> CHAPTER 4

CHAPTER 4

 Kamu saat ini sedang membaca  Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu  volume 2  chapter 4. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw



 DATANG LAGI



Setelah berpisah dengan Natsuki, aku masih bisa menikmati pesta, meski agak canggung.


 Ini hanya masalah membiasakan diri dengan tempat ini. 


Saat jumlah pasangan yang aku bentuk menjadi 4, termasuk Natsuki, suara penyelenggara menggema di seluruh ruangan.


"Untuk sementara, kita akan istirahat. Toilet dapat ditemukan di lorong keluar sebelah kanan di ujung sana—"


"Eh, padahal suasana semakin seru."


Gadis yang sedang berbicara denganku mengeluh dengan nada tidak puas.


Kami hanya berbicara tentang hal-hal ringan, tapi rasanya dia adalah orang yang paling asyik diajak ngobrol sejauh ini.


Meski begitu, mungkin itu hanya perasaanku saja, karena gadis itu kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan berhias dari tasnya.


"Baiklah, aku akan memberimu ini."


"Eh, apa tidak apa-apa?"


Terkejut, gadis itu tertawa kecil dengan ekspresi lucu.


Anting-anting di telinganya bergoyang.


"Tentu, tidak masalah. Asyik kok, dan sepertinya ini pertama kalinya kau menerima cokelat dari aku, ya?"


"Iya, ini yang pertama kali."


"Ada sih yang tetap asyik sampai akhir, tapi ya cuma sampai 'selamat tinggal', gitu."


"Begitu ya? Hmm, yah aku paham sih, perasaan itu."


Setelah memberikan bungkusan itu ke tanganku, gadis itu merentangkan tubuhnya.


"Kau jarang sekali membicarakan hal yang lebih dalam, kan? Itu menyenangkan, tapi sepertinya kau tidak punya niat untuk melangkah lebih jauh."


"Eh, jadi, apa semua laki-laki lain langsung membicarakan hal-hal dalam seperti itu?"


"Akanku lakukan, ya? Seperti membicarakan soal cinta. Satu-satunya orang yang hanya mengobrol tentang hal-hal biasa di pesta ini adalah kau."


Aku merasa terkejut karena biasanya aku berpikir kalo obrolan biasa adalah hal yang umum dilakukan dengan orang yang baru pertama kali bertemu. 


Tapi, aku bisa memahami jika dalam pesta seperti ini, orang sengaja memulai topik seperti itu untuk mempercepat kedekatan dalam waktu singkat.


Meski begitu, aku merasa tidak yakin kalo aku bisa melakukan hal yang sama.


"Aku juga mungkin tipe yang sama denganmu. Aku tidak terlalu suka membicarakan hal-hal pribadi dengan orang yang baru ku kenal. Jadi, berbicara denganmu adalah waktu yang menyenangkan."


"Oh, be-begitu. Terima kasih."


Aku merasa malu dan canggung, tidak bisa tenang.


Aku tidak ingat pernah menerima pujian yang begitu tulus dari seorang gadis yang baru pertama kali ku temui.


Gadis itu sepertinya menunggu sesuatu untuk dilanjutkan, tapi setelah memastikan aku tidak akan mengatakan apa-apa, dia tersenyum sedikit.


"Jadi, sampai jumpa. Semoga kita bisa bertemu lagi di lain waktu."


"O-Oh, iya. Sampai jumpa."


Gadis itu tersenyum manis sekali lagi sebelum kembali ke keramaian di dalam ruangan.


Aku merasa sangat senang sampai saya hampir melompat.


Waktu istirahat dimulai, dan di ruangan yang kini terlihat lebih acak-acakan, semua orang menghabiskan waktu dengan bebas.


Setelah memastikan gadis itu sudah tidak terlihat, aku pun meregangkan tubuhku seperti yang dia lakukan tadi.


Di tangan ku, ada sebuah cokelat yang rasanya seperti mengonfirmasi kalo aku benar-benar ada di sini, di tengah keramaian ini.


Meskipun ringan, cokelat itu jelas ada di sana.


Saat aku hendak memeriksa kemasannya lagi, sebuah suara terdengar dari belakang.


"Oh kau dapat, cokelatnya ya?"


Ayaka memperhatikan kemasan cokelat dengan rasa penasaran.


Isi dari kantong kertas itu sudah sedikit berkurang, jadi bisa disimpulkan kalo dia sudah memberi cokelat kepada semua pasangan yang ada.


"Tadi itu dari gadis yang baru pertama kali aku temui. Aku sangat senang menerimanya."


"Fuh. Tapi, melihat situasi tadi, seharusnya ada hal yang lebih menyenangkan yang terjadi, kan?"


Karena tidak ada petunjuk, aku memutar otak, dan Ayaka menampilkan ekspresi yang seakan kecewa.


"Dasar bodoh. Tadi itu seharusnya kau menanyakan nomor kontaknya."


"Hah, kenapa?"


"Karena obrolannya sudah mulai mengalir, kan? Aku tidak mendengarkan seluruh percakapan kalian, jadi aku tidak tahu pasti, tapi jelas terlihat kalo dia sedang menunggu kata-kata seperti itu."


Apa itu sebabnya ada sedikit jeda saat kami berpisah tadi?


Aku mulai merasa sedikit menyesal, tapi karena itu sudah terjadi, aku tidak bisa berbuat apa-apa.


