Kamu saat ini sedang membaca Kanojo ni uwaki sa rete ita ore ga, shōakumana kōhai ni natsuka rete imasu volume 2 chapter 8. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw
MINO AYAKA
── Dia tampak murung, bersandar ke luar jendela dengan ekspresi lesu.
Tahun ke-2 SMA.
Kelas 2-C, di ruang kelas setelah jam pelajaran usai.
Di dalam ruang kelas yang bernuansa kemerahan, seharusnya sudah kosong, ada 1 bayangan yang berdiri diam disana, tubuhnya sedikit bergoyang.
Aku tidak tahu apa yang sedang dia lihat, tapi tanpa sadar aku memanggilnya.
"Kau sedang melihat apa?"
Bahunya bergetar kecil, lalu dia menoleh.
Tatapan tajamnya membuatku refleks berhenti di tempat.
"Apa?"
Hanya 1 kata dengan 3 huruf itu, tapi aku dapat merasakan keinginan kuatnya agar aku tidak mendekat lebih jauh.
Aku hanya mengangkat bahu dan duduk di salah satu meja di dekatnya.
"Kita sudah sekelas sejak kelas 1, kan? Jangan bersikap dingin seperti itu."
"...'Sudah sekelas' kah, tapi kalo kau mengatakannya sehari setelah pergantian kelas, itu rasanya aneh. Lagi pula, waktu kelas 1 dulu, aku tidak ingat kita sering berbicara."
Melihat aku tidak mendekat, atau mungkin karena mengingat wajahku, dia terlihat sedikit melonggarkan kewaspadaannya.
Perlahan, dia kembali memandang ke luar jendela.
── Mino Ayaka.
Siswi yang disebut-sebut sebagai gadis tercantik nomor 1 di sekolah ini.
Ketika melihatnya langsung seperti ini, bahkan dari belakang, dia memancarkan aura yang sulit untuk didekati.
"Kalo 2 kali berturut-turut sekelas, biasanya orang akan jadi sedikit lebih akrab, kan?"
Aku berkata begitu sambil mengeluarkan Hp-ku dari tas, yang baru saja dibelikan oleh orang tuaku.
Penggunaan Hp di sekolah memang dilarang, tapi setelah jam pelajaran usai, para guru biasanya tidak memperhatikan.
"...Apa kau ada keperluan di kelas ini?"
Nada suaranya seolah mengatakan ingin aku cepat pergi, mendengar itu membuatku hampir tertawa.
Mino Ayaka memang terkenal sebagai gadis cantik dan populer.
Tapi, dia juga dikenal memiliki kepribadian yang agak keras.
"Aku kebetulan petugas piket hari ini. Aku yang terakhir harus mengunci kelas ini. Kalo Mino-san belum keluar, aku juga tidak bisa pergi."
Setengahnya benar, setengahnya bohong.
Memang benar kalo aku bertugas sebagai petugas piket untuk mengunci kelas hari ini, tapi sejujurnya, aku tidak akan dimarahi kalo menyerahkan tugas ini kepada orang lain.
Jadi, kalo aku menyerahkan kunci ini pada Mino Ayaka, aku bisa segera kembali ke kegiatan klubku tanpa masalah.
Tapi, aku tidak melakukannya.
Alasannya sederhana, aku ingin berbicara dengan Mino Ayaka, yang selalu menjadi bahan pembicaraan di sekolah.
Selama ini, dia selalu dikelilingi banyak orang, sehingga ini adalah pertama kalinya aku punya kesempatan untuk ber-2 saja dengannya sepanjang masa SMA ini.
"Begitu ya. Sepertinya aku merepotkanmu."
"Jadi, kau memang tidak berniat keluar, ya."
Aku kemudian mendorong 2 meja hingga sejajar dan berbaring di atasnya.
Mino Ayaka menatapku dengan pandangan menyipit, tampak tidak terlalu senang.
"Jangan khawatir, ini meja temanku."
"...Kalo begitu, itu masih mending.”
Aku tidak menjawab lagi dan mulai sibuk dengan Hp baruku untuk mengunduh berbagai aplikasi satu per satu.
Ayaka sepertinya kehilangan minat terhadapku.
Dia kembali menyandarkan sikunya di bingkai jendela, melihat ke luar dengan tenang.
── Mino Ayaka, gadis cantik dengan kepribadian yang katanya sulit.
Entah sejak kapan rumor itu mulai menyebar.
Mungkin beberapa bulan setelah muncul kabar tentang seorang siswa tahun pertama yang luar biasa cantik.
Memang, setelah berbicara langsung seperti ini, kata-kata yang keluar dari mulutnya sedikit berbeda dari bayangan seseorang dengan penampilan sempurna.
Tapi, itu sama sekali tidak terasa menyebalkan.
Justru, karena aku bisa merasakan kalo dia berbicara dengan jujur sejak awal, aku merasa tidak perlu bersikap terlalu hati-hati atau berpura-pura.
Aku tidak tahu dari mana asal rumor tersebut, tapi hanya karena wajahnya yang rupawan, rumor seperti itu pun muncul.
Dari sini aku menyadari kalo menjadi cantik tidak selalu membawa keuntungan.
"Apa benar Mino-san punya kepribadian buruk?"
Pada pertanyaan polosku itu, Mino Ayaka menjawab tanpa sedikit pun menoleh ke arahku.
"Itu, seharusnya kau yang menentukannya sendiri."
"...Kau benar sekali."
Dengan satu kalimat itu, aku memutuskan untuk melupakan semua rumor tentang Mino Ayaka.
Apa yang kulihat dan kurasakan sendiri adalah segalanya.
Aku merasa, kalo tidak berpikir seperti itu, aku mungkin tidak akan pernah lagi mendapat kesempatan untuk berbicara dengan Mino Ayaka yang ada di depanku ini.
Beberapa puluh menit berlalu, dan aku serta Mino Ayaka menghabiskan waktu setelah jam pelajaran hampir tanpa berkata apa pun.
Waktu latihan basket sudah lama lewat, tapi hari ini adalah jadwal latihan luar.
Alih-alih merasa bersalah, aku justru merasa lega.
Ini adalah alasan sempurna untuk menghindari latihan luar yang biasanya dipenuhi lari jarak jauh yang melelahkan.
Sambil berpikir begitu, aku sibuk bermain game puzzle di Hp-ku.
"Hasegawa-kun, ya?"
"Hm?"
Mendengar namaku dipanggil secara mendadak, aku langsung bangkit dan menoleh ke arahnya.
Mino Ayaka menatapku sambil menarik tirai jendela, lalu perlahan membuka mulutnya.
"Aku... baru saja mendapat pengakuan cinta hari ini."
"Begitu, ya. Tapi, itu bukan hal yang aneh, kan?"
Bahwa Mino Ayaka sedang berada di puncak masa populernya, sudah menjadi rahasia umum di sekolah.
Bahkan di hari terakhir kelas satu, dia dikabarkan menerima pengakuan cinta dari 3 teman laki-lakinya yang sebelumnya akrab dengannya.
Kisah tentang bagaimana dia menolak ke-3 pengakuan cinta itu sekaligus juga menjadi cerita lucu yang menyebar di antara para siswa saat jeda acara pembukaan tahun ajaran baru.
Rumor-rumor seputar kisah itu, entah benar atau tidak, sepertinya cukup banyak beredar.
"...Kau tidak mengejek atau mengolok-oloknya, ya."
"Tidak, kenapa aku harus mengolok-olokmu? Lagipula, kita kan tidak sedekat itu."
"Jangan terlalu pendendam, lah. Kita sudah 2 tahun berturut-turut sekelas, kan?"
"Mulut siapa yang barusan bilang begitu!"
Aku langsung menegurnya dengan nada tinggi, dan Mino Ayaka sempat terdiam sejenak sebelum tersenyum kecil.
"Hmm, bagus juga. Aku suka sikap Hasegawa-kun yang seperti itu.”
Cahaya matahari senja yang menyelinap melalui celah tirai memancarkan sinarnya dengan indah di belakang tubuh Mino Ayaka.
Dia menepuk bahuku pelan dan berkata,
"Mulai sekarang, tolong jaga hubungan kita, ya."
Itu mungkin hanyalah sapaan biasa, sesuatu yang umum diucapkan ketika ingin mempererat hubungan.
Tapi justru karena kesederhanaannya, aku merasakan sesuatu yang begitu nyata.
──Suara yang terasa penuh kesedihan.
Aku tidak tahu apa yang telah terjadi padanya.
Karena aku jarang berbicara dengannya sebelumnya, aku pun tidak bisa menanyakannya secara langsung.
Tapi, saat aku melihat Mino Ayaka meninggalkan kelas, aku berpikir dalam hati.
Popularitas atau reputasi di sekolah sama sekali tidak ada hubungannya.
Aku hanya merasa tulus ingin tahu lebih banyak tentang dirinya.
Untuk ingin mengenal seseorang sebagai manusia, alasan yang jelas sebenarnya tidak diperlukan.
Yang dibutuhkan hanyalah satu hal, apa yang dirasakan oleh diri sendiri.
Pada saat itu, aku merasa tertarik pada Mino Ayaka.
Hanya itu saja.
Dengan teriakan semangat dari anggota klub basket yang terdengar dari luar jendela, aku pun tergesa-gesa meninggalkan kelas.
★★★
──Aku menjadi teman Mino Ayaka.
Jika ada yang bertanya apa yang menjadi pemicunya, aku hanya bisa menjawab kalo semuanya bermula dari sore hari biasa itu, setelah jam pelajaran selesai.
Yang jelas, bukan karena sesuatu yang dramatis terjadi.
Hari-hari berlalu begitu saja, dan entah sejak kapan, orang-orang mulai mengenalku sebagai 'anggota klub basket yang akrab dengan Mino Ayaka.'
Sebelum kami berteman, mungkin aku hanya dianggap sebagai 'pria dari klub basket'.
Jadi, kalo itu dianggap kemajuan, mungkin memang ada sedikit kemajuan.
Rasanya aneh ketika siswa yang bahkan belum pernah berbicara denganku tahu siapa aku.
Kalo itu karena aku berhasil meraih prestasi di klub basket, mungkin aku akan merasa bangga.
Tapi, kenyataannya aku hanya dikenal karena berteman dengan seorang siswi populer.
Apa itu sesuatu yang patut disyukuri?
Sulit untuk dijelaskan. Tapi, aku juga tidak merasa terganggu oleh hal itu.
"Aku baru saja mendapat pengakuan cinta."
Musim panas tahun ke-2 SMA, saat istirahat makan siang, Mino kembali menyampaikan kabar itu kepadaku.
Entah kenapa, setiap kali dia melaporkan hal semacam ini, ekspresinya selalu terlihat muram.
"Oh, begitu. Hebat sekali."
Tanpa berpikir, aku mengucapkan itu, dan Mino menghela napas.
"Tidak ada yang hebat. Menurutmu, bagaimana rasanya kalo temanmu sendiri menyatakan cinta padamu, Hasegawa?"
Mendengar itu, aku menutup mataku dan mulai berpikir.
Yang terbayang di pikiranku adalah teman dari klub basket putri, namun ketika membayangkan dirinya mengungkapkan cintanya padaku, aku sedikit merasa senang.
"Ya, aku sih pasti senang saja."
"Oh, begitu. Kau memang bodoh."
"Bodoh? Apa maksudmu?"
Aku merasa kesal dan hampir saja memasukkan telur dadar ke mulutku, tapi aku akhirnya meletakkannya kembali ke dalam kotak makan siang.
Mino, tanpa peduli, langsung memasukkan lumpia ke mulutnya.
── Aku dan Mino mulai makan siang bersama di bangku taman saat istirahat.
Biasanya, teman-teman perempuan dan laki-lakinya juga ikut bergabung, tapi terkadang kami memiliki waktu ber-2 seperti ini.
Pemberitahuan tentang pengakuan cinta selalu terjadi saat kami ber-2.
Mungkin itu semua berawal dari waktu setelah sekolah yang pernah kami lewati bersama.
Tapi, aku tidak merasa buruk karena dipercaya seperti itu.
Mino, yang tetap tidak mengubah sikapnya pada siapa pun, selalu mendapatkan kepercayaan dari teman-temannya.
Mau bagaimana pun orang luar merumorkan sesuatu tentangnya, dan Mino tetap teguh pada pendiriannya.
Karena dia orang yang jujur dan tidak sombong meskipun cantik, aku mengerti kenapa banyak orang tertarik padanya.
Jumlah pengakuan cinta yang diterimanya pun mungkin mencerminkan hal itu.
Tentu saja, tidak bisa dipungkiri kalo ada beberapa pria yang jatuh cinta hanya karena penampilannya.
"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Sakakishita?"
Sakakishita adalah teman laki-laki yang suka muncul saat makan siang.
Dia selalu ceria, dan selama 2 tahun berturut-turut kami sekelas, dia selalu aktif berpartisipasi dalam acara-acara kelas.
Aku juga cukup sering berbicara dengan Sakakishita.
Melihat betapa langkanya melihat Sakakishita di waktu istirahat, aku merasa penasaran dan bertanya kepada Mino.
Mino, setelah diam-diam menelan lumpianya dan menutup kotak makan siangnya dengan tutupnya.
"Entahlah. Mungkin dia tidak akan datang ke sini lagi."
"Hah?"
Aku tidak sengaja mengeluarkan suara yang terdengar bodoh.
Mino sebenarnya cukup dekat dengan Sakakishita.
Mereka ber-2 adalah anggota klub yang tidak ikut kegiatan ekstrakurikuler setelah sekolah, jadi aku sering melihat mereka pulang bersama.
Tapi, kenapa Sakakishita sekarang tidak datang lagi saat istirahat?
Apa yang sebenarnya terjadi?
Mungkin rasa heran yang ada di wajahku terlihat jelas, karena Mino tersenyum kecil saat matanya bertemu dengan mataku.
"Kenapa kau tiba-tiba membuat wajah aneh?"
"Tidak, aku tidak membuat wajah aneh. Itu terlalu kasar, kan?"
"Ahaha, maaf-maaf."
Setelah tertawa canggung, Mino menengadah.
Daun-daun hijau dari pohon besar di tengah taman memberikan kami naungan dari terik matahari musim panas.
Meskipun begitu, mungkin masih terasa sedikit silau, karena Mino menutupi wajahnya dengan satu tangan.
"....Yang mengungkapkan perasaan itu, Sakakishita. Aku menolaknya. Jadi mungkin, dia tidak akan datang ke sini lagi."
Aku terdiam.
Aku tidak bisa menemukan kata-kata untuk membalasnya, dan tanpa sadar aku mengikuti Mino menengadah.
Sejenak, angin bertiup, daun-daun hijau terlepas dari rantingnya dan beterbangan di udara.
Daun-daun itu melayang-layang, terombang-ambing oleh angin, lalu jatuh dengan tenang ke dalam kolam.
"Begitulah. Yah, kau tidak perlu khawatirkan itu, Hasegawa."
Mino tersenyum pelan setelah itu, lalu berkata.
Suara yang dia keluarkan itu sama persis dengan yang aku dengar waktu itu, di dalam kelas setelah sekolah.
Pengakuan cinta yang terjadi saat itu, juga yang dia terima saat kelas 1 dari 3 orang sekaligus.
Mungkin, bagi Mino, semuanya adalah peristiwa yang hanya membawa dampak negatif.
Aku penasaran, saat Mino menolak Sakakishita, perasaan seperti apa yang dia rasakan.
"Sa-chan!"
"Ah, Yuki. Kau terlambat, aku sudah hampir selesai makan."
Pikiranku terhenti karena kehadiran teman-teman Mino seperti biasa.
Istirahat makan siang yang biasa pun dimulai.
Tentang hilangnya sosok Sakakishita, pasti akan ada banyak pertanyaan yang muncul lagi.
Setiap kali itu terjadi, apa Mino akan menunjukkan ekspresi seperti tadi?
Apa pengakuan cinta yang terjadi sebelumnya juga selalu berhubungan dengan hilangnya seseorang?
Kalo dipikir-pikir, ada beberapa siswa yang perlahan-lahan tidak lagi datang ke taman ini.
Karena kami tidak terlalu akrab, aku tidak terlalu memperhatikannya sampai mendengar cerita Mino barusan.
──Ada yang pernah berkata.
Di sekitar Mino Ayaka, selalu ada banyak orang.
Dan wajah-wajah itu sering berubah, begitulah katanya.
★★★
"Hei, Hasegawa, apa pendapatmu tentang aku?"
Setelah festival budaya selesai, dan angin musim gugur mulai berhembus.
Setelah berlari mengelilingi lapangan basket 30 kali, aku ditanya seperti itu oleh Mino.
".....Aku lagi capek sekali sekarang..."
Jalan menanjak yang menghubungkan gedung sekolah dan lapangan adalah garis finis yang ditempuh anggota klub setelah lari 30 putaran.
Saat berbaring telentang dan mengatur napas, aku merasa keringatku perlahan hilang.
Aku ingin segera mengelap keringat sebelum tubuhku semakin dingin, tapi sayangnya handukku ada di dalam tas yang terletak di depan gedung olahraga.
Saat ini, bahkan untuk bergerak pun aku tidak ingin.
Dengan kepala yang lambat berpikir, aku mencoba memahami maksud pertanyaan Mino, tapi tiba-tiba handuk jatuh di atasku.
"Woah."
"Kerja bagus. Aku akan meminjamkan handukku."
"....Terima kasih. Apa ini punya Mino?"
Aroma raspberry menyentuh indera penciumanku.
Sentuhan lembutnya sangat menyenangkan dan, jujur saja, aku sangat menghargainya.
Aku melirik ke arah Mino.
Dia mengenakan mantel di atas seragamnya, dan meskipun dia baru kelas 2 SMA, dia terlihat sangat dewasa.
"Benar. Kalo keringat dibiarkan, kau bisa masuk angin."
Mino mengatakan itu sambil tersenyum, lalu menahan rambutnya yang terbang diterpa angin dengan tangannya.
...Akhir-akhir ini, para siswa laki-laki mulai menghindar dari Mino.Salah satu alasan utamanya adalah karena Mino sering kali menolak pengakuan cinta dari teman laki-lakinya, yang kemudian menyebabkan rumor kalo sifat Mino agak sulit.
Tapi, meskipun rumor itu mungkin tidak menyenangkan kalo sampai terdengar oleh Mino, sangat sedikit siswa yang benar-benar mempercayainya.
Selain rumor tersebut, banyak juga siswa kelas 2 yang mulai fokus pada persiapan ujian pada musim dingin ini, yang membuat minat terhadap urusan asmara mulai menghilang.
Kalo aku terus berada di dekatnya, aku mungkin akan jatuh cinta.
Tapi aku tahu pasti kalo akhirnya aku akan ditolak, jadi aku berusaha menghindarinya.
Untungnya, ada pertandingan terakhir klub dan ujian yang sudah dekat, jadi itu adalah waktu yang tepat—
Saat mendengar pendapat salah satu siswa yang menjauh dari Mino, aku merasa ada sedikit rasa empati di tengah amarahku.
──Aku benci pada diriku sendiri yang bahkan bisa merasakan empati sedikit pun.
Para siswa laki-laki yang menjauh dari Mino, semuanya melakukannya demi melindungi diri mereka sendiri.
Mereka tidak ingin ditolak.
Mereka tidak ingin terluka.
Kalo begitu, lebih baik mereka tidak usah mendekat sejak awal.
Dalam perhitungan itu, perasaan Mino tidak dipertimbangkan sama sekali.
Siswa laki-laki yang mengungkapkan pendapat ini adalah Sakakishita, yang ditolak sekitar musim panas.
Kata-kata Sakakishita, yang memiliki pengaruh baik atau buruk, memicu banyak siswa laki-laki untuk merasa setuju, bahkan ada yang mulai diam-diam memusuhi Mino.
Kenapa semua orang setuju dengan pendapat Sakakishita?
Aku tidak bisa memastikannya, tapi kemungkinan besar mereka melakukannya karena itu adalah kesimpulan yang lebih mudah dan nyaman.
Manusia cenderung menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan.
Semua orang suka jalan yang mudah.
──Dan itu termasuk aku.
Seperti Sakakishita, menyalahkan segala alasan untuk menjauh dari Mino hanya kepada dirinya adalah pemikiran rendah yang mengabaikan perasaan orang lain.
Tapi, aku tidak membantah Sakakishita saat itu.
Kalo aku membantah, mungkin kali ini aku juga akan diberi alasan tertentu dan aku mulai dibicarakan di belakang.
Mungkin itu akan mengganggu kehidupan sekolahku.
Pemikiran seperti itu tanpa sadar menahan kata-kata keluar dari mulutku, dan aku hanya mengangguk pada saat itu.
"Hasegawa, tentang pertanyaan yang kutanyakan padamu tadi. Apakah kamu sudah punya jawabannya?"
Sambil mengelap keringat dengan handuk, aku berpikir.
Mungkin jika waktu terus berlalu, aku akan mulai menyukai Mino.
Perasaan seperti itu sejauh ini belum muncul karena aku sudah tahu kalo itu tidak akan berbalas.
Biasanya, jika seorang laki-laki berteman dengan seorang gadis cantik, dia akan jatuh cinta 80% padanya.
Tapi kalo nantinya aku benar-benar menyukainya,
Aku tetap ingin berada di sampingnya.
Yah, aku tidak perlu mengungkapkan perasaan itu.
Hanya dengan berada di sampingnya, mungkin aku sudah cukup bahagia.
"....Kita berteman, kan. Jangan membuat ku mengatakan itu, itu memalukan."
Setidaknya, untuk sekarang.
Di balik kata-kata itu, ada perasaan yang tersirat.
Begitu aku menjawab, anggota klub yang kembali dari lapangan mulai berdatangan satu per satu.
Mino menyapa anggota klub yang dikenalnya dengan "Terima kasih atas kerja kerasmu."
Para pria yang disapa semuanya tampak senang, dan aku jadi menyadari lagi kalo pria memang seperti itu.
"Ayo pergi."
Aku mengembalikan handuk ke Mino dan melangkah dengan berat menuju gymnasium.
Latihan hari ini selesai setelah berlari 30 putaran di lapangan, dan setelah itu setiap orang bisa pergi.
Mino memasukkan handuknya ke dalam tas dan mengikutiku.
"Apa kita benar-benar berteman?"
"Kenapa aku harus berbohong di sana?"
"Aku bisa jadi lebih dekat denganmu."
"...Apa kau bodoh?"
Apa yang Mino coba pastikan, aku tahu.
Dia ingin tahu apa aku tertarik padanya.
Kalo aku tidak tertarik, dia bisa merasa tenang dan berinteraksi seperti biasa.
Tapi, kalo ada kemungkinan sedikit saja kalo aku menyukainya, dia akan menjauhkan diri dariku.
Mino selalu berusaha mengukur jarak dengan orang lain seperti sekarang ini, apa dia sudah melakukannya sejak dulu?
Jawabannya mungkin tidak.
Tidak ada orang yang tidak merasa apa-apa saat orang yang dekat dengannya pergi.
Karena dia tidak ingin terluka, dia memilih untuk menjaga jarak.
Ironisnya, Mino melakukan hal yang sama dengan orang-orang yang pergi darinya.
"Mino, kenapa semua orang yang menembakmu kau tolak?"
Sebenarnya, kalo dia memiliki pacar, jumlah pengakuan cinta yang dia terima pasti akan berkurang drastis.
Dengan begitu, teman-teman pria yang pergi menjauh dari dirinya juga akan berkurang.
Itu adalah solusi yang sederhana.
Kenapa dia tidak mau punya pacar?
Ketika aku bertanya dengan pikiran seperti itu, Mino mengernyitkan alisnya.
"Apa maksudmu?"
"Menurutku, coba saja pacaran sekali, itu hal yang biasa. Kalo kau sudah sering didekati, pasti ada satu 2 pria yang akan mengatakan, 'Bagaimana kalo kita pacaran?'"
Jumlah pengakuan cinta yang diterimanya sangat banyak.
Dengan jumlah sebanyak itu, bukankah ada kemungkinan ada satu orang yang cocok untuknya?
Tapi, Mino kali ini benar-benar mengernyitkan wajahnya.
"Kenapa aku harus pacaran dengan orang yang tidak aku suka?"
Setelah dia berkata begitu, aku tidak lagi punya kata-kata untuk membalas.
Mungkin, pandangan tentang cinta sudah ada jawabannya dalam pikiran Mino.
Dengan begitu, apa pun yang aku katakan, tidak akan berpengaruh.
Tapi, hanya diam di sana terasa sedikit menyakitkan, jadi aku memaksa kata-kata keluar dari tenggorokanku.
"....Yah, mungkin itu benar, tapi aku hanya berpikir, ada juga cinta yang dimulai setelah berpacaran."
"Aku hanya ingin pacaran dengan orang yang sejak awal bisa aku pastikan aku suka."
"Jadi, orang yang dekat denganmu, tidak kau suka?"
"Perasaan suka sebagai teman dan suka dalam hubungan cinta itu berbeda, kan?"
Sepertinya dia ingin mengatakan itu.
"Apa sih yang sebenarnya ingin kau katakan?"
Dalam percakapan yang tidak jelas, akhirnya Minori berhenti.
Di matanya mulai terlihat rasa ragu.
Pada saat seperti ini, kemungkinan besar Mino tidak akan tertipu oleh kebohongan.
Aku sudah cukup lama bersama Mino untuk menyadari hal itu.
Aku pun menyerah dan dengan jujur membuka mulut.
"....Aku tidak suka."
"Apa yang tidak kau suka?"
"Situasi di mana orang yang dekat denganku, dicela dan dihina oleh orang lain."
Setelah aku mengatakan itu, Mino terdiam sejenak, kemudian tersenyum.
"Maaf. Aku sudah membuatmu merasa kesulitan."
"Itu bukan sesuatu yang perlu kau minta maafkan, Mino. Justru itu membuatku semakin kesal. Rasanya menjengkelkan. Terlebih lagi dengan situasi ini, dan yang paling menyebalkan adalah diriku sendiri."
Yang paling menderita seharusnya adalah Mino.
Seharusnya aku sudah tahu itu sejak lama, tapi aku begitu sibuk mencari tempat bergantung untuk perasaanku sendiri, akhirnya aku malah mengutamakan diriku sendiri.
"Aku benar-benar menganggap Mino sebagai teman yang baik. Tapi, aku selalu mengutamakan diriku sendiri. Bahkan waktu itu───"
──Aku tidak bisa membantah Sakakishita.
Aku berhenti berbicara saat hendak mengatakannya.
Meskipun kabar buruk dari Sakakishita mungkin sudah sampai ke telinga Mino, mendengarnya lagi dariku hanya akan menambah beban baginya.
Apa yang aku lakukan dengan menambah bebannya?
Aku semakin marah pada diriku yang tidak cukup baik, dan menggigit bibirku dengan keras.
Secara samar, aku merasakan rasa logam.
"....Bodoh sekali."
Mino menghela napas, lalu mengulurkan tangannya ke arah bibirku.
Jarinya yang ramping terlumuri darah merah.
Tanpa ragu, Mino menghapus darah itu dengan sapu tangannya.
"Sungguh, kau tidak perlu khawatir tentang itu."
"Tapi, kita kan teman."
"Ya. Aku senang kau mengatakannya."
Aku disenyumi dengan ucapan terima kasih.
Itu adalah ekspresi yang paling lembut yang pernah kulihat.
Dengan cara yang seperti menasehati atau menenangkan, Mino perlahan mengucapkan kata-katanya.
"Tapi, kau boleh mengutamakan dirimu sendiri, Hasegawa. Itu adalah hal yang sangat alami, dan banyak orang melakukannya tanpa sadar. Kalo hanya kau yang terus-menerus merasa terbebani, apa itu tidak terasa tidak adil?"
Kemudian, Mino menyisir rambutnya.
Kali ini, dia langsung menempelkan sapu tangan ke bibirku, sambil tersenyum pahit.
"Aku sendiri juga mengutamakan diriku. Selama ini, selalu begitu. Mungkin inilah yang terjadi karena itu, tapi itu adalah akibat dari perbuatanku sendiri, dan itu sebenarnya tidak ada kaitannya dengan mu."
Mata Mino sesaat menjadi kosong, seolah-olah melihat ke tempat yang jauh.
Aku bisa merasakan kalo dia sedang melihat sesuatu dengan tidak fokus.
Apa itu masa lalu atau masa depan?
Matanya, kini, sedang memantulkan apa?
"...Memang, itu akibat perbuatanku sendiri."
Mino perlahan bergumam sambil melipat saputangannya dengan rapi.
"...Meskipun begitu, aku tidak bisa berubah. Karena inilah diriku."
Mendengar kata-kata itu, hatiku tersentuh.
Orang-orang yang pandai menyesuaikan diri cenderung dengan mudah mengubah cara mereka menjalani hidup.
Kalo dilihat dari sisi positif, itu menunjukkan kemampuan adaptasi yang tinggi.
Tapi, dari sisi negatif, itu bisa diartikan sebagai kurangnya prinsip.
Kemampuan itu menjadi penting seiring bertambahnya usia, dan sekolah bisa dianggap sebagai tempat untuk mengasah kemampuan tersebut.
Tapi, di dunia ini, ada orang-orang yang tetap teguh pada prinsip mereka, mampu berbaur dengan masyarakat, dan tetap berhasil membangun posisi sosial mereka.
Setidaknya, aku tahu kalo diriku tidak akan pernah bisa menjadi seperti itu.
Aku sudah menyerah.
Justru karena itulah aku berharap Mino Ayaka, yang memiliki sesuatu yang berbeda dariku, dapat terus mempertahankan prinsipnya.
Karena menurutku, menyembunyikan keunikan diri sendiri adalah hal yang sangat menyedihkan.
"....Tetaplah seperti itu, Mino. Aku suka dirimu yang sekarang. Sungguh."
Aku sepenuhnya sadar kalo kata-kataku ini sangat egois.
Kalo akibat tetap menjadi dirinya sendiri Mino mengalami kegagalan, aku tidak akan bisa bertanggung jawab atas hal itu.
Selain itu, kata-kata seperti yang kuucapkan ini mungkin sudah sering dia dengar dari banyak laki-laki lainnya.
Kalo begitu, tidak ada alasan bagi kata-kataku untuk menjadi sesuatu yang istimewa baginya.
Tapi, aku tetap tidak bisa menahan diri untuk mengatakannya.
Hanya demi kepuasan diriku sendiri.
Aku paham betul akan hal itu, tapi aku tetap mengutarakannya.
Mino sempat tertegun sesaat, lalu setelah tersadar, dia memukul bahuku.
"Jangan sok tahu, dasar bodoh."
"Aduh, sakit."
Sambil mengusap bahuku yang terasa berdenyut, aku tertawa kecil.
Rasa sakit ini terasa tidak buruk, karena bagiku itu menjadi tanda kalk Mino mulai merasa nyaman denganku.
Mata kami bertemu.
Mino membuka mulutnya, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi dia terlihat ragu dan akhirnya hanya menelan ludah.
Kemudian, dengan tiba-tiba, dia menyandarkan kepalanya di bahuku dengan cukup kuat.
"Heh, hey."
Waktu yang bahkan tidak sampai beberapa detik itu terasa cukup untuk membuat bahuku menjadi panas seketika.
Tidak tahu harus berbuat apa, aku hanya tetap diam.
Saat itulah Mino berbicara dengan suara pelan.
"....Terima kasih."
Tanpa menunjukkan ekspresi apapun, Mino menjauh dariku dan pergi tanpa menoleh sedikit pun.
Perkataanku tadi tidak salah.
Kalo hal itu bisa sedikit saja memberikan semangat pada Minou, maka tidak mungkin itu adalah kesalahan.
"Hei, Hasegawa. Kalo urusan klub sudah selesai, cepat pulang sana."
Ketika aku menoleh, salah satu teman dari klub basket sedang berdiri sambil menyeka keringatnya.
"Oh, oke. Kerja bagus hari ini."
Aku menjawab singkat dan berlari ke tempat barang-barangku berada.
Entah kenapa, aku merasa seperti ada tekanan tak terlihat yang mendorong punggungku.
Perkataanku tadi tidak salah.
Seharusnya tidak salah.
Tapi, firasat buruk yang tidak jelas mulai muncul dalam diriku.
"....Sial."
Aku berusaha mengabaikan kecemasan itu, aku menggerutu pelan sambil mengklik lidahku.
Entah sejak kapan, matahari telah tertutup oleh awan, menutupi sinarnya sepenuhnya.
[TL\n: tanda mulainya drama dari alam.]
Udara yang mengisyaratkan hujan deras semakin memperparah rasa cemas yang kurasakan.
★★★
Keesokan harinya, saat aku memasuki gimnasium, aku langsung menyadari ada sesuatu yang berbeda.
Biasanya, para anggota klub yang sudah memulai latihan mandiri akan menyapa dengan suara lantang saat teman-teman mereka masuk ke gimnasium.
Mengikuti kebiasaan itu, aku pun berteriak, "Kerja bagus!" begitu aku masuk.
Aku hanya bisa mendengar jawaban samar, "Otsu", dengan suara yang sangat pelan hingga dikalahkan oleh suara bola.
Jelas ada sesuatu yang berbeda dari biasanya.
Setelah berganti pakaian latihan dan berdiri di lapangan, perasaan aneh itu masih belum hilang.
Aku pun menyentuh bola tanpa benar-benar bisa berkonsentrasi.
"....."
Telapak tanganku terasa kaku karena dingin, sehingga wajar kalo kemampuan mengendalikan bola ku sedikit menurun dari biasanya.
Tapi, hari ini performaku terasa jauh lebih buruk.
"Hasegawa, sebaiknya kau pulang saja."
Ketika satu jam telah berlalu sejak latihan dimulai, kapten memanggilku dan mengatakan itu kepada ku.
"...Maaf. Aku memang tidak bisa fokus."
Meski dia adalah kapten, di musim dingin tahun ke-2 SMA, dia hanyalah teman seangkatan.
Hal seperti itu tidak akan pernah dikatakan kalo itu bukan karena sesuatu yang benar-benar serius.
Sebagian besar, ketidakmampuanku untuk berkonsentrasi disebabkan oleh faktor eksternal.
Saat memberikan operan, para pemain lain sengaja menghindari kontak mata denganku, dan saat mengobrol, senyuman mereka terlihat kaku dan canggung.
Aku memang bukan orang yang peka terhadap emosi orang lain, tapi kalo hal itu ditujukan langsung padaku, ceritanya berbeda.
Apalagi kalo yang melakukannya lebih dari satu orang, mustahil aku tidak menyadarinya.
"Kapten. Suasananya terasa berbeda dari biasanya. Apa ini karena aku?"
Setelah bingung memilih kata-kata, akhirnya aku memutuskan untuk langsung bertanya secara langsung.
Kapten adalah teman seangkatan yang menjadi panutan dan sedang berusaha mendapatkan rekomendasi ke kampus ternama.
Aku yakin dia tidak akan sembarangan berkata hal yang tidak perlu, jadi aku merasa aman untuk bertanya.
Kapten mengerutkan keningnya sesaat, lalu menghela napas.
"....Kalo kau sudah menyadarinya, ini membuatku lebih mudah untuk bicara."
Dari kata-kata itu, aku langsung bisa memahami situasinya.
Perasaan seperti ini adalah sesuatu yang tidak ingin kutebak dengan benar, tapi sepertinya tidak ada pilihan lain.
Kapten terlihat menyesal sambil mengerutkan wajahnya.
"Sekarang ada rumor yang beredar kalo kau dan Mino sedang pacaran. Aku tidak tahu itu benar atau tidak, tapi kau tahu kan? Beberapa anggota klub ada yang pernah nembak Mino. Nah, mereka sekarang sedikit berbicara buruk tentang kau dan Mino."
Saat aku hendak membuka mulut, kapten melanjutkan sambil melambaikan tangannya, "Tentu saja aku sudah mencoba menghentikan mereka."
"Lalu, anggota lain malah mengejek mereka yang ditolak, mereka bilang kalo berbicara seperti itu cuma membuat mereka terlihat menyedihkan. Jadi, intinya, ada sedikit keributan di belakang layar yang mungkin tidak kau tahu."
Aku tidak bisa menahan diri untuk tersenyum kecil mendengar itu.
Mungkin kejadian kemarin antara aku dan Mino terlihat oleh anggota klub lain.
Kalo sebelum aku masuk ke gedung gimnasium tadi ada keributan kecil yang disebabkan olehku, maka suasana canggung ini masuk akal.
Sebagai kapten, dia mungkin berpikir kalo untuk hari ini, membiarkan para anggota mendinginkan kepala mereka tanpa kehadiranku akan menjadi keputusan terbaik.
"Meskipun kami sering menghindari satu sama lain, tapi begitu dibilang pacarantida, keadaanya malah jadi begini."
"Eh? Jadi kalian beneran pacaran?"
"....Kami tidak pacaran. Itu cuma cara bicara."
Sambil berkata begitu, aku melemparkan bola ke dalam keranjang.
Bola masuk, tapi beberapa bola lain justru tumpah keluar dari keranjang.
"Ya, aku pulang dulu."
Ketika aku mengatakan itu, kapten hanya membalas dengan senyum masam.
"Maaf, ya. Kau cepat paham situasinya, itu sangat membantu. Hanya hari ini saja, kok."
Tanpa menjawab, aku meninggalkan gimnasium.
Mereka sudah kelas 2 SMA, tapi mereka masih saja terpancing oleh rumor.
Memalukan sekali.
Ketika aku teringat bagaimana para Kouhai terlihat lebih tenang dari biasanya dan mencoba bersikap dewasa selama latihan, rasa kesal itu semakin membesar—bukan karena aku dikeluarkan dari latihan, tapi karena sikap kekanak-kanakan orang-orang itu.
"....Bodoh sekali."
Sungguh konyol.
Mereka sudah menjadi siswa SMA, tapi tetap saja mereka sangat memalukan.
Aku mencoba melampiaskan keluhan itu dalam hati dengan sikap tegas, lalu menghela napas lagi.
Tapi, ketika aku benar-benar dikeluarkan dari latihan klub seperti ini, aku menyadari kalo luka mental yang kurasakan jauh lebih besar daripada yang aku bayangkan.
Pikiran kalo aku seharusnya tidak pernah mendekati Mino sejak awal mulai muncul di benakku, dan aku benar-benar membenci diriku sendiri karena memikirkan hal seperti itu.
Aku tidak ingin menyesali kenyataan kalo aku menjadi dekat dengan Mino.
Perasaan itu benar-benar tulus.
Kebetulan saja aku yang menjadi dekat dengan Mino.
Kalo bukan aku, mungkin laki-laki lain juga akan menghadapi situasi serupa, cepat atau lambat.
Kalo begitu, biarlah aku yang menjalani peran ini.
Aku rela.
Aku benar-benar berpikir begitu.
Tapu, bagaimana kalo orang yang berada di posisiku adalah orang lain?
Misalnya, Sakakishita.
Sejak dia ditolak oleh Mino, aku tidak pernah lagi melihat Sakakishita berbicara dengannya, jadi ini memang hanya asumsi yang tidak berarti, tapi aku tidak bisa berhenti memikirkannya.
Kalo aku memiliki reputasi yang lebih baik seperti Sakakishita, situasi ini mungkin tidak akan terjadi.
Kapten pun mungkin tidak perlu sampai mengeluarkanku dari latihan, dan kecil kemungkinan ada keributan kecil seperti yang terjadi sekarang.
Meskipun awalnya hanya sebuah kesalahpahaman, mungkin saja situasinya bisa berakhir dengan lebih baik dan diterima dengan baik.
Kesalahan ada padaku, karena aku hanya mampu membentuk hubungan yang rapuh—hingga rumor tentang pacaran saja cukup untuk membuatku terpinggirkan.
"Hmm, Hasegawa. Apa kamu tidak ada latihan hari ini?"
Ketika aku berganti pakaian ke seragam sekolah dan keluar ke koridor, Mino berdiri di hadapanku.
Dia menggantungkan tas di bahunya, sementara di tangannya dia sedang memegang HP-nya.
"Aku tidak ada latihan hari ini."
"Bukankah ini hampir turnamen?"
"....Istirahat juga bagian dari latihan, kan?"
Memang, kalo hanya berlatih tanpa henti, risiko cedera bisa lebih besar.
Jadi aku tidak berbohong.
Mino sepertinya tidak meragukan jawabanku, dan hanya berkata, "Oh, begitu", sebelum melanjutkan.
"Apa kau mau pulang bersamaku?"
...Baru saja situasi ini terjadi, dan dia langsung mengajakku pulang bersama.
Pulang dengan seorang gadis tepat setelah dikeluarkan dari latihan—kalo ada yang melihat, itu bisa menjadi masalah besar.
Kami ber-2 adalah bagian dari situasi ini.
Untuk hari ini, sebaiknya aku mencari alasan untuk menolak dengan sopan.
"Hari ini—"
"Apa kau tidak mau pulang bersamaku?"
Dadaku terasa sesak.
Mino tidak melakukan kesalahan apapun, dan aku pun tidak.
Mino mengatakannya kemarin, kalo memprioritaskan diri sendiri adalah hal yang sangat wajar—
"....Aku harus mampir ke ruang staf dulu sebelum pulang."
"Apa, kau lupa mengumpulkan tugas lagi?"
"Begitulah. Jadi, sampai jumpa."
"Ah, ya. Sampai jumpa."
Aku melangkah ke arah ruang staf yang seharusnya aku tidak ada urusannya sama sekali disana.
Mino tidak terlihat mengikutiku.
Angin dari celah di koridor menusuk leherku, aku bisa merasakannya.
★★★
"Kau pacaran dengan Mino, ya?"
Suara yang sedikit tajam itu terdengar pada saat istirahat menjelang pelajaran olahraga.
Sudah berapa kali hal seperti ini terjadi bulan ini?
"....Kami tidak pacaran."
"Benarkah? Mino juga mengatakan hal yang sama."
Apa dia juga menanyakan hal yang sama pada Mino?
Aku menahan diri untuk tidak bertanya begitu.
Aku benar-benar tidak ingin berurusan dengan hal ini.
Mino sudah tidak lagi datang ke halaman tengah saat istirahat makan siang.
Aku tidak tahu di mana dia makan siang, tapi yang pasti dia tidak makan dengan teman-teman sekelas.
Rumor yang awalnya hampir tidak dipercaya tentang sifatnya yang sulit, kini semakin terasa seperti kebenaran.
Mungkin ada seseorang di antara teman-temannya yang setuju dengan rumor tersebut.
Kalo tidak, tidak ada alasan bagi rumor seperti itu—tentang sifatnya yang sulit—untuk bertahan begitu lama.
"Katanya sih, tidak ada asap kalo tidak ada api, tapi ya sudah, kalo kalian berdua bilang begitu, aku tidak akan menyelidiki lebih lanjut."
Kalo begitu, jangan tanya dari awal.
Aku ingin mengatakan itu pada punggungnya yang sudah berbalik dan pergi.
Setiap kali aku berbicara dengan Mino di sekolah, aku merasa seperti ada seseorang yang mengawasi kami, dan itu membuatku merasa sesak.
Itu jelas karena banyak orang yang seperti orang yang baru saja mengajukan pertanyaan tadi.
Kalo situasi seperti ini terus berlanjut, aku takut berbicara dengan Mino akan menjadi beban dan stres.
Mino mulai menjauh dariku ketika aku mulai merasa seperti itu.
"Hasegawa—"
Aku berhenti mengganti pakaian olahraga dari seragam.
Yang memanggilku adalah Sakakishita.
"Ada apa?"
Sakakishita adalah salah satu tokoh sentral di kelas.
Sejak aku masuk kelas 2, aku cukup menjalin hubungan yang baik dengan Sakakishita.
Berkat posisiku di kelompok inti yang dipimpin oleh Sakakishita, aku tidak perlu merasa terisolasi di kelas meskipun rumor tentang Mino tersebar.
Setidaknya, para siswa laki-laki mulai menghindari Mino setelah satu perkataan dari Sakakishita, sementara aku sendiri justru berada di bawah perlindungan kelompok Sakakishita.
Tentu saja, perasaan bersalah itu ada.
Tapi, mengutamakan diri sendiri adalah hal yang wajar.
Kata-kata Mino kini menjadi sesuatu yang mendukungku.
"Apa maksudmu? Hari ini kan kau menjadi perwakilan atletik. Kalo kau tidak pergi lebih awal, Sensei akan marah padamu."
"Oh, benar. Yamashita hari ini tidak masuk."
Kalo anggota panitia olahraga absen, maka penggantinya harus bekerja sama dengan guru untuk mengatur pelajaran olahraga.
Dia harus memimpin senam di depan semua orang, serta menyiapkan segalanya.
Karena terlalu memikirkan Mino, aku jadi melupakan hal tersebut.
"Jangan terus linglung seperti itu, kalo kau terus seperti ini Mino bisa merasa jijik padamu."
Seseorang bercanda, dan beberapa siswa laki-laki yang sedang berganti pakaian di sekitar kami tertawa kecil.
Akhir-akhir ini, aku dikenal sebagai satu-satunya siswa laki-laki yang masih berani berinteraksi dengan Mino, yang dihindari oleh banyak orang, dan mereka memujiku sebagai orang yang berani.
Dengan kata lain, Mino diperlakukan seperti barang yang harus dijauhi di belakang layar.
Hanya dalam permainan nakal para siswa laki-laki saja, tak ada yang berani mengatakan sesuatu langsung kepada Mino, dan tidak ada juga yang mengharapkan sikap yang sama dari para siswi.
Hal itu terlihat jelas dari bagaimana Mino berbicara dengan para siswi dan tetap menikmati pergaulan seperti biasa.
Tapi, jelas kalo untuk tujuan perlindungan diri, ini sudah terlalu berlebihan.
Mungkin stres karena ujian yang semakin dekat atau perasaan tertekan lainnya membuat mereka mencari pelampiasan.
Tapi, hal seperti itu seharusnya dilepaskan dengan cara yang lebih sehat, seperti bermain bersama teman, berolahraga, bermain game, atau melakukan kegiatan lain yang disukai.
Cara seperti ini adalah hal yang sangat tidak bermoral.
Pasti ada siswa lain yang, seperti aku, merasa hal yang sama dalam kelas ini.
Meski begitu, tidak ada protes nyata terhadap sikap ini, karena banyak yang tidak ingin terlibat.
Pasti ada yang mengkritik permainan nakal ini di belakang layar.
Tapi, itu tidak akan ada artinya.
Untuk mengubah arah angin yang diakui oleh mayoritas siswa laki-laki di kelas, satu-satunya cara adalah dengan mendapatkan dukungan dari tokoh sentral di kelas atau dengan mengajukan protes di depan banyak orang dan membuat orang lain mengakui pendapat tersebut.
Sebagian besar siswa bukanlah tokoh sentral, sehingga satu-satunya cara yang tersisa adalah yang ke-2.
Kalo gagal, aku mungkin akan terasing dari kelompok laki-laki.
Dan, di kelas ini, tidak ada siswa laki-laki yang cukup berani untuk melakukan hal tersebut.
Kalo tokoh sentral, Sakakishita, menghentikan permainan nakal ini, alur cerita mungkin akan berubah, taoi aku tidak bisa berharap banyak.
Sakakishita telah ditolak oleh Mino.
Dia tidak akan ikut serta dalam permainan nakal ini, tapi juga dia tidak menunjukkan niat untuk menghentikannya.
"Kalo begitu, aku duluan ya."
Aku tidak ikut serta dalam kata-kata yang dilemparkan untuk mencari perhatian, dan keluar dari kelas.
Aku berjalan di lorong, menuruni tangga.
Begitu sampai aku mencapai di puncak, aku menghela napas panjang.
Tempat ini jauh lebih nyaman dibandingkan di dalam kelas.
"Itu adalah desahan yang sangat panjang ya."
Saat aku melihat ke bawah dari tangga, Mino sedang sendirian di sana.
Ruang ganti wanita terletak satu lantai di bawah ruang ganti laki-laki.
Sudah cukup lama sejak terakhir kali aku berbicara dengannya.
Mino turun tangga tanpa menunggu aku.
Aku berlari kecil untuk mengejarnya dan berjalan berdampingan dengannya.
"Apa tidak apa-apa?"
"Apa maksudmu?"
Saat aku membalas pertanyaannya, Mino tersenyum.
"Tak ada apa-apa. Rasanya sudah lama ya."
"...Ya, kita jarang bicara belakangan ini."
Aku sendiri yang mengatakannya, dan ada sesuatu menusuk hati ku ini.
Aku berpura-pura tidak menyadari darah emosi yang mulai mengalir di dalam hatiku.
"Benar. Kalau kau mau, bagai mana kalo kita pergi ke arcade lagi."
Mino berkata begitu, lalu berjalan cepat menjauh dariku.
"Tapi Hasegawa biasanya ada aktivitas klub, jadi itu mungkin tidak bisa dilakukan. Nah, para gadis ada di gimnasium hari ini. Aku senang sepertinya semuanya berjalan baik."
Aku tidak sepenuhnya mengerti kata-kata terakhirnya dan hanya tersenyum canggung.
Begitu Mino pergi, Sakakishita dan yang lainnya turun dari atas.
"Kau masih di sini? Serius, kalo begitu, kau akan dimarahi loh."
"...Tidak, belum lama kok."
Aku bertanya-tanya, ekspresi seperti apa di wajahku saat ini.
Pikiran itu sepertinya justru membuat wajahku semakin tegang.
★★★
Pelajaran olahraga hari ini adalah lari 50 meter.
Anak-anak dari klub olahraga terlihat sangat bersemangat, menghabiskan waktu luang dengan mengobrol.
Guru olahraga juga berkata, "Hari ini adalah hari bebas" dan sepertinya tidak ada perhatian khusus terhadap obrolan yang terjadi.
Karena guru yang biasanya tidak membiarkan obrolan berjalan bebas kali ini tidak ikut campur, suasana semakin riang, dan obrolan di antara kami yang sedang menunggu giliran semakin meriah.
Di sampingku ada Sakakishita, yang mungkin terlihat bersemangat dari luar.
"Jadi, kapan kau mulai mengenal Mino?"
Tanya Sakakishita, dan aku menjawab sambil tersenyum.
"Pertama kali kami bertemu dia kelas 1, tapi kami mulai akrab itu pas kelas 2."
"Oh, begitu. Kita juga 1 kelas waktu kelas 1, ya."
Sakakishita memang memiliki wajah yang tampan, sehingga popularitasnya di kalangan gadis-gadis cukup tinggi.
Selain itu, karena sifatnya yang mudah bergaul, dia juga sangat disukai oleh teman-teman laki-laki, dan pada bulan Mei di kelas satu, dia sudah menjadi salah satu tokoh pusat di kelas.
"Aku sudah dekat dengan Mino sejak kelas satu, jadi kami sudah cukup lama bergaul. Sekarang sudah bulan Desember, berarti hampir 2 tahun."
Sakakishita berkata sambil mengikat tali sepatunya, dia terdengar sedikit bangga.
Aku tidak bisa mengerti hal itu.
Akhir-akhir ini, Sakakishita seharusnya tidak lagi berbicara dengan Mino.
"Setelah ditolak, apa kalian masih berbicara?"
Saat aku mengajukan pertanyaan ini, Sakakishita mungkin akan kesal.
Tapi, meskipun aku berpikir demikian, ternyata Sakakishita malah tertawa ringan.
"Tentu saja. Memang aku pernah ditolak sekali, tapi sekarang kami kembali baik-baik saja. Belakangan ini, kami bahkan rutin mengobrol lewat LINE."
"Benarkah begitu?"
"Iya. Ternyata dia orang yang baik. Dia memang menyenangkan dan sangat lucu."
Kalo memang benar mereka berdua sering berkomunikasi melalui LINE setiap hari, berarti hubungan mereka sudah pulih.
"Haha."
Ketika menyadari hal itu, aku tidak bisa menahan senyum yang muncul.
Rasanya seperti aku bisa tersenyum lagi dari hati yang tulus setelah sekian lama.
"Bagaimana kalo kita beri tahu ini ke teman-teman yang lain? Belakangan ini, Mino sepertinya jarang berbicara dengan laki-laki. Mungkin kau belum tahu, tapi kata-katamu sebenarnya cukup mempengaruhi orang lain, dan membuat mereka menjauh dari Mino."
Aku tidak ikut serta dalam kebiasaan buruk itu, tapi yang memulai semua ini adalah ketika Sakakishita mengatakan kepada orang-orang "Kalo kau dekat dengan Mino, kau akan mulai menyukainya, jadi lebih baik jangan mendekatinya selama masa ujian."
Tapi, kalo Sakakishita yang memulai, efeknya akan sangat besar kalo dia yang membantah kebiasaan buruk ini.
Terlebih lagi, Sakakishita adalah salah satu tokoh sentral di kelas.
Kalo dia mulai membicarakan hal ini dengan teman-teman laki-laki lainnya, suasananya pasti akan berubah dengan cepat.
Mino akan mulai berbicara dengan laki-laki lagi, itu hanya masalah waktu.
──Sejak awal, seharusnya aku tidak perlu khawatir.
Mino ternyata sudah kembali dekat dengan Sakakishita tanpa sepengetahuanku.
Sekarang, semuanya akan baik-baik saja.
Rasa lega mulai mengalir dan mengendurkan ketegangan di bahuku.
"Tidak, aku tidak akan memberitahukan hal ini pada orang lain."
"Hah?"
Aku secara refleks menjawab kembali.
Aku yakin Sakakishita akan setuju karena dia menyadari kalo dia adalah pemicu dari kebiasaan buruk itu, dan aku berharap dia akan memberikan persetujuan tanpa ragu.
Tapi, dia menolak tanpa keraguan, dan aku kesulitan memahami mengapa dia menolaknya.
"Memalukan, kan? Secara normal."
──Memang, dari sudut pandang Sakakishita, itu adalah hal yang wajar untuk dirasakan.
Dia sedang berbicara setiap hari dengan seseorang yang sudah menolaknya.
Bagi seorang anak laki-laki di kelas dua SMA, perasaan malu seperti itu adalah hal yang wajar.
Tapi, satu-satunya hal yang bisa aku lakukan untuk Mino saat ini adalah ini.
"....Tolonglah. Sungguh, tolong. Kalo kalian ber-2 sering mengobrol, kau pasti tahu kalo Mino sedang merasa kesulitan sekarang. Dia tidak akan mengungkapkan hal itu dengan kata-kata, tapi──"
Mino tidak pernah mengeluh sedikit pun.
Itu adalah kekuatannya, tapi itu juga sekaligus kelemahannya karena dia tidak bisa bergantung pada siapa pun.
Tapu, kalo ada seseorang yang bisa diandalkan, itu adalah Sakakishita.
Kalo Mino bisa bergantung pada seseorang, mungkin dia bisa melakukannya dengan Sakakishita.
"Aku tidak tahu. Mino tidak pernah berbicara tentang hal-hal yang mendalam seperti itu denganku."
Aku bisa merasakan sedikit kebencian dalam suara Sakakishita.
Aku tidak percaya dengan apa yang didengarku.
"Sepertinya kau banyak berbicara dengan Mino, jadi kau pasti tahu bagaimana perasaannya. Tapi sekali lagi, aku tidak tahu."
Sakakishita tersenyum dingin dan melanjutkan.
"Aku kira, kali aku menciptakan situasi seperti ini, aku bisa berbicara lebih dalam dengan Mino, tapi ternyata masih ada jarak."
──Apa dia berkata, "Kalo aku menciptakan situasi seperti ini"?
"Apa maksudmu?"
Aku merasakan kelopak mataku bergetar.
Aku berusaha keras menahan perasaan amarahku yang meluap, suaraku terdengar sedikit kaku.
"Ini hanya di antara kita. Aku percaya pada mu, jadi aku akan megatakannya. Yang membuat Mino terisolasi itu aku."
Aku sudah tahu itu.
Aku sudah paham kalo Sakakishita adalah penyebab utama dari semua ini.
Tapi, aku...
"Aku kira aku tidak sadar akan hal itu."
Karena tidak sadar itulah, dia tidak ikut serta dalam keisengan itu.
Dia juga tidak berusaha menghentikan keisengan tersebut.
Aku pikir begitu.
"Sadarkah aku? Tentu saja sadar. Aku menghitung semuanya."
"Hitung?"
Aku mengulangnya dengan bodoh, seperti burung beo.
"Ya, begitu. Kalo tiba-tiba orang-orang di sekitarnya menghilang, pasti dia akan terluka. Aku sudah ditolak oleh Mino sebelumnya, jadi aku pikir kalo aku ingin berada di posisi di mana aku bisa menembaknya lagi, aku harus bertindak lembut dalam situasi seperti ini. Itu yang aku hitung."
Jadi, maksudnya, begitu.
Mino mulai menunjukkan ekspresi seperti itu karena...
"Karena ada banyak orang yang sudah ditolak oleh Mino sebelumnya, aku terkejut karena ternyata efeknya lebih besar dari yang kuperkirakan. Aku tidak menyangka kalo para pria lain juga akan ikut serta dalam keisengan seperti itu."
Mino tidak pernah mengungkapkan kelemahannya.
Tapi, hanya sekali.
Saat hujan deras itu, dia menyandarkan kepalanya di bahuku.
──Terima kasih.
Itulah tanda SOS-nya.
Saat itu, Mino tidak menoleh.
Dia tidak menunjukkan ekspresi apapun.
Sekarang, kalo dipikir-pikir, dia...
"Dan setelah kami berkomunikasi lagi, aku mendapatkan balasan yang jauh lebih ceria dari biasanya. Aku pikir, 'Wah, ini sudah waktunya.'"
Tapi, itu sudah terlalu jauh.
"Brengsek!!!!"
Aku melompat dan mengayunkan kepalan tangan dengan seluruh kekuatan tubuhku.
Pukulan itu langsung mengenai wajah Sakakishita yang sedang membungkuk, dan aku menungganginya setelah dia terjatuh, mengangkat tinju sekali lagi.
Guru olahraga yang menyadari perubahan tiba-tiba berteriak.
Ekspresi terkejut muncul di mata Sakakishita, yang dalam sekejap berubah menjadi kemarahan.
"Dasar—"
Sakakishita memutar tubuhnya dan menghantamkan pukulan keras ke perutku, mencoba melepaskan diri dari posisiku yang menungganginya.
Kekuatan dalam tinjuku melemah.
Tapi, apa peduliku?
Rasa sakit ini, jika dibandingkan dengan apa yang dia lakukan pada Mino, tidak ada artinya.
Kini, aku memegang erat wajah Sakakishita dengan ke-2 tanganku, dan memberikan kepala yang keras ke tengah wajahnya.
Saat dia berusaha untuk membalas, gerakannya mulai melambat.
1 pukulan, 1 pukulan, aku terus memukuknya.
Ketika aku mengangkat ke-2 tangan ku untuk memberikan pukulan ke-3, sebuah hantaman keras datang dari samping, membuatku terpelanting ke tanah.
"Apa yang kau lakukan, tenanglah!"
Salah satu anggota kelompok Sakakishita menabrakku dengan tekel.
Tanpa tahu apa-apa, kenapa mereka menghalangi?
Meski dalam keadaan terkejut, jawabannya begitu jelas.
Karena Sakakishita lebih dihormati daripada aku.
Dari sudut pandang orang lain, mungkin terlihat seolah-olah aku tiba-tiba memukul Sakakishita.
Aku melompat bangkit dengan cepat dan berusaha untuk menyerangnya lagi, meraih tubuhnya dengan ke-2 tanganku.
Tapi kali ini, tubuhku ditarik mundur dari belakang, dan seseorang menahan tubuhku dengan erat.
Kemudian, Sensei datang dan menghalangi, membuatku tidak bisa berbuat apa-apa.
──Aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk Mino.
Gambar-gambar momen yang benar-benar menyenankan di musim panas kembali muncul di benakku.
Tempat duduk di halaman sekolah yang sejuk, tempat kita bisa bersembunyi dari terik matahari yang menyilaukan.
Di sana, Mino tersenyum.
Semua orang tersenyum.
Aku juga, begitu pula Sakakishita.
Apa yang harus aku lakukan?
Aku tidak tahu.
Bagaimana caranya untuk mempertahankan kebiasaan itu, aku rasa aku akan terus memikirkannya dalam waktu yang lama.
Tapi, satu hal yang kini aku ketahui dengan pasti.
Aku juga telah menghindari Mino.
Percakapan kami semakin sedikit. Aku tidak berusaha mendekat.
Bahkan ketika Mino berbicara padaku, tanpa sadar aku selalu mempersingkat percakapan itu.
Karena khawatir dengan pandangan orang di sekitarku, demi menjaga diriku sendiri.
Aku juga sama.
Aku, seperti mereka, orang-orang sialan itu.
Ada rasa panas yang mulai mengalir di sudut mataku, dan aku menggertakkan gigi.
★★★
Keesokan sore setelah keributan itu, aku dijatuhi hukuman skorsing selama satu hari oleh sekolah dan sekarang sedang berbaring telungkup di tempat tidur di rumah.
Beberapa guru bahkan mengusulkan agar aku diberi skorsing yang lebih lama, tapi sepertinya guru olahraga berhasil menenangkan mereka.
Dari wali kelas, aku bahkan menerima kata-kata yang cukup menenangkan, "Seandainya itu bukan di waktu pelajaran, mungkin tidak akan ada yang tahu."
Dari pandangan orang lain, mungkin terlihat seperti aku yang tiba-tiba menyerang Sakakishita.
Memang, aku yang pertama kali mengangkat tangan, jadi aku menerima hukuman skorsing ini dengan pengertian.
"Untungnya bukan skorsing jangka panjang. Dan hanya satu hari pula."
Mino meletakkan secangkir kopi di samping tempat tidurku.
"...Terima kasih."
"Tidak masalah. Ini untuk permintaan maaf atas skorsingmu."
"Meski begitu, ini terlalu murah."
"Jangan mengeluh."
Mino tersenyum kecil, lalu duduk di kursi meja belajarku.
Hukuman skorsing hanya satu hari.
Alasan kenapa Mino datang ke rumahku setelah sekolah, meskipun dia tidak sakit, bisa kubayangkan.
"...Hei, Hasegawa."
"Maaf."
"Eh?"
"Meskipun kau memukulinya, tidak ada yang akan berubah."
Mino seharusnya tidak tahu kenapa aku memukuli Sakakishita.
Alasan itu bahkan tidak diketahui oleh para laki-laki yang ada di sana saat kejadian.
Ketika Sakakishita dikepung pertanyaan dari sekelilingnya, dia hanya menjawab "Ada banyak hal yang terjadi." Lebih jauh lagi, dia sepertinya memberi tahu guru dengan mengatakan, "Aku yang memprovokasinya terlebih dulu", yang sepertinya memengaruhi keputusan hukuman yang lebih ringan untukku.
Padahal, kalo Sakakishita menginginkannya, dia bisa saja melemparkan seluruh tanggung jawab itu padaku, tapi dia tidak melakukannya.
Mungkin itu karena masih ada sedikit hati nurani yang tersisa dalam dirinya.
Jadi, Mino hanya mendengar tentang fakta kali aku dan Sakakishita saling bertarung setelah kejadian itu.
Tapi, dia bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi, itulah sebabnya dia datang ke rumahku.
Suara Mino sudah menunjukkan tanda-tanda permintaan maaf.
Taoi, aku tidak boleh membiarkan Mino meminta maaf.
Mino tidak melakukan kesalahan apa pun, jadi tidak ada alasan baginya untuk meminta maaf.
"....Kau memang baik."
"Bukan begitu."
"Kalo begitu apa?"
"Keinginan untuk terlihat keras."
"Apa itu? Aneh."
Mino mengernyitkan alisnya, dia tersenyum dengan sedikit kebingungan.
Itu adalah ekspresi yang belum pernah kulihat sebelumnya.
"Kalo begitu, terima kasih."
"Kalo begitu, bagus. Aku bisa menerimanya dengan tulus."
"Aku tidak ingat pernah membesarkan orang yang susah menerima rasa terima kasih."
"Kau ini ibuku atau apa?"
"Ahaha."
Percakapan antara kami berdua setelah sekian lama.
Aku sadar, ini bukanlah percakapan yang seharusnya terjadi selama masa skorsing, dan aku pun jadi merasa sedikit geli.
"Jangan membuat ku tertawa lagi, kau memang tidak berubah."
"Aku memang pandai membuatmu tertawa."
"Ya, ya, itu hanya kebetulan saja. Bukan sesuatu yang perlu dibanggakan."
Mino mengatakan itu sambil mengeluarkan kaleng minuman dari tasnya.
Aku mengamati Mino yang sedang meminum untuk menyegarkan tenggorokannya, lalu aku bangkit dari tempat tidur
Dia melakukan itu agar aku tidak merasa terbebani.
"Kau, ternyata sudah berkomunikasi dengan Sakakishita lewat LINE, ya?"
"Hah?"
"LINE, maksudku. Sakakishita bilang kalo kalian ber-2 bahkan saling mengirim pesan setiap hari."
Kalo benar hubungan mereka sudah pulih dan komunikasi melalui LINE adalah hasil dari itu, aku akan merasa bahagia untuk mereka.
Mungkin Sakakishita berpikir hubungan mereka sudah kembali seperti semula.
Tapi, mungkin Mino tidak berpikir begitu.
"....Iya, memang. Kami masih berkomunikasi."
"Apa itu karena aku?"
Kalo itu hanya khayalan, maka aku yang akan merasa malu.
Tapi, kalo benar itu semua dilakukan demi aku.
Aku akan berutang budi pada Mino dengan cara yang tidak akan bisa aku bayar kembali.
Tapi, setelah beberapa kali berkedip, Mino berkata, "Bukan itu."
"Itu untuk diriku sendiri. Seperti yang kau duga, isi pesan yang kukirimkan kepada Sakakishita sebenarnya bukanlah perasaanku yang sesungguhnya."
"....Jadi, pada akhirnya aku diselamatkan, ya?"
Karena aku selalu berada di dekat Mino, aku mungkin telah membuat Sakakishita merasa cemburu.
Suara Sakakishita yang kudengar saat jam olahraga itu menggambarkan segalanya.
Tapi, kenapa aku bisa terus berada dalam kelompok Sakakishita?
Hari ini, ketika aku harus menjalani hukuman di rumah dan tidak bisa pergi ke sekolah, aku memikirkannya sepanjang hari.
Ekspresi Sakakishita saat pertengkaran itu jelas menunjukkan kebencian.
Tentu saja, karena itu adalah pertengkaran, ekspresinya menjadi terdistorsi.
Tapi, aku merasa ekspresi yang dia tunjukan itu seperti ekspresi yang seakan-akan sudah lama terpendam dan akhirnya tumpah keluar.
Dalam situasi seperti itu, aku tetap berada di sisi Sakakishita.
Aku tidak diasingkan.
Baginya, menjauhkan diriku dari mereka seharusnya sangat mudah bagi Sakakishita.
Kesimpulan yang kuambil adalah, ketika Sakakishita membangun kembali hubungan yang baik dengan Mino, dia takut hubungan itu akan rusak lagi kalo aku dijauhi.
Sakakishita, meski pemikirannya dan caranya terganggu, perasaannya terhadap Mino adalah nyata.
Kalo begitu, wajar baginya untuk ingin menjaga hubungan yang telah dibangun kembali dengan Mino.
Aku telah dilindungi oleh keberadaan Mino.
"....Aku menyesal."
"Menyesal tentang apa?"
"Aku terlalu keras kepala, selalu bilang 'ini aku, ini aku'. Akibatnya, aku membuat diriku sendiri dan juga kau menderita."
Mino menundukkan kepalanya, dan menghela napas.
Lalu, ketika dia mengangkat wajahnya, matanya memancarkan kilau tekad.
"Karena itu, aku akan berubah. Sejujurnya, aku masih belum tahu bagaimana atau apa yang harus aku ubah, tapi...kalo itu akan mengganggumu, aku akan membuang 'aku' yang lama."
Apa Mino mengirim pesan yang ramah kepada Sakakishita sebagai bagian dari hal itu?
──Ternyata, itu memang untukku.
Mino mengatakan kalo dia akan membuang dirinya sendiri.
Dulu, aku tidak ingin Mino mengubah cara dia yang sekarang.
Aku ingin Mino terus mempertahankan sikapnya yang tegas, yang tidak pernah berubah terhadap siapa pun, dan cara dia menyampaikan pendapatnya yang jujur dan lurus.
Itu adalah harapan egoisku.
Tapi, kesimpulan ini adalah jawaban yang diambil oleh Mino Ayaka sendiri.
Dia memikirkannya sendirian, dan memutuskan untuk berubah sendiri.
Bagaimana Mino Ayaka akan berubah ke depannya, itu masih belum jelas bagi orang lain.
Tapi, apapun yang terjadi pada Mino Ayaka ke depannya, ── aku tahu alasan di balik keputusan Mino.
Proses yang dia jalani sangat khas Mino, sampai-sampai aku hanya bisa tersenyum.
Apapun yang akan berubah ke depannya, dasar dari dirinya tidak akan berubah.
〝Mino Ayaka〟 tidak akan pernah berubah.
Inti dari dirinya memang benar-benar ada.
Cara Mino yang sangat khas, tetap tampak bersinar bagiku.
"Tapi kalo aku gagal lagi, dan kali situasinya menjadi sama lagi, kali ini kau boleh benar-benar mengabaikanku. Aku sudah bilang, memprioritaskan diri sendiri itu hal yang wajar."
Cara Mino tidak akan berubah.
Kalo begitu, tindakan yang akan kuambil sudah jelas.
"Yang lebih penting dari dirimu sendiri adalah teman, kan?"
Sekarang, aku tidak akan gagal lagi.
Selama kita berada dalam lingkungan yang sama, aku, dan hanya aku, yang akan mendampingi Mino.
Mino mendengarkan kata-kataku, dan dia terlihat berpikir dengan ekspresi yang bingung.
Dia sedang merenungkan maksud ucapanku.
"Untuk lebih jelasnya..."
Aku menarik napas sejenak, dan dengan nada tegas, agar kata-kataku sampai ke hati Mino, aku melanjutkan.
"Jika situasinya terulang, kali ini aku tidak akan membiarkanmu sendiri. Aku akan membantumu sepenuhnya. Karena kita teman."
Mino terkejut dan membuka matanya lebar-lebar.
"Teman itu, apa seperti itu ya?"
"Memangnya tidak begitu?"
"Jadi, kalo semua orang berada dalam situasi yang sama, kau akan membantu mereka semua?"
"....Jujur saja, itu tidak mungkin."
"Maksudmu itu hanya untuk ku ya?"
"Ya, benar."
"Kenapa?"
"Mungkin karena aku ingin lebih dekat dengan mu. Sebuah hubungan yang lebih dalam dari sekadar teman."
Melihat pemandangan yang ada setelah melewati batas pertemanan, bersama-sama.
Untuk memperdalam hubungan, tiket untuk itu hanya dengan perasaan tersebut saja sudah cukup.
"....Begitu ya. Jadi itu, teman sejati?"
"Mungkin. Nama sebutannya, tidak masalah."
Kami tidak perlu menyebarkan kepada orang lain kalo 'Kami teman sejati.'
Teman sejati, berbeda dengan pasangan, ini adalah hubungan yang sulit dibedakan oleh orang lain dari luar.
Itulah kenapa, kalo ke-2 belah pihak memiliki pengertian yang sama tentang lebih dari sekadar teman, maka itu sudah cukup.
Setelah sedikit diam, Mino tersenyum.
Ekspresinya sangat segar dan cerah.
"Itu juga benar.──Kalo begitu, aku akan memberimu ini."
Mino mengeluarkan sesuatu yang kecil dari sakunya dan memberikannya padaku.
"Apa ini?"
"Gantungan kunci. Sebagai ucapan terima kasih."
Desainnya menyerupai karakter lokal bergambar macan tutul salju.
"....Lucu juga."
Saat aku mengatakan itu, Mino tersenyum lebih lebar.
"Kalo begitu, jaga dirimu baik-baik. Kalo ada masalah lagi, jangan ragu untuk melibatkan ku."
"Eh, tapi pernyataan itu agak menakutkan, loh."
"Apa sih. Kita kan sudah lebih dari sekadar teman, kan?"
Setelah mengatakannya, Mino segera turun dari kursi dan dengan kasar menggantungkan tas di bahunya.
"Jadi, aku pergi ya. Sampai jumpa besok."
"Ya, sampai nanti, Mino."
Saat aku mengatakan itu, Mino menurunkan tangannya dari gagang pintu.
"....Panggil aku Ayaka saja."
"Hah?"
"Di saat kita ber-2, panggil aku 'Ayaka'. Selama masih di sekolah, aku ingin kau memanggilku dengan nama keluarga di depan teman-teman."
Mino menoleh, pipinya sedikit merah.
"Yah, sebenarnya terserah sih. ...Nah, aku pergi ya. Jangan cuma baca manga, ya. Dan, pastikan kau belajar untuk materi pelajaran hari ini!"
"Kau seperti ibu ku aja!"
Aku kembali bercanda, dan Mino tertawa sebelum keluar.
"....Kalo kita bertemu lagi, mungkin aku akan mulai memanggilmu dengan nama depanmu."
Mungkin aku akan sedikit gugup.
Tapi, ketika aku mulai terbiasa memanggil namanya, hubungan kami pasti sudah berbeda dari yang sekarang.
Aku merenungkan masa depan kami ber-2, lalu melompat ke tempat tidur.