya tentang hal lain yang sedikit mengganggu ku.
"Bagaimana kalau ada yang absen dalam acara ini? Lalu bagaimana dengan pembagian nomor dan pasangan? Apa ada yang tidak mendapatkan pasangan?"
Kali ini, Natsuki menyentuhkan jari telunjuk ke pipinya dan berpura-pura berpikir, "Hmm, bagaimana ya?"
Tingkah lakunya terkesan agak imut.
Tapu, aku merasa cara Natsuki menggoda agak berbeda dengan cara Shinohara.
"Oh, jadi begini. Nomor-nomor itu diputuskan langsung oleh panitia. Kenapa hanya pasangan pria dan wanita yang bisa masuk, itu untuk memastikan perbandingan gender tetap seimbang meskipun ada yang absen."
"Begitu ya. Memang sedikit merepotkan bagi peserta, tapi bagi panitia, ini tentu mengurangi banyak kerumitan."
Aku mengangguk puas dengan penjelasan itu.
Setelah itu, kami menghabiskan waktu dengan berbicara tentang manga favorit kami, seperti yang biasa kami lakukan sebelumnya.
Dengan adanya topik yang sama, percakapan di situasi seperti ini menjadi lebih mudah.
Ternyata, manga yang Shinohara baca juga disukai oleh Natsuki, sehingga percakapan kami menjadi cukup hidup.
"Karena sudah waktunya, kami akan melakukan pergantian pasangan. Terima kasih atas waktunya!"
Ketika kami sedang asyik berbicara tentang manga, pengumuman mengenai pergantian pasangan datang dari penyelenggara.
"Aku senang Yuta menjadi pasangan pertamaku! Aku merasa jauh lebih santai sekarang."
"Sama-sama. Terima kasih juga."
Saat aku mengucapkan itu, mata akh tanpa sengaja jatuh ke tas kertas yang dibawa oleh Natsuki.
Meski aku tidak berniat begitu, saya merasa seolah-olah aku terlihat sedang mengharapkan cokelat, dan itu membuat ku merasa tidak nyaman. Dengan cepat, ku mengalihkan pandangan.
Namun, sepertinya Natsuki menyadari ku sedang memperhatikan tas kertasnya, dan dia pun berbicara.
"Maaf, tapi aku tidak bisa memberikan cokelat. Memberikannya kepada teman-teman saja rasanya akan mengurangi makna dari acara ini."
Melihat Natsuki yang meminta maaf dengan ekspresi menyesal, aku merasa sangat malu.
Untuk menutupi rasa malu itu, aku tertawa kecil sambil melambaikan tangan.
"Ti-tidak masalah kok, kalau cokelatnya sedikit itu memang wajar. Justru kalau banyak seperti yang dibawa Ayaka yang aneh!"
[TL\n: kok gua yang malu ya.]
"Ahaha, itu benar juga."
Aku meminta maaf dalam hati karena menyebutkan nama Ayaka untuk menyembunyikan rasa malu ku.
Di sisi lain, Ayaka masih asyik berbicara dengan pria bermata bulat yang mengenakan kacamata.
Dari luar, sepertinya mereka sedang menikmati percakapan mereka, tapi aku tahu senyum Ayaka itu tidak tulus, dan tanpa sadar aku menghela napas.
Jika Ayaka terus bersikap seperti itu, bahkan terhadap orang yang baru pertama kali ditemui, aku rasa dia tidak akan pernah mendapatkan pacar yang dia inginkan.
Kalo dia tidak ingin didekati hanya berdasarkan penampilan luar, dia seharusnya lebih terbuka dan menunjukkan dirinya apa adanya.
Tapi, aku juga memahami kalo dia tidak menunjukkan sisi aslinya pada orang baru karena peristiwa yang lalu, dan itu membuat perasaan saya menjadi agak rumit.
"Apa kau benar tidak berpacaran dengan Aya-chan?"
"Aku sudah bilang sebelumnya, itu tidak mungkin."
"Benarkah? Tapi kalian kan selalu dekat."
"Yah, memang begitu."
Apa aku pernah memberi tahu Natsuki kalo aku sudah lama berteman dengan Ayaka? Mungkin, seperti halnya dengan Toudou, dia mendengarnya langsung dari Ayaka sendiri.
"Baiklah, kalo begitu aku akan pergi sekarang. Terima kasih ya!"
Setelah mengatakan itu, Natsuki meninggalkan ku dan pergi.
Aku merasakan kegelisahan di dalam dada ku saat melihat punggungnya yang menjauh.