"Yang penting, ini kan pertemuan sekali seumur hidup, jadi tidak apa-apa." kataku mencoba untuk terlihat tegar.


[TL\n: kek gua, gua kan kalo lagi nongkrong ama temen gua di tempat rame dan gua lagi gabut, gua bakalan deketin cewek ramdom yang lagi sendiri, gua ajakin ngobrol buat isi waktu luang, tapi gua gak pernah sekali pun nanya namanya, yah buat apa juga wong ketemu cuman di situ dan entar besoknya dia bakalan lupa ama gua.]


Ayaka tertawa, seolah bisa melihat lewat diriku.


"...Berapa lama sebenarnya waktu istirahatnya?"


"Katanya sih 10 menit. Hei, bagaimana kalo kita keluar ke lorong sebentar? Tempat ini terlalu ramai."


Sambil mengajukan usulan tersebut, kaki Ayaka sudah bergerak menuju pintu keluar.


Dia sepertinya tidak berniat menunggu jawabanku, yah itu sesuai dengan sifatnya.


Ketika aku dengan enggan mengikutinya, aku menemukan kalo lorong itu terbagi menjadi 2, dan hampir tidak ada orang di lorong yang tidak memiliki toilet.


Aku bersandar di dinding, dan tanpa sengaja menguap.


"Kau juga kelihatan lelah, ya."


"Tidak, aku tidak tahu, mungkin aku hanya mengantuk saja."


"Begitu. Ternyata kau cukup pandai berbicara dengan orang yang baru kau kenal, ya. Aku sudah berpikir begitu sejak di SMA."


"Pandai sih...kalo menurutku itu biasa saja. Aku cuma berbicara dengan normal, kadang itu bisa membuat obrolan jadi lebih seru. Kalo dibandingkan denganmu, aku ini masih sangat kurang."


Mendengar itu, ekspresi Ayaka sedikit berubah muram.


"Aku, tidak pandai kok."


"Kenapa? Bukankah setiap kali kau ada, suasana selalu terasa hidup?"


Di mana pun Ayaka berada, kesan yang tertinggal adalah suara tawa yang tak pernah berhenti.


Hal itu tidak pernah berubah sejak masa SMA, kecuali untuk waktu tertentu.


Aku selalu berpikir, kalo seseorang seperti Ayaka, yang bisa mencairkan suasana, bergabung dalam kelompok baru, pasti semua orang di sekitarnya akan merasa lebih nyaman.


Tapi, Ayaka menggelengkan kepalanya.


"Mungkin suasananya terlihat hidup, tapi aku tidak bisa berbicara secara blak-blakan seperti saat berbicara denganmu. Kalo tujuannya mencari pasangan, jelas lebih mudah kalo sejak awal kita bisa menunjukkan diri apa adanya. Dalam hal itu, aku iri padamu, yang bisa membangun hubungan dengan menunjukkan dirimu yang asli sejak awal."


"Aku juga berusaha untuk bersikap ceria saat bertemu orang baru, lho. Aku tidak langsung menunjukkan diriku yang sepenuhnya, seperti saat berbicara denganmu."


"....Benarkah? Yah, mungkin ini seperti pepatah 'rumput tetangga selalu lebih hijau.'"


"Benar juga."


Aku mengangguk setuju pada kata-kata Ayaka.


Tidak ada buku panduan untuk menjalani hidup.


Terkadang, aku berharap ada pelajaran yang dijelaskan dengan sistematis seperti mata pelajaran sekolah. 


Tapi, kenyataannya, hal semacam itu hanya tersedia dalam buku esai yang tidak mudah diakses oleh para pelajar.


Meski begitu, ada banyak hal yang bisa dipelajari dengan melihat Ayaka.


Cara Ayaka membawa diri di dunia ini bukanlah bakat bawaan, melainkan hasil dari kesadaran dan usahanya.


Hal itu dapat dimengerti kalo seseorang tahu seperti apa Ayaka saat masa SMA dulu.


Berbeda dengan Shinohara, yang memiliki kemampuan bawaan, Ayaka membuat orang berpikir, "Hebat sekali."


Tapi, melihat perubahan Ayaka yang dilakukan dengan penuh kesadaran, rasanya aku bisa mempelajari sesuatu darinya.


Kalo memang benar, seperti yang Ayaka katakan, kalo aku pandai berbicara dengan orang yang baru ku kenal, maka itu tidak lain adalah hasil dari apa yang kupelajari darinya.


Kalo begitu.


"Kalo begitu, tetap saja, kau memang hebat."


".....Aku kurang paham dengan arah pembicaraanmu, tapi ya, terima kasih."


Ayaka tersenyum kecil dengan alisnya sedikit menurun, itu adalah ekspresi yang hanya dia tunjukkan pada orang-orang terdekatnya.


—Ya, benar. Kalo kau menunjukkan ekspresi itu, semuanya akan baik-baik saja.


Aku hanya mengatakan itu dalam hatiku, tanpa suara.


Ayaka terdiam sejenak, menatap kosong ke luar jendela, sebelum akhirnya meluruskan punggungnya yang bersandar di dinding dan membuka mulut.


"Masih agak awal, tapi bagaimana kalo kita kembali saja? 10 menit ternyata terasa cepat."


"Benar juga. Di sini, suara pembawa acara pun tidak terdengar."


"Aku akan ke toilet dulu, jadi kau masuk duluan saja. Oh, dan tolong bawa kantong yang berisi cokelat ini. Jangan sampai jatuh."


