> CHAPTER 4

CHAPTER 4

 Kamu saat ini sedang membaca   Kyō mo iki tete erai! ~ Amaama kanpeki bishōjo to sugosu 3 LDK dōsei seikatsu ~  volume 1,  chapter 4. Kalo kamu menyukai karya ini silahkan tinggalkan jejak komentar. Dan juga jangan lupa dukung mimin dengan cara donet se iklasnya di Trkateer mimin buat mimin makin semagat+buat dana untuk beli raw 

BERANGKAT SEKOLAH, DAN LANGSUNG KETAHUAN




Pagi-pagi sekali, aku terbangun karena aroma harum yang membangkitkan selera makan.


Saat aku bangkit, sosok Fuyuki tidak ada di sebelah.


Terdengar suara dari arah dapur, kemungkinan besar dia ada di sana.


"Ah, selamat pagi, Haruyuki-kun. Kau hebat sekali bisa bangun dengan benar."


"......Selamat pagi."


Fuyuki yang sudah berganti pakaian dengan kemeja putih dan rok yang merupakan seragam sekolah, dia mengenakan apron di atasnya sambil memegang sendok sayur.


Sepertinya dia sedang menyiapkan sarapan untukku.


"Sebentar lagi selesai, jadi tolong sana siap-siap untuk pergi ke sekolah."


"Ah, baik."




Aku berganti pakaian dengan seragam sekolah di ruangan yang dia pinjamkan sebagai kamarku, lalu kembali ke ruang tengah dengan membawa tas sekolah yang penuh dengan buku pelajaran.


Rasanya ini pertama kalinya aku bisa merasa segar di hari sekolah seperti ini.


Rasa lelah yang biasanya selalu ada seakan menghilang entah ke mana, dan aku merasa bisa bergerak dengan penuh semangat untuk melakukan apa pun.


Itu semua karena akhir pekan tanpa pekerjaan paruh waktu yang membuatku bisa beristirahat dengan benar.


Aku merasa sangat bersalah pada Fuyuki karena tidur lebih dari12 jam hingga hampir siang, tapi dia justru memujiku dengan riang.


Katanya, "Kau hebat sekali bisa tidur sebanyak itu!"


Kalo aku bisa dipuji hanya karena itu, rasanya aku bisa tidur selama apa pun.


Dan entah bagaimana, minggu pun berganti, dan hari ini adalah hari Senin.


Hari di mana aku harus pergi ke sekolah dengan semangat.


"Haruyuki-kun, apa kau tidak masalah dengan natto?"


"Aku tidak punya masalah khusus dengan itu."


"Baik, kalo begitu akan aku siapkan."

 

Fuyuki membawa nampan berisi sarapan yang ditata dengan rapi, lalu meletakkannya di depanku.


Sup miso, ikan salmon panggang. Nasi putih yang baru matang, dan natto yang baru saja disebutkan tadi.


Ini benar-benar bisa disebut sarapan ideal.


"Kau benar-benar jago memasak, ya, Fuyuki."


"Makanan adalah sumber penting yang membentuk tubuh kita. Karena itu, aku sudah banyak berlatih."


Sama seperti semalam, kami menyatukan tangan dan mulai makan.


Salmon panggangnya kulitnya renyah, rasa asinnya yang pas membuat nasi putih terasa semakin lezat.


Mengenai sup miso, meskipun menggunakan bahan yang sama seperti semalam, aku merasa tidak akan pernah bosan meminumnya.


"Bisa makan sarapan seperti ini sejak pagi hari... sungguh kemewahan yang luar biasa..."


"Aku senang mendengarnya, tapi sebenarnya aku tidak melakukan hal yang terlalu istimewa, lho? Justru aku penasaran, selama ini kau makan sarapan seperti apa?"


"Aku tidak sarapan."


"Eh?"


"Karena aku lebih memilih tidur kalo aku ada waktu untuk sarapan, jadi aku sama sekali tidak sarapan di pagi hari."


Aku yang sebisa mungkin menghindari pengeluaran untuk makanan, satu-satunya hal yang kuputuskan untuk dihilangkan tanpa masalah adalah sarapan.


Karena itulah, sudah lebih dari setahun sejak terakhir kali aku makan sarapan seperti ini.


".....Aku akan membuatkannya setiap hari, dengan benar."


"Eh?"


"Aku akan membuatkannya, dengan benar."


Tatapannya yang lurus dan serius membuatku tanpa sadar terdiam membeku.


Tapi saat aku sadar kalo dia melakukannya demi aku, kehangatan langsung mengalir memenuhi dadaku.


"Kalo Fuyuki yang membuatkan untukku, aku akan memakannya sampai habis. Tapi kalo kau memaksakan diri..."


"Memaksakan diri...? Kau terlalu meremehkanku. Mau seberapa rumit pun masakannya, selama itu untuk Haruyuki-kun, aku tidak akan keberatan"


────Bukankah itu justru berarti dia sedang memaksakan diri?

 

Aku memang sempat berpikir begitu, tapi melihat ekspresi Fuyuki yang benar-benar terlihat tidak merasa terbebani sedikit pun, aku pun kehilangan kata-kata.


"Hanya dengan diperlakukan dengan penuh kasih sayang seperti ini saja, aku sudah sangat bahagia. Haruyuki-kun mungkin merasa kalo hanya kau yang menerima, tapi dari sudut pandangku, aku justru sudah menerima begitu banyak hal darimu, tahu?"


"Begitukah?"


"Ya. Misalnya seperti saat ini, kmu memperhatikanku, lalu kau tidur bersamaku, menyambutku dengan ucapan selamat datang, memasak bersamaku, mengatakan makanannya enak...semuanya, semuanya adalah harta berharga untukku."


Fuyuki merapatkan kedua tangannya, lalu membawanya ke depan dadanya seakan memeluk sesuatu.


Seolah ingin selalu membawa serta harta berharganya itu, dengan sangat hati-hati, sangat berharga.


Tapi itu semua, juga adalah hal-hal yang aku terima darinya.


Tapi tetap saja, aku merasa belum bisa membalas semua yang telah dia berikan. Aku tidak bisa menerima begitu saja.


"Haruyuki-kun, hanya dengan tetap hidup dan berdiri di sini sudah lebih dari cukup. Hanya dengan hidup saja, kau sudah luar biasa."


Fuyuki memang selalu berlebihan.


Aku ingin tahu lebih banyak tentang dirinya yang seperti itu.


Pasti ada sesuatu───sebuah alasan, mungkin suatu kejadian───yang menjadi titik awal kenapa dia bisa memiliki perasaan sebesar itu padaku.


Agar aku bisa membalas perasaannya dengan sepenuh hati, aku juga butuh sesuatu───ya, semacam alasan yang bisa menjadi pijakanku.


"......Ah, sepertinya sudah waktunya berangkat."


"Ah, sudah jam segitu ya."


Saat aku melihat jam menggunakan Hp lamaku, aku melihat pukul 7.30.


Jam pelajaran di sekolah kami dimulai pukul 8.20.


Kalo kami berangkat sekarang, sepertinya kami bisa sampai dengan waktu yang cukup longgar.




Kami menyelesaikan piring terakhir yang tersisa untuk dicuci, lalu masing-masing mengambil tas sekolah.


Di dalam tasku ada bento yang dibuat oleh Fuyuki, dan mengingat kualitas bento minggu lalu, aku jadi tidak sabar menunggu waktu istirahat makan siang.


"Asahi sedang menunggu di bawah, jadi ayo kita turun ke tempat parkir"


"......Meski sudah terlambat untuk mengatakan ini, tapi apa aku benar-benar boleh ikut naik juga?"


"Tentu saja. Aku tidak akan membiarkanmu pergi ke sekolah sendirian naik kereta."


Saat berangkat sekolah, aku menumpang mobil milik Hino-san bersama Fuyuki.

 

Meskipun wajar baginya untuk dijemput dan diantar dengan mobil, tapi kenyataan kalo aku juga ikut membuatku merasa agak tidak enak.


Tapi, bagaimanapun juga, Hino-san tetap akan mengantar Fuyuki ke sekolah, jadi menambahkan satu orang lagi seharusnya tidak akan menimbulkan masalah apa pun.


Justru kalo aku bersikap terlalu sungkan, bisa saja itu dianggap sebagai tanda kalo aku tidak mempercayai Hino-san.


Pada akhirnya, aku memutuskan untuk menerima kebaikan mereka.


"Selamat pagi, Fuyuki-sama, Inamori-sama."


Setibanya di tempat parkir, seperti kemarin, Hino-san yang tidak menunjukkan perubahan sedikit pun sudah menunggu di dalam mobil.


"......Selamat pagi. Maaf, aku juga merepotkanmu untuk ikut menumpang."


"Perintah dari Fuyuki-sama sudah saya terima, jadi tidak ada masalah."


Kami menaiki mobil yang sama seperti kemarin, dan berangkat menuju sekolah.


Mobil yang dikendarai Hino-san sangat nyaman dan memberikan rasa aman.


Selama perjalanan, Fuyuki terlihat mengayunkan kepalanya ke kiri dan kanan dengan ceria.


Pemandangan itu terlihat sangat menggemaskan hingga sudut bibirku terangkat tanpa sadar.


Tak lama kemudian, mobil Hino-san berhenti di tempat parkir yang sedikit jauh dari sekolah.


"Baiklah, ayo kita pergi."


"Ah... Hino-san, terima kasih."


"Terima kasih, Asahi. Aku tak sabar bertemu denganmu lagi sore ini."


Sambil mengucapkan terima kasih kepada Hino-san, kami turun dari mobil di sini.


Sepertinya, Fuyuki memang jarang meminta diantar sampai langsung ke depan sekolah.


Meski hanya sebentar, mobil tetap memakan tempat, dan dia juga mungkin mempertimbangkan kemungkinan menarik perhatian secara berlebihan.


Dari sini, kami akan berjalan kaki sekitar lima menit menuju sekolah.


"Ngomong-ngomong, sebentar lagi ujian tengah semester."


"......Benar juga."


Saat ini pertengahan bulan Mei.


Aku yakin ujian tengah semester seharusnya dimulai sekitar seminggu lagi.


"Fuyuki kau memang selalu berada peringkat satu. Aku benar-benar kagum padamu."


"Fufu, aku jadi malu. Tapi Haruyuki-kun yang menghabiskan hampir seluruh waktu luangnya untuk bekerja paruh waktu, tapi tetap mendapat nilai bagus, itu juga luar biasa, tahu."


"Kalo kau bilang begitu, rasanya semua usahaku terbayar..."


"Kenapa? Apa ada yang kau khawatirkan untuk materi kali ini?"


"Begitulah. Begitu masuk tahun kedua, pelajaran jadi jauh lebih sulit. Karena aku tetap mengambil jadwal kerja seperti tahun lalu, aku merasa agak tertinggal."


"Ah, begitu."

 

Mungkin aku tidak akan mendapatkan nilai merah, tapi nilai rata-rataku pasti akan turun drastis.


Meski memang ada bagian yang tidak bisa dihindari, sejujurnya aku merasa lemah karena mulai tidak bisa menyeimbangkan semuanya.


"Jadwal Haruyuki-kun benar-benar terlalu padat untuk ukuran seorang siswa SMA pada umumnya. Meskipun begitu, menurutku sungguh menakjubkan kalo nilai-nilaimu belum jatuh sampai titik yang tidak bisa diselamatkan, menurutku itu sudah luar biasa. Haruyuki-kun kau patut merasa bangga."


"...Apa itu terlihat di wajahku lagi?"


"Tidak, hanya saja aku merasa Haruyuki-kun pasti sedang menyalahkan dirimu sendiri."


Sungguh bodoh────.


"Seperti yang kuduga, Fuyuki kau pasti seorang esper, kan?"


"Nah, siapa yang tahu."


Fuyuki tersenyum seolah menggoda, dia terlihat sangat menikmati percakapan kami.


Ya, dia memang benar-benar manis dan tak tertahankan.


"Kalo Haruyuki-kun tidak keberatan, bagaimana kalo kita belajar bersama untuk menghadapi ujian tengah semester kali ini? Aku bisa membantumu kalo ada yang tidak kau mengerti.”


"Tapi kalo begitu, waktu belajar Fuyuki akan..."


"Haruyuki-kun, kau tidak perlu khawatir tentang aku yang selalu peringkat satu. Lagipula, aku hampir tidak belajar menjelang ujian."


"Ja-jadi kau bisa mendapat peringkat satu dengan cara seperti itu?"


"Aku menghafal isi pelajaran dan buku teks sepenuhnya. Jadi pada dasarnya tidak ada soal yang tidak aku mengerti."


Itu cerita yang luar biasa.


Buku pelajaran SMA bukan hanya tebal, tapi juga padat dalam setiap halamannya.


"Pekerjaanku juga sedang tidak terlalu sibuk akhir-akhir ini, dan kalo setelah makan malam pun tidak masalah. Jadi aku sangat ingin Haruyuki-kun mengandalkanku, Haruyuki-kum."


"Kalo begitu, aku akan menerima tawaranmu."


"Oke! Fufufu...belajar bersama Haruyuki-kun di malam hari...kedengarannya sangat menggoda."


Sepertinya pikirannya mulai mengarah ke sesuatu yang tidak pantas.


Saat kami terus mengobrol seperti itu, jalan utama mulai terlihat di depan.


Karena banyak siswa lain yang mengenakan seragam sama seperti kami berjalan di sana, mulai dari titik ini kami harus berjalan sedikit berjauhan.


".....Kita harus berpisah di sini, ya."


"Sepertinya begitu."


"Aku tidak senang."


"Ini pertama kalinya aku melihat seseorang yang mengungkapkan ketidakpuasannya secara langsung seperti itu."


Bukan hanya lewat kata-kata, Fuyuki juga mengembungkan pipinya dan dia dengan jelas menunjukkan kekecewaannya.


Meski biasanya dia terlihat dewasa dan bisa diandalkan, saat dia memperlihatkan sisi kekanak-kanakannya seperti ini, entah kenapa aku merasa lega.

 

"Kalau begitu...aku pergi dulu. Sampai jumpa di sekolah」


"Ya, sampai jumpa."


Fuyuki langsung melangkah menuju jalan utama.


Sementara itu, aku mengambil jalur samping dan bergabung ke jalan utama dari sudut yang berbeda.


Beberapa langkah di depan tempatku berjalan.


Di sana, Fuyuki yang baru saja berpisah dariku sedang berjalan.


Warna rambutnya yang mencolok tentu saja menjadi perhatian, tapi bukan hanya itu───postur tubuh, cara berdirinya, semuanya memiliki keanggunan yang jauh melebihi standar seorang siswa SMA.


Para pekerja kantoran yang berpapasan dengannya di jalan, terlihat secara refleks menoleh ke belakang untuk melihatnya lagi.


Perasaan itu sangat aku mengerti.


"Hei, itu Tojo-senpai, kan?"


"Benar...! Bukankah kita sangat beruntung bertemu dengannya pagi ini!?"


"Iya! Posturnya bagus sekali..."


"Wajahnya bahkan terlalu cantik sampai-sampai aku tidak bisa menatapnya secara langsung."


"Iya kau benar."


Aku tak sengaja mendengar percakapan beberapa gadis───mungkin adik kelas───yang berjalan di dekatku terdengar jelas.


Memang, tingkat popularitas Fuyuki di sekolah tidak bisa diukur.


Itu menunjukkan betapa memikatnya sosok Tojo Fuyuki, dan bagaimana semua orang mengaguminya.


(Dibandingkan dengan aku...)


Aku secara refleks menunduk menatap kedua tanganku.


Apa aku benar-benar pantas berada di sisinya?


Fuyuki pun, bisa saja sewaktu-waktu meninggalkanku────


(....Sudahlah)


Menganggap remeh pikiran orang lain seperti itu justru tidak sopan.


Aku mengusir pikiran negatif itu dan melangkahkan kakiku menuju sekolah.

 

Tanpa terjadi sesuatu yang berarti, aku berhasil sampai di ruang kelas dan aku pun duduk di kursiku sambil bersiap-siap untuk pelajaran pertama.


Aku memang sempat libur sehari, tapi berkat Fuyuki, catatan pelajaranku sudah lengkap, dan mungkin aku masih bisa mengikuti isi pelajaran.


"Yo, Haru."


Saat sedang begitu, aku mendengar suara yang familiar dari sampingku.


"Ah, Masaya. Selamat pagi."


"Ya. Kudengar kau sakit kemarin, apa kau sudah membaik?"


"Ya. Berkat bantuan semua, aku tidak ada masalah."


"Kalau begitu bagus."


Laki-laki yang duduk di bangku depanku adalah Nishino Masaya.


Dia salah satu dari sedikit teman yang kumiliki sejak SMP, dan juga orang yang mengetahui kondisi kehidupanku.


Bisa dibilang, dia adalah orang yang paling kupercaya saat ini.


"Kau tahu...begitulah jadinya kalo kau terus-menerus bekerja sampai mengorbankan waktu tidurmu. Kumohon jangan terlalu memaksakan diri. Ibuku bahkan juga bilang kalo dia bisa meminjamkan satu kamar untuk mu, jadi cobalah sedikit bersantai."


"Aku sangat berterima kasih atas tawaran itu, tapi..."


Sejak dulu, keluarga Masaya memang selalu memperhatikanku.


Aku tahu betapa berharganya perhatian itu, tapi tetap saja, aku merasa tidak bisa sepenuhnya mengandalkan mereka, atau lebih tepatnya, rasa sungkuku lebih besar.


Agak memalukan dan sulit untuk mengatakan ini secara langsung, tapi sebisa mungkin aku ingin berada dalam posisi yang setara dengan Masaya.


Bukan karena aku ingin menjaga jarak, hanya saja aku tidak ingin terus-menerus merasa berutang budi. Yah, pada akhirnya ini hanyalah pemikiran egoisku.


"Seperti biasa, Haru payah dalam hal meminta bantuan."


"Bukannya aku tidak mau, tapi...ya, mungkin memang begitu."


"Kalo sampai kau sakit lagi... aku akan terus memaksamu, bahkan kalo aku harus memukulmu.”


"...Mengerti."


Melihatku menerima ucapannya, Masaya mengangguk dengan puas.


Kalo dipikir-pikir, sifatnya yang agak memaksa seperti ini memang sedikit mirip dengan Fuyuki.


Sepertinya dalam waktu dekat aku harus menceritakan tentang Fuyuki kepada Masaya juga.


Dia bukan tipe orang yang mudah membocorkan rahasia, dan justru karena dia teman yang penting bagiku, aku tidak ingin membuatnya khawatir lebih dari ini.


"Ngomong-ngomong, pelajaran pertama hari ini matematika, apa kau sudah siap?"


"Hm? Apa maksudmu?"


"Karena kemarin ada pelajaran rumus baru, jadi kupikir kau mungkin akan ketinggalan."


"Ah, kalo itu tidak apa-apa. Kemarin Fuyuki memberiku catatan..."


────Ah.



"'Fuyuki memberiku catatan'?"


Karena sedang berbicara sambil memikirkan tentang Fuyuki, jadi aku tidak sengaja keceplosan.


Padahal kami sudah sepakat untuk merahasiakannya dari orang lain, tapi bahkan belum 5 menit sejak aku tiba di sekolah.


Waspada itu penting. Tanpa sadar aku menghela napas pada kecerobohanku sendiri.


"Hm? Apa maksudmu, Haru-kun?"


"Akan kujelaskan nanti...jangan beritahu orang lain."


"Aku tahu."


Aku akan minta maaf pada Fuyuki sepulang sekolah.


Ya, aku akan meminta maaf dengan sepenuh hati.


★★★


"Hee~ begitu ya. Jadi, Tojo-san sedang mendesakmu untuk bertunangan dengannya."


"Yah...kurang lebih begitu."


Waktu istirahat makan siang.


Di sudut kelas, sambil memperhatikan sekitar, aku menceritakan semua kejadian itu pada Masaya.


Setelah mendengar semuanya, Masaya memandang Fuyuki yang sedang dikelilingi oleh kelompok orang-orang populer, lalu kembali menatapku.


"Hmm...yah, bukankah itu bagus?"


"Apa maksudmu..."


"Maksudku, kau pantas mendapat kebahagiaan seperti ini. Kalo tidak...hidupmu rasanya tidak sepadan."


Mendengar Masaya mengatakan itu, hatiku terasa sedikit lega.


Pikiran negatif seperti 'apa pantas orang sepertiku pantas berada di lingkungan yang begitu istimewa' perlahan mulai memudar.


"Kalo dibilang iri sih, ya aku memang iri, kurasa! Soalnya kau bisa makan masakan buatan tangan orang yang seperti idola sekolah itu setiap hari, dan selalu menghabiskan waktu bersamanya, kan? Kalo sampai diketahui laki-laki lain, kau bisa dibunuh, tahu? Aku sih tidak masalah, karena aku sudah punya perempuan yang kupilih."


"Aku juga paham sampai sejauh itu. ...Ngomong-ngomong, apa kau sendiri masih bisa bertemu dengan Ueyama-san?"


"Hm? Yah, sekarang ini agak sulit. SMA-nya juga agak jauh karena urusan orang tuanya, tapi katanya untuk kuliah nanti dia berencana masuk kampus di sini. Jadi, aku tinggal bersabar saja sampai saat itu."


Ueyama-san adalah nama perempuan yang Masaya pacari sejak SMP.


Setiap kali berbicara tentang kekasihnya yang berharga itu, ekspresi Masaya selalu terlihat lembut.


Rambut pendek yang dipangkas rapi membuatnya terlihat maskulin, wajahnya juga tampan, ditambah lagi dia adalah ace di klub basket.


Tentu saja banyak perempuan yang mendekatinya, tapi Masaya sama sekali tidak pernah menoleh pada mereka.


Wajahnya hanya akan melunak di depan Ueyama-san saja.


────Meski sebenarnya di depanku pun ekspresinya sering berubah-ubah, tapi rasanya agak memalukan untuk mengatakannya, jadi aku biarkan saja.


"Jadi, seperti apa bento buatan pacar yang jadi idola semua orang itu? Coba tunjukkan padaku sedikit."


Melihat Masaya yang mendekat sambil menyeringai, aku merasa sedikit enggan untuk menunjukkannya. Tapi, mau tak mau aku harus memakannya di depan matanya juga.


Dengan satu helaan napas, aku membuka bento itu, dan Masaya pun mengeluarkan suara kagum.


"Oh...Sehebat yang kubayangkan."


"Aku juga berpikir begitu."


Seperti biasa, bento buatannya hari ini pun memiliki penampilan yang sempurna.


Ada tamagoyaki yang pernah kukatakan aku suka, gulungan daging babi isi asparagus, serta chikuzen-ni.


Lalu, sebagai tambahan warna dan asupan sayur, ada brokoli dan tomat ceri.


Di atas nasi, ditaburi furikake katsuobushi, yang dari tampilannya saja sudah bisa membangkitkan selera makan.


"Bagaimana ya...rasanya itu bukan sesuatu yang terlalu mewah atau istimewa secara berlebihan...dan justru itu yang bagus."


"Aku mengerti maksudmu."


Meski terdengar agak kurang sopan, benti buatan Tojo-san itu terasa pas dalam kesan 'rumahan'-nya.


Bukan karena dia punya uang lalu memakai bahan-bahan mahal, tapi dia meningkatkan kualitas keseluruhan dengan tidak mengabaikan ketelatenan pada bahan-bahan yang terjangkau. 


───Aku bukan ahli, jadi aki tidak tahu pasti, tapi itulah yang kurasakan.


Setelah mengucapkan "Itadakimasu", sama seperti kemarin, aku memulai dengan tamagoyaki.


Seperti yang kuduga, rasa manisnya yang lembut benar-benar tak tertahankan.


Sangat cocok dipadukan dengan gulungan daging asparagus, dan baik dimakan terpisah maupun bersamaan, membuatku sulit berhenti mengunyah.


"...Aku sangat senang, melihat ada perempuan yang menyadari pesona sahabatku."


"Apa-apaan itu, cara bicaramu menjijikkan, tahu?"


"Maaf, maaf. Tapi, aku memang dari dulu merasa miris saja melihat orang sebaik dan sepeduli dirimu, yang karena kesibukan jadi tidak bisa menikmati masa muda."


Sebenarnya aku ingin bilang 'itu bukan urusanmu', tapi memang benar, aku tidak bisa dibilang sedang menjalani kehidupan layaknya seorang pelajar.


Bagi Masaya, mungkin ini memang situasi yang membuatnya tidak bisa tidak memikirkanku.


Untuk itu, aku bahkan merasa sedikit bersalah.


"Bagaimanapun, bukankah ini bagus? Sekarang kau tidak perlu bekerja paruh waktu dengan terpaksa, jadi kenapa kau tidak mencoba hal-hal yang selama ini belum bisa kau lakukan?"


"Hal-hal yang belum bisa kulakukan, kah...misalnya?"


"Ya jelas saja, pergi bermain denganku."


"Memang itu salah satu hal yang belum bisa kulakukan sih."


"Ayolah, kau harus lebih gembira sedikit! Apa kau tahu berapa kali aku mengajakmu meski tahu itu percuma? Mulai sekarang, kita bisa bersenang-senang, kan!?"


Aku memang merasa bersalah karena sering menolak ajakannya dulu, dan seharusnya aku yang bisa bersenang-senang bersama Masaya sepulang sekolah adalah hal yang patut disyukuri. Tapi, entah kenapa aku tetap tidak bisa terlalu bersemangat.


Karena yang terlintas di pikiranku adalah, sepulang sekolah itu waktu Tojo-san bekerja, dan aku merasa aneh kalo di saat itu aku malah bersenang-senang tanpa memikirkan apa-apa.


"Yah, aku juga tidak berniat memaksamu sih, tapi setidaknya setelah ujian selesai, bukankah kita bersenang-senang? Sekalian itu juga untuk pesta perayaan, kita bisa karaoke semalaman───uwoh!?"


"Hmm?"


Tiba-tiba Masaya terperanjat sambil sedikit menunduk ke belakang, lalu dia menunjuk ke arah belakangku.


Refleks aku menoleh, dan di sana berdiri Fuyuki, tersenyum lebar.


Aku tidak yakin kenapa, tapi meskipun dia jelas-jelas tersenyum, aku tetap merasakan semacam tekanan aneh darinya.


"Haruyuki-kun, kudengar kemarin kau tidak enak badan, tapi hari ini kau kelihatannya sudah sehat, ya."


"Ah, iya...berkatmu."


"Syukurlah. Kalo ada yang ingin ditanyakan soal pelajaran kemarin, jangan ragu untuk mengandalkanku, ya?"


"...Terima kasih."


Dengan sedikit keringat dingin, aku melihatnya kembali ke tempat duduknya.


Kira-kira dari bagian mana dia mendengar pembicaraan tadi?


Mungkin dia merasa sedikit tidak nyaman saat kami berbicara mau bersenang-senang.


Aku mulai berpikir untuk meminta maaf nanti───tapi, Hp-ku tiba-tiba bergetar menerima pesan LINE.


Pengirimnya adalah dia, yang baru saja pergi dari hadapanku.


『Tidak apa-apa kalo kau keluar dan bersenang-senang dengan teman-temanmu, tapi aku akan senang kalo kau bisa pulang sebelum pukul 20.00. Lalu, sebisa mungkin jangan makan malam di luar, ya?』


Aku melirik ke arah Fuyuki, dan dia membalas dengan senyum lembut.


Tanpa sadar, aku menghela napas lega.


Ternyata, pergi bermain itu sendiri tidak menjadi masalah.


Bagiku juga, kehilangan kesempatan untuk makan malam buatan Fuyuki-san adalah sesuatu yang ingin kuhindari, jadi soal ini sepertinya tidak akan kulanggar.


"Mungkin...kau dimarahi?"


"Ti-tidak, katanya asal aku pulang sebelum pukul 20.00. tidak masalah. Dan aku juga sudah berjanji akan makan malam di rumah, jadi aku tidak akan makan di luar."


"Y-ya, itu masuk akal sih. Aku juga akan berusaha tidak menyeretmu keliling dengan gaya aneh..."


Masaya sudah terlihat benar-benar ketakutan.


Itulah Tojo Fuyuki───hanya dengan sebuah senyuman, dia bisa menghancurkan hati seseorang.


Aku harus memastikan untuk ikut merayakan pesta nanti.


Karena aku merasa itulah satu-satunya bentuk 'aftercare' yang bisa kulakukan untuknya.


★★★


"Tojo-san apa kau dekat dengan Inamori?"


"Eh?"


"Soalnya, kelihatannya kau cukup memperhatikannya..."


Mendengar itu dari Sato-san, yang biasanya makan siang bersamaku, membuat jantungku berdegup kencang, meskipun aku merasa tidak melakukan sesuatu yang patut dicurigai.


Perempuan, termasuk diriku, memang memiliki intuisi yang lebih tajam dari yang dibayangkan.


"Jangan-jangan, kau tertarik pada Inamori?"


"Eh!? Tapi bukankah dia agak membosankan..."


"Ya, rasanya dia tidak cocok dengan Tojo-san."


Aku menutup mulut dengan tangan, berpura-pura tersenyum.


Sebenarnya, apa yang Yoshida-san dan Sato-san ketahui tentangku dan Haruyuki-kun?


Urusan cocok atau tidak cocok, aku tidak pernah memikirkannya terlepas dari siapa pun yang bersamaku.


Lebih tepatnya, kalo Haruyuki-kun yang menjadi pasanganku, justru aku merasa akulah yang tidak pantas.


"....Ngomong-ngomong, apa Tojo-san sendiri memang tertarik pada hal-hal seperti percintaan?"


"Percintaan, kah?"


"Iya. Soalnya kan, tempo hari kau di tembak oleh Adachi-kun, ace klub sepak bola, kan?"


Adachi───ah, maksudnya dia, yang repot-repot memanggilku ke belakang gedung sekolah itu.


"Dengar-dengar, kau menolak pengakuan itu juga. Jadi, aku bertanya-tanya, apa Tojo-san memang tidak berniat menjalin hubungan dengan siapa pun."


"Eh!? Adachi-kun yang itu!? Dia populer sekali di kalangan perempuan, tahu!?"


Sato-san berkata begitu, tapi aku benar-benar tidak tertarik, sehingga sulit untuk bereaksi.


Memang, wajahnya cukup tampan, tapi di luar itu...tidak ada yang kurasakan.


"Bukan berarti aku tidak tertarik pada percintaan.m.hanya saja, aku merasa dia kurang sesuai dengan seleraku."


"Kalo begitu! Berarti kau memang lebih suka tipe yang membosankan seperti Inamori, ya!?"


Menyebutnya sebagai 'tipe membosankan' seperti itu... Yoshida-san sama sekali tidak mengerti.


Yah, tidak mengerti pun tidak masalah, tapi kalo dia terus-menerus menyebutnya 'membosankan' dalam arti yang buruk, tentu saja aku merasa kesal.


Kalo bisa, aku ingin memaksakan pandanganku tentang kelebihannya pada mereka, supaya selamanya mereka tidak bisa melupakannya.


Tapi itu berisiko menambah saingan, jadi aku memilih menahan diri.


Ah...sampai di titik ini, aku merasa ingin memuji diriku sendiri sebagai perempuan yang sangat sabar.


".....Yah, dibandingkan yang berpenampilan mencolok, aku memang lebih menyukai yang tenang."


"Hmm, aku tidak meyangkanya."


Apa yang membuat mereka merasa terkejut? 


Apa selama ini aku pernah membicarakan seleraku terhadap lawan jenis kepada mereka?


────Aku ingin mengatakan itu, tapi aku bukanlah tipe orang ceroboh yang akan mengacaukan suasana hanya demi memuaskan diri ku sendiri, jadi kali ini aku memilih untuk menahan diri.


Dilihat dari luar, kami mungkin terlihat seperti satu kelompok yang dekat.


Tapi hatiku tidak pernah benar-benar merasa tenang di tengah situasi ini.


Yoshida-san dan Sato-san memang menganggapku sebagai teman, tapi di balik itu tersimpan banyak motif tersembunyi.


Rasa bangga karena bisa berteman dengan 'Tojo Fuyuki' seolah-olah itu adalah semacam status sosial, mirip dengan beberapa temanku di masa SMP.


Bersamaan dengan itu, terkadang aku juga merasakan adanya kecemburuan yang kuat dari mereka.


Yah, aku memang di mata siapa pun adalah gadis cantik, ditambah lagi pandai dalam olahraga, cerdas, dan berasal dari keluarga perusahaan besar. Maka wajar saja kalo mereka merasa iri.


Wajar memang, tapi bukan berarti aku akan menerimanya begitu saja dengan lapang dada.


Tapi, karena ada citra tertentu yang harus kujaga di mata orang-orang, aku tidak bisa sembarangan menimbulkan masalah.


Itulah sebabnya aku berusaha mempertahankan hubungan yang 'baik' dengan mereka.


Sebuah persahabatan yang penuh kepalsuan.


Hubungan yang dijaga dengan senyum ramah sambil menekan perasaan sendiri ini tentu tidak bisa dibilang sehat.


Aku ingin cepat pulang ke sarang cintaku bersama Haruyuki-kun.


Saat aku kembali, aku akan mencoba sedikit memperkecil jarak fisik dengannya.


Saat ini aku kekurangan asupan Haruyuki-kun.


"....Tojo-san, ada apa? Kamu terus nyengir dari tadi."


"Eh!? A-ah... Tidak ada apa-apa. Jangan terlalu dipikirkan."


"Begitu? Kalo memang tidak ada, ya tidak apa-apa..."


Hampir saja.


Sampai Yoshida-san menegurku, aku bahkan tidak sadar kalo sudut bibirku sudah sulit kukendalikan.


Ini pasti karena aku kekurangan asupan Haruyuki-kun.


Setelah pulang nanti, aku akan langsung memeluknya erat-erat──── ah, tidak boleh.


Kalo aku terus memikirkan itu, aku akan kembali tersenyum sendiri.


Aku harus menenangkan diri dulu.

Tapi jika dibiarkan, ini akan mulai mengganggu banyak hal.


Kalo begitu, setelah pulang sekolah, lebih baik aku menunggu di dekat tempat kerjanya sampai dia selesai shift.


Dengan begitu, aku bisa pulang bersamanya dari awal perjalanan.


Ah, tentu saja bukan berarti aku ingin membuntuti Haruyuki-kun, ya? Benar-benar bukan.



Sebelumnya         Daftar isi

Posting Komentar

نموذج الاتصال