KONEKSI
Sudah seminggu berlalu sejak pesta Valentine berakhir.
Bulan Februari pun kini tinggal tersisa beberapa hari saja.
Tapi, hawa dingin sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda mereda, membuatku enggan beranjak dari tempat tidur.
Jarum jam hampir menunjukkan pukul 10.
Hari ini sebenarnya aku ada urusan di kampus, jadi aku ingin segera bangun.
Tapi pada akhirnya, setelah sekitar 10 menit bergumul dengan selimut, Hp-ku yang terletak di dekat bantalku bergetar.
Sambil berguling, aku meraih Hp-ku itu ke tanganku.
Ketika membuka aplikasi Line, bagian atas layar memperlihatkan obrolan yang belum kubaca.
"....Semua orang semangat sekali."
Mau tak mau aku bergumam ketika melihat barisan grup tempat berkumpulnya teman-teman SMAku sangat aktif.
Padahal ini masih pagi, tapi notifikasinya terus bertambah.
Saat notifikasi ke sekian muncul dan turun dari atas layar, Hp-ku berubah menjadi gelap.
Panggilan masuk seperti biasanya.
Setelah sedikit ragu, akhirnya aku menjawab.
Sebuah sapaan ceria yang tidak sesuai dengan suasana pagi langsung terdengar.
"Senpaaaiii!"
"Berisik sekali!"
"Kenapa sih!?"
Mendapat panggilan pagi dari seorang kohai perempuan yang manis mungkin merupakan kebanggaan tersendiri bagi seorang senpai.
Tapi, saat ini, keinginanku untuk menikmati pagi dengan santai dan bermalas-malasan lebih besar daripada rasa senang tersebut.
"Senpai, tolong bersikap sedikit lebih baik, dong. Aku kan sudah memberikan coklat pada mu. Nah, ayo, Senpai, ucapkan salam pagi dulu."
"Selamat pagi, sampai jumpa."
"Tunggu! Tunggu dulu, jangan ditutup!"
Sebuah suara keras terdengar melalui telepon, membuatku refleks menjauhkan Hp-ku dari telinga ku sambil mengernyitkan wajahku.
"Kau pasti tidak punya hal yang penting, kan?"
"Memang tidak ada. Aku juga tidak berniat menelepon senpai lama-lama di pagi-pagi begini. Aku hanya ingin berbicara sebentar dengan senpai sebelum aku berangkat kerja paruh waktu ku."
Nada suara Shinohara yang terdengar sedikit merajuk menimbulkan rasa bersalah dalam diriku.
Aku pun merasa perlu merevisi sikapku yang kurang dewasa pada kohai-ku yang hanya ingin menyampaikan salam pagi.
Sambil menghela napas, aku bangkit dari tempat tidur.
"Ah, begitu ya. Maaf, ya. Bukannya aku tidak suka berbicara denganmu di telepon, Shinohara, hanya saja—"
"Tapi aku berubah pikiran. Senpai, aku akan meneleponmu satu jam lagi."
"Kenapa begitu?!"
"Karena kalo aku diabaikan, aku akan malah jadi ingin mengejar lebih jauh. Itu sudah jadi sifat ku!"
Wajah cemberut Shinohara terbayang di pikiranku.
Bahkan dalam imajinasiku, aku merasa dia terlihat imut, dan entah kenapa hal itu membuatku sangat kesal.
"Baiklah, kita ambil jalan tengah, 5 menit saja."
"Senpai, apa kau tahu tentang arti jalan tengah? Itu artinya permintaan ku yang 10 menit sebenarnya diterima, kan?"
"Kalo begitu, 10 menit saja bagaimana?"
"...Baiklah, aku terima sebanyak itu saja."
Shinohara akhirnya setuju dengan enggan, dan aku tersenyum kecil.
"Inilah yang disebut 'door in the face'."
[TL\n: Door-in-the-Face (DITF) adalah teknik persuasi atau manipulasi dalam psikologi sosial yang digunakan untuk meningkatkan kemungkinan seseorang menerima permintaan tertentu. Teknik ini bekerja dengan cara: 1. Permintaan besar terlebih dahulu: Seorang individu meminta sesuatu yang cukup besar atau sulit sehingga kemungkinan besar akan ditolak. 2. Permintaan lebih kecil berikutnya: Setelah permintaan pertama ditolak, individu kemudian mengajukan permintaan yang lebih kecil, yang sebenarnya merupakan tujuan utamanya. Tujuan dari teknik ini adalah untuk membuat permintaan kedua terlihat lebih wajar atau mudah diterima, karena permintaan pertama yang besar memberikan kontras. Ini menciptakan rasa kewajiban untuk memenuhi permintaan yang lebih kecil, seolah-olah pihak yang meminta telah berkompromi.]
"Door... ah! Kau sengaja melakukannya, ya!"
Ini sebagai balasan atas apa yang pernah dia lakukan sebelumnya.
[TL\n: di vol 1 chapter 4.]
Meskipun sebenarnya, aku tidak merasa dirugikan dengan hal itu.
"Licik sekali..."
"Licik? Sudah lama aku tidak mendengar kata itu dalam kehidupan sehari-hari. Nah, sekarang 9 menit lagi."
"Kalo buru-buru begini, aku jadi sulit untuk bicara, tahu! Senpai, kau sedang apa sekarang?"
"Tidak ada. Aku tadi hanya ingin memeriksa kabar terbaru semua orang di SNS."
[TL\n: SNS adalah singkatan dari Social Networking Service, istilah yang digunakan di Jepang dan beberapa negara lain untuk merujuk pada platform jejaring sosial atau media sosial. SNS mencakup situs web atau aplikasi yang memungkinkan pengguna untuk membuat profil pribadi, berkomunikasi dengan pengguna lain, berbagi konten,dan berpartisipasi dalam komunitas online. Yah intinya itu media sosial.]
Setelah aku berkata begitu, Shinohara terdengar seperti mendengar sesuatu yang tidak diduga.
"Senpai juga, ternyata melihat timeline di pagi hari, ya."
"Yah, sesekali saja. Aku mungkin bertemu seseorang yang sudah lama tidak kulihat."
Faktanya, SNS terkadang dapat digunakan sebagai kesempatan untuk berhubungan kembali dengan orang-orang yang pernah berada di ambang keterasingan.
Meski aku tidak terlalu menyukainya, manfaat dari SNS tidak bisa disangkal.
Shinohara sepertinya mengerti maksudku, karena dia hanya menjawab, "Yah, kalo dipikir-pikir, mungkin itu ada benarnya juga."
"Kalo begitu, izinkan nge-follow aku SNS senpai!"
Permintaan mendadak itu membuat mulutku, yang tadinya ingin menguap, langsung tertutup rapat.
"Kenapa tiba-tiba seperti itu? Aku juga jarang memposting hal penting."
"Tapi, tapi, kita sering telepon seperti ini, kan? Kalo kita tidak saling follow di SNS, rasanya jadi agak aneh. Biasanya, urutannya justru sebaliknya!"
"Itu memang..."
Setelah dipikirkan, dia benar juga.
Setidaknya, kami sudah saling kenal selama 2 bulan, dan hanya terhubung melalui aplikasi pesan singkat.
Dalam konteks mahasiswa zaman sekarang, situasi seperti itu memang jarang terjadi.
Mungkin alasan kenapa topik ini tidak pernah muncul sebelumnya adalah karena kami melewatkan momennya.
"Apa Senpai memposting sesuatu yang tidak boleh aku lihat?"
"Tidak, tidak ada. Baiklah, aku izinkan."
Sambil berkata begitu, aku menyalin ID akun SNS ku.
Akunku tidak punya unggahan yang memalukan atau perlu disembunyikan, jadi tidak ada masalah sama sekali jika aku memberitahukan ID-ku.
Lagi pula, akunku juga tidak memiliki nilai yang pantas untuk dirahasiakan.
Setelah mengirimkan ID tersebut, Shinohara memberikan respons singkat, "Oh", diikuti dengan tawa kecil.
"Hehe, terima kasih banyak."
"Ah, tidak masalah."
Notifikasi pengikut baru segera muncul.
Saat kuperiksa, ikon akunnya adalah foto siluet Shinohara dari belakang, diterangi sinar matahari senja.
"Itu ikon yang benar-benar Instagrammable, ya."
"Tentu saja. Ini simbol identitas ku. Minimal, gambar ikon harus terlihat menarik."
Setelah dia mengatakan itu, aku menatap ikon akunku sendiri.
Tatapan maskot lokal yang lucu tapi sedikit aneh langsung bertemu dengan mataku.
Oh iya, aku mengganti ikon ini waktu acara minum-minum, dan sejak itu aku tidak pernah menggantinya lagi.
"...Senpai, menurut ku kau sebaiknya mengganti ikon mu."
"Tidak, aku tidak menyukainya karena aku merasa seperti kalah kalo menggantinya sekarang."
Padahal sebelumnya aku memang berniat untuk mengganti ikon itu, tapi mendadak aku merasa tidak ingin melakukannya setelah dia menyarankan hal tersebut.
Shinohara hanya menghela napas sambil berkata, "Yah, itu terserah mu, Senpai."
"Baiklah, aku sudah mengirimkan permintaan untuk nge-follow akunmu. Tolong terima, ya."
Akun Shinohara diatur sebagai privat, sehingga untuk melihat unggahannya, diperlukan persetujuan langsung darinya.
Dengan mempertimbangkan hal itu, aku merasa ucapanku tadi cukup wajar, tapi respons yang aku terima justru di luar dugaan.
"Eh, tidak mau."
"Apa?"
"Tidak mau. Aku ingin melihat postingan Senpai, tapi aku tidak mau menunjukkan postingan ku."
"Kenapa begitu? Masa aku sudah memberikan akunku, tapi kau tidak mau memberikan punyamu? Mana ada yang seperti itu."
Sebenarnya, aku tidak sampai merasa harus tahu akun Shinohara, tapi situasi ini membuatku merasa rugi karena sudah memberitahu akunku lebih dulu.
"Oh, ada, kok, yang seperti itu."
"Kalo begitu, aku akan tidur saja."
"Baiklah, baiklah! Apa-apaan sih, jangan buru-buru menutup telepon seperti itu!"
...Dari mana, sih, datangnya keinginan kuatnya untuk menelepon ini?
Padahal dia punya pekerjaan paruh waktu sebentar lagi, tapi dia masih saja dia ingin meneleponku sampai di menit-menit terakhir.
Kalo itu aku, di hari kerja, aku lebih memilih menghemat energi dan bersantai di atas tempat tidur.
"Moo. Kalo begitu, Senpai apa kau berjanji kalo kau tidak akan mengejek ku?"
"Tidak, tidak. Kalo begitu, apa aki harus bersumpah?"
"Aku tidak membutuhkannya. Waktunya sudah hampir habis."
"Kenapa tiba-tiba jadi begitu tenang?"
Ketika aku melihat arloji ku, waktu yang dijanjikan semakin dekat.
Meskipun aku tidak sedang mengukur waktu, sepertinya Shinohara sudah memperhatikannya dengan baik.
Dia memang orang yang anehnya sangat disiplin.
"Ini, aku akan memberimu izin!"
Dengan kalimat yang sedikit berlebihan, permintaan persetujuan untuk mengikuti dikabulkan.
Seketika, posting Shinohara muncul memenuhi layar.
Yang pertama kali aku lihat adalah foto close-up Shinohara yang memancarkan suasana sedikit melankolis.
Rambut depannya diubah menjadi keriting, dan dia terlihat lebih dewasa daripada biasanya.
Mungkin itu adalah foto saat dia menjadi model salon.
"Dia cantik."
Tanpa sengaja, kata-kata itu keluar dari mulut ku.
Jika harus mengklasifikasikan Shinohara antara tipe cantik dan imut, dia pasti termasuk tipe imut.
Tapi, dalam foto ini, dia jelas terlihat sangat cantik.
"...Eh, memang sih. Aku kan cantik."
"Apa-apaan itu?"
"Tidak, aku pikir Senpai akan mengolok-olokku. ...Senpai terkadang dengan jujur mengatakan hal seperti itu. Ada baiknya senpai tidak mengatakannya terus-menerus, tapi ucapkan sesekali."
Reaksi Shinohara membuat ku merasa agak malu.
Kata-kata itu keluar tanpa ku sadari, tapi bagi seseorang yang melihat dari dari luar, mungkin itu terdengar seperti aku sedang merayunya.
Untuk menghindari rasa malu, aku mulai memandang akun Shinohara, dan kemudian aku menyadari sesuatu.
"Followermu sedikit, ya?"
Follower Shinohara hanya 8 orang.
Sebagai mahasiswi yang ceria, itu terasa agak sedikit.
"Karena aku hanya memberitahunya kepada orang-orang yang dekat dengan ku saja. Satu-satunya lawan jenis yang ada di follower ku ya hanya Senpai."
"A-aku mengerti..."
Akun yang hanya terbuka untuk orang-orang terdekat.
Begitu aku mendengarnya, pandangan ku tertuju pada postingan Shinohara yang ada di layar.
Bukan karena itu adalah postingan dari Shinohara, tapi siapa pun pasti merasa senang kalo melihat perhatian seperti itu terwujud dalam bentuk visual.
"...Cukup waktunya telah habis! Sekarang, aku akan bersiap-siap untuk pekerjaan paruh waktu ku!"
Shinohara berkata begitu, lalu menutup telepon.
Dia memang selalu seperti badai.
Ketika aku memeriksa arlojiku, ternyata masih ada sekitar 3 menit sampai waktu yang dijanjikan.
"...Itu baru 7 menit, kan?"
Setelah bergumam, aku menyadari kalo sudut bibir ku tanpa sengaja terangkat, lalu aku mencubit pipi ku.
Aku lalu menekan tombol 'Like' pada postingan Shinohara, kemudian melemparkan Hp-ku ke samping.
◇◆ POV SHINOHARA ◇◆
Terkadang, setelah bekerja paruh waktu, tubuh yang lelah membuat ku ingin mengonsumsi sesuatu yang tidak sehat.
Saat istirahat kerja, aku sedang menikmati ramen di kedai ramen terdekat, menyesap mie sambil tenggelam dalam perasaan berdosa.
"...Enak."
Ramen tonkotsu favorit ku.
Aku jarang memakannya dalam kehidupan pribadi, tapi saat ini aku bisa meyakinkan diriku sendiri kalo ini adalah "hadiah atas kerja keras ku."
Tapi, meskipun begitu, rasa bersalah kecil tentang berat badan ku tetap muncul, tapi aku mengalahkannya dengan nafsu makan.
"Selamat datang!"
Salam besar dari pelayan terdengar menggema di dalam restoran.
Restoran kecil dengan 6 tempat duduk di counter dan 3 meja untuk 2 orang, meskipun begitu, rasa makanannya cukup tinggi.
Restoran ini juga sangat populer di tempat kerja ku.
Tanpa sengaja, aku memeriksa review restoran ini di situs makanan.
"3.2 ya."
Meskipun tidak buruk, aku merasa kalo untuk restoran yang aku sukai, aku berharap bisa melihat sedikit peningkatan dalam penilaiannya.
Dengan harapan sedikit bisa meningkatkan reputasinya, aku memotret ramen yang belum habis aku makan.
Kemudian, aku memposting foto itu ke akun yang hanya aku bagikan kepada orang-orang terdekat ku, dengan caption, "Ramen di sini enak sekali loh!"
Penilaian di situs makanan? Itu bisa aku lakukan nanti.
"Paman, aku pesan ramen dengan saus kedelai."
Pelanggan yang duduk di sebelah ku memberikan tiket pesanan kepada pelayan.
Itu adalah seorang wanita muda.
Aku melirik ke samping, dan sepertinya dia memiliki penampilan yang cantik sekaligus tenang.
Sungguh jarang melihat wanita seperti ini datang sendirian ke kedai ramen kecil seperti ini.
Mungkin karena restoran ini kecil, jadi wanita datang sendirian pun terasa lebih mudah, tapi aku rasa dia juga merasa nyaman karena saat itu hanya ada aku di dalam restoran.
Aku merasa senang bisa berkontribusi pada pendapatan restoran ini, ketika Hp yang ku letakkan di meja tiba-tiba bergetar.
Layar menunjukkan pemberitahuan, "yuta hasegawa telah memberikan 'like!'".
──Senpai, kebetulan sedang melihat timelinenya.
Hp-ku bergetar lagi, dan pemberitahuan ke-2 muncul di layar.
"yuta hasegawa: aku juga sering datang ke kedai ramen itu! Ramen dengan saus kedelai sangat direkomendasikan 🙂."
Ketika aku melihat pemberitahuan itu, sudut bibir ku terangkat.
Akun SNS yang hanya aku berikan kepada orang-orang yang aku percayai.
Senpai adalah lawan jenis pertama yang aku beritahu tentang akun ini.
mayu★shinohara Mengikuti-240 Pengikut-3684
Mahasiswa tahun pertama kuliah #19
▽Hobi: Berkeliling kafe ▽Keahlian: Tidur zzz
Ini adalah akun publik ku.
Kadang-kadang aku mendapatkan tawaran menjadi model salon, jadi aku menggunakan akun ini sebagai salah satu sumber pendapatanku.
Selain itu, aku juga memberi tahu akun ini kepada orang-orang yang ingin aku jaga hubungan yang cukup dekat.
Meskipun aku ingin membagikan kehidupan sehari-hari ku, aku lebih suka kalo itu hanya dilihat oleh orang-orang yang benar-benar dekat dengan ku.
Tapi, di dunia ini, kita juga harus menjaga hubungan sosial.
Oleh karena itu, memiliki 2 akun seperti ku sangat berguna, karena kita bisa menggunakannya sesuai kebutuhan.
Satu akun untuk terhubung dengan teman-teman yang juga aktif di SNS.
Satu lagi untuk membagikan kehidupan sehari-hari ku hanya kepada orang-orang yang benar-benar dekat denganku.
Aku rasa aku tidak sendirian dalam hal ini, dan SNS memang sangat mempengaruhi banyak orang.
──Tapi ya, sebenarnya tidak buruk.
Hanya dengan pemberitahuan dari Senpai, aku sudah merasa senang, jadi setidaknya bagi ku, SNS adalah alat yang berarti.
Aku berpikir seperti itu sambil mencoba mengambil air dari pitcher air.
Pada saat yang sama, tangan ku bertemu dengan tangan orang di sebelah ku.
"Ah, maaf."
Aku buru-buru menarik jari ku.
Di meja counter yang ada 6 kursi ini, hanya ada 3 pitcher air.
"Tidak, aku yang seharusnya meminta maaf."
Wanita itu ragu-ragu meletakkan jarinya pada pitcher, lalu menuangkan air ke dalam gelasnya.
Saat aku berusaha mengambil pitcher itu, wanita itu menggelengkan kepala.
"Tidak apa-apa."
"Eh, terima kasih."
Aku menyodorkan gelasku, dan wanita itu mengisi air ke dalamnya.
Di kedai ramen kecil ini, ada 2 wanita muda.
Karena situasi yang jarang terjadi ini, mungkin aku merasa ada semacam ikatan yang aneh di antara kami.
Kalo itu memang benar, pasti menyenangkan.
Meskipun waktu istirahat ku tinggal sedikit lagi, aku ingin sedikit mengobrol.
Tapi, kalo dari pihak sana ini malah mengganggu, aku rasa lebih baik perasaan ini ku simpan sendiri.
Kalo rasa ikatan itu hanya aku yang merasakannya, maka itu hanya akan menjadi gangguan belaka.
Tapi tiba-tiba, wanita di sebelah ku membuka pembicaraan.
"Tempat ini enak, ya?"
"Eh? Ah, iya. Memang enak."
Aku terkejut, dan suara ku menjadi kaku.
Mungkin dia merasakannya, karena wanita itu tersenyum dengan lembut.
"Maaf, tiba-tiba. Rasanya aneh, ya, duduk ber-2 dengan orang seumuran seperti ini."
Itu juga yang aku rasakan tadi.
Ketegangan mulai mereda, dan aku tersenyum.
"Benar, ya. Apalagi duduk berdampingan di kursi counter, rasanya lucu."
"Betul. Aku sudah lama tidak datang ke sini, tapi ini tetap enak."
Wanita itu sedang makan ramen dengan saus kedelai.
Itu adalah menu yang tadi disarankan oleh Senpai.
"Ramen saus kedelai juga kelihatannya enak. Tadi aku baru saja disarankan oleh seorang senpai di kampusku untuk mencoba ramen saus kedelai, jadi sekarang aku sangat tertarik."
Saat aku mengatakan itu, wanita itu berhenti sejenak makan.
"Aku juga dulu disarankan oleh kenalanku untuk mencobanya, dan kami sempat sering datang ke sini."
Wanita itu menunjukkan ekspresi yang sulit dijelaskan.
Dia memang terlihat sedikit tidak cocok dengan suasana restoran ini, bahkan lebih mencolok dari sebelumnya.
Aku merasa bersyukur karena aku satu-satunya pelanggan di restoran ini.
Tapi, mungkin dari sudut pandang orang lain, aku juga tidak begitu cocok dengan tempat ini.
"Eh, mungkin kau mahasiswa, ya?"
Saat aku bertanya pada wanita itu, dia mengangguk.
"Ya, aku kuliah di kampus putri dekat sini. Aku mahasiswa tahun ke-2."
"Ah, berarti kau lebih tua ya. Aku tahun pertama, jadi..."
Saat aku mengatakan itu, wanita itu tersenyum kecil.
"Ya, aku juga sudah merasa begitu, jadi aku akan berhenti memakai bahasa formal."
"Ahaha, ternyata sudah ketahuan ya."
Aku pun tersenyum dengan alami.
Mahasiswa wanita yang lebih tua ini memiliki aura yang menenangkan, yang tentu saja membuatnya mudah disukai oleh orang yang lebih muda.
Sebagai sesama wanita, aku pun merasa ingin lebih akrab dengan orang ini.
Perasaan seperti ini terhadap seseorang yang lebih tua, meskipun berbeda jenis kelamin, hanya aku rasakan sejak pertemuan ku dengan Senpai.
Senpai, yang meskipun menerima ku apa adanya, tidak pernah berusaha terlalu mendalam untuk diterima, seperti halnya dengan ku.
Senpai adalah orang yang paling nyaman untuk bersama dalam kehidupan ku belakangan ini.
Hubungan kami semakin mendalam, mulai dari meminjamkan kunci hingga saling bertukar akun SNS (...Aku sadar, ada perbedaan besar dalam level antara 2 hal tersebut).
Aku merasakan suasana yang sedikit mirip dengan yang ku rasakan bersama Senpai dari wanita ini.
"Permisi, bolehkah aku tahu nama mu?"
"Aku? Aisaka Reina. Boleh tahu nama mu juga?"
"Shinohara Mayu. Aku bekerja paruh waktu di toko dekat ramen ini."
"Ah, teman ku juga bekerja dekat sini."
"Benar ya! Dunia ini sempit sekali!"
Setelah saling bertukar nama, aku merasa hubungan dengan wanita ini semakin dekat.
Dari orang yang tidak dikenal, hubungan kami naik ke level teman.
Momen seperti ini terkadang saya rasakan, dan kali ini terasa sangat jelas.
"Jadi, Mayu-chan ya. Nama yang cantik."
"Reina-san juga, nama yang indah."
Kami tertawa bersama, merasa lucu.
Meskipun rasanya kami tidak cocok dengan suasana kedai ramen ini, justru karena cara kami bertemu yang unik, rasanya menjadi menyenangkan.
"Aku juga akan mencoba ramen saus kedelai lain kali. Itu rekomendasi dari senpai yang aku percayai."
"Aku juga, lain kali tetap akan pesan yang ini. Ini direkomendasikan kepadaku oleh orang yang pernah bersamaku."
Reina-san tersenyum lembut padaku, lalu dengan tergesa-gesa mulai makan, "Ah, mie-nya jadi lembek," katanya, lalu dia buru-buru melanjutkan makanannya.
Melihatnya seperti itu, meskipun lebih muda, aku merasa sedikit tersenyum.
Tapi, Hp-ku bergetar lagi.
Kali ini bukan dari Senpai, melainkan panggilan dari tempat kerja paruh waktu ku.
Mereka meminta ku untuk segera menyelesaikan waktu istirahat karena ada banyak pelanggan yang datang.
"Ah...aku harus pergi. Maaf sekali."
Meskipun kelihatannya kami akan mampu menciptakan ikatan baru, tapi ekspresinya terlihat muram.
Mungkin Reina-san melihat itu, dia tersenyum dan berkata.
"Kalo kita bertemu lagi di sini, mari kita bertukar kontak, ya?"
Aku sempat berpikir, "Nanti kah?" tapi aku segera menjawab dengan penuh semangat.
"──Ya!"
Aku menjawab dengan ceria dan meninggalkan kedai tersebut.
Rasanya, ketika hubungan baru terjalin, hati ku memang merasa senang.
Dengan perasaan yang melambung, aku membuka SNS.
Aku memberikan 'like!' pada postingan Senpai, lalu bergegas menuju tempat kerja paruh waktu ku.
Dengan perasaan seperti ini, rasanya aku bisa melewati pekerjaan paruh waktu ku yang sibuk.