Setelah menyerahkan kantong kertas itu padaku, Ayaka lalu berjalan menuju arah toilet.


★★★


Ketika aku memasuki aula, suara percakapan para mahasiswa menyambutku.


Pencahayaan yang redup mungkin sengaja dibuat untuk menciptakan efek psikologis tertentu.


Sudah lebih dari 1 jam sejak pesta Valentine ini dimulai, tapi masih tersisa sekitar 1 jam lagi.


Acara terakhir adalah membentuk pasangan dan menerima cokelat, jadi aku berniat untuk setidaknya ikut hingga bagian itu.


Aku bergerak ke area dengan pencahayaan yang lebih terang dan menemukan sebuah meja tempat minuman disajikan.


Aku teringat kalo saat sambutan pertama, panitia mengatakan kalo ujung tiket masuk bisa digunakan sebagai kupon untuk mendapatkan minuman.


Aku merobek ujung tiket dan menyerahkan kupon itu kepada staf.


"Apa yang ingin anda pesan?"


"Uh, Screwdriver."


Aku memesan salah satu dari sedikit koktail yang namanya aku ingat.


Screwdriver adalah koktail berbasis vodka yang dicampur dengan jus jeruk.


Jika dasar minumannya adalah gin, maka namanya berubah menjadi Orange Blossom, meskipun aku sendiri masih belum terlalu paham perbedaan rasanya.


Setelah menerima Screwdriver, aku menyesapnya sedikit agar tidak tumpah.


Rasanya lembut dan mudah diminum, meskipun ironisnya memiliki kandungan alkohol yang cukup tinggi, sehingga kadang disebut juga sebagai Lady Killer.


Aku bertanya-tanya, berapa banyak mahasiswi yang mengetahui fakta itu, sambil melihat sekeliling. 


Sudah ada beberapa orang yang terlihat menenggak minuman mereka.


Di antara kerumunan, aku mengenali sosok Motosaka.


Dengan segelas minuman di tangan, dia terlihat sedang menggoda seorang gadis.


Gadis itu terlihat tidak keberatan dengan ajakan ramah Motosaka untuk "Ayo kita tukaran kontak LINE!" sambil tersenyum, dan dia mulai mengeluarkan Hp-nya.


Mungkin pendekatan santai seperti itu memang cukup untuk orang yang baru pertama kali bertemu.


Selama tidak menunjukkan sikap berlebihan seperti saat acara kencan buta Natal, Motosaka jelas lebih mudah bergaul dibandingkan aku.


Buktinya, jumlah cokelat yang diterimanya jauh lebih banyak daripada milikku.


Sepertinya pesta Valentine ini memiliki sistem yang lebih kejam daripada yang aku bayangkan.


Karena barang bawaan laki-laki disimpan di loker koin, jumlah cokelat yang diterima seseorang jadi mudah terlihat.


Saat waktu istirahat tiba, mereka yang terlihat berbicara akrab dengan orang lain biasanya memegang beberapa cokelat.


Aku pernah mendengar teori kalo perempuan secara naluriah tertarik pada laki-laki yang populer. 


Melihat pemandangan ini, rasanya aku ingin menganggukkan kepala tanda setuju.


Saat sedang memikirkan hal tersebut, aku melihat Natsuki di ujung pandangan.


Cokelat yang dia bawa sepertinya sudah diberikan kepada seseorang, karena dia tidak memegang apa pun.


Natsuki berdiri dengan santai, sedang berbicara dengan seorang gadis yang siluetnya terlihat agak familiar.


"Karena waktunya telah habis, acara akan dilanjutkan."


Pencahayaan ruangan berubah menjadi warna-warni untuk sesaat, sebelum kembali gelap.


Ketika lampu kembali menyala, Natsuki dan gadis itu sudah tidak ada di sana.


Saat itu juga, aku merasakan seseorang menepuk punggungku dari belakang.


"──!?"


"...Kau tidak perlu terkejut sampai seperti itu.”


Ayaka mengambil kantong kertas berisi cokelat dari tanganku sambil tersenyum masam.


"Ah, iya...maaf."


"Apa sih, reaksimu aneh sekali. Apa kau takut gelap?"


"Bukan, bukan itu. Lagipula, kalo aku takut gelap, pasti reaksiku jauh lebih parah."


"Haha, benar juga. Tapi, kau──"


Ayaka hendak mengatakan sesuatu, tapi suasana sekitar tiba-tiba berubah.


Orang-orang mulai bergerak serentak. 


Sepertinya nomor pasangan baru saja kembali ditempel di depan.


"Ayo kita pergi."


Setelah berkata begitu, aku berjalan menjauh dari Ayaka dan menuju papan nomor untuk memeriksa.


Nomorku adalah 2.


"Nomor 2, siapa?"


...Sistem pencarian pasangan ini, bisakah diperbaiki untuk acara berikutnya?


Aku memang tidak berencana mengikuti acara ini lagi, tapi cara ini terlalu tidak efisien.


Tentu saja, mungkin saja karena keterbatasan anggaran. 


Kalo efisiensi harus dibayar dengan kenaikan biaya partisipasi yang besar, maka ini adalah kompromi yang masuk akal.


Yah, mengingat ini hanya pesta untuk mahasiswa, mungkin memang segini saja sudah cukup.


"Nomor 2, siapa...?"


Hari ini adalah waktu pencarian terlama yang pernah kurasakan, dan rasa kesal mulai muncul. 


