> CHAPTER 6

CHAPTER 6

 Kamu saat ini sedang membaca  Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu  volume 2  chapter 6. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw



RENCANA PERJALANAN



Beberapa jam setelah panggilan telepon selesai, notifikasi balasan 'suka!' dari Shinobara akhirnya muncul.


Dengan susah payah, aku berhasil bangkit dari tempat tidur dan pergi berbelanja ke toko serba ada yang ada di dalam kampus.


Sambil menahan kantuk, aku memandangi menu gorengan yang terletak di dekat kasir.


Salah satu ciri khas toko serba ada yang berada di area kampus adalah mayoritas pelanggannya terdiri dari mahasiswa dan dosen.


Bahkan, sebagian besar mahasiswa yang datang ke sini berasal dari kampus yang sama denganku, sehingga tercipta semacam rasa kebersamaan yang tidak terlihat di antara orang-orang yang tidak saling kenal.


Wajah-wajah yang tidak kukenal sekalipun, kemungkinan besar adalah teman satu kampus.


Dugaan ini, tanpa diragukan lagi, membuat mahasiswa merasa sedikit lebih percaya diri.


"Oh, silakan duluan~ aku sedang menunggu temanku." 


Seorang mahasiswi yang tidak kukenal, mempersilakanku masuk ke antrean kasir.


Kalo ini terjadi di luar kampus, aku pasti akan mengucapkan terima kasih dengan lebih sopan. 


Tapi di sini, di dalam kampus, aku hanya berkata singkat, "Oh, makasih."


Mahasiswi itu tidak memberikan reaksi apa pun terhadap ucapanku dan kembali ke kelompoknya.


Kelompok mahasiswi itu asyik bercanda di area rak camilan, tapi karena mayoritas pelanggan di toko serba ada ini adalah mahasiswa, suasananya memang selalu ribut, jadi aku tidak terlalu terganggu.


Aku memesan, "2 chikichiki, tolong," kepada kasir, lalu menyingkir ke samping agar tidak menghalangi antrean di belakang.


Saat aku kembali memandang sekeliling, aku menyadari kalo meskipun ini adalah masa libur musim semi, tempat ini tetap ramai.


Mungkin karena ini adalah jam makan siang, waktu yang cenderung menarik banyak orang.


Di tengah kerumunan mahasiswa yang padat, aku melihat seseorang mendekat dengan gerakan yang halus. 


Sosok itu mengenakan mantel abu-abu yang familiar—itu Ayaka.


"Yo. Hebat juga kau bisa menemukanku di sini."


"Kalo kau bilang lantai 2 gedung 5, yah, aku pikir ini tempatnya. Lain kali pastikan kau memberikan lokasi yang lebih jelas. Informasimu terlalu samar, apalagi tempat ini ramai sekali."


"Kau bisa saja menungguku di luar, kan? Aku tidak bilang kita harus bertemu di toko serba ada."


"Apa-apaan itu? Aku sudah susah susah datang ke sini."


Ayaka menunjukkan ekspresi sedikit kesal.


Aku mengabaikan komentar itu dan menerima 2 chikichiki dari kasir, lalu menyerahkan salah satunya kepada Ayaka.


"Wah, jadi seperti ini maksudmu. Terima kasih." 


Begitu Ayaka menerima chikichiki dari menu gorengan edisi terbatas, tiba-tiba dia langsung terlihat ceria.


Kami keluar dari toko serba ada kami lalu di sambut lobi lantai 2.


Lobi di lantai 2 gedung 5 ini dilengkapi dengan berbagai kursi empuk dan bangku bergaya modern. 


Tapi, tanpa berhenti, aku terus melangkah.


"Ayo, kita lanjut."


"Eh, kita makan ini sambil santai dulu lah."


"Makan sambil berjalan saja. Lorongnya cukup sepi, jadi tidak kau perlu khawatir bertabrakan dengan orang lain."


"Tidak mau, aku mau duduk."


Ayaka pun menjauh dariku dan menuju area dengan meja kecil yang diapit oleh 2 kursi.


Dengan sedikit enggan, aku mengikutinya. 


Ayaka terlihat puas saat mulai menggigit chikichiki yang dipegangnya.


"Hmm, rasanya sangat enak. Memang makanan yang tidak sehat selalu lezat."


"...Aku setuju dengan itu. Tapi, kau tidak lupa dengan rencana kita hari ini, kan?"


Datang ke kampus saat libur musim semi adalah hal yang jarang kulakukan. 


Tanpa kegiatan klub, aku hampir tidak pernah punya alasan untuk datang ke sini.


Meskipun begitu, alasan aku datang ke kampus hari ini adalah karena kemarin Ayaka menyampaikan hal ini kepadaku. 


"Bagaimana kalo kita pergi liburan? Kalo kita memesan melalui koperasi kampus, biayanya bisa lebih murah. Ayo kita pergi ke koperasi bersama!"


Yang dimaksud dengan koperasi di sini adalah singkatan dari Koperasi Mahasiswa Kampus.


Pada dasarnya, koperasi ini adalah organisasi yang membantu meningkatkan kualitas hidup mahasiswa dengan berbagai layanan yang bermanfaat.


Tentu saja, manfaat tersebut hanya dapat dinikmati jika menjadi anggota koperasi, tapi sebagian besar mahasiswa sudah bergabung ketika awal masuk kampus ini.


Hari ini, rencananya kami akan pergi ke kantor koperasi yang ada di dalam kampus untuk mencari cara agar biaya perjalanan bisa lebih murah.


"Aku tahu, kok. Sepertinya ada juga paket tur, jadi aku ingin memilihnya dengan santai." 


"Walaupun kita menyebutnya liburan, ini hanya perjalanan semalam, kan? Apa perlu sampai membuat jadwal yang terlalu padat?"


Kalo perjalanan ini hanya liburan semalam ke penginapan onsen, sejujurnya aku ingin bersantai di sana dengan tenang.


Aku ingin menghindari situasi di mana kami tiba di penginapan dalam keadaan sangat lelah, lalu langsung tertidur tanpa sempat menikmati fasilitas penginapan yang sudah bagus itu.


"Aku juga sebenarnya sudah puas hanya berjalan-jalan santai di sekitar kota onsen. Tapi kalo kita menemukan tur yang terasa lebih menarik daripada kota onsen, bukankah itu akan menyenangkan?"


"Ya, kalo memang ada tur yang lebih menarik daripada kota onsen, sih."


"Benar, kan? Jadi setidaknya ayo kita lihat dulu pilihannya."


Ayaka meremas kertas pembungkus chikichiki yang telah kosong, lalu berdiri.


Aku juga menghabiskan sisa chikichiki-ku dalam satu gigitan, kemudian mengikuti Ayaka yang mulai menuju tangga.


Ayaka melewati area di mana terdapat lift dan langsung menaiki tangga.


Kantor koperasi terletak di lantai 5, dan biasanya aku lebih memilih menggunakan lift. 


Tapi, sepertinya Ayaka sengaja memilih tangga, mungkin untuk sedikit membakar kalori yang baru saja dia peroleh dari chikichiki.


Tentu saja, aku tidak berani mengatakannya dengan lantang—risiko ditampar terlalu besar.


"Ini pertama kalinya aku pergi liburan bersama mu. Aku ingin perjalanan ini jadi menyenangkan, tahu?”


Dari atas tangga, Ayaka memanggilku.


"Oh iya, ini memang pertama kalinya. Jarang sekali ada kesempatan kita pergi ber-2 seperti ini."


"Lagipula, kita juga tidak pernah membicarakan soal liburan bersama sebelumnya."


Memang benar begitu.


Saat masih SMA, apalagi setelah masuk kuliah, tidak pernah sekalipun muncul pembicaraan tentang liburan bersama.


Tidak peduli seberapa lama kami saling kenal, atau seberapa intens waktu yang kami habiskan bersama.


Ide untuk bepergian bersama Ayaka sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku.


Dan sepertinya, Ayaka pun merasakan hal yang sama.


"Lagipula, kalo aku tidak mendapat kupon diskon penginapan kali ini, aku juga tidak akan mengajakmu. Jadi, berterima kasihlah pada kupon itu."


"...Benar juga. Penginapan itu kalo dia bayar dengan harga normal, harganya hampir 50,000 yen per malam. Itu adalah harga yang sulit untuk dibayar oleh seorang pelajar biasa. Aku akan berterima kasih dengan tulus untuk kupon itu."


Aku tidak tahu bagaimana Ayaka bisa mendapatkan kupon diskon itu, tapi yang jelas itu bukan sesuatu yang mudah didapatkan.


Mungkin setara dengan memenangkan hadiah utama dalam undian besar di sebuah pusat perbelanjaan terkenal.


Kalo benar dia mendapatkan sesuatu seperti itu aku penasaran dari siapa dia mendapatkannya.


Kalo ini bukan Ayaka, aku bahkan akan curiga apa dia membuat pria lain memberinya itu.


"Sungguh, sekarang setelah kau masuk kuliah, pergaulanmu semakin luas ya."


Ayaka memang sudah dikenal sebagai orang yang banyak teman sejak SMA, bahkan di kalangan siswa dari angkatan lain pun namanya sudah cukup terkenal.


Mungkin karena jumlah mahasiswa di kampus lebih banyak daripada di SMA, jadi kenalannya pun semakin banyak.


Dengan kemampuan Ayaka yang bisa akrab dengan siapa saja, aku bertanya-tanya kenapa dia memilihku sebagai teman perjalanannya.


Apa benar aku yang tepat untuk ini?


"Tadi kau memikirkan hal yang membosankan, kan?" 


Ayaka, berhenti dan menatapku dari atas.


"...Iya, aku lagi memikirkan hal yang sangat membosankan."


──Ah, tapi mungkin tidak masalah.


Pada akhirnya, aku memutuskan untuk pergi liburan bersama Ayaka.


Sebenarnya pilihan yang sebelumnya tidak ada kini muncul begitu saja dan aku sedikit kebingungan dengan hal itu.


Menjaga jarak yang tetap dalam hubungan dengan orang lain adalah hal yang tidak mungkin dilakukan.


Entah besar atau kecil, kalo kita menghitung segala perubahan, hubungan antar manusia selalu berubah setiap harinya.


Perubahan itu tidak selalu terlihat di mata, itulah sebabnya terkadang hubungan terasa menyenangkan tapi juga bisa menakutkan.


Aku sudah sering mendengar cerita tentang seorang gadis yang aku kira selalu menyukaiku lalu tiba-tiba mengakhiri hubungan kami.


Ketika aku bertanya, dia mengaku kalo perasaan cintanya sudah hilang beberapa bulan sebelumnya──


Hal seperti itu sering terjadi karena hubungan antar manusia memang sangat dinamis.


Karena itu, tindakan yang bisa diambil oleh setiap orang sangat terbatas.


Begitu juga dengan hubungan antara Ayaka dan aku.


Tindakan yang harus aku ambil sejak hari itu selalu sama.


Percaya dan mendampinginya. Hanya itu saja.


"Eh, Ayaka."


"Hmm?"


Ngomong-ngomong, ada hal yang terlintas dalam pikiranku.


Hal yang baru kurasakan sekarang.


"...Ternyata, kau benar-benar cantik ya, bahkan dari bawah."


"Ha-Hah? Kenapa kau tiba-tiba berbicara begitu?!"


Ayaka terlihat sangat terkejut, dan itu hampir membuatnya kehilangan pegangan pada pegangan tangan.


Melihat itu, aku melewatinya begitu saja.


"Hei, tu-tunggu!"


Setelah berlari hingga lantai 5, aku sedikit kehabisan napas.


Ayaka juga terlihat terengah-engah di belakangku.


"...Sudahlah, jangan tiba-tiba lari seperti itu." 


Ayaka mengatakan itu dengan pipi yang memerah.


Ayaka, yang tangannya di atas lutut, tersenyum padaku sambil menatap ke atas.


Pipinya yang merah itu pasti karena dia yang berlari menaiki tangga.


★★★


Pada akhirnya, kami memutuskan untuk menghabiskan hari tanpa beban di perjalanan sumber air panas tanpa berpartisipasi dalam tur apa pun.


Sebenarnya, hanya dengan berada di kawasan onsen dan menginap di ryokan saja, sudah cukup memberikan pengalaman yang memuaskan.


[TL\n:Ryokan adalah jenis penginapan tradisional Jepang yang biasanya terletak di daerah pedesaan atau tempat-tempat wisata alam. Ryokan dikenal dengan suasananya yang tenang dan desain interior yang mencerminkan budaya Jepang yang kental, seperti tatami (alas lantai dari jerami) dan futon (tempat tidur yang digelar di atas lantai). Di dalam ryokan, tamu dapat merasakan pengalaman unik seperti memakai yukata (kimono kasual), menikmati makanan Jepang tradisional seperti kaiseki (hidangan multi-course), serta berendam di onsen (pemandian air panas) jika tersedia.]

 

Kemampuan seseorang untuk beraktivitas dalam sehari itu terbatas, dan kalo menginginkan lebih dari itu, biasanya hasilnya tidak akan maksimal.


"Kalo pergi liburan, bukankah kita seharusnya menikmati kemewahan sepenuhnya?"


"Kalo kau menyia-nyiakan kekuatan fisik mi untuk menikmati kemewahan dan akhirnya kau malah tidak bisa menikmati momen yang paling menyenangkan. Itu kan kontradiktif."


".....Kalo dengan teman laki-laki, mungkin itu bisa terjadi. Mereka sepertinya tidak tahu batasan."


Setelah mendengar penjelasanku, Shinohara berkata begitu.


Aku menyembunyikan fakta kalo yang aku ajak pergi adalah Ayaka, dan mengatakan kalo itu adalah beberapa teman laki-laki dari SMA.


Ketika pertama kali aku mengatakan itu, aku sempat dilihat dengan tatapan penuh rasa kasihan, jadi aku berniat untuk memberikan penjelasan nanti dengan cara lain.


"Sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Tapi kenapa kau masih ada di apartemenku hari ini? Pekerjaan paruh waktumu sudah selesai, kan?"


Tadi pagi aku ditelepon, dan sekarang sudah malam. 


Setidaknya dia pasti sudah bekerja sekitar 8 jam, tapi entah kenapa Shinohara malah ada di apartemen ku.


"Ah, jangan begitu, senpai. Apa kau serius menanyakan itu?"


"Hah?"


"Aku ingin bertemu dengan senpai, jadi... itu sudah jelas, kan?!"


"Oh, begitu."


"Jangan dingin begitu lah!?"


Aku mengabaikan dia yang mengedipkan mata dan mengeluarkan manga dari rak buku.


Ketika aku hendak membuka manga favoritku, Shinohara menghentikanku dengan berkata, "Tunggu sebentar!"


"Ada apa?"


"Begini, senpai. Kalo kau sudah mulai membaca manga, senpai sama sekali tidak akan peduli dengan orang lain. Jadi, aku ingin kau berhenti dulu."


"Begitu ya."


Aku pun mulai membalik halaman tanpa menghiraukannya.


Manga ini akan keluar edisi baru minggu depan. Kalo aku membaca ulang isinya sekarang, aku bisa lebih menikmati edisi baru nanti.


Lalu, ceritanya adalah──


"...."


Tatapan itu terasa menusuk. 


Ketika aku melirik sedikit, Shinohara sedang menatapku dengan serius.


"...Oke, aku paham. Ada apa hari ini?"


Aku menutup manga itu dengan suara pat dan bertanya.


Biasanya, kalo aku mulai membaca manga, Shinohara akan mulai melakukan hal lain yang dia suka dan sibuk dengan kegiatannya sendiri.


Kami saling menghormati waktu pribadi masing-masing, itulah sebabnya meskipun Shinohara sering datang ke rumah, aku tidak merasa tertekan.


Tentu saja, karena aku sering diberi makan, aku harus sedikit lebih toleran terhadap hal-hal kecil.


"Apa ada yang terjadi di tempat kerja paruh waktu mu?"


Panggilan telepon pagi tadi seperti biasa.


Kalo ada sesuatu yang terjadi, itu kemungkinan besar terjadi selama pekerjaan paruh waktunya.


"Senpai luar biasa. Benar-benar luar biasa."


Shinohara bertepuk tangan.


Melihat reaksinya, sepertinya tidak ada yang terlalu serius tapi rasanya tidak pantas kalo aku membatalkan pertanyaan yang sudah aku ajukan.


Saat aku diam-diam mendesaknya untuk melanjutkan, Shinohara berhenti sejenak sebelum mulai berbicara lagi. 


"Orang yang berteman denganku saat pekerjaan paruh waktu ku memutuskan untuk berhenti."


"Begitu. Sayang sekali."


"Ya. Sebenarnya itu tidak terlalu masalah, sih."


Shinohara berkata begitu sambil terjun ke atas bantal.


"Aku tidak tahu nomor kontak orang itu. Aku hanya merasa kesepian memikirkan kalo aku tidak akan pernah melihatnya lagi."


"Eh? Padahal kalian cukup dekat, ya?"


"Karena akhir-akhir ini kami sering bertemu di tempat kerja, jadi itu tidak menggangguku meskipun aku tidak memiliki informasi kontaknya... Ah, tapi tetap saja seharusnya kami harus bertukar kontak, kan?"


Kenapa aku tidak bertukar konkat dengan nya ya? Kata Shinohara sambil gelisah di atas bantal.


Aku pikir kalo itu Shinohara, dari awal mereka berkenalan pasti mereka akan langsung bertukar kontak.


Faktanya, aku sendiri sudah bertukar kontak dengan Shinohara pada hari pertama kami bertemu.


"Berarti orang itu benar-benar kamu sukai ya?"


Begitu aku mengucapkannya, aku merasa sedikit cemas.


Seharusnya, kalau Shinohara suka dengan siapa pun, aku tidak akan merasa seperti ini sebelumnya.


Semakin sering menghabiskan waktu bersama, ternyata ada efek sampingnya.


Bahkan dalam percakapan sehari-hari seperti ini, perasaan seperti itu mulai muncul, dan itu tanda yang jelas.


"Yah, aku tidak suka mengatakan bahwa aku menyukainya karena terkesan agak sombong. Tapi bukan berarti orang lain itu laki-laki."


"Ah, jadi cerita ini tentang perempuan, ya?"


...Mengingat-ingat, ternyata dia tidak pernah bilang kalo orang yang dia maksud itu laki-laki.


Apa aku yang terlalu cepat menarik kesimpulan?


".....Ah, begitu."


Shinohara tersenyum lebar.


Itu adalah senyum paling licik yang dia buat dalam beberapa waktu terakhir.


Aku berusaha menyembunyikan kalo aku salah, tapi sepertinya itu sudah terlambat.


"Ah, senpai benar-benar lucu. Tidak mungkin lah seperti itu!"


"Tidak, bukan seperti itu. Kalo kau gagal lagi dalam urusan cinta, saham ku yang ada di sini juga akan turun."


"Eh...apa itu cara melarikan diri yang aneh..."


Aku sendiri memikirkan hal yang sama ketika aku mengatakan itu. 


Ayaka adalah orang yang bisa mengatakan sesuatu yang mirip dengan apa yang baru saja aku katakan, tapi tampaknya keefektifan kata-kata ini berubah tergantung siapa yang mengucapkannya.


Memang benar, kata-kata apapun bisa terasa dangkal jika hanya dipinjam dari orang lain.


"Berikan sedikit kata-kata yang lebih baik! Kata-kata yang bisa menenangkan ku!"


"Kau sebenarnya berharap apa sih dari ku..."


Shinohara melemparkan bantal ke atas dan menangkapnya lagi.


"Obat penenang untuk hati, mungkin?"


"Jangan perlakukan aku seperti obat."


"Itu masalahnya di cara mengatakannya. Kalo kau bilang, 'ruang di mana aku bersama senpai itu membuatku merasa aman,' itu pasti akan mendapat nilai lebih, kan?"


"Kalo kau mengatakan itu langsung ke orangnya, malah jadi minus..."


Yah tentu saja, aku tidak merasa buruk dengan kata-kata itu.


Lagipula, kalo aku benar-benar merasa tidak nyaman aku sudah tidak akan membiarkannya masuk ke apartemenku sejak awal. 


Aku sendiri yang paling tahu akan hal itu.


"Ah."


Ketika aku mengikuti arah pandang Shinohara, jarum jam sudah melewati pukul 23.


Seperti biasa, dia selalu terlalu lama berada di sini.


"Besok aku juga ada pekerjaan paruh waktu, jadi aku akan pulang dulu. Terima kasih banyak."


"Besok juga kau kerja paruh waktu? Kau orang yang sangat tangguh, ya. ...Ya, jangan terlalu memaksakan dirimu, semoga berhasil."


Memiliki teman kerja yang cocok itu mempengaruhi seberapa cepat waktu berlalu.


Aku sedikit banyak memahami perasaan Shinohara.


"Rasanya tidak nyamannya bisa bertemu orang yang tidak bisa kita ajak bertukar kontak."


"Ya, memang sih, di zaman sekarang kita bisa terhubung dengan siapa saja."


Di zaman ini, kita bisa saling bertukar kontak bahkan dengan orang yang belum pernah kita temui.


Tapi, ketika seseorang yang kita kenal baik di tempat kerja, yang kita habiskan waktu bersama, akhirnya tidak bisa kita hubungi, itu memang terasa sangat menyedihkan.

 

"Senpai itu──"


"Sana pergi. Cepat pulang."


"....Senpai benar-benar bisa menangkap apa yang ingin aku katakan dan mengatakannya dengan santai. Senpai kau benar-benar luar biasa."


Shinohara menunjukkan ekspresi terkejut dengan suara yang agak dibuat-buat.


Dia sedang membungkuk di depan pintu untuk memakai sepatu botnya, sehingga aku tidak bisa melihat ekspresinya, tapi aku bisa membayangkan seperti apa ekspresinya sekarang.


"Semoga sukses dengan pekerjaan paruh waktumu besok."


Aku meletakkan telapak tanganku di atas kepalanya.


Shinohara menatapku dan membalas dengan senyuman yang berbeda dari biasanya.


"....Iya!"


Mungkin senyuman itu yang memberikan warna dalam kehidupanku sehari-hari.


Aku tidak akan mengatakannya dengan lantang, tapi tidak ada keraguan tentang hal itu.


★★★


Beberapa hari telah berlalu sejak aku memutuskan untuk melakukan perjalanan ke onsen dengan Ayaka.


Menurut rencana, masih ada sekitar seminggu lagi.


Karena ini adalah liburan musim semi, rasanya waktunya sudah hampir tiba.


Aku duduk di tempat tidur, dengan brosur yang menjelaskan semua daya tarik kawasan onsen di tanganku, sambil berulang kali menyilangkan kaki.


Aku memang senang, tapi entah kenapa perasaanku sedikit cemas juga.


Yang paling membuatku cemas adalah kenyataan kalo aku harus masuk ke pemandian air panas sendirian. 


Bagian terbaik dari perjalanan ini mungkin akan datang saat makan malam mewah di ryokan.


".....Hmm."


Aku merasa ada kehadiran, dan menurunkan pandanganku dari brosur.


Dalam sekejap rambutnya menyapu hidungku.


"Ugh!?"


Secara refleks aku mundur, yang membuat kakiku terangkat dan kakiku tersangkut pada tubuh Shinohara.


"Kyah!?"


Akhirnya, Shinohara terjatuh di atas tubuhku.


Jika dilihat dari luar, seolah-olah Shinohara yang mendorong ku ke bawah. 


Biasanya justru sebaliknya.


Sesuatu yang lembut menyelimuti wajahku, dan aku segera berusaha untuk melepaskan diri.


Sebagai pria yang sehat, tentu ada dorongan untuk merasakan sensasi manis itu, tapu memikirkan konsekuensi di kemudian hari, aku tidak bisa membiarkan diriku terlarut dalam perasaan itu.


Aku mencoba menarik diri dengan memegang sisi tubuh Shinohara, tapi dia mengeluarkan suara aneh.


"Hei, senpai...!"


Aku terkejut dengan suara yang tidak biasa, dan mulai berpikir langkah apa yang harus ku ambil selanjutnya.


Apa aku harus minta maaf dengan jujur, atau malah bersikap santai?


Atau, lebih baik marah?


── Serangan adalah pertahanan terbaik.


Setelah berhasil melepaskan diri dari Shinohara, aku berdiri tegak.


"Kenapa kau tiba-tiba jatuh ke atas ku!"


"Eh!? Senpai yang marah!?"


Shinohara terkejut sambil terbaring di tempat tidur.


Saat ini, Shinohara mengenakan pakaian santainya, sementara pakaiannya untuk keluar tergantung di gantungan.


Aku pun teringat sensasi yang sangat nyata tadi, dan tanpa sadar mencubit pipiku.


"Ah, sebenarnya aku yang salah karena diam-diam melihat brosur... Jadi, responmu tidak sepenuhnya salah sih..."


Sambil berkata begitu, Shinohara dengan lembut mengelus dadanya.


Mungkin bagian itulah yang sebelumnya menjadi tempat wajahku terbenam tadi.


Mengingat kembali sensasi lembut itu, aku bergumam pelan, "Yah, aku juga salah."


Kejadian kaki yang tersangkut tadi memang murni kecelakaan, tapi di sisi lain Shinohara juga tidak melakukan sesuatu yang pantas disalahkan.


Selain itu, sepertinya Shinohara tidak terlihat marah seperti yang kukhawatirkan, jadi tindakan yang baru saja kulakukan malah berakhir sebagai tindakan yang kekanak-kanakan.


"Yah, kalo ki5 sering bersama, kecelakaan seperti ini kadang memang terjadi, kan? Mungkin," 


Melihat dia tidak terlalu mempermasalahkan hal ini, aku pun merasa seharusnya tadi aku langsung meminta maaf dengan jujur. 


Tapi, situasi yang tiba-tiba seperti itu membuatku tidak bisa berpikir dengan tenang, jadi wajar saja kalau aku sedikit panik.


"Jadi, bagaimana tadi?"  


"Apa maksudmu?"


"Ya, pendapatmu. Bagaimana tadi?"


Aku menatap wajah Shinohara dengan serius. 


Untuk melihat apakah kohaiku yang berbaring di depanku ini masih waras atau tidak.


Begitu aku menatapnya, untuk pertama kalinya dia terlihat gelisah dan mengalihkan pandangan.


".....Tolong jangan menatapku seperti itu."


"Yang membuatmu malu justru di situ?"


"Aku tidak malu. Hanya merasa tidak nyaman saja."


"Bohong."


"Aku tidak bohong."


Tidak ada gunanya memperpanjang ini, jadi aku memilih untuk diam sejenak.


Tidak ada keraguan lagi kalo kohaiku ini baru saja merasa malu, meski anehnya dia malu di bagian yang salah. 


Dia menanyakan pendapat orang lain tentang kejadian tadi, apa dia tidak merasa malu sama sekali? 


"Jadi, bagaimana menurutmu?"


"Biasa saja, biasa."


Aneh rasanya menjawab pertanyaan seperti itu dengan serius.


Aku menjawab dengan asal dan duduk di lantai.


"Hmm, biasa saja ya... Begitu."


"...Hei."


Entah kenapa Shinohara tiba-tiba terlihat lesu, dan aku menggigit bibirku.


Kalo aku mengatakan, "Sangat luarbiasa," sudah pasti dia akan meledekku tanpa ampun. 


Tapi, bahkan jika itu hanya kecelakaan, mengatakan bahwa sensasinya "biasa saja" mungkin melukai perasaannya.


"....Sangat luarbiasa dan memuaskan." 


Aku mengatakan itu dengan nada bergaya dramatis, sebagai upaya perlawanan terakhir.


Mendengar itu, Shinohara tersenyum. 


Sebuah senyuman yang benar-benar memikat.


"Bagus sekali, memang kau itu tidak pernah mau jujur, ya!"


"....Dari awal aku memang sudah berniat begitu!"


"Tentu saja. Aku tidak murah sampai bisa memaafkanmu begitu saja. Setidaknya aku butuh kata-kata pujian, supaya sepadan."


"Ah, begitu ya..."


Melihatku yang terlihat kelelahan, Shinohara memiringkan kepalanya.


"Kalo dipikir-pikir, aku yakin kebanyakan pria pasti akan senang dengan situasi seperti ini."


...Apa yang dikatakan Shinohara memang tidak salah. 


Tidak bisa dipungkiri, ada sedikit rasa diuntungkan dari kejadian tadi. 


Tapi, mengatakan hal itu dengan jujur bukanlah pilihan.


Kepercayaan untuk tidak melakukan hal yang tidak pantas adalah pondasi dari hubungan unik antara aku dan Shinohara.


Dan entah kenapa, sepertinya aku menyukai kehidupan ini.


"Aku lapar."  


"Kalo begitu, bagaimana kalo malam ini kita makan mapo tofu?"


Shinohara langsung mengalihkan pembicaraan dan bangkit dari tempat tidur.


Ketika aku lapar, kohaiku yang manis ini akan memasakkan makanan lezat untukku. 


Dalam situasi seperti ini, menyerah pada godaan sesaat terasa seperti sesuatu yang sia-sia.


Sambil memandangi punggung Shinohara yang mengenakan apron di dapur, aku kembali berpikir begitu saja.


"Kalo kau terus memperhatikanku begitu, aku bisa salah potong, lho. Jadi, seperti biasa, silakan baca manga saja."


"Seperti biasa, maaf ya."


"Aku melakukannya karena aku menyukainya. Sebagai balasan, aku mau cincin dari Vivienne Westwood, ya."


"Konteksnya aneh, kan? Mana mungkin aku sanggup membeli barang semahal itu."


Belum lama ini aku sudah membelikanya dompet mahal sebagai hadiah, jadi aku langsung menolak permintaan itu.


Rasa terima kasih bukanlah sesuatu yang harus diungkapkan dengan uang.


...Meskipun aku tahu pemikiran seperti itu terdengar seperti idealisme belaka, aku harap dia mau mengerti kondisi keuangan seorang mahasiswa yang hidup sendiri.


"Aku cuma bercanda kok. Aku cukup tahu kondisi dompetmu, Senpai."


Shinohara tersenyum jahil sambil menggulung lengan bajunya.


Penampilan Shinohara yang mengenakan apron di dapur ini sudah terasa begitu akrab, seolah-olah dia memang sudah tinggal di sini.




Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال