> CHAPTER 7

CHAPTER 7

  Kamu saat ini sedang membaca  Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu  volume 2  chapter 7. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw



SEKARANG WAKTUNYA PERJALANAN KE ONSEN



Ryokan onsen 'Ka' terletak di sebuah tempat yang membutuhkan waktu sekitar dua setengah jam perjalanan dengan bus ekspres.


Karena dikelilingi oleh pegunungan, hanya ada sedikit rumah penduduk di sekitarnya. Tapi, kota onsen tersebut kabarnya dipenuhi oleh banyak orang. Sepertinya onsen ini cukup terkenal.


Saat ini adalah awal bulan Maret, ketika suhu perlahan mulai meningkat.


Hari ini adalah hari perjalanan onsen bersama Ayaka.


Kami bertemu pada siang hari dan sekarang kami sedang berada di dalam bus yang melaju. Kami banyak menghabiskan waktu bersantai, bermain smartphone dan sesekali ngobrol—sehingga energi kami masih penuh.


Rencananya, setelah turun dari bus, kami akan check-in di ryokan, meletakkan barang-barang bawaan kami, lalu berjalan-jalan di sekitar kota onsen.


"Sebentar lagi kita sampai."


Ayaka yang duduk di sebelahku berkata begitu sambil menatap pemandangan di luar jendela.


Aku pun menutup permainan di Hp-ku dan melihat pemandangan itu melewati Ayaka.


Ketika kami melanjutkan perjalanan di sisi kanan pertigaan, pemandangan yang sebelumnya hanya dipenuhi oleh gunung mulai menampilkan beberapa penginapan kecil dan rumah makan. Beberapa menit kemudian, pemandangan yang sama seperti di pamflet pun terbentang di depan mata.


"Suasananya bagus juga."


Saat aku mengatakan itu, Ayaka terlihat sedikit bereaksi dengan telinganya yang bergerak ringan.


"De... dekat sekali."


"Ah, maaf."


Karena terlalu asyik memperhatikan pemandangan, aku tidak menyadari kalo wajahku sudah sangat dekat dengan wajah Ayaka—itu bukan kiasan, tetapi benar-benar dekat.


Aku segera menarik tubuhku kembali ke kursi, sementara Ayaka tertawa kecil.


"Kau sampai lupa jarak karena terlalu fokus, ya."


"Bahkan aku sendiri tidak menyangka, ternyata aku bisa begitu terpikat dengan pemandangan ini."


Pemandangan yang mengalir di luar jendela perlahan melambat, pertanda kami hampir tiba di tujuan. Pengumuman di bus pun mengonfirmasi hal itu.


Bagi seseorang yang belum pernah tinggal di pedesaan seperti aku, onsen town bergaya tradisional ini terasa begitu segar dan baru. Rasanya berbeda dibandingkan dengan kerlap-kerlip iluminasi modern yang biasa kulihat.


"Kita sudah sampai. Ayo, jalan."


Saat bus melambat hingga berhenti, Ayaka berdiri dari tempat duduknya.


Kami duduk di kursi paling depan, yang paling dekat dengan pintu keluar. Kalo kami berdiri lebih awal, seharusnya kami bisa menjadi yang pertama turun dari bus. 


Tapi...


"Ah!"


Ketika Ayaka berdiri, bus tiba-tiba berhenti, membuatnya kehilangan keseimbangan. Dia terhuyung ke arah jendela, tapi aku berhasil menopang tubuhnya.


"Hati-hati."


"Kau seperti seorang pahlawan..."


"Itu maksudnya apa?"


Aku kembali duduk untuk menenangkan diri dan mengatur posisi. Tapi, lorong bus sudah dipenuhi antrean panjang penumpang lain.


Semua orang memiliki tujuan yang sama, kota onsen.


Ada keluarga, pasangan lanjut usia, dan berbagai macam orang lainnya yang berbaris di antrean.


Karena kota onsen ini dikenal dengan penginapan-penginapan mewahnya, hampir tidak terlihat pelajar di antara para penumpang. Mungkin karena itu, antreannya terasa bergerak sangat lambat.


"Sepertinya kita kehilangan kesempatan untuk keluar lebih dulu. Akan sulit turun sekarang."


"Benar juga. Maafkan aku."


"Bukan, akulah yang salah karena terlalu tergesa-gesa. Seharusnya kita tetap duduk hingga bus benar-benar berhenti." 


Ayaka bersandar pada kursi yang bisa direbahkan, dan bantalan kursi memberikan tekanan yang terasa pas.


Dari balik jendela, terlihat kota onsen yang dipenuhi keramaian. Ada juga bangunan-bangunan bergaya klasik yang terlihat seperti di film Studio Ghibli, membuatku semakin tidak sabar untuk segera pergi ke sana.


"Pasangan muda di sana, silakan lebih dulu."


Aku dan Ayaka spontan menoleh ke arah sumber suara.


Sepasang suami istri lanjut usia berhenti di lorong, memberi jalan untuk kami.


"Apa Anda berbicara kepada kami?"  


Saat aku bertanya begitu, Ayaka langsung menepuk bahuku dengan ringan.


"Bodoh, tentu saja itu untuk kita. Cepat berdiri."


"Ah, iya."


Aku segera berdiri, dan kami masuk ke antrean di depan pasangan lanjut usia tersebut.


Tidak lama kemudian, kami sampai di pintu keluar. Kami turun dari bus lebih dulu, kemudian menunggu pasangan lanjut usia itu.


Mereka turun tidak lama setelah kami, mengenakan pakaian yang terlihat anggun dan berkelas.


"Terima kasih banyak."


Ayaka menundukkan kepalanya dengan sopan. Aku pun mengikuti tindakannya dan mengucapkan kata-kata terima kasih.


"Terima kasih banyak. Anda sudah repot-repot berhenti hanya untuk memberi kami tempat di antrean."


Mendengar itu, nenek tersebut tertawa kecil dengan nada hangat.


"Ah, tidak apa-apa. Kakek ini yang bilang agar kita memberi jalan kepada pasangan muda."


"Kami jadi teringat masa muda kami dulu. Maaf kalo kami mengganggu penumpang di belakang."


Lelaki tua berjaket mahal itu juga tersenyum malu-malu.


Sementara aku masih memikirkan jawaban apa yang sebaiknya ku berikan, Ayaka sudah lebih dulu membuka mulut.


"Aku sangat senang menerima perawatan seperti itu segera setelah aku tiba. Tempat ini benar-benar terasa istimewa, ya, kota onsen ini."


Ayaka tidak membantah ketika kami disebut sebagai pasangan.


Hal itu sedikit membuatku terkejut, tapi aku bisa memahaminya.


Kalo harus mengambil resiko dengan meluruskan kalo kami hanya teman, yang mungkin akan merusak suasana pembicaraan, lebih baik membiarkan percakapan mengalir apa adanya agar semuanya tetap terasa nyaman.


Mendengar kata-kata Ayaka, nenek itu mengangguk dengan wajah senang.


"Benar sekali. Kami sendiri sudah 4 kali ke sini. Tempat ini seperti merangkum semua keindahan Jepang dalam satu lokasi, benar-benar tempat yang mewah."


Saat nenek itu hendak melanjutkan pembicaraannya, kakek di sampingnya tersenyum masam.


"Sudahlah, Bu, jangan terlalu lama mengambil waktu mereka. Tidak seperti kita, waktu anak muda itu sangat berharga. Kita yang waktunya sudah tak banyak ini tak boleh menghalangi langkah mereka."


"Ah, memang itu yang kupikirkan. Tapi, bukankah waktu kita juga berharga? Justru karena sisa hidup kita tinggal sedikit."


Mendengar kata-kata nenek itu membuat kakek itu juga tertawa dan berkata, "Benar sekali."


Percakapan mereka membuatku merasa seolah-olah di antara keduanya mengalir waktu yang tak mampu kubayangkan. Hubungan dan kehangatan yang hanya bisa dimiliki oleh mereka yang telah lama bersama.


Setelah itu, pasangan lansia tersebut membungkuk ringan bersama.


"Kalo begitu, nikmatilah perjalanan kalian. Semoga kalian selalu bahagia."


"Ah, terima kasih banyak."  


Aku dan Ayaka lalu membungkuk bersama.


Pasangan lansia itu kemudian berjalan perlahan menuju penginapan mereka.


Dalam perjalanan, momen-momen seperti ini memang salah satu hal baik tentang perjalanan. Tapi, itulah salah satu keindahan dari perjalanan. 


Bertemu dengan pasangan lansia itu di awal perjalanan membuatku merasa bahwa perjalanan ini akan membawa keberuntungan.


"Aku berharap aku bisa menjadi seperti itu."


"....Hah!?"


Aku terkejut mendengar gumaman yang datang dari sampingku dan tanpa sadar aku meninggikan suaraku.


Ayaka menatapku dengan ekspresi seperti bertanya, "Ada apa?" tapi kemudian sepertinya dia sadar dan wajahnya memerah.


"Bu-bukan, maksudku itu bukan denganmu atau semacamnya!"


Ayaka, yang biasanya tenang, kali ini terlihat cukup gelisah.


Melihat seseorang yang lebih gelisah dariku, secara alami aku menjadi lebih tenang.


Ketika gumaman itu terdengar, aku sempat merasa ragu—apa mungkin ada alasan lain kenapa dia tidak langsung menyangkal kalo kami adalah pasangan?


Tapi, saat dia berusaha menjaga ekspresi tenangnya, keraguanku pun lenyap begitu saja.


"Aku mengerti," kataku, dan Ayaka menatapku dengan tajam.


Sebenarnya, aku benar-benar salah paham, tapu entah kenapa aku yakin Ayaka yang gelisah ini tidak akan menyadarinya.


Apa Shinohara juga sebenarnya bercanda seperti ini denganku? Aku tidak tahu cara untuk memastikan, tapi entah kenapa aku merasa begitu.


"Apa sih, sok tahu banget..."


Ayaka menoleh dengan cepat, lalu menarik napas panjang.


Ketika dia menatapku lagi, ekspresinya sudah kembali seperti biasa.


Tapu, aku bisa tahu kalo ekspresi itu hanya usahanya untuk menyembunyikan perasaan, karena telinganya yang merah.


"Ayo, kita pergi."


"Setelah berpisah, kita harus mengejar pasangan itu. Rasanya agak canggung, kan? Lebih baik kita santai sebentar lagi di sini."


"...Ya, itu juga benar."


Aku berhenti sejenak dan menatap langit.


Meskipun sudah musim semi, udara masih terasa cukup dingin.


Langit biru yang jernih seolah menyambut kedatangan kami.


"Syukurlah cuacanya cerah."


Aku berkata begitu, dan Ayaka mengangguk.


"Acara sebenarnya baru dimulai nanti malam, saat makanan dan sebagainya disajikan. Tapi ya, memang lebih baik kalau cuacanya cerah."


Ayaka juga menatap langit. Melihatnya menyipitkan mata karena silau, aku merasa sedikit tersenyum.


Aku mendengar suara bus yang mulai bergerak di belakang.


Bus yang membawa kami dari kota, merupakan satu-satunya sarana transportasi yang menghubungkan ruang mewah ini dengan dunia luar.


Kami berada di tempat yang terpisah jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota.


Fakta itu membuat suasana hatiku menjadi lebih ceria.


★★★


Ryokan ini jauh lebih indah daripada yang aku bayangkan.


Lobi untuk check-in terbuat dari kayu yang mengingatkan pada arsitektur tradisional Jepang, tapi ada juga sentuhan suasana Eropa yang samar.


Dengan keseimbangan yang sempurna antara elemen Jepang dan Barat, aku dan Ayaka terpesona sejenak oleh ruang ini.


Kemudian, kamar tempat kami menginap adalah──


"Luasan sekali, ya!"


Untuk 2 orang yang menginap, kamarnya jauh lebih luas dari yang dibutuhkan.


Ruang tatami dan beranda terpisah, seperti pada umumnya, tapi dengan skala yang jauh lebih besar.


"Tempat untuk bersantai dan kamar tidur dipisahkan, ya... Hmm, dan yang paling penting, pemandian terbuka ada di lantai satu."


"....Kamar ini keren sekali."


Tanpa sengaja aku mengeluarkan suara kagum.


Kamar ini adalah kamar 2 lantai.


Lantai 1 memiliki kamar mandi, sementara kamar tidur berada di lantai 2. Tentu saja, ini adalah kamar mandi pribadi untuk tamu yang menginap di kamar tersebut, jadi hanya mereka yang bisa menggunakannya.


Lantai 1 memiliki teras terbuka yang luas, dan dari dalam kamar mandi, kami bisa melihat langit dengan jelas.


"Kamar seperti ini pasti sering digunakan untuk syuting. Sepertinya selebriti juga sering menginap di sini."


Pikiran jujurku terucap begitu saja.


Sedikit demi sedikit, aku mulai mengerti perasaan orang-orang yang memposting foto perjalanan mereka di SNS. Memang, tempat seperti ini memang membuat seseorang ingin membanggakannya.


Tapu, munculnya pemikiran seperti itu di sini juga menunjukkan kalo aku tidak terbiasa dengan tempat-tempat seperti ini. Sebenarnya, aku memang tidak terbiasa, tapi aku merasa agak kesal jika harus mengakuinya, jadi aku menyembunyikan Hp yang sempat aku keluarkan dari saku.


Saat turun tangga, aku tiba di ruang ganti.


Meski sekarang tidak terlihat karena terhalang sekat, di balik ruang ganti sepertinya ada pemandian terbuka yang luas.


Ayaka yang sudah sampai lebih dulu di ruang ganti terlihat sedang membaca sesuatu.


Ketika aku mengintip, dia sepertinya sedang memeriksa spesifikasi pemandian terbuka tersebut.


"Eh, batu Mikage... Pantas saja terasa mewah."


"Aku cuma pernah dengar tentang itu. Apa batu seperti itu hanya digunakan di tempat-tempat semacam ini?"


"Aku tidak tahu soal itu."


"Apa tadi gumamanmu itu...?"


Aku mengatakannya dengan kebingungan, dan Ayaka tertawa ringan.


"Di tempat mewah seperti ini, kalo kita berpura-pura kagum dengan nada yang seolah-olah paham, itu tidak akan salah."


"Pura-pura kagum... tidak salah begitu?"


"Selama kau tidak terlalu banyak bertanya, tidak ada yang akan terbongkar."


Ayaka cemberut dan melangkah masuk ke ruang pemandian.


Di dalam ruangan terdapat pemandian dalam ruangan, dan di luar ada pemandian terbuka.


Ke-2 pemandian ini adalah area khusus untuk tamu yang menginap di kamar ini.


Pemandian dalam ruangan masih kosong, tapi aku bisa melihat kalo luasnya cukup untuk berenang.


"Ini terlalu luas untuk seorang diri."


Aku mengatakannya pelan, dan Ayaka mengangguk setuju.


"Benar. Tapi, mandi sendirian di tempat seluas ini juga agak mewah, kan?"


"Ya, memang. Mandi sendirian di onsen, itu cukup jarang."


"Betul sekali. Aku selalu ingin sekali mencoba berendam di tengah-tengah kolam yang luas seperti ini."


Mungkin itu memang akan memberikan sensasi kebebasan yang menyenangkan.


Aku teringat masa kecilku, ketika aku pernah berenang gaya bebas di pemandian umum yang sepi. Pada waktu itu, aku sama sekali tidak memikirkan untuk memperhatikan orang lain, tapu sekarang berbeda. 


Aku pikir aku sudah tidak akan pernah melakukan hal seperti itu lagi seumur hidup, tapi di sini, aku rasa aku tidak akan mengganggu siapa pun.


".....Kau sedang memikirkan hal aneh, kan?"


"Ya, aku sempat berpikir ingin berenang gaya bebas."


Aku mengatakannya dengan jujur, dan Ayaka menunjukkan ekspresi terkejut, seolah-olah wajahnya bertanya, Apa kau masih waras?


"Aku hanya ingin melakukanya saja, aku tidak akan melakukannya."


"Siapa tahu...Kau kan kadang-kadang aneh."


"Kasar sekali!"


Tentu saja, aku tidak akan berenang gaya bebas di tempat mewah seperti ini. Hanya saja, sedikit kenangan masa kecilku muncul kembali.


Aku lalu mengikuti Ayaka keluar, dan cahaya matahari yang menyilaukan memantul dari pemandian terbuka.


Ayaka meregangkan tubuhnya dan menghirup udara dalam-dalam.


"Ahh, rasanya sangat menyegarkan. Tidak sia-sia aku datang ke sini."


"Padahal kita belum melakukan apa-apa sejak tadi."


"Ah, kau ini, selalu saja mengatakan hal seperti itu. Cobalah sedikit menyesuaikan diri."


Ayaka menambah dengan ekspresi terkejut, "Kau akan kesulitan di masa depan."


Menyesuaikan perkataan dengan pendapat orang lain. Ini adalah keterampilan yang sangat diperlukan untuk bertahan dalam kehidupan di dunia ini. Hal itu berlaku bahkan di antara sesama pelajar.


Ada banyak situasi dalam hidup di mana lebih menguntungkan untuk setuju meskipun kita tidak sependapat. Kita pasti akan menemui hal seperti itu berkali-kali.


Menurut ku, cara hidup yang bijak adalah dengan memilih waktu yang tepat untuk berbicara. Ayaka bisa melakukan itu dengan baik.


Setiap orang lebih suka berada bersama seseorang yang setuju dengan apa yang mereka nikmati, daripada dengan orang yang selalu menentang.


Tapi, itu hanya berlaku hingga kedekatan kita mencapai tahap tertentu.


"Tidak masalah, kita kan sudah saling mengenal."


"Aku sih tidak masalah... Oh, kalo begitu, tidak apa-apa. Lagipula hari ini hanya kita berdua saja."


"Betul."


Kalo ada orang lain selain Ayaka, aku akan berbicara dengan lebih berhati-hati. Aku juga tetap menjaga etika ketika berbicara dengan Ayaka.


Tapi, kalo aku tidak mengatakan apa yang sebenarnya aku pikirkan ketika hanya ber-2 dengan Ayaka, kapan lagi aku bisa mengungkapkan pendapat ku?


Dalam hidup, kita memang memerlukan seseorang yang bisa diajak berbicara dengan jujur.


Dan bagi ku, orang itu tidak pernah berubah sejak masa SMA.


"Ayo, hari ini kita santai saja."


"Ya."


Ayaka tersenyum dengan lembut dan kembali ke dalam ruangan.


Aku pun menatap pemandian terbuka untuk terakhir kalinya, lalu mengikuti Ayaka masuk.


Tepat sebelum aku masuk ke dalam, aku merasakan angin lembut menyentuh kulit ku.


★★★


Desiran daun yang tertiup angin musim semi memberikan suara yang nyaman di telinga.


Aku bisa mendengar suara dentingan sandal geta datang dari sekitarku.


Suara sandal geta yang terdengar di jalanan berbatu itu membuatku, yang masih muda, merasakan budaya Jepang dengan kuat.


Hanya dengan melihat gambar atau video, kita tidak bisa merasakan keindahan dan suasana seperti ini dengan kulit kita.


Saat menoleh ke sekitar, toko-toko yang ramai menarik perhatian di jalan utama. Tapi, di gang-gang kecil, ada juga restoran tradisional yang bahkan sulit untuk menilai apa sedang buka atau tidak. Setiap kali berjalan, pemandangan yang berbeda selalu muncul di pandanganku.


Seperti halnya ryokan mewah yang tadi, kota onsen benar-benar memiliki suasana yang luar biasa.


Beberapa menit setelah kami memasuki kota onsen, Ayaka mulai berbicara sambil melihat topeng-topeng tradisional yang dipajang di depan toko.


"Aku benar-benar suka suasana di sini. Banyak A anak muda di sini, tapi mereka semua sopan."


"Setuju. Benar sekali."


Tidak bisa dipungkiri, salah satu hal yang membuatku senang adalah tidak ada pelajar yang sedang memutar-mutar hp dengan tongkat selfie.


Kalo ini adalah tempat yang sering dikunjungi oleh anak muda, mungkin ceritanya berbeda, tapi di kota onsen seperti ini, itu terasa sangat tidak cocok.


"Meski begitu, aku paham sih perasaan mereka. Kalo ini diposting di SNS, pasti itu akan mendapatkan banyak reaksi." 


Ayaka mengungkapkan perasaan yang sama seperti yang aku rasakan sebelumnya di ryokan, dan aku hanya bisa tersenyum.


Ada beberapa kesamaan dalam perasaan kami, dan itu tidak hanya berlaku untuk Shinohara, Ayaka pun juga sama. Sebetulnya, rasanya sulit untuk berteman dengan orang yang tidak memiliki kesamaan perasaan sedikit pun.


"Bagaimana denganmu, apa kau ingin mengambil foto?"


Ayaka bertanya sambil menggulung lengan sweternya.


Meski udara terasa dingin, musimnya adalah bulan Maret. Begitu matahari terbit, rasanya hangat.


"Aku juga berpikir seperti itu di ryokan tadi. Tapi aku menahan diri."


"Begitu ya. Tapi kalo di dalam kamar, menurutku tidak masalah sih."


"Hmm... Tapi rasanya seperti pamer, jadi aku merasa tidak enak."


Aku mengatakan itu, dan Ayaka tersenyum ringan.


"Kalo aku sih, ketika melihat teman pergi ke tempat seperti itu, aku bisa merasa seolah-olah ikut menikmati suasana secara tidak langsung."


"Kalo semua orang berpikir seperti itu, aku juga bisa dengan ringan membagikan foto itu."


Karena aku memang tidak sering mengunggah foto, aku jadi terlalu memikirkannya.


Kalo aku seperti Shinohara yang sering mengunggah foto sehari-hari, mungkin orang yang melihat foto-foto seperti foto pemandian air panas hari ini akan menanggapinya dengan cara yang lebih wajar.


Tapi, kali seseorang seperti ku yang jarang mengunggah foto tiba-tiba mempostingnya, aku khawatir orang akan berpikir macam-macam.


Saat aku mengungkapkan pikiran itu, Ayaka akhirnya benar-benar tertawa terbahak-bahak.


"Ahahaha, kau benar-benar berpikir terlalu jauh! Pada saat seperti ini, ketidakmampuanmu untuk melihat dirimu sendiri dengan objektif memang sangat khas darimu."


"Berisik, tinggalkan aku sendiri."


Kata-kata itu terasa seperti menunjukkan 'Aku sedang kesal', yang membuatku semakin merasa malu.


Aku sama sekali tidak tahu bagian mana yang membuatnya tertawa, tapi Ayaka terus tersenyum kecil.


Setelah tawa itu akhirnya mereda, Ayaka menepuk lenganku dengan keras.


"Tenang saja, tidak masalah kok. Bahkan, bagaimana kalo aku mengunggah foto di ryokan yang menampilkan diriku?"


"Bodoh, itu malah bisa jadi masalah besar."


Ayaka sudah memiliki tingkat popularitas yang cukup tinggi di dalam jurusan kampus, hampir bisa dibilang dia adalah seorang selebriti kecil. Mengunggah foto yang terkesan hanya berdua dengannya di ryokan pasti akan memicu reaksi negatif.


Bukan aku, melainkan Ayaka yang akan terkena dampaknya.


Kalo memang kami berpacaran itu tidak akan ada masalah, tapi karena kenyataannya tidak begitu, statusnya sebagai seseorang yang memiliki citra baik akan tercoreng.


Sebagai seseorang yang mengenal Ayaka secara langsung, aku merasa ada ketidakcocokan, tapi di kampus, Ayaka dikenal dengan citra yang sangat bersih dan sempurna.


Citra yang Ayaka bangun dengan kerja keras ini, aku tidak bisa begitu saja merusaknya.


"Apa yang kau katakan, sih? Kau kan tidak akan terkena dampaknya. Akulah yang akan kena dampaknya."


"Itulah kenapa tidak boleh begitu."


Ayaka terkejut mendengar kata-kataku yang keluar begitu saja.


Ketika mata kami bertemu, Ayaka batuk kecil untuk membersihkan tenggorokannya.


"Kau sering sekali serius memikirkan hal-hal yang tidak perlu, ya... Aku ingin tahu apa kau menginginkan aksesori lain seperti kotak kunci?"


"Yah, aku ingin!"


"Harusnya kau menolaknya di saat seperti ini..."


Ayaka menghembuskan napas dengan ekspresi jengkel di wajahnya.


Mungkin dia menginginkan jawaban seperti, "Aku tidak berniat seperti itu."


Aku menyesali kata-kata bodoh dan jujur ​​yang baru saja ki ucapkan.


Tapi, mau bagaimana lagi kan?


Pada hari kami pergi membeli hadiah ulang tahun untuk Shinohara, di mal tempat aku bertemu kembali dengan Reina.


Kotak kunci yang aku terima saat itu, kini telah menjadi barang favoritku.


★★★


Angin yang terasa agak dingin menandakan kalo matahari mulai terbenam.


Langit terlihat mendung, dan cahaya hangat yang lembut menyinari permukaan bumi.


Sambil berjalan perlahan menyusuri kota pemandian yang perlahan berubah menjadi malam, aku merasakan pandangan dari orang-orang di sekitar.


Alasannya jelas, yaitu Ayaka yang mengenakan yukata.


Penampilannya dengan yukata putih yang dipadukan dengan haori berwarna biru ungu sangat cocok, bahkan aku yang mengenalnya pun terkejut melihat betapa cocoknya dia mengenakan pakaian itu.


Ayaka menyematkan kanzashi di rambut yang diikatnya, dan aura elegan terasa memancar dari tengkuknya yang terlihat.

"Aku senang bisa mengganti pakaianku. Berjalan-jalan di kota sumber air panas dengan mengenakan yukata membuatku merasa sangat nyaman." 


Ayaka mengatakan itu dengan gembira, tanpa memperhatikan pandangan orang-orang di sekitarnya, sambil melangkah dengan suara geta yang nyaring.


"Kau juga terlihat cocok mengenakan itu."  


Ayaka berkata begitu sambil melihat ke arahku.


Aku hanya menjawab singkat, "Terima kasih", dan mengalihkan pandanganku. Saat ini, Ayaka benar-benar memberikan kesan yang kuat.


Ayaka-lah yang pertama kali mengusulkan untuk berjalan-jalan di kota onsen dengan yukata.


Mungkin dia terinspirasi oleh banyaknya orang yang mengenakan yukata di sekitar kami.


Kami ber-2 tidak membawa yukata, tapi di tempat seperti ini, biasanya pihak penginapan menyediakan yukata untuk dipakai.


Kembali ke penginapan hanya untuk berganti pakaian terasa sedikit merepotkan, tapi karena Ayaka menarik tanganku dengan penuh semangat, aku tidak bisa menolak.


Dengan enggan aku memilih yukata standar berwarna biru tua, ketika kami kembali berjalan di kota onsen, aku mulai mengerti kenapa Ayaka merasa begitu senang.


Hanya dengan mengganti pakaian, aku merasa seolah-olah telah menyatu dengan kota pemandian ini.


Karena kesempatan untuk mengenakan geta juga jarang, aku merasa cukup bersyukur telah dibawa oleh Ayaka.


"Jangan malu-malu. Kau benar-benar terlihat cocok, jadi itu pilihan yang cukup bagus."


"Warnanya sangat biasa, kan? ...Tapi, kau juga cocok dengan yukata itu dan kanzashi-mu. Itu bagus,"  


"Ahaha, terima kasih. Aneh rasanya kalau dipuji olehmu,"  


Cara dia tertawa yang biasanya terlihat kasar, terlihat anggun dalam balutan yukata, dan membuat hatiku berdebar-debar.


Aku pikir aku akan menjadi gila kalo terus seperti ini, jadi aku pergi ke toko suvenir.


"Apa kau mau membeli sesuatu? Atau, apa kau akan membelikan aku sesuatu?"


"Aku akan membeli sesuatu, dan aku juga akan membelikanmu sesuatu."


Yang kupilih adalah topeng tradisional yang tadi aku lihat. Setelah membeli 2 topeng rubah dengan warna berbeda, aku memberikan salah satunya pada Ayaka.


"Apa ini?"


"Topeng."


"Tentu saja aku tahu itu dari melihatnya. Tapi kenapa?"


"Karena ini membuatku deg-degan."


"Hah?"


Melihat ekspresi Ayaka yang bingung, aku tidak peduli dan langsung mengenakan topeng rubahku sendiri.


"Lihat, pasanganmu sudah memakai topeng. Kalo begitu, kau juga harus memakainya."


Kalo orang yang berjalan di samping kita mengenakan topeng rubah, orang yang tidak mengenakannya pasti akan merasa canggung. Lebih baik memakai topeng rubah bersama-sama.


"Baiklah, kalo begitu, akan aku pakai. Tidak ada pilihan lain..."


Dengan sedikit kebingungan, Ayaka akhirnya mengenakan topeng rubahnya. Topeng rubah berwarna merah muda itu terlihat sangat cocok dengan haori berwarna ungu muda yang dikenakannya.


Begitu kami keluar dari toko dengan mengenakan topeng rubah, aku merasa pandangan dari orang-orang di sekitar kami menjadi berkurang.


Di sekitar kami, ada juga beberapa orang yang mengenakan topeng, jadi kami tidak lagi terlihat aneh.


Meskipun bagi Ayaka itu mungkin bukan pilihan yang dia inginkan, bagi ku ini adalah langkah yang cerdas, karena sekarang aku tidak perlu khawatir tentang pandangan orang lain atau bahkan pandang Ayaka. Ini benar-benar seperti mendapatkan 2 keuntungan sekaligus.


"Topeng ini agak sulit untuk bernapas, tapi aku merasa bersemangat untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Sayang sekali aku tidak bisa berlari seperti saat aku masih kecil." 


Sepertinya dia benar-benar menikmati momen ini lebih dari yang aku duga.


Ayaka tetap mengenakan topeng rubah, lalu melanjutkan untuk mencari oleh-oleh di toko lain.


Mungkin ini lebih menguntungkan daripada yang aku kira.


"......Sesak."


Aku tidak bisa tahan dengan rasa sesak itu, jadi aku akhirnya melepas topeng rubahku.


Meskipun aku yang mengusulkan untuk mengenakan topeng, rasanya sangat memalukan.


"Hmm?"


Tiba-tiba, aku merasa kalo pandangan orang-orang di sekitar kami terfokus pada satu titik. Aku pun mengikuti pandangan mereka.


Tapi, aku tidak bisa langsung mengetahui apa yang mereka lihat, jadi aku memutuskan untuk mendekat.


Setelah beberapa langkah, aku akhirnya menemukan jawabannya.


Di tempat itu, ada seorang wanita mengenakan yukata merah.


Dia sangat cantik, dan yukata yang dikenakannya menambah daya tariknya yang sedikit memancarkan pesona.


Tidak mengherankan kalo orang-orang yang lewat berbalik untuk melihatnya.


Tapi, yang lebih mengejutkan lagi adalah...


"──Um, Senpai?"


Ternyata gadis itu adalah Kouhai-ku yang nakal.


★★★


"Kebetulan sekali, Senpai!"


Shinohara melambai dan berlari ke arahku.


Orang-orang di sekitar melihat pemandangan itu dengan senyum kecil sambil melintas.


Di kampus, situasi seperti ini pasti akan menarik banyak pandangan cemburu, tapi mungkin karena ini adalah daerah pemandian air panas, suasana di sini agak berbeda.


Di tempat ini yang mayoritas dihuni oleh keluarga dan pasangan dewasa, mungkin sedikit orang yang merasa seperti itu.


──Tapi, lebih penting dari itu.


"Kau bilang ini kebetulan...?"


Aku teringat saat dia masuk dengan ekspresi yang hampir sama ketika pertemuan kelompok pada malam Natal.


Setelah beberapa bulan berlalu, aku seharusnya merasa lebih emosional, tapi yang lebih penting sekarang adalah membawa Shinohara pergi dari sini.


Mengenai alasan dia ada di sini, itu bisa ditanyakan nanti.


"Ayo ikut."


"Waah."


Aku menggenggam tangannya dan mulai berjalan ke arah berlawanan dengan toko tempat Ayaka masuk.


Mempertemukan mereka berdua akan menjadi masalah. Aku tidak ingin berdiri di antara mereka yang jelas-jelas bingung harus bereaksi bagaimana.


Hanya dengan berjalan beberapa puluh detik, gang yang tadi kami lalui sudah tidak terlihat, dan kami sampai di gang sempit yang sepi.


Cahaya senja yang lemah perlahan memudar.


"Se-Senpai, membawa ku ke tempat sepi seperti ini tanpa peringatan...♪"


"Diam, kenapa kau ada di sini?"


Aku membalas perkataan yang diucapkan dengan suara manja itu dengan tegas, dan Shinohara pun merengut, memperbesar lubang hidungnya.


"Kau kan bilang ini kebetulan, jadi memang kebetulan, kan?"


"Ngomong-ngomong, minggu lalu kau melihat brosur tentang daerah pemandian air panas ini, kan? Itu kan?"


Seminggu yang lalu, Shinohara sempat mengintip brosur yang sedang kubaca. Berdasarkan timing-nya, alasan Shinohara ada di sini hampir pasti karena brosur itu.


"Yah, begitulah. Soalnya kota onsen yang ada di brosur itu memang sangat menarik."


"Memang benar. Kalo memang ingin ikut, bilang saja." 


Shinohara menghela nafas dan tertegun sejenak.


Kemudian, dia menggelengkan kepala, "Tidak, tidak."


"Bukan begitu. Pertemuan kita hari ini benar-benar kebetulan. Aku datang ke sini dengan orang lain." 


"Hah?"


Aku tanpa sadar mengeluarkan suara yang konyol.


Melihat ekspresi Shinohara, aku tidak merasa dia sedang berbohong, jadi aku pun mengambil napas dalam-dalam.


"Kenapa kau mengambil napas dalam?"  


"Diam saja, tunggu dulu."


Setelah dipikir-pikir, dari brosur hanya bisa diketahui lokasinya, sedangkan tanggal keberangkatanku tidak tercantum di sana.


Karena aku tidak memberi tahu Shinohara dengan rinci kapan aku akan datang, bisa jadi kehadirannya di sini hari ini memang kebetulan.


Kalo begitu, pernyataanku barusan hanya akan terdengar konyol.


"...Aku tidak tenang. Maafkan aku."


Ternyata ini memang benar-benar kebetulan.


Aku menyimpulkan begi dan meminta maaf.


"Yah, sebenarnya aku sempat berpikir akan menyenangkan kalo Senpai ada di sini, tapi ternyata Senpai benar-benar ada di sini. Ini pasti takdir, tali merah jodoh!"


"Ya, ya, terima kasih."


"Moo, kenapa langsung diabaikan seperti itu?"


Shinohara merengut dan mengeluh.


Aku menahan dorongan untuk mengatakan kalo aku bereaksi, dia akan memberikan ekspresi yang canggung, meskipun aku sebenarnya ingin sekali mengatakannya.


"Lalu, Shinohara kau datang dengan siapa?"


"Pertanyaan yang bagus. Kalo tidak ada yang bertanya, aku sempat berpikir apa yang harus aku lakukan."


"Jangan bilang kalo aku akan dibunuh?"


"Sepertinya aku hanya bisa 'membunuh' mu secara sosial~."


"Itu malah yang paling menakutkan!"


Shinohara tertawa.


Karena dia bisa berbicara dengan nada ringan seperti itu, kemungkinan besar orang yang datang bersamanya adalah teman-teman dari fakultas.


"Bu-bu-bu."  


Shinohara seolah-olah bisa membaca pikiranku, dia lalu menyilangkan jari telunjuknya di depan mulutnya.


"Jawabannya adalah, dengan teman kerja paruh waktu ku!"


"Bagaimana kau bisa tahu apa yang sedang aku pikirkan...?"


Meskipun hubungan kami baru beberapa bulan, kedekatannya sangat intens.


Pada hari-hari yang biasanya aku habiskan sendirian, Shinohara seringkali datang dan berlama-lama di rumah, jadi wajar saja kalo dia bisa menangkap apa yang ada di pikiranku.


Mungkin ini adalah saat di mana aku mulai bisa merasakan apa yang sedang dipikirkan oleh orang lain.


"Jadi, kau akhirnya mendapatkan kontak dari teman kerja paruh waktu yang dekat denganmu, ya? Itu bagus."


"Wow, kau bisa langsung mengerti hanya dengan aku mengatakan itu. Sepertinya kita saling mengerti tanpa kata-kata, ya?"


Beberapa hari yang lalu, Shinohara terlihat kecewa karena tidak bisa mendapatkan kontak dari teman kerja paruh waktunya. Meskipun hal itu tidak mengherankan, aku merasa tidak perlu mengatakannya, jadi aku hanya mengangguk dan berkata, "Iya."


Shinohara mengangguk puas, lalu membuka mulut dengan senyuman.


"Saat aku datang untuk mengembalikan seragam di tempat kerja, kebetulan kami bertemu. Aku benar-benar beruntung belakangan ini. Aku ingin membagikan keberuntungan ini pada Senpai."


"Aku sih sebenarnya ingin mendapatkan bagian dari keberuntungan itu. Tapi, kalo begitu, bukankah kita harus segera bertemu dengan yang lain?"


Ayaka mungkin sudah mulai mencari-cari ku.


Untungnya, mereka tiba tepat saat sudah malam, dan begitu mereka memasuki penginapan, kami tidak akan bertemu satu sama lain, jadi merupakan keputusan bijak untuk berpisah sekarang.


"Tapi, Senpai yang membawa ku ke sini..."


Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi.


Aku menyadari kalo aku yang terburu-buru membawa Shinohara ke sini, jadi aku pun menggaruk kepalaku.


"Maaf. Tolong sampaikan permintaan maafku juga pada teman kerja paruh waktumu."


"Baik, kalo begitu, apa kita harus berpisah di sini?"


"Hah?"


Aku kembali mengeluarkan suara bingung.


Aku sudah memberi tahu Shinohara sebelumnya kalo aku pergi ke perjalanan pemandian air panas bersama teman-teman laki-laki ku.


Karena itu, aku sempat khawatir dia akan tiba-tiba ikut bergabung dengan kelompok kami seperti yang pernah terjadi di kegiatan klub sebelumnya.


Tapi, sepertinya Shinohara bisa membaca ekspresiku dan memberikan senyum canggung.


"Apa yang kau pikirkan tentang aku? Aki tidak akan memaksa diri untuk ikut bergabung dengan kelompok Senpai. Ini kan beda dengan kegiatan klub, hari ini benar-benar urusan pribadi."


"Wow, itu jarang... "


Kata-kata itu terucap tanpa sengaja, dan Shinohara pun mengerucutkan bibirnya.


"Bukan jarang, ini sebenarnya cara ku beroperasi yang biasa! ...Mungkin!"


"Kenapa kau terlihat ragu?"


Aku tidak bisa menahan tawa melihat Kouhai-ku yang langsung membalikkan situasi. Memang dia tipe orang yang ekspresif, penuh dengan berbagai emosi.


Kouhai-ku, yang selalu mengungkapkan perasaannya dengan jujur, memang tidak pernah membuat percakapan menjadi membosankan.


"Karena kan, akal sehat itu bisa berbeda-beda tergantung orangnya. Jadi, aku tidak bisa mengatakan itu dengan pasti."


Shinohara mengerucutkan bibir, mungkin teringat bagaimana dia sering menghabiskan waktu di apartemen ku.


Itu memang hanya kecemasan yang tidak perlu.


Bagi seorang mahasiswa yang tinggal sendiri, memiliki seseorang yang bisa membantu pekerjaan rumah tangga adalah sesuatu yang sangat diinginkan.


"Selain itu, kau juga yang masak makanan, kan? Jadi, tidak masalah."


Begitu aku berkata begitu, mata Shinohara pun bersinar.


"Benar juga, kalo Senpai bilang begitu, berarti itu tidak perlu dipikirkan lagi!"


...Meskipun kesimpulannya tidak salah, aku merasa ingin membantahnya karena dia begitu cepat membuat keputusan.


Aku memutar bahu ku dan berkata, "Nah, kalo begitu, kita berpisah di sini, ya?"


Mendengar itu, Shinohara mengernyitkan alisnya.


"Berpisah sih boleh saja, tapi sebentar, Senpai."


"Hm?"


"...Aku sudah menunggu sejak tadi."


Shinohara yang terlihat bingung, lalu menabrakkan kotak kecil ke paha kananku.


"Yukata, lho! Seberapa tidak responsif sih kau!"


"Ah."


Pada awalnya, aku terpesona oleh penampilan Shinohara yang menawan dengan yukata yang elegan, tapi lama-kelamaan aku malah tidak bisa fokus pada itu.


Akhirnya, aku menatapnya dengan seksama.


".....Bagaimana?"


Shinohara menatapku dengan tatapan yang lembut..


Aku mengalihkan pandanganku dan memberikan komentarku.


".....Cantik sekali."


"Ahaha. Senpai, kau buruk sekali dalam menyembunyikan rasa malumu, ya."


Shinohara menutup mulutnya dengan tangannya dan tertawa.


Aku sebenarnya tidak merasa kesulitan untuk memuji orang lain, tapi ketika diminta secara langsung seperti ini, rasa malu tak bisa dihindari.


"Jadi, Senpai, sampai jumpa lagi."


"Yup."


Setelah mendengar jawabanku, Shinohara tersenyum lebar dan dengan ceria melangkah cepat, menabuhkan geta-nya kembali ke jalan utama.


Aku bersandar pada dinding sambil memandangi punggungnya yang semakin menjauh, berusaha memastikan kalo tidak ada yang menghalangi pandanganku.


Dinding tersebut terlihat bersih, jadi yukata-nya seharusnya tidak akan kotor.


...Ngomong-ngomong, aku juga mengenakan yukata, tapi dia tidak memberikan komentar apapun.


"Sungguh, hanya aku yang diminta memberi komentar..."


Meskipun sebenarnya tidak diminta, kenyataan kalo hanya aku yang diminta memberikan komentar sedikit membuatku kesal.


Aku memandang dengan cemburu pada punggungnya yang semakin menjauh.


Kemudian, aku melihat yukata berwarna merah cemerlang milik Shinohara berpapasan dengan sosok berpakaian yukata dengan topeng rubah. Refleks, aku langsung membetulkan posisi tubuhku.


".....Hampir saja."


Sosok dengan yukata merah itu berjalan tanpa menyadari siapa yang ada di balik topeng rubah, dan terus pergi.


Sosok berpakaian yukata dengan topeng rubah itu sepertinya terpaku pada punggung yang sedang menjauh, meskipun ekspresinya tertutup oleh topeng rubah.


Tak lama setelah itu, Ayaka yang mengenakan topeng rubah mendekat dan berkata kepadaku.


"──Kau ini, selalu sial, ya?"


Setelah mengatakan itu, Ayaka melepas topeng rubahnya dengan ekspresi yang terlihat seperti sudah menyerah.


Aku hanya bisa tersenyum canggung dan mengangguk, "Mungkin."


Baru saja aku menerima keberuntungan dari Shinohara, jadi aku hanya bisa menunggu untuk melihat apakah itu akan membawa dampak.


Aku dan Ayaka kemudian mengenakan topeng rubah kami lagi dan melanjutkan langkah menuju penginapan pemandian air panas.


Dari sudut pandang yang sempit, aku melihat cahaya lentera berkelip-kelip.


★★★


"Kalo begitu, aku mau pergi ke kamar mandi."


Beberapa puluh menit setelah kembali ke penginapan, Ayaka berkata begitu sambil meremas kantong kue teh yang sudah kosong.


"Yup, hati-hati."


Aku menjawab sambil meraih kue teh ke-3.


Minum teh hangat sedikit demi sedikit sambil menikmati kue teh adalah salah satu kenikmatan yang bisa dirasakan di penginapan pemandian air panas.


Melihat aku mengunyah kue teh, Ayaka mengangkat bahunya.


"Apa kau tidak makan terlalu banyak? Kalo kau makan sebanyak itu sebelum makan malam, nanti perutmu kenyang loh."


"Tidak masalah, nanti di pemandian aku akan berkeringat dan membakar kalori. Lagipula, kau juga makan dengan lahap, kan?"


Aku tahu makan malam akan segera diantar ke kamar, tapi di penginapan mewah, kue teh juga berkualitas tinggi. Jadi, tanganku sulit untuk berhenti.


"Aku makan untuk kesehatan. Sebelum masuk ke pemandian, aku harus makan sesuatu supaya perutku tidak kosong."


"Eh, bukankah sebaiknya menghindari berendam setelah makan langsung?"


Aku merasa pernah mendengar hal tersebut di program kesehatan.


Meskipun aku tidak ingat dengan jelas kapan dan di mana aku mendengarnya, terkadang pengetahuan seperti itu secara tidak sengaja tertanam dalam ingatan.


Mendengar pertanyaan samar yang aku lontarkan, Ayaka menggelengkan kepalanya.


"Itu hanya berlaku kalo kau makan sampai kenyang. Kalo hanya makan satu kue teh, itu justru bisa membantu menaikkan kadar gula darah dan melindungi keselamatanmu."


"Melindungi keselamatan? Kita kan masih muda."


"Apa kau tidak tahu? Kecelakaan yang terjadi di kamar mandi sekarang bahkan lebih banyak daripada kecelakaan lalu lintas."

 

"....Kamar mandi itu menakutkan."


Meskipun mandi adalah rutinitas yang tidak pernah aku lewatkan setiap hari, aku cukup terkejut mendengar kalo ada risiko sebesar itu.


Lagipula, ini adalah perjalanan pemandian air panas, dan aku tentu tidak ingin mengalami kejadian seperti itu.


"Kalo begitu, aku akan makan lebih banyak kue."


"Tunggu, aku baru saja bilang kalo kau makan terlalu banyak. Satu saja cukup!"


Dengan berkata begitu, Ayaka mengambil kue teh dari tanganku.


Lengan yukata-nya hampir menyentuh hidungku.


"Heh! Itu kan demi kesehatan!"


"Satu sudah cukup, kan? Kalo kau khawatir begitu, aku yang akan mengawasi mu!"


"Apa maksudmu──"


Aku hampir saja mengucapkan sesuatu dengan terburu-buru, tapi kata-kataku terhenti.


Apa yang sebenarnya dia katakan?


Saat aku terdiam, Ayaka menghela napas.


"Kan sudah kukatakan itu hanya bercanda."


"...Dasar, kau benar-benar mengejutkan ku!"


"Aku rasa yang salah itu orang yang sampai percaya."


"Ugh."


...Ya, sebenarnya itu memang benar.


Mungkin perasaan senang karena berada di penginapan pemandian air panas mewah membuatku menganggap candaan biasa sebagai sesuatu yang serius.


Aku tersenyum kecut atas candaan yang cukup membuat jantungku deg-degan.


"Yah, kalo dipikir-pikir dengan tenang, itu memang tidak mungkin. Oke, kalo begitu, nikmati saja pemandian air panasnya."


Mendengar kata-kata itu, Ayaka tersenyum dan berkata, "Aku tidak perlu disuruh," lalu menuruni tangga.


Aku mendengarkan langkah kakinya yang semakin menjauh sambil bersandar di daguku.


Di lantai satu, terdapat pemandian dalam ruangan dan pemandian luar ruangan yang hanya tersedia untuk tamu yang menginap di kamar ini.


Dan di antara pemandian dalam dan luar tersebut, ada sebuah pintu.


──Sejujurnya.


Kalo aku mengikuti Ayaka dan memasuki pemandian yang berbeda──aku tidak dapat menyangkal kalo hasrat yang secara alami dimiliki seorang pria akan terlintas dalam pikiranku.


Meskipun begitu, itu bukanlah pemandian campuran yang sepenuhnya terbuka.


Karena kami datang bersama untuk liburan pemandian air panas, mungkin saja itu bukan hal yang terlalu buruk, sebuah harapan yang masih ada dalam pikiranku.


"──Hah."


Aku meneguk teh yang masih mengepul dalam satu tegukan. Saya merasakan sakit yang membakar di tenggorokan, tapi setidaknya itu berhasil mengusir pikiran-pikiran buruk dari benakku.


Seandainya saja aku adalah pria biasa yang tidak mengenal Aika.


Fakta kalo kami ber-2 pergi berlibur ke pemandian air panas bersama, meskipun kami tidak berpacaran, mungkin bisa dijadikan alasan untuk membenarkan hal-hal semacam itu.


Nyatanya, ada pasangan yang merencanakan liburan bersama dan menghabiskan malam bersama sebelum akhirnya memulai hubungan mereka.


Tapi, kami bukan pasangan, dan rasanya tidak ada rencana untuk menjalin hubungan, mungkin tidak akan ada.


Beberapa temanku, termasuk Toudou, sering bertanya tentang hubungan ku dengan Ayaka.


Itu adalah bukti kalo orang-orang di sekitar kami menganggap ada jarak yang samar antara aku dan Ayaka, seolah-olah kami hampir berpacaran tapi tidak benar-benar menjalin hubungan.


Aku sering merasa tertekan karena merasa dilihat oleh orang lain, dan itu bukanlah perasaan yang hanya datang sekali atau dua kali.


Tapi, meskipun orang lain mungkin berpikir apa pun tentang hubungan kami, aku sangat menyukai hubunganku yang ada dengan Ayaka ini.


Aku tidak ingin merusak hubungan itu, apapun yang terjadi.


Itulah yang aku pikirkan, dan aku kira Ayaka juga berpikir begitu.


"Tapi, dalam situasi ini..."


Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.


Perjalanan ber-2 seperti ini adalah yang pertama kali terjadi dalam hubungan kami.


Aku tidak begitu mengerti apa yang ada dalam pikiran Ayaka ketika dia mengajakku. Ketika aku berpikir kembali dengan tenang, Ayaka mengajakku dengan ringan, dan aku menerimanya tanpa banyak berpikir.


Mungkin aku seharusnya lebih memikirkannya sebelum memberi jawaban.


Fakta kalo Ayaka mengajakku dengan percaya diri membuatku senang, tapi dia salah paham dalam satu hal.


Aku dan Ayaka memang teman dekat.


──Tapi, meskipun kami teman dekat.


Aku teringat akan penampilan Ayaka dalam yukata tadi.


Dengan cara mengenakan yukata yang elegan, ditambah dengan aura menggoda yang tercium dari tengkuknya yang terlihat.


Tidak mungkin aku tidak memikirkan apapun.


Menghadapi kecantikan yang tidak kalah dengan Shinohara, rasanya tidak mungkin kalo aku untuk tidak memikirkannya.


Aku tidak tahu apakah pikiran seperti ini akan mengkhianati kepercayaan Ayaka padaku. Itu adalah hal yang Ayaka yang harus menilai, dan perasaanku tidak seharusnya ikut campur.


Aku penasaran bagaimana perasaan Ayaka jika dia tahu aku mempunyai pemikiran seperti ini?


Itu juga sesuatu yang hanya bisa aku ketahui kalo saat itu tiba.


Pada akhirnya, perasaan manusia mungkin memang tidak bisa dipahami sepenuhnya, dan hanya bisa berakhir sebagai sebuah imajinasi.


Dalam upaya menjernihkan pikiran, aku menuangkan teh panas ke dalam cangkir teh yang kosong lagi.


Batang teh tidak mampu menahan teh yang dituangkan dan tenggelam.


Aku menatap batang teh yang berayun itu, dan pikiranku melayang kembali.


Ayaka, saat di SMA.


Hari ketika aku dan Ayaka bertemu, pada hari musim semi yang biru.




Selanjutnya

Posting Komentar

نموذج الاتصال