Lalu pada saat itu──


"──Aku, nomor 2."


Sebuah suara yang familiar terdengar.


Sekejap, bayangan punggung seseorang yang tadi berdiri di sebelah Natsuki kembali terlintas di pikiranku.


──Sebenarnya, aku sudah tahu sejak pertama kali melihatnya.


Aku hanya tidak bisa mempercayai kalo sosok yang tiba-tiba muncul di hadapanku adalah dia.


Dari punggungnya saja, aku sudah bisa mengenalinya. 


Kami telah bersama cukup lama untuk itu.


"Halo, Yuta. Kau datang juga, ya."


Ekspresinya wajahnya saat dia memanggilku dengan sedikit ragu-ragu begitu familiar hingga aku membencinya.


──Itu adalah pertemuan ke-2 ku dengan Aisaka Reina sejak kami putus.


★★★


"Kebetulan sekali, ya."


Reina mengatakan itu dengan suara kecil.


Suara pembawa acara, "10 menit, waktu pasangan terakhir dimulai!" hampir saja menenggelamkan kata-kata Reina.


Mungkin Reina juga menyadari hal itu, sehingga ia tersenyum canggung sambil berkata, "Apa kau mendengar itu?"


"...Ya, aku mendengarnya."


Ini pertama kalinya aku melihat Reina dari dekat sejak bulan lalu.


Meski kami baru berpisah beberapa bulan yang lalu, penampilannya terlihat sedikit berbeda. 


Mungkin karena perasaanku sekarang berbeda dengan saat kami masih bersama.


Walaupun sebenarnya, perubahan selera fashion Reina sudah mulai terlihat bahkan sebelum kami berpisah.


"Ja-jangan menatap seperti itu. Kalo tahu aku akan bertemu denganmu, aku pasti lebih mempersiapkan diri."


"....Kenapa itu harus? Itu tidak perlu, kan?"


Tidak ada alasan baginya untuk mempersiapkan diri hanya untuk bertemu dengan mantan pacar.


Tapi, Reina menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.


"Tidak, perlu. Aku tahu, Yuta-kun pasti berpikir, 'Bertemu dengan mantan pacar tidak perlu persiapan,' kan?"


Seakan pikiranku terbaca, aku langsung memalingkan pandangan.


Tentu saja, kami pernah bersama selama 1 tahun, jadi wajar kalo dia bisa menebak pikiranku.


"Justru karena itu, persiapan itu perlu, tahu?"


Reina berkata begitu sambil menggaruk pipinya.


Aku benar-benar tidak mengerti, bagaimana dia bisa memasang ekspresi selembut itu di depan mantan pacarnya.


"....Perutku sakit. Sepertinya aku perlu ke toilet."


"Hah, apa kau baik-baik saja? Apa kau memakan sesuatu yang salah?"


...Jadi dia tidak menyadari kalo itu bohong.


Tapi, itu wajar saja.


Ada kebohongan yang bahkan tidak bisa diketahui oleh keluarga yang sudah bersamaku bertahun-tahun, jadi tidak mungkin seorang mantan pacar bisa mengetahui segalanya.


".....Bohong."


"Hah, jahat sekali."


"Mana ada yang jahat."


──Selingkuh jauh lebih jahat 100 kali lipat dari ini.


Kata-kata itu akhirnya kutahan dalam hatiku.


Aku teringat telepon yang masuk di tengah acara minum bersama setelah ujian selesai.


"Aku tidak selingkuh," katanya saat itu melalui telepon.


Kalo perkataannya itu memang benar, maka amarahku saat itu benar-benar tidak pada tempatnya.


Meskipun aku merasa ingin bertanya tentang panggilan telepon itu....


"....Yah, untuk sekarang kita bicara normal saja."


Kemungkinan besar, Reina juga menginginkan hal yang sama.


Saat ini, ada terlalu banyak orang di sekitar.


Di tempat pesta yang disediakan sebagai ajang pertemuan seperti ini, pembicaraan semacam itu tidak pantas.


Aku juga tidak ingin ada yang mendengarnya.


"Aku benar-benar tidak selingkuh, tahu?"


"Kok bisa-bisanya kau membicarakan itu dengan santai?!"


Tanpa sadar, aku langsung melontarkan komentar, dan Reina entah kenapa tersenyum senang.


"Karena setelah waktu pasangan ini selesai, Yuta-kun pasti akan melarikan diri."


"...Ya, tentu saja aku akan melarikan diri. Kau tahu posisi mu kan?"


Dia sedang dihadapkan pada mantan pacarnya yang dia putuskan karena perselingkuhannya.


Kesadaran itu sepertinya agak kurang dalam diri Reina.


Aku merasa hal yang sama saat pertemuan sebelumnya.


"Posisiku adalah mantan pacar. Mantan pacar Yuta-kun, kan?"


Reina berkata begitu, dan untuk pertama kalinya aku melihat ekspresi canggung di wajahnya.


Tapi ekspresi itu seolah-olah merespons kata 'mantan pacar' yang baru saja dia ucapkan.


".....Selama kau mengerti itu, sudah cukup."


Setelah menjawab, aku mengalihkan pandanganku ke Natsuki yang sedang mengobrol dengan pria di tempat yang agak jauh.


Natsuki, yang menyadari pandanganku, menatapku sejenak dengan ekspresi canggung, lalu mengalihkan pandangannya.


──Apa Reina yang meminta Natsuki untuk mengundangku ke pesta ini?


Jika dia tidak sadar akan keberadaanku, seharusnya dia tidak bisa menyadari pandanganku yang berada jauh darinya.


Lagipula, yang mengundangku ke pesta ini sejak awal adalah Natsuki.


Jika Natsuki yang mengundang Reina, maka untuk mempertemukan kami kembali, itu pasti tidak memerlukan usaha yang begitu besar.


"Apa kau berteman dengan Natsuki?"


Saat aku bertanya, Reina mengangguk dengan jujur.


"Ya. Sebenarnya aku juga berencana bertemu dengan Natsuki setelah pesta selesai."


"Tadi kalian ber-2 sempat ngobrol, kan? ...Jadi, kata-katamu yang pertama itu aneh, kan? Kau sudah tahu akan bertemu denganku kan?"


Sambil meneguk Screwdriver, aku menyadari gelasku sudah kosong.


──Apa aku sedang gugup?

 

Memasukkan sesuatu ke dalam mulut untuk mengalihkan kegugupan adalah kebiasaan umum banyak orang.


...Kenapa aku harus merasa gugup bertemu dengan Reina?


Saat aku berpikir begitu, sebuah gelas disodorkan di depanku.


Di dalamnya ada koktail berwarna putih.


"Silakan."


"....Aku tidak mau."


"Tapi, kau suka kan? White Lady."


Kata-kata itu membuatku pertama kali menyadari kalo koktail tersebut adalah White Lady.


Koktail berwarna putih ada banyak sekali jenisnya, sehingga mustahil untuk mengenalinya hanya dari penampilannya.


"Memang, aku menyukainya waktu itu."


Dulu, nama White Lady terdengar seperti ditujukan untuk perempuan, sehingga aku merasa malu untuk memesannya. 


Aku hanya meminumnya saat pergi ke bar bersama Reina.


Sepertinya Reina juga mengingat hal itu, lalu berkata, "Rasanya nostalgia, ya."


"Oh, pembicaraan kita jadi melenceng. Tadi kau bertanya apa aku tau kalo kita akan bertemu, kan. Jawabannya, aku tidak menyangka kita akan bertemu."


"...Benarkah? Tapi bukankah kau meminta Natsuki untuk mempertemukan kita?"


"'Kalo bisa, aku akan datan' itu biasanya berarti tidak akan datang, kan? Saat Natsuki memberitahu isi balasan dari Yuta, aku sudah menyerah, lho.”


...Memang benar, kalo aku berada di posisi sebaliknya, mungkin aku akan berpikir sama.


Aku merasa perlu lebih berhati-hati dengan isi balasan pesanku mulai sekarang.


"Tolong jangan salahkan Natsuki."


"Aku tidak perlu menyalahkan apa pun... Aku sama sekali tidak marah, kok."

 

Daripada marah, ungkapan yang lebih tepat adalah perasaan yang sempat sedikit meluap karena suasana pesta kini telah mereda.


Tapi, menjelaskan suasana hatiku secara rinci terasa terlalu berat.


"Berapa cokelat yang kau dapat?"


"....Satu."


"Kalo begitu, ini yang ke-2."


Cokelat yang dibungkus dengan rapi diulurkan kepadaku.


"Kau bilang, kalo kau tidak menyangka kali aku akan datang, kan?"


"Iya. Tapi, untuk berjaga-jaga, aku tetap membuatnya."


"Ini buatan tangan?"


"Tentu saja."


Saat kami masih pacaran dulu, Reina jarang memasak. 


Aku juga hampir tidak ingat kalo dia pernah membuat manisan.


"Kau tahu, meskipun kau bilang kalo kau tidak mau, aku tetap akan memaksamu membawanya."


"....Kalo begitu, aku akan menerimanya."


──Mungkin seharusnya aku memilih untuk tidak menerimanya.


Menerima cokelat dari mantan pacar rasanya seperti keputusan yang kurang bijak, tapi entah kenapa aku tidak bisa menolaknya.


"Tadi aku bohong. Aku sebenarnya memakai makeup lengkap dan benar-benar mempersiapkan ini semua, termasuk pakaianku. Tapi, entah kenapa, mengatakannya pada Yuta-kun rasanya seperti agak tidak adil."


"Kalo begitu, kenapa kau mengatakannya sekarang?"


"Aku berubah pikiran. Aku──"


Saat Reina hendak melanjutkan, suara pembawa acara terdengar memenuhi ruangan.


"Waktu pasangan terakhir sudah selesai~! Sekarang waktunya bebas keluar masuk ruangan! Silakan menikmati minuman dan pererat hubungan dengan orang-orang yang baru kalian kenal, ya!"


"Terima kasih atas kehadirannya hari ini," begitu ucapan penutup dari pembawa acara, mengakhiri sambutan mereka.


Meski terasa cukup sederhana, mengingat pembawa acaranya terlihat sangat muda, penyampaian sejauh ini sebenarnya sudah cukup baik.


".....Kalo begitu, sepertinya aku cukup sampai di sini. Temanku akan segera kembali."


"Bilang saja kalian kenalan di pesta ini. Bukankah itu cukup?"


"Tidak semudah itu."


Kalo dia hanya teman biasa, alasan itu mungkin sudah cukup.


Tapi, teman yang akan datang, Ayaka, tidak hanya dia mengenal Reina tapi juga dia tahu alasan kami putus.


Nyatanya, bulan lalu ketika mereka bertemu, Ayaka bahkan menyela percakapan kami hanya untuk menyindir Reina secara tersirat.


Pertemuan mereka sebaiknya dihindari.


Aku membuka mulut untuk menjelaskan situasinya, tapi aku terlambat mengambil keputusan.


Reina melirik ke arah belakangku dan, seolah menyadari sesuatu. 


"....Oh, jadi itu maksudmu."


Katanya. 


"Kau tidak perlu melihatku seperti aku adalah gangguan."


Itu suara Ayaka.


Ekspresi Reina mengeras dan dia menatap Ayaka.


Terakhir kali, dia lari dari tempat kejadian, tapi hari ini berbeda.


Mungkin karena dia tidak punya teman yang tidak tahu situasi ini bersamanya.


Sebaliknya, Reina justru terlihat kesal, alisnya berkerut.


"Perlukah aku menjelaskan? Apa berbicara dengan mantan pacar itu sebegitu anehnya?"


"Bukannya itu tergantung masing-masing orang? Tapi kau berbeda, kan?"


"Berbeda bagaimana?"


"Kau berselingkuh, kan? Reina-san, pernahkah kau memikirkan perasaan orang yang diselingkuhi? Atau kau sudah memikirkannya tapi tetap saja datang ke sini?"


Renia menatap Ayaka dengan pandangan seperti sedang mengamati.


Merasa tersulut, Ayaka melanjutkan ucapannya dengan nada yang lebih tajam.


"....Apa yang kau pikirkan? Jangan-jangan, karena hubunganmu dengan selingkuhan itu tidak berjalan lancar, kau sekarang mencoba kembali ke dia? ...Dia ini memang punya kebiasaan tidak tegas di saat-saat penting, jadi biar aku yang berbicara."


Ayaka melirikku sekilas, lalu kembali mengarahkan tatapannya ke Reina.


"Jangan temui dia lagi. Kau hanya mengganggu."


"Ayaka, sudah cukup."  


Ayaka langsung menatapku dengan tajam.


"Kalo kau mau menghentikanku, kenapa kau tidak melakukannya dari tadi? Karena kau tidak menghentikan sampai sejauh ini, berarti sebenarnya kau juga berpikir hal yang sama, kan?"


"Tidak sampai sejauh itu─"


Aku terdiam, kata-kata yang ingin kuucapkan terhenti di tenggorokan.


Meski di sudut pikiranku ada keinginan untuk menyelesaikan semuanya dengan damai, ucapan Ayaka memang mencerminkan sebagian dari isi hatiku.


Aku hanya tidak memiliki keberanian untuk mengatakannya secara langsung.


Menyadari hal itu, menghentikan Ayaka di saat seperti ini terasa sangat pengecut.


Tapi, alasan kenapa aku tetap ingin menghentikan Ayaka bisa jadi karena aku malas menghadapi konflik di sini, aku kurang memiliki ketegasan, atau mungkin ada perasaan khusus terhadap Reina yang masih tersisa di dalam diriku.


Pikiranku yang sempat buntu mulai bergerak kembali karena ucapan Reina.


"Aku tidak pernah berselingkuh."


Itu adalah kata-kata yang pernah dia ucapkan di telepon.


Ayaka menunjukkan ekspresi ragu, lalu tersenyum sinis.


"Aneh sekali. Kalo begitu, kenapa waktu kalia putus, kau tidak menjelaskan itu? Bukannya alasan kalian putus karena perselingkuhanmu yang ketahuan?"


"Itu bukan urusanmu─"


Reina mulai berbicara, tapi dia terhenti di tengah kalimatnya.


"....Aku datang ke sini untuk bertemu dengan Yuta-kun."


Wajah Reina tetap tegang. Ayaka mengerutkan alisnya.


"Dia tidak ingin mendengar omong kosong seperti itu."


".....Aku tidak bisa berbicara denganmu. Aku juga tidak mau berbicara denganmu."


Setelah mengatakan itu, Reina berbalik dan melangkah pergi.


"Aku pulang dulu, Yuta-kun. Nanti aku menghubungimu lewat Line."


".....Tapi aku tidak ingin dihubungi."


Ketika aku memberi jawaban, untuk pertama kalinya sejak Ayaka mulai campur tangan, ekspresi Reina berubah. 


Dia tersenyum tipis, mengangkat sudut bibirnya.


"Tolong jangan bilang begitu, ya?"


Dengan lembut, dia menyentuh dadaku dengan ujung jarinya sebelum pergi.



Dari raut wajahnya saat dia berbalik, aku tidak bisa menebak apa yang sebenarnya dia pikirkan.


★★★


"Kau kebanyakan minum."


"....Uh-heh..."


Jawabanku terdengar lemah, dengan nada yang lesu karena mulutku seakan kehilangan tenaga.


Di perjalanan pulang setelah pesta, aku berjongkok di samping tiang listrik.


Tempat itu adalah lokasi yang sepertinya sering menjadi sasaran anjing yang sedang berjalan-jalan untuk buang air kecil.


Aku terjebak di sana, duduk dengan lemas.


Awalnya, aku hanya menikmati suasana seperti di izakaya, menenggak minuman satu demi satu. 


Tapi, tanpa kusadari, kepalaku mulai terasa bergoyang seperti bandul yang berayun.


Hal itu wajar saja terjadi.


Koktail yang disajikan di bar memiliki kadar alkohol yang jauh lebih tinggi daripada koktail yang biasa kupesan di izakaya.


Sebuah fakta yang sebenarnya sudah diketahui oleh siapa pun yang pernah ke bar. 


Tapi, aku melupakannya dan meminum koktail dalam jumlah yang berlebihan.


Ayaka menyadari kondisiku yang mulai tidak stabil, tapi sayangnya itu sudah terlambat.


Aku sudah terlampau mabuk saat itu.


"Kau tidak mau mendengarkan, kan? Jadi, ini salahmu sendiri."


"Aku merasa tidak ada yang mencoba menghentikanku...uh..."


Aku berusaha menahan rasa mual yang datang sambil dengan susah payah membantah.


"Kau saja yang tidak sadar karena mabuk. Tolong, jangan membuatku malu seperti ini."


"...Aku, apa melakukan sesuatu yang memalukan?"


Aku mengamati ekspresi wajah Ayaka dan dengan hati-hati bertanya.


Aku cukup percaya diri dengan toleransiku terhadap alkohol, tapi setelah minum sebanyak ini, ingatanku menjadi samar-samar.


Meski begitu, aku ingin percaya kalo aku tidak melakukan atau mengatakan sesuatu yang membuat orang lain merasa tidak nyaman.


Kalo ternyata aku melakukannya, aku tidak akan ragu untuk berhenti minum selamanya.


Ayaka menyipitkan matanya, menatapku sejenak, lalu menggelengkan kepalanya.


"Tidak apa-apa. Aku hanya merasa malu karena harus menopangmu sepanjang jalan ke sini, tapi aku rasa kau tidak mengganggu siapa pun...kurasa."


"Kenapa kau terdengar seperti kau tidak yakin?"


"Aku hanya berpikir kalo bagi orang-orang yang ingin menghabiskan waktu bersamaku setelah pesta, kehadiranmu ini mungkin menjadi hal yang sangat merepotkan."


"....Aku menyesalinya."


Jika melihat penampilan Ayaka hari ini, dapat dipastikan kalo dia mempersiapkan dirinya dengan sungguh-sungguh untuk pesta Valentine ini.


Pesta yang diadakan sebagai tempat untuk bertemu orang baru bukan hanya tentang acara itu sendiri.


Tujuan utamanya adalah membangun hubungan yang berlanjut setelah acara selesai.


Aku, yang datang tanpa tujuan jelas dan malah memutus peluang hubungan tersebut, pastilah terlihat seperti pembawa sial di mata Ayaka.

Tapi, Ayaka berbisik dengan nada suara yang lembut.


"Bodoh, aku hanya bercanda. Tidak ada yang lebih penting daripada membantumu saat itu."


"....Kau benar-benar orang baik."


"Aku hanya sedang mencatat utang kebaikanku. Pastikan kau membayarnya, ya."


Ucapan khas Ayaka membuatku tidak dapat menahan tawa.


Tapi tawa bukanlah satu-satunya hal yang muncul.


"....Sepertinya aku mau muntah."


"Tunggu sebentar, tahan dulu! Aku akan membawa semua tasmu, jadi tolong bertahan sedikit lagi!"


"....Siap, laksanakan."


Dengan tubuh yang goyah, aku berdiri. 


Ayaka langsung mengambil semua barang bawaanku.


Biasanya, jarak dari sini ke apartemen ku tidak sampai 5 menit.


Tapi, malam ini, jarak yang sama memakan waktu hampir 2 kali lipat hingga akhirnya kami tiba di apartemenku.


Tangga kayu tua yang mengarah ke lantai atas berderit setiap kali diinjak.


Malam ini, dengan beban dari kami ber-2, suara deritnya terdengar lebih mengganggu dari biasanya.


Jika 1 atau 2 orang lagi ikut naik, mungkin tangga ini akan runtuh.


"Rasanya seperti tangga ini mengatakan kalo kau terlalu berat. Menyebalkan."


"Kalo dipikir-pikir, kau juga tidak ringan, kan?"


"Apa kau tau? Aku bisa dengan mudah menjatuhkanmu dari tangga ini sekarang. Kau sadar itu, kan?"


"Alkohol yang mengatakannya. Bukan aku yang mengatakannya."


"Itu argumen khas seorang kriminal..."


Setelah mencapai lantai atas, Ayaka menyerahkan barang-barangku.


"Nah, kau berhutang satu hal padaku. Bayar aku kembali dengan pancake, oke."


"Itu murah sekali, Ayaka-sama."


Mendengar candaan itu, Ayaka tersenyum ringan dan berkata, "Hati-hati dengan minumanmu di masa depan", sebelum berbalik dan menuruni tangga.


Aku sempat berpikir kalo Ayaka mungkin akan masuk ke dalam apartemen ku, tapi sepanjang yang aku ingat, jumlah kunjungannya ke dalam rumahku hanya bisa dihitung dengan jari satu tangan.


Kalo hanya sampai di depan pintu, sudah beberapa kali itu terjadi, tapi dia jarang melangkah lebih jauh dari itu.


Memikirkan hal itu, aku mengambil kunci dari kotak surat dan memasukkannya ke dalam lubang kunci.


Ketika pintu terbuka, lampu yang terang menyambutku dari dalam.


"Apa!?"


Aku buru-buru menutup pintu, tapi sebelum aku sempat bereaksi lebih jauh, Shinohara muncul dari salah satu ruangan di ujung lorong.


"Ah, selamat datang kembali,, Senpai."


"Aku pulang...bukan! Bukannya kau ada jadwal hari ini?"


"Sudah selesai, jadi aku pulang!"


"Dah lah...aku terlalu mengantuk untuk menanggapinya..."


"Senpai kelihatan mengantuk. Terima kasih atas kerja kerasmu~"


Dengan santainya, Shinohara merebahkan diri di atas karpet.


"Eh, Senpai mabuk lagi, ya?"


"....Sudah hampir muntah."


Aku langsung menjatuhkan diriku ke atas tempat tidur, tubuhku terasa seperti ditekan oleh beban yang berat, membuatku sama sekali tidak bisa bergerak.


Hari ini terlalu banyak yang terjadi.


Ikut serta dalam pesta yang tidak biasa bagiku, lalu bertemu dengan Reina.


Minum sebanyak ini adalah akibat dari sesuatu yang tidak bisa kugambarkan dengan kata-kata dalam percakapanku dengan Reina.


Perasaan itu membuatku gelisah, dan aku mencoba mengatasinya dengan kekuatan alkohol, yang berakhir dengan kondisi menyedihkan seperti sekarang.


Rasanya aku tidak akan bisa bergerak dalam waktu dekat.


Saat aku tetap tidak bergerak, aku merasakan seseorang mendekat.


Dengan segenap tenagaku, aku menoleh ke arah itu, dan melihat Shinohara duduk di atas tempat tidur, menekuk lututnya, menatapku sambil tersenyum penuh arti.


"Senpai~. Coba tebak, hari ini hari apa?"


"....Aku tidak tahu."


"Jawaban yang benar adalah Valentine! Bagaimana, apa hari ini menjadi hari yang menyenankan untuk Senpai... eh, tapi apa ini? Kotak cokelat? Senpai bisa mendapatkan cokelat seperti ini, benar-benar membuatku kesal!"


Aku ingin berkata kalo hal seperti itu tidak perlu membuatnya kesal, tapi karena aku sangat mengantuk, bahkan untuk membuka mulutku saja aku sangat malas, akhirnya aku hanya menutup mataku.


"Kalo begitu, Senpai, aku pulang dulu ya. Cokelatnya aku taruh di meja."


"...Oke."


Dengan kesulitan, aku berusaha mempertahankan kesadaranku yang hampir hilang, dan mencoba memberi jawaban.


Setelah memastikan Shinohara sudah pergi, aku berniat untuk langsung tidur.


Kuncinya ada di sana, dan mungkin Shinohara juga akan mengunci pintunya dengan hati-hati.


Dengan sedikit harapan itu, aku meraih selimut, tapi tiba-tiba selimut itu ditarik dengan kasar.


Aku menoleh dan melihat Shinohara dengan pipi yang mengembang, berdiri dengan tangan terlipat seperti sedang marah.


"Hei...bukan begitu jawabannya! Meskipun aku memberikan cokelat dengan santai, apa maksudmu hanya 1 kata untuk reaksi cokelat yang aku buat dengan waktu yang cukup lama?!"


"Uuu... Biarkan aku tidur..."


"Ya sudah, apapun yang kau katakan, sepertinya kau akan lupa karena alkohol! Jadi, besok kau harus minta maaf dengan benar! Baka! Senpai, Baka!"


Begitu dia selesai berbicara, selimut tiba-tiba jatuh menutupi tubuhku.


Dengan kepala yang berputar karena rasa pusing, aku berusaha memikirkan apa arti cokelat ini, dan akhirnya aku melompat bangun dari tempat tidur.


"Cokelat Valentine!"


"Eh, senpai kenapa kau tiba-tiba begitu semangat?"


Shinohara mundur sedikit, terlihat terkejut.


"Tidak, terima kasih. Aku benar-benar senang. Ini bukan karena pengaruh alkohol, tapi aku sungguh-sungguh senang."


Aku sempat berpikir kalo aku mungkin mengucapkan terima kasih dengan berlebihan karena pengaruh alkohol, tetapi perasaan terima kasihku tetap tidak berubah.


Saat aku tidak mendapatkan cokelat dari Shinohara pagi tadi, aku sudah menyerah.


Dengan kenyataan itu, cokelat dari Shinohara hari ini menjadi hadiah yang paling menyenangkan.


"Ah, baiklah, yang penting kau mengerti."


"Oke, sungguh terima kasih."


Aku mengucapkannya dengan sungguh-sungguh, dan Shinohara mengalihkan pandangannya.


"A-apa-apaan sih, senpai? Senpai apa kau ini orang yang jago menurunkan baru kemudian mengangkat ya..."


Pipi yang semula membengkak kini kembali normal, dan sepertinya dia sedikit memerah.


Aku merasa lega karena perasaanku berhasil tersampaikan, dan aku pun berbaring. 


Tapi, kali ini aku merasa tidak akan bisa bangun lagi.


"Tolong tutupkan selimutnya, nanti kau bisa sakit."


Bagian tubuh yang terpapar udara luar akhirnya dibungkus oleh selimut.


Selimut yang awalnya terasa dingin kini berubah menjadi hangat dan nyaman karena suhu tubuhku.


"Terima kasih..."


"Selamat malam, Senpai."


Dengan suara lembut itu, aku merasa tidak punya tenaga lagi untuk membalas.


Aku mendengar suara kunci pintu yang diputar, dan dengan rasa terima kasih, aku akhirnya melepaskan kesadaranku.




Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال